Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Pada Kondisi Ambient : Pengaruh Variasi pH Terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA) Menggunakan Reaktor Batch Berpengaduk
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perkembangan Kelapa Sawit di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara produsen minyak sawit terbesar dunia,
dimana produksi terbesar berasal dari dua Negara produsen minyak sawit terbesar
seperti Indonesia (33 juta ton) dan Malaysia (20,5 juta ton) pada tahun 2014/ 2015.
Persentase produksi minyak kelapa sawit terus mengalami kenaikan kurang lebih
39,83% dari tahun 2010/2011 hingga tahun 2014/ 2015 [1].
Dengan bertambahnya produksi minyak kelapa sawit setiap tahunnya maka
permasalahan lingkungan juga mengalami peningkatan yang diakibatkan oleh limbah
yang dihasilkan dari proses produksi minyak kelapa sawit. Pabrik pengolahan kelapa
sawit menggunakan sejumlah besar air dan energi dalam proses produksi. Di sisi
output, proses manufaktur menghasilkan sejumlah besar limbah padat, limbah cair dan
polusi udara. Limbah cair dihasilkan dari ekstraksi minyak sawit pada proses di
dekanter, dikombinasikan dengan limbah dari air pendingin dan sterilizer yang disebut
LCPKS [15].
2.2
Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)
Limbah cair dihasilkan dari ekstraksi minyak sawit dari proses basah di dekanter.
Limbah cair ini dikombinasikan dengan limbah dari air pendingin dan sterilizer yang
disebut sebagai LCPKS [15]. Biasanya ditempatkan secara konvensional pada suatu
kolam atau juga tangki digestasi terbuka (open digesting tanks) [16]. Limbah cair
umumnya berwarna kecoklatan, terdiri dari padatan terlarut dan tersuspensi berupa
koloid dan residu minyak dengan kandungan COD tinggi, bersifat asam (pH nya 3,5 4), terdiri dari 95% air, 4-5% bahan-bahan terlarut dan tersuspensi dan 0,5-1% residu
minyak yang sebagian besar berupa emulsi. Kandungan TSS limbah cair industry
minyak sawit tinggi sekitar 1.330 – 50.700 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa limbah
cair industry minyak sawit mengandung bahan-bahan organic yang tinggi dan jika
dibuang ke badan air penerima akan mengakibatkan penurunan kualitas perairan dan
lingkungan [38]. LCPKS terdiri dari kombinasi dari air limbah yang terutama
5
Universitas Sumatera Utara
dihasilkan dan dikeluarkan dari operasi pengolahan utama, seperti yang terlihat pada
Gambar 2.1 [20] :
Sterilisasi Tandan Buah Segar - sterilizer condensate sekitar 36% dari total
LCPKS;
dari total LCPKS;
Klarifikasi dari CPO diekstraksi - air limbah klarifikasi adalah sekitar 60%
Clay bath Separation (Hydrocyclone ) pemisahan campuran kernel dan shell-
air limbah hidrosiklon adalah sekitar 4% dari total LCPKS pabrik kelapa
sawit.
Gambar 2.1 Pengolahan Minyak Kelapa Sawit yang Menghasilkan LCPKS
[21]
6
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Karakteristik LCPKS sebelum dilakukan pengolahan [39]
Parameter
LCPKS
pH
4,5
Biological Oxygen Demand (BOD)
31.500 mg / L
Chemical Oxygen Demand (COD)
65.000 mg / L
Total Solid (TS)
39.000 mg / L
Suspended Solid (SS)
18.900 mg / L
Oil & Grease
3970 mg / L
Tabel 2.2 Baku Mutu Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit Menurut Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup [40]
Kadar
Parameter
Maksimum
(mg/L)
Beban Pencemaran
Maksimum (kg/ton)
COD
350
3,0
Minyak dan Lemak
25
0,18
Nitrogen Total
50
0,12
Ph
6,0-9,0
Debit Limbah Maksimum
4,5 m3 per ton CPO
Sehingga dengan banyaknya limbah cair yang dihasilkan dari pabrik pengolahan
kelapa sawit akan menjadi masalah yang perlu diperhatikan dan ditangani karena
selain menimbulkan bau tidak sedap LCPKS juga dapat menghasilkan gas metana
yang merupakan gas rumah kaca 20-30 kali lebih kuat dibandingkan dengan gas
karbon dioksida. Pemerintah Indonesia menargetkan pada tahun 2020 sebanyak 60 %
pabrik kelapa sawit Indonesia harus memiliki fasilitas pendukung seperti methane
capture (penangkap gas metan) sehingga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca,
caranya adalah dengan mengupayakan pengkonversian gas metana menjadi energi
listrik [41]. Kandungan organik yang tinggi pada limbah cair kelapa sawit (LCPKS)
membuat limbah cair tersebut menjadi sumber yang baik untuk menghasilkan gas
metana melalui digestasi anaerobik. Selain itu, LCPKS mengandung konstituen
7
Universitas Sumatera Utara
biodegradable dengan rasio BOD / COD sebesar 0,5 dan ini berarti bahwa LCPKS
dapat diolah dengan mudah menggunakan cara biologis [42].
2.3
Potensi Produksi Biogas Dari LCPKS
Bahan yang ditambahkan ke proses biogas adalah substrat (makanan) untuk
mikroba dan sifat-sifatnya memiliki pengaruh besar pada stabilitas dan efisiensi
proses. Komposisi substrat sangat penting baik untuk jumlah gas yang terbentuk dan
kualitas gas. Komposisi akhirnya juga mempengaruhi kualitas residu digestasi, baik
dari segi kandungan gizi tanaman dan potensi kontaminasi (logam, senyawa organik,
organisme penyebab penyakit, dan lain-lain). Memilih bahan yang tepat
mempengaruhi hasil dari proses, memaksimalkan output energi dan menghasilkan
pupuk hayati berkualitas baik [22]. Bahan baku yang berbeda akan menghasilkan
jumlah biogas dan metana yang berbeda tergantung pada kandungan karbohidrat,
lemak dan protein. Secara teori, semua bahan biodegradable dengan kadar lignin yang
wajar (bukan kayu) adalah bahan baku yang cocok untuk proses biogas [23].
