PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI KABUPATEN BULELENG BALI TAHUN 1800-1953.

(1)

PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI KABUPATEN BULELENG BALI TAHUN 1800-1953

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu (S-1)

Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh: RIZKY ANNISA NIM: A0.22.12.097

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Perkembangan Agama Islam di Kabupaten Buleleng Bali Tahun 1800-1939. Beberapa permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini yaitu (1) Bagaimana sejarah masuknya agama Islam di Kabupaten Buleleng, Bali? (2) Bagaimana perkembangan agama Islam di Kabupaten Buleleng, Bali? (3) Bagaimana pengaruh agama Hindu terhadap agama Islam di Kabupaten Buleleng Bali?.

Untuk menjawab permasalahan tersebut penulis menggunakan pendekatan historis dan antropologi, serta menggunakan dua metode yaitu sejarah dan Antropologi. Pendekatan historis digunakan untuk mencari informasi tentang perkembangan agama Islam di Kabupaten Buleleng dengan menggunakan cara yang sistematis. Metode sejarah digunakan untuk mendeskripsikan peristiwa masuk dan berkembangnya agama Islam di Kabupaten Buleleng, Bali, metode Antropologi digunakan untuk menjelaskan kebudayaan pada masyarakat Islam di Buleleng. Untuk menganalisa perkembangannya penulis menggunakan teori Difusi, yang mana agama Islam dapat berkembang di Buleleng karena adanya imigran.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti menemukan bahwa (1) Agama Islam masuk ke Buleleng terjadi pada tahun 1587 yang dibawa oleh tiga orang pengantar gajah. (2) Perkembangan agama Islam di Kabupaten Buleleng ditandai dengan banyaknya imigran yang telah memeluk Islam datang ke Buleleng, selain itu juga ditandai dengan berdirinya masjid-masjid, dan berdirinya organisasi-organisasi Islam yaitu Nahdatul Ulama tahun 1953 dan Muhammadiyah pada tahun 1939. (3) Pengaruh agama Hindu terhadap agama Islam terlihat pada kebudayaan masyarakat Islam yang menggunakan budaya Hindu hal ini terlihat pada budaya pemberian nama yang menggunakan urutan kelahiran berdasarkan tradisi Hindu.


(6)

ABSTRACT

This thesis is titled Development of Islam in Buleleng Bali Year 1800-1939. Some of the issues discussed in this paper: (1) How does the history of the emergence of Islam in Buleleng, Bali? (2) How is the development of Islam in Buleleng, Bali? (3) How does the influence of Hinduism to Islam in Buleleng Bali ?.

To answer these problems writer use approach historis and uses two methods historiy and antopology. The historical approach is used to seek information about the development of Islam in Buleleng using systematic way. The method used to describe the history of the event entry and the development of Islam in Buleleng, Bali, anthropology methods used to explain the culture on Muslim society in Buleleng. To analyze the development of the author uses the theory of diffusion, in which Islam can flourish in Buleleng due to immigrants.

Based on research that has been conducted by researchers found that (1) Islam entered Buleleng occurred in 1587 brought about by the introduction of three elephants. (2) The development of Islam in Buleleng was marked by imigran who comes to Buleleng, beside that there are so many mosques in Buleleng, and the establishment of Islamic organizations that NU 1953 and Muhammadiyah 1939. (3) The influence of Hinduism on Islam looks at the culture of Islamic societies that use the Hindu culture as seen on the culture of naming using birth order is based on the Hindu tradition.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

ABSTRAK ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C.Tujuan Penelitian ... 6

D.Kegunaan Penelitian ... 6

E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 7

F. Penelitian Terdahulu ... 9

G.Metode Penelitian ... 10

H.Sistematika Pembahasan ... 13

BAB II : BULELENG BALI SEBELUM KEDATANGAN ISLAM A.Sejarah Lahirnya Kabupaten Buleleng ... 16

1.Letak Geografis ... 20

B. Kepercayaan Masyarakat Buleleng Sebelum Kedatangan Agama Islam ... 24


(8)

C.Sejarah Masuknya Agama Islam Di Buleleng Bali... ... 27

1. Penyebar Agama Islam di Buleleng Bali ... 31

2. Sarana Penyebaran Agama Islam di Buleleng Bali ... 33

a. Sarana Perdagangan. ... 34

b. Sarana Pengobatan. ... 35

BAB III : PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI KABUPATEN BULELENG BALI A. I Gusti Ketut Jelantik Celagi Masuk Islam ... 37

B. Kedatangan Penduduk Pendatang Ke Buleleng Bali ... 39

C. Periodisasi Perkembangan Agama Islam di Buleleng Bali ... 44

D. Berdirinya Organsasi-Organisasi Masyarakat Islam di Buleleng Bali ... 48

1. Nahdatul Ulama ... 48

2. Muhammadiyah ... 51

E. Berdirinya Sarana Pendidikan Islam di Buleleng Bali ... 53

1. Madrasah Ibtidaiyah ... 53

2. Pondok Pesantren di Buleleng ... 58

BAB IV : PENGARUH HINDU TERHADAP MASYARAKAT ISLAM DI KABUPATEN BULELENG BALI A. Kebudayaan Masyarakat Muslim di Buleleng ... 60

1. Tradisi Pemberian Nama Anak ... 61

2. Tradisi Subak ... 63

3. Tradisi Membakar Kemenyan ... 67


(9)

5. Tradisi Ngejot...68

6. Tadisi Maulid Nabi ... 69

B.Jejak-Jejak Sejarah Kebudayaan Islam di Buleleng ... 73

1. Masjid Kuno dan Masjid Agung Jamik Singaraja ... 73

2. Masjid Safinatussalam. ... 78

3. Makam The Kwan Lie (Syekh Abdul Qadir Muhammad) ... 80

4. Al-Quran Kuno Karya Gusti Ketut Jelantik Celagi ... 84

C.Hubungan Antar Umat Beragama di Buleleng Bali ... 85

1. Hubungan Harmonis ... 85

2. Hubungan Tidak Harmonis ... 89

BAB V : PENUTUP A.Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bali diidentikan dengan agama Hindu, namun sebagaimana telah diketahui bahwa selain agama Hindu, di Bali juga terdapat agama lainnya seperti agama Islam yang di Bali sendiri dikenal sebagai “Bali Selam”.1Pulau Bali sejak ratusan tahun lalu yaitu sekitar abad XIV XVI menjadi salah satu tujuan migrasi orang-orang Islam.2 Sejak zaman kerajaan orang-orang

Islam di Bali sudah hidup berdampingan. Mereka hidup di enclave nyama selam, yang bermukim di sekitar pelabuhan pantai dan kota;di enclave pegunungan (Pegayaman, Tegalinggah, Batugambir, Candi Kuning, Batur, Karangasem, Bangli, Kepaon, Serangan, Loloan, Negara, dll).3

Demikian juga masyarakat IslamdiwilayahkabupatenBuleleng, seperti Islam Pegayaman dan Kampungtinggi. Pesisir utara dari Bali utara banyak dihuni oleh masyarakat islam beretnik Jawa, Madura dan Bugis.4

Pada umumnya kebanyakan diantara mereka berasal dari luar Bali dan bertempat tinggal terutama di beberapa desa di Kabupaten Karangasem, Buleleng dan Jembrana.5

Kabupaten Buleleng adalah sebuah kabupaten di propinsi Bali, Indonesia, Ibukotanya adalah Singaraja. Buleleng berbatasan dengan laut Jawa disebelah utara, Kabupaten

1

I Nyoman Darma Putra, Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif (Denpasar: Pustaka Bali Post, 2004), 39. 2Susanti, “Potensi Masjid Nur Singaraja, Bali Sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan Di Sma”, (Skripsi

, Universitas Pendidikan Ganesha Fakultas Ilmu Sosial, Singaraja, 2014), 3.

3

I Made Pageh, et al, “Analisis Faktor Integratif Nyama Bali-Nyama Selam, Untuk Menyusun Buku Panduan Kerukunan Masyarakat di Era Otonomi Daerah”,Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 2, No. 2, Oktober 2013, Singaraja,240.

4

Wayan Supartha, Bali dan Masa Depannya (Denpasar:PT. Offset BP.1999), 47-48. 5


(11)

2

Jembrana di sebelah barat, Kabupaten Karangasem disebelah timur dan Kabupaten Bangil, Tabanan serta Badung disebelah selatan.6

Kabupaten Buleleng yang terletak di belahan utara Pulau Bali memanjang dari Barat ke Timur mempunyai wilayah terluas diantara 8 kabupaten dan kota lainnya di Bali, yaitu hampir sepertiga luas Pulau Bali (± 1365,88 hektar) dengan batas: sebelah barat Kabupaten Jembrana sebelah selatan KabupatenTabanan,Badung, dan Bangli, sebelah timur Kabupaten Karangasem, serta sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Bali.

Kelompok yang tergolong minoritas di Bali adalah etnis yang menganut agama Islam.Sekalipun kelompok minoritas, mereka dapat hidup berdampingan secara damai dengan kelompok etnis lainnya juga tidak ada pembatas dalam kehidupan sehari-hari.7Akulturasi dan toleransi di Buleleng sudah lama terjadi seiring dengan masuknya agama

Islam yang di bawa oleh beberapa etnis dari luar Bali. Seperti Jawa, Bugis, Makasar dan Sasak. Kelompok pendatang tersebut yang mendominasi adalah etnis Jawa dan etnis Bugis.8

Masyarakat Islam di Kabupaten Buleleng tetap memelihara dengan baik simbol-simbol adat Bali seperti subak, seka, banjar. Akulturasi agama dan tradisi di Bali nampak harmonis, bahkan termasuk pula dalam pemberian nama-nama anak mereka. Nama-nama seperti Wayan/Putu, Made, Nyoman, Nengah, Ketut tetap diberikan sebagai nama depan berdasarkan tradisi umat Hindu di Bali.9

Berdasarkan versi Babad Bulelengagama Islam masuk ke Buleleng terjadi pada tahun 1587, saat itu terjadi pertempuran yang hebat antara I Gusti Ngurah Panji Sakti dengan

6

Dayat Suryana,Bali dan Sekitarnya (Denpasar: Manikgeni,2012), 91. 7

I Ketut Ardhana, et al, Masyarakat Multi Kultural Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi dan Integrasi(Denpasar: Pustaka Lararasan, 2011), 75.

