Diskriminasi gender dalam film Maya Raya Daya : analisis semiotika Roland Barthes.

(1)

DISKRIMINASI GENDER DALAM FILM MAYA RAYA DAYA

(Analisis Semiotika Roland Barthes)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Guna

memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

(S.I.Kom) Dalam Bidang Ilmu Komunikasi

Oleh :

Kevin Aditya Yudha Permana NIM.B76213070

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

2017


(2)

(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL PENELITIAN... i

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

A. Konteks Penelitian... 1

B. Fokus Penelitian ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu ... 5

F. Definisi Konsep ... 7

1. Diskriminasi ... 8

2. Gender ... 8

3. Budaya dan Adat-istiadat ... 9

4. Penindasan ... 10

5. Kekerasan ... 11

6. Film Maya Raya Daya ... 11

7. Semiotika ... 12

G. Kerangka Pikir Penelitian ... 15

H. Metode penelitian ... 19

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 19

2. Unit Analisis ... 19

3. Jenis dan Sumber Data ... 20

4. Tahap – tahap Penelitian ... 20

5. Teknik Pengumpulan Data ... 22


(6)

I. Sistematika Pembahasann ... 26

BAB 2. KAJIAN TEORETIS ... 28

A.Kajian Pustaka ... 28

1. Komunikasi Massa ... 28

2. Film ... 28

3. Konsep Gender ... 34

2.2.1 Definisi Gender dan Seks ... 35

2.2.2 Diskriminasi Gender ... 41

B.Kajian Teori... 46

1. Semiotika ... 46

2. Semiotika Pendekatan Roland Barthes ... 53

BAB 3. PENYAJIAN DATA ... 58

A.Deskripsi Subyek... 58

B.Obyek Penelitian ... 60

C.Deskripsi Data Penelitian ... 61

BAB 4. ANALISIS DATA ... 83

A. Temuan Penelitian... 83

B. Konfirmasi Hasil Temuan Dengan Teori ... 85

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

A.Kesimpulan ... 89

B.Saran ... 90


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Pada era yang serba sibuk seperti sekarang ini masyarakat memerlukan

media yang sifatnya menghibur dan juga informatif, salah satu yang menjadi media

favorit masyarakat saat ini adalah film. Film merupakan media yang menarik

karena sifatnya yang menggabungkan antara audio dan visual. Film merupakan

media komunikasi yang paling efektif untuk menyampaikan suatu pesan sosial

maupun moral kepada khalayak yang banyak dengan tujuan memberikan informasi,

hiburan, dan ilmu yang tentunya bermanfaat dan mendidik ketika dilihat dan

didengar oleh khalayak banyak. Film mempunyai seni tersendiri dalam memilih

suatu peristiwa untuk dijadikan sebuah cerita. Film juga merupakan ekspresi atau

pernyataan dari sebuah kebudayaan. Ia juga mencerminkan dan menyatakan

segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas terlihat dalam masyarakat.1

Film merupakan sesuatu yang unik dibandingkan dengan media

lainnya. Karena sifatnya yang bergerak secara bebas dan tetap, penerjemahannya

melalui gambar-gambar visual dan suara yang nyata, juga memiliki kesanggupan

untuk menangani berbagai subjek yang tidak terbatas ragamnya. Jika surat kabar

memberikan informasi secara visual melalui tulisan serta gambar dan radio hadir

dengan memancing imajinasi pendengar melalui suara, maka film hadir dengan

menggabungkan keduanya.2

1

Adi Pranajaya, Film Dan Masyarakat, Sebuah Pengantar, Jakarta : Yayasan Pusat Perfilman H.

Usman Ismail , 1992, Hal 6

2Joseph M. Boggs, The Arts Of Watching Film, (Terj) Asrul Sani (Jakarta: Yayasan Citra Pusat Perfilman H. Umar Ismail, 1986), Hal 5.


(8)

2

Berkat unsur inilah film merupakan salah satu bentuk seni alternatif yang

banyak diminati masyarakat, karena dengan mengamati secara seksama apa yang

memungkinkan ditawarkan sebuah film melalui peristiwa yang ada dibalik

ceritanya. Seperti yang diketahui film merupakan salah satu acara yang ditayangkan

televisi. Terdapat beberapa pesan moral yang dapat diangkat atau ambil maknanya

dari tayangan-tayangan film yang disesuaikan dengan alur atau jalan cerita dari isi

film tersebut. Sebab film memberikan peluang untuk terjadinya peniruan apakah itu

positif ataupun negatif. 3

Sebagai media massa yang banyak dipilih oleh masyarakat itulah, maka

sebaiknya dalam sebuah film selain bersifat menghibur dan informatif, film juga

seharusnya memiliki pesan dan tampilan yang bagus, agar film dapat dijadikan

sebagai media pembelajaran secara mental sehingga masyarakat dapat

mempraktikkan pesan-pesan yang terkandung didalam film ke kehidupannya

sehari-hari, intinya dalam sebuah film juga seharusnya bersifat edukatif.

Dari sekian banyak film, peneliti memutuskan untuk mengkaji Film Maya

Raya Daya yang merupakan film pendek yang berdurasi 10 menit yang disutradarai

oleh Nan T. Achnas dan di produseri oleh Mira Lesmana, dan berikut adalah alasan

kenapa peniliti memilih Film Maya Raya Daya sebagai objek kajian. Film Maya

Raya Daya merupakan salah satu film yang bertemakan tentang wanita, Film ini

adalah film yang cukup berbeda dengan film-film sejenis, karena memilii 3 plot

cerita yang menceritakan 3 orang wanita yang berbeda dengan jaman yang berbeda

pula namun mengalami kisah yang hampir sama, Film besutan Nan T. Achnas ini

benar-benar menggambarkan realitas yang sering terjadi dimasyarakat mengenai


(9)

3

wanita dan kehidupan rumah tangga, Film ini memiliki pesan yang bagus mengenai

pentingnya keberanian untuk bertindak.

Maya Raya Daya, merupakan sebuah cerita tentang 3 orang wanita dari 3

waktu yang berbeda tetapi mempunyai persamaan dalam menjalani hidupnya,

Maya Raya Daya mengisahkan tentang Wanita yang terjebak dalam kehidupan

berkeluarga yang tidak diinginkannya karena ia menderita dari siksaan jiwa dan

badan yang datang dari sang suami, Akhir dari kisah Maya Raya Daya memberikan

kesan kuat bahwa wanita berhak menentukan apa yang diinginkannya.4

Apa yang menjadikan film ini menarik adalah dengan durasi yang tidak

terlalu panjang, namun film ini mampu manyuguhkan realita yang sering terjadi

dalam kehiduapan bermasyarakat khususnya untuk kaum wanita dan rumah tangga,

dalam film ini banyak menunjukkan diskriminasi yang berkaitan dengan gender

yang benar-benar gambaran dari budaya masyarakat pada 3 zaman yang berbeda,

sehingga diharapkan makna dalam film ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran

bagi khalayak, dan khusunya kaum wanita. Itulah kenapa peneliti memilih Film

Maya Raya Daya sebagai obyek yang menarik untuk dikaji lebih dalam

Berdasarkan fenomena diatas, diskriminasi gender yang peneliti maksud

adalah pembedaan perlakuan dan pembatasan-pembatasan hak bagi kaum

perempuan karena stereotip yang menganggap wanita harus selalu menuruti

kata-kata dari orang tua dan suaminya meskipun itu membuat wanita tersebut menderita.


(10)

4

B. Fokus Penelitian

Dari pemaparan konteks penelitian di atas, peneliti memfokuskan

permasalahan pada: “Bagaimana Diskriminasi Gender dalam film Nan T. Achnas

“Maya Raya Daya” melalui penanda dan pertanda analisis semiotika model Roland

Barthes”. Berdasarkan konteks penelitian diatas, maka dapat dikemukakan

perumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Apa saja penanda (signifier) dan petanda (signified) Diskriminasi

Gender dalam film pendek “Maya Raya Daya“ ?

2. Bagaimana makna penanda (signifier) dan petanda (signified)

Diskriminasi Gender dalam film pendek “Maya Raya daya”?

C. Tujuan Penelitian

Dengan mengacu pada konteks penelitian dan fokus penelitian, adapun

tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami penanda (signifier) dan petanda

(signified) Diskriminasi Gender dalam film pendek “Maya Raya Daya“ 2. Untuk mendeskripsikan makna penanda (signifier) dan petanda


(11)

5

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu bermanfaat baik dari segi teoritis

maupun segi praktis,. Sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat

dalam penelitian ini.

1. Secara Teoritis

Penelitian ini pada dasarnya berkaitan Diskriminasi terhadap Gender, sehingga

menjadikan penelitian ini sebagai kajian bagi para peneliti lain untuk

mengembangkan penelitian yang sejenis. Juga sebagai sumbangan ilmiah

dalam perkembangan ilmu pengetahuan bagi institusi maupun akademisi dan

mahasiswa tentang Diskriminasi Gender dalam kehidupan bermasyarakat

dengan orang-orang yang ada disekitar kita.

