Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Komunitas Konsumen dalam Penciptaan Nilai Bersama: C0-Creation Value T2 912009114 BAB II
BAB II
RERANGKA TEORITIS
Sebagai
landasan
dari
sebuah
penelitian,
rerangka teoritis berguna sebagai dasar berpikir dan
menganalisis masalah penelitian yang hendak diteliti.
Dalam bab ini akan diuraikan rerangka teoritis yang
akan
digunakan
untuk
menganalisis
masalah
penelitian.
2.1 Peranan Komunitas
Soekanto (1984: 237) mengungkapkan, peranan
merupakan
aspek
yang
dinamis
dari
kedudukan
(status). Apabila seseorang yang melakukan hak dan
kewajiban sesuai dengan kedudukannya, maka dia
menjalankan suatu peranan. Lebih lanjut Setyadi
(1986: 29) berpendapat, peranan adalah suatu aspek
dinamika berupa pola tindakan baik yang abstrak
maupun konkrit dan setiap status yang ada dalam
organisasi. Nasution (1994: 74) menyatakan bahwa
peranan mencakup kewajiban hak yang bertalian
kedudukan. Usman (2001: 4) mengemukakan, peranan
adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang
saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi
tertentu
serta
berhubungan
dengan
kemajuan
perubahan tingkah laku. Untuk mengetahui makna
1
lebih dalam mengenai konsep peranan komunitas,
berikut akan disampaikan definisi tentang kelompok
dan komunitas terlebih dahulu.
2.1.1 Kelompok
Secara sosial, Macionis (1996) mendefinisikan
kelompok
sebagai
dua
atau
lebih
orang
yang
berinteraksi satu dengan lainnya, berbagi pengalaman,
kesetiaan dan kesukaan. Secara singkat walaupun
manusia secara individu berbeda, anggota dari suatu
kelompok sosial berpikir dan menganggap mereka
sebagai satu kesatuan. Schiffman dan Kanuk (2008)
keduanya merupakan pakar perilaku konsumen yang
masih berorientasi pada ilmu sosial, mengatakan
bahwa kelompok adalah dua atau lebih orang yang
melakukan interaksi untuk mencapai tujuan tertentu
baik yang bersifat individu maupun tujuan bersama.
Serupa dengan pendapat diatas yang didasarkan pada
ilmu dasar yaitu ilmu sosial, Robbins dan Judge (2008)
memandang dari sudut ilmu perilaku organisasi bahwa
kelompok (group) didefinisikan sebagai dua individu
atau lebih yang berinteraksi dan saling bergabung
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Adanya tujuan
bersama
dan
saling
berinteraksi
inilah
yang
mengarahkan anggota kelompok untuk berperilaku,
seperti yang telah disepakati secara perspektif maupun
2
normatif oleh kelompok tersebut. Kekuatan pengaruh
antar anggota kelompok terletak pada kesepakatan
yang dibuat bersama.
Robbins
dan
Judge
(2008)
mencatat
ada
beberapa alasan mengapa individu bergabung dalam
suatu kelompok. Alasan tersebut adalah:
1) Rasa
Aman.
Dengan
bergabungnya
individu
dalam suatu kelompok, individu tersebut dapat
mengurangi rasa tidak aman karena berdiri
sendiri.
Seseorang
akan
merasa
aman
dan
nyaman karena dikelilingi oleh banyak orang.
2) Status. Bergabung dalam suatu kelompok yang
dianggap
akan
memiliki
sebuah
status
dan
mendapatkan pengakuan dari orang lain.
3) Harga Diri. Bergabung dalam suatu kelompok
dapat memberikan kepercayaan diri dan dapat
menaikkan harga diri seseorang.
4) Afiliasi.
memenuhi
individu.
Suatu
kelompok
dianggap
kebutuhan-kebutuhan
Kebutuhan
sosial
dapat
sosial
tersebut
dari
berupa
interaksi antar anggotanya, di dalam kelompok
terdapat komunikasi dua arah.
5) Kekuatan. Tujuan yang tidak dapat dicapai
secara individu seringkali dapat tercapai melalui
kelompok, hal ini sebabkan karena adanya suatu
kekuatan jumlah orang didalamnya.
3
6) Pencapaian Tujuan. Pencapaian sebuah tujuan
atau tugas pada hakekatnya akan lebih mudah
dicapai
apabila
diselesaikan
dalam
sebuah
kelompok.
Menurut Ristiyanti dan Ihalauw (2004) kelompok
dapat dibagi dalam beberapa dikotomi, yaitu sebagai
berikut:
1) Kelompok Formal. Kelompok yang terdiri dari
anggota-anggota
kelompok
yang
berinteraksi
menurut struktur yang baru, adanya pembagian
kekuasaan dan wewenang (birokrasi) dan tujuan
kelompok
sangat
spesifik.
Contohnya
kepengurusan RT dan RW di perkampungan.
2) Kelompok Informal. Kelompok ini terbentuk
karena anggota-anggotanya mempunyai tujuan,
pengalaman, kesukaan dan kegiatan yang sama,
tidak ada struktur maupun pembagian wewenang
dan kekuasaan yang baku. Contohnya grup
musik.
3) Kelompok
Primer.
Kelompok
sosial
dimana
hubungan antar anggotanya bersifat pribadi dan
berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Anggota-anggota
kelompok
itu
kesetiaan
kuat
biasanya
yang
dan
terikat
oleh
mereka
melakukan kegiatan bersama, menghabisakan
4
waktu bersama dan merasa bahwa mereka saling
mengenal satu sama lain dengan baik. Contohnya
adalah keluarga.
4) Kelompok
Sekunder.
Kelompok
sosial
yang
besar dan bersifat tidak pribadi berdasarkan atas
kesukaan dan kegiatan yang sama. Hubungan
kerap
kali
sekelompok
berlangsung
singkat.
orang
datang
yang
Contohnya
ke
seminar
kesehatan dalam sehari.
5) Kelompok
Keanggotaan.
Kelompok
ini
memberikan identitas kepada anggotanya sebagai
bukti
keanggotaan.
Contohnya
keanggotaan
dalam perpustakaan buku.
6) Kelompok
Simbolis.
Kelompok
yang
tidak
memberikan tanda keanggotaan kepada anggotaanggotanya
tetapi
mereka
bertindak
atau
berperilaku seperti anggota karena mengadopsi
nilai-nilai, sikap dan perilaku kelompok tersebut.
Contohnya
memiliki
fans
nama
menggunakan
mencerminkan
berat
Agnes
Agnezmo,
atribut-atribut
nilai,
sikap
Monica
kelompok
tertentu
dan
yang
ini
yang
perilaku
kelompok yang dimasukinya.
Untuk memahami perilaku kelompok tentunya
harus paham bagaimana proses pembentukan sebuah
5
kelompok. Robbin dan Judge (2008) membagi proses
perkembangan kelompok menjadi 5 tahapan, yaitu
sebagai berikut:
1) Tahan pembentukan (forming). Tahap ini
memiliki karakteristik adanya ketidakpastian
atas
tujuan,
struktur
dan
kepemimpinan
kelompok tersebut. Para anggotanya samasama masih melakukan penjajakan terhadap
perilaku masing-masing anggotanya. Tahap ini
selesai
ketika
menganggap
para
dirinya
anggotanya
sebagai
bagian
mulai
dari
kelompok.
2) Tahap timbulnya konflik (storming stage).
Merupakan satu dari konflik intra kelompok.
Para
anggotanya
menerima
keberadaan
kelompok tersebut, tetapi terdapat penolakan
terhadap
batasan-batasan
yang
diterapkan
kelompok tersebut terhadap setiap individu.
Lebih jauh lagi, terdapat konflik atas siapa
yang akan mengendalikan kelompok tersebut.
Tahapan ini selesai ketika akhirnya diputuskan
terhadapnya sebuah hirarki yang relatif jelas
atas kepemimpinan dalam kelompok tersebut.
3) Tahap normalisasi (norming stage). Pada
tahapan ini kelompok telah menjalin hubungan
yang dekat dan terlihat kohesifannya. Dalam
6
tahap ini terdapat sebuah rasa yang kuat akan
identitas kelompok dan persahabatan. Tahap
ini selesai ketika struktur telah solid dan
kelompok
telah
mengasimilasi
serangkaian
ekspektasi umum definisi yang benar atas
perilaku anggota.
4) Tahap berkinerja (performing). Pada titik ini
struktur telah berfungsi sepenuhnya dan dapat
diterima. Energi kelompok telah berpindah dari
saling
mengenal
mengerjakan
Untuk
dan
tugas
memahami
yang
telah
kelompok-kelompok
menjadi
ditetapkan.
kerja
yang
permanen tahap berkinerja adalah tahapan
terakhir dalam pembentukan kelompok. Tetapi
untuk kelompok yang memiliki tugas yang
terbatas
untuk
dilakukan,
terdapat
tahap
pembubaran. Contohnya kelompok kepanitiaan
HUT Kemerdekaan.
5) Tahap
pembubaran
(adjourning
stage).
Dalam tahap ini, kelompok mempersiapkan diri
untuk pembubarannya. Kinerja tugas yang
tinggi tidak lagi menjadi prioritas tertinggi
kelompok.
diarahkan
Sebagai
untuk
gantinya,
menyelesaikan
perhatian
aktivitas-
aktivitas yang tersisa. Respon dari anggota
kelompok dalam tahap ini bervariasi, beberapa
7
dari mereka gembira, bersenang-senang dalam
pencapaian kinerja kelompok tersebut, tetapi
yang lainnya mungkin merasa tertekan atas
kehilangan
persahabatan
dan
pertemanan
yang didapatkan selama kehidupan kelompok
kerja tersebut.
Gambar 2.1 Tahap-tahap perkembangan kelompok
Sumber: Robin & Judge dalam Organizational
Behavior, 14 Maret 2008
Di Indonesia, banyak sekali terdapat kelompokkelompok
informal
yang
terbentuk
berdasarkan
kegemaran, kesukaan dan minat yang sama terhadap
sesuatu hal. Kelompok tersebut berjumlah kisaran 1015 orang yang sering mengadakan perkumpulan pada
lokasi tertentu, dan menggerombol. Contohnya adalah
kelompok pecinta alam, kelompok pecinta photography,
kelompok pencinta mobil balap, kelompok pencinta
music hip hop, dan sebagainya. Adanya tuntutan
perkembangan
sosial
serta
8
komunikasi
kelompok-
kelompok yang memiliki visi yang sama dan memiliki
minat yang sama pula serta memiliki hubungan
komunikasi yang kuat antar anggotanya pada akhirnya
kelompok-kelompok tersebut bergabung membentuk
sebuah komunitas.
Di era zaman yang dipengaruhi oleh sistem
kapitalisme membuat manusia atau kelompok sosial
semakin tergantung pada sebuah produk baik barang
maupun jasa. Semakin banyaknya barang dan jasa
yang disediakan oleh perusahaan maka semakin tinggi
derajat kebingunan konsumen, untuk itu mereka
membentuk
komunitas
konsumen.
Komunitas
konsumen memudahkan dalam mencari preferensi
sebuah produk.
2.1.2 Komunitas Konsumen
Gusfeld (1975) menyebutkan terdapat 2 karakter
sebuah komunitas, yaitu pertama adalah keterikatan
geografis (misalnya komunitas Pawarsa; Paguyuban
Warga
Salatiga),
kedua
adalah
keterikatan
pada
hubungan sosial (misalnya, komunitas kompasiana).
Berbeda
dengan
Gusfeld,
seorang
antroplog
bernama Victor Turner (1982) mengartikan komunitas
terkait dengan konsep keterbatasan. Secara singkat
konsep keterbatasan adalah tahap diantara dalam satu
siklus kehidupan. Salah satu cirinya adalah autotelic,
9
yaitu fenomena menikmati suatu aturan yang mengikat
tetapi orang yang mengalami dapat menikmatinya
tanpa merasa terikat oleh suatu aturan. Menurut
pendapat Turner bahwa komunitas berada diantara
struktur dan anti struktur.
Lebih lanjut Turner (1982) merinci tiga tahapan
dalam komunitas, yaitu sebagai berikut:
1) Tahap
eksistensial
(spontan
community).
Hubungan langsung, segera dan konfrontasi total
terhadap identitas. Kata eksistensi dalam hal ini
berasal dari to exist yang berarti to stand outside,
yaitu berada diluar posisi struktural. Disebut
spontan,
karena
hubungan
tersebut
bersifat
temporer atau tidak permanen. Dalam hubungan
tersebut
tidak
ada
kekuasaan
yang
mempengaruhinya, tidak ada perbedaan status
sehingga segera terjadi pemahaman bersama
(communal
understanding).
Ketika
hubungan
tersebut terjadi, pihak yang terlibat meletakkan
nilai-nilai kejujuran, keterbukaan dan menjauhi
prasangka sebagai nilai-nilai tertinggi.
2) Tahap
komunitas
ideologis.
Tahap
ini
merupakan kelanjutan dari spontan community.
Dalam
komunitas
ini,
kondisi
yang
dialami
adalah being together bukan doing together.
10
Mereka yang terlibat dalam komunitas memiliki
ideologi dalam mengkontruksi model baru.
3) Tahap
komunitas
normatif.
Tahap
ini
merupakan modifikasi dari komunitas spontan
sehingga tidak lagi bersifat temporer, tetapi
memiliki
jangka
waktu
tertentu.
Dalam
komunitas normatif terbentuk berbagai simbol.
Yang menarik adalah bahwa bukan saja adanya
berbagai simbol tersebut, tetapi juga sesuai
karakter keterbatasan, bagaimana mereka yang
terlibat
dalam
komunitas
normatif
bersikap
terhadap berbagai simbol tertentu.
McMillan
sosiologinya
dan
Chavis
(1986)
mendefinisikan
melalui
komunitas
kajian
melalui
3
karakteristik, yaitu sebagai berikut:
1) Kesatuan
tempat
(locality).
Komunitas
didefinisikan secara fisik sebagai entitas spasial
dimana
titik
beratnya
lebih
kepada
lokasi
geografis seperti desa atau kota.
2) Jaringan sosial (social network). Komunitas
dikatakan eksis apabila didalamnya terdapat
network of relationship antar anggotanya didalam
suatu tempat yang sama.
3) Hubungan
rasa
sejati
(relationship-communion).
11
diri
bersama
Komunitas
didefinisikan sebagai suatu hubungan perasaan
saling berbagi identitas (share sense of identity)
diantara
individual-individual
dari
anggota
komunitas tersebut.