8

Ibid., 43.

9Sigit Yoesni, “Menyambagi Kampung

-Kampung Muslim di Bali”, dalam http:/www.bimasislam.kemenag.go.id(07 September 2015)


(12)

3

rakyat Blambangan. Akhirnya pertempuran dimenangkan oleh I Gusti Ngurah Panji, setelah raja Blambangan mati tertikam oleh keris I Gusti Ngurah Panji yang terkenal dengan Ki Semang. Oleh karna itu Dalem Solo menghadiahkan seekor Gajah untuk kendaraan I Gusti Ngurah Panji. Gajah tersebut dibawa oleh tiga orang Jawa yang menjadi pengantar gajah. Pusat tertua Islam di Buleleng adalah Banjar Jawayang kemudian menyebar ke daerah-daerah lainnya.10

Pengantar gajah yang tiga orang dibagi dua. Dua orang bermukim disebelah utara Banjar Petak. Banjar tempat mereka bermukim sejak itu dikenal dengan Banjar Jawa, yang seorang lagi bermukim di Lingga (Probolinggo) di Jawa. Diantara Banjar Jawa dan Banjar Petak terdapat sebuah banjar yang dinamakan Banjar Peguyangan, karena ditempat itulah gajah pemberianDalem Solo itu bebas berguling-guling atau mungkin juga dimandikan (nguyang=memandikan binatang, bahasa Jawa). Lama kelamaan orang Jawa yang bermukim di Banjar Jawa makin berkembang. Sebagian diperintahkan oleh raja untuk membuka hutan di desa Pegatepan yang kini terkenal dengan nama Pegayaman. Penduduk desa Pegatepan mendapat tugas untuk menjaga keamanan daerah pegunungan.11

Tersebarnya agama Islam di Buleleng tentu tidak luput dari perjuangan tokoh Islam“The Kwan Lie” yang bergelar Syekh Abdul QodirMuhammad, merupakan saudagar Tiongkok yang mendaratkan kapal niaganya di pesisir pantai kawasan Bali Utara di pertengahan abad XVI. Beliau berlabuh di pantai Lovina, Singaraja Bali dan mulai menyebarkan agama Islam.

10

M. Sarlan, Islam di Bali (Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama, 1997), 31. 11


(13)

4

Beliau sangat ahli dalam pengobatan Cinadansambil berdagangbeliau jugamulai menyiarkan agama Islam di setiap kawasan yang disinggahinya.12

Tahun 1800an terjadi suatu peristiwa I Gusti Made Celagi rajaBuleleng masuk Islam. Seorang pengelingsir muslim bernama Haji Yusuf dariBanjar Bali atau Buleleng memohon kepada Raja Buleleng untuk memperkenankan I GustiMade Celangi menjadi warga muslim dan mengangkat menjadi pemimpin dengan tetap mengakui titel kegustiannya itu. I Gusti Made Celagi merupakan penulis al-Quran yang sekarang masih tersimpan di Masjid Agung atau Jamik Singaraja, pintugerbangMasjid adalah pemberian dari Anak Agung Made Rai.13

Masuknya agama Islam ke Buleleng ternyata mengalami perkembangan yang baik sebagaimanahalnya dengan tempat-tempat lainnya di Indonesia, di Bali terdapat pula gerakan-gerakan Islamsebagai organisasi sosial keagamaan sepertiNUdanMuhammadiyah. Muhammadiyah yang melakukan kegiatannyadalamlapangan pendidikan, sosial, dan keagamaan. Muhammadiyah memasuki Bali bersamaan dengan masuknya kelompok migran yang kebanyakan diantaranya beragama Islam. Seperti halnya di Negarakabupaten Jembrana, di Buleleng dan bagian lainnya di Bali. Muhammadiyah yang bergerak dalam lapangan sosial keagamaan memiliki peran yang signifikan dibandingkan dengan Islam lainnya di Bali. Di

Negara( nama suatu tempat yang ada di daerah Bali) Muhammadiyah didirikan pada tahun 1934, di Buleleng pada tahun 1939.14

Adanya rasa ingin tahu yang tinggi terhadap perkembangan agama Islam, menumbuhkan rasa penasaran sehingga penulis merasa sangat tertarik untuk meneliti perkembangan agama Islam di Kabupeten Buleleng Bali. Karena agama Islam merupakan agama minoritas di

12

Amanda Destianty Poetri Asmara,“Makam Keramat Karang Rupit Syeikh Abdul Qadir Muhammad (The Kwan Lie) di Desa Temukus Labuan Aji Banjar, Buleleng Bali (Perspektif Sejarah dan Pengembangannya Sebagai Objek Wisata Spiritual)”,(Skripsi, Universitas Pendidikan Ganesha Fakultas Ilmu Sosial, Singaraja, 2014), 69.

13

I Gusti Ngurah Panji,Sejarah Buleleng (Singaraja: UPTD Gedong Kirtya, 1956), 42. 14


(14)

5

Kabupaten Buleleng Bali yang dapat berkembang di tengah-tengah agama yang paling kuat yaitu agama Hindu. Masyarakat Buleleng yang memeluk agama Islam dapat bertahan dengan ajaran Islam sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan mereka. Selain itu kehidupan antar umat beragama di Buleleng Bali berjalan dengan rukun. Toleransi antar umat beragama tergolong tinggi, sangat jarang terdengar adanya bentrok antar agama di Buleleng. Semua masyarakatnya hidup dengan damai walaupun memiliki adat yang berbeda-beda.

B. Rumusan Masalah

Dari deskripsi latar belakang masalah diatas, maka penulis mengambil tiga rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, antara lain :

1. Bagaimana sejarah masuknya agama Islam di Buleleng

2. Bagaimana perkembangan agama Islam di Buleleng, Bali tahun 1800-1953

3. Apa pengaruh masyarakat Hindu terhadap masyarakat Islam di Buleleng Bali

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui sejarah masuknya agama Islam di Kabupaten Buleleng, Bali

2. Untuk mengetahuiperkembangan agama Islam di Kabupaten Buleleng, Bali tahun

1800-1953

3. Untuk mengetahui perngaruh agama Hindu terhadap agama Islam di Buleleng Bali

4. Untuk dapat menyelesaikan kuliah di Strata satu (S-1) jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Ampel dan mendapatkan gelar sarjana


(15)

6

D. Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat yang positif bagi semua orang, baik dari sisi keilmuan akademik maupun dari sisi praktis :

1. Dari sisi keilmuan akademik

a. Hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi sarana pengembangan wawasan serta pengetahuan dalam menganalisis permasalahan khususnya untuk mengetahui perkembangan agama Islam di Buleleng, Bali tahun 1800-1953.

b. Hasil dari penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan bahan informasi 2. Dari sisi praktis

Bagi jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan bahan pembelajaran mengenai perkembangan agama islam di Buleleng, Bali

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Dalam penulisan skripsi inipenulis menggunakan pendekatan historis.

Maksudnyapenulismendeskripsikan peristiwa yang terjadi pada masa lampau yaitu sejarah masuknya agama Islam di Kabupaten Buleleng sampai dengan perkembangan agama Islam yang ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi keagamaan di kabupaten Buleleng, Bali.

Selain menggunakan pendekatan historis, penulis menggunakan pendekatan antropologi karena pada penelitian ini penulis juga menjelaskan tentang pengaruh Hindu terhadap masyarakat Islam di Kabupaten Buleleng Bali.

Dalam penelitian sejarah ini, penulis menggunakan perspektif teoritis sebagai kerangka analisis terhadap fenomena-fenomena sejarah yang dikaji. Penggunaan disiplin keilmuan


(16)

7

yang lain, seperti sosiologi sangat penting dijadikan sabagai pisau analisis untuk menganalisis peristiwa sejarah yang berkaitan dengan “Perkembangan Agama Islam di Kabupaten Buleleng Bali Tahun 1800-0923”. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori difusi. Difusi adalah salah satu bentuk penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Penyebaran ini biasanya dibawa oleh sekelompok manusia yang melakukan migrasi ke suatu tempat, sehingga kebudayaan mereka turut melebur di daerah yang mereka tuju.15 Lebih tepatnya penulis menggunakan tipe teori difusi

penampungan. Difusi penampungan adalah proses penyebaran informasi atau material yang didifusikan meninggalkan daerah asal dan berpindah atau ditampung di daerah baru.

Hal ini sama seperti tersebarnya agama Islam di Buleleng, para penduduk pendatang dari Jawa, Bugis, Sasak, Madura meningalkan daerah asal mereka dan pergi menetap di daerah yang mereka datangi yaitu Buleleng. Informasi yang mereka bawa dari daerah asal tentang agama Islam berpindah dan ditampung di daerah baru yang mereka datangi. Hal inilah yang menjadikan jumlah umat Islam di Buleleng semakin banyak, sehingga agama Islam semakin bertambah dan semakin berkembang.

Selain teori difusi, penulis juga menggunakan teori challenge and response yang diperkenalkan oleh Arnold Toynbee. Teori ini mengandung pernyataan bahwa lahirnya suatu kultur tidak lain merupakan suatu jawaban terhadap keinginan dan kecenderungan masyarakat terhadap kultur tersebut.16

Islam sebagai agama minoritas di Buleleng, masyarakat muslim yang berada di kabupaten Buleleng ditengah masyarakatnya yang mayoritas Hindu selalu dihadapkan dengan tantangan kehidupan (challenge). Tantangan tersebut kemudian mendorong mereka

15

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi(Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002), 152. 16


(17)

8

untuk terus dapat bertahan hidup (survive). Timbullah pemikiran untuk menghadapi (response) tantangan tersebut. Keberhasilan menghadapi tantangan tersebutlah yang kemudian menjadikan masyaakat islam semakin berkembang di Buleleng Bali.

