Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Pada Kondisi Ambient : Pengaruh Variasi Laju Pengadukan Terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA) Menggunakan Reaktor Semi Batch

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia adalah negara produsen minyak sawit terbesar dunia. Pada tahun
2015 produksi minyak sawit adalah ± 33 juta ton dengan % rata-rata kenaikan
produksi ± 8,75% mulai dari tahun 2010/11-2014/15 [1, 2]. Namun demikian,
industri pengolahan kelapa sawit menyebabkan permasalahan lingkungan yang perlu
mendapat perhatian, salah satunya yang terbesar adalah limbah cairnya. Pabrik
pengolahan kelapa sawit menggunakan sejumlah besar air dan energi dalam proses
produksi. Di sisi output, proses manufaktur menghasilkan sejumlah besar limbah
padat, limbah cair dan polusi udara. Limbah cair dihasilkan dari ekstraksi minyak
sawit pada proses di dekanter, dikombinasikan dengan limbah dari air pendingin dan
sterilizer yang disebut sebagai LCPKS [15].

2.1

Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)
Limbah cair dihasilkan dari ekstraksi minyak sawit dari proses basah di

dekanter. Limbah cair ini dikombinasikan dengan limbah dari air pendingin dan
sterilizer yang disebut sebagai LCPKS [15]. LCPKS yang dihasilkan dari produksi
minyak kelapa sawit di Indonesia ± 82,5 juta ton [3]. Biasanya ditempatkan secara

konvensional pada suatu kolam atau juga tangki digestasi terbuka (open digesting
tanks) [16]. LCPKS adalah cairan kental berwarna coklat yang bercampur dengan
padatan-padatan tersuspensi dengan pH berkisar antara 4-5. Limbah ini dapat
mencemari lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung apalagi dibuang
langsung tanpa proses pengolahan terlebih dahulu [8]. LCPKS dihasilkan melalui
proses perebusan (sterilization) , klarifikasi (clarification) dan unit hydro-cyclone
[17].

5
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Karakteristik LCPKS sebelum dilakukan pengolahan [8]
Parameter

LCPKS

pH

4,5


Biological Oxygen Demand (BOD)

31.500 mg / L

Chemical Oxygen Demand (COD)

65.000 mg / L

Total Solid (TS)

39.000 mg / L

Suspended Solid (SS)

18.900 mg / L

Oil & Grease

3970 mg / L


Tabel 2.2 Baku Mutu Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit Menurut Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup [18]
Kadar
Parameter

Beban

Maksimum

Pencemaran

Maksimum (kg/ton)

(mg/L)
BOD5

100

0,4


COD

350

3,0

Minyak dan Lemak

25

0,18

Nitrogen Total

50

0,12

pH


6,0-9,0

Debit Limbah Maksimum

4,5 m3 per ton CPO

Sehingga dengan banyaknya limbah cair yang dihasilkan dari pabrik
pengolahan kelapa sawit akan menjadi masalah yang perlu diperhatikan dan
ditangani karena selain menimbulkan bau tidak sedap LCPKS juga dapat
menghasilkan gas metana yang merupakan gas rumah kaca 20-30 kali lebih kuat
dibandingkan dengan gas karbon dioksida. Pemerintah Indonesia menargetkan pada
tahun 2020 sebanyak 60 % pabrik kelapa sawit Indonesia harus memiliki fasilitas
pendukung seperti methane capture (penangkap gas metan) sehingga dapat
mengurangi emisi gas rumah kaca, caranya adalah dengan mengupayakan
pengkonversian gas metana menjadi energi listrik [19].

6
Universitas Sumatera Utara

2.2


Potensi Produksi Biogas Dari LCPKS
Dengan dilakukannya pengolahan LCPKS menjadi biogas maka secara tidak

langsung akan mengurangi volume limbah yang dibuang ke tanah dan air,
mengurangi jumlah polutan, dan hasil samping pengolahan biogas dapat digunakan
sebagai pupuk cair dan juga pestisida [20].
Biogas adalah campuran beberapa gas yang merupakan hasil fermentasi dari
bahan organik dalam kondisi anaerobik, yang terdiri dari campuran metana (5075%), CO2 (25-45%), dan sejumlah kecil H2, N2, dan H2S. Biogas digunakan sebagai
energi alternatif untuk menghasilkan energi listrik, setiap satu m3 metana setara
dengan 10 kWh. Nilai ini setara dengan 0,61 L fuel oil, energi ini setara dengan 60100 watt lampu penerangan selama 6 jam [21].
Penggunaan biogas sebagian besar digunakan untuk teknologi proses, yaitu
sebagai berikut :
1.