Konsep komunitas lainnya dikemukakan oleh
Muniz dan O’guinn (2001) yang menegaskan bahwa
konsep
komunitas
merupakan
jaringan
hubungan
sosial yang ditandai dengan kebersamaan dan ikatan
emosi. Bukan lagi seperti konsep yang dikemukakan
oleh pakar sosiolog, Gusfeld ataupun McMillan dan
Chavis
yang
menekankan
pada
geografis
yaitu
komunitas dibedakan antara kota dan desa. Bagi Muniz
dan O’guinn (2001) konsep tersebut tidak relevan lagi
jika komunitas dikaitkan dengan geografis seseorang,
hal ini dikarenakan perkembangan teknologi internet.
Berbeda dengan pandangan-pandangan tersebut,
Cova dan Cova (2002) membandingkan pengertian
komunitas dengan rumpun. Cova dan Cova merujuk
pada konsep komunitas dari communautce (Bahasa
Perancis) dan dari kata communita (Bahasa Itali) yang
berarti ikatan karena adanya hubungan darah (blood
related bonds). Oleh karena itu mereka berpendapat
bahwa anggota yang masuk dalam komunitas tertentu
cenderung sudah digariskan dari asalnya (gen). Dengan
demikian, komunitas tersebut bercirikan terikat dan
12
stabil. Pendapat Cova dan Cova tersebut terkait dengan
pandangan Maffesoli (1996) yang menyatakan bahwa
komunitas
mengandung
konsep
struktur.
Konsep
komunitas oleh Maffesoli dikontraskan dengan konsep
rumpun. Baginya konsep komunitas dilatarbelakangi
oleh
strukturalisme
dan
moderenisme,
sedangkan
konsep rumpun dilatarbelakangi oleh posstrukturalisme
dan posmodernisme (Baurman, 1993). Oleh Cova dan
Cova perbedaan konsep antara komunitas dengan
rumpun diuraikan sebagai berikut:
1) Dalam
rumpun
(ephemeral),
mengandung
sedangkan
kesementaraan
dalam
komunitas
mengandung ketetapan (permanent).
2) Dalam rumpun, seseorang dapat menjadi bagian
dari
beberapa
komunitas
rumpun,
seseorang
sementara
hanya
dalam
milik
satu
komunitas.
3) Batasan rumpun bersifat konsep, sedangkan
komunitas bersifat fisik.
4) Hubungan
antar
anggota
rumpun
dibentuk
berdasarkan berbagi perasaan bersama (shared
feelings)
dan
(reappropriated
antar
anggota
pemaknaan
signs),
dalam
ulang
sementara
komunitas
simbol
hubungan
dibentuk
berdasarkan kekerabatan (kinship) dan dialek.
13
Sementara itu, Schaefer (2007) yang memandang
melalui ruang lingkup sosial mendefinisikan komunitas
sebagai unit spasial atau unit politik dari suatu
organisasi
sosial
yang
dapat
memberikan
sebuah
perasaan kebersamaan kepada individu dan perasaan
saling memiliki (sense of belonging). Kebersamaan ini
dapat didasarkan atas kesamaan daerah tempat tinggal
seperti di kota tertentu atau hubungan ketentangaan.
Perasaan
kebersamaan
ini
juga
didasarkan
pada
identitas yang sama.
Dari berbagai uraian tersebut diatas, dapat
disimpulkan bahwa komunitas disatu sisi bersifat
kekeluargaan atau tidak terstruktur, tetapi disisi lain
tidak
bersifat
sebebas-bebasnya.
Disamping
itu
komunitas memiliki ciri-ciri:
Keterbatasan
Berbagi karena saling memiliki.
Saling memelihara ritual dan tradisi.
Memiliki tanggung jawab moral.
Seseorang dapat menjadi bagian dari beberapa
rumpun.
2.2 Perilaku Konsumsi Komunitas Konsumen
Dalam melakukan interaksi atau hubungan antar
anggota komunitas, mereka melakukan pertemuan
secara langsung dengan istilah “kopdar” atau kopi
14
darat,
bertemu
dan
bertatap
muka
untuk
melaksanakan kegiatan dengan bertemu langsung. Saat
ini di era teknologi modern berbasis komputer dengan
menggunakan
kecanggihan
internet,
para
anggota
komunitas tidak perlu repot untuk bertemu langsung,
umumnya
mereka
menggunakan
internet
sebagai
media untuk berkomunikasi satu dengan lainnya.
Melalui media internet ini para anggota komunitas
dapat berdiskusi
kapanpun, dimanapun mengenai
minat ataupun membicarakan produk tertentu. Melalui
media
internet
berkembang
komunikasi
dengan
membuat
mereka
suatu
semakin
kotak
surat
elektronik (milis), yaitu sebuah fasilitas di internet
untuk
menggabungkan
beberapa
surat
elektronik
(email) atau dengan kata lain milis adalah sebagai kotak
pos bersama untuk para anggota komunitas. Selain
melalui
kotak
surat
elektronik
(milis),
mereka
berkomunikasi melalui catatan pribadi (blog) ataupun
media sosial yang semakin marak sekarang ini seperti
facebook, twitter dan sebagainya. Komunikasi yang
terjalin melalui media ini memunculkan sebutan baru
untuk perilaku komunitas yaitu komunitas dunia maya
(virtual).
Solomon
(1999)
mendefinisikan
perilaku
konsumen sebagai studi mengenai proses-proses yang
terjadi
saat
individu
atau
15
kelompok
menyeleksi,
membeli, menggunakan atau menghentikan pemakaian
produk, jasa, gagasan atau pengalaman dalam rangka
memuaskan keinginan dan hasrat tertentu.
Menurut Schiffman dan Kanuk (2004) dan Engel,
Blackwell dan Paul (dalam Saladin, 2003), terdapat
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
perilaku
konsumen dalam membeli, yaitu:
1) Faktor Sosial
a. Group (kelompok)
Sikap dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh
banyak kelompok-kelompok kecil. Kelompok
dimana
orang
tersebut
berada
yang
mempunyai pengaruh langsung atau disebut
membership group (Kotler, Bowen dan Makens,
2003).
b. Family Influence (pengaruh keluarga)
Keluarga memberikan pengaruh yang besar
dalam perilaku pembelian. Para pelaku pasar
telah memeriksa peran dan pengaruh suami,
istri dan anak dalam pembelian barang atau
jasa yang berbeda (Kotler, Bowen dan Makens,
2003).
c. Roles and Status (peran dan status)
Seseorang memiliki beberapa kelompok seperti
keluarga,
perkumpulan-perkumpulan
dan
organisasi. Sebuah peran terdiri dari aktivitas
16
yang
diharapkan
dilakukan
sesuai
sekitarnya.
Tiap
status
yang
pada
seseorang
dengan
peran
untuk
orang-orang
membawa
merefleksikan
di
sebuah
penghargaan
umum yang diberikan oleh masyarakat (Kotler
dan Amstrong, 2006).
2) Faktor Personal
a. Economic Situation (situasi ekonomi)
Situasi
ekonomi
mempengaruhi
seseorang
pemilihan
amat
dan
sangat
pembelian
suatu barang atau jasa tertentu (Kotler dan
Amstrong, 2006).
b. Lifestyle (gaya hidup)
Pola kehidupan seseorang yang diekspresikan
dalam aktivitas, ketertarikan dan opini orang
tersebut.
Orang-orang
yang
datang
dari
kebudayaan, kelas sosial dan pekerjaan yang
sama mungkin saja mempunyai gaya hidup
yang berbeda (Kotler dan Amstrong, 2006).
c. Personality and Self Concept (kepribadian dan
konsep diri)
Personality adalah karakteristik unik dari
psikologi yang memimpin kepada kestabilan
dan
respon
terus
menerus
terhadap
lingkungan orang itu sendiri (Kotler dan
17
Amstrong,
2006).
Tiap
orang
memiliki
gambaran diri yang kompleks dan perilaku
seseorang cenderung konsisten dengan konsep
diri tersebut (Kotler, Bowen dan Makens,
2003).
d. Age and Life Cycle Stage (usia dan siklus
hidup)
Orang-orang merubah barang atau jasa yang
dibeli seiring dengan siklus kehidupannya.
Rasa makanan, baju, perabot dan rekreasi
seringkali
berhubungan
dengan
umur,
membeli juga dibentuk oleh family life cycle.
Faktor-faktor
penting
yang
berhubungan
dengan umur sering diperhatikan oleh para
pelaku pasar. Ini mungkin dikarenakan oleh
perbedaan yang besar dalam umur antara
orang-orang
yang
menentukan
strategi
pemasaran dan orang-orang yang membeli
barang atau jasa tersebut (Kotler, Bowen dan
Makens, 2003).
e. Occupation (pekerjaan)
Pekerjaan seseorang mempengaruhi barang
atau jasa yang dibeli. Contohnya, pekerjaan
konstruksi sering membeli makan siang dari
catering yang datang ke tempat kerja. Bisnis
eksekutif, membeli makan siang dari full
18
service restoran, sedangkan pekerja kantor
membawa makan siangnya dari rumah atau
membeli dari restoran cepat saji terdekat
(Kotler, Bowen dan Makens, 2003).
3) Faktor Psycological
a. Motivation (motiasi)
Kebutuhan
yang
mengarahkan
mendesak
seseorang
untuk
untuk
mencari
kepuasan dari kebutuhan. Berdasarkan teori
Maslow, seseorang dikendalikan oleh suatu
kebutuhan pasa suatu waktu. Kebutuhan
manusia diatur menurut sebuah hirarki, dari
yang paling mendesak sampai paling tidak
mendesak
(kebutuhan
keamanan,
sosial,
pengaktualisasian
diri).
psikologikal,
harga
Ketika
diri,
kebutuhan
yang paling mendesak itu sudah terpuaskan,
kebutuhan
tersebut
berhenti
menjadi
motivator dan kemudian orang tersebut akan
mencoba
penting
memuaskan
berikutnya
kebutuhan
(Kotler,
Bowen
paling
dan
Makens, 2003).
b. Perception (persepsi)
Persepsi adalah proses dimana seseorang
memilih, mengorganisasi dan menerjemahkan
19
informasi
untuk
membentuk
sebuah
gambaran yang berarti dari dunia. Orang
dapat membentuk berbagai macam persepsi
yang berbeda dari rangsangan yang sama
(Kotler, Bowen dan Makens, 2003).
c. Learning (pembelajaran)
Pembelajaran
adalah
suatu
proses,
yang
selalu berkembang dan berubah sebagai hasil
dari informasi terbaru yang diterima atau dari
pengalaman sesungguhnya, baik informasi
terbaru yang diterima maupun pengalaman
pribadi bertindak sebagai umpan balik bagi
individu dan menyediakan dasar bagi perilaku
masa
depan
dalam
situasi
yang
sama
(Schiffman, Kanuk, 2004).
d. Beliefs and Attitude
Beliefs adalah pemikiran deskriptif bahwa
seseorang mempercayai sesuatu. Beliefs dapat
didasarkan pada pengetahuan asli, opini dan
iman. Sedangkan attitude adalah evaluasi,
perasaan
suka
atau
tidak
suka,
dan
kecenderungan yang relatif konsisten dari
seseorang pada sebuah obyek dan gagasan
(Kotler dan Amstrong, 2006).
20
4) Faktor Cultural
Nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan dan perilaku
yang dipelajari seseorang melalui keluarga dan
lembaga penting lainnya (Kotler dan Amstrong,
2006). Budaya merupakan penentu paling dasar
dari keinginan dan perilaku seseorang. Budaya,
mengkrompromikan nilai-nilai dasar, persepsi,
keinginan dan perilaku yang dipelajari seseorang
secara terus menerus dalam sebuah lingkungan
(Kotler, Bowen dan Makens, 2003).
a. Subculture, sekelompok orang yang berbagi
sistem
nilai
pengalaman
berdasarkan
hidup
dan
persamaan
keadaan,
seperti
kebangsaan, agama dan daerah (Kotler dan
Amstrong, 2006). Meskipun konsumen pada
negara
yang
kesamaan,
berbeda
nilai,
mempunyai
sikap
dan
suatu
perilakunya
seringkali berbeda secara dramatis (Kotler,
Bowen dan Makens, 2003).
b. Social Class (kelas sosial), pengelompokkan
individu berdasarkan kesamaan nilai, minat
dan perilaku. Kelompok sosial tidak hanya
ditentukan oleh satu faktor saja misalnya
pendapatan,
tetapi
ditentukan
juga
oleh
pekerjaan, pendidikan, kekayaan dan lainnya
(Kotler dan Amstrong, 2006).
21
2.2.1 Konsumsi
Konsep konsumsi sejak awal telah dibahas dalam
kajian
ekonomi
politik,
salah
satu
tokoh
yang
membahas itu adalah Karl Marx. Pada tahun 1981,
Karl Mark telah membahas mengenai hubungan konsep
produksi dengan konsumsi. Ia menyatakan bahwa
hubungan produksi dengan konsumsi sangatlah erat
dan saling membutuhkan. Bagi Karl Marx (1981)
produksi tidak mungkin ada tanpa konsumsi dan
demikian pula sebaliknya. Lebih dari itu, dalam
produksi mengandung konsumsi, dan dalam konsumsi
juga
mengandung
produksi.
Oleh
karena
itu
ia
menyebutnya productive consumption dan consumptive
production.
Dalam ilmu ekonomi mikro, konsumsi dapat
didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang bertujuan
mengurangi atau menghabiskan faedah suatu benda
baik barang atau jasa dalam rangka pemenuhan
kebutuhan.
Antropologi
juga
memiliki
mengenai
konsumsi,
seperti
McCracken
(1988)
Mort
dan
konsep
tersendiri
dinyatakan
(1996)
yaitu
oleh
bahwa
konsumsi adalah konstruksi makna yang dilakukan
setiap individu untuk mentransformasi identitasnya
oleh karenanya konsumsi bersifat aktif. Sementara bagi
kajian makro, konsumsi mengekspresikan identitasnya
22
(Desmond, 2003), sekaligus juga mengalami refleksi diri
atau introspeksi personal melalui konsumsi (Holbrook,
1996).
Lain lagi dengan pendapat Clarke, dkk (2003)
yang mecoba memahami konsep konsumsi melalui
penelusuran bahasa. Kata “consumption” dalam bahasa
inggris berpadanan dengan “consummation”. Baginya
kata
“consumption”
disandingan
dengan
kata
“consumere; con sumere” (bahasa latin), yang berarti
menghabiskan.
Kata
“consummation”
itu
sendiri
disandingkan dengan kata “consumare; con summa”
(bahasa perancis), yang dapat berarti pemenuhan
(fulfilment).
Berdasarkan
penelusuran
kata
“consumption” tersebut, Clarke, dkk menyatakan bahwa
konsumsi bersifat paradoks.
Dari sekian banyak konsep tentang konsumsi
yang ada, melalui Ardianto (2008), konsep konsumsi
memiliki tiga ciri yaitu:
1) Konsumen aktif melakukan pemaknaan ulang
terhadap makna yang telah diproduksi oleh
produsen.