F. Penelitian Terdahulu

Tema tentang agama Islam di BulelengBali ini menurut penulis merupakan tema yang langka jarang orang yang meneliti tentang judul ini, namununtuk menunjang hasil penelitian penulis menulusuri beberapa karya-karya ilmiah dalam bentuk buku dan hasil penelitian tentang tema yang mirip dengan topik skripsi penulis.

1. Tulisan yang pertama adalah buku yang terbit pada tahun 2009 karya Hamdan Basyar dengan judul “Minoritas Muslim Bali: di Denpasar, Badung, Buleleng dan Jembrana”. Buku ini menjelaskan tentang identitas masyaakat Islam di Bali, khususnya di daerah Denpasar, Badung, Buleleng dan Jembrana.

Selain menggambarkan identitas umat Islam di beberapa daerah di Bali, buku ini juga menggambarkan tentang dinamika hubungan sosial budaya masyarakat Muslim Bali di daerah Denpasar, Badung, Buleleng, dan Jembrana dengan mayoritas Hindu Bali.

Jika karya Hamdan Basyar lebih memfokuskan pada identitas masyarakat muslim di Bali, serta menggambarkan dinamika hubungan sosial budaya masyarakat Muslim Bali, maka berbeda dengan penelitian penulis yang terfokus pada perkembangan agama Islam di Buleleng Bali tahun 1800-1953.

2. Tulisan kedua adalah skripsi karya Ikhsan yang berjudul “Islamisasi Di Buleleng Bali Abad XVII” skripsi ini menjelaskan tentang sejarah masuknya agama Islam di Buleleng Bali pada abad XVII.


(18)

9

Penelitian Ikhsan berbeda dengan penelitian penulis, karena penelitian penulis lebih mengarah pada perkembangan agama Islam di Kabupaten Buleleng, sedangkan penelitian Ikhsan lebih menjelaskan pada sejarah masuknya agama Islam di Buleleng.

3. Tulisan selanjutnya adalah skripsi karya Desak Putu Wirastini yang berjudul “Tradisi Mengarak Ogoh-Ogoh Telor Pada Masyarakat Islam di Desa Tembok, Tejakula, Buleleng, Bali Sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan Di Sma Negeri 0 Tejakula”. Skripsi ini menjelaskan tentang latar belakang tradisi mengarak ogoh-ogoh telor pada masyarakat muslim di Buleleng Bali, bentuk tradisiya dan aspek dari tradisi tersebut yang bisa dijadikan sebagai sumber belajar sejarah.

Penelitian penulis dengan penelitian Desak Putu Wirastini memang sama-sama membahas tentang masyarakat Muslim di Kabupaten Buleleng Bali, namun penelitian Desak Putu Wirastini berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, karna penelitian penulis lebih terfokus pada perkembangan agama Islam di Kabupeten Buleleng Bali sedangkan penelitian Desak Putu Wirastini terfokus pada tradisi mengarak ogoh-ogoh telor pada masyarakat Islam di desa Tembok, Tejakula, Buleleng, Bali.

G. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua metode yaitu metode Sejarah dan Antropologi. Metode sejarah penulis gunakan untuk menjelaskan sejarah dan perkembangan agama Islam di Kabupaten Buleleng Bali, sedangkan metode antropologi penulis gunakan untuk menjelaskan pengaruh atau akulturasi Hindu terhadap agama Islam di Buleleng.


(19)

10

Tahapan-tahapan metode penelitian sejarah yang penulis lakukan meliputi empat langkah yaitu heuristik, verifikasi, interprestasi dan historiografi, yang akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Heuristik (Pengumpulan Sumber). Tahap ini penulis akan melakukan pengumpulan sumber untuk penulisan karya ilmiah, terutama yang ada kaitannya dengan pokok pembahasan dalam proposal ini. Untuk memperoleh pendalaman dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan dua langkah untuk mencari dan menemukan sumber sejarah yaitu :

Langkah pertama yaitu dengan mencari sumber primer berupa arsip yang memuat fakta-fakta sejarah. Dimana arsip-arsip yang menjadi sumber primer bagi penulis adalah beberapa foto catatan-catatan lontar yang berjudul Babad Buleleng, Babad Buleleng Sasak, Babad Mangwi Buleleng, Rusak Buleleng. Selain itu ada juga foto al-Quran tertua Desa Pegayaman, foto Al-Quran Kuno karya Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi, foto masjid-masjid kuno di Buleleng Bali. Surat keterangan berdirinya Muhammadiyah di Buleleng, data masjid-masjid tua yang telah berdiri sejak masa kerajaan Buleleng.

Langkah kedua yaitu mengumpulkan sumber sekunder yang berupa buku-buku, yang berhubungan dengan sejarah dan perkembangan agama Islam di Buleleng. Sumber sekunder selain dari buku-buku penulis juga melakukan wawancara kepada para tokoh masyarakat dan para ahli sejarah yang ada di Kabupaten Buleleng.

2. Verifikasi (Kritik sumber), setelah data diperoleh penulis berusaha melakukan kritik terhadap sumber-sumber yang bekaitan dengan sejarah Islam di Buleleng dan perkembangannya. Pada proses ini penulis akan memilah-milah sumber. Penulis sangat berhati-hati dalam memilih dan menguji data literature yang bertujuan agar mendapatkan


(20)

11

data yang otentik, maka penulis memilah sumber tersebut sesuai dengan tema yang akan ditulis lalu kemudian dianalisa.

3. Interpretasi (Penafsiran) Pada langkah ini penulis menafsirkan fakta-fakta agar suatu peristiwa dapat direkonstruksi dengan baik, yakni dengan menguraikan sumber-sumber yang telah dikumpulkan sumber sekunder dan sumber kepustakaan (sumber primer) yang kemudian disimpulkan agar dapat dibuat penafsiran terhadap data yang diperoleh sehingga dapat diketahui kesesuaian dengan masalah yang dibahas. Mengenai data-data yang diinterpretasi adalah data-data tentang masuknya agama Islam di Kabupaten Buleleng, pembawa agama Islam, tahun masuknya agama Islam, dan problematika yang terkait dengan hal tersebut. Penulis juga akan mencoba untuk bersikap se-objektif mungkin terhadap penyusunan penelitian ini.

4. Historiografi (Penulisan Sejarah), tahap ini merupakan bentuk penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian yang telah dilakukan sebagai penelitian sejarah yang menekankan aspek kronologis. Laporan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti kemudian peneliti menulis dan mencoba menyajikan penelitian tersebut ke dalam satu karya yang berupa skripsi.

Dalam menjelaskan kebudayaan masyarakat Islam di Kabupaten Buleleng Bali yang terpengaruh oleh ajaran Hindu, penulis menggunakan metode Antropologi, karena Antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan. Metode antropologi dilakukan yaitu dengan memperhatikan kebudayaan masyarakat Islam di Kabupaten Buleleng yang beralkulturasi dengan kebudayaan masyarakat Hindu di Kabupaten buleleng Bali.


(21)

12

H. Sistematika Bahasan

Untuk memudahkan pemaham pembaca dalam penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika bahasan sebagai berikut :

BAB I: Pendahuluan. Dalam bab ini berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian, sistematika pembahasan dan daftar pustaka (Bibliografi)

sementara.

BAB II: Sejarah masuknya agama Islam di Bueleng, Bali. Bab ini memberikan penjelasan secara umum tentang letak Geografis Kabupaten Buleleng, selain itu juga menjelaskan tentang sejarah masuknya agama Islam di Buleleng. Menjelaskan juga tentang tokoh penyebar agama Islam The Kwan Lie di Kabupaten Bulelengserta menjelaskan tentang sarana penyebaran agama Islam di Kabupaten Buleleng Bali.

BAB III: Perkembangan agama Islam di Buleleng, Bali tahun 1800-1953. Bab ini menjelaskan tentang perkembangan agama islamdi Kabupaten Buleleng tahun 1800-1953 dimana saat itu terjadi peristiwa anak raja Buleleng I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi yang masuk Islam dan menulis al-Quran. Selain itu juga menjelaskan tentang kedatangan penduduk pendatang yang membawa ajaran Islam dan menjadikan agama Islam berkembang di Buleleng.Bab ini juga menjeaskan perkembangan agama Islam berikutnya yang ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi Islam yaitu Nahdatul Ulama‟, Muhammadiyah serta berdirinya madrasah-madrasah dan pondok pesantren.

BAB IV: Pengaruh Hindu terhadap masyarakat Islam di Kabupaten Buleleng.Bab ini memberikan penjelasan tentang pengaruh dari agama Hindu terhadap agama Islam seperti


(22)

13

dalam hal pemberian nama anak, tradisi subak, ngejot, membakar kemenyan, nyapar, maulid Nabi.Selanjutnya akan dijelaskan pula tentang jejak-jejak sejarah kebudayaan Islam di Buleleng, seperti al-Quran kuno, masjid kuno, dan makam penyebar agama Islam di Buleleng. Serta memberikan penjelasan tentang kerukunan antar umat beragama di Kabupaten Buleleng diantara kerukunan tersebut akan dijelaskan juga tentang hubungan harmonis dan tidak harmonis masyarakat Islam di Buleleng.