2. Secara Praktis

Penelitian ini dilakukan dengan harapan akan bermanfaat bagi masyarakat luas

dalam mengetahui dan memahami mengenai Diskriminasi Gender yang sering

terjadi dalam Film, bukan hanya dari segi yang ditampakkan dalam film secara

langsung, namun juga melalaui peasan yang tersembunyi dalam film. Serta

diharapkan penelitian ini dapat menjadi kajian pembelajaran mengenai

Diskriminasi terhadap Gender dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai

pembelajaran agar nantinya tidak ada lagi perlakuan yang bersifat diskrimintaif

terhadap gender.

E. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian ini tidak lepas dari penelitian terdahulu, hal ini bertujuan sebagai

bahan referensi dan pegangan dalam melakukan penelitian yang relevan. Penelitian


(12)

6

Nama Peneliti

M. Luqman Ahmadi Al Bashir Judul Penelitian

Pesan Seni Beladiri dalam Film Man Of Taichi (Sebuah

Analisis Semiotik Roland Barthes Pada Film Man Of Taichi). Skripsi Program Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunkasi UIN Sunan Ampel

Surabaya.

Universitas Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Jenis Karya Skripsi

Tahun Penelitian 2014

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan memahami penanda (signifier) dan petanda (signified) Seni Beladiri pada film Man Of Taichi

2. Untuk mendeskripsikan makna penanda (signifier) dan petanda (signified) Seni Beladiri pada film Man Of Taichi

Metode Penelitian Menggunakan pendekatan kualitatif dengan model

semiotika roland Barthes dalam meneliti pesan seni bela

diri dalam Film Man of Taichi

Hasil Temuan

Peneliti

(1) Penanda dan petanda yang ada pada film Man Of

Taichi yaitu, dialog dari parah tokoh film, gerak tubuh,

ekspresi dari para tokoh dalam film, latar belakang dan


(13)

7

dikarenakan hubungan timbal balik yang terjadi antar

tokoh. Seni beladiri merupakan lebih dari latihan, dimana

Seni beladiri dibangun untuk membentuk karakter dan

sikap seorang praktisi karena adanya rasa

keingin-tahuan, kesamaan kebiasaan dan hubungan timbal balik.

Pesan Seni beladiri film Man Of Taichi mencakup

aspek-aspek dalam kehidupan sosial.

Persamaan Penelitian juga menggunakan analisis semiotik dan

memakai model Roland Barthes

Perbedaan Perbedaan terletak pada apa yang dikaji dalam peneliian,

penelitian terdahulu mengkaji tentang pesan seni beladiri

dalam film Man of Taichi, sedangkan dalam penelitian

ini mengkaji tentang diskriminasi gender dalam film

pendek Maya Raya Daya

Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu

F. Definisi Konsep

Konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Penentuan dan

perincian konsep sangat penting supaya persoalan tidak menjadi kabur. Penegasan

dari konsep yang terpilih perlu untuk menghindarkan salah pengertian tentang arti

konsep yang digunakan.5Karena konsep masih bergerak dalam alam abstrak, maka

perlu diterjemahkan dalam bentuk kata-kata sedemikian sehingga dapat diukur

secara empiris.

5 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,


(14)

8

1. Diskriminasi

Diskriminasi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah

pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan

warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama dan sebagainya).6

Sedangkan Menurut Theodorson & Theodorson, (1979: 115-116):

Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap

perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat

kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras,

kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah

tersebut biasanya akan untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak

mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang

lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat

tidak bermoral dan tidak demokrasi.7

Dari apa yang telah diuraikan, dapat diakatan bahwa diskriminasi

adalah perlakuan yang tidak sama atau pembeda-bedaan perlakuan

antara golongan yang satu dengan golongan yang lain, baik berdasarkan

warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama dan sebagainya.

2. Gender

Gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.8

Dalam sosiologi gender mengacu pada

6 Kbbi.web.id/diskriminasi diakses tanggal 26 desember 2016


(15)

9

sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin

seseorang dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam

masyarakat.9

Konsep gender berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat biologis

gender itu sendiri adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki

dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat

tertentu dan pada masa waktu tertentu pula.

Jadi yang dimaksud dengan diskriminasi gender adalah perlakuan

yang tidak sama atau pembeda-bedaan perlakuan yang didasarkan pada

peran sosial antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dalam

penelitian ini di kategorikan sebagai berikut :

1. Budaya dan Adat-istiadat

Budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan tindakan dan

hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang

dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar. Budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.


(16)

10

Adat Istiadat adalah aneka kelaziman dalam suatu negeri yang mengikuti pasang naik dan pasang surut situasi masyarakat. Kelaziman ini pada umumnya menyangkut pengejawatahan unjuk rasa seni budaya masyarakat, seperti acara-acara keramaian anak negeri, seperti pertunjukan randai, saluang, rabab, tari-tarian dan aneka kesenian yang dihubungkan dengan upacara perhelatan perkawinan, pengangkatan penghulu maupun untuk menghormati kedatangan tamu agung. Adat istiadat semacam ini sangat tergantung pada situasi sosial ekonomi masyarakat. Bila sedang panen baik biasanya megah meriah, begitu pula bila keadaan sebaliknya. Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah.

2. Penindasan

Perilaku ini dapat menjadi suatu kebiasaan dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan sosial atau fisik. Hal ini dapat

mencakup pelecehan secara lisan atau ancaman, kekerasan fisik atau

paksaan dan dapat diarahkan berulang kali terhadap korban tertentu,

mungkin atas dasar ras, agama, gender, seksualitas, atau

kemampuan. Tindakan penindasan terdiri atas empat jenis, yaitu

secara emosional, fisik, verbal, dan cyber. Budaya penindasan dapat

berkembang di mana saja selagi terjadi interaksi antar manusia, dari


(17)

11

3. Kekerasan

Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran

(penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang

menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan

atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu tindakan

menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung

pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman

terhadap binatang. Istilah “kekerasan” juga mengandung

kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.

Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil

dibandingkan dengan kekerasan terhadap orang.

Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk —

kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil

atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang

dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun

tidak — seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan

antar-masyarakat) dan terorisme.

3. Film Maya Raya Daya

Maya Raya Daya, merupakan sebuah cerita tentang 3 orang wanita

dari tiga waktu yang berbeda tetapi mempunyai persamaan dalam

menjalani hidupnya, Maya Raya Daya mengisahkan tentang Wanita

yang terjebak dalam kehidupan berkeluarga yang tidak diinginkannya


(18)

12

suami, Akhir dari kisah Maya Raya Daya memberikan kesan kuat bahwa

wanita berhak menentukan apa yang diinginkannya.10

Film Maya Raya Daya yang merupakan film pendek yang

disutradarai oleh Nan T. Achnas dan di produseri oleh Mira

Lesmana,dan berdurasi sekitar 10 menit yang merupakan gambaran

realitas sosial mengenai wanita dan pandangan sosial terhadapnya,

dalam film ini wanita digambarkan sebagai individu yang harus selalu

menurut dan tidak punya hak untuk menolak bahkan untuk sekedar

bicara, namun pada akhir dari kisah Maya Raya Daya memberikan

kesan kuat bahwa wanita berhak menentukan apa yang diinginkannya.

4. Semiotika

Secara etimologi, istilah semiotik berasal dari kata yunani “semeino”

yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang

atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap

mewakili sesuatu yang lain. Sedangkan secara termonologis, semiotika

dapat didefinisiskan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas

obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.11

Hoed mengatakan semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda

dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan

kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna.

10 Milesfilms.net/maya-raya-daya/, ibid


(19)

13

Tanda merupakan sarana untuk berkomunikasi dan berinteraksi, tanpa

adanya tanda mustahil manusia dapat saling memahami satu sama lain.12

Pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan

(humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to Sinify) dalam hal

ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to

communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya

membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak

berkomunikasi, tetapi juga mengkostitusi system terstruktur dari

tanda.13

Semiotika memiliki tiga wilayah kajian :

a. Tanda itu sendiri. Wilayah ini meliputi kajian mengenai

berbagai jenis tanda yang berbeda, cara-cara berbeda dari

tanda di dalam menghasilkan makna, dan cara

tanda-tanda tersebut berhubungan dengan orang yang

menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan

hanya bisa dipahami di dalam kerangka penggunaan/konteks

orang-orang yang menempatkan tanda-tanda tersebut.

b. Kode-kode atau system di mana tanda-tanda diorganisasi.

Kajian ini melingkupi bagaimana beragam kode telah

dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau

budaya, atau untuk mengeksploitasi saluran-saluran

komunikasi yang tersedia bagi pengiriman kode-kode

tersebut.

12 Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Jakarta: Komunitas Bambu, 2011, hal. 3.


(20)

14

c. Budaya tempat di mana kode-kode dan tanda-tanda

beroperasi. Hal ini pada gilirannya bergantung pada

penggunaaan dari kode-kode dan tanda-tanda untuk

eksistensi dan bentuknya sendiri.

Merujuk pada pemikiran Saussure yang meletakkan tanda dalam

konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang

disebut penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah apa

yang dikatakan dan apa yang dibaca atau ditulis. Sedangkan petanda adalah

gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental.