Produksi energi termal di boiler

2.

Bahan bakar gas untuk mesin bermotor


3.

Penggunaan untuk teknologi proses lainnya seperti produksi metanol [22]

2.3

Proses Digestasi Anaerob
Digestasi anaerob merupakan proses biokimia yang kompleks yang

berlangsung dibawah kondisi tanpa oksigen. Mikrobiologi anaerob dari zat-zat
buangan organik yang melibatkan proses yang berbeda-beda seperti pada proses
hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis dan pada proses metanogenesis

Gambar 2.1 Empat Fase Pembuatan Biogas Secara Garis Besar [14]

7
Universitas Sumatera Utara

2.3.1 Hidrolisis

Pada tahapan hidrolisis, mikrobia hidrolitik mendegradasi senyawa organik
kompleks yang berupa polimer menjadi monomernya yang berupa senyawa tidak
terlarut dengan berat molekul yang lebih ringan. Lipida berubah menjadi asam lemak
rantai panjang dan gliserin, polisakarida menjadi gula (mono dan disakarida), protein
menjadi asam amino dan asam nukleat menjadi purin dan pirimidin. Konversi lipid
berlangsung lambat pada suhu di bawah 20°C. Proses hidrolisis membutuhkan
mediasi exo-enzim yang dieksresi oleh bakteri fermentatif. Hidrolisis molekul
komplek dikatalisasi oleh enzim ekstra seluler seperti sellulase, protease, dan lipase.
Walaupun demikian proses penguraian anaerobik sangat lambat dan menjadi terbatas
dalam penguraian limbah sellulolitik yang mengandung lignin [23].
Pada proses ini bakteri pengurai asam menguraikan senyawa glukosa
menjadi :
C6H12O6 + 2H2O
C6H12O6
C6H12O6 + 2H2

2CH3COOH + 2CO2 + 4H2 (asam asetat)

CH3CH2CH2COOH + 2CO2 + 2H2 (asam butirat)
2CH3CH2COOH + 2H2O (asam propionat)


Pada tahap ini proses digestasi gas metana melewati enzim ekstraseluler dari
kelompok hidrolase (amilase, protease, lipase) yang diproduksi oleh bakteri
hidrolisis. Selama proses digestasi padatan limbah, hanya 50% zat-zat organik yang
mengalami biodegradasi. Komponen-komponen yang tersisa tetap pada keadaan
awalnya karena kekurangan enzim yang terlibat pada saat degradasi.
Laju pada proses hidrolisis tergantung dari beberapa parameter seperti : ukuran
partikel, pH, produksi enzim, difusi dan absorpsi enzim pada permukaan partikel
limbah. Hidrolisis dilakukan oleh bakteri dari kelompok ganera: streptococcus,
enterobacterium [22].

2.3.2 Asidogenesis
Pada tahap ini bakteri mengkonversi

zat-zat kimia yang larut dalam air

termasuk produk dari tahap hidrolisis menjadi asam organik berantai pendek (asam
format, asam asetat, asam propinonat, asam butirat dan asam pentanoat), menjadi
alkohol (metanol, etanol), aldehid, karbon dioksida dan hidrogen. Dari dekomposisi
protein, asam amino dan peptida yang merupakan sumber energi untuk