Tabel 2.3 Produksi Biogas dan Metana Teoritis dari Karbohidrat, Lemak dan
Protein [24]
Substrat
Biogas
Metana
Kandungan Metana
(m3/ton)
(m3/ton)
(%)
Karbohidrat
830
415
50,0
Lemak
1444
1014
70,2
Protein
793
504
63,6
2.4
Proses Digestasi Anaerob
Pengolahan anaerobik adalah proses menghasilkan energi, berbeda dengan
sistem aerobik yang umumnya memerlukan input energi yang tinggi untuk tujuan
aerasi. Pengolahan anaerobik merupakan teknologi yang relatif murah yang
mengkonsumsi lebih sedikit energi, ruang dan menghasilkan sedikit kelebihan lumpur
dibandingkan dengan teknologi pengolahan aerobik konvensional. Produksi energi
dari biogas membuat teknologi pengolahan anaerobik menjadi pilihan yang lebih
menarik daripada metode pengolahan lainnya [26].
8
Universitas Sumatera Utara
Digestasi anaerobik adalah sebuah proses yang kompleks yang melibatkan
penguraian senyawa organik tanpa adanya molekul oksigen untuk menghasilkan gas
metana (CH4) dan gas karbon dioksida (CO2). Proses degradasi terjadi oleh aksi dari
berbagai jenis bakteri anaerobik. Proses degradasi ini meliputi hidrolisis, asidogenesis
(termasuk asetogenesis) dan metanogenesis. Gas metana merupakan salah satu
komponen yang diproduksi Melalui proses degradasi methanogenesis anaerobik [24].
Effluent dari digestasi anaerobik akan menjadi pupuk yang baik karena mengandung
hampir semua zat makro dan mikro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman
[43].
Mikrobiologi anaerob dari zat-zat buangan organik yang melibatkan proses yang
berbeda-beda seperti pada proses hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis dan pada
proses metanogenesis.
Gambar 2.2 Skema Proses Pengolahan Digestasi Anerobik [25]
2.4.1 Tahap Hidrolisis
9
Universitas Sumatera Utara
Pada tahap pertama (hidrolisis), senyawa yang tidak terlarut seperti selulosa,
protein dan lemak dipecah menjadi monomer-monomer (fragmen larut dalam air) oleh
exoenzymes (hydrolase) dari bakteri anaerobik fakultatif dan obligat. Kondisi
operasional proses mempengaruhi hidrolisis, misalnya suhu yang lebih tinggi
meningkatkan hidrolisis. pH optimal adalah sekitar 6,0, meskipun hidrolisis terjadi
juga pada pH yang lebih tinggi. Laju beban organik (OLR) yang terlalu tinggi dapat
menghambat hidrolisis melalui akumulasi degradasi intermediet [22].
Proses hidrolisis dari karbohidrat membutuhkan waktu beberapa jam, hidrolisis
protein dan lemak membutuhkan waktu beberapa hari. Lignoselulosa dan lignin
didegradasi sangat lambat dan tidak sempurna [27].
Tabel 2.4 Beberapa Kelompok Enzim Hidrolisis dan Fungsinya [25]
Enzim
Substrat
Produk pemecahan
Proteinase
Protein
Asam amino
Cellulase
Selulosa
Cellobiose and glucose
Hemicellulase
Hemicellulose Gula, seperti glukosa, xylose, mannose dan
arabinose
Amylase
Pati
Glukosa
Lipase
Lemak
Asam lemak dan gliserol
Pectinase
Pektin
Gula seperti galaktosa, arabinose, dan
polygalactic uronic acid
2.4.2 Tahap Asidogenesis
Pada langkah kedua adalah asidogenesis (juga disebut sebagai fermentasi),
Setelah bahan baku terdegradasi menjadi molekul yang lebih kecil, yaitu asam lemak
rantai panjang (Long Chain Fatty Acids), alkohol, gula sederhana dan asam amino dari
tahap hidrolisis , bakteri Acidogenic mampu menyerap molekul tersebut dan
mendegradasi lebih lanjut menjadi asam lemak volatil (VFA) [23].
Pada tahap ini, bukan hanya terdiri dari satu reaksi sama seperti pada hidrolisis,
banyak organisme yang berbeda aktif selama tahap ini dan lebih banyak dari pada
tahap lain. Kecepatan reaksi yang terjadi tergantung pada organisme yang hadir dan
substrat selama proses [22]. Konsentrasi ion hidrogen intermediet yang terbentuk
10
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi jenis produk fermentasi. Tekanan parsial hidrogen yang tinggi
menyebabkan senyawa yang sedikit tereduksi, seperti asetat, terbentuk [27].
Asam lemak volatil dengan rantai lebih dari empat-karbon tidak dapat digunakan
langsung oleh metanogen. Asam organik ini selanjutnya dioksidasi menjadi asam
asetat dan hidrogen oleh bakteri acetogenic obligat hidrogen melalui proses yang
disebut asetogenesis. Asetogenesis juga mencakup produksi asetat dari hidrogen dan
karbon dioksida oleh acetogens dan homoacetogens. Kadang-kadang asidogenesis dan
asetogenesis tahap digabungkan bersama sebagai satu tahap [28].
2.4.3 Tahap Asetogenesis
Selama proses asidogenesis, tidak hanya asetat, H2 dan CO2 yang dihasilkan,
namun produk intermediet kompleks seperti propionat, butirat, laktat dan etanol akan
diproduksi secara bersamaan. Produk intermediet tersebut akan dikonversi menjadi
asam organik sederhana CO2 dan H2 oleh bakteri acetogenic [25].
Pada tahap asetogenesis, mikroorganisme homoacetogenic secara konstan terus
mengurangi eksergonik H2 dan CO2 menjadi asam asetat.