2) Konsumen
mengkontruksi
berbagai
makna
diberbagai situasi dan perilaku.
3) Konsumen
mengekspresikan
sekaligus
merefleksi, yang berarti di satu sisi konsumsi
dipertunjukkan “keluar”, disisi lain konsumsi
23
dipertunjukkan “ke dalam”. Konsumsi dalam
pengertian ini bersifat paradoks.
2.2.2 Hubungan Konsumsi dan Komunitas
Ada beberapa konsep yang dapat menjelaskan
hubungan
konsumsi
dan
komunitas
konsumen.
Konsep-konsep tersebut didefinisikan dan dipahami
secara berbeda oleh beberapa peneliti, diantaranya
adalah:
1. Kozinets (1999) menitik beratkan pada fenomena
komunitas virtual yang mengonsumsi. Berangkat
dari
konsep
komunitas
virtual
yang
mengonsumsi, Kozinets ingin mengidentifikasi
jaringan
hubungan
konsumsinya
Indikator
lebih
yang
hubungan
personal
yang
dalam
menguntungkan pemasar.
digunakan
personal
adalah
(komunitas
ketertarikan
terhadap
suatu
(konsumsi).
Hubungan
jaringan
virtual)
dan
topik
tertentu
komunitas
dengan
konsumsi bersifat matriks, memiliki dimensi yang
saling bertentangan. Komunitas virtual terdiri
dari
jaringan
berdimensi
hubungan
rendah
dan
personal
tinggi,
yang
sedangkan
konsumsi terdiri dari ketertarikan terhadap suatu
topik tertentu yang berdimensi kuat lemah, dapat
digambarkan sebagai berikut:
24
Gambar 2.2 Matrik Jenis Komunitas yang Mengonsumsi
Sumber: Kozinets, Robert V., dalam ETribalized Marketing?: The Strategic Implications of
Virtual Communities of Consumption, 17 Juni 1999.
Ada empat tipe komunitas virtual yang mengonsumsi,
yaitu:
1) Penggemar (devotee), mengacu pada mereka
yang sangat tertarik pada suatu topik tertentu,
tetapi
jaringan
hubungan
antara
mereka
berdimensi rendah.
2) Pelancong
(tourist), mereka kurang tertarik
pada suatu topik tertentu dan jaringan hubungan
diantara mereka berdimensi rendah.
25
3) Penggaul (mingler), mereka kurang tertarik pada
suatu topik tertentu, tetapi jaringan hubungan
mereka berdimensi kuat.
4) Pemain (insider), mereka sangat tertarik pada
suatu topik tertentu dan jaringan hubungan
mereka berdimensi kuat.
Kozinets mengartikan komunitas sebagai jaringan
hubungan personal yang berdimensi tinggi dan rendah,
sedangkan konsumsi adalah ketertarikan terhadap
topik tertentu yang
Hubungan
komunitas
berdimensi kuat dan lemah.
dengan
konsumsi
bersifat
matriks. Pembentukan komunitas bersifat tunggal,
dimulai dari pertukaran informasi terhadap topik yang
diminatinya. Hubungan tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 2.3 Hubungan Komunitas dan Konsumsi
26
Sumber:
Kozinets,
Robert
V.,
dalam
E-
Tribalized Marketing?: The Strategic Implications of
Virtual Communities of Consumption, 17 Juni 1999.
2. Friedman
dkk.
(1993),
komunitas
adalah
hubungan seseorang dengan orang lain yang
berkarakteristik
sama
melakukan
konsumsi
berdasarkan gaya hidup yang sama terhadap
kategori produk tertentu. Hubungan komunitas
dengan
konsumsi
tidak
bersifat
tunggal.
Hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 2.4 Hubungan Komunitas dan Konsumsi
27
Sumber: Friedman, dkk., dalam Age related Change
in Scalptopography to Novel and Target Stimuli, 1993.
3. Lee
dan
konsumsi
Conroy
(2005)
bersifat
berpendapat
metafora,
bahwa
yaitu
memperlakukan sesuatu yang lain, sedangkan
komunitas adalah interaksi dengan orang lain
yang memiliki ketertarikan yang sama terhadap
topik
tertentu.
Hubungan
komunitas
dan
konsumsi tidak bersifat tunggal.
Gambar 2.5 Hubungan Komunitas dan Konsumsi
Sumber: Lee, M. & Conroy, D., dalam Enabling Change:
Helping Individuals Participate in Building Sustainable
Communities, 2005.
28
4. Cova (1997) menjelaskan, konsumsi merupakan
pencarian identitas tanpa akhir oleh individu,
sedangkan komunitas adalah pencarian jaringan
antar
individu
oleh
individu.
Hubungan
komunitas dengan konsumsi bersifat paradoks.
Gambar 2.6 Hubungan Komunitas dan Konsumsi
Sumber: Cova, B., dalam Community and Consumption:
Towards a Definition of The Linking Value of
Products or Services, 1997.
2.2.3 Perilaku Konsumsi Komunitas Konsumen
Menurut Schiffman dan Kanuk (2004), sebelum
dan sesudah melakukan pembelian, seorang konsumen
akan melakukan sejumlah proses yang mendasari
pengambilan keputusan, antara lain
1) Pengenalan masalah (problem recognition)
Konsumen akan membeli suatu produk sebagai
solusi atas permasalahan yang dihadapinya.
Tanpa adanya pengenalan masalah yang muncul,
29
konsumen tidak dapat menemukan produk yang
akan dibeli.
2) Pencarian informasi (information source)
Setelah memahami masalah yang ada, konsumen
akan termotivasi untuk mencari informasi untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada melalui
pencarian informasi. Proses pencarian informasi
dapat berasal dari dalam memori (internal) dan
berdasarkan pengalaman orang lain (eksternal).
3) Mengevaluasi
alternatif
(alternative
evaluation)
Setelah konsumen mendapat berbagai macam
informasi,
konsumen
alternatif
yang
akan
ada
mengevaluasi
umtuk
mengatasi
permasalahan yang dihadapainya.
4) Keputusan pembelian (purchase decision)
Setelah
konsumen
mengevaluasi
beberapa
alternatif strategis yang ada, konsumen akan
membuat
waktu
keputusan
yang
keputusan
pembelian
pembelian.
dibutuhkan
pembelian
yang
aktual
Terkadang
antara
dengan
yang
membuat
menciptakan
tidak
sama
dikarenakan adanya hal-hal lain yang perlu
dipertimbangkan.
30
5) Evaluasi
pasca
pembelian
(post
purchase
yang
dilakukan
evaluation)
Merupakan
proses
evaluasi
konsumen tidak hanya berakhir pada tahap
pembuatan
membeli
keputusan
produk
pembelian.
tersebut,
konsumen
Setelah
akan
melakukan evaluasi apakah produk tersebut
sesuai dengan harapannya. Dalam hal ini, terjadi
kepuasan
dan
ketidakpuasan
konsumen.
Konsumen akan puas jika produk tersebut sesuai
dengan
harapannya
dan
selanjutnya
akan
meningkatkan permintan akan merek produk
tersebut di masa depan. Sebaliknya, konsumen
akan merasa tidak puas jika produk tersebut
tidak sesuai dengan harapannya dan hal ini akan
menurunkan permintaan konsumen di masa
depan.
Hermawan Kartajaya (2008) menyebutkan pola
konsumsi yang dibangun di dalam komunitas bersifat
horisontal yang didalamnya mengandung dialogis dan
interaktif (two way communication). Adanya dialog dan
interaksi yang intens diantara anggota komunitas pada
akhirnya menciptakan sebuah keterikatan (bonding)
dalam suatu komunitas. Komunitas akan menjadi
semakin erat dan dekat dalam berhubungan.
31
Pendapat tersebut diperkuat oleh Matsuo dan
Yamamoto (2009), bahwa jika seseorang menyukai
suatu produk, dimulai dari wacana, ide, olah raga,
musik,
makanan,
hingga
suatu
barang,
muncul
kecenderungan dari orang tersebut untuk membagi apa
yang dia sukai kepada orang lain serta berinteraksi
dengan orang yang menikmati produk yang sama.
Interaksi
mempengaruhi
suatu
produk.
mendengarkan
yang
pola
intens
tentu
konsumsi
Saat
ini
saja
seseorang
seseorang
referensi
dari
akan
terhadap
akan
lebih
komunitasnya
dibandingkan dari orang lain yang tidak tergabung
dalam komunitas dan dari produsen, hal ini karena
bonding
yang
telah
tercipta
di
dalam
hubungan
komunitas. Interaksi yang dibangung melalui kegiatan
online (milis, media sosial, blog, dll.) dan offline (kopdar)
memungkinkan
komunitas
membagikan
informasi
sebanyak apapun kepada anggotanya, dapat informasi
yang positif terhadap suatu produk maupun informasi
yang negatif.
Menjadi satu catatan penting bagi pemasar atau
produsen untuk menyikapi hal ini, karena menurut
penelitian
menyikapi
adanya
fenomena
komunitas
konsumen harus hati-hati, apabila tidak benar-benar
tahu
cara
mengelola
komunitas,
pada
akhirnya
komunitas bukan lagi sebagai senjata bagi penetrasi
32
produk tetapi dapat menjadi bumerang yang akan
menghancurkan produk tersebut.
2.3 Merek
Di era perkembangan dunia pemasaran yang
telah
memasuki
new
wave,
hampir
tidak
akan
ditemukan sebuah produk tanpa merek (brand). Merek
menjadi sangat penting ditengah banyaknya produk
yang lahir dan ditawarkan untuk konsumen. Merek
menjadi kunci pembeda suatu produk dengan produk
lainnya.
Menurut
Kotler
dan
Keller
(2006),
merek
mengidentifikasi sumber atau pembuat produk dan
memungkinkan konsumen (individual atau organisasi)
untuk menetapkan tanggung jawab pada pembuat atau
distributor
produk
tertentu.
identik
Konsumen
secara
bisa
berbeda,
mengevaluasi
tergantung
pada
bagaimana produk diberi merek. Konsumen belajar
tentang merek melalui pengalaman masa lampau
dengan produk dan program pemasarannya. Mereka
menemukan merek mana yang memuaskan kebutuhan
mereka dan mana yang tidak. Ketika kehidupan
konsumen menjadi lebih rumit, sibuk dan kekurangan
waktu, kemampuan merek untuk menyederhanakan
pengambilan
keputusan
dan
keputusan yang salah.
33
mengurangi
resiko
Merek juga menunjukkan fungsi-fungsi yang
bernilai bagi perusahaan, diantaranya adalah (Kotler
dan Keller, 2006):
1) Merek
menyederhanakan
penanganan
dan
penelusuran produk.
2) Merek
membantu
untuk
mengorganisasikan
catatan inventori dan catatan akunting.
3) Sebuah merek juga menawarkan perlindungan
hukum yang kuat untuk fitur atau aspek produk
yang unik.
4) Nama merek dapat dilindungi melalui paten,
pengemasan
dagang
dapat
yang
dilindungi
terdaftar,
melalui
sedangkan
merek
proses
manufaktur-ing dapat dilindungi melalui hak
cipta dan rancangan. Hak properti intelektual ini
memastikan bahwa perusaan dapat melakukan
investasi
secara
aman
dalam
merek
dan
memperoleh keuntungan dari aset yang bernilai.
5) Merek dapat menandakan satu tingkat mutu
tertentu, sehingga konsumen yang puas dapat
mudah memilih produk.
Membangun merek yang kuat tidak berbeda dari
membangun
sebuah
rumah.
Untuk
memperoleh
bangunan yang kukuh, diperlukan landasan yang kuat.
Begitu juga dengan membangun dan mengembangkan
34
merek,
memerlukan
positioning
landasan
yang
tepat
yang
kuat
dipikiran
melalui
konsumen.
Membangun positioning adalah menempatkan semua
aspek dari nilai sebuah merek (brand value), termasuk
manfaat fungsional secara konsisten sehingga selalu
menjadi nomor satu dipikiran konsumen. Suatu merek
dapat
memenangkan
pikiran
konsumen
melalui
terciptanya kesadaran merek (brand awareness) dan
jika konsumen puas akan berujung pada terciptanya
kesetiaan merek (brand loyalty).
2.3.1 Kesadaran Merek
Aaker
merek
(1991:
sebagai
merupakan
mengenali
61)
mendefinisikan
kemampuan
calon
pembeli
(recognize)
atau
dari
kesadaran
seseorang
(potential buyer)
menyebutkan
yang
untuk
kembali
(recall) suatu merek yang merupakan bagian dari suatu
kategori produk.
Secara harafiah kesadaran merek dapat pula
diartikan sebagai kesadaran konsumen terhadap suatu
merek. Suatu proses dimana konsumen menyadari
adanya
keberadaan
merek
tersebut,
munculnya
kesadaran akan suatu merek ditandai dengan proses
pemilihan secara langsung pada waktu melakukan
pembelian.
35
Menurut Aaker (1991:61) kesadaran merek dibagi
menjadi dua bagian, yaitu brand recall dan brand
recognition.
Berdasarkan
penelitian
yang
telah
dilakukan oleh Peter dan Olsen (1994) berkaitan
dengan proses pengambilan keputusan pembelian,
menyatakan bahwa apabila konsumen dihadapkan
pada suatu pilihan nama, merek, harga, serta berbagai
atribut produk lainnya, konsumen akan cenderung
memilih nama merek terlebih dahulu, setelah itu
konsumen
seperti
ini,
baru
memikirkan
merek
harga.
merupakan
Pada
alat
kondisi
pertimbangan
pertama dalam proses pengambilan keputusan secara
cepat.
Sejalan
dengan
bertambahnya
pengalaman
konsumen menggunakan suatu produk, konsumen
akan
berusaha
mengaitkan
merek
yang
biasa
digunakan dengan dirinya sendiri (Foutnier dan Yao,
1997).
Setelah
mengenal
merek
tersebut,
ada
kecenderungan konsumen ingin mengetahui lebih jauh
mengenai produk yaitu terkait dengan seberapa besar
manfaat produk bagi konsumen.
Adanya persepsi mengenai tingkat kepentingan
dan kebutuhan yang berbeda-beda
menyebabkan
selera setiap konsumen tidak sama. Tugas produsen
adalah mengkomunikasikan atribut produk sesuai
dengan pasar sasaran yang telah ditetapkan.
36
Sesuai
dengan
tahap
perkembangan
suatu
merek, pada tahap permulaan (introduction), pada
tahap ini Perusahaan mengupayakan pengembangan
merek berdasarkan karakteristik fungsional melalui
komunikasi yang jelas secara terus menerus kepada
konsumen. Hal ini menyebabkan konsumen dapat
dengan mudah mengetahui dan membedakan merek
yang satu dengan yang lainnya. Merek yang secara
jujur mengkomunikasikan atribut produknya secara
benar dan jelas merupakan jaminan bahwa kualitas
produk tersebut konsisten dan baik. Konsumen yang
telah menyadari akan keberadaan suatu merek lalu
kemudian mencoba dan merasakan manfaat dari merek
tersebut akan melakukan pembelian secara berulang.