8
Universitas Sumatera Utara

mikroorganisme anaerob. Asidogenesis mungkin terjadi dua arah sehubungan dengan
pengaruh barbagai populasi mikroorganisme. Prosesnya terbagi menjadi 2 jenis yaitu
hidrogenasi dan dehidrogenasi. Pada fase ini bakteri merupakan fakultatif anaerob
menggunakan oksigen secara tidak sengaja kedalam proses anaerob. Jalur dasar
transformasi melewati asetat , CO2 dan H2 , sedangkan produk asidogenesa lainnya
mempunyai peran signifikan. Sebagai hasil dari transformasi ini , methanogenes
dapat langsung menggunakan produk-produk baru sebagai substrat dan sumber
energi . Akumulasi elektron oleh senyawa seperti laktat , etanol , propionat, butirat,
asam lemak volatil yang lebih tinggi adalah respon bakteri terhadap peningkatan
konsentrasi hidrogen dalam larutan. Produk tersebut tidak boleh digunakan secara
langsung oleh bakteri metanogen dan harus diubah oleh bakteri wajib memproduksi
hidrogen dalam proses yang disebut asetogenesis. Diantara produk dari asidogenesis,
amonia dan hidrogen sulfide yang menghasilkan bau yang tidak enak. Bakteri fase
asam milik anaerob fakultatif menggunakan oksigen ke dalam proses, menciptakan
kondisi yang menguntungkan [22]


2.3.3 Asetogenesis
Hasil asidogenesis dikonversi menjadi hasil akhir bagi produksi metana berupa
asetat, hidrogen, dan karbondioksida. Sekitar 70 % dari COD semula diubah menjadi
asam asetat. Pembentukan asam asetat kadang-kadang disertai dengan pembentukan
karbondioksida atau hidrogen, tergantung kondisi oksidasi dari bahan organik
aslinya. Etanol, asam propionat, dan asam butirat dirubah menjadi asam asetat oleh
bakteri asetogenik dengan reaksi seperti berikut [23].
Pada proses ini acetogenic bakteria menguraikan asam propionat dan asam
butirat menjadi :
CH3CH2OH + CO2
Etanol
CH3CH2COOH + 2H2O
Asam Propionat
CH3CH2CH2COOH + 2H2O
Asam Butirat

CH3COOH + 2H2 .......................... (pers. 1)
Asam Asetat
CH3COOH + CO2 + 3H2 .............. (pers. 2)
Asam Asetat
2CH3COOH + 2H2 ................. (pers. 3)
Asam Asetat

9
Universitas Sumatera Utara

2.3.4 Metanogenesis
Proses metanogenesis merupakan proses produksi metana (CH4) dan karbon
dioksida (CO2) dari produk antara [14]. Pada tahap metanogenesis, terbentuk metana
dan karbondioksida. Metana dihasilkan dari asetat atau dari reduksi karbondioksida
oleh bakteri asetotropik dan hidrogenotropik dengan menggunakan hidrogen [23].
Pada proses ini methane bacteria mensintesa hidrogen dan karbondioksida
menjadi :
CH3COOH

CH4 + CO2 (metana)

2H2 + CO2

CH4 + 2H2O (metana)

Hanya 30 % dari metana yang dihasilkan dalam proses ini berasal dari
penguraian CO2 dilakukan oleh bakteri metana autotrofik. Selama proses ini H2
terpakai seluruhnya, yang menciptakan kondisi yang baik bagi perkembangan bakteri
asam yang menimbulkan asam organik rantai pendek dalam tahap pengasaman dan
akibatnya - produksi terlalu rendah dari H2 dalam fase acetogenesis. Sebagai
konsekuensi dari konversi tersebut didapat gas yang kaya akan CO2, dikarenakan
hanya sebagian kecil yang akan dikonversi menjadi metana [22].

2.4

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Digestasi Anaerob
Biogas yang berasal dari proses digestasi anaerobik merupakan strategi yang

menarik untuk pengolahan dan pendaur ulangan limbah biomassa dari sudut pandang
lingkungan dan dapat bermanfaat bagi masyarakat dengan menyediakan sumber
bahan bakar bersih dari energi terbarukan. Teknologi ini dilakukan dengan
serangkaian transformasi biokimia. Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja
digester anaerobik di mana kontrol yang memadai diperlukan untuk mencegah
kegagalan reaktor . Faktor-faktor tersebut yaitu temperatur operasi, pH, pencampuran
nutrisi untuk bakteri dan tingkat pembebanan organik (OLR) kedalam digester.

