Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Manajemen Kurikulum Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah T2 942012002 BAB II

(1)

BAB II

TELAAH PUSTAKA A. Manajemen Kurikulum

1. Pengertian Kurikulum

Rusman (2011) menyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pembelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Selain itu Alexander dan Lewis (1974) dalam Rusman (2011) berpendapat bahwa kurikulum merupakan segala upaya sekolah untuk mempengaruhi siswa agar dapat belajar baik dalam ruangan kelas maupun di luar sekolah. Sementara Harold (1965) dalam Rusman (2011) memandang kurikulum sebagai semua kegiatan yang diberikan kepada siswa di bawah tanggung jawab sekolah. Kurikulum juga harus berorientasi kepada perkembangan menyeluruh anak. Pemikiran ini ditegaskan oleh Dewey (1902) dalam Hidayat (2013) yang menyatakan bahwa anak didik dan kurikulum merupakan dua hal yang berbeda tetapi kedua-keduanya memiliki proses tunggal dalam bidang pendidikan. Kurikulum menurutnya adalah suatu rekonstruksi berkelanjutan yang memaparkan


(2)

pengalaman belajar anak didik melalui suatu susunan pengetahuan yang terorganisasi dengan baik.

Berdasarkan beberapa pandangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum bukan hanya sebatas jadwal mata pelajaran yang telah tersusun rapi oleh pihak sekolah tetapi secara luas kurikulum merupakan rangkaian upaya pembelajaran yang dirancang oleh sekolah menyangkut dengan tujuan, isi bahan pembelajaran yang nantinya akan dialami oleh anak didik secara berkelanjutan dan pada akhirnya dapat menjawab tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dalam visi dan misi sekolah.

Sukmadinata (1997) dalam Veithzal (2010) mengemukakan bahwa dalam pengembangan kurikulum ada empat landasan utama yaitu (1) Filosofis; (2) Psikologis; (3) Sosial-Budaya; (4) Ilmu pengetahuan dan teknologi. Penulis memilih dua poin yang dianggap mendukung tulisan ini yaitu psikologi dan sosial-budaya.

1. Landasan Psikologis

Sukmadimata (1997) dalam Veithzal (2010) mengemukakan bahwa minimal ada dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu (1) psikologi perkembangan; dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu


(3)

berkenan dengan perkembangannya. Yang dikaji adalah tentang perkembangan, pemahaman perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan dengan perkembangan individu, yang nantinya akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan kurikulum.

Jadi menurut penulis psikologi perkembangan menekankan pada perkembangan anak sejauh mana anak berkembang dalam pemahaman dan pengetahuannya dengan model kurikulum yang dipakai dalam pembelajaran. Dan kemudian juga akan menjadi bahan pertimbangan bagi perkembangan kurikulum kedepan.

Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar, serta sebagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar yang semuanya dapat dijadikan sebagai pertimbangan sekaligus mendasari perkembangan kurikulum.

Menurut penulis psikologi belajar menitikberatkan pada aspek karakter individu atau perilaku anak dalam belajar. Bahwa guru harus memperhatikan karakter masing-masing anak dalam mengikuti proses belajar. Kemudian


(4)

kedepannya akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam perkembangan kurikulum 2. Landasan Sosial-Budaya

Sukmadimata (1997) dalam Veithzal (2010) mengemukakan landasan kurikulum ini dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan mulai menentukan pelaksanaan sampai pada hasil pendidikan. Dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, tetapi memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.

Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun non formal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat dengan segala karakteristiknya dan kekayaan budayanya menjadi landasan acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan diharapkan muncul manusia-manusia yang lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi,


(5)

karakteristik dan perkembangan yang ada di masyarakat.

Melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang. Dengan demikian kurikulum yang dikembangkan seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial-budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal nasional maupun global.

Jadi menurut penulis, landasan sosial budaya dalam perkembangan kurikulum memperhatikan proses pendidikan untuk mempersiapkan anak didik menghadapi perkembangan masa depan dan menjawab problem-problem dalam lingkungan masyarakat. Untuk itu anak dipersiapkan dengan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat disekitar anak. Sehingga kehidupan masyarakat dan segala karakteristiknya menjadi landasan dan acuan pendidikan anak. Hal ini diusahakan agar anak tidak merasa asing dengan lingkungannya sendiri dan benar-benar mengetahui perkembangan dan peradaban lingkungan tempat anak berada.


(6)

2. Ruang Lingkup Manajemen Kurikulum

Manajemen Kurikulum adalah suatu sistem pengelolaan kurikulum yang kooperatif, komperhensif, dan sistematik dalam rangka mewujudkan ketercapaian tujuan kurikulum. Ruang lingkup manajemen kurikulum meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum Rusman (2011)

Menurut Oemar Hamalik (2006) Perencanaan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membina siswa ke arah perubahan tingkah laku yang diinginkan dan menilai sampai dimana perubahan-perubahan telah terjadi pada diri siswa.

Jadi menurut penulis perencanaan kurikulum adalah susunan kesempatan belajar yang dirancang oleh pihak sekolah dengan tujuan membina siswa kearah perubahan tingkah laku dan melalui perencanaan itu juga guru dapat menilai sampai dimana perubahan yang terjadi pada diri siswa berdasarkan standar yang telah ditentukan sebelumnya.

Dalam peraturan Mentri No 41 Tahun 2007 tentang standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah dijelaskan bahwa perencanaan


(7)

pelaksanaan pembelajaran yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar dan sumber belajar.

Silabus merupakan garis-garis haluan secara umum yang digunakan sebagai pedoman dalam pembuatan RPP. RPP merupakan program pelaksanaan pembelajaran secara periodik, bisa untuk sekali pertemuan bahkan lebih tergantung pada tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Sedangkan PPI merupakan program yang dibuat oleh guru diperuntukkan bagi siswa yang memiliki hambatan atau permasalahan dalam suatu hal yang bersifat individual.

Identitas mata pelajaran meliputi satuan pendidikan, kelas, semester/program keahlian, mata pelajaran atau tema pembelajaran, jumlah pertemuan. Standar kompetensi merupakan kualifikasi kemampuan minimal perserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diharapkan dapat dicapai setiap kelas dan atau semester pada suatu mata pelajaran.

Kompetensi dasar adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam mata


(8)

pelajaran tertentu sebagai rujukan penyusun indikator kompetensi dalam suatu pembelajaran. Indikator kompetensi adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian mata pelajaran. Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar.

Materi ajar memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi. Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar. Metode pembelajaran digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemilihan metode pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik, serta karakteristik dari setiap indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran.


