Konstruksi Pemberitaan Tentang Ahmadiyah (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Ahmadiyah Pada Majalah Gatra Edisi Bulan Juli s/d Agustus 2005)

(1)

KONSTRUKSI PEMBERITAAN TENTANG

AHMADIYAH

(ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN

AHMADIYAH PADA MAJALAH

GATRA

EDISI BULAN JULI s/d AGUSTUS 2005)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.i)

Oleh

Mukhammad Imam Santoso

NIM: 103051028588

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429H/2008


(2)

KONSTRUKSI PEMBERITAAN TENTANG

AHMADIYAH

(ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN

AHMADIYAH PADA MAJALAH

GATRA

EDISI BULAN JULI s/d AGUSTUS 2005)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.i)

Oleh

Mukhammad Imam Santoso

NIM: 103051028588

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429H/2008


(3)

KONSTRUKSI PEMBERITAAN TENTANG

AHMADIYAH

(ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN

AHMADIYAH PADA MAJALAH

GATRA

EDISI BULAN JULI s/d AGUSTUS 2005)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.i)

Oleh

Mukhammad Imam Santoso

103051028588

Di Bawah Bimbingan

Gun Gun Heryanto, M.Si

NIP. 150 371 094

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429H/2008


(4)

MBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukaan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syaruf Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 24 Mei 2008


(5)

ABSTRAK

MUKHAMMAD IMAM SANTOSO NIM: 103051028588

Konstruksi Pemberitaan tentang Ahmadiyah (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Ahmadiyah Pada Majalah Gatra Edisi Bulan Juli S.D Agustus 2005)

Media cetak adalah salah satu media yang digunakan sebagai sarana penyalur informasi dalam bentuk tulisan dengan tujuan membentuk pendapat umum dan mengendalikan pikiran dan sikap masyarakat akan suatu peristiwa yang ditampilkan. Karena itu peran jurnalis akan semakin penting dalam mengungkapakan fakta dimana seorang jurnalis harus mempunyai sikap independent dan obyektif dalam menampilkan kebenaran masyarakat. Peran media massa dalam memuat seputar isu Ahmadiyah dalam sebuah berita yang disampaikan tersebut terkadang dibuat melalui proses pembingkaian. Ditahun 2005 lalu, media cukup gencar memberitakan seputar kasus Ahmadiyah yakni tentang aksi penyegelan Kampus Mubarok yang juga kantor pusat Ahmadiyah di Parung, Bogor. Disini media akan memberikan pandangannya melalui tulisan-tulisan didalam pemberitaannya.

Untuk mengetahui bagaimana pandangan penulis berita dan seperti apa pengemasan pesan yang dilakukannya seputar pemberitaan tentang Ahmadiyah, maka diperlukan rumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimana pengemasan pesan berita seputar Ahmadiyah dan bagaimana konstruksi yang melatarbelakangi proses pengemasan pesan berita tersebut.

Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori konstruksi sosial yang dikemukakan oleh Peter L Berger dan thomas Lickman paradigma penelitian yang digunakan adalah konstriktivisme. Adapun metodologi yang dipakai adlah metode penelitian kualitatif, jenis penelitian deskriftif dengan pendekatan analisis framing model Zhondang Pan dan Gerald M. Kosicki.

Hasil penelitian ini menunjukkan bagaimana suatu kasus atau peristiwa dikemas dan didefinisikan oleh media. Seperti kasus Ahmadiyah, Gatra menempatkan kasus Ahmadiyah dalam kemasan rubrik yang berbeda. Hal ini membuktikan bagaimana sebenarnya pandangan penulis berita terhadap seputar kasus Ahmadiyah itu sendiri.

Maka dapat ditarik kesimpulan, dengan pendekatan analisis framing model Zhondang Pan dan Gerald M. Kosicki ternyata dapat menjadi alat yang cukup jitu untuk mengetahui pesan dibalik sebuah berita serta proses yang melatarbelakangi konstruksi pemberitaan seputar Ahmadiyah.


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji penulis haturkan kepada Allah SWT yang mempunyai kuasa atas apa yang telah dan akan terjadi. Dengan segala nikmat dan karunia-Nyalah penulis masih merasakan segala nikmat yang Ia berikan. Segala nikmat yang penulis tidak berhak menerimanya bila dibandingkan dengan dosa yang telah penulis perbuat. Berkat nikmat dan karunia-Nya pulalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat beserta salam tidak lupa penulis persembahkan kepada khatim al-ambiya Nabi Besar Muhammad SAW seorang tokoh paling berpengaruh dalam Islam bahkan dunia, sang pendobrak tatanan kebudayaan jahiliyyah dan perbudakan menuju kehidupan yang manusiawi dan para sahabatnya yang telah membawa kita kejalan yang lurus. Semoga penulis mendapat syafaatnya kelak pada hari pembalasan nanti.

Skripsi ini penulis susun dengan maksud untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1) jurusan KPI. Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam dengan Judul Skripsi “Konstruksi Pemberitaan Tentang Ahmadiyah (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Ahmadiyah Pada Majalah

Gatra edisi Bulan Juli 2005).”

Terkadang rasa lemah, bosan dan putus asa selalu datang menghampiri penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini tanpa disadari dalam situasi dan kondisi seperti itulah selalu ada pihak yang tanpa pamrih membantu dan mendukung penulis untuk memberi motivasi dan kekuatan untuk


(7)

membangkitkan rasa optimis, karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak karena keterbatasan ruang yang membuat mereka yang berjasa tak tercantum dalam ucapan terima kasih ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dimana masih banyak kekurangan didalamnya baik dari segi bahasa maupun isi karena penulis masih dalam tahap belajar. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini. Penulis perlu berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu baik dan berjasa memberikan inspirasi dan semangat kepada penulis.

1. Rasa terima kasih tak terhingga selalu penulis haturkan kepada kedua orang tua saya Ayahanda Wasrap dan Ibunda Saimah yang tak pernah lelah membimbing, memberikan kasih sayang dan mengobarkan semangat kepada penulis yang lidahnya tak pernah lelah memberikan nasehat, yang keringatnya tak pernah kering dan mendukung kesuksesan. Kebaikan dan kebahagiaan penulis hanya kepada keduanya karya ini penulis persembahkan.

2. Bapak DR. H. Murodi, MA Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs Wahidin Saputra, MA Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

4. Ibu Umi Musyarofah, MA selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.


(8)

5. Bapak Gun Gun M.Si, selaku Dosen Pembimbing skripsi yang senantiasa meluangkan waktunya dan tidak bosan-bosannya untuk membimbing, mengarahkan, memberi motivasi, nasehat serta arahan kepada penulis.

6. Seluruh Dosen Fakultas Dakwah jurusan KPI, terima kasih atas segala pelajaran dan bimbingan yang sangat berharga karena merekalah penulis faham akan beragam khazanah Islam sehingga penulis lebih bijak dalam menyikapi perbedaan.

7. Pimpinan dan Staf Karyawan Perpustakaan UIN Jakarta dan Perpustakaan Dakwah dan Komunikasi yang telah memberikan pelayanan yang sangat baik dalam menunjang penyusunan skrispsi ini.

8. Bapak Asrori S. Karni selaku Redaktur Majalah Gatra yang telah menerima Penulis untuk melakukan wawancara dan membantu memberikan data yang diperlukan guna menyelesaikan skripsi ini.

9. Kepada kakakku Suci dan Adik-adikku Susilo dan Imam Riyadi yang membuat penulis semakin berjuang keras untuk menyelesaikan skripsi ini. 10.Terima Kasih kepada seluruh keluargaku atas dukungan moral mapun

finansialnya juga atas bimbingan serta kasih sayang yang tak terhihingga. 11.Buat teman-teman KPI D angkatan 2003 Arip, Abdillah, Amin, Iful, Cecep,

Doni, Neneng, Sita, Nanang, Ihsan, Ia, Baehaqi dan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semoga silaturahmi kita tetap terjalin.

12.Kepada mereka yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih semuanya.


(9)

Akhirnya penulis berharap segala amal baik yang telah diperbuat diterima di sisi-Nya dan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan semua pihak amin.

Ciputat, 24 Mei 2008


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI...vi

DAFTAR TABEL...viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7

D. Metodologi Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka... 12

F. Sistematika Penulisan... 13

BAB II II KERANGKA PEMIKIRAN A. Teori Konstruksi Sosial... 15

B. Teori Agenda Setting Media ... ... 20

C. Konseptualisasi Framing ... ... 24

D. Konseptualisasi Berita... ... 34

BAB III PROFIL AHMADIYAH DAN MAJALAH GATRA A. Sekilas Tentang Sejarah Ahmadiyah ... ... 39

B. Profil Majalah Gatra ...... 41


(11)

2. Visi dan Misi ... ... 43 3. Rubrikasi Majalah Gatra ... ... 44 4. Profil Pembaca Gatra ... ... 47

BAB IV KONSTRUKSI BERITA SEPUTAR AHMADIYAH DI MAJALAH GATRA EDISI JULI-AGUSTUS 2005 A Pengemasan Berita tentang Ahmadiyah Pada

Majalah Gatra... ...... 49

B Konstruksi yang Melatarbelakangi Proses Pemberitaan

Tentang Ahmadiyah Pada Majalah Gatra...... 78

BAB V V PENUTUP

A. Kesimpulan... ... 81

B. Saran... ... 83

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 01 Struktur Perangkat Framing ....... 29

Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki Tabel 02 Rubrikasi Majalah Gatra ... .... 44

Tabel 03 Judul berita tentang Ahmadiyah... .... 49

Tabel 04 Marah Pada Yang Diberkahi(23/07/2005)... .... 50

Tabel 05 Habis Mubarak Tetaplah Remang(30/07/2005) ... .... 57

Table 06 Sesat Yes! Kekerasan No!(30/072005)... .... 63

Tabel 07 Bersahabat dengan Jemaat Sesat(6/08/2005) ... .... 68


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Surat Keterangan Bimbingan Skripsi

Lampiran II : Surat Keterangan Melakukan Penelitian dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sayrif Hidayatullah

Lampiran III : Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari Redaksi Majalah Gatra Jakarta Selatan.