2CO2 + 4H2 → CH3COOH + 2H2O
[27]
2.4.4 Tahap Metanogenesis
Metanogenesis merupakan tahap akhir dari proses biogas. Pada tahap ini, metana
dan karbon dioksida (biogas) yang dibentuk oleh berbagai mikroorganisme yang
memproduksi metana disebut metanogen. Substrat yang paling penting bagi organisme
ini adalah gas hidrogen, karbon dioksida, dan asetat, yang terbentuk selama oksidasi
anaerobik. Namun substrat lain seperti metil amina, beberapa alkohol, dan format juga
dapat digunakan untuk produksi metana [27]. Bakteri metanogens sangat sensitif
terhadap oksigen. oksigen merupakan racun mematikan yang membunuh semua
metanogens bahkan pada konsentrasi rendah [25].
Gas metana diproduksi dalam dua cara. Salah satunya adalah konversi asetat
menjadi karbon dioksida dan metana oleh organisme acetotrophic dan melalui reduksi
karbon dioksida dengan hidrogen oleh organisme hydrogenotrophic. Metanogen
dominan
dalam
reaktor
biogas
terbatas
pada
Methanobacterium,
11
Universitas Sumatera Utara
methanothermobacter , methanobrevibacter , methanosarcina dan methanosaeta
(sebelumnya methanothrix) [10]. Reaksi metanogenesis dapat dinyatakan sebagai
berikut :
CH3COOH → CH4 + CO2
CO2 + 4H2 → CH4 + 2H2O
[28]
Produsen metana umumnya tumbuh sangat lambat, hal ini membatasi proses
pembentukan biogas. Waktu generasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
mikroorganisme untuk membagi dirinya dalam dua, adalah antara 1 hingga 12 hari
bagi produsen metana. Waktu retensi yang terlalu pendek (kurang dari 12 hari)
meningkatkan risiko bahwa organisme ini akan tercuci keluar dari proses, karena
mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk meningkatkan jumlah pada tingkat
yang sama dengan bahan yang dipompa kedalam dan keluar dari tangki pencernaan
[28].
2.5
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Performa Digestasi Anaerob
2.5.1 pH
Kebanyakan mikroorganisme lebih memilih rentang pH netral, yaitu sekitar pH
7,0-7,5. Namun, beberapa organisme aktif pada nilai pH lebih rendah dan lebih tinggi.
Ada beberapa organisme yang berbeda dalam proses biogas, dan persyaratan pH
mereka untuk pertumbuhan yang optimal sangat bervariasi. Pada fermentasi,
mikroorganisme penghasil asam berhasil hidup dalam kondisi yang relatif asam, pH
dibawah 5.0, sebagian besar produsen metana umumnya memerlukan nilai pH netral
untuk menjadi aktif [22].
Nilai pH pada proses anaerobik akan mengalami penurunan dengan
diproduksinya asam volatil dan akan meningkat dengan dikonsumsinya asam volatil
oleh bakteri pembentuk metana [29]. Berbagai jenis mikroba dalam digester anaerobik
sangat sensitif terhadap perubahan pH dan sangat mempengaruhi produksi metana
[22]. Peningkatan pH dapat mempercepat pembusukan, sehingga mempercepat
perombakan dan secara tidak langsung mempercepat produksi biogas. Diperoleh
bahwa pH netral memacu perkembangan bakteri metana (metanogen), sehingga pada
12
Universitas Sumatera Utara
pH tersebut bakteri perombak asam asetat tumbuh dan berkembang secara optimum,
hal ini meningkatkan produksi biogas [17].
Mikroorganisme asidogenik dapat tumbuh dan terus menghasilkan asam pada
pH rendah (5-6) [75]. Tingkat pH optimal untuk kelompok fungsional biokimia pada
proses anaerob yaitu [59]:
1) Hidrolisis, biasanya optimal di atas pH 6 tetapi memungkinkan hingga pH 5.
2) Asidogenesis, optimal antara pH 5,5 dan 8, tetapi memungkinkan hingga pH 4.
3) Asetogenesis/hidrogen memanfaatkan metanogen, optimal antara pH 6,5 dan 8
tetapi memungkinkan hingga pH 5.
4) Metanogenenesis, optimal antara pH 7 dan 8 tetapi memungkinkan hingga pH 6.
2.5.2 Suhu
Suhu optimum, yaitu suhu dimana organisme tumbuh tercepat dan bekerja
paling efisien, memiliki nilai bervariasi untuk setiap spesies. Mikroorganisme dapat
dibagi menjadi kelompok-kelompok yang berbeda tergantung pada suhu di mana
mereka terbaik berkembang dan tumbuh : psychrophilic, mesofilik, termofilik, dan
extremophilic/hyperthermophilic. Biasanya, Suhu optimum untuk organisme tertentu
sangat terkait dengan lingkungan dari mana ia berasal [22].
Digestasi anaerobik Konvensional dilakukan pada suhu mesofilik, terutama
karena kebutuhan energi yang lebih rendah dan stabilitas yang lebih baik dari proses.
LCPKS dibuang pada suhu sekitar 80-90 oC yang benar-benar membuat pengolahan
limbah cair tersebut pada kedua suhu mesofilik dan termofilik dapat dilakukan
terutama di negara-negara yang beriklim tropis [18].
13
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Klasifikasi Mikroorganisme Berdasarkan Suhu [22]
Secara umum, suhu terendah di mana mikroorganisme tumbuh, adalah -11 °C.
Dibawah -25 °C, aktivitas enzim berhenti. Metanogens sensitif terhadap perubahan
suhu yang cepat. Metanogen suhu termofilik lebih sensitif dibandingkan mesofilik.
Bahkan variasi kecil suhu menyebabkan penurunan substansial dalam aktivitas. Oleh
karena itu, suhu harus dijaga dengan tepat dalam jarak kurang lebih 2 °C, Jika tidak,
terjadi kehilangan gas hingga 30%. Terutama penting untuk mesofilik adalah suhu di
kisaran 40-45 °C, karena dalam rentang tersebut mereka kehilangan aktivitas
ireversibel [27].