Kesetiaan konsumen terhadap merek dan kepuasaan
terhadap kinerja produk akan membentuk konsumen
yang setia, hal ini menjadi peluang bagi produsen
untuk mendapatkan laba penjualan sebesar-besarnya.
2.3.2 Kesetiaan Merek
Kesetiaan terhadap suatu merek secara kualitatif
berbeda dari dimensi-dimensi utama ekuitas merek
(brand equity) lainnya, karena kesetiaan merek terkait
erat
dengan
pengalaman
konsumen
dalam
menggunakan suatu produk. Kesetiaan merek dari
kelompok konsumen sering merupakan inti dari ekuitas
37
merek. Apabila konsumen tidak tertarik pada merek
suatu produk dan membeli dikarenakan karakteristik
produknya, harga dan kenyamanan dengan sedikit
memperdulikan
kemungkinan
merek
ekuitas
maka
dapat
terhadap
diartikan
merek
nya
kecil.
Sebaliknya, apabila para konsumen melanjutkan untuk
membeli merek tersebut kendati dihadapkan pada para
pesaing yang menawarkan karakteristik lebih unggul
dari harga dan kepraktisannya, berarti ada nilai yang
sangat besar dalam merek tersebut.
Oleh Aaker (1997) kesetiaan merek diartikan
sebagai suatu ukuran keterkaitan konsumen kepada
sebuah
merek.
Ukuran
ini
mampu
memberikan
gambaran tentang kemungkinan konsumen beralih ke
merek lain yang ditentukan oleh pesaing, terutama jika
pada merek tersebut didapati adanya perubahan, baik
menyangkut harga atau atribut lainnya.
Pendapat
Mowen
(1995)
mengenai
kesetiaan
merek adalah sebuah tingkatan dimana konsumen
memiliki sikap positif terhadap suatu merek, memiliki
komitmen dan cenderung untuk terus melanjutkan
membeli produk dengan suatu merek tertentu dimasa
yang
akan
datang.
Dengan
demikian,
kesetiaan
terhadap merek secara langsung dipengaruhi oleh
kepuasaan atau ketidakpuasaan konsumen terhadap
merek
tertentu.
Konsep
38
yang
hampir
sama
dikemukakan
oleh
mendefinisikan
Assael
kesetiaan
dan
Schiffman,
yang
merek
sebagai
sikap
kesetiaan konsumen terhadap sebuah merek melalui
pembelian secara berulang. Konsumen yang memiliki
kesetiaan
terhadap
suatu
merek
tergolong
dalam
konsumen yang loyal, mereka memiliki kesetiaan yang
tinggi dan pada umumnya melanjutkan pembelian
terhadap merek tersebut walaupun dihadapkan pada
banyak
pilihan
merek
produk
pesaing
yang
menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul
dipandang dari berbagai sudut atributnya.
Menurut
Aaker
(1997),
terdapat
tingkatan
kesetiaan terhadap merek. Masing-masing tingkatan
menunjukkan
tantangan
pemasaran
yang
harus
dihadapi sekaligus menjadikannya aset yang dapat
dimanfaatkan. Tingkatan tersebut dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1) Berpindah-pindah (switching). Konsumen yang
berada pada tingkat kesetiaan ini dikatakan
sebagai konsumen yang berada pada tingkat yang
paling dasar. Semakin tinggi tingkat frekuensi
konsumen untuk memindahkan pembeliannya
dari satu merek ke merek yang lain. Hal ini
mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang
sama sekali tidak setia atau tidak tertarik pada
merek tersebut. Pada tingkatan ini merek apapun
39
dianggap memadai serta memegang peranan yang
sangat kecil dalam keputusan pembelian. Ciri
yang paling nampak dari jenis konsumen ini
adalah mereka membeli suatu produk karena
harganya murah.
2) Konsumen yang membeli karena kebiasaan
(habitual buyer). Konsumen yang berada pada
tingkat
ini
dapat
dikategorikan
sebagai
konsumen yang puas dengan merek produk yang
dikonsumsinya atau setidaknya mereka tidak
mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi
produk
tersebut.
Pada
tingkatan
ini
pada
dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk
membeli merek produk yang lain atau berpindah
merek,
terutama
jika
peralihan
tersebut
memerlukan usaha, biaya, maupun berbagai
bentuk
pengorbanan
lain.
Jadi
dapat
disimpulkan bahwa konsumen ini dalam membeli
suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka
selama ini.
3) Konsumen yang puas (satisfied buyer). Pada
tingkat ini konsumen masuk dalam kategori puas
bila
mereka
meskipun
mengkonsumsi
demikian
memindahkan
merek
mungkin
pembeliannya
ke
saja
tersebut,
mereka
merek
lain
dengan menanggung biaya peralihan (switching
40
cost) yang terkait dengan waktu, uang atau resiko
kinerja yang melekat dengan tindakan mereka
beralih merek. Untuk dapat menarik minat para
konsumen yang masuk dalam tingkat loyalitas ini
maka
para
pesaing
perlu
mengatasi
biaya
peralihan yang harus ditanggung oleh konsumen
yang
masuk
dalam
kategori
ini
dengan
menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar
sebagai kompensasinya (switching cost loyal).
4) Menyukai merek (like this brand). Konsumen
yang
masuk
konsumen
dalam
yang
kategori
ini
merupakan
sungguh-sungguh
menyukai
merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai
perasaan emosional yang terkait dengan simbol,
rangkaian
pengalaman
dalam
penggunaan
sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun
oleh kerabatnya ataupun disebabkan oleh kesan
kualitas
yang
tinggi.
Meskipun
demikian
seringkali rasa suka tersebut merupakan suatu
perasaan yang sulit diidentifikasi dan ditelusuri
dengan cermat untuk dikategorikan kedalam
sesuatu yang spesifik.
5) Konsumen yang komit (commited buyer). Pada
tahap
ini
konsumen
merupakan
kategori
konsumen yang setia. Mereka memiliki suatu
kebanggaan
sebagai
41
pengguna
suatu
merek,
bahkan merek tersebut menjadi sangat penting
bagi mereka, dipandang dari segi fungsionalnya
maupun sebagai suatu ekspresi bahkan identitas
mengenai
siapa
sebenarnya
mereka.
Pada
tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas
konsumen
ditunjukkan
dengan
tindakan
merekomendasikan dan mempromosikan merek
tersebut kepada orang lain.
Tujuan besar dari sebuah perusahaan penghasil
produk adalah untuk mendapatkan konsumen pada
aras
kelima
ini,
yaitu
konsumen
yang
memiliki
komitmen terhadap produk yang dapat memberikan
referensi
terhadap
konsumen
individu,
kelompok
maupun dalam komunitas sehingga proses pencarian
customer dari custemer yang sudah ada (customer
referal) dapat terbentuk dengan segera.
2.4 Hubungan antara Komunitas Konsumen dan
Merek
Adanya arus globalisasi yang melanda dunia
terutama dikarenakan dibukanya arus komunikasi
global melalui media internet memacu pertumbuhan
komunitas
di
dunia.
komunitas
sebelumnya
Mengacu
bahwa
pada
pengertian
komunitas
adalah
organisasi sosial yang tidak terstruktur namun juga
tidak sebebas-bebasnya membuat orang mulai merasa
42
nyaman tergabung dalam komunitas dan melakukan
interaksi didalamnya.
Komunitas yang muncul dewasa ini praktis
hampir ada di semua bidang kehidupan. Mulai dari
komunitas yang sifatnya formal contohnya seperti
komunitas agama, komunitas orang tua yang mendidik
anaknya secara mandiri di rumah (home schooling),
sampai dengan komunitas informal seperti komunitas
kuliner, komunitas pecinta kucing, komunitas sepeda,
dll.
Pesatnya pertumbuhan komunitas selain karena
media internet juga dipacu oleh semakin spesifiknya
kebutuhan, minat, selera dan dan pengalaman orangorang modern. Contohnya ketika dahulu hanya banyak
komunitas para pemusik tetapi kini lebih spesifik
dengan
munculnya
komunitas
baru
sebagai
turunannya, seperti komunitas para gitaris, bassist,
drummer, dll. Fenomena tersebut semakin diniscayakan
oleh cepatnya kemajuan teknologi informasi, terutama
kian masifnya penggunaan internet dan ponsel yang
semakin modern. Sejalan dengan fenomena itu, Jerome
C. Glenn membuktikan hasil risetnya melalui The
American Council for the United Nations University
(2006)
menyatakan
teknologi
internet
dengan
dan
adanya
ponsel
perkembangan
berhasil
mengubah
sosiologi manusia modern, akibatnya dikemudian hari
43
batas-batas negara tidak relevan lagi. Glenn juga
menyimpulkan, dengan akses yang semakin mudah ke
dunia pendidikan dan pasar, individu-individu akan
bertindak layaknya kantor pusat (holding company)
yang
menginvestasikan
kegiatan,
menemukan
waktu
karir
mereka
yang
diberbagai
sesuai,
serta
memberikan akses kepada orang lain seperti kebiasaan
negara memberikan visa. Orang pun dengan mudah
berganti kesetiaan dari satu perusahaan ke perusahaan
lain. Mereka bebas menentukan apa yang mereka
inginkan dan bagaimana mencapai keinginan itu. Tiap
orang
menentukan
sendiri
nilai-nilai
yang
sesuai
dengan dirinya dan menggunakan jaringan global
untuk mendukungnya.
Dengan adanya perubahan besar pada sosiologi
manusia dan merebaknya kapitalisme global ataupun
lokal, menyebabkan semakin besar ketergantungan
manusia pada produk, baik yang berupa barang
maupun
globalisasi
semakin
jasa.
Konsekuensi
perdagangan
beragamnya
dari
melalui
produk
terbukanya
internet
dan
merek
arus
adalah
yang
ditawarkan kepada konsumen, sehingga menambah
tingkat kebingungan konsumen untuk menentukan
pilihan. Sekali pilihan telah ditentukan, konsumen
harus bertanggung jawab atas pilihan itu.
44
Untuk mengatasi kebingungan dan sekaligus
keingintahuan terhadap produk atau merek, pada
akhirnya
konsumen
membentuk
komunitas
yang
disebut komunitas konsumen. Komunitas konsumen
ini pada umumnya terbentuk karena kebutuhan untuk
bertukar
pengetahuan
dan
berbagi
pengalaman
mengenai produk atau merek yang sama, sehingga
mereka
merasa
berada
dalam
lingkungan
atau
kelompok yang sama.
Komunitas
konsumen
dapat
digunakan
oleh
produsen untuk memahami konsumennya, sekaligus
mendapatkan
banyak
masukan
berharga
untuk
perbaikan kualitas produk ataupun layanan. Menurut
Soehadi
dan
Ardianto
(2007)
atas
hasil
risetnya
mengenai komunitas konsumen, menyebutkan bahwa
komunitas konsumen merupakan pasar yang paling
fokus,
akan
lebih
efektif
dan
mudah
dalam
mengembangkan program-program kesetiaan, dapat
meningkatkan kesadaran akan merek dan nama baik
perusahaan,
yang
akhirnya
diharapkan
mampu
meningkatkan penjualan.
Namun ada hal yang perlu diperhatikan oleh
produsen
berkaitan
dengan
proses
pendekatan
terhadap komunitas konsumen. Sebab sesuai dengan
namanya komunitas sesungguhnya dibentuk sebagai
tempat berkumpulnya manusia, bukan benda. Banyak
45
komunitas yang meskipun dibentuk oleh kesamaan
produk atau merek tertentu, mereka bersikukuh bahwa
mereka
kelompok
yang
mandiri
(independen).
Berdasarkan hasil penelitian Ardianto (2007) mengenai
keberagaman komunitas konsumen, terdapat 2 (dua)
jenis komunitas konsumen, yaitu:
1) Komunitas Dependen. Komunitas yang dibentuk
atas prakarsa perusahaan atau pemilik merek
(brand). Contohnya: Inspired Kids Club (IKC).
2) Komunitas Independen. Komunitas yang berdiri
atas prakarsa konsumen, dan tidak terikat pada
merek (brand) tertentu. Contohnya: Community
Nokia Communicator, Timur-e.
Adanya dua penggolongan komunitas konsumen
menunjukkan adanya perlakuan yang berbeda dari
produsen. Baik itu cara komunikasi maupun hubungan
kerjasama yang akan dijalin antara keduanya. Hartono
(2008) dalam jurnalnya berjudul Dinamika Hubungan
Perusahaan dengan Konsumen, mengidentifikasikan
pola hubungan yang terjadi antara perusahaan dengan
komunitas konsumen. Munculnya dinamika hubungan
perusahaan
dasarnya
dengan
dapat
komunitas
dilihat
dari
konsumen
fenomena
pada
maraknya
komunitas konsumen yang bermunculan dan yang
kemudian disambut oleh perusahaan dengan berbagai
46
macam kegiatan pemasaran untuk menjalin hubungan
atas keberadaan komunitas konsumen yang terbentuk.
Menurut
Hartono
(2008)
secara
sederhana
hubungan perusahaan dengan komunitas konsumen
dibagi kedalam dua macam bentuk hubungan, yaitu
hubungan simetris dan hubungan asimetris, dengan
penjelasan sebagai berikut:
1) Hubungan
Simetris.
Hubungan
ini
pada
dasarnya merupakan hubungan setara atau
sejajar antara pihak perusahaan dengan pihak
komunitas. Hubungan ini cenderung tidak
memiliki
kepentingan
untuk
saling
mengintervensi antara satu pihak dengan
pihak lainnya. Terdapat dua pola hubungan
simetris yaitu:
a. Mitra Sejajar. Dalam hal ini kedua pihak
memiliki posisi yang saling menguntungkan
(mutualistis) dan bersepakat untuk saling
bekerjasama untuk jangka waktu yang
panjang
dan
melakukan
pihak
perusahaan
campur
tangan
tidak
terhadap
keberadaan komunitas konsumen.
b. Suportif.
Pada
posisi
ini
perusahaan
melihat karakteristik komunitas konsumen
baik yang lahir dari bawah (grass roat)
ataupun yang dibentuk oleh perusahaan,
47
pada umumnya berkembang serta memiliki
ikatan yang kuat seiring dengan semakin
seringnya
interaksi
konsumen
terhadap
produk atau jasa yang ditawarkan oleh
perusahaan.
Hal
ini
terjadi
ketika
konsumen terpuaskan dalam suatu waktu
tertentu, maka mereka akan menjadi agen
getok tular (word of mouth).
