Konstruksi Pemberitaan Satu Tahun Kabinet Kerja di Media Massa Nasional (Analisis Framing Robert Entman Mengenai Pemberitaan Satu Tahun Kabinet Kerja di Majalah Gatra)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Konstruktivis
Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada
dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya
terhadap dunia. R Bailey (dalam Wibowo,2013:36) berpendapat bahwa paradigma
merupakan jendela mental (mental window) seseorang untuk melihat dunia.
Perbedaan antar paradigma penelitian bisa dilihat melalui empat dimensi, yaitu:
1. Epistemologis: yang antara lain menyangkut asumsi mengenai hubungan
antara peneliti dan yang diteliti dalam proses untuk memperoleh
pengetahuan mengenai objek yang diteliti.
2. Ontologis: yang berkaitan dengan asumsi mengenai objek atau realitas
sosial yang diteliti.
3. Metodologis: yang berisi asumsi-asumsi mengenai bagaimana cara
memperoleh pengetahuan mengenai suatu objek pengetahuan.
4. Aksiologis, yang berkaitan dengan posisi value judgements, etika dan
pilihan moral peneliti dalam suatu penelitian.
Paradigma konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri,
oleh karenanya pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas).
Pengetahuan bukanlah gambaran dari kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu

merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan yang ada. Pengetahuan
selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat
ditransfer kepada individu lain yang pasif. Karena itu konstruksi harus dilakukan
sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah sarana
terjadinya konstruksi itu. Pada proses ini seseorang membentuk skema, kategori,
konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan, sehingga
suatu pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan
ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang secara
terus menerus dialaminya (Wibowo, 2013: 198).

22

Universitas Sumatera Utara

23

Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri
seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan
sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan

terhadap pengalaman mereka. Konsep penting perspektif ini adalah bahwa
pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi
tahu.
Paradigma konstruktivis dapat dijelaskan melalui empat dimensi di atas
seperti diutarakan oleh Dedy N Hidayat (dalam Wibowo, 2013: 200), sebagai
berikut:
1. Ontologis, relativisme, realitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran
suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai
relevan oleh pelaku sosial.
2. Epistemologis: Transactionalist/ Subjectivist , pemahaman tentang suatu
realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara
peneliti dengan yang diteliti.
3. Axiologis: Nilai, etika, dan pilihan moral merupakan bagian tak
terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant,
fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial.
Tujuan penelitian lebih kepada rekonstruksi realitas sosial secara dialektis
antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.
4. Metodologis: menekankan empati, dan interaksi dialektis antara peneliti
dengan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti melalui
metode kualitatif seperti participant observation. Kriteria kualitas

penelitian authenticity dan reflectivity: sejauh mana temuan merupakan
refleksi otentik dari realitas yang dihayati oleh para pelaku sosial.
Konstruktivisme mengatakan bahwa kita tidak pernah dapat mengerti
realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Konstruktivisme tidak bertujuan
mengerti realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana kita akan menjadi tahu
sesuatu. Boleh juga dikatakan bahwa ―realitas‖ bagi konstruktivisme tidak pernah
ada secara terpisah dari pengamatnya dan diketahui bukan suatu realitas ―disana‖
yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh yang
menangkapnya.
Pada penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu
realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai
relevan oleh pelaku sosial. Bagi kaum konstruktivis, kebenaran diletakkan pada

Universitas Sumatera Utara

24

viabilitas, yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi.


Artinya, pengetahuan yang kita konstruksikan itu dapat digunakan dalam
menghadapi berbagai macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan
pengetahuan tersebut. Misalnya, pengetahuan kita akan hukum gerak Newton
dianggap benar, karena dengan hukum itu kita dapat memecahkan banyak
persoalan tentang gerak. Dalam kaitannya dengan hal di atas, maka kita dapat
menangkap bahwa pengetahuan kita ada taraf-tarafnya: dari yang cocok atau
berlaku untuk banyak persoalan sampai dengan yang hanya cocok dengan untuk
beberapa persoalan (Elvinaro & Bambang, 2007: 80).
Konstruktivisme

berpendapat

bahwa

semesta

secara

epistimologi


merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang
dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material.
Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan
bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman
manusia secara terorganisasi dan bermakna. Keberagaman pola konseptual atau
kognitif merupakan hasil lingkungan historis, kultural, dan personal yang digali
secara terus-menerus (Elvinaro & Bambang, 2007: 152).
Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat
dirangkum sebagai berikut, menurut Von Glasersferld dan Kitchener (dalam
Elvinaro dan Bambang, 2007:155):
1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka,
tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2. Subjek membentuk skema kognitif, konsep, dan struktur yang perlu untuk
pengetahuan.
3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur
konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam
berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
2.2 Media Massa Dilihat dari Paradigma Konstruksionis
Media (pers) sering juga disebut sebagai the fourth estate (kekuatan
keempat) dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Hal ini terutama

disebabkan oleh suatu persepsi tentang peran yang dapat dimainkan oleh media
dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial-ekonomi dan politik
masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