(9)

Jadi menurut penulis perencanaan kurikulum, merupakan penyusunan tahapan-tahapan pembelajaran oleh pendidik dalam rangka membingkai proses pembelajaran yang akan dialami oleh siswa. Diharapkan melalui rancangan pembelajaran akan berdampak pada perubahan mencakup aspek afektif dan kognitif anak ke arah yang lebih baik.

Rusman (2011) menyatakan bahwa organisasi kurikulum merupakan pola atau desain bahan kurikulum yang tujuannya untuk mempermudah siswa dalam mempelajari bahan pelajaran serta mempermudah siswa dalam melakukan kegiatan belajar sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif. Organisasi kurikulum sangat terkait dengan bahan pelajaran dan sumber bahan pembelajaran. Sumber belajar dari kurikulum adalah nilai budaya, nilai sosial, aspek siswa dan masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Beberapa faktor yang diperhatikan dalam organisasi kurikulum yaitu berkaitan dengan ruang lingkup (scope), urutan bahan (sequence), kontinuitas, keseimbangan dan kerterpaduan (integrated).

Hamalik (2012) berpendapat bahwa organisasi kurikulum terdiri dari beberapa bentuk, yang masing-masing memiliki ciri-cirinnya sendiri:


(10)

1. Mata pelajaran yang terpisah-pisah (isolated subjects). Kurikulum terdiri dari sejumlah mata ajaran yang terpisah-pisah, seperti: Sejarah, Ilmu pasti, Bahasa Indonesia. Tiap mata ajaran disampaikan sendiri-sendiri tanpa ada hubungannya dengan mata ajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat kebutuhan dan kemampuan siswa. Semua materi diberikan semua. 2. Mata pelajaran berkorelasi (correlated). Kolerasi

diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata ajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkolerasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.

3. Bidang studi (broad field). Organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran.

4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.


(11)

5. Inti masalah yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah yang diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya.

6. Ecletic program yaitu suatu program yang mencari kesinambungan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.

Melalui pengertian di atas penulis merumuskan bahwa organisasi kurikulum merupakan rangkaian desain bahan pembelajaran yang diatur oleh pihak sekolah dalam rangka mempermudah siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.

Pelaksanaan kurikulum adalah suatu proses penerapan ide, konsep dan kebijakan kurikulum (kurikulum potensial) dalam suatu aktivitas pembelajaran sehingga peserta didik menguasai seperangkat kompetensi tertentu sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Mulyasa (2008) pelaksanaan kurikulum terbagi menjadi dua yaitu pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah dan tingkat kelas. Tingkat sekolah yang berperan adalah kepada sekolah dan tingkatan kelas yang berperan adalah guru Suryosubroto (2004).


(12)

Dalam pelaksanaan semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat dan kemampuan guru diuji dalam bentuk perbuatan yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata. Perwujudan ini semua terletak pada kemampuan guru sebagai sarana dan keberhasilan penerapan kurikulum. Implementasi kurikulum seharusnya menempatkan pengembangan kreativitas siswa lebih dari penguasaan materi. Dalam kaitan ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses pembelajaran. Mengimplementasikan kurikulum yang sesuai dengan rancangan, dibutuhkan kesiapan yang matang dari pelaksana, sebab sebagus apapun desain kurikulum yang dimiliki keberhasilan penerapannya tergantung pada kopetensi guru.

Melalui Permen No 41 Tahun 2007 tentang standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, pelaksanaan proses pembelajaran terbagi atas persiaratan pelaksanaan proses pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran. Yang termasuk persiaratan pelaksanaan proses pembelajaran yaitu jumlah maksimal peserta didik setiap rombongan belajar, beban kerja minimal guru, buku teks pelajaran, pengelolaan kelas.

Pelaksanaan pembelajaran merupakan implimentasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran


(13)

meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup.

Kegiatan pembelajaran terdiri atas tiga tahapan yaitu

a. Pendahuluan

Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Kegiatan pendahuluan guru menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumya dengan materi yang dipelajari, menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang dicapai. Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian untuk kegiatan sesuai silabus.

b. Inti

Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan


(14)

secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

c. Penutup

Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut.

Prosedur dan instrumen penilaian proses dan hasil belajar disesuaikan dengan indikator pencapaian kompetensi dan mengacu kepada Standar Penilaian. Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi

Melalui penjelasan pelaksanaan kurikulum, penulis menyimpulkan bahwa dalam proses pelaksanaan kurikulum kepala sekolah dan guru memegang peranan penting namun merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Kepala sekolah berperan pada pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah dan guru lebih spesifik pada tingkat kelas. Namun untuk menyukseskan proses pelaksanaan kurikulum tingkat kelas guru harus mempunyai kompetensi untuk menjalankan kurikulum yang telah dirancang sebelumnya agar tidak keluar dari apa yang telah


(15)

subjek pembelajaran. Sehingga, dari pelaksanaan kurikulum siswa dapat berkembang dan menjawab tujuan pendidikan yang ditetapkan.

Evaluasi kurikulum merupakan suatu proses pengumpulan dan penggunaan informasi untuk membuat keputusan dan penilaian tentang kurikulum yang meliputi kurikulum sebagai ide, kurikulum sebagai rencana tertulis, kurikulum sebagai proses dan kurikulum sebagai hasil.

Evaluasi proses pembelajaran dilakukan untuk menentukan kualitas pembelajaran secara keseluruhan, mencakup tahap perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran dan penilaian hasil pembelajaran. Menurut Permen No 41 Tahun 2007 tentang standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, bahwa evaluasi kurikulum terbagi atas evaluasi proses pembelajaran secara keseluruhan mencakup tahap perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran. Evaluasi terhadap proses pembelajaran yaitu dengan cara membandingkan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru dengan standar proses, mengidentifikasi kinerja guru dalam proses pembelajaran sesuai dengan kompetensi guru. Dan yang ketiga, evaluasi proses pembelajaran memusatkan


(16)

pada keseluruhan kinerja guru dalam proses pembelajaran.

Dari pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa tahap evaluasi kurikum merupakan bagian penting dari proses pelaksanaan kurikulum. Dengan adanya proses evaluasi guru dapat mengetahui sejauh mana perkembangan siswa dengan proses pembelajaran yang sudah berlangsung. Dan sejauh mana tingkat keberhasilan pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah.