BAB V: Penutup. Pada bab ini merupakan bagian penutup yang meliputi kesimpulan dan saran. Kesimpulansebagai jawaban fokus kajian yang telah dirumuskan dalam penelitian ini. Serta berisikan saran-saran yang berkaitan dengan pembahasan ini, daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


(23)

14

BAB II

BULELENG BALI SEBELUM KEDATANGAN ISLAM A.Sejarah Lahirnya Kabupaten Buleleng

Sebelum menjadi Kabupaten, Buleleng pada zaman dahulu merupakan sebuah daeah yang bernama Den Bukit. Masyarakat Bali Selatan saat zaman berkembangnya pengaruh Majapahit melihat Den Bukit sebagai “daerah nun dibalik bukit”. Daerah misterius, banyak pendatang yang datang secara silih berganti.1Namun setelah Ki Gusti Ngurah Panji Sakti menjadi raja,

lalu nama Den Bukit berganti menjadi Kerajaan Buleleng.

Pada sekitar tahun Candrasangkala “Raja Manon Buta Tunggal” atau Candrasangkala 6251 atau sama dengan tahun Caka 1526 atau tahun 1604 Masehi, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti menitahkan rakyatnya membabat tanah untuk mendirikan sebuah istana diatas padang rumput alang-alang yakni ladang tempat pengembala ternak, dimana ditemukan orang-orang menanam Buleleng. Pada ladang Buleleng itu Baginda melihat beberapa buah pondok-pondok yang berjejer memanjang. Disanalah beliau mendirikan istana baru, yang menurut perhitungan hari sangat baik pada waktu itu, jatuh pada tanggal 30 Maret 1604.2

Selanjutnya Istana Raja yang baru dibangun itu disebut “Singaraja” karena mengingat bahwa keperwiraan Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti tak ubahnya seperti Singa. Demikianlah lahirnya kota Singaraja pada tanggal 30 Maret 1604 yang bersumber pada sejarah Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, sedangkan nama Buleleng adalah nama asli jagung gambal atau jagung gambah yang banyak ditanam oleh penduduk pada waktu itu.3

1Kenzie Kayana, “Sejarah Kerajaan Buleleng”, dalam

http://e-kuta.com/blog/sejarah/sejarah-kerajaan-buleleng.htm (20Desember 2015)

2

Bappeda, Buleleng Dalam Angka 2004 (Denpasar: Bappeda Kabupaten Buleleng Dan BPS Kabupaten Buleleng, 2004), viii.

3

Bappeda, Buleleng Dalam Angka 2004 (Denpasar: Bappeda Kabupaten Buleleng Dan BPS Kabupaten Buleleng, 2004), viii.


(24)

15

Diceritakan pula dalam babad Buleleng bahwa Sri Panji Sakti membersihkan lahan dan membangun sebuah istana ditegaldi manaorang-orangmenanam jagung(bulelen), sebuah kuilbengkokditemukandi sanadariorang-orang yang memiliki kebun disekitar tempat itu, akhirnya rumah dan tempat tinggal yang ramai itu disebut Buleleng.4

Pada waktu ketika Ki Gusti Ngurah Panji Sakti memerintah rakyat merabas ladang di Jenggala Blalak, yaitu tempat orang menanam buleleng artinya jagung gembal (jagung gambah) disebelah utara Sukasada. Setelah selesai disanalah raja membangun puri. Demikian juga pegawai-pegawai kerajaan dan rakyat membuat bangunan-bangunan disana. Tempat yang baru itu dinamai “BULULUNG”, sebab bekas ladang jagung gembal (Bueleleng). Sejak itu kota kerajaan dipindahkan dari Sukasada ke Buleleng. Dengan ibu Kotanya dinamai “SINGARAJA”, karena rajanya gagah perkasa seperti Singa, ialah Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.5

Buleleng terletak tidak jauh dari sungai yang disebut juga tukad Buleleng. Purinya disebut Puri Buleleng. Puri yang yang lebih tua, terletak di desa Sangket yang dinamai puri Sukasada. Ki Gusti Panji sakti diperkirakan wafat tahun 1699 dengan meninggalkan banyak keturunan. 6

Sangat boleh jadi bahwa nama Buleleng tersebut sudah ada jauh sebelum Panji bermukim di Den Bukit, dan merupakan nama sebuah desa adat, yang merupakan bagian dari desa-desa adat yang mula-mula ada di Den Bukit. Ini sesuai dengan keterangan dari sebuah naskah di Gedong Kirtya, yaitu sebuah peta model Eropa yang paling tua tentang Bali (1597), dibuat oleh Cornelis de Houtman, diterbitkan tahun 0756. “Valentyn Onden en Nieuw Oost-Indien,

4

Tiicapa sri Panji Saktya / anaruk anaŋunaŋ pura / rin jangala balalak / tegal pangonanin wwan anandur inkana san akubwan-kubwan / prenahin palapat ika / salorin akweh asulun-suluntikan wwan manalih teka nka / awasana titip tikan umah pagrehan / inaranan kuta Bulelen. P.J. Worsley, Babad Bulelen (Leiden: Koninklijk Instituut Voor Taal-En Volkenkunde, 1972), 160.

5

W. Simpen AB, Babad Kerajaan Buleleng (Denpasar: Cempaka 2, 1989), 16-17. 6


(25)

16

III Deel”. Tweede sluk hal. 524. Dalam peta kuno tersebut sudah tercantum nama sebuah desa: Boeliling, yang dapat dipastikan adalah permulaan daripada Buleleng sekarang. Kenyataan bahwa nama tersebut sudah ada, jauh sebelum legenda tempat itu di dikatakan dibuat atau didirikan, kemungkinan juga terjadi pada tempat yang bernama Sukasada.7

Raja dari Kerajaan Buleleng adalah Ki Gusti Panji Sakti, ia adalah seseorang yang memiliki banyak julukan, yaitu Ki Barak, Ki Panji Sakti, Ki Gusti Anglurah Panji Sakti, yang berkonotasi tangguh, teguh, berjiwa pemimpin, merakyat, memiliki daya supra natural, dan sakti. Beliau adalah pendiri kerajaan Buleleng di tahun 1660an. Selama berkuasa di Kerajaan Buleleng, Raja Panji Sakti sejak tahun 1660-1697 sangat disegani kawan maupun lawan, dengan pasukan Gowak yang diorganisir bersama rakyat, beliau dapat menguasai beberapa kerajaan yaitu Blambangan, Pasuruan, Jembrana. Hingga tahun 1690an Panji Sakti menikmati kejayaannya.

Kerajaan Buleleng adalah salah satu kerajaan di Bali bagian utara yang didirikan sekitar pertengahan abad ke 17 dan jatuh ketangan Belanda pada tahun 1849. Kerajaan ini dibangun oleh I Gusti Ngurah Panji Sakti dari Wagsa Kepakisan dengan cara menyatukan wilayah bali utara yang sebelumnya dikenal dengan nama Den Bukit.8 Setelah masa penjajahan Belanda,

Kerajaan Buleleng berubah menjadi sebuah Kabupaten di Pulau Dewata Bali.

Kabupaten Buleleng yang merupakan bagian dari Wilayah Provinsi Bali, dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang pembentukan Daerah. Daerah Tingkat II dalam Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, setelah Provinsi Sunda Kecil dibagi menjadi 3 Wilayah Provinsi yaitu: Provinsi Bali, Nusa Tenggara

7

Soegianto Sastrodiwiryo, I Gusti Anglurah Panji Sakti Raja Buleleng 1599-1680 (Denpasar: CV. Kayumas Agung, 1994),94.

8Kenzie Kayana, “Sejarah Kerajaan Buleleng”, dalam

http://e-kuta.com/blog/sejarah/sejarah-kerajaan-buleleng.htm (20 Desember 2015)


(26)

17

Barat dan Nusa Tenggara Timur. Pemerintah Kabupaten Buleleng secara administrasi terdiri dari 9 Kecamatan, 129 Desa, 19 Kelurahan, 63 Lingkungan, 535 Dusun/Banjar, dan 168 Desa Adat. Kecamatan yang ada di kabupaten ini adalah Kecamatan Tejakula, Kecamatan Kubutambahan, Kecamatan Seririt, Kecamatan Sawan, Kecamatan Buleleng, Kecamatan

Busungbiu, Kecamatan Sukasada, Kecamatan Banjar dan Kecamatan Gerokgak.9

1. Letak Geografis

Gambar: 2.1 Peta Pulau Bali (Kamis 04 Februari 2016, 8:18:54 pm.)

Buleleng adalah sebuah kabupaten di propinsi Bali, Indonesia, Ibukotanya adalah Singaraja. Buleleng berbatasan dengan laut jawa disebelah utara, kabupaten Jembrana di sebelah barat, kabupaten Karangasem disebelah timur dan kabupaten Bangli, Tabanan serta Badung disebelah selatan.10

Secara geografis Kabupaten Buleleng terletak di Pulau Bali dengan posisi koordinat berada pada8003'40"sampai 8023'00" Lintang Selatan dan 114052„55" sampai 115057„58" Bujur Timur. Kabupaten Buleleng berbatasan dengan Kabupaten Jembrana dibagian barat, Laut Jawa/Bali dibagian utara, dengan Kabupaten Karangasem dibagian timur dan

9

K. Administratif, “PKPBM: Pembangunan Kawasan Pedesaan Berbasis Masyarakat”, dalam psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2014/09/401.pdf (20 Desember 2015)

10


(27)

18

di sebelah selatan berbatasan dengan 4 (empat) Kabupaten, yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung dan Bangli.11

Kecamatan Buleleng terletak sekitar 90 km arah utara Denpasar. Perjalanan dari Denpasar ke Buleleng dengan kendaraan roda empat mencapai waktu tempuh antara 1.5 sampai 2 jam. Sekalipun jalan tidak terlalu besar dan berkelok-kelok, tetapi dapat dinikmati dengan nyaman karena pemandangan yang cukup indah dengan hawa sejuk khususnya ketika melewati kawasan Gunung Bedugul. Pemandangan sepanjang perjalanan akan lebih indah ketika melewati Danau Bratan, Buyan, dan Danau Tamblingan. Selepas Bedugul, perjalanan tidak terlalu menyenangkan karena harus melewati jalan yang sempit, menurun dan berkelok-kelok.Seperti daerah lainnya di Provinsi Bali yang kaya akan obyek wisata, Buleleng memiliki obyek wisata antara lain Pantai Lovina dan pemandian Air Sanih. Sementara di bagian timur Kabupaten Buleleng terdapat kantung-kantung pemukiman miskin dan tanah-tanah tandus. Di daerah seperti Seririt dan Gerokgak mungkin kita tidak merasa berada di Bali tetapi seperti berada di daerah tandus Gunung Kidul atau di Nusa Tenggara Timur.12

Wilayah bagian utara kecamatan Buleleng merupakan ataran rendah yang membentang sepanjang pantai, sedangkan wilayah bagian timur merupakan dataran tinggi. Wilayah kecamatan Buleleng yang memiliki garis pantai sepanjang 16,52 kilometer disebelah utara juga memiliki dua tanjung, yaitu Tanjung Buntekan dan Tanjung Penarukan. Selain memiliki dua tanjung, wilayah ini juga memiliki dua teluk yaitu Teluk Bulon dan Teluk Agung.