2) Hubungan Asimetris. Hubungan in
RERANGKA TEORITIS
Sebagai
landasan
dari
sebuah
penelitian,
rerangka teoritis berguna sebagai dasar berpikir dan
menganalisis masalah penelitian yang hendak diteliti.
Dalam bab ini akan diuraikan rerangka teoritis yang
akan
digunakan
untuk
menganalisis
masalah
penelitian.
2.1 Peranan Komunitas
Soekanto (1984: 237) mengungkapkan, peranan
merupakan
aspek
yang
dinamis
dari
kedudukan
(status). Apabila seseorang yang melakukan hak dan
kewajiban sesuai dengan kedudukannya, maka dia
menjalankan suatu peranan. Lebih lanjut Setyadi
(1986: 29) berpendapat, peranan adalah suatu aspek
dinamika berupa pola tindakan baik yang abstrak
maupun konkrit dan setiap status yang ada dalam
organisasi. Nasution (1994: 74) menyatakan bahwa
peranan mencakup kewajiban hak yang bertalian
kedudukan. Usman (2001: 4) mengemukakan, peranan
adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang
saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi
tertentu
serta
berhubungan
dengan
kemajuan
perubahan tingkah laku. Untuk mengetahui makna
1
lebih dalam mengenai konsep peranan komunitas,
berikut akan disampaikan definisi tentang kelompok
dan komunitas terlebih dahulu.
2.1.1 Kelompok
Secara sosial, Macionis (1996) mendefinisikan
kelompok
sebagai
dua
atau
lebih
orang
yang
berinteraksi satu dengan lainnya, berbagi pengalaman,
kesetiaan dan kesukaan. Secara singkat walaupun
manusia secara individu berbeda, anggota dari suatu
kelompok sosial berpikir dan menganggap mereka
sebagai satu kesatuan. Schiffman dan Kanuk (2008)
keduanya merupakan pakar perilaku konsumen yang
masih berorientasi pada ilmu sosial, mengatakan
bahwa kelompok adalah dua atau lebih orang yang
melakukan interaksi untuk mencapai tujuan tertentu
baik yang bersifat individu maupun tujuan bersama.
Serupa dengan pendapat diatas yang didasarkan pada
ilmu dasar yaitu ilmu sosial, Robbins dan Judge (2008)
memandang dari sudut ilmu perilaku organisasi bahwa
kelompok (group) didefinisikan sebagai dua individu
atau lebih yang berinteraksi dan saling bergabung
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Adanya tujuan
bersama
dan
saling
berinteraksi
inilah
yang
mengarahkan anggota kelompok untuk berperilaku,
seperti yang telah disepakati secara perspektif maupun
2
normatif oleh kelompok tersebut. Kekuatan pengaruh
antar anggota kelompok terletak pada kesepakatan
yang dibuat bersama.
Robbins
dan
Judge
(2008)
mencatat
ada
beberapa alasan mengapa individu bergabung dalam
suatu kelompok. Alasan tersebut adalah:
1) Rasa
Aman.
Dengan
bergabungnya
individu
dalam suatu kelompok, individu tersebut dapat
mengurangi rasa tidak aman karena berdiri
sendiri.
Seseorang
akan
merasa
aman
dan
nyaman karena dikelilingi oleh banyak orang.
2) Status. Bergabung dalam suatu kelompok yang
dianggap
akan
memiliki
sebuah
status
dan
mendapatkan pengakuan dari orang lain.
3) Harga Diri. Bergabung dalam suatu kelompok
dapat memberikan kepercayaan diri dan dapat
menaikkan harga diri seseorang.
4) Afiliasi.
memenuhi
individu.
Suatu
kelompok
dianggap
kebutuhan-kebutuhan
Kebutuhan
sosial
dapat
sosial
tersebut
dari
berupa
interaksi antar anggotanya, di dalam kelompok
terdapat komunikasi dua arah.
5) Kekuatan. Tujuan yang tidak dapat dicapai
secara individu seringkali dapat tercapai melalui
kelompok, hal ini sebabkan karena adanya suatu
kekuatan jumlah orang didalamnya.
3
6) Pencapaian Tujuan. Pencapaian sebuah tujuan
atau tugas pada hakekatnya akan lebih mudah
dicapai
apabila
diselesaikan
dalam
sebuah
kelompok.
Menurut Ristiyanti dan Ihalauw (2004) kelompok
dapat dibagi dalam beberapa dikotomi, yaitu sebagai
berikut:
1) Kelompok Formal. Kelompok yang terdiri dari
anggota-anggota
kelompok
yang
berinteraksi
menurut struktur yang baru, adanya pembagian
kekuasaan dan wewenang (birokrasi) dan tujuan
kelompok
sangat
spesifik.
Contohnya
kepengurusan RT dan RW di perkampungan.
2) Kelompok Informal. Kelompok ini terbentuk
karena anggota-anggotanya mempunyai tujuan,
pengalaman, kesukaan dan kegiatan yang sama,
tidak ada struktur maupun pembagian wewenang
dan kekuasaan yang baku. Contohnya grup
musik.
3) Kelompok
Primer.
Kelompok
sosial
dimana
hubungan antar anggotanya bersifat pribadi dan
berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Anggota-anggota
kelompok
itu
kesetiaan
kuat
biasanya
yang
dan
terikat
oleh
mereka
melakukan kegiatan bersama, menghabisakan
4
waktu bersama dan merasa bahwa mereka saling
mengenal satu sama lain dengan baik. Contohnya
adalah keluarga.
4) Kelompok
Sekunder.
Kelompok
sosial
yang
besar dan bersifat tidak pribadi berdasarkan atas
kesukaan dan kegiatan yang sama. Hubungan
kerap
kali
sekelompok
berlangsung
singkat.
orang
datang
yang
Contohnya
ke
seminar
kesehatan dalam sehari.
5) Kelompok
Keanggotaan.
Kelompok
ini
memberikan identitas kepada anggotanya sebagai
bukti
keanggotaan.
Contohnya
keanggotaan
dalam perpustakaan buku.
6) Kelompok
Simbolis.
Kelompok
yang
tidak
memberikan tanda keanggotaan kepada anggotaanggotanya
tetapi
mereka
bertindak
atau
berperilaku seperti anggota karena mengadopsi
nilai-nilai, sikap dan perilaku kelompok tersebut.
Contohnya
memiliki
fans
nama
menggunakan
mencerminkan
berat
Agnes
Agnezmo,
atribut-atribut
nilai,
sikap
Monica
kelompok
tertentu
dan
yang
ini
yang
perilaku
kelompok yang dimasukinya.
Untuk memahami perilaku kelompok tentunya
harus paham bagaimana proses pembentukan sebuah
5
kelompok. Robbin dan Judge (2008) membagi proses
perkembangan kelompok menjadi 5 tahapan, yaitu
sebagai berikut:
1) Tahan pembentukan (forming). Tahap ini
memiliki karakteristik adanya ketidakpastian
atas
tujuan,
struktur
dan
kepemimpinan
kelompok tersebut. Para anggotanya samasama masih melakukan penjajakan terhadap
perilaku masing-masing anggotanya. Tahap ini
selesai
ketika
menganggap
para
dirinya
anggotanya
sebagai
bagian
mulai
dari
kelompok.
2) Tahap timbulnya konflik (storming stage).
Merupakan satu dari konflik intra kelompok.
Para
anggotanya
menerima
keberadaan
kelompok tersebut, tetapi terdapat penolakan
terhadap
batasan-batasan
yang
diterapkan
kelompok tersebut terhadap setiap individu.
Lebih jauh lagi, terdapat konflik atas siapa
yang akan mengendalikan kelompok tersebut.
Tahapan ini selesai ketika akhirnya diputuskan
terhadapnya sebuah hirarki yang relatif jelas
atas kepemimpinan dalam kelompok tersebut.
3) Tahap normalisasi (norming stage). Pada
tahapan ini kelompok telah menjalin hubungan
yang dekat dan terlihat kohesifannya. Dalam
6
tahap ini terdapat sebuah rasa yang kuat akan
identitas kelompok dan persahabatan. Tahap
ini selesai ketika struktur telah solid dan
kelompok
telah
mengasimilasi
serangkaian
ekspektasi umum definisi yang benar atas
perilaku anggota.
4) Tahap berkinerja (performing). Pada titik ini
struktur telah berfungsi sepenuhnya dan dapat
diterima. Energi kelompok telah berpindah dari
saling
mengenal
mengerjakan
Untuk
dan
tugas
memahami
yang
telah
kelompok-kelompok
menjadi
ditetapkan.
kerja
yang
permanen tahap berkinerja adalah tahapan
terakhir dalam pembentukan kelompok. Tetapi
untuk kelompok yang memiliki tugas yang
terbatas
untuk
dilakukan,
terdapat
tahap
pembubaran. Contohnya kelompok kepanitiaan
HUT Kemerdekaan.
5) Tahap
pembubaran
(adjourning
stage).
Dalam tahap ini, kelompok mempersiapkan diri
untuk pembubarannya. Kinerja tugas yang
tinggi tidak lagi menjadi prioritas tertinggi
kelompok.
diarahkan
Sebagai
untuk
gantinya,
menyelesaikan
perhatian
aktivitas-
aktivitas yang tersisa. Respon dari anggota
kelompok dalam tahap ini bervariasi, beberapa
7
dari mereka gembira, bersenang-senang dalam
pencapaian kinerja kelompok tersebut, tetapi
yang lainnya mungkin merasa tertekan atas
kehilangan
persahabatan
dan
pertemanan
yang didapatkan selama kehidupan kelompok
kerja tersebut.
Gambar 2.1 Tahap-tahap perkembangan kelompok
Sumber: Robin & Judge dalam Organizational
Behavior, 14 Maret 2008
Di Indonesia, banyak sekali terdapat kelompokkelompok
informal
yang
terbentuk
berdasarkan
kegemaran, kesukaan dan minat yang sama terhadap
sesuatu hal. Kelompok tersebut berjumlah kisaran 1015 orang yang sering mengadakan perkumpulan pada
lokasi tertentu, dan menggerombol. Contohnya adalah
kelompok pecinta alam, kelompok pecinta photography,
kelompok pencinta mobil balap, kelompok pencinta
music hip hop, dan sebagainya. Adanya tuntutan
perkembangan
sosial
serta
8
komunikasi
kelompok-
kelompok yang memiliki visi yang sama dan memiliki
minat yang sama pula serta memiliki hubungan
komunikasi yang kuat antar anggotanya pada akhirnya
kelompok-kelompok tersebut bergabung membentuk
sebuah komunitas.
Di era zaman yang dipengaruhi oleh sistem
kapitalisme membuat manusia atau kelompok sosial
semakin tergantung pada sebuah produk baik barang
maupun jasa. Semakin banyaknya barang dan jasa
yang disediakan oleh perusahaan maka semakin tinggi
derajat kebingunan konsumen, untuk itu mereka
membentuk
komunitas
konsumen.
Komunitas
konsumen memudahkan dalam mencari preferensi
sebuah produk.
2.1.2 Komunitas Konsumen
Gusfeld (1975) menyebutkan terdapat 2 karakter
sebuah komunitas, yaitu pertama adalah keterikatan
geografis (misalnya komunitas Pawarsa; Paguyuban
Warga
Salatiga),
kedua
adalah
keterikatan
pada
hubungan sosial (misalnya, komunitas kompasiana).
Berbeda
dengan
Gusfeld,
seorang
antroplog
bernama Victor Turner (1982) mengartikan komunitas
terkait dengan konsep keterbatasan. Secara singkat
konsep keterbatasan adalah tahap diantara dalam satu
siklus kehidupan. Salah satu cirinya adalah autotelic,
9
yaitu fenomena menikmati suatu aturan yang mengikat
tetapi orang yang mengalami dapat menikmatinya
tanpa merasa terikat oleh suatu aturan. Menurut
pendapat Turner bahwa komunitas berada diantara
struktur dan anti struktur.
Lebih lanjut Turner (1982) merinci tiga tahapan
dalam komunitas, yaitu sebagai berikut:
1) Tahap
eksistensial
(spontan
community).
Hubungan langsung, segera dan konfrontasi total
terhadap identitas. Kata eksistensi dalam hal ini
berasal dari to exist yang berarti to stand outside,
yaitu berada diluar posisi struktural. Disebut
spontan,
karena
hubungan
tersebut
bersifat
temporer atau tidak permanen. Dalam hubungan
tersebut
tidak
ada
kekuasaan
yang
mempengaruhinya, tidak ada perbedaan status
sehingga segera terjadi pemahaman bersama
(communal
understanding).
Ketika
hubungan
tersebut terjadi, pihak yang terlibat meletakkan
nilai-nilai kejujuran, keterbukaan dan menjauhi
prasangka sebagai nilai-nilai tertinggi.
2) Tahap
komunitas
ideologis.
Tahap
ini
merupakan kelanjutan dari spontan community.
Dalam
komunitas
ini,
kondisi
yang
dialami
adalah being together bukan doing together.
10
Mereka yang terlibat dalam komunitas memiliki
ideologi dalam mengkontruksi model baru.
3) Tahap
komunitas
normatif.
Tahap
ini
merupakan modifikasi dari komunitas spontan
sehingga tidak lagi bersifat temporer, tetapi
memiliki
jangka
waktu
tertentu.
Dalam
komunitas normatif terbentuk berbagai simbol.
Yang menarik adalah bahwa bukan saja adanya
berbagai simbol tersebut, tetapi juga sesuai
karakter keterbatasan, bagaimana mereka yang
terlibat
dalam
komunitas
normatif
bersikap
terhadap berbagai simbol tertentu.
McMillan
sosiologinya
dan
Chavis
(1986)
mendefinisikan
melalui
komunitas
kajian
melalui
3
karakteristik, yaitu sebagai berikut:
1) Kesatuan
tempat
(locality).
Komunitas
didefinisikan secara fisik sebagai entitas spasial
dimana
titik
beratnya
lebih
kepada
lokasi
geografis seperti desa atau kota.
2) Jaringan sosial (social network). Komunitas
dikatakan eksis apabila didalamnya terdapat
network of relationship antar anggotanya didalam
suatu tempat yang sama.
3) Hubungan
rasa
sejati
(relationship-communion).
11
diri
bersama
Komunitas
didefinisikan sebagai suatu hubungan perasaan
saling berbagi identitas (share sense of identity)
diantara
individual-individual
dari
anggota
komunitas tersebut.