Isi dari kurikulum menurut Alexander (1966) dalam Rusman (2011) berisikan fakta-fakta, presepsi, ketajaman, desain, dan solusi yang tergambarkan dari apa yang dipikirkan. Secara keseluruhan semua itu diperoleh dari pengalaman dan semua itu merupakan komponen yang menyusun pikiran yang menyusun kembali hasil pengalaman tersebut ke dalam adat dan pengetahuan, ide, konsep, generalisasi, prinsip, rencana dan solusi.

Menurut John Dewey (1996) dalam Rusman (2011) bahwa isi kurikulum lebih dari sekedar informasi yang dipelajari ketika dua kondisi muncul. Pertama, isi harus memiliki hubungan dengan pertanyaan yang menjadi perhatian siswa, kedua isi harus secara langsung masuk ke dalam tingkah laku


(17)

sebagai upaya meningkatkan makna dan kedalaman arti.

Beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam memilih isi kurikulum yaitu isi kurikulum harus sesuai dan tepat serta bermakna bagi perkembangan siswa atau sejalan dengan tahap perkembangan anak didik. Isi dari kurikulum yang hendak diterapkan juga harus dapat menjawab tujuan yang komperhensif. Artinya, mengandung aspek intelektual, moral, sosial secara seimbang.

Isi kurikulum juga harus mengandung pengetahuan ilmiah yang tahan uji, artinya tidak cepat lapuk hanya karena perubahan tuntutan hidup sehari-hari. Mengandung bahan pelajaran yang jelas menyangkut dengan, teori, prinsip, konsep yang tepat bukan hanya sekedar informasi. Yang terpenting adalah isi kurikulum harus menunjang tercapainya tujuan pendidikan Rany (2011).

Dalam manajemen kurikulum terdapat prinsip-prinsip dalam proses pelaksanaannya. Seperti yang dikemukakan oleh Rusman (2011), bahwa prinsip-prinsip manajemen kurikulum meliputi:

 Produktivitas, hasil yang akan diperoleh dalam kegiatan kurikulum merupakan aspek yang harus dipertimbangkan dalam manajemen kurikulum. Pertimbangan bagaimana agar peserta didik dapat mencapai hasil belajar sesuai


(18)

dengan tujuan kurikulum harus menjadi sasaran dalam manajemen kurikulum;

 Demokratisasi, pelaksanaan manajemen kurikulum harus berdasarkan demokrasi yang menempatkan pengelola, pelaksana dan subjek didik pada posisi yang seharusnya dalam melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab untuk mencapai tujuan kurikulum;

 Kooperatif, untuk memporoleh hasil yang diharapkan dalam kegiatan manajemen kurikulum perlu adanya kerja sama yang positif dari berbagai pihak yang terlibat;

 Efektivitas dan efisiensi rangkaian kegiatan

manajemen kurikulum harus

mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi untuk mencapai tujuan kurikulum sehingga kegiatan manajemen kurikulum tersebut memberikan hasil yang berguna dengan biaya, tenaga, dan waktu yang relatif singkat;

 Mengarahkan visi, misi dan tujuan yang ditetapkan dalam kurikulum, proses manajemen kurikulum harus dapat memperkuat dan mengarahkan visi, misi dan tujuan kurikulum. Melalui penjelasan tentang isi kurukulum penulis simpulkan bahwa, isi kurikulum merupakan hal yang mendasar dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan. Isi kurikulum memiliki sifat yang kompleks. Benar-benar memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak dan materi yang diberikan benar-benar ilmiah, mengandung bahan pelajaran yang jelas menyangkut teori, konsep yang tepat dan dapat dipertangung jawab. Dalam penerapannya juga mempertimbangkan banyak


(19)

kesulitan dalam memahami bahan yang disajikan oleh guru.

B. Konsep Community Dalam Pendidikan Berbasis Komunitas

1. Konsep community

Keterampilan atau partipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan di Indonesia, menurut Suyata dalam Suharto (2011) bukanlah hal yang baru. Partisipasi masyarakat telah dilaksanakan oleh yayasan-yayasan swasta, kelompok, sukarelawan, organisasi-organisasi non-pemerintah, dan perseorangan. Secara khusus Azara menyebutkan dikalangan masyarakat Muslim Indonesia, partisipasi masyarakat dalam rangka pendidikan berbasis masyarakat telah dilaksanakan sejak lama.

Tema masyarakat berasal dari society atau community. Society sering diartikan sebagai masyarakat umum , sedangkan community adalah masyarakat setempat atau panguyuban . Dictionary of sociologymencoba mendefinisikan community sebagai sub-kelompok yang mempunyai karakteristik seperti society, tetapi pada skala yang lebih kecil dan dengan kepentingan yang kurang luas dan terkoordinir. Menurut Fairchild (1997) dalam Suharto (2011) bahwa dalam community terdapat beberapa ikatan seperti ras, asal-usul bangsa atau klasifikasi keagamaan.


(20)

Smucker (1955) dalam Suharto (2011) mencoba mendekati pendidikan dengan prefektif masyarakat. Ia mendefinisikan Community sebagai suatu kumpulan populasi yang tinggal pada suatu wilayah yang berdekatan terintegrasi melalui pengalaman umum, memiliki sejumlah situasi pelayanan dasar, menyadari akan kesatuan lokalnya dan mampu bertindak dalam kapasitasnya sebagai suatu korporasi.

Pengertian di atas menerangkan bahwa community biasanya dimaknai sebagai kelompok manusia yang mendiami suatu wilayah tertentu dengan segala ikatan dan norma di dalmnya. Dan memahami potensi-potensi yang ada di dalam wilayah dan kemudian berupaya untuk membangun wilayahnya itu dengan potensi yang dimiliki.

2. Pendidikan berbasis komunitas

Pendidikan berbasis komunitas (community-based education) merupakan pengaturan yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran yang berlangsung seumur hidup. Pendidikan berbasis komunitas muncul saat modernisasi yang menghendaki terciptanya demokrasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk pada bidang pendidikan.


(21)

Pendidikan kemudian harus beradaptasi dan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat, Sudjana (2000). Sedangkan, menurut Sihombing (2001) pendidikan berbasis masyarakat merupakan pendidikan yang dirancang, dilaksanakan, dinilai dan dikembangkan oleh masyarakat yang mengarah pada usaha menjawab tantangan dan peluang yang ada di lingkungan masyarakat tertentu dan berorientasi pada masa depan.

Secara konsep, pendidikan berbasis komunitas adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan.