25

Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran
umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai
institusi yang dapat membentuk opini publik, antara lain, karena media juga dapat
berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan
suatu kepentingan citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks
kehidupan yang lebih empiris.
Di balik itu, terdapat peluang bagi media dan wartawan untuk menentukan
pilihan yaitu memainkan peran pemeran-serta (partisipan) aktif yang memihak
atau menjalankan peran netral dalam masyarakat. Cohen (dalam McQuail, 1996:
145-146) menyebutkan adanya perbedaan antara peran pemeran-serta dengan
peran netral. Dia memulai dengan mengemukakan dua konsep peran reporter.
Pertama konsep ―reporter netral‖ yang mengacu pada gagasan pers sebagai

pemberi berita, penafsir, dan alat pemerintah (dalam hal ini pers menempatkan
diri sebagai saluran atau cermin). Kedua , konsep peran ―pemeran-serta‖ yang
dikenal dengan istilah the traditional Fourth Estate dalam pengertian pers sebagai
wakil publik, pengkritik pemerintah, pendukung kebijakan, dan pembuat
kebijakan.
Berdasarkan kemungkinan yang dapat diperankan itu, media massa
merupakan sebuah kekuatan raksasa yang sangat diperhitungkan. Media dalam
posisinya sebagai institusi informasi, dapat pula dipandang sebagai faktor yang
paling menentukan dalam proses perubahan sosial-budaya politik. Oleh karena
itulah dalam konteks media massa sebagai institusi informasi, Karl Deutsch
(dalam Sobur, 2004:31) menyebutnya sebagai urat nadi pemerintah (the nerves of
government). Hanya mereka yang mempunyai akses kepada informasi, kira-kira

demikian Deutsch beragumentasi, yang bakal menguasai percaturan kekuasaan.
Atau paling tidak, urat nadi pemerintahan itu sebenarnya berada di jaring-jaring
informasi.
Apa persisnya yang dipikirkan orang tentang media? Untuk sebagian
orang, media massa dianggap hanya berupaya menemukan kebenaran dan
kenyataan itu. Lalu memberitakan kepada publik. Media massa tampaknya tidak
lebih dari


―alat komunikasi‖ yang netral dan kosong dalam dirinya sendiri.

Kemudian bagi sebagian orang lagi, media massa tidak pernah tidak akan lebih

Universitas Sumatera Utara

26

banyak memberikan kebenaran atau kenyataan ―apa adanya.‖ Media massa tidak
menunggu

peristiwa

lalu

mengejar,

memahami


kebenarannya

dan

memberitakannya kepada publik. Ia mendahului semua itu. Ia menciptakan
peristiwa. Menafsirkan dan mengarahkan terbentuknya kebenaran. Tidak selalu
untuk melayani kepentingan pihak-pihak tertentu secara setia dan terkontrol.
Pada sisi lainnya, media ketika memproses berita memiliki kecenderungan
bias dalam memprosesnya. Seorang editor senior, yang menyampaikan pidato di
seminar mengatakan:
―Kami yang berada di pers melakukan beberapa kesalahan mengerikan,
sebagian melalui kebodohan, sebagian melalui tindakan terburu-buru, dan
sebagian, kadang-kadang saya beranggapan, melalui keburukan yang jelas.
Ini bukanlah pekerjaan mudah, tetapi sangat dipermudah oleh koporasi...
Saya kira bisnis telah memperoleh jalan yang panjang untuk dijalani dalam
berurusan dengan pers, meskipun ada usaha sangat besar untuk
mengembangkan sistem hubungan masyarakat‖ (Simon dan Califano,
dalam Sobur,2004:33).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa media kerap
kali bias dalam memilih informasi untuk dipublikasikan atau disiarkan dan dalam

pengolahan informasi mereka. Bias, menurut Macnara (dalam Sobur,2004: 35),
terjadi karena berbagai alasan. Kadang-kadang terjadi dengan sengaja karena
wartawan atau editor memproyeksikan pandangan pribadi mereka dalam cerita.
Tuntutan media yang menghimpit akan kecepatan dan rasa haus yang tidak pernah
terpuaskan terhadap berita pada batas waktu yang sedikit. Kadang-kadang terjadi
karena standar pelatihan dan pendidikan yang kurang memadai di antara reporter.
Bias juga terjadi secara tidak sengaja. Terjadi melalui kesalahan dibawah tekanan
batas waktu, informasi salah yang disampaikan kepada reporter dan kesalahan
manusia.
Paradigma positivis melihat komunikasi sebagai pengiriman pesan.
Komunikasi disini dilihat sebagai suatu proses bagaimana pesan terkirim dari
pengirim ke penerima dan proses yang terjadi dalam pengiriman tersebut. Proses
tersebut dilihat secara linier dari pengirim ke penerima melewati saluran. Model
transmisi memetakan atau melihat komunikasi sebagai sebuah jalan dan
mengasumsikan bahwa informasi, pengertian, dan pikiran dikirimkan. Secara
umum model komunikasi ini menyertakan pengirim (sender ), penerima, dan