11

Bappeda, Buleleng Dalam Angka 2004 (Denpasar: Bappeda Kabupaten Buleleng Dan BPS Kabupaten Buleleng, 2000), 1.

12

Haidlor Ali Ahmad, Revitalisasi Wadah Kerukunan Di Berbagai Daerah Di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan,2009 ), 87.


(28)

19

Indonesia yang letaknya berada di garis lintang membuat negara ini termasuk kedalam daerah tropis, sehingga dalam satu tahun hanya memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Begitu pula dengan kecamatan Buleleng, yang berada di garis lintang bagian selatan ini memiliki rata-rata suhu udara 280 Celcius dengan

musim hujan terjadi pada bulan Desember hingga Maret dan musim kemarau terjadi pada bulan Juni hingga September. Bulan April hingga Mei dan Oktober hingga November merupakan masa peralihan kedua musim tersebut. Kecamatan Buleleng yang berada di daerah pantai cenderung memiliki curah hujan yang rendah dari pada kecamatan lain yang berada di selatan Kabupaten Buleleng.13

Kecamatan Buleleng merupakan kecamatan yang memiliki wilayah pesisir yang panjang dari kecamatan lainnya di Kabupaten Buleleng. Luas wilayah Buleleng secara keseluruhan adalah 46,94 Km2. Apabila dilihat dari wilayah masing-masing Kecamatan

Gerokgak merupakan Kecamatan terluas yakni sebesar 26,10% dari luas Kabupaten, diikuti Kecamatan Busungbiu sebesar 14,40%, selanjutnya Kecamatan Sukasada dan Banjar masing-masing 12,66% dan 12,64%, kemudian Kecamatan Kubutambahan sebesar 8,66%, Kecamatan Seririt 8,18, Kecamatan Tejakula 7,15%, Kecamatan Sawan 6,775%, dan yang terkecil adalah kecamatan Buleleng yaitu hanya dengan 3,44%.14

Di kecamatan Buleleng terdapat 29 Desa/Kelurahan dimana memiliki jumlah penduduk sekitar 125.345 jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupeten Buleleng 2013). Secara fisiografis Kecamatan Buleleng berada di daerah pesisir yang sangat luas dengan potensi kelautan begitu melimpah, yang menyebabkan banyak masyarakat membuat tempat

13Shinta Paramitha, “Pola Keruangan Implementasi Caturwana Di Kecamatan Bueleng, Provinsi Bali Tahun 5105”, (Skripsi, Universitas Indonesia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Depok, 2012), 28.

14

Bappeda, Buleleng Dalam Angka 2000 (Denpasar: Bappeda Kabupaten Buleleng Dan BPS Kabupaten Buleleng, 2000), 1.


(29)

20

hunian atau permukiman di wilayah pesisir dengan melihat peluang pekerjaan serta memanfaatkan sumberdaya kelautan yang ada di wilayah pesisir kecamatan Buleleng.

Kecamatan Buleleng ini memiliki ciri-ciri tanah bertekstur kasar, gembur dengan kadar pasir lebih dari 80% dan peka terhadap erosi dan tidak menunjukkan sifat hidromorfik. Kondisi tanah seperti ini berpengaruh terhadap daya serap air (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Buleleng, 2014). Kondisi tanah seperti ini sesungguhnya tidak sesuai untuk pemukiman di wilayah pesisir. Ketika curah hujan tinggi maka akan terjadi erosi. Akan tetapi karena nelayan mengutamakan kehidupannya di laut maka para masyarakat yang bekerja sebagai nelayan terpaksa membangun permukiman pada wilayah pesisir.

B.Kepercayaan Masyarakat Buleleng Sebelum Kedatangan Agama Islam

Sebelum adanya pengaruh ajaran agama Hindu, Budha dan Islam masyarakat Buleleng Bali secara keseluruhan percaya kepada animisme dan dinamisme, yaitu suatu bentuk kepercayaan terhadap bermacam-macam roh dan makhluk halus yang menempati alam sekitar tempat tinggal manusia dan merupakan sistem kepercayaan bahwa segala sesuatu di alam ini memiliki kekuatan atau daya.

Sebelum menganut agama Hindu, masyarakat Bali sudah memiliki suatu peradaban prasejarah yang relatif tinggi, dikenal sebagai masa perundingan, yang sudah merupakan lanjutan dari masa bercocok tanam. Saksi-saksi bisu dari budaya pra sejarah itu masih bertebaran di seluruh pulau. Salah satu contoh adalah Bulan Pejeng, yaitu nekara perunggu dari pejeg yang berfungsi sebagai alat upacara untuk memohon turunnya hujan. Contoh


(30)

21

lainnya adalah sarkofa-sarkofa yang ditemukan dalam posisi gunung-laut, suatu hal yang menunjukkan adanya kepercayaan terhadap roh nenek moyang.15

Dari beberapa peristiwa yang terjadi dapat diketahui, sebagaimana eratnya hubungan antara pulau jawa khususnya Jawa Timur dengan pulau Bali, yang terjalin baik dan tidak boleh diabaikan, terutama dalam hal-hal yag berkaitan dengan spiritual. Ditambah lagi dengan pernah berkuasanya Ratu Kediri atas pulau Bali seperti dicantumkan pada prasasti Desa Julah yang disimpan di Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula (Buleleng) yang bertahun Saka 905 (tahun 983), di dalamnya mencantumkan nama seorang ratu bernama Wijaya Mahadewi. Apabila dikaitkan dengan sebuah prasasti yang mempergunakan tahun Saka 859 (tahun 937 M), yang didalamnya terdapat sebuah kalimat antara lain berbunyi: “Sri‎Mahadewi‎siniwi‎di‎

Kediri” (Sri Mahadewi dijunjung di Kediri atau Sri Mahadewi bertahta di Kediri). Dapat diambil kesimpulan bahwa Ratu Wijaya Mahadewi yang berkuasa di Bali, tidak lain adalah Sri Mahadewi Ratu Kediri di Jawa.16

Dari nama-nama bikshu yang memakai unsur nama shiwa, kita mungkin dapat

menyimpulkan bahwa agama yang berkembang pada waktu itu adalah agama Siwa. Agama Siwa ini rupa-rupanya juga berkembang pada masa pemerintahan raja Ugrasena, Tabanendra, dan Jasadhu Warmmadewa. Akan tetapi, harus diketahui pula bahwa dalam abad VIII M agama Budha rupa-rupanya sudah berkembang di pulau Bali, terutama di daerah sekitar Pejeng, Bedulu, Tampaksiring, dan Buleleng. Hal ini terbukti dengan temuan-temuan stupika

tanah liat yang berisi mantra-mantra suci agama Buddha dan juga arca Buddha di dalam ceruk selatan Goa Gajah dan di Pura Pegulingan, serta temuan stupa di Buleleng.17

15

Usadi Wiryatnaya dan Jean Couteau, Bali di Persimpangan Jalan (Denpasar: NusaData IndoBudaya, 1995), 33. 16

Jro Mangku Gde Ketut Soebandi, Babad Warga Brahmana: Pandita Sakti Wawu Rawuh (Denpasar: PT Pustaka Manik Geni, 1998), 13-14.

17


(31)

22

Candi Kalibukbuk, Kecamatan Buleleng, berupa sebuah stupa yang bentuk dasarnya oktagonal diapit dua buah stupa perwara. Sejumlah stupika dan materai tanah liat ditemukan di dalam salah satu stupa perwara. Huruf pada materai tanah liat diperkirakan dari abad VIII-IX M. Jadi, bangunan yang sebagian sudah dipugar ini memberikan bukti bahwa di Bali Utara pada abad tersebut telah berkembang agama Buddha Mahayana.18

Adanya pengaruh kebudayaan India dan agama Hindu di kepulauan Nusantara telah banyak membentuk kehidupan umat manusia ini dapat dilihat dari banyaknya warisan-warisan budaya yang bernafaskan agama Hindu yang ditinggalkan seperti archa, candi dan beberapa hasil kesusastraan. Pengaruh agama Hindu di Bali telah membawa perubahan di Bali secara umum bahwa dari segi ritual yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari maupun segi kebudayaan.

Pembawa agama Hindu di Bali ada tiga tokoh agama Hindu dari Jawa diantaranya: Sangkul Putih, Empu Kuturan dan Dang Hyang Dwijandra (Dyang Niratha). Ketiga tokoh ini memiliki peran yang sangat penting dalam menyebarkan agama Hindu di Bali hingga ajaran-ajarannya berlaku sampai sekarang.19

Agama Hindu Syiwa mendominasi kehidupan masyarakat Buleleng, tetapi tradisi megalitik masih mengakar kuat dalam masyarakat Buleleng. Kondisi ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa bangunan-bangunan pemujaan seperti punden berundak di sekitar pura-pura di Hindu. Pada masa pemerintahan Janasadhu Warmadewa agama Budha mulai

18

Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), 371. 19

Ihksan, “Islamisasi di Buleleng Bali Abad XVII”, (Skripsi, IAIN Sunan Kalijaga Fakultas Adab, Yogyakarta, 2000), 31.