2.5.3 Laju Pengadukan
Pencampuran yang memadai sangat penting untuk mencapai keberhasilan
pengolahan anaerobik limbah cair organik. Dengan kata lain, pencampuran
meningkatkan proses anaerobik dengan mencegah stratifikasi substrat, mencegah
pembentukan permukaan kerak, memastikan sisa partikel padat dalam suspensi,
perpindahan panas seluruh digester, mengurangi ukuran partikel selama proses
pencernaan dan melepaskan biogas dari isi digester [30]. Pencampuran juga
meningkatkan produksi gas dibandingkan dengan digester tidak mengalami
pengadukan. Hal ini terjadi karena dengan pengadukan, substrat akan homogen,
inokulum kontak langsung dengan substrat dan merata, sehingga proses perombakan
lebih efektif dan menghindari padatan terbang atau mengendap, yang akan mengurangi
keefektifan digester dan menimbulkan ‘plugging’ gas dan lumpur serta menurunkan
COD dari umpan yang dimasukkan [28].
14
Universitas Sumatera Utara
2.5.4 Hydraulic Retention Time (HRT)
Hydraulic Retention Time (HRT) adalah periode waktu untuk volume tertentu
cairan untuk dipertahankan dalam volume kerja reaktor [44]. HRT sama dengan
volume tangki (V) dibagi dengan aliran harian (Q) (HRT = V / Q). Waktu retensi
hidrolik penting karena menetapkan jumlah waktu yang tersedia untuk pertumbuhan
bakteri terutama untuk pertumbuhan bakteri Acidogenic hidrolitik dan konversi
berikutnya dari bahan organik ke gas [32].
Dari persamaan di atas, peningkatan beban organik akan mengurangi HRT.
Waktu retensi harus cukup panjang untuk memastikan bahwa jumlah mikroorganisme
yang mati pada proses pengolahan limbah cair tidak lebih tinggi dari jumlah
mikroorganisme direproduksi. Tingkat duplikasi bakteri anaerob biasanya 10 hari atau
lebih. HRT yang singkat memberikan laju aliran substrat yang baik, tapi hasil gas yang
lebih rendah. Hal ini sangat penting untuk menyesuaikan HRT dengan tingkat
degradasi spesifik dari substrat yang digunakan [44].
HRT juga memberlakukan peran penting untuk meningkatkan retensi sel pada
HRT tinggi atau rendah. Karena sistem dapat mempertahankan kandungan biomassa
yang tinggi dalam HRT yang berbeda [33].
Semakin lama HRT, semakin banyak bahan organik yang terdegradasi. Namun,
bahan organik yang paling rentan terhadap degradasi anaerobik biasanya terdegradasi
dalam waktu 14-50 hari (dalam reaktor biogas saja), tergantung pada bahan baku, dan
HRT yang tinggi memerlukan volume reaktor yang lebih besar dengan manfaat yang
dihasilkan sedikit [23].
2.5.5 Solid Retention Time (SRT)
Solids Retention Time (SRT) adalah waktu rata-rata padatan lumpur (sludge)
berada dalam sistem. SRT merupakan parameter operasi yang penting untuk proses
anaerobik dan biasanya dinyatakan dalam hari [32]. Meskipun perhitungan waktu
retensi padatan sering dinyatakan dengan tidak tepat, SRT merupakan jumlah padatan
yang dipertahankan dalam digester dibagi dengan jumlah padatan terbuang setiap hari
seperti yang ditunjukkan pada persamaan di bawah ini :
15
Universitas Sumatera Utara
SRT
V Cd
QwCw
[32]
Dimana :
V = Volume digester
Cd= Konsentrasi padatan dalam digester
Cw=Konsentrasi padatan yang dibuang
Qw = volume limbah yang dibuang setiap hari
Waktu retensi padatan (SRT) digunakan untuk mengendalikan laju
pertumbuhan mikroba dalam reaktor dan waktu rata-rata partikel padat, seperti
mikroba, dalam reaktor. Hal ini dihitung dengan membagi massa padatan dalam
reaktor dengan massa padatan yang dihilangkan dari sistem setiap hari [34].
Pada SRT yang rendah waktu yang tersedia tidak bagi bakteri untuk tumbuh dan
menggantikan bakteri yang hilang dalam limbah. Jika laju kehilangan bakteri melebihi
laju pertumbuhan bakteri,maka akan terjadi "wash-out ". SRT di mana mulai terjadi
"wash-out " adalah "critical SRT" [32].
2.5.6 Organic Loading Rate (OLR)
Organic loading rate (OLR) merupakan salah satu parameter yang paling
penting dipelajari secara ekstensif untuk menyelidiki efek dari berbagai beban substrat
ketika salah satu
limbah organik atau sintetis digunakan sebagai substrat [44].
Semakin tinggi OLR tidak selalu mengarah pada hasil yang lebih tinggi hidrogen. Oleh
karena itu, optimasi variabel operasional sangat penting untuk mendapatkan efisiensi
produksi yang lebih tinggi. Namun demikian, optimalisasi OLR hanya dapat
dilaksanakan bila mikroba menyesuaikan diri dengan baik terhadap OLR yang
diterapkan terhadap substrat [44].
2.5.7 Ukuran Partikel
Meskipun ukuran partikel tidak begitu penting sebagai parameter suhu atau pH
di dalam digester, ukuran partikel dari limbah masih memiliki pengaruh pada produksi
gas. Ukuran bahan baku tidak boleh terlalu besar, jika tidak maka hal tersebut akan
mengakibatkan penyumbatan digester dan akan sulit bagi mikroba untuk
melaksanakan proses digestasi dengan baik. Di sisi lain, Partikel yang lebih kecil akan
16
Universitas Sumatera Utara
memberikan area permukaan besar untuk menyerap substrat yang akan mengakibatkan
peningkatan aktivitas mikroba dan karenanya meningkatkan produksi gas yang
dihasilkan [19].