Makna denotasi dan konotasi memegang peranan penting jika

dibandingkan peranannya dalam ilmu linguistik. Makna denotasi bersifat

langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam suatu tanda, dan pada

intinya dapat disebut juga sebagai gambaran sebuah petanda.14 Dalam

pengertian umum, makna denotasi adalah makna yang sebenarnya. Denotasi

ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai

dengan makna apa yang terucap.

Sedangkan makna konotatif, akan sedikit berbeda dan akan

dihubungkan dengan kebudayaan yang tersirat dalam pembungkusnya,

tentang makna yang terkandung di dalamnya. Konotasi digunakan Barthes

untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tataran

pertanda kedua. Konotasi memberikan gambaran interaksi yang

berlangsung apabila tanda bertemu dengan emosi pengguna dan nilai-nilai


(21)

15

kulturalnya bagi Barthes, faktor penting pada konotasi adalah penanda

dalam tataran pertama.

Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakinii

kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Mitos bukan konsep atau ide

tertapi merupakan suatu cara pemberian arti. Secara etimologis, mitos

merupakan suatu jenis tuturan, tentunya bukan sembarang tuturan. Suatu hal

yang harus diperhatikan bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi, yakni

suatu pesan(message). Tetapi mitos tidak didefinisikan oleh objek pesan

melainkan dengan cara menuturkan pesan tersebut, misalnya dalam mitos,

bukan hanya menjelaskan tentang objek pohon secara kasat mata, tetapi

yang penting adalah cara menuturkan tentang pohon tersebut. Apa saja bisa

dikatakan sebagai mitos selama diutarakan dalam bentuk wacana.15

G. Kerangka Penelitian

Teori Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes (1915-1980) adalah seorang tokoh pusat dalam kajian

bahasa, sastra, budaya, dan media, baik sebagai penemu maupun pembimbing

(Allen, 2003: i). Teori Barthes memfokuskan pada gagasan tentang signifikasi dua

tahap, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah definisi objektif kata tersebut,

sedangkan konotasi adalah makna subjektif atau emosionalnya. Secara

epistemologis, semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”

(Sudjiman dan Van Zoest, 1996: vii) atau seme yang berarti “penafsir tanda”.

Umberto Eco.16 menyatakan tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang

15 Http://Alfathoriq.Blogspot.Com/2012/09/Roland-Barthes.Html?M=1 Di Akses Pada Tanggal 26

desember 2016

16 Alex Sobur. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis


(22)

16

atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dan dapat dianggap

mewakili sesuatu yang lain. Istilah semiotika, semiologi atau strukturalisme secara

bergantian untuk maksud yang sama) adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk

mengkaji tanda. Tanda-tanda itulah yang merupakan perangkat yang dipakai dalam

upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan

bersama-sama manusia.17 Suatu tanda hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya

dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang

ditandakan (signifier) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang

bersangkutan.18

Semiotika meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory

(semua tenda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera

yang kita miliki) ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara

sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan

perilaku manusia. Van Zoest mengartikan semiotika sebagai ilmu tanda dan segala

yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain,

pengiriman dan penerimaan oleh mereka yang mempergunakannya. Batasan yang

lebih jelas dikemukakan Preminger, ia menyebutkan bahwa semiotika adalah ilmu

tentang tanda-tanda dimana fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu

merupakan tanda-tanda. Semiotika itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,

dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai

arti.19

17 Alex Sobur. 2013. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. hlm 15.

18 Ibid. hlm. 17


(23)

17

Semiotika adalah ilmu tentang tanda, fungsi tanda-tanda, dan produksi

tanda.20 Semiotika lebih suka memilih istilah “pembaca” untuk “penerima” karena

hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar

dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya.

Oleh karena iu, pembacaan itu ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya.

Pembaca membantu mencipatakan makna teks dengan membawa pengalaman,

sikap, dan emosinya terhadap teks tersebut.

Analisis semiotika merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan

memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket

lambang-lambang pesan atau teks. Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah

segala bentuk serta sistem lambang baik yang terdapat pada media massa (televisi,

media cetak, film, radio, iklan) maupun yang terdapat di luar media massa (karya

lukis, patung, candi, fashion show, dan sebagainya). Dengan kata lain, pusat

perhatian semiotika adalah pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam teks. 21

Kemudian hubunganya dengan kerangka pikir penelitian ini dimulai dari

makna diskriminasi gender itu sendiri yang kemudian dilanjutkan dengan

pengamatan terhadap film Maya Raya Daya, dimana adegan-adegan dalam

scene-scene yang mengandung makna diskriminasi gender yang kemudian dianalisa

dengan teori semiotika Roland Barthes. Sehingga penelitian ini mengetahui dan

mendeskripsikan makna Diskriminasi Gender, kemudian dapat

menginterpretasikaannya dalam kehidupan, maksudnya adalah dengan

menjadikannya pembelajaran dan tidak melakukan Diskriminasi Gender pada

kehidupan sosial dalam bermasyarakat.

20 Sumbo Tinarbuko. 2008. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalansutra. hlm. 12


(24)

18

Dengan menggunakan teori di atas maka dapat digambarkan sebuah kerangka pikir untuk mempermudah jalannya penelitian seperti berikut :


(25)

19

H. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan konsep yang digunakan untuk mendapatkan

data ataupun informasi guna memperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian yaitu:

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan paradigma kritis.

Paradigma kritis merupakan suatu cara pandang terhadap realitas sosial

yang senantiasa diliputi rasa kritis terhadap realitas tersebut. Paradigma

kritis secara sadar berupaya menggabungkan teori dan tindakan (praksis).

“Praksis” adalah konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis. Menurut

Habermas praksis bukanlah tingkah laku buta atas naluri belaka, melainkan

tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Pendekatan kritis yang

dipakai dalam Analisis Film Pendek Maya Raya Daya didasarkan pada

teori Roland Barthes.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

penelitian model analisis semiotika Roland Barthes. Peniliti memilih model

ini karena peneliti berusaha menguraikan penanda dan petanda yang

terdapat pada sebagian scene yang terdapat dalam film Maya Raya Daya.

Selain itu, peneliti juga berusaha memahamai kemudian mendeskripsikan

Diskriminasi Gender yang ada pada film pendek Maya Raya Daya.

2. Unit Analisis

Unit Analisis dalam penelitian ini adalah beberapa scene adegan dan

dialog-dialog yang menunjukkan Diskriminasi Gender dalam film Maya


(26)

20

3. Jenis dan Sumber Data

Terdapat dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder.

a) Data paling utama (data primer) dalam penelitian ini adalah film Maya

Raya Daya dengan memperhatikan setiap narasi (tulisan), perkataan,

gesture (gerak tubuh) termasuk mimik wajah yang ditampilkan oleh para tokoh, baik berupa audio (suara/dialog) maupun visual (gambar) yang

menunjukkan Diskriminasi terhadap gender.

b) Data pendukung (data sekunder) berupa data-data yang melengkapi dari

kebutuhan penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh

melalui media studi pustaka untuk mendapat data-data yang relevan yang

dapat digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini. Data-data

pendukung dapat diperoleh melalui media massa, seperti buku, berita surat

kabar, artikel, jurnal, majalah maupun internet.

4. Tahapan Penelitian

Untuk melakukan sebuah penelitian, perlu mengetahui tahap-tahap

penelitian yang akan dilalui dalam proses penelitian. Untuk itu peneliti

harus menyusun tahap-tahap penelitian yang lebih sistematis agar dapat

diperoleh hasil pennelitian yang sisitematis pula. Tahap-tahap penelitian

tersebut antara lain :

1) Mencari topik yang menarik.

Dalam hal ini peneliti melakukan eksplorasi topik yang peneliti

anggap menarik dan layak untuk diteliti. Setelah dilakukan


(27)

21

berkonsultasi pada dosen pengampu mata kuliah Analisis Teks

Media, akhirnya peniliti diarahkan untuk melakukan penelitian

Analisis Teks Media ini dengan judul “Diskrimanasi Gender

dalam Film Maya Raya Daya”.

2) Merumuskan penelitian yang berpijak pada topik yang menarik,

tujuan yang hendak dicapai dari peneliitan ini hingga pada

mengapa sebuah topik diputuskan untuk dikaji.

3) Mengingat tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

mendeskripsikan Diskriminasi Gender dalam Film Maya Raya

Daya. Maka peneliti memutuskan penggunaan analisis semiotik

sebagai metode penelitiannya.

4) Klasifikasi data

a) Identifikasi scene, yaitu penetapan dan penentuan adegan

film Maya Raya Daya yang akan diteliti. Dalam hal ini

peneliti menetukan adegan film yang mengandung muatan

bentuk dan makna Diskriminasi terhadap Gender.

b) Memberikan alasan mengapa scene tersebut dipilih dan

perlu diidentiifkasi

c) Menentukan pola semiosis yang umum dengan

mempertimbangkan hierarki maupun sekuennya atau pola

sintagmatik dan paradigmatik serta kekhasan simbol

komunikasi yang terdapat pada film.