Universitas Sumatera Utara

27


medium melalui mana pesan-pesan dikirimkan. Gangguan (noise) adalah sesuatu
yang terjadi di antara pengiriman pesan tersebut. Dalam komunikasi media surat
kabar misalnya, medium adalah percetkan yang menghasilkan surat kabar,
pengirim (sender ) adalah wartawan atau editor, penerima adalah siapa pun yang
membaca berita. Sedangkan gangguan (noise) terjadi di antara proses tersebut,
bisa

karena

tulisan

yang

buram,

tak

bisa

dibaca,

dan

sebagainya

(Eriyanto,2002:44).
Apapun bentuk dan modelnya, paradigma positivis ini mempunyai
beberapa asumsi. Model ini menggambarkan komunikasi sebagai sebuah proses.
Hal yang menjadi titik tolak dari paradigma ini adalah bagaimana pesan itu
diproduksi, bagaimana prosesnya, dan bagaimana pesan itu disebarluaskan kepada
penerima. Komunikasi dilihat seperti sebuah seri, transmisi, sehingga ada
pengirim yang mengirimkan pesan kepada penerima, kemudian penerima akan
merespon balik dan diterima kembali oleh pengirim, dan begitu seterusnya.
Asumsi dari pendekatan ini adalah adanya hubungan satu arah dari media kepada
khalayak. Peranan dalam menyampaikan pesan digambarkan sebagai yang satu
aktif, dan yang lain pasif-pada umumnya sumber digambarkan aktif, dan khalayak
pasif (Eriyanto, 2002: 45-46).
Berbeda dari paradigma positivis yang melihat komunikasi sebagai proses
penyebaran, paradigma konstruksionis (produksi dan pertukaran makna) melihat
komunikasi

sebagai

produksi

dan pertukaran makna.

Fokus

perhatian

konstruksionis bukan bagaimana seseorang mengirimkan pesan, melainkan
bagaimana

masing-masing

pihak

dalam

lalu

lintas

komunikasi

saling

memproduksi dan mempertukarkan makna. Di sini diandaikan tidak ada pesan
dalam arti yang statis yang saling dipertukarkan dan disebarkan. Pesan itu sendiri
dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang
berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial tempat mereka berada.
Fokus dari pendekatan ini adalah bagaimana pesan politik dibuat/ diciptakan oleh
komunikator dan bagaimana pesan itu secara aktif ditafsirkan oleh individu
sebagai penerima.
Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis. Pertama,
pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses

Universitas Sumatera Utara

28

bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukanlah
sesuatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam satu pesan. Makna
adalah suatu proses yang aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan.
Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai
proses

yang dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa

bagaimana

pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa
bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang
bukan sebagai mirror of reality yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam
menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan
tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator
dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan,
memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks
pengalaman, pengetahuannya sendiri (Eriyanto, 2002:48).
Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana
media, wartawan, dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan diuraikan satu per
satu di bawah ini. Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum
konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan
oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang
tertentu dari wartawan. Di sini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena
realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan berbeda-beda, tergantung
pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang
mempunyai pandangan berbeda. Fakta atau realitas pada dasarnya dikonstruksi.
Manusia membentuk dunia mereka sendiri (Eriyanto, 2002:22).
Media adalah agen konstruksi. Pandangan konstruksionis mempunyai
posisi yang berbeda dibandingkan positivis dalam menilai media. Dalam
pandagan positivis, media dilihat sebagai saluran. Media adalah sarana bagaimana
pesan disebarkan dari komunikator ke penerima (khalayak). Media di sini dilihat
murni sebagai saluran, tempat bagaimana transaksi pesan dari semua pihak yang
terlibat dalam berita. Media dilihat sebagai sarana yang netral. Dalam padangan
konstruksionis, media dilihat sebaliknya. Media bukanlah sekedar saluran yang
bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan,
bias, dan pemihakannya. Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial

Universitas Sumatera Utara

29

yang mendefinisikan realitas. Pandangan semacam ini menolak argumen yang
menyatakan media seolah-olah sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kit
abaca bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, melainkan juga
konstruksi dari media itu sendiri.
Sifat dan fakta bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan
peristiwa-peristiwa,

maka

kesibukan

utama

media

massa

adalah

mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan disiarkan. Media menyusun
realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana
yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan
realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna.
Dapat disimpulkan seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah
dikonstruksikan (Constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna
(Hamad,2014:11-12).
Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari realitas.
Dalam pandangan positivis, berita adalah informasi. Ia dihadirkan kepada
khalayak sebagai representasi dari kenyataan. Kenyataan itu ditulis kembali dan
ditransformasikan lewat berita, Tetapi dalam pandangan konstruksionis, berita itu
ibaratnya sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, melainkan potret dari
arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa.
Menurut kaum konstruksionis berita adalah hasil dari konstruksi sosial yang
melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media.
Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu
dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaaan selalu melibatkan nilai-nilai
tertentusehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas
yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena cara melihat yang
berbeda (Eriyanto,2002:28).
Berita bersifat subjektif atau konstruksi atas realitas. Pandangan
konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas
jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah
standar yang rigid, seperti halnya positivis. Hal ini karena berita adalah produk
dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemakanaan seseorang atas suatu
realitas bisa jadi berbdea dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan

Universitas Sumatera Utara

30

―realitas‖ yang berbeda pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standar tidak bisa
dipakai (Eriyanto,2002:30).
Pada dasarnya berita merupakan laporan dari peristiwa. Persitiwa di sini
adalah realitas atau fakta yang diliput oleh wartawan dan pada gilirannya akan
dilaporkan secara terbuka melalui media massa. Dengan demikian, dapat pula
dikatakan secara sederhana, bahwa dalam suatu proses jurnalisme, upaya
menceritakan kembali suasana atau keadaan, orang, dan benda, bahkan pendapat
yang terdapat dalam sebuah peristiwa merupakan upaya untuk mengkonstruksikan
realita (Birowo,2004:168).
Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas. Dalam pandangan
konstruksionis, wartawan juga dipandang sebagai aktor atau agen konstruksi.
Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefinisikan
peristiwa. Sebagai aktor sosial, warrtawan turut mendefinisikan apa yang terjadi,
dan

secara

aktif

membentuk

peristiwa

dalam

pemahaman

mereka

(Eriyanto,2002:32).
Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang
integral dalam produksi berita. Aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak
mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang
meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal
berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu adalah bagian yang
integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas.
Wartawan di sini bukan hanya pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi
partisipan dari keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Karena
fungsinya tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas,
melainkan mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang
diamati (Eriyanto,2002:36).
Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Pandangan
positivis melihat berita sebagai sesuatu yang objektif. Konsekuensinya, apa yang
diterima oleh khalayak pembaca harusnya sama dengan apa yang disampaikan
oleh pembuat berita. Kalau wartawan menulis berita tentang pemerkosaan, pesan
yang diterima oleh khalayak seharusnya juga berita mengenai pemerkosaan.
Intinya, berita dalam paradigma ini tidak ubahnya seperti sebuah pesan yang

Universitas Sumatera Utara

31

ditransmisikan dan dikirimkan kepada pembaca. Dengan pandangan semacam ini,
pembuat berita dilihat sebagai pihak yang aktif, sementara pembaca dilihat
sebagai yang pasif.
Sementara itu pandangan konstruksionis mempunyai pandangan yang
berbeda. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif. Ia juga sebagai subjek
yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Menurut Stuart Hall (dalam
Eriyanto, 2001:41), makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan atau berita
yang dibaca oleh pembaca. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti
(polisemi). Makna lebih tepat dipahami bukan sebagai suatu transmisi
(penyebaran) dari pembuat berita kepada pembaca. Ia lebih tepat dipahami
sebagai suatu prakti penandaan. Karenanya setiap orang bisa mempunyai
pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama.
Media massa pada dasarnya merupakan media diskusi publik tentang suatu
masalah yang akan melibatkan tiga pihak, yakni wartawan (manajemen
redaksional), sumber berita, dan khalayak. Ketiga pihak ini mendasarkan
keterlibatannya pada peran sosial masing – masing dan hubungan di antara
mereka terbentuk melalui operasionalisasi wacana yang mereka konstruksi.
Masing – masing pihak menyajikan perspektif untuk memberikan pemaknaan
terhadap suatu persoalan agar diterima oleh khalayak. Dengan demikian media
menjadi arena kritis dari pertarungan dan gerakan sosial, media ditempatkan pada
peran menentukan arti penting isu dihadapan khalayak (Birowo,2004:167).