Konsep komunitas lainnya dikemukakan oleh
Muniz dan O’guinn (2001) yang menegaskan bahwa
konsep
komunitas
merupakan
jaringan
hubungan
sosial yang ditandai dengan kebersamaan dan ikatan
emosi. Bukan lagi seperti konsep yang dikemukakan
oleh pakar sosiolog, Gusfeld ataupun McMillan dan
Chavis
yang
menekankan
pada
geografis
yaitu
komunitas dibedakan antara kota dan desa. Bagi Muniz
dan O’guinn (2001) konsep tersebut tidak relevan lagi
jika komunitas dikaitkan dengan geografis seseorang,
hal ini dikarenakan perkembangan teknologi internet.
Berbeda dengan pandangan-pandangan tersebut,
Cova dan Cova (2002) membandingkan pengertian
komunitas dengan rumpun. Cova dan Cova merujuk
pada konsep komunitas dari communautce (Bahasa
Perancis) dan dari kata communita (Bahasa Itali) yang
berarti ikatan karena adanya hubungan darah (blood
related bonds). Oleh karena itu mereka berpendapat
bahwa anggota yang masuk dalam komunitas tertentu
cenderung sudah digariskan dari asalnya (gen). Dengan
demikian, komunitas tersebut bercirikan terikat dan
12
stabil. Pendapat Cova dan Cova tersebut terkait dengan
pandangan Maffesoli (1996) yang menyatakan bahwa
komunitas
mengandung
konsep
struktur.
Konsep
komunitas oleh Maffesoli dikontraskan dengan konsep
rumpun. Baginya konsep komunitas dilatarbelakangi
oleh
strukturalisme
dan
moderenisme,
sedangkan
konsep rumpun dilatarbelakangi oleh posstrukturalisme
dan posmodernisme (Baurman, 1993). Oleh Cova dan
Cova perbedaan konsep antara komunitas dengan
rumpun diuraikan sebagai berikut:
1) Dalam
rumpun
(ephemeral),
mengandung
sedangkan
kesementaraan
dalam
komunitas
mengandung ketetapan (permanent).
2) Dalam rumpun, seseorang dapat menjadi bagian
dari
beberapa
komunitas
rumpun,
seseorang
sementara
hanya
dalam
milik
satu
komunitas.
3) Batasan rumpun bersifat konsep, sedangkan
komunitas bersifat fisik.
4) Hubungan
antar
anggota
rumpun
dibentuk
berdasarkan berbagi perasaan bersama (shared
feelings)
dan
(reappropriated
antar
anggota
pemaknaan
signs),
dalam
ulang
sementara
komunitas
simbol
hubungan
dibentuk
berdasarkan kekerabatan (kinship) dan dialek.
13
Sementara itu, Schaefer (2007) yang memandang
melalui ruang lingkup sosial mendefinisikan komunitas
sebagai unit spasial atau unit politik dari suatu
organisasi
sosial
yang
dapat
memberikan
sebuah
perasaan kebersamaan kepada individu dan perasaan
saling memiliki (sense of belonging). Kebersamaan ini
dapat didasarkan atas kesamaan daerah tempat tinggal
seperti di kota tertentu atau hubungan ketentangaan.
Perasaan
kebersamaan
ini
juga
didasarkan
pada
identitas yang sama.
Dari berbagai uraian tersebut diatas, dapat
disimpulkan bahwa komunitas disatu sisi bersifat
kekeluargaan atau tidak terstruktur, tetapi disisi lain
tidak
bersifat
sebebas-bebasnya.
Disamping
itu
komunitas memiliki ciri-ciri:
Keterbatasan
Berbagi karena saling memiliki.
Saling memelihara ritual dan tradisi.
Memiliki tanggung jawab moral.
Seseorang dapat menjadi bagian dari beberapa
rumpun.
2.2 Perilaku Konsumsi Komunitas Konsumen
Dalam melakukan interaksi atau hubungan antar
anggota komunitas, mereka melakukan pertemuan
secara langsung dengan istilah “kopdar” atau kopi
14
darat,
bertemu
dan
bertatap
muka
untuk
melaksanakan kegiatan dengan bertemu langsung. Saat
ini di era teknologi modern berbasis komputer dengan
menggunakan
kecanggihan
internet,
para
anggota
komunitas tidak perlu repot untuk bertemu langsung,
umumnya
mereka
menggunakan
internet
sebagai
media untuk berkomunikasi satu dengan lainnya.
Melalui media internet ini para anggota komunitas
dapat berdiskusi
kapanpun, dimanapun mengenai
minat ataupun membicarakan produk tertentu. Melalui
media
internet
berkembang
komunikasi
dengan
membuat
mereka
suatu
semakin
kotak
surat
elektronik (milis), yaitu sebuah fasilitas di internet
untuk
menggabungkan
beberapa
surat
elektronik
(email) atau dengan kata lain milis adalah sebagai kotak
pos bersama untuk para anggota komunitas. Selain
melalui
kotak
surat
elektronik
(milis),
mereka
berkomunikasi melalui catatan pribadi (blog) ataupun
media sosial yang semakin marak sekarang ini seperti
facebook, twitter dan sebagainya. Komunikasi yang
terjalin melalui media ini memunculkan sebutan baru
untuk perilaku komunitas yaitu komunitas dunia maya
(virtual).
Solomon
(1999)
mendefinisikan
perilaku
konsumen sebagai studi mengenai proses-proses yang
terjadi
saat
individu
atau
15
kelompok
menyeleksi,
membeli, menggunakan atau menghentikan pemakaian
produk, jasa, gagasan atau pengalaman dalam rangka
memuaskan keinginan dan hasrat tertentu.
Menurut Schiffman dan Kanuk (2004) dan Engel,
Blackwell dan Paul (dalam Saladin, 2003), terdapat
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
perilaku
konsumen dalam membeli, yaitu:
1) Faktor Sosial
a. Group (kelompok)
Sikap dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh
banyak kelompok-kelompok kecil. Kelompok
dimana
orang
tersebut
berada
yang
mempunyai pengaruh langsung atau disebut
membership group (Kotler, Bowen dan Makens,
2003).
b. Family Influence (pengaruh keluarga)
Keluarga memberikan pengaruh yang besar
dalam perilaku pembelian. Para pelaku pasar
telah memeriksa peran dan pengaruh suami,
istri dan anak dalam pembelian barang atau
jasa yang berbeda (Kotler, Bowen dan Makens,
2003).
c. Roles and Status (peran dan status)
Seseorang memiliki beberapa kelompok seperti
keluarga,
perkumpulan-perkumpulan
dan
organisasi. Sebuah peran terdiri dari aktivitas
16
yang
diharapkan
dilakukan
sesuai
sekitarnya.
Tiap
status
yang
pada
seseorang
dengan
peran
untuk
orang-orang
membawa
merefleksikan
di
sebuah
penghargaan
umum yang diberikan oleh masyarakat (Kotler
dan Amstrong, 2006).
2) Faktor Personal
a. Economic Situation (situasi ekonomi)
Situasi
ekonomi
mempengaruhi
seseorang
pemilihan
amat
dan
sangat
pembelian
suatu barang atau jasa tertentu (Kotler dan
Amstrong, 2006).
b. Lifestyle (gaya hidup)
Pola kehidupan seseorang yang diekspresikan
dalam aktivitas, ketertarikan dan opini orang
tersebut.
Orang-orang
yang
datang
dari
kebudayaan, kelas sosial dan pekerjaan yang
sama mungkin saja mempunyai gaya hidup
yang berbeda (Kotler dan Amstrong, 2006).
c. Personality and Self Concept (kepribadian dan
konsep diri)
Personality adalah karakteristik unik dari
psikologi yang memimpin kepada kestabilan
dan
respon
terus
menerus
terhadap
lingkungan orang itu sendiri (Kotler dan
17
Amstrong,
2006).
Tiap
orang
memiliki
gambaran diri yang kompleks dan perilaku
seseorang cenderung konsisten dengan konsep
diri tersebut (Kotler, Bowen dan Makens,
2003).
d. Age and Life Cycle Stage (usia dan siklus
hidup)
Orang-orang merubah barang atau jasa yang
dibeli seiring dengan siklus kehidupannya.
Rasa makanan, baju, perabot dan rekreasi
seringkali
berhubungan
dengan
umur,
membeli juga dibentuk oleh family life cycle.
Faktor-faktor
penting
yang
berhubungan
dengan umur sering diperhatikan oleh para
pelaku pasar. Ini mungkin dikarenakan oleh
perbedaan yang besar dalam umur antara
orang-orang
yang
menentukan
strategi
pemasaran dan orang-orang yang membeli
barang atau jasa tersebut (Kotler, Bowen dan
Makens, 2003).
e. Occupation (pekerjaan)
Pekerjaan seseorang mempengaruhi barang
atau jasa yang dibeli. Contohnya, pekerjaan
konstruksi sering membeli makan siang dari
catering yang datang ke tempat kerja. Bisnis
eksekutif, membeli makan siang dari full
18
service restoran, sedangkan pekerja kantor
membawa makan siangnya dari rumah atau
membeli dari restoran cepat saji terdekat
(Kotler, Bowen dan Makens, 2003).
3) Faktor Psycological
a. Motivation (motiasi)
Kebutuhan
yang
mengarahkan
mendesak
seseorang
untuk
untuk
mencari
kepuasan dari kebutuhan. Berdasarkan teori
Maslow, seseorang dikendalikan oleh suatu
kebutuhan pasa suatu waktu. Kebutuhan
manusia diatur menurut sebuah hirarki, dari
yang paling mendesak sampai paling tidak
mendesak
(kebutuhan
keamanan,
sosial,
pengaktualisasian
diri).
psikologikal,
harga
Ketika
diri,
kebutuhan
yang paling mendesak itu sudah terpuaskan,
kebutuhan
tersebut
berhenti
menjadi
motivator dan kemudian orang tersebut akan
mencoba
penting
memuaskan
berikutnya
kebutuhan
(Kotler,
Bowen
paling
dan
Makens, 2003).
b. Perception (persepsi)
Persepsi adalah proses dimana seseorang
memilih, mengorganisasi dan menerjemahkan
19
informasi
untuk
membentuk
sebuah
gambaran yang berarti dari dunia. Orang
dapat membentuk berbagai macam persepsi
yang berbeda dari rangsangan yang sama
(Kotler, Bowen dan Makens, 2003).
c. Learning (pembelajaran)
Pembelajaran
adalah
suatu
proses,
yang
selalu berkembang dan berubah sebagai hasil
dari informasi terbaru yang diterima atau dari
pengalaman sesungguhnya, baik informasi
terbaru yang diterima maupun pengalaman
pribadi bertindak sebagai umpan balik bagi
individu dan menyediakan dasar bagi perilaku
masa
depan
dalam
situasi
yang
sama
(Schiffman, Kanuk, 2004).
d. Beliefs and Attitude
Beliefs adalah pemikiran deskriptif bahwa
seseorang mempercayai sesuatu. Beliefs dapat
didasarkan pada pengetahuan asli, opini dan
iman. Sedangkan attitude adalah evaluasi,
perasaan
suka
atau
tidak
suka,
dan
kecenderungan yang relatif konsisten dari
seseorang pada sebuah obyek dan gagasan
(Kotler dan Amstrong, 2006).
20
4) Faktor Cultural
Nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan dan perilaku
yang dipelajari seseorang melalui keluarga dan
lembaga penting lainnya (Kotler dan Amstrong,
2006). Budaya merupakan penentu paling dasar
dari keinginan dan perilaku seseorang. Budaya,
mengkrompromikan nilai-nilai dasar, persepsi,
keinginan dan perilaku yang dipelajari seseorang
secara terus menerus dalam sebuah lingkungan
(Kotler, Bowen dan Makens, 2003).
a. Subculture, sekelompok orang yang berbagi
sistem
nilai
pengalaman
berdasarkan
hidup
dan
persamaan
keadaan,
seperti
kebangsaan, agama dan daerah (Kotler dan
Amstrong, 2006). Meskipun konsumen pada
negara
yang
kesamaan,
berbeda
nilai,
mempunyai
sikap
dan
suatu
perilakunya
seringkali berbeda secara dramatis (Kotler,
Bowen dan Makens, 2003).
b. Social Class (kelas sosial), pengelompokkan
individu berdasarkan kesamaan nilai, minat
dan perilaku. Kelompok sosial tidak hanya
ditentukan oleh satu faktor saja misalnya
pendapatan,
tetapi
ditentukan
juga
oleh
pekerjaan, pendidikan, kekayaan dan lainnya
(Kotler dan Amstrong, 2006).
21
2.2.1 Konsumsi
Konsep konsumsi sejak awal telah dibahas dalam
kajian
ekonomi
politik,
salah
satu
tokoh
yang
membahas itu adalah Karl Marx. Pada tahun 1981,
Karl Mark telah membahas mengenai hubungan konsep
produksi dengan konsumsi. Ia menyatakan bahwa
hubungan produksi dengan konsumsi sangatlah erat
dan saling membutuhkan. Bagi Karl Marx (1981)
produksi tidak mungkin ada tanpa konsumsi dan
demikian pula sebaliknya. Lebih dari itu, dalam
produksi mengandung konsumsi, dan dalam konsumsi
juga
mengandung
produksi.
Oleh
karena
itu
ia
menyebutnya productive consumption dan consumptive
production.
Dalam ilmu ekonomi mikro, konsumsi dapat
didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang bertujuan
mengurangi atau menghabiskan faedah suatu benda
baik barang atau jasa dalam rangka pemenuhan
kebutuhan.
Antropologi
juga
memiliki
mengenai
konsumsi,
seperti
McCracken
(1988)
Mort
dan
konsep
tersendiri
dinyatakan
(1996)
yaitu
oleh
bahwa
konsumsi adalah konstruksi makna yang dilakukan
setiap individu untuk mentransformasi identitasnya
oleh karenanya konsumsi bersifat aktif. Sementara bagi
kajian makro, konsumsi mengekspresikan identitasnya
22
(Desmond, 2003), sekaligus juga mengalami refleksi diri
atau introspeksi personal melalui konsumsi (Holbrook,
1996).
Lain lagi dengan pendapat Clarke, dkk (2003)
yang mecoba memahami konsep konsumsi melalui
penelusuran bahasa. Kata “consumption” dalam bahasa
inggris berpadanan dengan “consummation”. Baginya
kata
“consumption”
disandingan
dengan
kata
“consumere; con sumere” (bahasa latin), yang berarti
menghabiskan.
Kata
“consummation”
itu
sendiri
disandingkan dengan kata “consumare; con summa”
(bahasa perancis), yang dapat berarti pemenuhan
(fulfilment).
Berdasarkan
penelusuran
kata
“consumption” tersebut, Clarke, dkk menyatakan bahwa
konsumsi bersifat paradoks.
Dari sekian banyak konsep tentang konsumsi
yang ada, melalui Ardianto (2008), konsep konsumsi
memiliki tiga ciri yaitu:
1) Konsumen aktif melakukan pemaknaan ulang
terhadap makna yang telah diproduksi oleh
produsen.