5) Analisis data berdasarkan


(28)

22

b) Ideologi, Interpretan kelompok, frame-work budaya

c) Lapis makna, intekstualitas, kaitan dengan tanda lain

d) Budaya dan Adat-istiadat

e) Penindasan

f) Kekerasan

6) Menarik kesimpulan

5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan langkah dalam suatu kegiatan

penelitian, sebab kegiatan ini amat menentukan keberhasilan suatu

penelitian. Karena validitas nilai sebuah penelitian sangat ditentukan oleh

data. Demikian pula sebaliknya. Apabila data yang diambil tidak benar,

maka akan melahirkan suatu laporan penelitian yang salah. Dalam

penelitian ini diperoleh melalui teknik observasi dan teknik dokumntasi.

a) Observasi

Peneliti mengamati dan mencatat secara sistematik terhadap

gejala yang tampak pada objek penelitian. Ada dua macam

observasi yaitu langsung dan tidak langsung. Observasi

langsung dilakukan terhadap objek di tempat berlangsungnya

peristiwa, sehingga peneliti berada bersama objek yang diteliti.

Sedangkan observasi tidak langsung adalah pengamatan yang

dilakukan tidak pada saat berlangsungnya peristiwa yang diteliti,

misalnya melalui rangkaian slide, foto maupun film. Sehingga


(29)

23

observasi tidak langsung karena pengamatan dilakukan pada

media film.

b) Dokumentasi

Peneliti juga menggunakan dokumentasi untuk teknik

pengumpulan data. Dokumentasi adalah teknik pengumpulan

data penelitian yang berdasarkan pada pencarian data berupa

DVD film, buku (text book), skripsi, jurnal, situs internet, dan

lain sebagainya yang dianggap relevan dalam penelitian ini.22

Dalam penelitian ini tidak semua scene diteliti, yang diteliti

adalah scene yang terdapat unsur Diskriminasi terhadap Gender.

Sedang unit analisis yang diteliti oleh peneliti disini adalah audio

dan visual. Audio meliputi dialog, sedangkan Visual meliputi

gesture (gerak tubuh).

6. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode

ilmiah. Dengan analisis, data tersebut dapat diberi arti dan makna yang

berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Analisis data adalah proses

penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan

interpretasikan.23

Penelitian ini menggunakan analisis semiotika dengan pendekatan

Roland Barthes, yaitu analisis hubungan tanda yang terdiri dari dua

tingkatan pertandaan. Gagasan-gagasan Roland Barthes memberi gambaran

yang luas mengenai media kontemporer. Roland Barthes dikenal sebagai

22Suharsimi, Prosedur Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 149.


(30)

24

seorang pemikir strukturalis pengikut Saussure. Saussure mengintrodusir

istilah signifier dan signified berkenaan dengan lambang-lambang atau teks

dalam suatu paket pesan, maka Barthes menggunakan istilah denotasi dan

konotasi untuk menunjukkan tingkatan-tingkatan makna24. Denotasi

(denotation) adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau

realitas dalam pertandaan, sedangkan konotasi (connotation) adalah aspek

makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai

kebudayaan dan ideologi25. Didalam semiologi Barthes dan para

pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikansi tingkat pertama,

sementara konotasi merupakan tingkat kedua.

Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam

tataran pertama. Penanda tataran pertama merupakan tanda konotasi. Untuk

memahami makna, Barthes membuat sebuah model sistematis dimana fokus

perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap

(two order of signification).

Tabel 1.3 (Signifikasi Dua tahap)

24Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : PT. Lkis. hlm. 163. 25Yasraf Amir Piliang. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studie Atas Matinya Makna.


(31)

25

Dalam menganalisa film Maya Raya Daya ini peneliti menggunakan dua tahap

analisis, yaitu :

1. Deskripsi makna denotatif, yakni menjelaskan dan memahami makna yang

terbentuk oleh sesuatu yang tampak secara nyata atau material dari tanda.

Di sini film Maya Raya Daya mendeskripsikan dengan penekanan pada

penceritaan kembali isi pesan film. Denotasi menggunakan makna dari

tanda sebagai definisi secara literal atau nyata.

2. Deskripsi makna konotatif berupa tanda-tanda yang mengarah pada

makna-makna kultural yang terpisah atau berbeda dengan kata (bentuk lain

dari komunikasi). Konotasi melibatkan simbol-simbol historis dan hal-hal

yang berhubungan dengan emosional, sehingga walaupun konotasi

merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca atau

penonton agar dapat berfungsi. Konotasi mengarah pada kondisi sosial

budaya asosiasi personal.

Adapun langkah-langkah analisis data yang digunakan peneliti dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengumpulkan data-data yang akan diteliti

Peneliti mencatat dan mendokumentasi scene yang mengandung

Diskriminasi Gender. Adapun diskriminasi gender yang akan

ditunjukkan meliputi pembatasan hak untuk bicara, pelarangan

tindakan yang ingin dilakukan dan kekerasan yang berkaitan dengan


(32)

26

2. Pemaparan hasil temuan data sesuai model analisis

Peneliti memaparkan penanda dan petanda yang ada dalam film yang

menunjukanDiskriminasi gender yang sesuai model Roland Barthes

sehingga akan memunculkan makna pesan yang disampaikan

(konotasi dan denotasi).

3. Menarik kesimpulan

Peneliti menyimpulkan diskriminasi gender yang ditampilkan dalam

film sesuai penanda dan petanda yang dimaksud dalam analisis Roland

Barthes.

I. Sistematika Pembahasan

Berikut sistematika pembahasan penelitian yang berjudul Diskriminasi

Gender dalam Film Maya Raya Daya (Analisis Semiotik Roland Barthes).

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini mengungkap tentang simbol-simbol komunikasi non verbal

yang melatarbelakangi sebuah penelitian dan batasan pembahasan penelitian yang

meliputi: Konteks Penelitian, Fokus Penelitian, Tujuan penelitian, Manfaat

Penelitian, Kajian Hasil Penelitian Terdahulu, Definisi Konsep, Kerangka Pikir

Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

BAB II : KAJIAN TEORITIS

Pada Bab ini terdiri dari dua sub Bab yaitu kajian pustaka dan kajian teori.

Kajian pustaka berisi pembahasan tentang karya tulis para ahli yang memberikan

teori atau opini yang berkaitan dengan fokus penelitian. Kajian teori yang

menjelaskan teori pendamping pola pikir penelitian


(33)

27

Pada bab ini terdiri dari dua sub bab, yakni deskripsi subyek penelitian dan

deskripsi data penelitian

BAB IV : ANALISIS DATA

Pada bab ini terdiri dari dua sub bab, yang pertama mengupas tentang

temuan penelitian dan yang kedua berisi tentang konfirmasi temuan dengan teori.

BAB V : PENUTUP

Penutup berupa Kesimpulan data dan Saran Penelitian. Menyajikan inti dari

hasil penelitian yang telah dilakukan dan mengungkapkan saran-saran tentang


(34)

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. KAJIAN PUSTAKA 1. Komunikasi Masa

Komunikasi massa adalah proses di mana organisasi media membuat dan menyebarkan pesan kepada khalayak banyak (publik).25 Organisasi - organisasi media ini akan menyebarluaskan pesan-pesan yang akan memengaruhi dan mencerminkan kebudayaan suatu masyarakat, lalu informasi ini akan mereka hadirkan serentak pada khalayak luas yang beragam. Hal ini membuat media menjadi bagian dari salah satu institusi yang kuat di masyarakat.

Dalam komunikasi massa, media massa menjadi otoritas tunggal yang menyeleksi, memproduksi pesan, dan menyampaikannya pada khalayak.

2. Film

a. Definisi Film

Film pertama kali lahir di pertengahan kedua abad 19, dibuat dengan bahan dasar seluloid yang sangat mudah terbakar bahkan oleh percikan abu rokok sekalipun. Sejalan dengan waktu, para ahli berlomba-lomba untuk menyempurnakan film agar lebih aman, lebih mudah diproduksi dan enak ditonton.26

25


(35)

29

Film merupakan jenis komunikasi visual yang menggunakan gambar bergerak dan suara untuk menceritakan dan memberikan informasi pada khalayak. Setiap orang di setiap belahan dunia melihat film salah satunya sebagai jenis hiburan, cara untuk bersenang-senang. Senang bagi sebagian orang dapat berarti tertawa, sementara yang lainnya dapat diartikan menangis, atau meras takut. Kebanyakan film dibuat sehingga film tersebut dapat ditayangkan di bioskop. Setelah film diputar dilayar lebar untuk beberapa waktu (mulai dari beberapa minggu sampai beberapa bulan).

b. Sejarah Perkembangan Film

Para teoritikus film menyatakan, film yang kita kenal dewasa ini merupakan perkembangan lanjut dari fotografi.27 Seiring perkembangan teknologi fotografi. Dan sejarah fotografi tidak bisa lepas dari peralatan pendukungnya, seperti kamera. Kamera pertama di dunia ditemukan oleh seorang Ilmuwan Muslim, Ibnu Haitham. Fisikawan ini pertama kali menemukan Kamera Obscura dengan dasar kajian ilmu optik menggunakan bantuan energi cahaya matahari. Mengembangkan ide kamera sederhana tersebut, mulai ditemukan kamera-kamera yang lebih praktis, bahkan inovasinya demikian pesat berkembang sehingga kamera mulai bisa digunakan untuk merekam gambar gerak.