2.3 Faktor-Faktor yang Membentuk Isi Berita
Apa yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh
yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (dalam Agus,2001: 7),
meringkas berbagai fakor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam
ruang pemberitaan. Mereka mengidentifikasi ada lima faktor yang mempengaruhi
kebijakan redaksi.
2.3.1 Individual
Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola
media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari
pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada

Universitas Sumatera Utara

32

khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, sedikit
banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Kenapa media tertentu
cenderung memarjinalkan wanita atau kenapa agama Islam di Maluku
digambarkan secara buruk oleh media tertentu? Kalau pendekatan individual yang
diambil, penjelasannya adalah karena aspek personalitas dari wartawan akan
mempengaruhi pemberitaan (Agus,2001: 7).
Aspek

personal

tersebut

secara

hipotetik

mempengaruhi

skema

pemahaman pengelola media. Wartawan yang beragama Islam secara hipotetik
lebih berempati dengan kondisi warga Islam di Maluku atau Poso dibandingkan
dengan kelompok Kristen. Atau wartawan lokal di Kalimantan Barat akan lebih
berempati dengan warga Dayak dibandingkan dengan warga pendatang Madura
ketika memberitakan konflik etnis di kalimantan barat. Selain personalitas, level
individu ini juga berhubungan dengan segi profesionalisme dari pengelola media.
Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik
sedikit banyak bisa mempengaruhi pemberitaan media. Wartawan yang punya
orientasi politik tertentu, akan memberitakan secara berbeda terhadap partai
politik yang kebetulan menjadi idolanya (Agus,2001: 7).
2.3.2 Rutinitas Media (media routine )
Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan
berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang
disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita.
Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur
standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga
berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah
peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya,
melalui proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses
cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Sebagai mekanisme yang
menjelaskan

bagaimana

berita

diproduksi,

rutinitas

media

karenanya

mempengaruhi bagaimana wujud akhir dari sebuah berita (Agus,2001: 8)
Sebut saja misalnya dalam pemberitaan media tentang kerusuhan Poso.
Kalau penjelasan rutinitas media yang digunakan, penjelasan diletakkan pada
bagaimana mekanisme pembentukan berita kerusuhan Poso itu didapat oleh

Universitas Sumatera Utara

33

media. Dengan alasan teknis atau geografis, sebuah media mungkin tidak
mengikuti perkembangan kerusuhan Poso secara tuntas atau secara langsung.
Mereka sering kali membuat berita tentang kerusuhan semacam itu hanya
berdasarkan press release atau keterangan pers yang dibuat oleh sumber-sumber
resmi pemerintah (Agus,2001: 8).
2.3.3 Organisasi
Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara
hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan
orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian
kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam
organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam
organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran,
bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya (Agus,2001: 9)
Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Merek mempunyai
tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk
mewujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya menginginkan agar berita
tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang
ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita,
selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi
sendiri. Berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan
bersikap, dan bagaimana juga seharusnya perisitiwa disajikan dalam berita
(Agus,2001: 9).
2.3.4 Ekstramedia
Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun
berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak
dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang
termasuk dalam lingkungan di luar media.
Pertama, sumber berita. Sumber berita disini dipandang bukanlah sebagai
pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya, Ia juga mempunyai
kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan: memenangkan
opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya.
Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu saja

Universitas Sumatera Utara

34

memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan mengembargo informasi yang tidak
baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari oleh
media. Pengelola media tidak sadar, lewat teknik yang canggih, sebetulnya
orientasi pemberitaan telah diarahkan untuk menguntungkan sumber berita. Media
lalu, secara tidak sadar, telah menjadi corong dari sumber berita untuk
menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber berita tersebut (Agus,2001: 10)
Kedua, sumber penghasilan media. Sumber penghasilan media ini bisa
berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan atau pembeli media. Media harus
survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan

sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak
memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak
pengikalan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya kepada media.
Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema
tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus-menerus
diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang
disenangi oleh khalayak (Agus,2001: 11)
Ketiga, pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis.
Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan
ekternal media. Pada negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi
faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Ini karena
dalam negara otoriter, negara menentukan apa saja yang tidak boleh dan apa yang
boleh diberitakan. Pemerintah dalam banyak hal memegang lisensi penerbitan,
kalau media ingin tetap dan bisa terbit ia harus mengikuti batas-batas yang telah
ditentukan oleh pemerintah tersebut. Berita yang berhubungan dengan pemerintah
terutama berita buruk akan diembargo atau dibatalkan, daripada nasib media
bersangkutan akan mati. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang
demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada,
justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis
(Agus,2001:12).
Keempat, level ideologi. Ideologi disini diartikan sebagai kerangka
berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat
realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen

Universitas Sumatera Utara

35

sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan
dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level
ideologi akan dilihat lebih kepada yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana
media menentukan (Agus,2001: 20).