17
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perkembangan Kelapa Sawit di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara produsen minyak sawit terbesar dunia,
dimana produksi terbesar berasal dari dua Negara produsen minyak sawit terbesar
seperti Indonesia (33 juta ton) dan Malaysia (20,5 juta ton) pada tahun 2014/ 2015.
Persentase produksi minyak kelapa sawit terus mengalami kenaikan kurang lebih
39,83% dari tahun 2010/2011 hingga tahun 2014/ 2015 [1].
Dengan bertambahnya produksi minyak kelapa sawit setiap tahunnya maka
permasalahan lingkungan juga mengalami peningkatan yang diakibatkan oleh limbah
yang dihasilkan dari proses produksi minyak kelapa sawit. Pabrik pengolahan kelapa
sawit menggunakan sejumlah besar air dan energi dalam proses produksi. Di sisi
output, proses manufaktur menghasilkan sejumlah besar limbah padat, limbah cair dan
polusi udara. Limbah cair dihasilkan dari ekstraksi minyak sawit pada proses di
dekanter, dikombinasikan dengan limbah dari air pendingin dan sterilizer yang disebut
LCPKS [15].
2.2
Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)
Limbah cair dihasilkan dari ekstraksi minyak sawit dari proses basah di dekanter.
Limbah cair ini dikombinasikan dengan limbah dari air pendingin dan sterilizer yang
disebut sebagai LCPKS [15]. Biasanya ditempatkan secara konvensional pada suatu
kolam atau juga tangki digestasi terbuka (open digesting tanks) [16]. Limbah cair
umumnya berwarna kecoklatan, terdiri dari padatan terlarut dan tersuspensi berupa
koloid dan residu minyak dengan kandungan COD tinggi, bersifat asam (pH nya 3,5 4), terdiri dari 95% air, 4-5% bahan-bahan terlarut dan tersuspensi dan 0,5-1% residu
minyak yang sebagian besar berupa emulsi. Kandungan TSS limbah cair industry
minyak sawit tinggi sekitar 1.330 – 50.700 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa limbah
cair industry minyak sawit mengandung bahan-bahan organic yang tinggi dan jika
dibuang ke badan air penerima akan mengakibatkan penurunan kualitas perairan dan
lingkungan [38]. LCPKS terdiri dari kombinasi dari air limbah yang terutama
5
Universitas Sumatera Utara
dihasilkan dan dikeluarkan dari operasi pengolahan utama, seperti yang terlihat pada
Gambar 2.1 [20] :
Sterilisasi Tandan Buah Segar - sterilizer condensate sekitar 36% dari total
LCPKS;
dari total LCPKS;
Klarifikasi dari CPO diekstraksi - air limbah klarifikasi adalah sekitar 60%
Clay bath Separation (Hydrocyclone ) pemisahan campuran kernel dan shell-
air limbah hidrosiklon adalah sekitar 4% dari total LCPKS pabrik kelapa
sawit.
Gambar 2.1 Pengolahan Minyak Kelapa Sawit yang Menghasilkan LCPKS
[21]
6
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Karakteristik LCPKS sebelum dilakukan pengolahan [39]
Parameter
LCPKS
pH
4,5
Biological Oxygen Demand (BOD)
31.500 mg / L
Chemical Oxygen Demand (COD)
65.000 mg / L
Total Solid (TS)
39.000 mg / L
Suspended Solid (SS)
18.900 mg / L
Oil & Grease
3970 mg / L
Tabel 2.2 Baku Mutu Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit Menurut Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup [40]
Kadar
Parameter
Maksimum
(mg/L)
Beban Pencemaran
Maksimum (kg/ton)
COD
350
3,0
Minyak dan Lemak
25
0,18
Nitrogen Total
50
0,12
Ph
6,0-9,0
Debit Limbah Maksimum
4,5 m3 per ton CPO
Sehingga dengan banyaknya limbah cair yang dihasilkan dari pabrik pengolahan
kelapa sawit akan menjadi masalah yang perlu diperhatikan dan ditangani karena
selain menimbulkan bau tidak sedap LCPKS juga dapat menghasilkan gas metana
yang merupakan gas rumah kaca 20-30 kali lebih kuat dibandingkan dengan gas
karbon dioksida. Pemerintah Indonesia menargetkan pada tahun 2020 sebanyak 60 %
pabrik kelapa sawit Indonesia harus memiliki fasilitas pendukung seperti methane
capture (penangkap gas metan) sehingga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca,
caranya adalah dengan mengupayakan pengkonversian gas metana menjadi energi
listrik [41]. Kandungan organik yang tinggi pada limbah cair kelapa sawit (LCPKS)
membuat limbah cair tersebut menjadi sumber yang baik untuk menghasilkan gas
metana melalui digestasi anaerobik. Selain itu, LCPKS mengandung konstituen
7
Universitas Sumatera Utara
biodegradable dengan rasio BOD / COD sebesar 0,5 dan ini berarti bahwa LCPKS
dapat diolah dengan mudah menggunakan cara biologis [42].
2.3
Potensi Produksi Biogas Dari LCPKS
Bahan yang ditambahkan ke proses biogas adalah substrat (makanan) untuk
mikroba dan sifat-sifatnya memiliki pengaruh besar pada stabilitas dan efisiensi
proses. Komposisi substrat sangat penting baik untuk jumlah gas yang terbentuk dan
kualitas gas. Komposisi akhirnya juga mempengaruhi kualitas residu digestasi, baik
dari segi kandungan gizi tanaman dan potensi kontaminasi (logam, senyawa organik,
organisme penyebab penyakit, dan lain-lain). Memilih bahan yang tepat
mempengaruhi hasil dari proses, memaksimalkan output energi dan menghasilkan
pupuk hayati berkualitas baik [22]. Bahan baku yang berbeda akan menghasilkan
jumlah biogas dan metana yang berbeda tergantung pada kandungan karbohidrat,
lemak dan protein. Secara teori, semua bahan biodegradable dengan kadar lignin yang
wajar (bukan kayu) adalah bahan baku yang cocok untuk proses biogas [23].