2.4.1 Temperatur Operasi
Salah satu faktor yang paling penting yang mempengaruhi digestasi anaerobik
dari

limbah

cair

organik

adalah

temperatur.

Digestasti

anaerobik

dapat

dikembangkan pada rentang suhu yang berbeda termasuk mesofilik suhu (sekitar
35ºC) dan suhu termofilik mulai dari 55 ºC hingga 60 ºC. Digestasi anaerobik

10
Universitas Sumatera Utara

Konvensional dilakukan pada suhu mesofilik (35-37 ºC), terutama karena kebutuhan
energi yang lebih rendah dan stabilitas yang lebih baik dari proses. LCPKS dibuang
pada suhu sekitar 80-90 oC yang benar-benar membuat pengolahan limbah cair
tersebut pada kedua suhu mesofilik dan termofilik dapat dilakukan terutama di
negara-negara yang beriklim tropis [17].
Salah satu penelitian yang pernah dilakukan adalah oleh Kabaouris, dkk., 2009
dengan judul Meshophilic and Thermophilic Anaerobic Digestion pf Municipal
Sludge And Fat, Oil, Grease. Sistem dengan digestasi Batch Menggunakan 2 reaktor
terpisah untuk reaktor mesofilik (35 oC) dan termofilik (52oC). Biogas yang
dihasilkan pada mesofilik 719 ml dengan kandungan metana 65,8% dan pada
termofilik 802 ml, metana 68,7% [24].

2.4.2 pH
Pengukuran pH (potensial Hidrogen) mengungkapkan apakah suatu campuran
bersifat asam atau basa. Jika suatu campuran tersebut memiliki jumlah molekul asam
dan basa yang sama, pH dianggap netral . Berbagai jenis mikroba dalam digester
anaerobik sangat sensitif terhadap perubahan pH dan sangat mempengaruhi produksi
metana [17]. Peningkatan pH dapat mempercepat pembusukan,

sehingga

mempercepat perombakan dan secara tidak langsung mempercepat produksi biogas.
Diperoleh bahwa pH netral memacu perkembangan bakteri metana (metanogen),
sehingga pada pH tersebut bakteri perombak asam asetat tumbuh dan berkembang
secara optimum, hal ini meningkatkan produksi biogas [25].

2.4.3 Ukuran Partikel
Meskipun ukuran partikel tidak begitu penting sebagai parameter suhu atau pH
di dalam digester, ukuran partikel dari limbah

masih memiliki pengaruh pada

produksi gas. Ukuran bahan baku tidak boleh terlalu besar, jika tidak maka hal
tersebut akan mengakibatkan penyumbatan digester dan akan sulit bagi mikroba
untuk melaksanakan proses digestasi dengan baik. Di sisi lain, Partikel yang lebih
kecil akan memberikan area permukaan besar untuk menyerap substrat yang akan
mengakibatkan peningkatan aktivitas mikroba dan karenanya meningkatkan produksi
gas yang dihasilkan [26].

11
Universitas Sumatera Utara

2.4.4 Laju Pengadukan
Distribusi bakteri, substrat, nutrisi dan pemerataan suhu dengan cara yang
tepat, pencampuran diketahui sangat penting untuk proses digestasi anaerobik secara
keseluruhan. Beberapa penyelidikan menunjukkan bahwa perbaikan dalam kinerja
reaktor dapat dicapai ketika perubahan dalam intensitas pencampuran diperhatikan.
Keunggulan utama dari pengadukan yang tepat adalah minimalisasi akumulasi dari
padatan yang dapat membatasi kinerja reaktor, mengurangi penumpukan limbah di
dalam reaktor dan menjaga kontak antara partikel substrat dengan mikroba yang ada
[17]. Pengadukan menjamin bahwa padatan yang terkandung tetap dalam bentuk
suspensi sehingga akan menghindari pembentukan dead zone [27]. Pemberian
pengadukan berpengaruh lebih baik pada peningkatan laju produksi biogas
dibandingkan tanpa pengadukan sama sekali. Hal ini terjadi karena dengan
pengadukan, substrat akan homogen, inokulum kontak langsung dengan substrat dan
merata, sehingga proses perombakan lebih efektif dan menghindari padatan terbang
atau mengendap, yang akan mengurangi keefektifan digester dan menimbulkan
‘plugging’ gas dan lumpur dan menurunkan COD dari umpan yang dimasukkan [25].
Salah satu penelitian yang pernah dilakukan adalah oleh Haidera, dkk., 2015
dengan judul “Effect of mixing ratio of food waste and rice husk co-digestion and
substrate to inoculum ratio on biogas production”. Pada penelitian ini dilakukan
analisis produksi biogas dengan menggunakan ratio pengadukan antara limbah
makanan dan limbah beras dengan perbandingan C/N (20, 25, 30, dan 35). Diperoleh
yield biogas paling tinggi adalah pada ratio pengadukan C/N 20 yaitu 531 L/kg VS
[28].