Lampiran IV: Hasil Wawancara dengan Redaktur Majalah Gatra. Lampiran V: Tema Penelitian Berita Ahmadiyah di Majalah

Gatra.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah Ahmadiyah1 menjadi perhatian umat Islam Indonesia terutama setelah terjadi peristiwa penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah di Kampus Al Mubarok, Parung, Bogor oleh umat Islam yang tergabung dalam Gerakan Umat Islam Indonesia (GUII) yang dipimpin oleh Habib Abdurrahman As-segaf, Jum’at (15 Juli 2005)2. Peristiwa tersebut berujung pada penutupan seluruh aktivitas Jemaah Ahmadiyah oleh aparat kepolisian. Aksi yang terjadi pada pertengahan Juli, 2005 inilah yang menjadi awal mula media massa nasional menurunkan ulasan aksi-aksi serupa terhadap pengikut Ahmadiyah di berbagai tempat di Indonesia.3. Misalnya di Kuningan, Jawa Barat (30/7/2005), Kampung Cimayang,

1

Gerakan Ahmadiyah adalah nama gerakan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908) lahir pada tahun 1880 di Qadian, Gurdaspur, Provinsi Punjab, India. Tiga ajarannya yang berbeda dengan kelompok Muslim lainnya adalah mengenai penyaliban Isa a.s., mengenai al-Mahdi dan mengenai jihad. Menurut pendapatnya Isa tidak meninggal di kayu salib, melainkan setelah kematian dan kebangkitannya kembali dia berhijrah ke Kasymir untuk mengajarkan Injil di negara itu. Disitulah dia meninggal pada usia 120 tahun dan makamnya hingga sekarang masih ada di Srinagar. Mengenai Al-Mahdi, dia memproklamasikan diri sebagai Al-Mahdi yang dijanjikan itu dan sekaligus sebagai inkarnasi Isa dan Muhammad serta sebagai avatar (inkarnasi) Krishna. Menurut ajarannya, kepercayaan terhadapa dirinya sebagai Al-Mahdi (Messiah, Al-Masih) yang ke-2 atau yang dijanjikan termasuk salah-satu rukun iman, karena (1) kedatangannya di awal abad ke-14 H diramalkan oleh Nabi Muhammad sendiri dan (2) dia membuktikan dirinya menerima wahyu. Sedangkan mengenai jihad dikatakannya bahwa ayat-ayat tentang jihad sudah dihapuskan (mansukh) dan dia datang untuk membawa perdamaian, bukan perang. Gerakan ini terbagi menjadi dua kelompok: (1) kelompok Qadiyani, yang menganggap Mirza sebagai nabi, dan (2) kelompok Lahore, yang menganggap Mirza sebagai pembaharu (mujaddid). Dalam H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terjemahan Machnun Husein (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1996), h. 18-19. judul asli: Modern Trends in Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1974; New York: Octagon Books, Cetakan ketiga 1978)

2

KH. M. Kholil Ridwan, Solusi Untuk Ahmadiyah. Artikel dalam Harian Umum Republika, 20 Juli, 2005.

3

Keterangan seputar peristiwa tersebut dapat dilihat dalam berbagai Koran nasional diantaranya, Media Indonesia, dengan judul Markas Ahmadiyah di Rusak, 16 Juli 2005. lihat juga harian Pikiran Rakyat, Kampus Ahmadiyah di Serbu Massa, 16 Juli 2005. lebih jelasnya dapat


(15)

Pamijahan Kabupaten Tasikmalaya, Kampung Ciaruteun Udik, Cibungbulan, Bogor, Majalengka, bebarapa kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Yogyakarta dan Masjid Al-Hidayah yang juga menjadi kantor pengurus Ahmadiyah di Jalan Balikpapan, Harmoni, Jakarta Pusat.4

Walau pihak Ahmadiyah telah banyak memberikan penjelasan dan argumentasi bahwa mereka Muslim dan menjalankan Syari’at Islam, para penentangnya tak surut untuk mengatakan bahwa Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan keluar dari agama Islam. Doktrin Ahmadiyah tentang Al-Mahdi, Al-Masih, konsep tentang Kenabian, Wahyu dan Jihad yang disebarkan pada pusat-pusat aktivitas tersebut ternyata membuat keyakinan kelompok Islam yang lain terusik. Polemik inilah yang menyebabkan represi terhadap para pengikut Ahmadiyah yang dilakukan oleh masyarakat dengan mengaatasnamaakan agama dan mendapat liputan media yang cukup intens baik dari media elektronik maupun cetak.

Aksi-aksi berlanjut dengan makin marak seiring keluarnya hasil Munas MUI VII di Jakarta pada 29 Juli 2005 lalu yang menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II 1980 yaitu menetapkan aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan daan terlarang berkembang di Indonesia.5

Massa umat Islam diantaranya adalah Gerakan Umat Islam Indonesia (GUII), Front Pembela Islam (FPI), Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI), Forum Umat Islam (FUI), dan kelompok-kelompok lainnya menuntut

dilihat dalam Koran-koran nasional seperti Republika, Kompas, Indo Pos, dan lain-lain yang terbit pada tanggal dan hari yang sama.

4

Www. Liputan6.com, akses 15 Februari 2006. pukul 17.30 Wib 5

Aris Mustafa, Indriyani Februana & Sri Wahyuni. Keyakinan yang di Gugat ( Jakarta: Pusat Data & Analisis Tempo: 2005 )


(16)

pemerintah melarang segala aktivitas komunitas Ahmadiyah yang dianggap “Islam menyimpang atau bisa dikatakan bukan Islam”. Tuntutan tersebut dilakukan karena dalam pandangan mereka aliran Ahmadiyah dianggap organisasi terlarang di Indonesia sebab ajaran-ajarannya telah sesat dan menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam sesuai dengan keputusan fatwa MUI pada tahun 1980 dan 13 fatwa MUI tahun 2005 yang menyatakan dengan tegas bahwa Ahmadiyah adalah organisasi sesat dan terlarang berkembang di Indonesia.

Aliran Ahmadiyah adalah salah satu aliran dalam Agama Islam yang memiliki perbedaan signifikan dengan umat Islam arus utama, yakni meyakini bahwa Imam mereka Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi yang sering disebut dalam kitab suci Al-quran.6 Ia pun mengaku sebagai Isa al-Masih Mau’ud dan Nabi.7

Kelompok yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani (AMM) untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, tokoh-tokohnya antara lain yaitu Gus Dur, Adnan Buyung Nasution, Ulil Abshar Abdalla, Dawam Rahardjo, Djohan Efendi, Musdah Mulia, dan lain-lain mengeluarkan pernyataan, diantaranya meminta pemerintah untuk menjamin kebebasan dan keamanan setiap warga negara dalam melaksanakan agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Mereka juga meminta MUI untuk mencabut fatwa tersebut karena bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan8.

6

S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan dalam Islam, (Yogyakarta: PP. Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia, 1978), vol I. hlm.71

7

Muslih Fathoni, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1994), h. 53.

8


(17)

Tokoh-tokoh Islam seperti KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i, Adian Husaini, Habib Abdurrahman As-segaf, KH Kholil Ridwan, Mashadi, dan lain-lain yang tergabung dalam Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Gerakan Umat Islam Indonesia (GUII) tidak kurang mengeluarkan kecaman kerasnya: ”Liberalisme keagamaan yang sudah diharamkan dalam muktamar NU di Boyolali9 yang diusung beberapa oknum yang selama ini giat merusak Islam dan agama-agama lain, sejatinya adalah paham yang sangat berbahaya, destruktif, dan jauh lebih berbahaya dari Ahmadiyah itu sendiri. Liberalisme keagamaan inilah yang digunakan untuk melegitimasi berbagai paham dan aliran sesat, serta tindakan amoral, komunisme, Ateisme, pornografi dan sebagainya, dengan alasan kebebasan dan hak asasi manusia”10

Tak kurang pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Agama M. Maftuh Basyuni mengatakan sebaiknya para pengikut Ahmadiyah keluar dari Agama Islam dan membuat Agama baru untuk meredakan Umat Islam11. Pada tahap ini, media massa kembali menjadi ajang perebutan opini. Media massa memang memiliki kekuatan untuk memilih isu apa yang seharusnya menjadi pembicaraan publik. Terkadang, khalayak tidak sadar bahwa sesuatu itu sudah dipilih dan disaring dari kacamata media. Khalayak memang memiliki kehendak bebas untuk tidak menerima apa yang disajikan oleh media, namun khalayak sama sekali tidak memiliki kebebasan untuk memilih apa yang seharusnya dijadikan wacana oleh media atau tidak.

9

Muktamar NU di Boyolali diselenggarakan pada Desember 2004 10

Ibid 11


(18)

Mengapa suatu peristiwa menjadi penting untuk diberitakan, sementara peristiwa yang lain tidak, adalah pilihan media massa. Mengapa sisi tertentu dari suatu peristiwa penting untuk dibahas, sementara sisi yang lain tidak, adalah juga merupakan hak media untuk menghadirkan. Semua proses ini ditentukan oleh apa yang disebut nilai berita, karenanya nilai berita dianggap sebagai ideologi profesional wartawan, yang memberi prosedur bagaimana peristiwa yang begitu banyak disaring dan ditampilkan kepada khalayak.12

Di sini negosiasi makna terjadi, khalayak aktif melakukan perbandingan dengan melihat teks atau pesan tandingan di media lain atau mengkritisi sudut pandang yang dihadirkan media atas suatu pemberitaan berdasarkan subyektivitas, pengalaman, dan latar belakang khalayak tersebut.

Namun bagi mereka yang tidak aktif mungkin jumlahnya banyak akan menerima realitas yang dihadirkan media sebagai realitas yang sebenarnya. Pada titik ini, menjadi signifikan bagi media untuk mengkonsumsi suatu peristiwa sesuai pemahaman yang dimiliki oleh media tersebut. Pemahaman inilah yang kerap kali berbeda antar media massa. Pemahaman yang dimiliki oleh media, akan bergantung pada pandangan dunia atau ideologi yang dimiliki oleh media tersebut. Ideologi inilah yang akan menentukan kearah mana suatu pemberitaan diarahkan.