(32)

23

berkembang. Perkembanga ini ditandai dengan penemuan unsur-unsur Budha seperti arca Budha di Gua Gajah dan stupa di pura Pegulingan.20

C.Sejarah Masuknya Agama Islam di Buleleng Bali

I Gusti Ngurah Panji telah diperintahkan oleh Dalem Sagening (ayahhandanya) untuk memerintah di Bali Utara. Baginda memerintah di Bali sejak tahun 1568 hingga 1647 Masehi. Aman sentausalah kerajaan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Maka timbullah angan-angan akan menyerang Blambangan di bumi Jawadwipa.21 Pada tahun 1584 I Gusti Ngurah Panji membentuk pasukan “Taruna Goak” di desa Panji. Pasukan ini dibentuk dengan jalan memperpolitik seni permainan burung gagak-gagakan, yang dalam istilah bahasa Bali terkenal disebut “ magoak-goakan”. Pasukan tersebut berintikan 5111 orang yang gagah berani dan perkasa.

Mendengar berita pasukan Mataram dibawah pimpinan Tumenggung Danu Paya menyerang Belambangan dengan setengah hati karena di Mataram terjadi konflik antara pangeran Alit saudara muda Amangkurat I. Penggantinya Sultan Agung namun revolusi istana tersebut dengan mudah dapat ditumpas. I Gusti Ngurah Panji di dalam persiapan penguasaan atas negeri Belambangan serta merta menawarkan jasa ikut bergabung dan membantu penyerangan tersebut dengan tujuan dalam pengenalan medan disamping melatih prajurit Teruna Goaknya mengembangkan taktik tempur secara bergabung.22

Pada suatu hari yang baik menurut petunjuk Pendita Bagawanta berangkatlah Angkatan Perang I Gusti Ngurah Panji Sakti akan menyerang Blambangan. Dua batang tombak pakarya

20Puji Lestari, “Kehidupan Kerajaan Buleleng”, dalam

http://pujel.blogspot.co.id/2014/03/kehidupan-kerajaan-buleleng.html (20 Desember 2015)

21

W.Simpen AB, Babad Kerajaan Buleleng (Denpasar: Cempaka 2, 1989), 14. 22


(33)

24

Banjar, yang bernama Ki Baru ketug di bawa oleh Ki Tamblangsampun dan Ki Baru Sakti dibawa oleh Ki Gusti Made Batan. Angkatan perang berlayar menuju ke barat, melalui Gili Manuk, Segara Rupek, Batu Sondol, kemudian berlabuh di Candigading, yaitu pantai Tirtha Harum (Banyuwangi), yang berjalan kaki sampai di Gilimanuk baru menyebrang.

Setelah sampai disana lalu menyerang Banger, yang segera dapat diduduki karena penyerangannya dengan tiba-tiba. Pada waktu itu tentara panji sakti mendapatkan perlawanan yang hebat dari tentara Blambangan, maka terjadilah pertempuran yang hebat. Karena sama-sama kuat dan sama-sama-sama-sama tiada mau mundur, tetapi karna pukulan tentara Panji Sakti, terutama Taruna Goak yang dikemudikan oleh Ki Tamblang Sampun, Ki Gusti Batan, Ki Macan Gading, yang langsung dibawah pimpinan Panji Sakti maka kota kerajaan Blambangan dapat diduduki.23

Akhirnya pertempuran dimenangkan oleh I Gusti Ngurah Panji, setelah raja Blambangan mati tertikam oleh keris I Gusti Ngurah Panji yang terkenal dengan Ki Semang. 24Dalam

Babad Buleleng dituliskan:

Ri pamenerin diwasa ayu / kan tinuduh denin sri bagawanta / umankat ta sri bupati / anungan palwa / inirin denin wadwakweh / nda rurun-lampahin palwa / jumog marin Candi Gadin kakisik in Tirtarum / teher anrampak en Baner / pinagut de dalem Branbanan / antyan ramenikan laga / dadi madwandwa punan laga / pada lagawen patrayudda / piran kunan lawasikan pran / kacidra dalem Branbanan / pinatreman wijanira / de sri Panji Sakti / de kadga ki Seman / anuli tiba dalem Branbanan / uwus anemasi paratra / awekasan kawes nagaren Branbanan / padanunkul aminta jiwitanya / / karene de sri bupati Solo / yan kawijayanira sri Panji Sakti / anuli masampriti asihira / / san karo / aneher sri Panjy Asakti sinunan wahana gajah / ri sampunin sidden karya / mulih sri Panji Sakty anabali / amawa dwaja hreta tawan jarahan / salwirnin utamen pelag / nanhin ana sekel in ati / apan sutanira kan balaka / san manaran / nrurah Panjy Anoman / Danudresta papasihnira waneh /.25

23

W.Simpen AB, Babad Kerajaan Buleleng (Denpasar: Cempaka 2, 1989), 15. 24

M. Sarlan, Islam di Bali (Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama, 1997), 31. 25


(34)

25

Berita tentang kemenangan I Gusti Ngurah Panji ini tersebar luas hingga terdengar pula oleh dalem Solo (yang dimaksud disini adalah raja Mataram). Oleh karena itu, Dalem Solo ingin berjumpa dengan I Gusti Ngurah Panji untuk mengadakan pesahabatan. Untuk membuktikan persahabatan itu, maka Dalem Solo menghadiahkan seekor gajah untuk kendaraan I Gusti Ngurah Panji. Gajah hadiah tersebut diantarkan oleh tiga orang Jawa yang sudah memeluk agama Islam, yang sekaligus menjadi pengembala gajah tersebut.Setelah selesai pertempuran, Ki Panji Sakti kembali ke Buleleng dengan segala kemenangannya. Ki Panji beserta tentaranya mendapat sambutan hebat, walaupun hati Ki Panji Sakti amat sedih karena kehilangan putranya yang masih bujangan dalam pertempuran di Blambangan. Kesedihan karena melihat Ngurah Panji Nyoman Danudrasta yang gugur dalam pertempuran itu, tidak berlangsung lama, karena baginda dihibur oleh para pendeta raja yang bernama Pedanda Sakti Ngurah.26

Pengiring Gajah kemudian dipindahkan sebagian sebagai penjaga perbatasan di Alas Getap atau Gayam diselatan Denbukit dan sekarang tempat itu disebut desa Pegayaman, sebagian prajurit berasal dari Kedu di tugaskan menjaga Puri Gendis (Mandung=penjaga istana) sehingga dikenallah Banjar Mandul dan Kedu desa panji dan kandang gajahnya ditempatkan ke suatu tempat yang sekarang disebut Banjar Petak, tempat gajah untuk main-main (mekipu) sekarang menjadi Banjar Peguyangan dan seorang pengembala dari gajah ditempatkan di suatu tempat yang sekarang menjadi Banjar Jawa, serta yang seorang lagi kebetulan pada waktu itu ditugaskan untuk menjaga gajah, bila gajah tersebut mandi atau minum air, tempatnya itu adalah ditepi pantai dekat dengan muara sungai (Kali Banyumala) yang sekarang disebut Pantai Lingga (Karena orangnya berasal dari

26


(35)

26

Probolinggo.27Tempat yang dihuni oleh orang-orang asal Probolinggo sampai saat ini

tempat itu sangat terkenal sebagai tempat rekreasi masyarakat Buleleng, dan namanyapun masih mengingatkan akan kota Probolinggo, karena tempat itu bernama Pantai Lingga, kini bersebelahan dengan pasar Banyuasri Singaraja. Bahkan sebuah banjar di dalam kota Singaraja yang bernama Banjar Peguyangan kini telah dibangun sebuah bale-kulkul yang pondasinya bercirikan kepala seekor Gajah.28

Demikianlah agama Islam masuk ke Buleleng terjadi pada tahun 1587, dibawa oleh tiga orang Jawa yang menjadi pengantar Gajah hadiah dalem Solo. Pusat tertua Islam di Buleleng adalah Banjar Jawa yang kemudian menyebar ke daerah-daerah lainnya.

1. Penyebar Agama Islam di Buleleng Bali

Tersebarnya agama Islam di Buleleng tentu tidak luput dari perjuangan tokoh Islam“The Kwan Lie” (Syekh Abdul Qodir Muhammad). Dengan mencermati peran pedagang Cina di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16, yakni sebagai pedagang dan pendakwah Islam, keberadaan Syekh Abdul Qadir Muhammad di Labuhan Haji bisa jadi berdagang sambil berdakwah. Dia bermukim cukup lama di Labuhan Haji sampai akhirnya meninggal dunia. Nama Labuhan Haji mengingatkan kepada gelar haji yang dipakai oleh orang-orang Islam setelah menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Mungkin nama Labuhan Haji berkaitan dengan Syekh Abdul Qadir Muhammad. Dia adalah seorang pedagang yang bergelar haji (bisa pula haji adalah identik dengan Islam), sehingga pelabuhan dimana dia bermukim disebut Labuhan Haji. Namun ada

27

I Gusti Ngurah Panji,Sejarah Buleleng (Singaraja: UPTD Gedong Kirtya, 1956), 22. 28


(36)

27

kemungkinan lain yakni, Labuhan Haji adalah tempat orang naik haji ke Mekah yang dikoordinir oleh pelaut dari Bugis.29

The Kwan Lie mendaratkankapal niaganya di pesisir pantai kawasan Bali Utara di pertengahan abad XVI.Beliau berlabuh di pantai Lovina, Singaraja Bali dan mulai menyebarkan agama Islam. Beliau sangat ahli dalam pengobatan Cina dan sambil berdagang beliau juga mulai menyiarkan agama Islam di setiap kawasan yang disinggahinya.30

Beliau tidak saja melaksanakan kegiatan berdagang di kawasan ini tetapi juga beliau menyiarkan agama Islam. Beliau mendaratkan kapalnya di daerah ini karena saat itu di Labuan Aji pernah menjadi pelabuhan kecil bagi kapal-kapal dari wilayah lain yang mendarat untuk berdagang. Bahkan Labuan Aji dan beberapa daerah di dekat Labuan Aji seperti Tigawasa, Banjar, Banyuatis, dan beberapa daerah lainnya terkenal juga sebagai daerah yang subur dan banyak menghasilkan berbagai macam produk pokok yang dibutuhkan seperti beras, cengkeh, kopi, dan bermacam-macam buah-buahan lainnya. 31

The Kwan Lie menyebarkan agama Islam tidak semudah saat beliau berdagang, justru beliau mendapat berbagai perlakuan yang kurang baik dari masyarakat setempat karena saat itu masyarakat mayoritas menganut agama Hindu. Tentu saja masalah agama atau keyakinan merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk diubah. Meski awalnya mendapat pertentangan dari masyarakat setempat,

29

Nengah Bawa Atmadja, Geneologi Keruntuhan Majapahit Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 319.