2.4.5 Organic Loading Rate (OLR)
Tingkat beban organik (OLR) didefinisikan sebagai penerapan bahan organik
terlarut dan partikulat organik. biasanya dinyatakan secara luas sebagai pon BOD per
satuan luas. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa OLR yang lebih tinggi
akan mengurangi efisiensi penyisihan COD dalam sistem pengolahan air limbah.
Namun, produksi gas metan akan meningkat sampai pada tahap dimana
metanogenesis tidak dapat lagi mengkonversi asam asetat menjadi metan [17].

12
Universitas Sumatera Utara

2.4.6 Retention Time
Ada dua jenis waktu retensi yaitu Solid Retention Time (SRT) dan Hydraulic
Retention Time (HRT). SRT berarti waktu rata-rata bakteri tertahan di dalam
digester dan HRT berarti waktu retensi dari air buangan. HRT adalah rata-rata
interval waktu ketika substrat disimpan di dalam tangki digester. HRT berkorelasi
dengan volume digester dan volume substrat umpan per satuan waktu, sesuai dengan
persamaan:
HRT = VR / V
Keterangan:

(2.1)

HRT = Hydraulic Retention Time (hari)
VR

= Volume digester (m3)

V

= Volume substrat umpan per satuan waktu (m3/hari)

Menurut persamaan di atas, peningkatan beban organik akan mengurangi
HRT. Waktu retensi harus cukup panjang untuk memastikan bahwa jumlah
mikroorganisme yang mati pada proses pengolahan limbah cair tidak lebih tinggi dari
jumlah mikroorganisme direproduksi. Tingkat duplikasi bakteri anaerob biasanya 10
hari atau lebih. Sebuah HRT singkat memberikan laju aliran substrat yang baik, tapi
hasil gas yang lebih rendah. Hal ini sangat penting untuk menyesuaikan HRT dengan
tingkat degradasi spesifik dari substrat yang digunakan [14].
Salah satu penelitian yang pernah dilakukan adalah oleh Soetopo, dkk., 2011
dengan judul “Efektivitas Proses Kontinyu Digesti Anaerobik Dua Tahap Pada
Pengolahan Lumpur IPAL Biologi Industri Kertas”. Pada penelitian ini dilakukan
proses digestasi dua tahap dengan reaktor CSTR dengan penambahan protoase
dengan variasi HRT. Dilakukan proses termofilik pada proses asidogenesis dan
mesofilik di metanogenesis diperoleh biogas sebesar 15,82 L/hari dengan kandungan
CH4 50,4-64,1% dan CO2 18-30% [29].

2.5

Analisa Ekonomi
Pada penelitian ini dilakukan analisa ekonomi yang sederhana terhadap

proses asidogenesis LCPKS yang dilangsungkan pada reaktor batch berpengaduk
(RBB) pada keadaan ambient dengan produk VFA yang pada tahapan berikutnya
dapat dikonversi menjadi biogas. Kondisi yang digunakan tidak memerlukan
pemanas dalam penelitian ini. Maka pada penelitian ini yang dikaji adalah jumlah

13
Universitas Sumatera Utara

VFA yang akan dikonversi menjadi biogas pada proses digestasi anaerobik dua
tahap. Beberapa penelitian yang berhasil menghitung volume pembentukan biogas
dari VFA ditunjukkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Volume Pembentukan Biogas dari Jumlah VFA yang Terbentuk
Peneliti

Total VFA (mg/L)

Volume Biogas (L/L·hari)

Kivaisi dan Mtila

2.058,85

1,70

Li et al.