Pada konteks ini, masyarakat dituntut berperan dan berpartisipasi aktif dalam setiap program pendidikan, terutama pada saat pelaksanaannya. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutuhan mereka. Secara singkat dikatakan masyarakat perlu diberdayakan, diberi peluang dan kebebasan untuk


(22)

mendesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam untuk dan oleh masyarakat sendiri. Galbraith (1992) dalam Ardiego (2009) menjelaskan bahwa

community-based education could be defined as an educational proces by which individuals (in this case adults) become more competent in their skills, attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more control over local aspects of their communities through

democratic participation . (Pendidikan berbasis komunitas

dapat diartikan sebagai proses pendidikan dimana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam keterampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal masyarakatnya melalui partisipasi demokratis).

Pendapat yang lebih luas tentang pendidikan berbasis komunitas dikemukakan oleh Smith (2008) dalam Ardiego (2009) sebagai community-besed education defined as a process designed to enrich the lives of individuals and groups by enganging with people living with in a geographical area, or sharing a common interest, to develop voluntary-ilya range of learning, action, and reflection opportumities, determined by their

personal, social, economic and political need (pendidikan

berbasis komunitas adalah sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan


(23)

umum, untuk mengembangkan dengan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan tefleksi yang ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi dan kebutuhan politik mereka)

Surakhmad (2000) dalam Suharto (2012) menegaskan bahwa yang dimaksud pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang dengan sadar menjadikan masyarakat sebagai akar dari perkembangan. Konsep pendidikan berbasis masyarakat merupakan usaha peningkatan rasa kesadaran, kepedulian, kepemilikan, keterlibatan, dan tangungjawab masyarakat. Enam kondisi yang dapat menentukan terlaksananya konsep pendidikan berbasis masyarakat.

1. Masyarakat sendiri memiliki kepedulian dan kepekaan mengenai pendidikan;

2. Masyarakat sendiri telah menyadari pentingnya pendidikan bagi kemajuan masyarakat;

3. Masyarakat sendiri telah merasa memiliki pendidikan sebagai potensi kemajuan mereka;

4. Masyarakat sendiri telah mampu menentukan tujuan-tujuan pendidikan yang relevan bagi mereka; 5. Masyarakat sendiri telah aktif berpartisipasi dalam

penyelenggaraan pendidikan;

6. Masyarakat sendiri yang mendukung pembiayaan dan pengadaan sarana pendidikan.

Dengan demikian pendekatan pendidikan berbasis komunitas adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus


(24)

tujuan. Melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih baik. Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan yang berbasis komunitas memungkinkan masyarakat dalam tanggungjawab terhadap perencanaan hingga pelaksanaan pendidikan tersebut.

Pendidikan berbasis komunitas berkerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah diberkahi potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Banyak masyarakat kota ataupun desa, telah mengembangkan potensi untuk mengatasi masalah berdasarkan sumber daya yang dimiliki serta dengan memobilitasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang dihadapi, Ardiego (2009).

Salah satu institusi pendidikan yang berbasis pada masyarakat adalah pusat kegiatan belajar masyaraat (PKBM). Lembaga ini merupakan prakarsa pembelajaran masyarakat yang didirikan dari oleh dan untuk masyarakat. Dari masyarakat berarti bahwa PKBM merupakan inisiatif dari masyarakat itu sendiri. Keinginan itu datang dari satu kesadaran akan pentingnya mutu kehidupan melalui proses transformasional dan pembelajaran. Oleh masyarakat,


(25)

jawab masyarakat itu sendiri. Untuk masyarakat,

berarti bahwa keberadaan PKBM sepenuhnya untuk kemajuan dan keberdayaan kehidupan masyarakat tempat lembaga itu berada. Eksistensi lembaga didasarkan pada pemilihan program-program yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat.

Pendidikan berbasis masyarakat biasanya menjadikan pendidikan sebagai metodologi pemberdayaan terhadap berbagai kelompok marginal seperti buruh, kaum miskin kota, petani, nelayan dan lain sebagainya. Pendidikan yang dirancang untuk meningkatkan kesadaran peserta dan memungkinkan mereka untuk menjadi lebih sadar tentang bagaimana pengalaman-pengalaman pribadi individu yang terhubung ke masalah sosial yang lebih besar.

Pendidikan berbasis komunitas juga didasarkan pada teori pendidikan yang dikembangkan oleh sejumlah tokoh pendidikan. Diantaranya Francies Parker (1837-1902), John Dewey (1902), Paulo Freire (1970), Johann Pestalozzi, dan Ivan lllich (1970).

Francies Parker (1837-1902) dalam Hidayat (2013), mengembangkan metode Quincy yang mengedepankan unsur pendidikan progresif seperti kegiatan diskusi kelompok, kombinasi antara seni dan ilmu pengetahuan teknologi (iptek), dan metode


(26)

informal. Parker mempunyai pandangan bahwa kurikulum harus diorientasikan kepada perkembangan menyeluruh anak. sekolah harus mendorong dan menghormati kreativitas anak. Materi pembelajaran berasal dari pengalaman peserta didik yang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak. Parker mengembangkan sekolah bernama Francis W. Parker School yang berbasis pada komunitas dan kewargaan pada tahun 1901 di Chicago.

John Dewey (1902) dalam Hidayat (2013) menyatakan bahwa kurikulum merupakan keseluruhan pengalaman langsung secara sadar yang digunakan oleh sekolah untuk melengkapi dan menyempurnakan kelebihan anak. Dewey menegaskan bahwa pengalaman merupakan nilai yang sangat penting dalam pendidikan. Tentang progresif education Dewey menjelaskan bahwa pertama pendidikan progresif memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi pembelajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhan. Anak berefleksi terhadap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Dari refleksi itu anak akan menggunakannya untuk kehidupan. Kedua progrersif adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan


(27)

pendidikan yang berpusat pada anak (child centered) atau bahan pembelajaran (subject-centered).

Paulo Freire (1970) disunting Mas ud (2007) menyatakan pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri.

Freire melihat bahwa proses pendidikan yang seharusnya bukan memberikan banyak bahan pelajaran kepada anak didik untuk dikuasai dan dihafal. Tetapi memberikan kepada anak didik apa yang sesuai dengan perkembangan dan potensi yang dimiliki oleh anak didik agar tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang merdeka. Merdeka diartikan sebagai kebebasan siswa dalam mengkesplor apa yang mereka inginkan, tidak dibatasi dalam proses pembelajaran. Dengan demikian memperhatikan potensi yang dimiliki oleh anak didik adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan dalam pendidikan yang membebaskan. Proses ini membutuhkan seorang pendidik yang jeli dalam melihat kebutuhan anak didiknya. Dengan demikian seorang pendidik bisa memberikan apa yang menjadi kebutuhan dari anak didik sesuai dengan apa yang dibutuhkannya.