Setiap media pasti memiliki visi dan misi, berdasarkan ideologi tersebut dipercaya sepenuhnya oleh pekerja media yang bersangkutan, serta tercermin dalam konstruksi realitas yang dilakukan oleh media tersebut. Perbedaan ideologi

12

Eriyanto, Analisis Framing; Konstruksi, Ideologi dan Politik Media (Yogyakarta : LKiS, 2002). h. 106


(19)

karenanya, akan tertuang dalam perbedaan pilihan berita, perbedaan sudut pandang yang diambil dan perbedaan framing yang dilakukan atas suatu wacana.

Kenyataan bahwa Ahmadiyah telah hadir di Indonesia dan berkembang hidup berdampingan dengan masyarakat sejak awal 1920-an13 selama ini tidak terlalu dikupas oleh media massa. Beberapa media mengangkat isu Ahmadiyah dari sisi penyimpangan ideologi. Sementara media lain meresponnya sebagai sasaran penindasan, karena posisinya sebagai kelompok di luar Islam.

Ketika pusat Ahmadiyah disegel oleh masyarakat hingga terjadi bentrok, suatu media boleh jadi mengangkatnya sebagai isu kekersan vertikal, media lain boleh jadi mengangkatnya sebagai tindakan yang harus dilakukan demi menertibkan suatu penyimpangan Mengapa suatu media memilih suatu bingkai tertentu atas suatu peristiwa, tidak bisa dilepaskan dari ideologi dan pemaknaan yang dimiliki oleh institusi media tersebut serta sudut pandang yang dimiliki oleh wartawan penulis berita. Hal ini terkait dengan karakterisrik media sebagai agen mendefinisikan realitas.

Oleh karenanya penulis tertarik untuk meneliti Majalah Gatra dalam memberitakan seputar Ahmadiyah pada tahum 2005 lalu dengan Judul: ”Konstruksi Pemberitaan Tentang Ahmadiyah (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Ahmadiyah Pada Majalah Gatra edisi Juli-Agustus 2005)”.

13

Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1924, dibawa oleh dua orang mubalignya yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad, mereka memulai kegiatannya di Yogyakarta. Setahun kemudian yaitu tahun 1925, sekte Qadian menyusul, dibawa oleh seorang mubalignya bernama Rahmad ‘Ali H. A. O. T.dan mulai mendakwahkan ide kemahdian Mirza, di Tapak tuan, dua tahun kemudian ia pindah ke Padang. Lihat tulisan Drs. Muslih Fathoni, M.A. dalam Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994) Cet Pertama. hlm.69


(20)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pemberitaan seputar kasus Ahmadiyah pada pertengahan Juli, 2005 ini mendapat liputan media massa yang cukup intens baik media elektronik maupun cetak, sehingga mengundang berbagai pihak untuk berkomentar dengan beragam sudut pandang.

Untuk mengetahui analisis teks media terhadap pesan dalam pemberitaan seputar kasus Ahmadiyah, maka penelitian ini hanya dibatasi pada majalah Gatra

edisi bulan Juli 2005. Subyek penelitian ini adalah redaksional majalah berita mingguan Gatra dan yang menjadi obyek penelitiannya adalah teks berita seputar Ahmadiyah.

Pokok permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Apa pesan berita dan bagaimana pengemasan berita seputar Ahmadiyah pada Majalah Gatra edisi bulan Juli-Agustus 2005 dilihat dari teks berita?

2. Bagaimana konstruksi yang melatarbelakangi proses pemberitaan Ahmadiyah pada Majalah Gatra edisi bulan Juli-Agustus 2005?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah penulis rumuskan di atas, sehingga secara singkat tujuan penelitian adalah:

1) Untuk mengetahui bagaimana pengemasan pesan berita oleh redaksi majalah Gatra dalam pemberitaan seputar Ahmadiyah edisi bulan Juli 2005.


(21)

2) Untuk mengetahui konstruksi pemberitaan Ahmadiyah oleh redaksi Majalah Gatra edisi bulan Juli-Agustus 2005.

2. Manfaat Penelitian

1) Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi hasil riset terutama di bidang komunikasi massa dengan fokus pada tehnik analisis framing.

2) Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penelitian serupa. Selain itu juga memberi informasi tentang fenomena kecenderungan pemberitaan tentang Ahmadiyah sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi berbagai pihak yang terkait dengan gerakan Ahmadiyah.

D. Metodologi Penelitian D. 1 Paradigma Penelitian

Penelitian ilmiah komunikasi dapat dikelompokkan ke dalam empat tipologi paradigma, seperti ddikemukakan oleh Guba dan Lincoln yakni paradigma positivisme, postpositivisme, konstrutivisme, dan kritis.14 Karena penelitian ini menggunakan metode analisis framing, yaitu analisis yang melihat wacana sebagai hasil dari konstruksi realitas sosial, maka penelitian dalam skripsi ini masuk dalam kategori paradigma constructivisme (konstruksionis)

Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Rancangan konstruktivis melihat realitas

14

Agus Salim, Teori dan Paradigma Sosial dari Denzin Guba dan Penerapannya (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001) cet ke-1 h. 41


(22)

pemberitaan media sebagai aktivitas konstruksi sosial15. Konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaiamana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dengan cara apa konstruksi itu dibentuk.

D. 2 Metode Penelitian

Penelitian ini meggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Metode ini memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam masyarakat.

Menurut Crasswell, beberapa asumsi dalam pendekatan kualitatif yaitu

pertama, peneliti kualitatif lebih memerhatikan proses daripada hasil. Kedua,

peneliti kualitatif lebih memerhatikan intepretasi. Ketiga, peneliti kualitatif merupakan alat utama dalam pengumpulan data dan analisis data serta peneliti kualitatif harus terjun langsung ke lapangan, melakukan observasi partisipasi di lapangan. Keempat, peneliti kualitatif menggambarkan bahwa peneliti terlibat dalam proses penelitian, intrepetasi data, dan pencapaian pemahaman melalui kata atau gambar.16

C. 3 Teknik Pengumpulan Data

15

Burhan Bungin MetodologiPenelitian Kualitatif (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2004) cet. Ketiga hlm. 204

16


(23)

1. Observasi

Sebagai metode ilmiah observasi adalah suatu cara penulisan untuk memperoleh data dalam bentuk pengamatan dengan sistematis fenomena yang diselidiki.17

Obeservasi teks dalam hal ini di bedakan menjadi dua bagian yaitu teks berupa data primer dan data sekunder.

a. Data primer, yaitu teks berita seputar pemberitaan Ahmadiyah di

Gatra.

b. Data sekunder, yaitu berupa buku-buku dan jurnal-jurnal maupun tulisan lain yang berkaitan dengan masalah yang menjadi obyek studi ini.

2. Wawancara

Wawancara atau interview adalah sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai.18

Wawancara dilakukan dengan wartawan majalah Gatra terkait masalah Ahmadiyah dalam upaya menghimpun data yang akurat sesuai dengan penelitian ini, sedangkan data-data yang diperoleh adalah dengan cara tanya jawab secara lisan ataupun melalui surat elektronik.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah tehnik mengumpulkan data-data melalui telaah dan mengkaji buku-buku, majalah-majalah, website, dan literatur-literatur lain yang

17

Sutrisno Hadi, Metodologi Research. (Yogyakarta: Andi Offset, 1989). hlm. 92 18


(24)

ada relevansinya dengan materi penelitian untuk selanjutnya dijadikan bahan argumentasi.

D. 4 Teknik Analisis dan Pengolahan Data

Analisis Data dalam penelitian ini menggunakan analisis framing dengan menggunakan model Zhongdan Pan dan Gerald M. Kosicki. Framing

didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan tersebut.

1) Unit-unit Analisisnya

Pertama, Sintaksis: yaitu bagaimana cara wartawan menyusun sebuah fakta atau peristiwa yang diliputnya dan perangkat framenya adalah skema berita tersebut, sementara unit yang diamati adalah headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, dan penutup.

Kedua, Skrip yakni bagaimana cara wartawan mengisahkan fakta, dan perangkat framingnya serta unit yang diamati meliputi kelengkapan berita tersebut yang terdiri dari unsur 5 W 1 H (what, who, where, when, why, dan how) Ketiga,

Tematik, yakni bagaimana cara wartawan menulis fakta, dengan perangkat framing yang diamatinya adalah bentuk kalimatnya, kata ganti yang digunakan, detail penulisannya, serta koherensinya, sedang unit yang diamati meliputi paragrap, proposisi, kalimat, serta hubungan antar kalimatnya. Keempat, Retoris,


(25)

yang diamati yaitu leksikon, grafis serta metafora dengan unit yang diamati adalah kata, idiom, grafik atau tabel serta gambar atau foto.19

2) Pengolahan Data

Selanjutnya data diolah dengan menggunakan teori analisis framing yang merujuk pada model Pan dan Kosicki, dari penyajian dan penjelasan tersebut maka akan tampak bentuk pengemasan pesan berita pada pemberitaan seputar Ahamadiyah pada majalah Gatra.

E. Tinjauan Pustaka

Untuk menentukan judul skripsi ini, penulis melakukan tinjauan pustaka di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ternyata ada 1 judul skripsi yang membuat penulis terinspirasi dalam penyusunan skripsi ini. Adalah skripsi yang ditulis oleh Ade Saripullah mahasiswa UIN Fakultas Dakwah angkatan 2002 Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dengan judul ”Analisis Framing Berita Sebelas Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Majalah Syir’ah dan Sabili” yang penulis jadikan rujukan dalam penyusunan skripsi ini.

Meskipun penulis melakukan rujukan terhadap skripsi tersebut, penelitian yang dilakukan tetaplah berbeda dalam hal ini penulis membahas mengenai bagaimana pengemasan pesan berita yang dilakukan oleh Majalah Gatra seputar pemberitaan tentang Ahmadiyah menggunakan analisis Framing model Zhondang Pan dan Kosicki, sedangkan skripsi yang menjadi rujukan penulis membahas

19

Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi Ideologi, dan politik Media (Yogyakarta: LKiS, 2002) hlm 257-264.


(26)

bagaimana gagasan yang terdapat pada teks berita pada Majalah Sabili dan Majalah Syir’ah tentang Sebelas Fatwa MUI dengan menggunakan analisis Framing model Robert Entman.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan, maka sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab dan masing-masing bab terdiri dari sub bab dengan penyusunan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN membahas tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka serta Sistematika Penulisan.