Ide dasar sebuah film sendiri, terfikir secara tidak sengaja. Pada tahun 1878 ketika beberapa orang pria Amerika berkumpul dan dari perbincangan ringan menimbulkan sebuah pertanyaan : “Apakah


(36)

30

keempat kaki kuda berada pada posisi melayang pada saat bersamaan ketika kuda berlari?" Pertanyaan itu terjawab ketika Eadweard Muybridge membuat 16 frame gambar kuda yang sedang berlari. Dari 16 frame gambar kuda yang sedang berlari tersebut, dibuat rangkaian gerakan secara urut sehingga gambar kuda terkesan sedang berlari. Dan terbuktilah bahwa ada satu momen dimana kaki kuda tidak menyentuh tanah ketika kuda tengah berlari kencang Konsepnya hampir sama dengan konsep film kartun.

Gambar gerak kuda tersebut menjadi gambar gerak pertama di dunia. Dimana pada masa itu belum diciptakan kamera yang bisa merekam gerakan dinamis. Setelah penemuan gambar bergerak Muybridge pertama kalinya, inovasi kamera mulai berkembang ketika Thomas Alfa Edison mengembangkan fungsi kamera gambar biasa menjadi kamera yang mampu merekam gambar gerak pada tahun 1988, sehingga kamera mulai bisa merekam objek yang bergerak dinamis. Maka dimulailah era baru sinematografi yang ditandai dengan diciptakannya sejenis film dokumenter singkat oleh Lumière Bersaudara. Film yang diakui sebagai sinema pertama di dunia tersebut diputar di Boulevard des Capucines, Paris, Prancis dengan judul Workers Leaving the Lumière's Factory pada tanggal 28 Desember 1895 yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya sinematografi.

Film inaudibel yang hanya berdurasi beberapa detik itu menggambarkan bagaimana pekerja pabrik meninggalkan tempat kerja mereka disaat waktu pulang. Pada awal lahirnya film, memang tampak


(37)

31

belum ada tujuan dan alur cerita yang jelas. Namun ketika ide pembuatan film mulai tersentuh oleh ranah industri, mulailah film dibuat lebih terkonsep, memiliki alur dan cerita yang jelas. Meskipun pada era baru dunia film, gambarnya masih tidak berwarna alias hitam-putih, dan belum didukung oleh efek audio. Ketika itu, saat orang-orang tengah menyaksikan pemutaran sebuah film, akan ada pemain musik yang mengiringi secara langsung gambar gerak yag ditampilkan di layar sebagai efek suara.28

Pada awal 1960-an, banyak teknik film yang dipamerkan, terutama teknik-teknik penyuntingan untuk menciptakan adegan-adegan yang menegangkan. Penekanan juga diberikan lewat berbagai gerak kamera serta tarian para pendekar yang sungguh-sungguh bisa bersilat. Juga menambahkan trik penggunaan tali temali, yang tak tertangkap oleh kamera, yang memungkinkan para pendekar itu terbang atau melenting-lenting dengan nyaman dari satu tempat ke tempat lain. Akhirnya, teknik-teknik mutakhir dilakukan dengan memanfaatkan sinar laser, seni memamerkan kembang api dan berbagai peralatan canggih yang lain.

Jika diingat, setiap pembuat film hidup dalam masyarakat atau dalam lingkungan budaya tertentu, proses kreatif yang terjadi merupakan pergulatan antara dorongan subyektif dan nilai-nilai yang mengendap dalam diri.29

28 LaRose,et.al.media now.(Boston, USA.2009). [Online] Tersedia:

http://id.wikipedia.org/wiki/Perkembangan_Film di akses pada tanggal 05 Desember 2016.


(38)

32

c. Jenis film

Seiring perkembangan zaman, film pun semakin berkembang, tak menutup kemungkinan berbagai variasi baik dari segi cerita, aksi para aktor dan aktris, dan segi pembuatan film semakin berkembang. Dengan berkembangnya teknologi perfilman, produksi film pun menjadi lebih mudah, film-film pun akhirnya dibedakan dalam berbagai macam menurut cara pembuatan, alur cerita dan aksi para tokohnya. Adapun jenis-jenis film yaitu:

1) Film Laga (Action Movies)

Film Action memiliki banyak efek menarik seperti kejar-kejaran mobil dan perkelahian senjata, melibatkan stuntmen. Mereka biasanya melibatkan kebaikan dan kejahatan, jadi, perang dan kejahatan adalah bahassan yang umum di film jenis ini. Film action biasanya perlu sedikit usaha untuk menyimak, karena plotnya biasanya sederhana. Misalnya, dalam Die Hard, teroris mengambil alih gedung pencakar langit dan meminta banyak uang dalam pertukaran untuk tidak membunuh orang-orang yang bekerja di sana. Satu orang entah bagaimana berhasil menyelamatkan semua orang dan menjadi pahlawan.

2) Petualangan (Adventure)

Film ini biasanya menyangkut seorang pahlawan yang menetapkan pada tugas untuk menyelamatkan dunia atau orang-orang yang dicintai. 3) Animasi (Animated)


(39)

33

film menggunakan gambar buatan, seperti babi yang berbicara untuk menceritakan sebuah cerita. Film ini menggunakan gambaran tangan, satu frame pada satu waktu, tetapi sekarang dibuat dengan komputer.

4) Komedi (Comedies)

film lucu tentang orang-orang yang bodoh atau melakukan hal-hal yang tidak biasa yang membuat penonton tertawa.

5) Dokumenter

Film jenis ini sedikit berbeda dengan film-film kebanyakan. Jika rata-rata film adalah fiksi, maka film ini termasuk film non fiksi, dimana film ini menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan.30

6) Horor

menggunakan rasa takut untuk merangsang penonton. Musik, pencahayaan dan set (tempat buatan manusia di studio film di mana film ini dibuat) yang semuanya dirancang untuk menambah perasaan takut para penonton.

7) Romantis

Film percintaan membuat kisah cinta romantis atau mencari cinta yang kuat dan murni dan asmara merupakan alur utama dari film ini. Kadang-kadang, tokoh dalam film ini menghadapi hambatan seperti keuangan, penyakit fisik, berbagai bentuk diskriminasi, hambatan


(40)

34

psikologis atau keluarga yang mengancam untuk memutuskan hubungan cinta mereka.31

8) Drama

Film ini biasanya serius, dan sering mengenai orang yang sedang jatuh cinta atau perlu membuat keputusan besar dalam hidup mereka. Mereka bercerita tentang hubungan antara orang-orang. Mereka biasanya mengikuti plot dasar di mana satu atau dua karakter utama harus mengatasi kendala untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.32

3. Konsep Gender

Hakikatnya, manusia memiliki kedudukan yang setara. Laki-laki dan perempuan. Keduanya diciptakan dalam derajat, harkat, dan martabat yang sama. Kalaupun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda, itu semua agar keduanya saling melengkapi. Namun dalam perjalanan kehidupan manusia, banyak terjadi perubahan peran dan status atas keduanya, terutama dalam masyarakat. Proses tersebut lama kelamaan menjadi kebiasaan dan membudaya. Dan berdampak pada terciptanya perlakuan diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin. Selanjutnya, muncul istilah gender yang mengacu pada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk dari proses perubahan peran dan status tadi secara sosial dan budaya.


(41)

35

2.2.1 Definisi Gender dan Seks

Hal yang pertama perlu dipahami ketika membahas tentang gender adalah bagaimana membedakan antara gender dan seks. Pengertian gender pertama kali muncul dalam Concise Oxford Dictionary of Current English, edisi ke-8, 1990 adalah penggolongan gramatikal terhadap kata benda dan kata lain yang berkaitan dengannya yang secara garis besar berhubungan dengan dua jenis kelamin serta ketiadaan jenis kelamin atau kenetralan. Gender itu berasal dari bahasa latin "genus" yang berarti jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya.33

Meskipun ada juga yang menganggap bahwa kata gender berasal dan bahasa Inggris yang berarti “jenis kelamin”. Namun, perkembangan selanjutnya kata gender tersebut mengalami perluasan makna yang pada hakekatnya tetap mengacu pada perbedaan laki-laki dan perempuan dan segi fungsi, atau perlakuan yang diberikan oleh masyarakat umum secara turun temurun. Gender dan jenis kelamin biologis dibedakan secara mendasar.

Kita dilahirkan sebagai perempuan atau laki-laki yang merupakan pemberian yang mutlak, kemudian interpretasi biologis oleh kultur memberikan jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminine.34 Sedangkan gender diumpamakan sebagai kostum dan topeng di teater yang menggambarkan kepada orang lain tentang diri kita feminin atau maskulin. Hal inilah yang membentuk peran gender yang mencakup

33 Macdonald, Mandy dan Sprenger, Ellen. 1997. Gender dan Perubahan Organisasi.

Yogyakarta: Insist Press.


(42)

36

penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam atau di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya perlu untuk membedakan antara konsep jenis kelamin (seksual) dan pembedaan seksual (gender).35 Konsep jenis kelamin dikenal dengan dua dimensi kategoris bersifat biologis, yaitu jenis seksual yang terdiri atas alat (organ) kelamin disertai alat reproduksi masing-masing yang khas. Sementara gender merupakan penilaian yang dibuat atas dasar sosial.