Johann Pestalozzi (1981) dalam Yusufhadi menyatakan bahwa sekolah seharusnya merupakan lembaga yang seperti rumah dimana terdapat rasa aman dan kasih sayang. Oleh karena itu, guru


(28)

merupakan orang yang harus memiliki kasih sayang dan mantap secara emosional, sehingga akan dipercaya dan disayangi oleh siswa.

Ivan lllich (1970) dalam Hidayat (2013), menyatakan bahwa pendidikan harus dipisahkan dari sekolah, dan sebagai gantinya dibentuk jaringan belajar yang terbuka bagi siapa saja dan merupakan wahana bagi warga masyarakat untuk membebaskan diri dari segala bentuk kungkungan. Jaringan berlajar terdiri atas empat komponen yaitu 1) layanan referensi mengenai objek pendidikan; 2) pasangan sebaya; 3) pertukaran keterampilan; 4) jasa referensi mengenai narasumber pendidikan yang luas.

C. Kurikulum Pendidikan Berbasis Masyarakat

Dalam modul inovasi kurikulum UPI, Ayi Suherman mengkaji tentang kurikulum berbasis masyarakat. Dimana bahan, objek kajian kebijakan dan ketetapan kurikulum dilakukan di daerah, disesuaikan dengan kondisi lingkungan alam, sosial, ekonomi, budaya dan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan daerah yang perlu dipelajari siswa di daerah tersebut. Kurikulum pendidikan berbasis masyarakat berguna bagi siswa untuk memungkinkan mereka lebih akrab dengan lingkungan di mana mereka tinggal. Kemungkinan lain yaitu mencegah anak


(29)

budaya dan adat istiadat setempat dan berusaha mencintai lingkungan hidup.

Tujuan dari kurikulum ini adalah:

a. Memperkenalkan siswa terhadap lingkungannya, ikut melestarikan budaya termasuk kajian, keterampilan yang nilai ekonominya tinggi di daerah tersebut;

b. Mengenali siswa kemampuan dan keterampilan yang menjadi bekal hidup mereka di masyarakat, seandainya mereka tidak dapat melajutan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi;

c. Membekali siswa agar bisa hidup mandiri, serta dapat membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Karakteristik kurikulum berbasis masyarakat adalah suatu bentuk kurikulum yang memadukan antara sekolah dan masyarakat dengan cara membawa sekolah ke dalam masyarakat atau membawa masyarakat ke dalam sekolah guna mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Hamalik (2005) dalam tulisan Ayi Suherman modul UPI, merincikan karakteristik kurikulum berbasis masyarakat:

a. Karakteristik pembelajaran pada kurikulum berbasis masyarakat

1. Pembelajaran berorientasi pada masyarakat, masyarakat dengan kegiatan belajar bersumber pada buku teks;


(30)

2. Disiplin kelas berdasarkan tangungjawab bersama bukan berdasarkan paksaan atau kebebasan;

3. Metode mengajar terutama dititikberatkan pada pemecahan masalah untuk memenuhi kebutuhan perorganisasian dan kebutuhan sosial atau kelompok;

4. Bentuk hubungan atau kerjasama sekolah dan masyarakat adalah memperlajari sumber-sumber masyarakat, menggunakan sumber-sumber tersebut, dan memperbaiki masyarakat tersebut; 5. Strategi pembelajaran meliputi karyawisata,

manusia (narasumber), survey masyarakat, berkemah, kerja lapangan, pengabdian masyarakat, kuliah kerja nyata, proyek perbaikan masyarakat dan sekolah pusat masyarakat.

b. Karaktristik materi pembelajaran

Karakteristik materi pembellajaran antara lain:

1. Validitas, telah teruji kebenaran dan kesahihannya;

2. Tingkat kepentingan yang benar-benar diperlukan oleh siswa;

3. Kebermanfaatan, secara akademik non akademik sebagai pengembangan kecakapan hidup (life skill) dan mandiri;

4. Layak dipelajari, tingkat kesulitan dan kelayakan bahan ajar dan tuntutan kondisi masyarakat sekitar;

5. Menarik minat, dapat memotivasi siswa untuk mempelajari lebih lanjut dengan menumbuhkembangkan rasa ingin tahu;

6. Alokasi waktu terkait dengan keleluasan dan kedalaman materi;

7. Sarana dan sumber belajar, dalam arti media atau alat peraga yang berfuungsi memberikan


(31)

Kegiatan siswa, mestinya mempertimbangkan pemberian peluang bagi siswa untuk mencari, mengelolah dan menemukan sendiri pengetahuan di bahwa bimbingan guru. Juga materi pembelajaran dipilih haruslah yang dapat memberikan pembekalan kemampuan/ kecakapan kepada perserta didik untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan mempunyai kecakapan hidup atau dapat hidup mandiri dengan menggunakan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang telah dipelajari.

Guru dalam kurikulum berbasis pada masyarakat berperan sebagai fasilitator, sumber belajar, pembina, konsultan, sebagai mitra kerja yang memfasilitasi siswa dalam pembelajaran.

d. Penilaian dan kurikulum berbasis pada masyarakat Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk mengumpulkan, menganalisis dan menaksirkan data tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. Penilaian ini dilakukan secara terpadu dengan kegiatan belaja mengajar, oleh karena itu disebut penilaian berbasis kelas (PBK). PBK ini dilakukan dengan mengumpulkan kerja siswa (fortofolio), hasil karya (penugasan), kinerja (performance), dan tes tertlis. Guru menilai kompetensi


(32)

dan hasil belajar siswa berdasarkan tingkat pencapaian prestasi siswa selama dan setelah kegiatan belajar mengajar.

Berdasarkan karakteristik kurikulum berbasis masyarakat, maka pada hakekatnya karakteristik tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa karakteristik lain sebagai berikut:

1. Kurikulum bersifat realistik, karena hal-hal yang dipelajari bersumber dari kehidupan yang nyata. Para siswa dapat mengamati kenyataan sesungguhnya dalam masyarakat dan kehidupan masyarakat yang bersifat kompleks.

2. Kurikulum menumbuhkan kerjasama dan integrasi antara sekolah dan masyarakat, karena sekolah masuk dalam masyarakat dan masyarakat masuk dalam lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah sebagai barometer kondisi masyarakat.