2.4 Berita
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan ―berita‖ adalah cerita
atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat; kabar. Dapat
diartikan bahwa berita adalah keterangan mengenai satu kejadian tertentu dan
memiliki unsur-unsur berita di dalamnya dan siapa saja dapat menulis berita.
Berita di surat kabar adalah hasil kerja jurnalistik seorang wartawan yang
dituangkan lewat kata – kata yang dimuat di surat kabar. Berita berasal dari
peristiwa yang terjadi di dunia, namun tidak semua peristiwa layak disajikan
berita. Sebuah peristiwa bisa menjadi berita apabila peristiwa tersebut memiliki
nilai – nilai berita. Nilai – nilai berita tersebut yaitu dekat dengan khalayak,
berpengaruh terhadap kehidupan orang banyak, menyangkut angka statistik yang
besar, menyangkut orang – orang yang terkenal, aktual, dan menyangkut hal – hal
yang luar biasa, atau kejadian orang yang menyentuh perasaan (membuat orang
terharu) (Winarko,2000:9-16).
Berita merupakan komponen yang membedakan sesuatu yang disebut
surat kabar dari bentuk lain media cetak dan sering kali mendapatkan status
khusus atau perlindungan di dalam masyarakat yang memungkinkannya untuk
mengungkapkan opini atas nama publik. Institusi media tidak ada tanpa berita,
dan berita tidak ada tanpa institusi media. Tidak seperti hampir semua bentuk
kepengarangan atau penciptaan budaya, pembuatan berita tidak dapat dilakukan
secara pribadi atau sendiri-sendiri. Lembaga ini menyediakan baik alat untuk
distribusi maupun pengaturan penerimaan, ditambah dengan jaminan kredibilitas
dan otoritas (McQuail, 2011:120).
Satu berita yang ditampilkan pada media massa tidak terjadi begitu saja,
namun mengalami proses pembuatan dari peristiwa hingga dapat dibaca.
Perjalanan ―calon‖ berita diawali dari wartawan menjumpai sebuah peristiwa yang
menurutnya layak jadi berita, kemudian dia mengumpulkan fakta – fakta di

Universitas Sumatera Utara

36

lapangan, dengan pengamatan, wawancara dengan pelaku peristiwa, saksi mata,
dan pihak – pihak yang ada hubungannya dengan peristiwa itu. Di kantor,
wartawan memilih beberapa fakta dan menyisihkan fakta lainnya yang dituangkan
dalam berita yang ditulisnya. Tulisan wartawan diserahkan kepada redaktur, yang
akan menyeleksi setiap berita untuk dimuat di media. Setelah itu, redaktur akan
memutuskan peletakan berita tersebut dan kemudian disampaikan kepada
pembaca (Winarko, 2000:37-39).
Pada manajemen redaksional dari suatu institusi surat kabar, tidak semua
dari realitas yang akan, sedang, dan telah di konstruksikan (constructed reality)
layak hadir di halaman surat kabar. Banyaknya realitas yang terjadi dan dapat
diliput untuk menjadi berita di satu sisi, namun kapasitas halaman surat kabar
yang terbatas dalam setiap surat kabar menjadi salah satu alasan terjadinya seleksi
atas berita – berita tersebut. Berdasarkan hal tersebut, untuk ditampilkan pada
halaman surat kabar, berita harus memenuhi kriteria dan persyaratan – persyaratan
tertentu (Birowo, 2004:170)
Kriteria atau persyaratan tersebut tidak hanya terjadi pada tahap siding
meja redaksi saja, namun kriteria atau persyaratan ini sudah ada atau dimulai sejak
tahap awal proses pengkonstruksian realitas, yakni ketika sebuah peristiwa dipilih
dan diliput oleh wartawan. Apabila dirangkum, ada dua kriteria atau persyaratan
yang merupakan panduan bagi wartawan dalam melakukan proses konstruksi
realitas, yakni:
Pertama, kriteria atau persyaratan teknis. Kriteria ini merupakan
persyaratan yang berkaitan dengan bagaimana menulis laporan jurnalisme yang
baik dan benar sehingga layak untuk dimuat pada halaman surat kabar. Misalnya
sebuah laporan jurnalisme sebaiknya memiliki kelengkapan 5W + 1H (what, who,
where, when, why, dan how). Kemudian terkait dengan jenis berita, untuk

langsung (straight news atau hard news), laporan jurnalisme disusun dengan
metode piramida terbalik. Sedangkan untuk jenis berita soft news dan features,
laporan jurnalismenya biasanya akan disusun dengan metode piramida tegak.
Konstruksi realitas yang disusun oleh wartawan untuk menjadi calon berita
diharapkan memiliki nilai berita (news value ) yakni penting dan menarik
(Birowo,2004:171).

Universitas Sumatera Utara

37

Kedua, kriteria atau persyaratan yang berkait dengan kualitas atau bobot
produk berita. Kualitas atau bobot produk berita ini berarti produk jurnalisme
surat kabar atau majalah hendaknya bersikap objektif (Birowo,2004:171).
Walter Lippmann (dalam McQuail, 2011:120), mendefinisikan sifat berita
berdasarkan pengalamannya yaitu berfokus pada proses pengumpulan berita yang
ia lihat sebagai pencarian ‗sinyal objektif yang jelas melambangkan peristiwa‘.
Sehingga, ‗berita bukanlah cerminan dari kondisi sosial, tetapi pelaporan dari
aspek yang menonjol‘.
Warren Breed (dalam McQuail, 2011:121) mendaftar sejumlah istilah
yang menggambarkan berita: ‗dapat dijual‘, ‗dangkal‘, ‗sederhana‘, ‗objektif‘,
‗berpusat pada tindakan‘, ‗menarik‘ (berbeda dari penting), ‗diberikan gaya
tertentu‘, dan ‗berhati-hati‘. Ia juga menyatakan dimensi untuk meletakkan
produk berita: berita versus kebenaran; kesulitan versus rutinitas (dalam hal
pengumpulan berita); dan informasi versus ‗human interest‘.