Penekanan oleh kekuasaan yang bersifat struktural membuat pemilahan sosial ini bersifat absolut. Gender dianggap sebagai kategori yang bersifat linear yang dimulai dari orientasi sosial yang terdiri atas feminitas dan maskulinitas. Perempuan hanya boleh melaksanakan fungsi perempuan dan orientasi seksual yang bersifat feminin. Sementara laki-laki hanya boleh melaksanakan fungsi laki-laki-laki-laki dan orientasi seksual maskulin.

Setiap penyimpangan fungsi dan orientasi seksual akan ditolak dalam peran struktural. Sedangkan Nauly menjelaskan bahwa maskulin adalah sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi pria. Sedangkan Feminin nerupakan ciri-ciri atau sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal bagi wanita.36 Femininitas dan Maskulinitas ini berkaitan dengan stereotip peran gender. Stereotip peran gender ini dihasilkan dari pengkategorisasian antara perempuan dan laki-laki, yang merupakan suatu representasi sosial yang

35 Siregar, Ashadi. Maret 2004. “Ketidakadilan Konstruksi Perempuan dalam Film dan

Televisi”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 7, No. 3, 335-336.


(43)

37

ada dalam struktur sosial kita. Menurut Ilmu Sosiologi dan Antropologi, gender itu sendiri adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Dan pandangan barat, gender dikonsepsikan dan sudut sosial mengenai definisi laki-laki dan perempuan.37 Pada dasarnya, pendekatan ini melihat dan perspektif biologi yang dikaitkan dengan tugas, fungsi, dan peranan kedua-duanya dalam masyarakat dan sebagai individu. Defenisi ini sangat berkaitan dengan budaya masyarakat setempat.

Tabel 2.1 Perbedaan Laki-Laki dan Perempuan dilihat dari Sifat, Fungsi, Ruang Lingkup, dan Tanggung Jawab (Peran)

ASPEK LAKI-LAKI PEREMPUAN

Sifat Maskulin Feminim Fungsi Produksi Reproduksi Ruang Lingkup Publik Domestik

Tanggung Jawab Peran Nafkah Utama Nafkah Tambahan

Sumber: Modul 2 tentang Konsep dan Teori Gender PJJ-PUG BKKBN (2009)38

Dalam perspektif budaya dan nilai melayu, konsep gender telah terwujud dalam masyarakat melayu dengan acuan tersendiri yang terbentuk dari sejarah yang lama dan stabil39. Namun, konsep ini tetap mengacu pada peranan, tugas, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan tersendiri dan kedudukannya dijamin serta dihormati. Konsep

37 Taha, Zainuddin et.al. 2004. Gender dalam Perspektif Islam dan Budaya Melayu.Makassar:

Universitas Negeri Makassar.

38 Sasongko, Sri Sundari. 2009. Modul 2 tentang Konsep dan Teori Gender. Jakarta: Pusat

Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan,BKKBN.

39 Taha, Zainuddin et.al. 2004. Gender dalam Perspektif Islam dan Budaya Melayu.Makassar:


(44)

38

gender dalam budaya melayu diaplikasikan dalam konteks dua perspektif, yaitu perspektif tugas, fungsi, dan tanggung jawab yang berlainan antara laki-laki dan perempuan, dan gender sebagai suatu asasuntuk mengungkapkan hubungan keduanya. Dalam buku berjudul Analisis Gender dan Transformasi Sosial untuk memahami konsep gender, maka perlu dibedakan antara kata gender dan seks (jenis kelamin).40 Pengertian jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Hal-hal biologis ini tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Kondisi ini merupakan ketentuan Tuhan (kodrat) yang tidak mungkin diganggu gugat.

Tabel 2.2 Perbedaan seks dan gender

SEKS PERBEDAAN GENDER

Pemberian (ciptaan) Tuhan Abadi (tidak berubah)

Sejak Manusia dalam Kandungan Dosa Mengubahnya

Asal Waktu Terjadinya Sanksi

Pemberian (ciptaan) manusia, kontruksi social

Temporer (bias berubah) Setelah manusia berusia sekolah

Sumber: Gender dalam perspektif Islam dan budaya melayu41

Selanjutnya, konsep gender yakni suatu sifat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal lemah, lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat yang tidak dapat dipertukarkan. Artinya bisa saja ada laki-laki yang lemah, lembut atau keibuan,

40 Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 41 Taha, Zainuddin et.al. 2004. Gender dalam Perspektif Islam dan Budaya Melayu.Makassar:


(45)

39

sebaliknya mungkin saja ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Ciri ini dilekatkan akibat kontruksi sosial masyarakat, sehingga akhirnya dipandang seolah-olah sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat lakilaki dan perempuan. Maka, gender bukanlah perbedaan laki-laki dan perempuan dan sisi biologis melainkan perbedaan yang terbentuk dari sebuah konstruksi sosial.

Tabel 2.3 Atribut Sosial berdasarkan Gender

Laki-Laki Perempuan

Kuat, agresif Memiliki hasrat kuat untuk hubungan monogamy Kompetitif dan superior (pemimpin) Menghindari

Kompetitif dan superior (pemimpin) Menghindari konflik, selaras dan mufakat

Mandiri Perhatian pada detail; kemampuan motorik

yang baik Menyembunyikan dan menyangkal emosi

Ringkas dan terfokus

Kemampuan verbal dan social yang kuat Kemampuan membaca orang dan sangat ituitif

Sumber : Gender Smart Memecahkan Teka-Teki Komunikasi Antara Pria dan Wanita42

Konstruksi sosial ini kemudian melekatkan bahwa laki-laki itu memiliki stereotipe maskulin sementara perempuan memiliki stereotipe feminim. Stereotipe gender adalah kategori luas yang merefleksikan kesan dan keyakinan tentang apa perilaku yang tepat untuk pria dan wanita43

Semua stereotipe, entah itu berhubungan dengan gender, etnis, atau kategori lainnya, mengacu pada citra dan anggota kategori tersebut.

42 Sanders, Jane. 2002 . Gender Smart Memecahkan Teka-Teki Komunikasi Antara Pria dan

Wanita. Edisi Revisi 2004, 2006 . Diterjemahkan oleh C.Kristiastanti. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.

43 http://id.wikipedia.org/wiki/stereotipgender. Diakses pada tanggal 06 April 2017 pukul12.24


(46)

40

Banyak stereotipe bersifat umum sehingga menjadi ambigu, misalnya kategori maskulin dan feminin. Memberi cap stereotipe sebagai maskulin atau feminin pada individu dapat menimbulkan konsekuensi signifikan. Mencap laki-laki sebagai maskulin dan perempuan sebagai feminim dapat menimbulkan pembatasan peran, status, dan tanggung jawab dalam kelompok sosial mereka. Sebaliknya, Mencap laki-laki sebagai feminin dan perempuan sebagai maskulin dapat menghilangkan status sosial dan penerimaan mereka dalam kelompok. Maka, sebenarnya pelekatan semacam ini harusnya tidak dilanggengkan. Pelekatan sifat-sifat gender ini dimantapkan dan dilembagakan dalam tatanan nilai masyarakat sebagai acuan bertindak sejak lahir sampai akhir hayat. Perempuan dicitrakan sebagai sosok manusia yang lemah dan emosional sehingga perlu dilindungi, sedangkan lelaki digambarkan sebagai sosok manusia gagah perkasa dan pelindung. Akibatnya, perempuan sejak kecil sudah tersosialisasi untuk melakukan peran domestik sementara laki-laki melakukan peran universal.

Tabel 2.4 Perilaku sejak lahir atau yang dipelajari

Maskulin Feminim

Mandiri dan superior Mufakat dan inferior Status

Kompetitif Dihormati, dipuja

Menarik diri di bawah stress

Ikatan melalui percakapan dan aktivitas Diperbolehkan : marah dan agresif Tidak diperbolehkan : air mata, takut, lembut

Koneksi Selaras

Disukai, disetujui

Berbicara di bawah stress

Ikatan melalui perasaan dan masalah Diperbolehkan : air mata, takut, bingung, lembut

Tidak diperbolehkan : marah dan agresif


(47)

41

Sulit minta tolong

Menangani konflik secara langsung Berbicara singkat dan langsung pada pokok masalah

Tidak masalah minta tolong Menghindari, takut pada konflik Membahas masalah secara detail

Sumber : Gender Smart Memecahkan Teka-Teki Komun'kasi Antara Pria dan Wanita44

2.2.2 Diskriminasi Gender

Diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender, ras, agama,umur, atau karakteristik yang lain. Diskriminasi juga terjadi dalam peran gender. Sebenarnya inti dari diskriminasi adalah perlakuan berbeda. Akibat pelekatan sifatsifat gender tersebut, timbul masalah ketidakadilan (diskriminasi) gender.

Mosse menyatakan bahwa kerja perempuan di seluruh dunia dinilai rendah. Kerja rumah tangga perempuan tidak dimasukkan dalam formulir sensus karena kerja perempuan tidak diperhitungkan.45 Kerja perempuan dilukiskan sebagai hal yang tidak tampak karena kerja itu tidak terekam secara statistik.