3. Kurikulum berbasis masyarakat memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk belajar secara aktif. Para siswa merencanakan sendiri, mencari referensi dan sumber informasi sendiri, melakukan kegiatan proyek sendiri dan memecahkan berbagai masalah sendiri, baik melalui belajar individual maupun belajar secara kelompok. 4. Prosedur pembelajaran memberdayakan semua

metode dan teknik pembelajaran. Seperti ceramah, diskusi kerja kelompok, presentasi, pameran baik belajar di dalam kelas maupun di luar kelas. Strategi pembelajaran ditata sedemikian rupa secara vareatif dalam rangka pembelajaran multi sistem seperti ada tatap muka, tugas mandiri, survai dan observasi. 5. Perkembangan kurikulum berbasis masyarakat


(33)

dalam menghadapi tantangan hidup massa mendatang dalam masyarakat.

Arlen Wayne Etling (1990) dalam tulisan Mustofa file UPI, telah merinci enam dimensi pendidikan nonformal sebagai sistem pendidikan di luar sistem pendidikan formal, yaitu: a) berpusat pada warga belajar/peserta didik (learner centered), b) Kurikulum kafetaria (cafeteria curriculum), c) hubungan horizontal antara peserta didik dengan tutor, d) berhubungan dengan sumberdaya local (reliance on local resources), e) digunakan dengan segera (immediate usefulness), f) level struktur dibangun dari bawah. Masing-masing dimensi tersebut dijelaskan secara berurutan dalam perspektif berikut:

1) Learner centered; dalam pendidikan nonformal, peserta didik (warga belajar) memiliki dan mengontrol proses pembelajaran. Peserta didik menciptakan suasana pembelajaran sendiri dan bukan ditentukan dari atas (tutor, penyelenggara) atau dari luar. Peserta didik juga menerjemahkan tujuan pembelajarannya sendiri atau sampai ikut merumuskannya.

2) Cafeteria curriculum; kurikulum pendidikan nonformal fleksibel dan dapat dinegosiasikan (dirundingkan antara peserta didik dengan tutor). Kurikulum juga ditentukan atau dipilih sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan bukan ditentukan atau


(34)

diminta oleh orang lain dan bahkan mungkin tidak selalu sekuensial.

3) Hubungan horizontal; pendidik (tutor) betindak sebagai fasilitator bukannya guru. Hubungan yang dibangun antara keduanya fasilitator dan peserta didik harus berdasar pada hubungan persahabatan dan informal, dan peserta didik menganggap fasilitator sebagai sumber belajar dan bukan sebagai instruktur. Fasilitator bisa saja datang dari sekolah (formal) tetapi perannya harus berubah ketika masuk pada lingkungan pendidikan nonformal. Fasilitator bisa juga sekelompok pelajar/siswa dari sekolah formal atau dari kelompoknya sendiri yang memiliki kemampuan memimpin serta memiliki beberapa keahlian khusus atau berbagai pengetahuan lainnya yang dapat dijadikan sumber belajar.

4) Reliance on local resources; pengembangan program pendidikan nonformal diutamakan berbasis sumber daya lokal, baik dalam bentuk sumberdaya manusia, sumberdaya material, maupun sumberdaya financial. Oleh karenanya alternative biaya yang murah dalam penyelenggaraan pendidikan nonformal bisa dilakukan jika sumber daya daerah menjadi pilihan penyelenggaraan program.


(35)

dipelajari dengan kebutuhan peserta didik, sehingga hasil belajar dapat cepat dirasakan. Apabila memungkinkan pendidikan nonformal membutuhkan tindakan yang sangat cepat dan apa yang telah dipelajari dapat diaplikasikan secara langsung oleh peserta didik serta dapat meningkatkan tarap hidup yang lebih baik. Hal ini sangat berbeda dengan pendidikan formal, pendidikan formal dipilih oleh masing-masing peserta didik dianggap sebagai bagian dari pembelajaran sepanjang hayat.

6) Struktur dibangun dari bawah; selain kegiatan pembelajaran yang lebih fleksibel. Pendidikan nonformal harus menyiratkan tentang keberagaman struktur. Dari sudut pandang sistem, pendidikan nonformal sebagai pendidikan lanjutan kadang kala satu sama lain tidak terkoordinasi, tidak lengkap, kadangkala beraneka ragam program yang dikembangkan di dalamnya. Namun demikian apabila dilihat dari sudut pandang kebutuhan sasaran (peserta didik), ketidaklengkapan atau keragaman seperti itu tidak menjadi masalah dalam hal pengembangan dan pemenuhan rencana pembelajaran sepanjang hayat. Karena dengan banyak ragam dan jenis program, serta situasi yang berbeda-beda, maka akan lebih banyak pilihan yang tersedia bagi sasaran atau calon peserta didik, di samping itu pula peserta didik lebih besar


(36)

kemungkinan akan menemukan kegiatan yang cocok dan sesuai rencana belajar dan kebutuhan belajarnya.

D. Model pembelajaran

Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk merancang pembelajaran tatap muka di dalam kelas maupun dalam bentuk tutorial, pemberian materi-materi pembelajaran termasuk buku-buku, program media komputer dan studi jangka panjang Rusman (2011). Jadi menurut penulis model pembelajaran adalah bentuk atau pola perencanaan pembelajaran yang digunakan sebagai fasilitas dalam memediasi anak belajar sehingga anak dapat mencapai tujuan pembelajaran.

Rusaman (2011) mengatakan model pembelajaran terdiri atas lima model, yaitu model interaksi sosial, model pemrosesan informasi, model personal, model modifikasi tingkahlaku dan model pembelajaran kontekstual. Dalam hal ini, penulis akan membahas tiga model pembelajaran yang dianggap penulis mendukung tulisan ini. yaitu:

Pertama, model pembelajaran interaksi sosial. Model ini didasari oleh teori belajar Gestlt. Dimana model ini menitikberatkan hubungan yang harmonis


(37)

bermakna bila materi diberikan secara utuh. Aplikasi Teori Gestlt dalam pembelajaran adalah:

1. Pengalaman insight/ Tilikan. Dalam proses pembelajaran, siswa hendaknya memiliki kemampuan insight, yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu objek.

2. Pembelajaran yang bermakna. Kebermaknaan unsur-unsur yang terkait dalam suatu objek akan menunjang pembentukan pemahaman dalam proses pembelajaran. Content yang dipelajari siswa hendaknya memiliki makna yang jelas baik bagi dirinya maupun bagi kehidupannya yang akan datang.

3. Perilaku bertujuan. Pembelajaran terjadi karena siswa memiliki harapan tertentu. Sebab itu pembelajaran akan berhasil bila siswa mengetahui tujuan yang akan dicapai.

4. Prinsip ruang hidup. Materi yang disampaikan hendaknya memiliki kaitan dengan situasi lingkungan di mana siswa berada.