2) Konsumen
mengkontruksi
berbagai
makna
diberbagai situasi dan perilaku.
3) Konsumen
mengekspresikan
sekaligus
merefleksi, yang berarti di satu sisi konsumsi
dipertunjukkan “keluar”, disisi lain konsumsi
23
dipertunjukkan “ke dalam”. Konsumsi dalam
pengertian ini bersifat paradoks.
2.2.2 Hubungan Konsumsi dan Komunitas
Ada beberapa konsep yang dapat menjelaskan
hubungan
konsumsi
dan
komunitas
konsumen.
Konsep-konsep tersebut didefinisikan dan dipahami
secara berbeda oleh beberapa peneliti, diantaranya
adalah:
1. Kozinets (1999) menitik beratkan pada fenomena
komunitas virtual yang mengonsumsi. Berangkat
dari
konsep
komunitas
virtual
yang
mengonsumsi, Kozinets ingin mengidentifikasi
jaringan
hubungan
konsumsinya
Indikator
lebih
yang
hubungan
personal
yang
dalam
menguntungkan pemasar.
digunakan
personal
adalah
(komunitas
ketertarikan
terhadap
suatu
(konsumsi).
Hubungan
jaringan
virtual)
dan
topik
tertentu
komunitas
dengan
konsumsi bersifat matriks, memiliki dimensi yang
saling bertentangan. Komunitas virtual terdiri
dari
jaringan
berdimensi
hubungan
rendah
dan
personal
tinggi,
yang
sedangkan
konsumsi terdiri dari ketertarikan terhadap suatu
topik tertentu yang berdimensi kuat lemah, dapat
digambarkan sebagai berikut:
24
Gambar 2.2 Matrik Jenis Komunitas yang Mengonsumsi
Sumber: Kozinets, Robert V., dalam ETribalized Marketing?: The Strategic Implications of
Virtual Communities of Consumption, 17 Juni 1999.
Ada empat tipe komunitas virtual yang mengonsumsi,
yaitu:
1) Penggemar (devotee), mengacu pada mereka
yang sangat tertarik pada suatu topik tertentu,
tetapi
jaringan
hubungan
antara
mereka
berdimensi rendah.
2) Pelancong
(tourist), mereka kurang tertarik
pada suatu topik tertentu dan jaringan hubungan
diantara mereka berdimensi rendah.
25
3) Penggaul (mingler), mereka kurang tertarik pada
suatu topik tertentu, tetapi jaringan hubungan
mereka berdimensi kuat.
4) Pemain (insider), mereka sangat tertarik pada
suatu topik tertentu dan jaringan hubungan
mereka berdimensi kuat.
Kozinets mengartikan komunitas sebagai jaringan
hubungan personal yang berdimensi tinggi dan rendah,
sedangkan konsumsi adalah ketertarikan terhadap
topik tertentu yang
Hubungan
komunitas
berdimensi kuat dan lemah.
dengan
konsumsi
bersifat
matriks. Pembentukan komunitas bersifat tunggal,
dimulai dari pertukaran informasi terhadap topik yang
diminatinya. Hubungan tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 2.3 Hubungan Komunitas dan Konsumsi
26
Sumber:
Kozinets,
Robert
V.,
dalam
E-
Tribalized Marketing?: The Strategic Implications of
Virtual Communities of Consumption, 17 Juni 1999.
2. Friedman
dkk.
(1993),
komunitas
adalah
hubungan seseorang dengan orang lain yang
berkarakteristik
sama
melakukan
konsumsi
berdasarkan gaya hidup yang sama terhadap
kategori produk tertentu. Hubungan komunitas
dengan
konsumsi
tidak
bersifat
tunggal.
Hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 2.4 Hubungan Komunitas dan Konsumsi
27
Sumber: Friedman, dkk., dalam Age related Change
in Scalptopography to Novel and Target Stimuli, 1993.
3. Lee
dan
konsumsi
Conroy
(2005)
bersifat
berpendapat
metafora,
bahwa
yaitu
memperlakukan sesuatu yang lain, sedangkan
komunitas adalah interaksi dengan orang lain
yang memiliki ketertarikan yang sama terhadap
topik
tertentu.
Hubungan
komunitas
dan
konsumsi tidak bersifat tunggal.
Gambar 2.5 Hubungan Komunitas dan Konsumsi
Sumber: Lee, M. & Conroy, D., dalam Enabling Change:
Helping Individuals Participate in Building Sustainable
Communities, 2005.
28
4. Cova (1997) menjelaskan, konsumsi merupakan
pencarian identitas tanpa akhir oleh individu,
sedangkan komunitas adalah pencarian jaringan
antar
individu
oleh
individu.
Hubungan
komunitas dengan konsumsi bersifat paradoks.
Gambar 2.6 Hubungan Komunitas dan Konsumsi
Sumber: Cova, B., dalam Community and Consumption:
Towards a Definition of The Linking Value of
Products or Services, 1997.
2.2.3 Perilaku Konsumsi Komunitas Konsumen
Menurut Schiffman dan Kanuk (2004), sebelum
dan sesudah melakukan pembelian, seorang konsumen
akan melakukan sejumlah proses yang mendasari
pengambilan keputusan, antara lain
1) Pengenalan masalah (problem recognition)
Konsumen akan membeli suatu produk sebagai
solusi atas permasalahan yang dihadapinya.
Tanpa adanya pengenalan masalah yang muncul,
29
konsumen tidak dapat menemukan produk yang
akan dibeli.
2) Pencarian informasi (information source)
Setelah memahami masalah yang ada, konsumen
akan termotivasi untuk mencari informasi untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada melalui
pencarian informasi. Proses pencarian informasi
dapat berasal dari dalam memori (internal) dan
berdasarkan pengalaman orang lain (eksternal).
3) Mengevaluasi
alternatif
(alternative
evaluation)
Setelah konsumen mendapat berbagai macam
informasi,
konsumen
alternatif
yang
akan
ada
mengevaluasi
umtuk
mengatasi
permasalahan yang dihadapainya.
4) Keputusan pembelian (purchase decision)
Setelah
konsumen
mengevaluasi
beberapa
alternatif strategis yang ada, konsumen akan
membuat
waktu
keputusan
yang
keputusan
pembelian
pembelian.
dibutuhkan
pembelian
yang
aktual
Terkadang
antara
dengan
yang
membuat
menciptakan
tidak
sama
dikarenakan adanya hal-hal lain yang perlu
dipertimbangkan.
30
5) Evaluasi
pasca
pembelian
(post
purchase
yang
dilakukan
evaluation)
Merupakan
proses
evaluasi
konsumen tidak hanya berakhir pada tahap
pembuatan
membeli
keputusan
produk
pembelian.
tersebut,
konsumen
Setelah
akan
melakukan evaluasi apakah produk tersebut
sesuai dengan harapannya. Dalam hal ini, terjadi
kepuasan
dan
ketidakpuasan
konsumen.
Konsumen akan puas jika produk tersebut sesuai
dengan
harapannya
dan
selanjutnya
akan
meningkatkan permintan akan merek produk
tersebut di masa depan. Sebaliknya, konsumen
akan merasa tidak puas jika produk tersebut
tidak sesuai dengan harapannya dan hal ini akan
menurunkan permintaan konsumen di masa
depan.
Hermawan Kartajaya (2008) menyebutkan pola
konsumsi yang dibangun di dalam komunitas bersifat
horisontal yang didalamnya mengandung dialogis dan
interaktif (two way communication). Adanya dialog dan
interaksi yang intens diantara anggota komunitas pada
akhirnya menciptakan sebuah keterikatan (bonding)
dalam suatu komunitas. Komunitas akan menjadi
semakin erat dan dekat dalam berhubungan.
31
Pendapat tersebut diperkuat oleh Matsuo dan
Yamamoto (2009), bahwa jika seseorang menyukai
suatu produk, dimulai dari wacana, ide, olah raga,
musik,
makanan,
hingga
suatu
barang,
muncul
kecenderungan dari orang tersebut untuk membagi apa
yang dia sukai kepada orang lain serta berinteraksi
dengan orang yang menikmati produk yang sama.
Interaksi
mempengaruhi
suatu
produk.
mendengarkan
yang
pola
intens
tentu
konsumsi
Saat
ini
saja
seseorang
seseorang
referensi
dari
akan
terhadap
akan
lebih
komunitasnya
dibandingkan dari orang lain yang tidak tergabung
dalam komunitas dan dari produsen, hal ini karena
bonding
yang
telah
tercipta
di
dalam
hubungan
komunitas. Interaksi yang dibangung melalui kegiatan
online (milis, media sosial, blog, dll.) dan offline (kopdar)
memungkinkan
komunitas
membagikan
informasi
sebanyak apapun kepada anggotanya, dapat informasi
yang positif terhadap suatu produk maupun informasi
yang negatif.
Menjadi satu catatan penting bagi pemasar atau
produsen untuk menyikapi hal ini, karena menurut
penelitian
menyikapi
adanya
fenomena
komunitas
konsumen harus hati-hati, apabila tidak benar-benar
tahu
cara
mengelola
komunitas,
pada
akhirnya
komunitas bukan lagi sebagai senjata bagi penetrasi
32
produk tetapi dapat menjadi bumerang yang akan
menghancurkan produk tersebut.
2.3 Merek
Di era perkembangan dunia pemasaran yang
telah
memasuki
new
wave,
hampir
tidak
akan
ditemukan sebuah produk tanpa merek (brand). Merek
menjadi sangat penting ditengah banyaknya produk
yang lahir dan ditawarkan untuk konsumen. Merek
menjadi kunci pembeda suatu produk dengan produk
lainnya.
Menurut
Kotler
dan
Keller
(2006),
merek
mengidentifikasi sumber atau pembuat produk dan
memungkinkan konsumen (individual atau organisasi)
untuk menetapkan tanggung jawab pada pembuat atau
distributor
produk
tertentu.
identik
Konsumen
secara
bisa
berbeda,
mengevaluasi
tergantung
pada
bagaimana produk diberi merek. Konsumen belajar
tentang merek melalui pengalaman masa lampau
dengan produk dan program pemasarannya. Mereka
menemukan merek mana yang memuaskan kebutuhan
mereka dan mana yang tidak. Ketika kehidupan
konsumen menjadi lebih rumit, sibuk dan kekurangan
waktu, kemampuan merek untuk menyederhanakan
pengambilan
keputusan
dan
keputusan yang salah.
33
mengurangi
resiko
Merek juga menunjukkan fungsi-fungsi yang
bernilai bagi perusahaan, diantaranya adalah (Kotler
dan Keller, 2006):
1) Merek
menyederhanakan
penanganan
dan
penelusuran produk.
2) Merek
membantu
untuk
mengorganisasikan
catatan inventori dan catatan akunting.
3) Sebuah merek juga menawarkan perlindungan
hukum yang kuat untuk fitur atau aspek produk
yang unik.
4) Nama merek dapat dilindungi melalui paten,
pengemasan
dagang
dapat
yang
dilindungi
terdaftar,
melalui
sedangkan
merek
proses
manufaktur-ing dapat dilindungi melalui hak
cipta dan rancangan. Hak properti intelektual ini
memastikan bahwa perusaan dapat melakukan
investasi
secara
aman
dalam
merek
dan
memperoleh keuntungan dari aset yang bernilai.
5) Merek dapat menandakan satu tingkat mutu
tertentu, sehingga konsumen yang puas dapat
mudah memilih produk.
Membangun merek yang kuat tidak berbeda dari
membangun
sebuah
rumah.
Untuk
memperoleh
bangunan yang kukuh, diperlukan landasan yang kuat.
Begitu juga dengan membangun dan mengembangkan
34
merek,
memerlukan
positioning
landasan
yang
tepat
yang
kuat
dipikiran
melalui
konsumen.
Membangun positioning adalah menempatkan semua
aspek dari nilai sebuah merek (brand value), termasuk
manfaat fungsional secara konsisten sehingga selalu
menjadi nomor satu dipikiran konsumen. Suatu merek
dapat
memenangkan
pikiran
konsumen
melalui
terciptanya kesadaran merek (brand awareness) dan
jika konsumen puas akan berujung pada terciptanya
kesetiaan merek (brand loyalty).
2.3.1 Kesadaran Merek
Aaker
merek
(1991:
sebagai
merupakan
mengenali
61)
mendefinisikan
kemampuan
calon
pembeli
(recognize)
atau
dari
kesadaran
seseorang
(potential buyer)
menyebutkan
yang
untuk
kembali
(recall) suatu merek yang merupakan bagian dari suatu
kategori produk.
Secara harafiah kesadaran merek dapat pula
diartikan sebagai kesadaran konsumen terhadap suatu
merek. Suatu proses dimana konsumen menyadari
adanya
keberadaan
merek
tersebut,
munculnya
kesadaran akan suatu merek ditandai dengan proses
pemilihan secara langsung pada waktu melakukan
pembelian.
35
Menurut Aaker (1991:61) kesadaran merek dibagi
menjadi dua bagian, yaitu brand recall dan brand
recognition.
Berdasarkan
penelitian
yang
telah
dilakukan oleh Peter dan Olsen (1994) berkaitan
dengan proses pengambilan keputusan pembelian,
menyatakan bahwa apabila konsumen dihadapkan
pada suatu pilihan nama, merek, harga, serta berbagai
atribut produk lainnya, konsumen akan cenderung
memilih nama merek terlebih dahulu, setelah itu
konsumen
seperti
ini,
baru
memikirkan
merek
harga.
merupakan
Pada
alat
kondisi
pertimbangan
pertama dalam proses pengambilan keputusan secara
cepat.
Sejalan
dengan
bertambahnya
pengalaman
konsumen menggunakan suatu produk, konsumen
akan
berusaha
mengaitkan
merek
yang
biasa
digunakan dengan dirinya sendiri (Foutnier dan Yao,
1997).
Setelah
mengenal
merek
tersebut,
ada
kecenderungan konsumen ingin mengetahui lebih jauh
mengenai produk yaitu terkait dengan seberapa besar
manfaat produk bagi konsumen.
Adanya persepsi mengenai tingkat kepentingan
dan kebutuhan yang berbeda-beda
menyebabkan
selera setiap konsumen tidak sama. Tugas produsen
adalah mengkomunikasikan atribut produk sesuai
dengan pasar sasaran yang telah ditetapkan.
36
Sesuai
dengan
tahap
perkembangan
suatu
merek, pada tahap permulaan (introduction), pada
tahap ini Perusahaan mengupayakan pengembangan
merek berdasarkan karakteristik fungsional melalui
komunikasi yang jelas secara terus menerus kepada
konsumen. Hal ini menyebabkan konsumen dapat
dengan mudah mengetahui dan membedakan merek
yang satu dengan yang lainnya. Merek yang secara
jujur mengkomunikasikan atribut produknya secara
benar dan jelas merupakan jaminan bahwa kualitas
produk tersebut konsisten dan baik. Konsumen yang
telah menyadari akan keberadaan suatu merek lalu
kemudian mencoba dan merasakan manfaat dari merek
tersebut akan melakukan pembelian secara berulang.