BAB II KERANGKA PEMIKIRAN Membahas Teori Konstruksi Sosial, Teori Agenda Setting Media, Konseptualisasi Framing, Konseptualisasi Berita.

BAB III AHMADIYAH DAN POFIL MAJALAH GATRA Membahas Tentang Sekilas Aliran Ahmadiyah dan Ahmadiyah di Indonesia, Profil Majalah Gatra membahas tentang berdirinya Majalah Gatra, Visi dan Misi Majalah Gatra. Rubrikasi Majalah Gatra. Profil Pembaca Gatra.

BAB IV KONSTRUKSI PEMBERITAAN SEPUTAR AHMADIYAH DI MAJALAH GATRA EDISI BULAN JULI-AGUSTUS 2005


(27)

Majalah Gatra dan Konstruksi yang melatarbelakangi Proses Pemberitaan Tentang Ahmadiyah Pada Majalah Gatra..


(28)

BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN

A. Teori Konstruksi Sosial

Bagi banyak orang media merupakan sumber untuk mengetahui suatu kenyataan atau realitas yang terjadi, bagi masyarakat biasa, pesan dari sebuah media akan dinilai apa adanya. Apa kata media dan bagaimana penggambaran media mengenai sesuatu, begitulah realitas yang mereka tangkap1

Berita dari sebuah media bagi masyarakat umum dipandang sebagai barang suci yang penuh dengan obyektifitas. Namun, berbeda dengan kalangan tertentu yang memahami betul gerak pers. Mereka akan menilai lebih dalam terhadap pemberitaan, yaitu dalam setiap penulisan berita ternyata menyimpan subjektivitas seorang penulis. Seorang penulis pasti akan memasukkan ide-ide mereka dalam analisis data-data yang diperoleh di lapangan.

Kenyataan ini seperti mengamini bahwa media berhasil dalam tugasnya merekonstruksi realitas dari peristiwa itu sendiri, sehingga pada akhirnya pembaca terpengaruh dan memiliki pandangan seperti yang diinginkan media dalam menilai suatu peristiwa.

Melalui berbagai instrumen yang dimiliki, media berperan membentuk realitas yang tersaji dalam berita. Konstruksi terhadap realitas dipahami sebagai upaya “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, benda atau apapun.. Fakta atau realitas diproduksi dan dikonstruksi dengan menggunkan perspektif tertentu yang

1

Zulkarimein Nasution. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional: 2004. 1-10.


(29)

akan dijadikan bahan berita oleh wartawan. Maka tidak mengherankan jika media memberitakan berbeda sebuah peristiwa yang sama karena masing-masing media memiliki pemahaman dan pemaknaan sendiri.2

Seringkali berita sebuah peristiwa yang kita baca, kita tonton dan kita dengar berbeda dengan peristiwa sebenarnya yang terjadi dilapangan bila suatu ketika kita mendapat informasi langsung dari saksi maupun korban. Bahkan pemberitaan media yang satu dengan yang lain seringkali berbeda padahal berasal dari peristiwa yang sama bahkan waktu meliputnyapun bersamaan.

Tanpa disadari, ternyata berita yang kita konsumsi setiap harinya dari media massa, baik cetak maupun elektronik adalah berita dimana fakta-faktanya sudah mengalami proses penciptaan atau pembangunan ulang (konstruksi) oleh media itu sendiri. Bukan merupakan fakta mentah yang sebenar-benarnya diperoleh dari narasumber suatu peristiwa, berita mengalami perubahan mengenai angle atau bagian apa yang ingin difokuskan media.

Media mengkonstruksi fakta peristiwa disesuaikan dengan ideologi, kepentingan, keberpihakan media dalam memandang sebuah berita, apalagi bila berita tersebut memiliki akibat yang mungkin menguntungkan atau merugikan media berkaitan dengan pihak-pihak berpengaruh atas pemberitaan peristiwa itu.

Isi media adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai dasarnya, sedangkan bahasa bukan saja alat mempresentasikan realitas, tatapi juga menentukan relief seperti apa yang hendak diciptakan bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk

2

Fahri Firdusi, Artikel: Berita Sebagai Konstruksi Media, artikel diakses pada 5 November 2007 dari http:fahri99.wordpress.com/2007/po2.html


(30)

mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya.3

Teori dan pendekatan konstruksi atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Proses ini terjadi antara individu satu dengan yang lainnya di dalam masyarakat. Bangunan realitas yang tercipta karena proses sosial adalah objektif, subjektif, dan simbolis atau intersubjektif.4

Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam teorinya ”The Social Construction Theory of Reality” proses mengkonstruksi berlangsung melalui interaksi sosial dialektis dari tiga bentuk realitas, yakni symbolic reality, objective reality, dan subjective reality yang berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan; eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.5

Eksternalisasi (penyesuaian diri), adalah sebagaimana dikatakan Berger dan Luckman usaha ekspresi diri manusia ke dalam dunia luar, keberadaan manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Moment ini bersifat kodrati manusia. Ia selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia harus terus menerus mengekternalisasi dirinya dalam aktivitas.

Objektivasi. Tahap obyektivasi produk sosial terjadi dalam dunia intersubyektif masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah peroduk sosial berada pada proses instituniolisasi, sedangkan individu oleh Berger dan

3

Ibnu Hamad, Muhamad Qadari dan Agus Sudibyo. Kabar-Kabar Kebencian. Institut Studi Arus Informasi. PT. Sembrani Aksara Nusantara. Jakarta: 2001 h.74-75.

4

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 202. 5

Deddy N. Hidayat, Konstruksi Sosial Industri Penyiaran, (Jakarta: Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI, 2003), h. 7-8.


(31)

Lukcman (1990: 49), dikatakan memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya, maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Obyektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung.6

Internalisasi, adalah penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran subyektif sedemikian rupa sehingga individu dipengaruhi oleh struktur sosial atau dunia sosial. Salah satu wujud internalisasi adalah sosialisasi bagaimana suatu generasi menyampaikan nilai-nilai norma-norma sosial (termasuk budaya) yang ada di kepala generasi berikutnya.7

Dalam realitas obyektif yang merupakan hasil dari kegiatan eksternalisasi manusia baik mental maupun fisik, menurut Berger realitas obyektif berbeda dengan kenyataan subyektif perorangan, bahwa realitas obyektif besifat eksternal, berada diluar dan tidak dapat kita tiadakan dari angan-angan. Kemampuan ekspresi diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia bersama ini, dan dalam realitas subyektif kehidupan ini menyangkut makna, intrepetasi, dan hasil relasi antara individu dengan obyek.8

Dalam hidup ini menurut pandangan Berger dan Luckman, kehidupan sehari-hari terutama adalah kehidupan melalui dan dengan bahasa, bahasa tidak

6

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, h. 197-198.

7

Masnur Muslich, Kekuasaan Media Massa Menkonstruksi Realitas, Sebuah Kajian, artikel diakses pada 10 november 2007 di www. Kabmalang.go.id/10/11/2007.

8

Peter L. Berger, Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan; sebuah risalah tentang sosiologi pengetahuan. Penerjemah Hasan Basri (Jakarta : LP3ES, 1990), h. 49-50.


(32)

hanya mampu membangun simbol-simbol yang diabstraksikan dari pengalaman-pengalaman sehari-hari, melainkan juga ‘mengembalikan’ simbol-simbol itu dan menghadirkannya sebagai unsur yang obyektif dalam kehidupan sehari-hari, sehingga yang menjadi titik perhatian dalam pandangan konstruksionis bukanlah pesan tetapi maknanya yang ditimbulkan dari pembuatan simbol-simbol.9

Karena itu, Berger melihat bahasa mampu mentransendensikan kenyataan hidup sehari-hari secara keseluruhan dengan mengacu pengalaman yang menyangkut wilayah kenyataan yang berlainan. Bahasa disini didefinisikan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari, tanda-tanda suara, gerakan (ekspresi) tulisan, yang dengan mudah dapat dilepaskan. Inilah yang menurut Berger dan Luckman sebagai kenyataan yang dipahami melalui bahasa simbolik (kenyataan simbolik).10

Menurut Peter Berger, realitas sosial tidak dibentuk secara ilmiah tidak juga sesuatu yang diturunkan Tuhan tetapi sebaliknya realitas dibentuk semacam ini, realitas berwajah ganda atau prulal. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi pendidikan tertentu dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu dan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing.11

9

Peter L. Berger, Thomas Luckman, The Social Construction Theory of Reality, dalam Eriyanto, Analisis Framing; Konstruksi Ideologi, dan Politik Media. (Yogyakarta: LKiS. 2002), h. 39-41.

10

Peter L. Berger, Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan; sebuah risalah tentang sosiologi pengetahuan. Penerjemah Hasan Basri (Jakarta : LP3ES, 1990), h. 49-50.

11

Peter L. Berger, Thomas Luckman, The Social Construction Theory of Reality, dalam Eriyanto, Analisis Framing; Konstruksi Ideologi, dan Politik Media. (Yogyakarta: LKiS. 2002), h. 39-41.


(33)

Media massa cenderung melakukan konstruksi realitas atas peristiwa yang diterimanya sebagai sumber berita. Tujuannya agar pembaca memilki pandangan hingga akhirnya menciptakan opini publik setidaknya diharapkan sesuai dengan pandangan frame media itu.

Itulah tujuan media, menciptakan agar khalayak memiliki opini yang sama dan sesuai dengan pandangan media terhadap suatu peristiwa. Sadar atau tidak pembaca telah terperangkap oleh pola konstruksi media.

B. Teori Agenda Setting Media.

Teori agenda setting yang dikemukakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw ini adalah salah satu teori dari sekian teori komunikasi massa tentang proses dampak media atau efek komunikasi massa terhadap masyarakat dan budaya.12 Jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.