4.020,00

3,97

Cavinato et al.

6.896,48

6,00

Pada penelitian ini, total pembentukan VFA tertinggi diperoleh pada laju
pengadukan 200 rpm dengan jumlah 31.163,891 mg/L. Menurut A.K. Kivaisi, et al
konversi VFA menjadi biogas adalah 100%. Melalui Tabel 2.3 dapat digambarkan
grafik linear seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8 berikut.

Produksi Biogas (L/L·hari)

8
Biogas
6

Linear (Biogas)

4
2
y = 0,0009x + 0,104
0

0

1000

2000

3000 4000 5000
Total VFA (mg/L)

6000

7000

8000

Gambar 2.2 Konversi Total VFA menjadi Biogas
Gambar 2.2 menunjukkan grafik linearisasi pembentukkan biogas dari VFA
dengan persamaan garis lurus: y = 0,062 x + 907 dengan y merupakan produksi
biogas dan x merupakan VFA yang terbentuk. Berdasarkan persamaan tersebut maka
jumlah biogas yang dapat dihasilkan dari total VFA tertinggi pada penelitian ini
adalah:

y

= 0,0009 x+ 0,1043
= 0,0009 x 6.721,685 + 0,1043
= 6,154 L/ L LCPKS

14
Universitas Sumatera Utara

Produksi Biogas tertinggi

= 6,154 L biogas/L LCPKS
= 6,154 m3 biogas /m3 LCPKS

Perbandingan 1m3 biogas terhadap solar adalah 0,52 liter solar
Sehingga 6,154 m3 biogas / m3 LCPKS hari setara dengan 3,19998458 Liter
Solar / m3 LCPKS
Harga solar industri = Rp 7.600 /liter
Maka produksi perhari setara dengan = 7.600 x 3,19998458 L solar/ m3 LCPKS
= Rp. 24.319,88281 / m3 LCPKS
Jika LCPKS yang diolah sebesar 450 m3 / hari maka keuntungan yang akan
diperoleh perhari adalah:

Keuntungan yang diperoleh =

24.319,88281
1 m 3 LCPKS

×

450 m 3
hari

= Rp 10.943.947,26/ hari

15
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Pada Kondisi Ambient : Pengaruh Variasi pH Terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA) Menggunakan Reaktor Batch Berpengaduk

9 43 71

Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Pada Kondisi Ambient : Pengaruh Variasi pH Terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA) Menggunakan Reaktor Batch Berpengaduk

0 0 16

Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Pada Kondisi Ambient : Pengaruh Variasi pH Terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA) Menggunakan Reaktor Batch Berpengaduk

1 1 2

Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Pada Kondisi Ambient : Pengaruh Variasi pH Terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA) Menggunakan Reaktor Batch Berpengaduk

0 0 4

Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Pada Kondisi Ambient : Pengaruh Variasi Laju Pengadukan Terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA) Menggunakan Reaktor Semi Batch

0 1 16

Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Pada Kondisi Ambient : Pengaruh Variasi Laju Pengadukan Terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA) Menggunakan Reaktor Semi Batch

0 0 2

Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Pada Kondisi Ambient : Pengaruh Variasi Laju Pengadukan Terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA) Menggunakan Reaktor Semi Batch

1 1 4

Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Pada Kondisi Ambient : Pengaruh Variasi Laju Pengadukan Terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA) Menggunakan Reaktor Semi Batch Chapter III V

0 0 29

Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Pada Kondisi Ambient : Pengaruh Variasi Laju Pengadukan Terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA) Menggunakan Reaktor Semi Batch

0 0 4

Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Pada Kondisi Ambient : Pengaruh Variasi Laju Pengadukan Terhadap Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA) Menggunakan Reaktor Semi Batch

0 0 11