30

Amanda Destianty Poetri Asmara,“Makam Keramat Karang Rupit Syeikh Abdul Qadir Muhammad (The Kwan Lie) di Desa Temukus Labuan Aji Banjar, Buleleng Bali (Perspektif Sejarah dan Pengembangannya Sebagai Objek Wisata Spiritual)”,(Skripsi, Universitas Pendidikan Ganesha Fakultas Ilmu Sosial, Singaraja, 5104), 69.

31


(37)

28

namun The Kwan Lie tidak menyerah begitu saja untuk melaksanakan tugasnya dalam menyiarkan agama Islam. Berbagai cara dilakukan tidak saja dengan berdagang tetapi juga beliau ahli dalam bidang pengobatan, secara santun dan bersahaja mendekatkan diri kepada warga setempat. Keahlian tersebut ternyata menjadikan The Kwan Lie dapat diterima serta mudah dalam penyebaran Islam. Apalagi The Kwan Lie yang memang berdarah asli Tiongkok mengenakan busana tradisi Tiongkok yang saat itu terlihat “aneh” bagi warga setempat. Sampai-sampai beliau dianggap oleh masyarakat setempat sebagai seorang Raja dari negeri seberang.32

2. Sarana Penyebaran Agama Islam di Buleleng Bali

Hubungan antara masyarakat Bali dengan masyarakat Jawa dan luar Jawa telah terjalin sejak masa pemerintahan Raja Panji Sakti, bahkan sejak masa kanal-kanak Ki Panji Sakti. Masa pemerintahan Raja Panji Sakti di Bali cukup lama, kurang lebih 81 tahun yakni dari tahun 1599-1680. Kemampuan beliau memimpin dalam membangun Buleleng dapat dilihat dari keberhasilannya mempersatukan orang-orang bali Aga, seperti orang-orang Sidetapa, Pedawa, Tigewasa, Cempaga, Sepang, Sembiran dengan orang-orang Melayu, Bugis, Madura, Cina ditambah lagi dengan orang-orang pelarian dari Gelgel.33

Istilah Bali Aga muncul ketika Maharesi Markendhya datang di Bali dan menyebarkan agama Hindu (dari sekte Waisnawa). Karena maharesi ini lebih banyak datang ke gunung-gunung maka masyarakat Bali di gunung itu disebut Bali Aga,

32

Amanda Destianty Poetri Asmara,“Makam Keramat Karang Rupit Syeikh Abdul Qadir Muhammad (The Kwan Lie) di Desa Temukus Labuan Aji Banjar, Buleleng Bali (Perspektif Sejarah dan Pengembangannya Sebagai Objek Wisata Spiritual)”,(Skripsi, Universitas Pendidikan Ganesha Fakultas Ilmu Sosial, Singaraja, 5104),74.

33

Gusti Bagus Meraku, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Buleleng 1945-1950 (Bandung: Ganeca Exact Bandung, 2000), 5.


(38)

29

karena Aga artinya gunung. Pada akhirnya semua masyarakat Bali pada waktu itu disebut Bali Aga. Jadi istilah ini sudah berusia sangat tua, karena kejadian itu sekitar tahun 158 Masehi. Seluruh peduduk Bali saat itulah yang disebut Bali Asli, sedang yang dibawa Maharesi Markandhya disebut Bali Jawa.34

Sejak masa pemerintahan Raja Panji Sakti, banyak pendatang dari Jawa dan luar Jawa yang datang ke Bali untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam di daerah-daerah yang ada di Buleleng Bali, Penyebaran agama Islam di lakukan dengan beberapa cara diantaranya dengan berdagang dan pengobatan.

a. Sarana Perdagangan

Raja Ki Panji Sakti yang terkenal denga sikapnya yang terbuka, familier, dan akrab dengan semua orang telah memberikan kesempatan kepada kepada pendatang-pendatang muslim terutama orang-orang Bugis, Makasar. Hubungan antara Panji Sakti dengan masyarakat dari luar Jawa sudah terjalin sejak masa kanak-kanak I Gusti Ngurah Panji Sakti. Ia banyak berkenalan dengan anak-anak nelayan suku Bugis dan Madura maupun orang-orang Jawa dari Banyuwangi dan Pasuruan yang acapkali singgah di pelabuhanpantai Buleleng untuk berdagang.35

Dengan demikian saat kepemimpinan I Gusti Ngurah Panji banyak para pendatang dari suku Bugis dan Madura, Makasar, pedagang-pedagang muslimJawadari Gresik atau Jepara serta daerah lainnya datang ke Buleleng untuk berdagang selain berdagang mereka juga menyebarkan agama Islam.

Datangnya para pelaut Bugis yang melakukan hubungan dagang,melalui hubungan daganginilah Islam diperkenalkan ke masyarakat Bali dan berkembang

34

Putu Setia, Mendebat Bali (Denpasar: PT. Pustaka Manikgeni, 2002), 102. 35

Soegianto Sastrodiwiryo, I Gusti Ngurah Panji Sakti Raja Buleleng 1599-1680 (Denpasar: CV. Kayumas Agung, 1994),46.


(39)

30

secara damai. Menurut sumber-sumber lokal, kelompok orang-orang Bugis ini dikenal dengan sebutan "wong sunantara" atau "wong nusantara". Gelombang masuknya Islam ke Bali menunjukkan intensitas yang tinggi pada tahun 1667 setelah terjadi perang Makassar di mana para pedagang dan bangsawan Bugis-Makassar meninggalkan daerahnya untuk menghindari diri dari kejaran Belanda dan akhirnya mendarat di Badung, Buleleng dan Jembrana. Ketiga daerah ini kemudian menjadi pusat kekuatan orang-orang Bugis di Bali. Hingga kini masyarakat Muslim paling banyak terdapat di Badung, Buleleng dan Jembrana.36

b. Sarana Pengobatan

Orang-orang Bugis sering memberikan pengobatan. Orang-orang Bugis sering memberikan pengobatan dengan Cuma-cuma dan dengan perlakuan lemah lembut menyebabkan timbul rasa simpati dikalangan penduduk. Kepandaian pengobatan disambut baik dengan penduduk, karena kebanyakan obat-obat yang digunakan dapat menyembuhkan. Kepercayaan terhadap dukun yang yang mempunyai kekuatan megic sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kepercayaan terhadap orang sakti atau dukun juga menimbulkan penilaian terhadap seseorang Bugis yang telah diketahui banyak mengenal ilmu tersebut.37

Sama halnya dengan The Kwan Lie yang bergelar Syekh Abdul Qadir Muhammad, Beliau tidak saja melaksanakan kegiatan berdagang di kawasan karang Rupit Buleleng Bali, tetapi beliau juga menyiarkan agama islam di daerah Buleleng Bali. Berbagai cara dilakukan tidak saja dengan berdagang tetapi juga

36

M. Hamdan Basyar, “Identitas Minoritas di Indonesia: Kasus Muslim Bali di Gianyar dan Tabanan”, (Laporan Akhir Program Insentif Peneliti Dan Pereka Yasa Lipi, 2010), 8.

37

Ikhsan, “Islamisasi Di Buleleng Bali Abad XVII”, (Skripsi Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Fakultas Adab, Yogyakarta, 2000), 46.


(40)

31

beliau lakukan dengan cara pengobatan, karna memang The Kwan Lie merupakan seseorang yang ahli dalam bidang pengobatan Cina, beliau melakukan pengobatan secara santun dan bersahaja dalam mendekatkan diri kepada warga setempat. Keahlian tersebut ternyata menjadikan The Kwan Lie dapat diterima serta mudah dalam penyebaran agama Islam.