Maxwel McCombs dan Donald L. Shaw adalah oraang yang pertama kali memperkenalkan teori agenda setting ini. Teori ini muncul sekitar tahun 1973 dengan publikasi pertamanya ”The Agenda Stting Function of The Mass Media” Public Opinion Quarterly No. 3713

Teori ini menyatakan bahwa media massa mengangkat sejumlah isu dan mengabaikan isu yang lain dalam rangka menjadikan suatu isu atau peristiwa sebagai wacana publik. Publik cenderung untuk mengetahui isu yang diangkat

12

Wina Puspitasari, S. Sos, Pengaruh Komunikasi Massa Terhadap Masyarakat; Analisa “Kedatangan Presiden Bush” dengan Menggunakan Teori Agenda Setting. Artikel di akses di http://Jurnal.bl.ac.id/wp.content/uploads/2007/01/BL com 7 Januari 2008

13

Nuruddin, M.Si. Pengantar Komunikasi Massa (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2007) h.195


(34)

oleh media massa dan mengadopsi perhatian terhadap suatu isu berdasarkan urutan yang dipilihkan oleh media massa.

David Heaver dalam bukunya “Media Agenda Setting and Media Manipulation” (1981) menuliskan bahwa pers sebagai media komunikasi masa tidak merefleksikan kenyataan, melainkan menyaring dan membentuknya seperti sebuah kaledioskop yang menyaring dan membentuk cahaya. Sehingga media tidak hanya sekedar merefleksikan hal-hal atau peristiwa, melainkan menyeleksi dan membentuknya menjadi bernilai berita (news value) dan hanya sedikit saja yang tidak benilai berita.14

Agenda setting menggambarkan kekuatan pengaruh media yang sangat kuat terhadap pembentukan opini masyarakat. Mengutip dari tulisan S. Djuarsa Senjdaya dalam bukunya ”Teori Komunikasi”.

“Media massa dengan memberikan perhatian pada isu tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan memiliki pengaruh terhadap pendapat umum. Orang akan cenderung mengetahui tentang hal-hal yang diberitakan media massa dan menerima susunan prioritas yang diberikan media massa terhadap isu-isu yang berbeda”15

Media massa memiliki kemampuan untuk memberitahukan kepada masyarakat atau khalayak tentang isu-isu tertentu yang dianggap penting dan kemudian khalayak tidak hanya mempelajari dan memahami isu-isu pemberitaan tapi juga seberapa penting arti suatu isu atau topik berdasarkan cara media massa memberikan penekanan terhadap isu tersebut. Jadi apa yang dianggap penting dan

14

Onong Uchjana ffendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),h.287

15

S. Djuarsa Sendjaya, Ph.d.,dkk, Teori Komunikasi: Materi Pokok IKOM 4230/3sks/modul 1-9, Universitas Terbuka, Jakarta, hal. 199


(35)

menjadi agenda media maka itu pulalah yang juga dianggap penting dan menjadi agenda media bagi khalayak.

Dari sekian peristiwa dan kenyataan sosial yang terjadi, media massa memilih dan memilahnya berdasarkan kategori tertentu, dan menyampaikan kepada khalayak dan khalayak menerima bahwa peristiwa tersebut adalah penting. Secara singkat teori penyusunan agenda ini mengatakan media (khususnya media berita) tidak selalu berhasil memberitahu apa yang kita pikir, tetapi media tersebut benar-benar berhasil memberitahu kita berpikir tentang apa. Media massa selalu mengarahkan kita pada apa yang harus kita lakukan. Media memberikan agenda-agenda melalui pemberitaannya, sedangkan masyarakat akan mengikutinya.

Menurut asumsi teori ini media mempunyai kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Media mengatakan pada kita apa yang penting dan apa yang tidak penting. Media pun mengatur apa yang harus kita lihat, tokoh siapa yang harus kita dukung. Dengan kata lain, agenda media akan menjadi agenda masyarakatnya.

Media melakukan seleksi sebelum melaporkan berita kemudian melakukan

gatekeeper (penjaga gawang) terhadap informasi dan akan membuat pilihan apa saja yang akan diberitakan dan tidak. Apa yang diketahui oleh khalayak pada umumnya merupakan hasil dari media gatekeeping.16

Secara umum, peran gatekeeper sering dihubungkan dengan berita, khsusnya surat kabar. Editor sering malaksanakan fungsi gatekeeper ini. Mereka

16

Wina Puspitasari, S. Sos Analisa “Kedatangan Presiden Bush” dengan Menggunakan Teori Agenda Setting artikel di akses di www. jurnal. bl.ac.id pada 7 Januari 2008


(36)

menentukan apa yang dibutuhkan khalayak atau sedikitnya menyediakan bahan bacaan untuik pembacanya. Dengan kata lain, tugas gatekeeper adalah bagaimana dengan seleksi berita dilakukan sehingga pembaca menjadi tertarik dan enak untuk membacanya.17

Sebagai contoh yang akan diketengahkan penulis adalah peristiwa yang terjadi di Parung, Bogor. seorang wartawan saat meliput aksi unjuk rasa yang dilakukan umat Islam beberapa waktu lalu terkait dengan Ahmadiyah. Dalam aksi massa tersebut, tidak hanya orasi yang dilakukan tetapi juga penyampaian tuntutan yang dilakukan massa umat Islam, bahkan telah terjadi tindakan main hakim sendiri, merusak tempat disekitar sehingga aparat keamanan sampai mengevakuasi. Dalam hal ini seorang wartawan dihadapkan pada beberapa fakta. Apakah dia akan menekankan aksi massa umat Islam yang sebagai sebuah pelanggaran, isinya yakni tuntutan aksi masa umat Islam terhadap pembuabran Ahmadiyah, atau pihak aparat yang dinilai lemah dalam mengatasi persoalaan Ahmadiyah.

Ketika wartawan memilih suatu fakta dengan menonjolkannya dalam tulisan, saat itu ia sedang melakukan fungsi gatekeeping (penapisan informasi, palang pintu atau penjaga gawang) karena ia menyeleksi berita-beritanya. bahkan, ia sendiri bisa menambahi berita itu, misalnya wawancara dengan salah satu aparat atau warga yang menyaksikan aksi masa tersebut. Dengan demikian, menambahkan fakta juga merupakan pelaksanaan fungsi gatekeeping.

17

Nuruddin, M,.Si.Pengantar Komunikasi Massa (Jakarta: PT RajaGarafindo Persada, 2007) h. 120


(37)

Dengan demikian, tidak ada bahan objektif yang telah didapatkan seorang wartawan. Sebab, semua yang ditulis wartawan dipengaruhi oleh orientasi, misi, visi dan kebijakan media yang bersangkutan. Pandangan, persepsi terhadap suatu kejadian akan diwarnai oleh ”kacamata” wartawan tersebut.

Ada 3 Proses agenda Setting:18

1. Media Agenda dimana isu didiskusikan dalam media.

2. Public Agenda ketika isu didiskusikan dan secara pribadi sesuai dengan khalayak.

3. Policy Agenda pada saat para pembuat kebijakan menyadari pentingnya isu tersebut.

Jadi media massa mempunyai kemampuan untuk memilih dan menekankan topik tertentu yang dianggapnya penting (menetapkan agenda) sehingga membuat publik berpikir bahwa isu yang dipilih media itu penting.

C. Konseptualisasi Framing

Framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis media. Gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan

18


(38)

perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas19

Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas ini, hasil akhirnya adalah bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah tampak. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek yang disajikan secara menonjol oleh media. Aspek-aspek yang tidak disajikan secara menonjol, bahkan tidak diberitakan, menjadi terlupakan dan sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak.20

Abrar menyebutkan bahwa pada umumnya terdapat empat tehnik membingkai berita yang dipakai wartawan, yaitu ketidaksesuaian sikap dan perilaku, empati, pengemasan dan asosiasi. Sekurangnya, ada tiga bagian berita yang menjadi objek framing seorang wartawan, yakni:judul berita, fokus berita, dan penutup berita. 21

Dengan frame, jurnalis memroses berbagai informasi yang tersedia dengan jalan mengemasnya sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disampaikan kepada khalayak. Sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh media.

Bahkan pemaknaan itu bisa jadi akan sangat berbeda. Kalau saja ada realitas dalam arti obyektif, bisa jadi apa yang ditampilkan dan dibingkai oleh media

19

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) cet. Ke-4 h. 161-162

20

Eriyanto, Analisis Framing, h. 66-77 21

Ana Nadya Abrar, Media dan Minimnya Semangat Kesetaraan Jender. Majalah Pantau, Yogyakarta. Edisi 8 Maret 2000, Yogyakarta. H. 73


(39)

berbeda dengan realitas objektif tertentu. Karena realitas pada dasarnya bukan ditangkap dan ditulis, realitas sebaliknya dikonstruksi.22

Framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti, atu lebih diingat, untuk mengiring interpretasi khlayak sesuai dengan perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, agian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut.23

Sebagai sebuah konstruksi, ia menentukan mana yang dianggap penting, dan mana yang tidak penting. Artinya, peristiwa itu penting dan bernilai berita, bukan karena secara inheren peristiwa itu penting. Media dan wartawanlah yang mengkonstruksi sedemikian rupa sehingga peristiwa tersebut dinilai sebagai penting. Dalam memframing sebuah berita, media harus melihat dua aspek penting yang menjadi dasar bagaimana sebuah realitas dari peristiwa itu dibangun dan akhirnya ditulis dengan Frame yang dianutnya seperti yang dituliskan Eriyanto, yaitu:

Pertama, memilih fakta/realitas. Fakta dipilih berdasarkan asumsi bahwa wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam melihat fakta selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas, bagian mana

22

Eriyanto, Analisis Framing, h. 139 23

Nugroho, Eriyanto, Frans Suadiarsis Politik Media Mengemas Media. (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1999) h.21


(40)

dari realitas yang diberitakan dan bagian mana yang tidak diberitakan. Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu dan melupakan fakta yang lain hingga peristiwa itu dilihat dari sisi tertentu akibatnya bisa jadi berbeda antara satu media dengan media yang lain.

Kedua, menuliskan fakta, berhubungan dengan bagaimana fakta dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa dengan bantuan aksentuasi foto dan gambaran apa dan sebagainya. Bagaimana fakta yang dipilih ditekankan denagn pemaaian perangkat tertentu seperti: penempatan yang mencolok (headline bagian depan atau belakang), pengulangan. Label tertentu ketika menggambarkan peristiwa yang diberitakan. Asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas.24

Ada beberapa model framing yang telah diperkenalkan, namun didalam penelitian ini model framing yang digunakan adalah model framing milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Zhondang Pan dan Gerald M Kosicki mendefinisikan framing sebagai strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.25

Framing berkaitan dengan struktur dan proses kognitif, bagaimana seseorang mengolah sejumlah informasi dan ditunjukkan dalan skema tertentu.