Tabel 2.3 Produksi Biogas dan Metana Teoritis dari Karbohidrat, Lemak dan
Protein [24]
Substrat
Biogas
Metana
Kandungan Metana
(m3/ton)
(m3/ton)
(%)
Karbohidrat
830
415
50,0
Lemak
1444
1014
70,2
Protein
793
504
63,6
2.4
Proses Digestasi Anaerob
Pengolahan anaerobik adalah proses menghasilkan energi, berbeda dengan
sistem aerobik yang umumnya memerlukan input energi yang tinggi untuk tujuan
aerasi. Pengolahan anaerobik merupakan teknologi yang relatif murah yang
mengkonsumsi lebih sedikit energi, ruang dan menghasilkan sedikit kelebihan lumpur
dibandingkan dengan teknologi pengolahan aerobik konvensional. Produksi energi
dari biogas membuat teknologi pengolahan anaerobik menjadi pilihan yang lebih
menarik daripada metode pengolahan lainnya [26].
8
Universitas Sumatera Utara
Digestasi anaerobik adalah sebuah proses yang kompleks yang melibatkan
penguraian senyawa organik tanpa adanya molekul oksigen untuk menghasilkan gas
metana (CH4) dan gas karbon dioksida (CO2). Proses degradasi terjadi oleh aksi dari
berbagai jenis bakteri anaerobik. Proses degradasi ini meliputi hidrolisis, asidogenesis
(termasuk asetogenesis) dan metanogenesis. Gas metana merupakan salah satu
komponen yang diproduksi Melalui proses degradasi methanogenesis anaerobik [24].
Effluent dari digestasi anaerobik akan menjadi pupuk yang baik karena mengandung
hampir semua zat makro dan mikro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman
[43].
Mikrobiologi anaerob dari zat-zat buangan organik yang melibatkan proses yang
berbeda-beda seperti pada proses hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis dan pada
proses metanogenesis.
Gambar 2.2 Skema Proses Pengolahan Digestasi Anerobik [25]
2.4.1 Tahap Hidrolisis
9
Universitas Sumatera Utara
Pada tahap pertama (hidrolisis), senyawa yang tidak terlarut seperti selulosa,
protein dan lemak dipecah menjadi monomer-monomer (fragmen larut dalam air) oleh
exoenzymes (hydrolase) dari bakteri anaerobik fakultatif dan obligat. Kondisi
operasional proses mempengaruhi hidrolisis, misalnya suhu yang lebih tinggi
meningkatkan hidrolisis. pH optimal adalah sekitar 6,0, meskipun hidrolisis terjadi
juga pada pH yang lebih tinggi. Laju beban organik (OLR) yang terlalu tinggi dapat
menghambat hidrolisis melalui akumulasi degradasi intermediet [22].
Proses hidrolisis dari karbohidrat membutuhkan waktu beberapa jam, hidrolisis
protein dan lemak membutuhkan waktu beberapa hari. Lignoselulosa dan lignin
didegradasi sangat lambat dan tidak sempurna [27].
Tabel 2.4 Beberapa Kelompok Enzim Hidrolisis dan Fungsinya [25]
Enzim
Substrat
Produk pemecahan
Proteinase
Protein
Asam amino
Cellulase
Selulosa
Cellobiose and glucose
Hemicellulase
Hemicellulose Gula, seperti glukosa, xylose, mannose dan
arabinose
Amylase
Pati
Glukosa
Lipase
Lemak
Asam lemak dan gliserol
Pectinase
Pektin
Gula seperti galaktosa, arabinose, dan
polygalactic uronic acid
2.4.2 Tahap Asidogenesis
Pada langkah kedua adalah asidogenesis (juga disebut sebagai fermentasi),
Setelah bahan baku terdegradasi menjadi molekul yang lebih kecil, yaitu asam lemak
rantai panjang (Long Chain Fatty Acids), alkohol, gula sederhana dan asam amino dari
tahap hidrolisis , bakteri Acidogenic mampu menyerap molekul tersebut dan
mendegradasi lebih lanjut menjadi asam lemak volatil (VFA) [23].
Pada tahap ini, bukan hanya terdiri dari satu reaksi sama seperti pada hidrolisis,
banyak organisme yang berbeda aktif selama tahap ini dan lebih banyak dari pada
tahap lain. Kecepatan reaksi yang terjadi tergantung pada organisme yang hadir dan
substrat selama proses [22]. Konsentrasi ion hidrogen intermediet yang terbentuk
10
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi jenis produk fermentasi. Tekanan parsial hidrogen yang tinggi
menyebabkan senyawa yang sedikit tereduksi, seperti asetat, terbentuk [27].
Asam lemak volatil dengan rantai lebih dari empat-karbon tidak dapat digunakan
langsung oleh metanogen. Asam organik ini selanjutnya dioksidasi menjadi asam
asetat dan hidrogen oleh bakteri acetogenic obligat hidrogen melalui proses yang
disebut asetogenesis. Asetogenesis juga mencakup produksi asetat dari hidrogen dan
karbon dioksida oleh acetogens dan homoacetogens. Kadang-kadang asidogenesis dan
asetogenesis tahap digabungkan bersama sebagai satu tahap [28].
2.4.3 Tahap Asetogenesis
Selama proses asidogenesis, tidak hanya asetat, H2 dan CO2 yang dihasilkan,
namun produk intermediet kompleks seperti propionat, butirat, laktat dan etanol akan
diproduksi secara bersamaan. Produk intermediet tersebut akan dikonversi menjadi
asam organik sederhana CO2 dan H2 oleh bakteri acetogenic [25].
Pada tahap asetogenesis, mikroorganisme homoacetogenic secara konstan terus
mengurangi eksergonik H2 dan CO2 menjadi asam asetat.