Model perlengkapan interaksi sosial memiliki enam strategi pembelajaran, namun penulis hanya memaparkan tiga strategi yang menurut penulissejalan dengan tulisan ini yaitu:

Pertama kerja kelompok bertujuan untuk mengembangkan keterampilan, berperan serta dalam proses bermasyarakat dengan cara mengembangkan hubungan interpersonal dan skills dalam bidang akademik. Kedua, pertemuan kelas yang bertujuan untuk mengembangkan pemahaman mengenai diri sendiri dan rasa tanggung jawab, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap kelompok. Ketiga, pemecahan


(38)

masalah sosial bertujuan untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah-masalah sosial dengan cara berpikir logis.

Kedua, model pembelajaran personal. Model ini bertitik tolak dari teori Humanistik, yaitu berorientasi pada pengembangan diri individu. Perhatian utamannya pada emosional siswa untuk mengembangkan hubungan yang produktif dengan lingkungannya. Model ini menjadikan perbadi siswa yang mampu membantuk hubungan yang harmonis serta mampu memproses informasi secara efektif.

Menurut teori ini, guru harus berupaya menciptakan kondisi kelas yang kondusif, agar siswa merasa bebas dalam belajar dan mengembangkan dirinya, baik emosional maupun intelektual dan berperan sebagai pendorong.

Suciati dan Prasetya (2001) dalam Asri Budiningsi (2012) mengemukakan acuan langkah-langkah pembelajarannya yaitu: menentukan tujuan-tujuan pembelajaran, menentukan materi pembelajaran, mengidentifikasi kemampuan awal siswa, mengidentifikasi topik-topik pembelajaran yang memungkinkan siswa secara efektif melibatkan diri atau memahami dalam belajar. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran,


(39)

siswa untuk memahami hakekat makna dari pengalaman belajarnya dan membimbing siswa dalam mengaplikasi konsep-konsep baru ke situasi nyata serta mengevaluasi proses dan hasil belajar.

Ketiga, yaitu model pembelajaran kontekstual (CTL). Pendekatan CTL adalah keterikatan setiap materi atau pembelajaran dengan kehidupan nyata. Di mana teoritik dan kemampuan aplikatif yang bersifat prakstis berjalan beriringan. Oleh sebab itu pendekatan CTL dalam mengajar bukan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa dengan menghafal sejumlah konsep-konsep yang sepertinya terlepas dari kehidupan nyata. Akan tetapi, lebih ditekankan pada memfasilitasi siswa untuk mecari kemampuan untuk hidup (life skill) dari apa yang dipelajarinya.

Pembelajaran kontekstual ini memiliki 7 komponan pokok yang harus dikembangkan guru Hamurni (2012) yaitu:

1. Konstruksivisme

Konstuksivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasar pada pengalaman.

2. Inkuiri

Inkuiri berarti proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukan sejumlah fakta hasil dari mengingat, tetapi hasil dari proses menemukan sendiri.


(40)

Balajar pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seorang dalam berpikir.

4. Masyarakat belajar

Dalam pembelajaran kontekstual diharapkan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik melalui kelompok belajar secara formal maupun secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh dari sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok; saling memberi masukan dan berbagi pengalaman.

Masyarakat belajar dalam pendekatan CTL sangat memungkinkan memanfaatkan masyarakat belajar lain di luar kelas.

5. Pemodelan

Modeling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.

6. Refleksi

Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Serta dapat mengambil makna dari setiap kejadian yang dialami.

7. Penilaian nyata

Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak, apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan intelektual maupun mental siswa.


(41)

Penelitian Inra Arfianto (2011) menemukan bahwa pemanfaatan internet telah diterapkan oleh pamong belajar dan siswa SKB. Siswa mulai menggunakan internet secara sehat untuk mencari reverensi tugas, dan bagi para pegewai juga memanfaatkan untuk menunjang pekerjaan mereka.

Hasil penelitian Raharjo dkk (2010) menemukan bahwa kemampuan tutor dalam mengelola pembelajaran berpengaruh terhadap kemampuan peserta didik dalam mencapat standar kompetensi yang diharapkan. Peran tutor dalam pendidikan kesetaraan adalah sangat strategis untuk mencapai tujuan pembelajaran yang efektif.

Penelitian Fahmi (2008) di pendidikan berbasis masyarakat Rumah Pengetahuan Atmartya, Bantul menemukan konsep pendidikan brebasis masyarakat RPA untuk menghilangkan diskriminasi dalam pendidikan, memanfatkan kesempatan memperoleh pendidikan bagi kalangan masyarakat miskin dan mendekatkan proses pendidikan denggan realitas kehidupan. Dua pengertian tentang pendidikan berbasis masyarakat yang berjalan di RPA yaitu pertama pendidikan yang bertumbuh, digerakkan dan dikelola oleh masyarakat dan kedua pendidikan berangkat dari kebutuhan ril masyarakat. Tujuan pendidikan berbasis masyatakat RPA adalah mendaya


(42)

gunakan akses memperoleh pendidikan bagi masyarakat miskin secara gratis, menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bagi masyarakat akan realitas sosial, politik dan ekonomi dengan melibatkan mereka pada proses pendidikan.

Perubahan kurikulum oleh pendidikan non formal dapat didasarkan oleh beberapa pertimbangan. Berdasarkan riset para ahli kurikulum (Fullan 1982, 1987; Miles 1987; Smith & Lovat 1991; Print 1988) dalam Nasir (2009) bahwa terdapat empat tahap dasar proses perubahan kurikulum yaitu pertama kebutuhan, kedua adopsi, ketiga implementasi dan keempat pelembagaan berkesinambungan. Perubahan kurikulum berdasarkan kebutuhan (need), dikarenakan adanya perhatian, ketidakpuasan atau kebutuhan dengan kurikulum yang sudah berjalan. Bisa dilakukan oleh setiap lembaga pendidikan non formal bersumber pada guru, orang tua, siswa, pengurus-pengurus, sistem bidang pendidikan atau didasarkan pada penggabungan sumber-sumber.


(1)

bermakna bila materi diberikan secara utuh. Aplikasi Teori Gestlt dalam pembelajaran adalah:

1. Pengalaman insight/ Tilikan. Dalam proses pembelajaran, siswa hendaknya memiliki kemampuan insight, yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu objek.

2. Pembelajaran yang bermakna. Kebermaknaan unsur-unsur yang terkait dalam suatu objek akan menunjang pembentukan pemahaman dalam proses pembelajaran. Content yang dipelajari siswa hendaknya memiliki makna yang jelas baik bagi dirinya maupun bagi kehidupannya yang akan datang.