Framing di sini dilihat sebagai penempatan informasi dalam suatu konteks yang

24

Analisis Framing h. 69-70 25


(41)

unik/khusus dan menempatkan elemen tertentu dari suatu isu dengan penempatan lebih menonjol salam kognisi seseorang. Elemen-elemen yang diseleksi dari suatu isu/peristiwa tersebut menjadi lebih penting dalam mempengaruhi pertimbangan dalam membuat keputusan tentang realitas.

Kedua, konsepsi sosiologis. Kalau pandangan psikologis lebih melihat pada proses internal seseorang, bagaimana individu secara kognitif menafsirkan suatu peristiwa dalam cara pandang tertentu, maka pandangan sosiologis lebih melihat pada bagaimana konstruksi sosial atas realitas. Frame di sini dipahami sebagai proses bagaimana seseorang mengklasifikasikan, mengorganisasikan, dan menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas di luar dirinya. Frame di sini berfungsi membuat suatu realitas menjadi teridentifikasi, dipahami, dan dapat dimengerti karena sudah dilabeli dengan label tertentu.26

Pan dan Kosicki membuat suatu model yang mengintegrasikan secara bersama-sama konsepsi psikologis yang melihat frame semata sebagai persoalan internal pikiran dengan konsepsi sosiologis yang lebih tertarik melihat frame dari sisi bagaimana lingkungan sosial dikonstruksi seseorang.

Dalam media, framing karenanya dipahami sebagai perangkat kognisi yang digunakan dalam informasi untuk membuat kode, menafsirkan, dan menyimpannya untuk dikomunikasikan dengan khalayak yang kesemuanya dihubungkan dengan konvensi, rutinitas, dan praktik kerja profesional wartawan.

Model Pan dan Kosicki merupakan modifikasi dari dimensi operasional analisa wacana Van Dijk, sedang rumusan yang kedua adalah milik Gamson dan

26


(42)

Mogdiliani.27 Model framing yang diperkenalkan Pan dan Kosicki dapat diasumsikan bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide yaitu dimana frame merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita, kutipan, sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu ke dalam teks secara keseluruhan.28

Struktur Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki Tabel 01

STRUKTUR PERANGKAT FRAMING

UNIT YANG DIAMATI SINTAKSIS 1. Skema Berita Headline, lead, latar

cara wartawan

informasi, kutipan sumber,

menyusun fakta pernyataan, penutup

SKRIP 2. Kelengkapan Berita 5 W + 1H

Cara wartawan

mengisahkan

Fakta

TEMATIK 3.Detail Cara Wartawan 4. Koherensi

Paragraf, proposisi, kalimat,

Menulis Fakta 5. Bentuk Kalimat hubungan antar kalimat 6. Kata Ganti

RETORIS 7. Leksikon

Kata, idiom, gambar/foto, Cara wartawan 8. Grafis Grafik menekankan fakta Metafora

Sumber: Eriyanto, h. 25

27

Alex Sobur. Analisa Semiotika dan Analisa Framing (Bandung: Rosdakarya, 2002). h.175

28


(43)

Berikut penjelasan mengenai keempat struktur yang menjadi model dari analisis framing model Pan dan Kosicki:

1) Struktur Sintaksis

Struktur sintaksis menunjuk kepada pengertian susunan dari bagian berita (headline, lead, latar informasi, sumber, penutup) dalam satu kesatuan teks berita secara keseluruhan. Segi sintaksis seringkali muncul dalam bentuk pireamida terbalik. Struktur ini dapat memberi petunjuk mengenai wartawan memaknai peristiwa dan hendak kemana berita tersebut dibawa.

Headline merupakan aspek sintaksis dari wacana berita dengan tingkat kemenonjolan tinggi yang menunjukkan kecenderungan berita. Headline

mempengaruhi bagaimana kisah dimengerti untuk kemudian digunakan dalam membuat pengertian isu dan peristiwa sebagaimana mereka beberkan.

Lead pada umumnya memberikan sudut pandang dari berita, menunjukkan perspektif tertentu dari peristiwa yang diberitakan.

Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi arti kata yang ditampilkan. Seorang wartawan ketika menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan kearah mana pandangan khalayak hendak dibawa. Latar dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Ini merupakan cerminan ideologis, dimana komunikator dapat menyajikan latar belakang atau juga tidak tergantung kepentingan mereka.

Bagian lain yang penting dari berita adalah pengutipan sumber berita. Bagian ini menjadi perangkat framing yang kuat atas tiga hal, yaitu mengklaim


(44)

validitas atau kebenaran dari pernyataan yang dibuat dengan mendasarkan diri pada klaim otoritas akademik, menghubungkan poin tertentu dari pandangannya kepada pejabat yang berwenang dan mengecilkan pendapat atau pamdangan tertentu yang dihubungkan dengan kutipan atau pandangan mayoritas sehingga pandangan tersebut tampak sebagai menyimpang.

2) Skrip

Yaitu laporan berita yang disusun sebagai suatu cerita. wartawan juga mempunyai cara agar berita yang ditulis menarik perhatian pembaca. Wartwan mempunyai strategi daan cara bercerita tertentu. Segi cara bercerita ini dapat menjadi pertanda framing yang ingin ditampilkan. Skrip salah satu strategi wartawan dalam mengkonstruk berita. Skrip memberikan tekanan mana yang didahulukan dan bagian mana dari suatu informasi penting yang disembunyikan. Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah pola 5 W=1H who, what, when, where, why, dan how. Meskipun pola ini tidak selalu dijumpai dalam setiap berita yang ditampilkan. Kategori informasi ini yaang diharapkan diambil oleh wartawan untuk dilaporkan. Unsur kelengkapan berita ini dapat menjadi penanda

framing yang penting. 3) Tematik

Yaitu berhubungan bagaimana fakta ditulis. Penempatan dan penulisan sumber berita kedalam teks secara keseluruhan. Dalam menulis berita seorang wartawan mempunyai tema tertentu atas suatu peristiwa. Tema itulah yang akan dibuktikan dengan susunan atau bentuk kalimat tertentu, proposisi, atau hubungan antar proposisi. Dalam suatu peristiwa tertentu pembuat teks dapat memanipulasi


(45)

penafsiran pembaca tentang suatu peristiwa. Struktur tematik yang bisa digunakan adalah sebagai berikut:

Detail. Elemen wacana detail berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan komunikator. Komunikator akan menonjolkan secara berlebihan informasi yaang menguntungkan dirinya atau citra yang baik sebaliknya ia akan menampilkan informasi dalam jumlah sedikit aatau bahkan tidak disampaikan bila hal itu dapat merugikan kedudukannya. Informasi yang menguntungkan komunikator bukan hanya ditampilkan secara berlebih tetapi juga dengan detail yang lengkap. Detail yang lengkap dan panjang lebar merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu kepada khalayak. Detail yang lengkap itu akan dilangkan kalau berhubungan dengan sesuatu yang mengangkat kelemahan atau kegagalan dirinya.

Koherensi adalah pertalian atau jalinan antar kata. Proposisi atau kalimat dan koherensi merupakan elemen wacaana untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Koherensi terbagi atas tiga koherensi yaitu koherensi kondisional, koherensi fungsional dan koherensi pembeda. Koherensi kondisional dalam wacana dapat berupa berhubungan dengan sebab akibat, bisa juga berupa hubungan penjelas. Koherensi kondisional dapat dilihat dari pemakaian kata hubung untuk menggambarkan dan menjelaskan hubungan atau mengisahkan suatu proposisi dihubungkan dengan bagaimana seseorang memaknai peristiwa yang ingin ditampilkan didepan publik. Koherensi kondisional juga ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas. Koherensi pembeda


(46)

berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa atau fakta tersebut mudah dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat seolah-olah bertentangan.

Bentuk kalimat adalah bentuk kalimat yang berhubungan dengan cara berpikir logis yaitu prinsip kausalitas.

Kata ganti adalah digunakan untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan imajinasi. Kata ganti merupakan alat yang dipakai. Komunikator menunjukkan dimana posisi orang dalam wacana.

4) Retoris

Yaitu berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam bentuk berita. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memakai leksikon, gaya, grafik atau gambar dan metafora. Yang bertujuan tidak hanya untuk mendukung tulisan tetapi juga menekankan arti tertentu kepada pembaca.

Leksikon menandakan bagaimana seseorang memilih kata dari berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata yang digunakan tidak secara kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas. Pilihan kata-kata yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu.

Grafis biasanya muncul dalam bentuk foto, gambar dan tabel untuk mendukung gagasan atau untuk bagian lain yang tidak ingin ditonjolkan.

Metafora merupakan cara penyampaian melalui kiasan dan ungkapan. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat pesan utama.29

29

Bimo Nugroho, Eriyanto, Frans Surdiasis, Politik Mengemas Berita. (Jakarta: Penerbit Institut Studi Arus Informasi, 1999), h.29-30


(47)

D. Konseptualisasi Berita

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia arti berita adalah laporan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat.30 Berita berasal dari Bahasa Sangsekerta, yakni Vrit yang dalam bahasa Inggris disebut write, arti sebenarnya ialah ada atau terjadi. Sebagian ada yang menyebut dengan Vritta, artinya “kejadian” atau “yang telah terjadi“. Vritta dalam bahasa Indonesia kemudian menjadi berita atau warta.31

Menurut Mitchel U. Charrley dan James M. Neal berita atau news adalah laporan tentang suatu peristiwa, opini, kecenderungan, situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih baru dan harus secepatnya disampaikan.32 Kata

News itu sendiri menunjukkan adanya unsur waktu, apa yang new, apa yang baru, yaitu lawan dari lama. Berita memang selalu baru, selalu hangat.33

Ada beberapa definisi tentang berita dari pakar komunikasi, ilmuwan dan penulis diantaranya:

a. Dean M. Spencer mendefinisikan berita sebagai suatu kenyataan atau ide yang benar dan dapat menarik perhatian sebagaian besar pembaca. b. Dr. Wlliar C. Balayer, berita adaalah sesuatu yng termasuk (baru) yang

dipilih wartawan untuk dimuat dalam media cetak oleh karena itu, ia

30

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)h. 46

31

Drs. Totok Djuroto, M. Si, Manajemen Penerbitan Pers (Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 2000) cet ke-1. h. 46

32

AS. Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005) cet ke-1 h.64

33

Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik Teori dan Praktik (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) cet ke-2 h.57


(48)

dapat menarik atau mempunyai makana dan dapat menarik minat bagi pembaca surat kabar tersebut..

c. William S. Maaulsby menyebutkan berita sebagai suatu penuturan secara benar dan tidak memihak dari fakta yang mempunyai arti penting dan baru terjadi.

d. Eric C. Hesfwood, berita adalah laporan pertama dari kejadian yang penting dan menarik perhatian pembaca.

e. Djafar H. Assegaf mengartikan berita sebagai laporan tentang fakta atau ide yang termasa dan dipilih oleh staf redaksi suatu media massa untuk disiarkn dengan harapan dapat menarik perhatian khalayak.