Robins menjelaskan salah satu bentuk diskriminasi dalam pemberian imbalan kerja, wanita biasanya dibayar (upah) lebih sedikit daripada pria dalam pekerjaan-pekerjaan yang sebanding dan mempunyai harapanharapan imbalan kerja yang lebih rendah daripada pria untuk pekerjaan yang sama.46

44 Sanders, Jane. 2002 . Gender Smart Memecahkan Teka-Teki Komunikasi Antara Pria dan

Wanita. Edisi Revisi 2004, 2006 . Diterjemahkan oleh C.Kristiastanti. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.

45 Mosse, Julia Cleves. 2007. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 46 Robins, Stephen P. dan Judge, Timothy A. 2008. Perilaku Organisasi edisi Kedua


(48)

42

Fakih mengemukakan secara rinci manifestasi ketidakadilan gender, yaitu: marjinalisasi (peminggiran), subordinasi (penomorduaan), stereotipe, kekerasan (violence), dan beban kerja berlebihan.47

Marjinalisasi artinya suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sektor publik), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender. Marjinalisasi ini terjadi dalam berbagai aspek, mulai dan kebijakan pemerintah, ekonomi, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi, kebiasaan, atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.

Bidang ekonomi, misalnya banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu bagus, baik dan segi gaji, jaminan kerja ataupun status dan pekerjaan yang didapatkan. Tidak hanya itu, marjinalisasi perempuan juga terjadi dalam rumah tangga atas posisi anggota keluarga laki-laki dan perempuan. Hal ini kemudian diperkuat oleh adat istiadat dan tafsir keagamaan seperti proporsi hak waris antara laki-laki dan perempuan dimana bagian anak lakilaki lebih besar daripada anak perempuan.


(49)

43

Subordinasi adalah suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi. Sementara peran publik dan peran domestik diberi penghargaan yang berbeda dalam masyarakat, sehingga melanggengkan ketidakadilan gender.

Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki. Anggapan bahwa perempuan memiliki tugas utama sebagai pelayan suami, mengakibatkan penomorduaan pendidikan kaum perempuan sebagai sesuatu yang wajar.

Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotipe gender laki-laki dan perempuan. Stereotipe itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat.

Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dan satu kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Pelabelan negatif juga


(50)

44

dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negatif ditimpakan kepada perempuan. Misalnya perempuan yang pulang larut malam adalah pelacur, jalang dan berbagai sebutan buruk lainnya.

Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Perempuan, pihak paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan marjinalisasi, subordinasi maupun stereotipe diatas. Perkosaan, pelecehan seksual atau perampokan contoh kekerasan paling banyak dialami perempuan.

Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun temyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan.

Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Dimana tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan terns menerus. Misalnya, seorang perempuan selain melayani suami (seks), hamil, melahirkan, menyusui, juga harus menjaga rumah. Di samping itu,


(51)

45

kadang is juga ikut mencari nafkah (di rumah), dimana hal tersebut tidak berarti menghilangkan tugas dan tanggung jawab diatas.

Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di wilayah publik, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik. Upaya mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.


(52)

46

B. KAJIAN TEORI 1. Semiotika

Secara etimologi, istilah semiotika berasal dari kata Yunani “semion” yang berarti tanda.48 Sedangkan menurut istilah semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda dan produksi makna tanda. Semiotik adalah teori tentang pemberian “tanda”

Alex Sobur dalam bukunya yang berjudul Analisis Teks Media membedakan semiotik menjadi dua, yakni semiotik komunikasi dan semiotik signifikasi.49 Semiotik komunikasi mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima, kode, pesan, saluran komunikasi, dan acuan atau hal yang dibicarakan. Sedangkan semiotik signifikasi mengutamakan segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya lebih diperhatikan ketimbang komunikasinya.

Dalam konteks semiotik komunikasi, jika seseorang memandang, mendengar atau memandang-dengar sebuah film, hal pertama yang dirasakan ialah berada dalam suatu situasi komunikasi. Film dapat dilihat sebagai suatu kegiatan antara penjual dan pembeli. Sebetulnya film tidak hanya dimanfaatkan untuk menjual, namun juga untuk menawarkan jasa atau kesempatan.

Hingga saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang umum pada saat ini. Jenis-jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural.

48 Alex Sobur, Analisis Teks Media: suatu pengantar untuk analsisi wacana, analisis semiotik, dan


(53)

47

a. Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu.

b. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat dialami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang.

c. Semiotik faunal zoo merupakan semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan.

d. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat.

e. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore).

f. Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam.

g. Semiotik normatif merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

i. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.


(54)

48

h. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat.

Jika dilihat dari perspektif semiotik signifikasi, meninjau film berarti memberi tekanan pada pemahaman sebagai bagian dari proses semiotik. Dalam signifikasi ini yang terpenting adalah interpretan. Mengutip pada Eco, Alex Sobur menerangkan tentang interpretan yang di dalamnya mencakup tiga kategori semiotik sebagai berikut:

a. Merupakan makna suatu tanda yang dilihat sebagai suatu satuan budaya yang diwujudkan juga melalui tanda-tanda yang lain yang tidak bergantung pada tanda pertama.

b. Merupakan analisis komponen yang membagi-bagi suatu satuan budaya menjadi komponen-komponen berdasarkan maknanya.

c. Setiap satuan yang membentuk makna satuan budaya itu dapat menjadi satuan budaya sendiri yang diwakili oleh tanda lain yang juga bisa mengalami analisis komponen sendiri dan menjadi bagian dari sistem tanda yang lain.

Film dalam konteks semiotik dapat diamati sebagai suatu upaya menyampaikan pesan dengan menggunakan seperangkat tanda dalam suatu sistem. Dalam semiotik film dapat diamati dan dibuat berdasarkan suatu hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified), seperti halnya tanda pada umumnya, yang merupakan kesatuan yang tidak dapat dilepaskan antara penanda dan petanda.


(55)

49

Gambar dan simbol adalah bahasa rupa yang bisa memiliki banyak makna. Suatu gambar bisa memiliki makna tertentu bagi sekelompok orang tertentu, namun bisa juga tidak berarti apa-apa bagi kelompok lain. Begitu juga dengan tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu, apabila “sesuatu” disampaikan melalui tanda dari pengirim kepada penerima, maka sesuatu tersebut bisa disebut sebagai “pesan”. Tanda bukanlah suatu benda saja dan bukan pula maknanya saja, melainkan kedua-duanya sekaligus.

Hal-hal yang perlu dibahas pada semiotik ini antara lain: tanda (meliputi ikon, indeks dan simbol) dan kode.

a. Tanda (ikon, indeks dan simbol)

Menurut Roland Barthes tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep dimana citra bunyi disandarkan.50 Tanda-tanda tersebut seperti mata uang koin. Satu sisi adalah penanda dan sisi lain adalah petanda dan uang koin itu sendiri adalah tanda. Penanda dan petanda tidak dapat dipisahkan dari tanda itu sendiri. Penanda dan petanda membentuk tanda.

Menurut John Fikse, tanda merupakan suatu fisik, bisa dipresepsikan indra; tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri; dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya.51 Hal yang ditunjuk oleh tanda, secara logis, dikenal sebagai referen (obyek atau petanda). Ada dua jenis referen, antara lain;52 pertama referen konkrit adalah sesuatu yang ditunjukkan hadir

50 Arthur Asa Berger, Tanda-tanda dalam Kedubayaan Kontemporer, terjemahan Dwi Marianto

dan Sunarto, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000), hal. 11.

51 John Fiske, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif,

(Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hal. 61.

52 Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenal Semiotika dan Teori


(56)

50

di dunia maya, misalnya kucing. Dapat diindikasikan hanya dengan menunjuk kucing. Kedua referen abstrak bersifat imajiner dan tidak dapat diindikasikan hanya dengan menunjuk pada suatu benda.

Komunikasi menjadi efektif ketika tanda-tanda dipahami dengan baik berdasarkan pengalaman pengirim maupun penerima pesan. Sebuah pengalaman (perceptual field) adalah jumlah total berbagai pengalaman yang dimiliki seseorang selama hidunya. Semakin besar kesesuaian (commonality) dengan perceptual field penerima pesan., maka semakin besar pula kemungkinan tanda-tanda dapat diartikan sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh pengirim pesan.

Merujuk pada pemikiran Saussure yang meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental. Sedangkan petanda adalah apa yang dikatakan dan apa yang dibaca atau ditulis. Hubungan antara penanda dan petanda dibagi menjadi tiga, yaitu:53

1) Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalkan foto atau peta

2) Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan yang ditandai, misalkan asap adalah indeks dari api.