2CO2 + 4H2 → CH3COOH + 2H2O
[27]
2.4.4 Tahap Metanogenesis
Metanogenesis merupakan tahap akhir dari proses biogas. Pada tahap ini, metana
dan karbon dioksida (biogas) yang dibentuk oleh berbagai mikroorganisme yang
memproduksi metana disebut metanogen. Substrat yang paling penting bagi organisme
ini adalah gas hidrogen, karbon dioksida, dan asetat, yang terbentuk selama oksidasi
anaerobik. Namun substrat lain seperti metil amina, beberapa alkohol, dan format juga
dapat digunakan untuk produksi metana [27]. Bakteri metanogens sangat sensitif
terhadap oksigen. oksigen merupakan racun mematikan yang membunuh semua
metanogens bahkan pada konsentrasi rendah [25].
Gas metana diproduksi dalam dua cara. Salah satunya adalah konversi asetat
menjadi karbon dioksida dan metana oleh organisme acetotrophic dan melalui reduksi
karbon dioksida dengan hidrogen oleh organisme hydrogenotrophic. Metanogen
dominan
dalam
reaktor
biogas
terbatas
pada
Methanobacterium,
11
Universitas Sumatera Utara
methanothermobacter , methanobrevibacter , methanosarcina dan methanosaeta
(sebelumnya methanothrix) [10]. Reaksi metanogenesis dapat dinyatakan sebagai
berikut :
CH3COOH → CH4 + CO2
CO2 + 4H2 → CH4 + 2H2O
[28]
Produsen metana umumnya tumbuh sangat lambat, hal ini membatasi proses
pembentukan biogas. Waktu generasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
mikroorganisme untuk membagi dirinya dalam dua, adalah antara 1 hingga 12 hari
bagi produsen metana. Waktu retensi yang terlalu pendek (kurang dari 12 hari)
meningkatkan risiko bahwa organisme ini akan tercuci keluar dari proses, karena
mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk meningkatkan jumlah pada tingkat
yang sama dengan bahan yang dipompa kedalam dan keluar dari tangki pencernaan
[28].
2.5
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Performa Digestasi Anaerob
2.5.1 pH
Kebanyakan mikroorganisme lebih memilih rentang pH netral, yaitu sekitar pH
7,0-7,5. Namun, beberapa organisme aktif pada nilai pH lebih rendah dan lebih tinggi.
Ada beberapa organisme yang berbeda dalam proses biogas, dan persyaratan pH
mereka untuk pertumbuhan yang optimal sangat bervariasi. Pada fermentasi,
mikroorganisme penghasil asam berhasil hidup dalam kondisi yang relatif asam, pH
dibawah 5.0, sebagian besar produsen metana umumnya memerlukan nilai pH netral
untuk menjadi aktif [22].
Nilai pH pada proses anaerobik akan mengalami penurunan dengan
diproduksinya asam volatil dan akan meningkat dengan dikonsumsinya asam volatil
oleh bakteri pembentuk metana [29]. Berbagai jenis mikroba dalam digester anaerobik
sangat sensitif terhadap perubahan pH dan sangat mempengaruhi produksi metana
[22]. Peningkatan pH dapat mempercepat pembusukan, sehingga mempercepat
perombakan dan secara tidak langsung mempercepat produksi biogas. Diperoleh
bahwa pH netral memacu perkembangan bakteri metana (metanogen), sehingga pada
12
Universitas Sumatera Utara
pH tersebut bakteri perombak asam asetat tumbuh dan berkembang secara optimum,
hal ini meningkatkan produksi biogas [17].
Mikroorganisme asidogenik dapat tumbuh dan terus menghasilkan asam pada
pH rendah (5-6) [75]. Tingkat pH optimal untuk kelompok fungsional biokimia pada
proses anaerob yaitu [59]:
1) Hidrolisis, biasanya optimal di atas pH 6 tetapi memungkinkan hingga pH 5.
2) Asidogenesis, optimal antara pH 5,5 dan 8, tetapi memungkinkan hingga pH 4.
3) Asetogenesis/hidrogen memanfaatkan metanogen, optimal antara pH 6,5 dan 8
tetapi memungkinkan hingga pH 5.
4) Metanogenenesis, optimal antara pH 7 dan 8 tetapi memungkinkan hingga pH 6.
2.5.2 Suhu
Suhu optimum, yaitu suhu dimana organisme tumbuh tercepat dan bekerja
paling efisien, memiliki nilai bervariasi untuk setiap spesies. Mikroorganisme dapat
dibagi menjadi kelompok-kelompok yang berbeda tergantung pada suhu di mana
mereka terbaik berkembang dan tumbuh : psychrophilic, mesofilik, termofilik, dan
extremophilic/hyperthermophilic. Biasanya, Suhu optimum untuk organisme tertentu
sangat terkait dengan lingkungan dari mana ia berasal [22].
Digestasi anaerobik Konvensional dilakukan pada suhu mesofilik, terutama
karena kebutuhan energi yang lebih rendah dan stabilitas yang lebih baik dari proses.
LCPKS dibuang pada suhu sekitar 80-90 oC yang benar-benar membuat pengolahan
limbah cair tersebut pada kedua suhu mesofilik dan termofilik dapat dilakukan
terutama di negara-negara yang beriklim tropis [18].
13
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Klasifikasi Mikroorganisme Berdasarkan Suhu [22]
Secara umum, suhu terendah di mana mikroorganisme tumbuh, adalah -11 °C.
Dibawah -25 °C, aktivitas enzim berhenti. Metanogens sensitif terhadap perubahan
suhu yang cepat. Metanogen suhu termofilik lebih sensitif dibandingkan mesofilik.
Bahkan variasi kecil suhu menyebabkan penurunan substansial dalam aktivitas. Oleh
karena itu, suhu harus dijaga dengan tepat dalam jarak kurang lebih 2 °C, Jika tidak,
terjadi kehilangan gas hingga 30%. Terutama penting untuk mesofilik adalah suhu di
kisaran 40-45 °C, karena dalam rentang tersebut mereka kehilangan aktivitas
ireversibel [27].