Sementara J.B wahyudi mendefinisikan berita sebagai laporan tentang peristiwa atau pendapat yang memiliki nilai penting dan menarik bagi sebagian khalayak, masih baru dan dipublikasikan secara luas melalui media massa. Peristiwa atau pendapat tidak akan menjadi berita bila tidak dipublikasikan secara periodik.34

Dengan demikian berita adalah fakta, opini, pesan , informasi yang mengandung nilai-nilii yang diumumkan, diinformasikan yang menarik perhatian sejumlah orang yang memilki pertimbangan diantaranya:

1. Akurat, singkat, padat dan sesuai dengan kenyataan. 2. Tepat waktu dan aktual.

3. Obyektif, sama dengan fakta yang sebenarnya, tanpa opini dari penulis.

34


(49)

4. Menarik, disajikan dengan kata-kata dan kalimat yang khas, segar dan enak dibaca.

5. Baru. 35

Berita juga harus lengkap, adil dan berimbang tidak boleh mencampurkan fakta dan opini sendiri dengan kata lain berita harus obyektif dan tentu saja harus ringkas, jelas dan hangat sebagai syarat praktis penulisan berita.

Sifat-sifat berita yang istimewa ini merupakan bentuk khas praktik pemberitaan yang juga sebagai pedoman yang membeimbing wartawan dalam menyajikan dan menilai layak tidaknya suatu berita dimuat. Artinya untuk membuat berita paling tidak harus memenuhi dua syarat untuk layak menjadi berita yaitu faktanya tidak boleh diputar sedemikian rupa sehingga kebenaran tinggal sebagian saja dan berita itu harus menceritakan segala aspek secara lengkap.

Jadi, dapat dikatakan bahwa berita merupakan rangkuman detail mengenai suatu peristiwa yang baru saja atau sedang terjadi. Bila berita ditulis hanya berdasarkan benar-benar fakta atau realitas suatu peristiwa di lapangan yaitu dimana unsur 5W+1H (what, why, who, when, where, dan how) sudah terpenuhi.

Mengenai konteks berita sendiri menurut gagasan Berger dalam bukunya ”The Social Construction Theory of Reality”, harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas, karena sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Setiap wartawan mempunyai pandangan dan konsepsi yang

35

Sr. Maria Assumti Kumanti, Dasar-dasar Publik Relation Teori dan Praktik (Jakarta: Grasindo, 2002) h. 130.


(50)

berbeda atas suatu peristiwa. Hal ini dapat dilihat bagaimana wartawan mengkonstruksi peristiwa dalam pemberitaannya.36

Berita dalam pandangan konsruksionis merupakan hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai media. Sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas, realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita berbeda karena cara pandang yang berbeda.37

Abrar, pakar jurnalistik dari Universitas Gajah Mada mendefinisikan berita dilihat dengan pendekatan konstruksionis yakni sebagai hasil rekonstruksi tertulis dari realitas sosial yang terdapat dalam kehidupan. Itulah sebabnya ada orang yang beranggapan bahwa penulisan berita lebih merupakan pekerjaan merekonstruksi realitas sosial ketimbang gambaran dari realitas itu sendiri.38

Jadi, berita yang disuguhkan kehadapan pembaca bukanlah berita mentah berisi informasi, melainkan telah dibangun, atau dikonstruksi ulang sesuai pandangan, nilai-nilai ideologi, bahkan kepentingan media itu sendiri terhadap peristiwa sampai kepada siapa aktor dibalik peristiwa itu. Sehingga berita itu lebih memilki bobot pemberitaan yang sangat sarat makna dan tujuan tersirat media, menciptakan pandangan atau opini pembaca yang sesuai dengan yang diinginkan.

Menurut Ibnu hamad seperti dikutip Alex Sobur dalam bukunya ”Analisis Teks Media,” menyatakan karena sifat dan faktanya bahwa tugas redaksional

36

Peter L.Berger &Thomas luckman, “The Social Construction Theory of Reality”, dalam Eriyanto, Analisis Framing.h.15

37

Ibid h. 25 38

Ana Nadya Abrar, Modul Pelatihan Jurnalistik Berita, 12-15 Desember, 2005, Artikel diakses pada 20 April 2007 di http://www. infojawa.org/file/pdf/20/04/07


(51)

media massa dalam menceritakan peristiwa-peristiwa. Maka tidak berlebihan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang dikonstruksikan.39

Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan fakta yang riil. Berita adalah produk interaksi wartawan dengan fakta. Realitas sosial tidak begitu saja menjadi berita tetapi melalui proses. Diantaranya proses internalisasi, dimana wartawan dilanda oleh realitas yang ia amati dan diserap dalam kesadaranya. Kemudian selanjutnya adalah eksternalisasi, dalam proses ini wartawan menceburkan diri dalam memaknai realitas. Berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika.40 Proses pembangunan atau penciptaan ulang realitas berita ini dilakukan dengan berdasarkan pada ideologi, kepentingan dan nilai tertentu yang dianut media, sehingga para jurnalis juga tidak serta merta menyusun berita begitu saja.

Media, tentu memiliki kecenderungan masing-masing pada suatu aspek pemberitaan tertentu, sehingga akan tampak beragam hasil laporannya. Ada yang berisisi informastif, ada yang terkesan mendukung atau sangat nyata keberpihakannya terhadap salah satu kelompok, tetapi adapula yang netral, berupaya seimbang, bahkan berpihak pada publik. Kejadian atau masalah yang diangkat menjadi isi pesan media bukan ditempatkan begitu saja tanpa konteks, namun perlu penempatan yang menjadikan pesann kontekstual.. konteks itu ikut dibangun dan diberikan filsafat, visi, kerangka referensi media itu sendiri.41

39

Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002) h. 98 40

Eriyanto, Analisis Framing, h. 17 41

Jacob Oetama, Pers Indonesia-Berkomunikasi dalam Masyarakat tidak Tulus (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001) h. 42


(52)

BAB III

PROFIL AHMADIYAH DAN MAJALAH GATRA

A. Tentang Ahmadiyah

1. Sekilas Tentang Aliran Ahmadiyah

Sejarah berdirinya Ahmadiyah, tidak terlepas dari Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri aliran ini. Ia di lahirkan di Qadian tahun 1835, kemudian pada tahun 1889 M bertepatan dengan tahun 1306 H Ia mendirikan Ahmadiyah.1

Ahmadiyah adalah sebutan singkat dari Jemaah Ahmadiyah. Jemaah berarti kumpulan individu yang bersatu padu dan bekerja untuk suatu program bersama. Ahmadiyah diambil dari satu nama Rasulullah saw yang diinformasikan kepada Nabi Isa a.s dalam surat Ash Shaf ayat 6 yang menyatakan bahwa akan datang seorang nabi dan rasul bernama Ahmad.2 nama “Ahmadiyah” oleh Mirza Ghulam Ahmad diumumkan penggunaannya secara resmi pada tanggal 4 November 1900, dan sejak itulah nama aliran ini dimasukkan dalam catatan resmi kolonial Inggris.3

Saat ini anggota Ahmadiyah di Dunia berjumlah kurang lebih 20 juta orang. Beberapa pusat gerakan Ahmadiyah atau sering disebut pusat pentablighan pada mulanya terdapat di Pakistan, India, dan Bangladesh, tetapi saat ini dengan

1

Terjadi perbedaan pendapat mengenai berdirinya Ahmadiyah. Aliran Lahore berpendapat bahwa Ahmadiyah berdiri tahun 1988 M berdasarkan ilham yang diterimanya untuk mendirikan bahtera dan melakukan baiat kepada Mirza Ghulam Ahmad. Sementara aliran Qadian menyatakan bahwa Ahmadiyah berdiri 1889 M. hal ini didasarkan pada permulaaan pembaiatan yang dilakukan banyak orang terhadap Mirza Ghulam Ahmad. Lihat Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah Selayang Pandang (Jakarta: Yayasan Raja Pena, 2001), cet IV, h.5

2

Saleh A. Nahdi Ahmadiyah Selayang Pandang (Jakarta: Yayasan Raja Pena, 2001), cet IV, h. 60

3


(53)

perkembangannya yang sangat pesat, pusat pentablighan tersebut mulai tersebar ke berbagai Negara di dunia, termasuk di Negara kita Indonesia. 4

Pasca kematian sang pendiri, tepatnya sepeninggal Khalifah I Hadhrat II Hakim Nuruddin Pada tahun 1914, pengikut Ahmadiyah terpecah dua.

Pertama, Aliran Ahmadiyah Qadian yang meyakini bahwa orang yang tidak beriman kepada Ghulam Ahmad adalah di luar Islam. Kelompok ini juga mengakui bahwa pintu kenabian masih terbuka, Gulam Ahmad tidak hanya sebagai mujaddid, tetapi juga seorang Nabi yang harus ditaati ajarannya. Kelompok ini dipimpin oleh Bashiruddin Mahmud Ahmad.