Kesetiaan konsumen terhadap merek dan kepuasaan
terhadap kinerja produk akan membentuk konsumen
yang setia, hal ini menjadi peluang bagi produsen
untuk mendapatkan laba penjualan sebesar-besarnya.
2.3.2 Kesetiaan Merek
Kesetiaan terhadap suatu merek secara kualitatif
berbeda dari dimensi-dimensi utama ekuitas merek
(brand equity) lainnya, karena kesetiaan merek terkait
erat
dengan
pengalaman
konsumen
dalam
menggunakan suatu produk. Kesetiaan merek dari
kelompok konsumen sering merupakan inti dari ekuitas
37
merek. Apabila konsumen tidak tertarik pada merek
suatu produk dan membeli dikarenakan karakteristik
produknya, harga dan kenyamanan dengan sedikit
memperdulikan
kemungkinan
merek
ekuitas
maka
dapat
terhadap
diartikan
merek
nya
kecil.
Sebaliknya, apabila para konsumen melanjutkan untuk
membeli merek tersebut kendati dihadapkan pada para
pesaing yang menawarkan karakteristik lebih unggul
dari harga dan kepraktisannya, berarti ada nilai yang
sangat besar dalam merek tersebut.
Oleh Aaker (1997) kesetiaan merek diartikan
sebagai suatu ukuran keterkaitan konsumen kepada
sebuah
merek.
Ukuran
ini
mampu
memberikan
gambaran tentang kemungkinan konsumen beralih ke
merek lain yang ditentukan oleh pesaing, terutama jika
pada merek tersebut didapati adanya perubahan, baik
menyangkut harga atau atribut lainnya.
Pendapat
Mowen
(1995)
mengenai
kesetiaan
merek adalah sebuah tingkatan dimana konsumen
memiliki sikap positif terhadap suatu merek, memiliki
komitmen dan cenderung untuk terus melanjutkan
membeli produk dengan suatu merek tertentu dimasa
yang
akan
datang.
Dengan
demikian,
kesetiaan
terhadap merek secara langsung dipengaruhi oleh
kepuasaan atau ketidakpuasaan konsumen terhadap
merek
tertentu.
Konsep
38
yang
hampir
sama
dikemukakan
oleh
mendefinisikan
Assael
kesetiaan
dan
Schiffman,
yang
merek
sebagai
sikap
kesetiaan konsumen terhadap sebuah merek melalui
pembelian secara berulang. Konsumen yang memiliki
kesetiaan
terhadap
suatu
merek
tergolong
dalam
konsumen yang loyal, mereka memiliki kesetiaan yang
tinggi dan pada umumnya melanjutkan pembelian
terhadap merek tersebut walaupun dihadapkan pada
banyak
pilihan
merek
produk
pesaing
yang
menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul
dipandang dari berbagai sudut atributnya.
Menurut
Aaker
(1997),
terdapat
tingkatan
kesetiaan terhadap merek. Masing-masing tingkatan
menunjukkan
tantangan
pemasaran
yang
harus
dihadapi sekaligus menjadikannya aset yang dapat
dimanfaatkan. Tingkatan tersebut dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1) Berpindah-pindah (switching). Konsumen yang
berada pada tingkat kesetiaan ini dikatakan
sebagai konsumen yang berada pada tingkat yang
paling dasar. Semakin tinggi tingkat frekuensi
konsumen untuk memindahkan pembeliannya
dari satu merek ke merek yang lain. Hal ini
mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang
sama sekali tidak setia atau tidak tertarik pada
merek tersebut. Pada tingkatan ini merek apapun
39
dianggap memadai serta memegang peranan yang
sangat kecil dalam keputusan pembelian. Ciri
yang paling nampak dari jenis konsumen ini
adalah mereka membeli suatu produk karena
harganya murah.
2) Konsumen yang membeli karena kebiasaan
(habitual buyer). Konsumen yang berada pada
tingkat
ini
dapat
dikategorikan
sebagai
konsumen yang puas dengan merek produk yang
dikonsumsinya atau setidaknya mereka tidak
mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi
produk
tersebut.
Pada
tingkatan
ini
pada
dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk
membeli merek produk yang lain atau berpindah
merek,
terutama
jika
peralihan
tersebut
memerlukan usaha, biaya, maupun berbagai
bentuk
pengorbanan
lain.
Jadi
dapat
disimpulkan bahwa konsumen ini dalam membeli
suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka
selama ini.
3) Konsumen yang puas (satisfied buyer). Pada
tingkat ini konsumen masuk dalam kategori puas
bila
mereka
meskipun
mengkonsumsi
demikian
memindahkan
merek
mungkin
pembeliannya
ke
saja
tersebut,
mereka
merek
lain
dengan menanggung biaya peralihan (switching
40
cost) yang terkait dengan waktu, uang atau resiko
kinerja yang melekat dengan tindakan mereka
beralih merek. Untuk dapat menarik minat para
konsumen yang masuk dalam tingkat loyalitas ini
maka
para
pesaing
perlu
mengatasi
biaya
peralihan yang harus ditanggung oleh konsumen
yang
masuk
dalam
kategori
ini
dengan
menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar
sebagai kompensasinya (switching cost loyal).
4) Menyukai merek (like this brand). Konsumen
yang
masuk
konsumen
dalam
yang
kategori
ini
merupakan
sungguh-sungguh
menyukai
merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai
perasaan emosional yang terkait dengan simbol,
rangkaian
pengalaman
dalam
penggunaan
sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun
oleh kerabatnya ataupun disebabkan oleh kesan
kualitas
yang
tinggi.
Meskipun
demikian
seringkali rasa suka tersebut merupakan suatu
perasaan yang sulit diidentifikasi dan ditelusuri
dengan cermat untuk dikategorikan kedalam
sesuatu yang spesifik.
5) Konsumen yang komit (commited buyer). Pada
tahap
ini
konsumen
merupakan
kategori
konsumen yang setia. Mereka memiliki suatu
kebanggaan
sebagai
41
pengguna
suatu
merek,
bahkan merek tersebut menjadi sangat penting
bagi mereka, dipandang dari segi fungsionalnya
maupun sebagai suatu ekspresi bahkan identitas
mengenai
siapa
sebenarnya
mereka.
Pada
tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas
konsumen
ditunjukkan
dengan
tindakan
merekomendasikan dan mempromosikan merek
tersebut kepada orang lain.
Tujuan besar dari sebuah perusahaan penghasil
produk adalah untuk mendapatkan konsumen pada
aras
kelima
ini,
yaitu
konsumen
yang
memiliki
komitmen terhadap produk yang dapat memberikan
referensi
terhadap
konsumen
individu,
kelompok
maupun dalam komunitas sehingga proses pencarian
customer dari custemer yang sudah ada (customer
referal) dapat terbentuk dengan segera.
2.4 Hubungan antara Komunitas Konsumen dan
Merek
Adanya arus globalisasi yang melanda dunia
terutama dikarenakan dibukanya arus komunikasi
global melalui media internet memacu pertumbuhan
komunitas
di
dunia.
komunitas
sebelumnya
Mengacu
bahwa
pada
pengertian
komunitas
adalah
organisasi sosial yang tidak terstruktur namun juga
tidak sebebas-bebasnya membuat orang mulai merasa
42
nyaman tergabung dalam komunitas dan melakukan
interaksi didalamnya.
Komunitas yang muncul dewasa ini praktis
hampir ada di semua bidang kehidupan. Mulai dari
komunitas yang sifatnya formal contohnya seperti
komunitas agama, komunitas orang tua yang mendidik
anaknya secara mandiri di rumah (home schooling),
sampai dengan komunitas informal seperti komunitas
kuliner, komunitas pecinta kucing, komunitas sepeda,
dll.
Pesatnya pertumbuhan komunitas selain karena
media internet juga dipacu oleh semakin spesifiknya
kebutuhan, minat, selera dan dan pengalaman orangorang modern. Contohnya ketika dahulu hanya banyak
komunitas para pemusik tetapi kini lebih spesifik
dengan
munculnya
komunitas
baru
sebagai
turunannya, seperti komunitas para gitaris, bassist,
drummer, dll. Fenomena tersebut semakin diniscayakan
oleh cepatnya kemajuan teknologi informasi, terutama
kian masifnya penggunaan internet dan ponsel yang
semakin modern. Sejalan dengan fenomena itu, Jerome
C. Glenn membuktikan hasil risetnya melalui The
American Council for the United Nations University
(2006)
menyatakan
teknologi
internet
dengan
dan
adanya
ponsel
perkembangan
berhasil
mengubah
sosiologi manusia modern, akibatnya dikemudian hari
43
batas-batas negara tidak relevan lagi. Glenn juga
menyimpulkan, dengan akses yang semakin mudah ke
dunia pendidikan dan pasar, individu-individu akan
bertindak layaknya kantor pusat (holding company)
yang
menginvestasikan
kegiatan,
menemukan
waktu
karir
mereka
yang
diberbagai
sesuai,
serta
memberikan akses kepada orang lain seperti kebiasaan
negara memberikan visa. Orang pun dengan mudah
berganti kesetiaan dari satu perusahaan ke perusahaan
lain. Mereka bebas menentukan apa yang mereka
inginkan dan bagaimana mencapai keinginan itu. Tiap
orang
menentukan
sendiri
nilai-nilai
yang
sesuai
dengan dirinya dan menggunakan jaringan global
untuk mendukungnya.
Dengan adanya perubahan besar pada sosiologi
manusia dan merebaknya kapitalisme global ataupun
lokal, menyebabkan semakin besar ketergantungan
manusia pada produk, baik yang berupa barang
maupun
globalisasi
semakin
jasa.
Konsekuensi
perdagangan
beragamnya
dari
melalui
produk
terbukanya
internet
dan
merek
arus
adalah
yang
ditawarkan kepada konsumen, sehingga menambah
tingkat kebingungan konsumen untuk menentukan
pilihan. Sekali pilihan telah ditentukan, konsumen
harus bertanggung jawab atas pilihan itu.
44
Untuk mengatasi kebingungan dan sekaligus
keingintahuan terhadap produk atau merek, pada
akhirnya
konsumen
membentuk
komunitas
yang
disebut komunitas konsumen. Komunitas konsumen
ini pada umumnya terbentuk karena kebutuhan untuk
bertukar
pengetahuan
dan
berbagi
pengalaman
mengenai produk atau merek yang sama, sehingga
mereka
merasa
berada
dalam
lingkungan
atau
kelompok yang sama.
Komunitas
konsumen
dapat
digunakan
oleh
produsen untuk memahami konsumennya, sekaligus
mendapatkan
banyak
masukan
berharga
untuk
perbaikan kualitas produk ataupun layanan. Menurut
Soehadi
dan
Ardianto
(2007)
atas
hasil
risetnya
mengenai komunitas konsumen, menyebutkan bahwa
komunitas konsumen merupakan pasar yang paling
fokus,
akan
lebih
efektif
dan
mudah
dalam
mengembangkan program-program kesetiaan, dapat
meningkatkan kesadaran akan merek dan nama baik
perusahaan,
yang
akhirnya
diharapkan
mampu
meningkatkan penjualan.
Namun ada hal yang perlu diperhatikan oleh
produsen
berkaitan
dengan
proses
pendekatan
terhadap komunitas konsumen. Sebab sesuai dengan
namanya komunitas sesungguhnya dibentuk sebagai
tempat berkumpulnya manusia, bukan benda. Banyak
45
komunitas yang meskipun dibentuk oleh kesamaan
produk atau merek tertentu, mereka bersikukuh bahwa
mereka
kelompok
yang
mandiri
(independen).
Berdasarkan hasil penelitian Ardianto (2007) mengenai
keberagaman komunitas konsumen, terdapat 2 (dua)
jenis komunitas konsumen, yaitu:
1) Komunitas Dependen. Komunitas yang dibentuk
atas prakarsa perusahaan atau pemilik merek
(brand). Contohnya: Inspired Kids Club (IKC).
2) Komunitas Independen. Komunitas yang berdiri
atas prakarsa konsumen, dan tidak terikat pada
merek (brand) tertentu. Contohnya: Community
Nokia Communicator, Timur-e.
Adanya dua penggolongan komunitas konsumen
menunjukkan adanya perlakuan yang berbeda dari
produsen. Baik itu cara komunikasi maupun hubungan
kerjasama yang akan dijalin antara keduanya. Hartono
(2008) dalam jurnalnya berjudul Dinamika Hubungan
Perusahaan dengan Konsumen, mengidentifikasikan
pola hubungan yang terjadi antara perusahaan dengan
komunitas konsumen. Munculnya dinamika hubungan
perusahaan
dasarnya
dengan
dapat
komunitas
dilihat
dari
konsumen
fenomena
pada
maraknya
komunitas konsumen yang bermunculan dan yang
kemudian disambut oleh perusahaan dengan berbagai
46
macam kegiatan pemasaran untuk menjalin hubungan
atas keberadaan komunitas konsumen yang terbentuk.
Menurut
Hartono
(2008)
secara
sederhana
hubungan perusahaan dengan komunitas konsumen
dibagi kedalam dua macam bentuk hubungan, yaitu
hubungan simetris dan hubungan asimetris, dengan
penjelasan sebagai berikut:
1) Hubungan
Simetris.
Hubungan
ini
pada
dasarnya merupakan hubungan setara atau
sejajar antara pihak perusahaan dengan pihak
komunitas. Hubungan ini cenderung tidak
memiliki
kepentingan
untuk
saling
mengintervensi antara satu pihak dengan
pihak lainnya. Terdapat dua pola hubungan
simetris yaitu:
a. Mitra Sejajar. Dalam hal ini kedua pihak
memiliki posisi yang saling menguntungkan
(mutualistis) dan bersepakat untuk saling
bekerjasama untuk jangka waktu yang
panjang
dan
melakukan
pihak
perusahaan
campur
tangan
tidak
terhadap
keberadaan komunitas konsumen.
b. Suportif.
Pada
posisi
ini
perusahaan
melihat karakteristik komunitas konsumen
baik yang lahir dari bawah (grass roat)
ataupun yang dibentuk oleh perusahaan,
47
pada umumnya berkembang serta memiliki
ikatan yang kuat seiring dengan semakin
seringnya
interaksi
konsumen
terhadap
produk atau jasa yang ditawarkan oleh
perusahaan.
Hal
ini
terjadi
ketika
konsumen terpuaskan dalam suatu waktu
tertentu, maka mereka akan menjadi agen
getok tular (word of mouth).
2) Hubungan Asimetris. Hubungan in