3) Simbol adalah sebuah tanda dimana hubungan antara penanda dan petanda semata-mata adalah masalah konvensi, kesepakatan atau peraturan. Salah satu karakteristik simbol menurut perspektif Saussure adalah simbol


(57)

51

tak pernah benar-benar logis (arbiter). Hal ini dikarenakan ketidak sempurnaa ikatan alamiah antara penanda dan petanda. Simbol keadilan yang berupa timbangan misalnya. Simbol tersebut tidak dapat digantikan dengan simbol kereta.54

b. Kode

Kode merupakan sistem pengorganisasian tanda. Sistem-sistem tersebut dijalankan oleh aturan-aturan yang disepakati oleh semua anggota komunitas yang menggunakan kode-kode tersebut. Oleh karena itu disebut dikodekan. Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi.55

Menurut John Fiske, semua kode memiliki sejumlah sifat dasar antara lain:56

1) Kode mempunyai sejumlah unit (atau kadang-kadang satu unit) sehingga seleksi dapat dilakukan. Inilah dimensi paradigmatik. Unit-unit tersebut mungkin bisa dipadukan berdasarkan aturan atau konvensi. Inilah dimensi sintagmatik.

2) Semua kode menyampaikan makna. Unit-unit kode adalah tanda-tanda yang mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri melalui berbagai sarana.

3) Semua kode bergantung pada kesepakatan dikalangan para penggunanya dan bergantung pada latar belakang budaya yang sama. Kode dan budaya berinterelasi secara dinamis.

54 Arthur Asa Berger, Tanda-tanda dalam Kedubayaan Kontemporer, …, hal. 23. 55 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), hal. 17 56 John Fiske, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, …,


(58)

52

4) Semua kode menunjukkan fungsi sosial atau komunikatif yang dapat diidentifikasi.

5) Semua kode bisa ditranmisikan melalui media atau saluran komunikasi yang tepat.

Kode pertama yang berlaku pada teks-teks ialah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks yang bersangkutan. Kode bahasa tersebut dicantumkan pada kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks-teks tersusun menurut kode lain yang disebut kode sekunder, karena bahannya ialah sebuah sistem lambang primer, yaitu bahasa. Sedangkan struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk argumentasi, sistem matriks, semua itu merupakan kode-kode sekunder yang digunakan dalam teks-teks guna mengalihkan arti.

Lima kode yang ditinjau oleh Barthes, berdasarkan bukunya yang terkenal yaitu S/Z (1970) antara lain:57

1) Kode Hermeneutik (kode teka-teki) berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks.

2) Kode Semik (makna konotatif) yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminimitas dan maskulinitas. Atau dengan kata lain kode ini adalah tanda-tanda yand ditata sehingga memberikan konotasi feminism dan maskulin.


(1)

88

kehadirannya tidak disadari. Dan pembaca mudah membaca sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Oleh karena itu salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka pikir dan mengatsi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda.


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penyajian data yang diuraikan oleh peneliti serta hasil dari analisis data–data yang telah diperoleh dari berbagai sumber data, dapat disimpulkan bahwa.

Bentuk deskriminasi gender yang terdapat dalam film ”Maya Raya Daya” ini direpresentasikan sebagai nilai kepatuhan terhadap adat istiadat (Maya dijodohkan dengan saudagar kaya yang memiliki istri dan anak) dan rasa hormat kepada kedua orang tua (Maya dan Raya menerima perjodohan yang diinginkan kedua orang tuanya) serta suami (Raya menerima kekerasan psikis dari suaminya namun tidak melakukan perlawanan), dan juga tindak kekerasan yang biasa diperoleh oleh kaum perempuan (Raya dan Daya yang menerima kekesaran secara fisik).

Hal ini ditunjukkan dari petanda serta penanda yang ada dalam film tersebut sehingga memunculkan makna denotasi serta konotasi sesuai metode yang digunakan oleh peneliti, yaitu analisis semiotika model Roland Barthes. Makna denotasi yang muncul dari film ini berupa makna apa adanya seperti yang ditampilkan oleh film yakni dengan makna konotasi yang lebih mendalam dari sebuah gambaran film yang tidak bisa ditampilkan namun bisa dirasakan oleh penikmat film. Dengan kata lain konotasi dimaknai hanya sebagai simulasi kenyataan belaka dari gambaran budaya, adat istiadat, penindasan, dan kekerasan yang ditampilkan dalam film “Maya Raya Daya” ini.


(3)

90

B. Rekomendasi

1. Bagi masyarakat, supaya lebih bijak dan selektif dalam menikmati dan memilih sebuah film sebagai tontonan, bukan hanya menjadikannya sebagai sarana hiburan saja melainkan hendaknya mengambil makna positif yang ingin disampaikan oleh film.

2. Bagi produser film, hendaknya dapat menghadirkan kembali film serupa yang mengandung pembelajaran yang positif untuk masyarakat serta dengan kisah yang lebih menarik lagi, bisa dengan cara mengangkat fenomena-fenomena yang sedang terjadi dan belum pernah difilmkan sehingga penonton akan tertarik untuk menikmati film tersebut.

3. Bagi para akademisi, diharapkan dapat mengangkat dan meneliti fenomena penelitian serupa tetapi dalam konteks film yang berbeda maupun dapat meneliti film yang berjudul “Maya Raya Daya” ini lagi namun dalam fokus penelitian yang berbeda dan tentunya lebih menarik.


(4)

Daftar Pustaka

Amir Piliang, Yasraf. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studie Atas Matinya Makna. Yogyakarta : Jalasutra.

Asa Berger, 2000. Arthur Tanda-tanda dalam Kedubayaan Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Barthes, Roland. 2004. Mitology, terjemahan Nurhadi dan Sihabul Millah. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Danesi, Marcel. 2011. Pesan, Tanda dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenal Semiotika dan Teori Komunikasi, terjemahan Evi setyarini dan Lusi Lian Piantari. Yogyakarta: Jalasutra.

Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Heru Effendy, Mari Membuat Film, (Jakarta: Erlangga, 2009)

Hoed, Benny. 2011.Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Jakarta: Komunitas Bambu.

Http://abunavis.wordpress.com/2007/12/31/mitos-dan-bahasa-media-mengenal-semiotika-roland-barthes/

Http://Alfathoriq.Blogspot.Com/2012/09/Roland-Barthes.Html?M=1 Di Akses Pada Tanggal 26 desember 2016

Http://duniailmiah.blogspot.co.id/2008/07/diskriminasi-sosial.html diakses 26 desember 2016

Http://en.wikipedia.org/wiki/Romance_film di akses pada tanggal 05 Desember 2016.

Http://id.wikipedia.org/wiki/stereotipgender. Diakses pada tanggal 06 April 2017 pukul12.24 WIB.

Http://Simple.Wikipedia.Org/Wiki/Movie, Di Akses Pada Tanggal 05 Desember 2016.

Https://id.m.wikipedia.org/wiki/gender_(sosial) diakses 26 desember 2016

Https://pramareola14.wordpress.com/2009/03/10/memahami-arti-gender/ diakses 26 desember 2016


(5)

92

Kbbi.web.id/diskriminasi diakses tanggal 26 desember 2016

Koentjaraningrat, 1990. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

LaRose,et.al.media now.(Boston, USA.2009). [Online] Tersedia:

http://id.wikipedia.org/wiki/Perkembangan_Film di akses pada tanggal 05 Desember 2016.

Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication. Seventh edition.

M. Boggs,Joseph. 1986. The Arts Of Watching Film, (Terj) Asrul Sani, Jakarta: Yayasan Citra Pusat Perfilman H. Umar Ismail

Macdonald, Mandy dan Sprenger, Ellen. 1997. Gender dan Perubahan Organisasi. Yogyakarta: Insist Press.

Marselli Sumarno. Dasar-Dasar Apresiasi Film. (Jakarta: PT. Grasindo. 1996) Milesfilms.net/maya-raya-daya/ diakses 26 desember 2016 , 04.35 Wib

Mosse, Julia Cleves. 2007. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mosse, Julia Cleves. 2007. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nauly, Meutia. 2002. Konflik Peran Gender pada Pria : Teori dan Pendekatan Empirik Fakultas Kedokteran Program Studi Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT Lkis.

Pranajaya, Adi. 1992. Film Dan Masyarakat, Sebuah Pengantar, Jakarta : Yayasan Pusat Perfilman H. Usman Ismail.

Robins, Stephen P. dan Judge, Timothy A. 2008. Perilaku Organisasi edisi Kedua belas. Jakarta: Salemba Empat

Sanders, Jane. 2002 . Gender Smart Memecahkan Teka-Teki Komunikasi Antara

Pria dan Wanita. Edisi Revisi 2004, 2006. Diterjemahkan oleh

C.Kristiastanti. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.

Sasongko, Sri Sundari. 2009. Modul 2 tentang Konsep dan Teori Gender. Jakarta: Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan,BKKBN Singarimbun, Marsi. 1989. Metode Penelitian Survey . Jakarta: LP3LS.

Siregar, Ashadi. Maret 2004. “Ketidakadilan Konstruksi Perempuan dalam Film dan Televisi”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 7


(6)

93

Sobur, Alex . 2013. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: suatu pengantar untuk analsisi wacana,

analisis semiotik, dan analisis framing, Bandung: Remaja Rosdakarya. Suharsimi, 1998. Prosedur Penelitian . Jakarta: Rineka Cipta.

Taha, Zainuddin et.al. 2004. Gender dalam Perspektif Islam dan Budaya Melayu.Makassar: Universitas Negeri Makassar.