Kedua, adalah Ahmadiyah Lahore yang disebut juga Ahmadiya Anjuman Asha’at Islam dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali dan Kwaja Kamaluddin yang ajarannya tidak menyetujui prinsip-prinsip ajaran golongan pertama. golongan ini berpendapat bahwa pintu kenabian sudah tertutup setelah Nabi Muhammad Saw. Kedudukan Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai Mujaddid.5

Ahmadiyah Qadian, kemudian lebih dikenal dengan Jemaah Ahmadiyah. Di Indonesia Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) berdiri pada tahun 1925.6 sedangkan Ahmadiyah Lahore, dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), hadir empat tahun kemudian yakni pada tahun 1929.7

Perkembangan Ahmadiyah Lahore dan Qadian di Indonesia ini cukup pesat. Beberapa tahun setelah resmi berdiri, kedua kelompok aliran tersebut

4

A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2006) h. 23

5

Ibid h. 21 6

Drs. Muslih Fathoni, MA, Faham Mahdi Sy’iah dan Ahmadiyah dalam Perspektif (PT. RajaGrafindo Persada, 1994) h. 69

7


(1)

dengan ideologi profesional wartawan yang tercermin dari visi dan misi media tersebut.

B. Saran

Persoalan Ahmadiyah hingga kini memang masih mengundang polemik antara kelompok pro maupun yang kontra terhadap keberadaan Ahmadiyah menyusul keputusan MUI yang menfatwakan sesat terhadap Aliran Ahmadiyah. Bagi mereka yang menolak Ahmadiyah dibubarkan atau dilarang keberadaannya tentu dengan alasan karena hak kebebasan dalam beragama dan menjalankan keyakinan, sedangkan bagi mereka yang kontra terhadap keberadaan Ahmadiyah tentu menganggap bahwa ajaran Ahmadiyah dinilainya menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam dan menganggapnya telah melakukan penodaan Agama, oleh karena itu penulis menyarankan:

1. Agar dalam memberitakan seputar Ahmadiyah ini diharapkan Gatra menginformasikan tidak hanya menonjolkan pemberitaan dari sisi kekerasan yang menimpa Ahmadiyah, namun Gatra juga seharusnya menampilkan pemberitaan seputar Ahmadiyah dari aspek penyimpangan Ajaran-ajaran pokok Ahmadiyah yang tentunya agar publik mengetahui lebih lengkap seputar Aliran Ahmadiyah ini.

2. Mengenai pemberitaan seputar Aliran Ahmadiyah ini gatra sebagai media massa cetak Nasional yang cukup terkemuka melalui tulisan-tulisannya diharapkan Gatra daapat menyampikan pesan yang konstruktif sehingga permasalahan Ahmadiyah tidak lagi semakin berlarut-larut.


(2)

3. Berkaitan dengan persoalan Aliran Ahmadiyah yang hingga kini masih mengundang kontroversial diharapkan media massa khususnya Gatra tetap melanjutkan upaya menghadirkan informasi yang lebih adil dan argumentatif serta selalu membuka dialog konstruktif berkenaan dengan upaya penanganan terhadap Aliran Ahmadiyah di Indonesia.

4. Kepada imam dan jemaah Ahmadiyah diharapkan intropeksi diri bahwa pengakuan mereka pada adanya nabi setelah nabi Muhammad adalah sensitif bagi mayoritas Umat Islam, tidak eksklusif dan memisahkan diri dengan umat Islam lainnya menganggap dirinya paling bebar, tidak mau bermakmum dan menikah dengan muslim yang lain. Juga jangan demonstratif dalam menggelar kegiatann, yang bisa mengusik kepekaan kaum mayoritas.

5. Kepada masyarakat Muslim yang menentang keberadaan Ahmadiyah diharapkan tidak melakukan tindakan anarki atau main hakim sendiri terhadap Jemaah Ahmadiyah karena perbuatan tersebut justru membuat citra Islam menjadi negatif dihadapan masyarakat baik masyarakat dalam negeri maupun masyarakat di luar negeri, padahal Islam tidak mengajarkan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan.

6. Penulis berharap kepada Pemerintah agar bersikap lebih tegas dalam menyikapi keberadaan Aliran Ahmadiyah ini, sehingga tidak timbul keresahan dikalangan masyarakat terutama mayoritas umat Islam yang meyakini bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat atau menyimpang, namun perkembangan hingga saat ini Pemerintah tidak juga tegas membubarkan Ahmadiyah. Pemerintah melalui Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri serta Jaksa Agung belum lama ini


(3)

mengeluarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tentang Ahmadiyah yang garis besarnya tidak membubarkan Ahmadiyah, namun hanya melarang menyebarluaskan ajaran-ajarannya ke masyarakat yang bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam, walaupun demikian kita harapkan persoalan Ahmadiyah tidak lagi semakin berlarut-larut dan tindakan kekerasan tidak lagi terjadi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abrar, Ana Nadya. Modul Pelatihan Jurnalistik Media. 12-15 Desember 2005. Artikel di akses di http://www.infojawa.org/file/pdf/20/04/2007. Berger L. Peter. Thomas Luckman. Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Sebuah

Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Terj. Hasan Basri. Jakarta: LP3ES, 1990.

Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana, 2007.

---. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2004.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Djuroto, Totok. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.

Effendi, O. Uchjana. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.

---. Ilmu Teori dan Filsafat Komuniikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS, 2002.

Fardusi, Fahri. Berita Sebagai Konstruksi Media. Artikel di akses pada November 2007 di http://fahri99.wordpress.com/2007/po2.html

Fathoni, Muslich, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif. Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1994.

Gibb, H.A.R. Aliran-aliran Modern Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo, 1996. Hamad, Ibnu, Qadari, Muhammad dan Sudibyo, Agus. Kabar-kabar

Kebencian. Institut Studi Arus Informasi. PT. sembrani Aksara Nusantara, Jakarta, 2001.

Harasaki, Yasuaki. Pers Terjebak. Jakarta: Institut Arus Informasi, 1998 Hidayat, N. Dedi. Konstruksi Sosial Industri Penyiaran. Jakarta: Pasca


(5)

Kurniawan. A. Fajar. Teologi Kenabian Ahmadiyah. Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2006.

Kusumaningrat, Hikmat dan Kusumaningrat, Purnama. Jurnalistik Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.

Muslih, Masnur. Kekuasaan Media Massa Mengkonstruksi Realitas, sebuah Kajian. Artikel diakses pada 10 November, di www.kabmalang.go.id/10/11/2007

Mustafa, Aris, Indriyani dan Sri Wahyuni. Keyakinan yang Digugat. Jakarta: Pusat Data dan Analisis Tempo, 2005.

Nahdi A. Saleh. Ahmadiyah Selayang Pandang. Jakarta: Panitia Penerbit, 1996.

Nasution, Zulkarmein. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta: Pusat Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional, 2004.

Nazin, Moh. Metodologi Penelitian. Bandung: Ghalia Indonesia, 1999. Nugroho, Bimo, Eriyanto dan Frans Surdiasis. Politik Mengemas Media.

Jakarta: Penerbit Institut Studi Arus Informasi, 1999.

Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.

Oetama, Jakob. Pers Indonesia-Berkomunikasi Dalam Masyarakat Tidak Tulus. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.

Puspitasari, Wina. Pengaruh Komunikasi Terhadap Masyarakat, Analisa Kedatangan Bush dengan Menggunakan Teori Agenda Setting. Artikel diakses di http://jurnal.bl.ac.id/wp.content/uploads/2007/01/BL.com dan http://en.Wikipedia.org/wiki/Agenda-Setting Theory/21desember 2005 Ridwan, Kholil. Solusi Untuk Ahmadiyah. Artikel pada Harian Umum

Republika, 20 Juli 2005.

Salim, Agus. Teori dan Paradigma Sosial dan Denzin Guba dan Penerapannya. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001.

Sendjaya, S. Djuarsa.dkk. Teori Komunikasi: Materi Pokok IKOM modul .UT. Jakarta. 1999.


(6)

Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.

Sumadiria, AS. Haris. Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalitik Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005.

Sutrisno, Hadi. Metodologi Recearch. Yogyakarta: Andi Ofset, 1989.

Yasir S. Ali. Gerakan Pembaharuan dalam Islam. Yogyakarta: Yayasan Perguruan Islam Reublik Indonesia, 1978.

Media dan Jurnal Majalah Tempo, edisi 20-26 Februari, 2006 Majalah Sabili, edisi 11 Agustus, 2005 Media Indonesia, 16 Juli, 2005

Pikiran Rakyat, 16 Juli, 2005. Republika, 20 Juli, 2005


Dokumen yang terkait

Konstruksi Pemberitaan Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah Pada Tayangan Provocative Proactive (Studi Analisis Framing Tentang Konstruksi Pemberitaan Dalam Frame Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah Pada Tayangan Provocative Proactive di Metro TV)

0 47 112

Berita Penyerangan Jamaah Ahmadiyah (Analisis Framing Tentang Pemberitaan Penyerangan Jamaah Ahmadiyah Pada Majalah Tempo dan Sabili)

3 52 102

SIKAP SURAT KABAR DALAM MEMBERITAKAN PERISTIWA KONFLIK (Analisis Isi Pemberitaan Carok Pada Koran Radar Madura Edisi 20 Juli 2006 – 27 Agustus 2010)

2 10 56

Konstruksi Pemberitaan Media Online Tentang Kinerja Kabinet Kerja Jokowi-JK (Analisis Framing Pada News Media Online Detik.com & VIVA.co.id Edisi 26 Oktober - 31 Desember 2014)

0 6 1

Konstruksi Pemberitaan Pasca Reshuffle Kabinet Kerja Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) (Analisis Framing pada Beritasatu.com dan VIVA.co.id edisi 12-18 Agustus 2015)

2 6 77

Konstruksi Majalah Pria Tentang Pria Metroseksual (Analisis Framing Majalah Mens Health Indonesia Edisi Maret 2015 – Juni 2015)

2 14 23

SIKAP SURAT KABAR DALAM MEMBERITAKAN PERISTIWA KONFLIK (Analisis Isi Pemberitaan Carok Pada Koran Radar Madura Edisi 20 Juli 2006 – 27 Agustus 2010)

0 4 56

Hirarki Pengaruh Pada Pemberitaan Ahmadiyah Di Majalah Tempo

3 23 130

Konstruksi Realitas Media Massa (Analisis Framing Pemberitaan Korupsi M. Nazaruddin di Harian Republika)

1 8 148

Konstruksi Pemberitaan Tentang Ahmadiyah (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Ahmadiyah Pada Majalah Gatra Edisi Bulan Juli s/d Agustus 2005)

7 59 101