3. Perilaku bertujuan. Pembelajaran terjadi karena siswa memiliki harapan tertentu. Sebab itu pembelajaran akan berhasil bila siswa mengetahui tujuan yang akan dicapai.

4. Prinsip ruang hidup. Materi yang disampaikan hendaknya memiliki kaitan dengan situasi lingkungan di mana siswa berada.

Model perlengkapan interaksi sosial memiliki enam strategi pembelajaran, namun penulis hanya memaparkan tiga strategi yang menurut penulissejalan dengan tulisan ini yaitu:

Pertama kerja kelompok bertujuan untuk mengembangkan keterampilan, berperan serta dalam proses bermasyarakat dengan cara mengembangkan hubungan interpersonal dan skills dalam bidang akademik. Kedua, pertemuan kelas yang bertujuan untuk mengembangkan pemahaman mengenai diri sendiri dan rasa tanggung jawab, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap kelompok. Ketiga, pemecahan


(2)

masalah sosial bertujuan untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah-masalah sosial dengan cara berpikir logis.

Kedua, model pembelajaran personal. Model ini bertitik tolak dari teori Humanistik, yaitu berorientasi pada pengembangan diri individu. Perhatian utamannya pada emosional siswa untuk mengembangkan hubungan yang produktif dengan lingkungannya. Model ini menjadikan perbadi siswa yang mampu membantuk hubungan yang harmonis serta mampu memproses informasi secara efektif.

Menurut teori ini, guru harus berupaya menciptakan kondisi kelas yang kondusif, agar siswa merasa bebas dalam belajar dan mengembangkan dirinya, baik emosional maupun intelektual dan berperan sebagai pendorong.

Suciati dan Prasetya (2001) dalam Asri Budiningsi (2012) mengemukakan acuan langkah-langkah pembelajarannya yaitu: menentukan tujuan-tujuan pembelajaran, menentukan materi pembelajaran, mengidentifikasi kemampuan awal siswa, mengidentifikasi topik-topik pembelajaran yang memungkinkan siswa secara efektif melibatkan diri atau memahami dalam belajar. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran, membimbing siswa belajar secara efektif, membimbing


(3)

siswa untuk memahami hakekat makna dari pengalaman belajarnya dan membimbing siswa dalam mengaplikasi konsep-konsep baru ke situasi nyata serta mengevaluasi proses dan hasil belajar.

Ketiga, yaitu model pembelajaran kontekstual (CTL). Pendekatan CTL adalah keterikatan setiap materi atau pembelajaran dengan kehidupan nyata. Di mana teoritik dan kemampuan aplikatif yang bersifat prakstis berjalan beriringan. Oleh sebab itu pendekatan CTL dalam mengajar bukan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa dengan menghafal sejumlah konsep-konsep yang sepertinya terlepas dari kehidupan nyata. Akan tetapi, lebih ditekankan pada memfasilitasi siswa untuk mecari kemampuan untuk hidup (life skill) dari apa yang dipelajarinya.

Pembelajaran kontekstual ini memiliki 7 komponan pokok yang harus dikembangkan guru Hamurni (2012) yaitu:

1. Konstruksivisme

Konstuksivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasar pada pengalaman.

2. Inkuiri

Inkuiri berarti proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukan sejumlah fakta hasil dari mengingat, tetapi hasil dari proses menemukan sendiri.


(4)

Balajar pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seorang dalam berpikir.

4. Masyarakat belajar

Dalam pembelajaran kontekstual diharapkan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik melalui kelompok belajar secara formal maupun secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh dari sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok; saling memberi masukan dan berbagi pengalaman.

Masyarakat belajar dalam pendekatan CTL sangat memungkinkan memanfaatkan masyarakat belajar lain di luar kelas.

5. Pemodelan

Modeling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.

6. Refleksi

Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Serta dapat mengambil makna dari setiap kejadian yang dialami.

7. Penilaian nyata

Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak, apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan intelektual maupun mental siswa.


(5)

Penelitian Inra Arfianto (2011) menemukan bahwa pemanfaatan internet telah diterapkan oleh pamong belajar dan siswa SKB. Siswa mulai menggunakan internet secara sehat untuk mencari reverensi tugas, dan bagi para pegewai juga memanfaatkan untuk menunjang pekerjaan mereka.

Hasil penelitian Raharjo dkk (2010) menemukan bahwa kemampuan tutor dalam mengelola pembelajaran berpengaruh terhadap kemampuan peserta didik dalam mencapat standar kompetensi yang diharapkan. Peran tutor dalam pendidikan kesetaraan adalah sangat strategis untuk mencapai tujuan pembelajaran yang efektif.

Penelitian Fahmi (2008) di pendidikan berbasis masyarakat Rumah Pengetahuan Atmartya, Bantul menemukan konsep pendidikan brebasis masyarakat RPA untuk menghilangkan diskriminasi dalam pendidikan, memanfatkan kesempatan memperoleh pendidikan bagi kalangan masyarakat miskin dan mendekatkan proses pendidikan denggan realitas kehidupan. Dua pengertian tentang pendidikan berbasis masyarakat yang berjalan di RPA yaitu pertama pendidikan yang bertumbuh, digerakkan dan dikelola oleh masyarakat dan kedua pendidikan berangkat dari kebutuhan ril masyarakat. Tujuan pendidikan berbasis masyatakat RPA adalah mendaya


(6)

gunakan akses memperoleh pendidikan bagi masyarakat miskin secara gratis, menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bagi masyarakat akan realitas sosial, politik dan ekonomi dengan melibatkan mereka pada proses pendidikan.

Perubahan kurikulum oleh pendidikan non formal dapat didasarkan oleh beberapa pertimbangan. Berdasarkan riset para ahli kurikulum (Fullan 1982, 1987; Miles 1987; Smith & Lovat 1991; Print 1988) dalam Nasir (2009) bahwa terdapat empat tahap dasar proses perubahan kurikulum yaitu pertama kebutuhan, kedua adopsi, ketiga implementasi dan keempat pelembagaan berkesinambungan. Perubahan kurikulum berdasarkan kebutuhan (need), dikarenakan adanya perhatian, ketidakpuasan atau kebutuhan dengan kurikulum yang sudah berjalan. Bisa dilakukan oleh setiap lembaga pendidikan non formal bersumber pada guru, orang tua, siswa, pengurus-pengurus, sistem bidang pendidikan atau didasarkan pada penggabungan sumber-sumber.