2.5 Analisis Framing
Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam
kategori penelitian konstruksionis. Paradigma ini memandang realitas kehidupan
sosial bukanlah realitas yang natural, melainkan hasil dari konstruksi. Karenanya
konsentrasi

analisis

pada

paradigma

konstruksionis

adalah

menemukan

bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa
konstruksi itu dibentuk. Pada kajian studi komunikasi, paradigma konstruksionis
ini seringkali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering
dilawankan dengan paradigma positivis (Eriyanto, 2002:43).
Teknik analisis bingkai adalah suatu teknik analisis data dengan melihat
dan menemukan frame atau media package yaitu suatu perspektif untuk melihat
sebuah perspektif yang digunakan untuk pengamatan, analisis, dan interpretasi
terhadap sebuah realitas sosial masyarakat. Seperti umpanya frame : reformasi,
terorisme, pembangunan, kondisi rawan, pahlawan, perlawanan, arus bawah, dan
semacamnya

adalah

bentuk

frame

yang

sering

ditemui

dimasyarakat

(Bungin,2007:159).

Universitas Sumatera Utara

38

Goffman (dalam Baran dan Denis, 2010:393) menggunakan istilah frame
(kerangka) untuk merujuk pada seperangkat pengharapan tertentu yang digunakan
untuk memaknai situasi sosial dalam keadaan tertentu.
Framing adalah cara untuk memberikan penafsiran keseluruhan untuk

mengisolasi fakta-fakta. Hampir tidak dapat dihindari oleh jurnalis untuk
melakukan ini dan dengan demikian memisahkannya dari ‗objektivitas‘ yang
murni dan memperkenalkan beberapa bias (yang tidak disengaja). Ketika
informasi dipasok kepada media oleh beberapa sumber (sering kali), maka
informasi ini kemudian muncul dengan kerangka yang terbentuk yang sesuai
dengan tujuan sumber dan tidak dapat murni objektif (McQuail, 2011:124).
Pada perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah
cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati
strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih
bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring
interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain framing adalah
pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang
digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menuliskan berita. Cara
pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta yang diambil, bagian
mana yang ditonjolkan dan dihilangkan serta hendak dibawa ke mana berita
tersebut (Eriyanto, 2002:79).
Todd Gitlin (dalam Eriyanto, 2002:79) mengatakan bahwa framing adalah
sebuah strategi bagaimana realitas/ dunia dibentuk dan disederhanakan
sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwaperistiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik
perhatian khalayak pembaca. Frame adalah prinsip dari seleksi, penekanan, dan
presentasi dari realitas. Kemudian Gitlin mengatakan bahwa frame media pada
dasarnya tidak berbeda jauh dengan frame dalam pengertian sehari-hari yang
sering kita lakukan. Setiap hari jurnalis berhadapan dengan beragam peristiwa
dengan berbagai pandangan kompleksitasnya. Lewat frame, jurnalis mengemas
peristiwa yang kompleks itu menjadi peristiwa yang dapat dipahami, dengan
perspektif tertentu dan lebih menarik perhatian khalayak. Laporan berita yang
akhirnya ditulis oleh wartawan pada akhirnya menampilkan apa yang dianggap

Universitas Sumatera Utara

39

penting, apa yang perlu ditonjolkan, dan apa yang perlu disampaikan oleh
wartawan kepada khalayak pembaca.
Frame media dengan demikian adalah bentuk yang muncul dari pikiran

(kognisi), penafsiran, dan penyajian dari seleksi, penekanan, dan pengucilan
dengan menggunakan simbol-simbol yang dilakukan secara teratur dalam wacana
yang terorganisir, baik dalam bentuk verbal maupun visual (Eriyanto, 2002:80).
Ada dua aspek penting dalam framing. Pertama , memilih fakta/realitas.
Proses memilih fakta ini didasarkan kepada asumsi, wartawan tidak mungkin
melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua
kemungkinan, yaitu apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded).
Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih
fakta tertentu dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan
melupakan aspek lainnya. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta
tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media
menekankan aspek atau peristiwa yang lain (Eriyanto, 2002:81).
Kedua , menuliskan fakta. Proses iniberhubungan dengan bagaimana fakta

yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Bagaimana fakta yang sudah dipilih
tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu penempatan yang
menyolok, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat
penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa
yang diberitakan, asosiasi terhadap symbol budaya, generalisasi simplifikasi dan
sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas.
Prinsip analisis framing menyatakan bahwa terjadi proses seleksi dan penajaman
terhadap dimensi-dimensi tertentu dari fakta yang terberitakan dalam media. Fakta
tidak ditampilkan secara apa adanya, namun diberi bingkai (frame) sehingga
menghasilkan konstruksi makna yang spesifik (Eriyanto, 2002:81).
Jadi, analisis framing merupakan analisis untuk mengkaji pembingkaian
realitas yang dilakukan media. Pembingkaian tersebut merupakan proses
konstruksi yang artinya realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan cara dan
makna tertentu. Framing digunakan media untuk menonjolkan atau memberi
penekanan aspek tertentu sesuai kepentingan media.

Universitas Sumatera Utara

40

Analisis framing dalam penelitian komunikasi massa dapat ditempatkan di
satu tempat antara analisis wacana dan analisis isi, biasanya menggabungkan
antara metode kualitatif dan kuantitatif (Neundorf, dalam Jansen,2010:27).
“Framing analysis. In mass communication research, framing analysis
can be located somewhere in between discourse analysis and content
analysis, usually combining qualitative and quantitative methods
(Neundorf, 2002)”
Penelitian ini menggunakan model analisis framing Robert Entman dan
akan dikombinasikan antara metode kualitatif dan metode kuantitatif. Konsep
framing oleh Entman digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan

menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang
sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu
tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Framing
memberi tekanan pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana
yang ditonjolkan atau dianggap penting oleh pembuat teks. Kata penonjolan itu
sendiri dapat didefinisikan membuat informasi lebih terlihat jelas, lebih bermakna
atau lebih mudah diingat oleh khalayak.
Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu: seleksi isu dan
penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas. Seleksi isu berkaitan
dengan pemilihan fakta, sedangkan penonjolan aspek-aspek tertentu dari isu
berkaitan dengan penulisan fakta. Kedua faktor ini dapat lebih mempertajam
framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan

isi beritanya. Perspektif wartawanlah yang akan menentukan fakta yang
dipilihnya, ditonjolkannya, dan dibuangnya. Dibalik semua ini, pengambilan
keputusan mengenai sisi mana yang ditonjolkan tentu melibatkan nilai dan
ideologi para wartawan yang terlibat dalam proses produksi sebuah berita
(Sobur,2004:163).
Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna,
lebih menarik, berarti atau lebih diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan
secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk
diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas
(Sobur,2004:164).

Universitas Sumatera Utara

41

Frame berita timbul dalam dua level, yaitu:

1. Konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi dan sebagai
karakteristik dari teks berita.
2. Perangkat spesifik dari narasi berita yang dipakai untuk membangun pengertian
mengenai peristiwa. Frame berita dibentuk dari kata kunci, metafora, konsep,
simbol, citra yang ada dalam narasi berita. Karenanya, frame dapat dideteksi
dan diselidiki dari kata, citra dan gambar tertentu yang memberikan makna
tertentu dari teks berita.
Entman mengkonsepsikan dua dimensi besar tersebut dalam sebuah
perangkat framing, yaitu, (dalam Eriyanto, 2002: 221-227):
a. Defining Problems atau definisi masalah adalah elemen pertama kali
dapat kita lihat dalam analisis framing. Elemen ini merupakan master
frame atau bingkai paling utama. Di tahapan inilah awal berita

dikonstruksi sehingga dalam sebuah berita diteliti apakah yang menjadi
pokok masalah terhadap sebuah isu, wacana atau peristiwa yang diliput,
diberitakan dan peristiwa dipahami oleh wartawan.
b. Diagnose Causes atau memperkirakan sumber masalah adalah
bagaimana sebuah media membungkus siapakah aktor atau pelaku yang
menyebabkan sebuah masalah timbul. Di sini penyebab bisa berarti apa
(what), tetapi bisa juga aspek siapa (who). Bagaimana peristiwa
dipahami tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai
sumber masalah. Karena itu, masalah yang dipahami secara berbeda,
penyebab masalah secara tidak langsung juga akan dipahami secara
berbeda pula.
c. Make Moral Judgement/Evaluation atau keputusan moral adalah elemen
framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberikan argumen

atas pendefinisian masalah yang telah dibuat, ketika masalah dan
penyebab masalah telah ditentukan, maka dibutuhkan argumentasi yang
kuat untuk mendukung gagasan tersebut.
d. Treatment Recommendation atau menekankan penyelesaian merupakan
elemen framing yang dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh
wartawan. Sebuah pesan moral baik secara eksplisit atau implisit
bagaimana seharusnya sebuah masalah atau peristiwa itu diselesaikan,
ditanggulangi, diantisipasi dan dihindari.
Universitas Sumatera Utara