2.5.3 Laju Pengadukan
Pencampuran yang memadai sangat penting untuk mencapai keberhasilan
pengolahan anaerobik limbah cair organik. Dengan kata lain, pencampuran
meningkatkan proses anaerobik dengan mencegah stratifikasi substrat, mencegah
pembentukan permukaan kerak, memastikan sisa partikel padat dalam suspensi,
perpindahan panas seluruh digester, mengurangi ukuran partikel selama proses
pencernaan dan melepaskan biogas dari isi digester [30]. Pencampuran juga
meningkatkan produksi gas dibandingkan dengan digester tidak mengalami
pengadukan. Hal ini terjadi karena dengan pengadukan, substrat akan homogen,
inokulum kontak langsung dengan substrat dan merata, sehingga proses perombakan
lebih efektif dan menghindari padatan terbang atau mengendap, yang akan mengurangi
keefektifan digester dan menimbulkan ‘plugging’ gas dan lumpur serta menurunkan
COD dari umpan yang dimasukkan [28].
14
Universitas Sumatera Utara
2.5.4 Hydraulic Retention Time (HRT)
Hydraulic Retention Time (HRT) adalah periode waktu untuk volume tertentu
cairan untuk dipertahankan dalam volume kerja reaktor [44]. HRT sama dengan
volume tangki (V) dibagi dengan aliran harian (Q) (HRT = V / Q). Waktu retensi
hidrolik penting karena menetapkan jumlah waktu yang tersedia untuk pertumbuhan
bakteri terutama untuk pertumbuhan bakteri Acidogenic hidrolitik dan konversi
berikutnya dari bahan organik ke gas [32].
Dari persamaan di atas, peningkatan beban organik akan mengurangi HRT.
Waktu retensi harus cukup panjang untuk memastikan bahwa jumlah mikroorganisme
yang mati pada proses pengolahan limbah cair tidak lebih tinggi dari jumlah
mikroorganisme direproduksi. Tingkat duplikasi bakteri anaerob biasanya 10 hari atau
lebih. HRT yang singkat memberikan laju aliran substrat yang baik, tapi hasil gas yang
lebih rendah. Hal ini sangat penting untuk menyesuaikan HRT dengan tingkat
degradasi spesifik dari substrat yang digunakan [44].
HRT juga memberlakukan peran penting untuk meningkatkan retensi sel pada
HRT tinggi atau rendah. Karena sistem dapat mempertahankan kandungan biomassa
yang tinggi dalam HRT yang berbeda [33].
Semakin lama HRT, semakin banyak bahan organik yang terdegradasi. Namun,
bahan organik yang paling rentan terhadap degradasi anaerobik biasanya terdegradasi
dalam waktu 14-50 hari (dalam reaktor biogas saja), tergantung pada bahan baku, dan
HRT yang tinggi memerlukan volume reaktor yang lebih besar dengan manfaat yang
dihasilkan sedikit [23].
2.5.5 Solid Retention Time (SRT)
Solids Retention Time (SRT) adalah waktu rata-rata padatan lumpur (sludge)
berada dalam sistem. SRT merupakan parameter operasi yang penting untuk proses
anaerobik dan biasanya dinyatakan dalam hari [32]. Meskipun perhitungan waktu
retensi padatan sering dinyatakan dengan tidak tepat, SRT merupakan jumlah padatan
yang dipertahankan dalam digester dibagi dengan jumlah padatan terbuang setiap hari
seperti yang ditunjukkan pada persamaan di bawah ini :
15
Universitas Sumatera Utara
SRT
V Cd
QwCw
[32]
Dimana :
V = Volume digester
Cd= Konsentrasi padatan dalam digester
Cw=Konsentrasi padatan yang dibuang
Qw = volume limbah yang dibuang setiap hari
Waktu retensi padatan (SRT) digunakan untuk mengendalikan laju
pertumbuhan mikroba dalam reaktor dan waktu rata-rata partikel padat, seperti
mikroba, dalam reaktor. Hal ini dihitung dengan membagi massa padatan dalam
reaktor dengan massa padatan yang dihilangkan dari sistem setiap hari [34].
Pada SRT yang rendah waktu yang tersedia tidak bagi bakteri untuk tumbuh dan
menggantikan bakteri yang hilang dalam limbah. Jika laju kehilangan bakteri melebihi
laju pertumbuhan bakteri,maka akan terjadi "wash-out ". SRT di mana mulai terjadi
"wash-out " adalah "critical SRT" [32].
2.5.6 Organic Loading Rate (OLR)
Organic loading rate (OLR) merupakan salah satu parameter yang paling
penting dipelajari secara ekstensif untuk menyelidiki efek dari berbagai beban substrat
ketika salah satu
limbah organik atau sintetis digunakan sebagai substrat [44].
Semakin tinggi OLR tidak selalu mengarah pada hasil yang lebih tinggi hidrogen. Oleh
karena itu, optimasi variabel operasional sangat penting untuk mendapatkan efisiensi
produksi yang lebih tinggi. Namun demikian, optimalisasi OLR hanya dapat
dilaksanakan bila mikroba menyesuaikan diri dengan baik terhadap OLR yang
diterapkan terhadap substrat [44].
2.5.7 Ukuran Partikel
Meskipun ukuran partikel tidak begitu penting sebagai parameter suhu atau pH
di dalam digester, ukuran partikel dari limbah masih memiliki pengaruh pada produksi
gas. Ukuran bahan baku tidak boleh terlalu besar, jika tidak maka hal tersebut akan
mengakibatkan penyumbatan digester dan akan sulit bagi mikroba untuk
melaksanakan proses digestasi dengan baik. Di sisi lain, Partikel yang lebih kecil akan
16
Universitas Sumatera Utara
memberikan area permukaan besar untuk menyerap substrat yang akan mengakibatkan
peningkatan aktivitas mikroba dan karenanya meningkatkan produksi gas yang
dihasilkan [19].
17
Universitas Sumatera Utara