(41)

32

BAB III

PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI KABUPATEN BULELENG BALI A.I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi Masuk Islam

Tahun 1800an terjadi suatu peristiwa I Gusti Ketut Jelantik Celagi masuk Islam. Seorang pengelingsir muslim bernama Haji Yusuf dariBanjar Bali atau Buleleng memohon kepada Raja Buleleng untuk memperkenankan I Gusti Made Celangi menjadi warga muslim dan mengangkat menjadi pemimpin dengan tetap mengakui titel kegustiannya itu. I Gusti Made Celagi merupakan penulis al-Quran yang sekarang masih tersimpan di Masjid Agung atau Jamik Singaraja.Pintu gerbang Masjid adalah pemberian dari Anak Agung Made Rai.1

Kitab suci Islam itu ditulis tangan oleh keluarga Raja Panji Sakti VI, I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi.Dia menyepi-menyepi setelah terjadi perang saudara di Puri Buleleng.Saat prahara mendera Puri Buleleng, Ketut Celagi menyingkir ke sebuah masjid.Dia diterima dengan tangan terbuka oleh Haji Muhammad Yusuf Saleh, imam pertama masjid tersebut.Berdasarkan catatan lontar dan cerita para pendahulu warga Buleleng, setiap orang yang menimba ilmu agama Islam kepada Haji Muhammad Yusuf Saleh diwajibkan menulis Alquran sebagai ujian akhir. Alquran tersebut harus ditulis tangan sebagai syarat untuk lulus dalam ujian akhir.Ketut Celagi menggunakan kertas yang didatangkan dari Eropa untuk menulis Alquran ini.Selain itu, dia menulis ayat-ayat dalam Alquran ini dengan menggunakan bahan pewarna alami dari dedaunan lokal.Hiasan Alquran juga menggunakan ornamen-ornamen khas Bali.2

Karena keterbatasan sumber yang berhubungan dengan Gusti Ketut Jelantik Celagi, maka penulis mendapatkan kesulitan untuk mengetahui bagaimana peran Gusti Ketut Jelantik

1

I Gusti Ngurah Panji,Sejarah Buleleng (Singaraja: UPTD Gedong Kirtya, 1956), 42. 2

Eko Huda, “Al-Qur‟an Kuno Peninggalan Kerajaan Hindu Bali”, dalam http://m.bola.viva.co.id. (26 November 2015)


(42)

33

Celagi dalam penyebaran Islam di Buleleng, serta tidak diketahui dengan jelas bagaimana Gusti Ketut Jelantik Celagi belajar menulis Alquran. Namun berdasarkan keterangan bapak Saihudin selaku keturunan Gusti Ketut Jelantik ke 9, bahwa Gusti Ketut Jelantik belajar menulis Alquran ketika dia menjadi murid Haji Muhammad Yusuf.Gusti Ketut Jelantik belajar tentang agama dan belajar mengaji dengan gurunya Haji Yusuf di masjid Kuna.Hingga saat ini keturunan dari Gusti Ketut Jelantik masih ada yang beragama Hindu dan ada pula yang beragama Islam.Hubungan baik antara agama Hindu dan agama Islam dalam keturunan Gusti Ketut Jelantik masih tetap terjalin dengan baik.Hal ini terlihat ketika umat Hindu keturunan Raja Ketut Jelantik yang masih mau mengajak saudara Islamnya untuk datang ke Puri.

Puri adalah tempat persemayaman dan tempat tinggal raja beserta keluarganya yang memiliki aspek struktur, makna simbolis dan fungsi sosial.Puri juga berarti sebutan untuk tempat tinggal bangsawan Bali, khususnya mereka yang merupakan keluarga dekat raja-raja Bali.

Pak Saihudin yang beragama Islam mengaku kadang diundang oleh keluarga Hindu dari keturunan raja untuk datang ke Puri berkumpul bersama dengan keturunan raja, tidak hanya dari keturunan Gusti Ketut Jelantik Celagi, namun juga seluruh keturunan dari Raja Panji Sakti.

Melihat nama I Gusti Ketut Jelantik Celagi dari nama itu dapat diketahui identitas dirinya. Kata I Gusti menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang berkasta Kesatria, kemudian kata Ketut menunjukkan ia adalah anak ke empat, selanjutnya kata Jelantik, nama Jelantik berasal dari keturunan Sang Ratu Ugrasena leluhur Sanjayawamsa. Sanjayawamsa adalah ksatrya kalingga di jawa.Diantara mereka yang dapat dicari keturunannya sampai sekarang


(43)

34

hanyalah rakayat Girikmanadari ularan Singaraja.Keturunan beliau sangat pemberani dan selalu menjabat sebagai panglima perang pada kerajaan Gelgel.Beliau bergelar Djelantik, sangat terkenal sebagai arya ularan panglima dulang mangap yang menaklukan blambangan dan Djelantik Bogol pahlawan perang pasuruan.Dan Celagi adalah namanya.

B.Kedatangan Penduduk Pendatang Ke Buleleng Bali

Balimerupakan satu-satunya pulau yang masih tetap bisa mempertahankan agama Hindu sebagai basis bagi kebudayaan Bali.Bali adalah bagian dari Majapahit, begitupula ketika Majapahit runtuh terjadi migrasi orang Majapahit ke Bali sehingga tidak mengherankan jika Bali dianggap sebagai pewaris dan pelanjut tradisi Majapahit.3

Kemunculan Bali sebagai basis agama Hindu, dikelilingi oleh kerajaan-kerajaan Islam.Pedagangan sebagai sektor yang dianaktirikan, memberikan peluang bagi orang Islam untuk bermigrasi ke Bali dan mengisi bidang perdagangan sebagai sumber nafkahnya.Namun dibalik itu maka kerajaan-kerajaan di Bali secara cerdik menggunakan jasa orang Islam, tidak saja sebagai penggerak roda perdagangan, tetapi juga untuk memupuk modal sosial guna

dialihkan bagi kepentingan tenaga militer maupun panjakdilingkungan puri dan

geriya.Pemukiman mereka dikarantinaisasikan sehingga terbentuk koesistensi secara damai, karena yang satu tidak mengganggu yang lainnya dalam mengembangkan identitasnya agama (Hindu, Islam) maupun etnik.Kesemuanya tidak bisa pula dilepaskan dari toleransi yang dirancang oleh elite politik dan agama (Dang Hyang Nirartha) atas dukungan orang Islam yang bermukim di Bali.4

3

Nengah Bawa Atmaja, Geneologi Keruntuhan Majapahit Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 425.

4


(44)

35

Kelompok yang tergolong minoritas di Bali adalah etnis yang menganut agama Islam.Sekalipun kelompok minoritas, mereka dapat hidup berdampingan secara damai dengan kelompok etnis lainnya, juga tidak ada pembatas dalam kehidupan sehari-hari.5

Demikian juga masyarakat Islam di wilayah kabupaten Buleleng, seperti Islam Pegayaman dan Kampungtinggi. Pesisir utara dari Bali utara banyak dihuni oleh masyarakat islam beretnik Jawa, Madura dan Bugis.6

Akulturasi dan toleransi di Buleleng sudah lama terjadi seiring dengan masuknya agama Islam yang di bawa oleh beberapa etnis dari luar Bali. Seperti Jawa, Bugis Makasar dan Sasak. Kelompok pendatang tersebut yang mendominasi adalah etnis Jawa dan etnis Bugis.7

Kerajaan Buleleng ketika raja I Gusti Ngurah Panji Sakti berkuasa, sekitar tahun 1587 tentaranya Berjaya menaklukan Blambangan, membawa banyak orang Jawa muslim dari Blambangan, Pasuruan, Probolinggo, Ponorogo, Mayong, ditempatkan di Pegayaman atau Pegateman.8

Hubungan masyarakat Hindu Bali dan masyarakat Islam bali telah terjalin sejak lama, terbukti pada masa I Gusti Anglurah Panji Sakti sebagai raja Buleleng. Para pelarian dan desartir dari kerajaan-kerajaan di selatan, mereka yang menginginkan kehidupan yang lebih bagus dan terhormat, karena ditempat mereka yang lama terhimpit oleh persoalan-persoalan yang muncul oleh tindakan sewenang-wenang para penguasa lokal yang korup, bergerak ke utara mencari kehidupan baru yang lebih baik. Keberanekaan arus manusia ini menunjukkan berbagai motivasi dan kepentingan yang membawa mereka memasuki wilayah kerajaan yang

5

I Ketut Ardhana, et al, Masyarakat Multi Kultural Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi dan Integrasi(Denpasar: Pustaka Lararasan, 2011), 75.

6

Wayan Supartha, Bali dan Masa Depannya (Denpasar:PT. Offset BP.1999), 47-48. 7

I Ketut Ardhana, et al, Masyarakat Multi Kultural Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi dan Integrasi(Denpasar: Pustaka Larasan, 2011), 43.

8

I Made Pegah et al, “Analisis Faktor Integratif Nyama Bali-Nyama Selam, Untuk Menyusun Buku Panduan Kerukunan Masyarakat Di Era Otonomi Daerah”, (Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 2, No. 2, Oktober 2013, Singaraja), 241.


(45)

36

baru ini, mereka juga adalah kelompok pedagang-pedagang (diluar pedagang seperti para pengalu yang melintasi jalan-jalan di pegunungan), tukang-tukang dan para undangi yang menawarkan jasa keterampilan mereka kepada para aristokrat baru di Buleleng, petani-petani miskin yang mencari kehidupan yang lebih baik pada tuannya yang baru, para pelarian dan desertir dari kerajaan Gelgel yang tidak puas dengan pemerintahan mereka yang baru.9

Ada juga kelompok-kelompok religius yang setelah mendengar kestabilan, kemakmuran, dan ketentraman dalam wilayah yang baru ini mencoba pula untuk mendekat keutara, akan tetapi alasan yang memikat mereka untuk datang ke Buleleng barangkali adalah berita ditangkapnya peranda Sakti Ngurah sebagai Bhagawanta Istana di Bali Utara. Tidak sedikit rakyat mendengar bagaimana buyut Dhang Hyang Nirartha ini karena tidak puas dengan keadaan pemerintahan di Gelgel lalu memutuskan kembali ke Jawa, akan tetapi, telah berhasil dipikat oleh keramahan Raja Buleleng dan diberikan kedudukan yang sesuai dengan kapasitasnya. Kelompok religius ini terdiri dari pada tukang banten, para pemangku dan sulinggih serta orang-orang tua yang merasakan suatu getaran yang kuat untuk bergerak ke utara. Kelompok-kelompok manusia yang memasuki kerajaan Buleleng untuk mengadu peruntungannya ini makin lama makin banyak dan menjadi bertambah seiring setelah Panji Sakti mengakhiri ekspedisinya yang pertama ke Blambangan dan mulai membangun ibukota dan istananya yang indah, Singaraja. Saat itu adalah awal musim panas 1649, kemudian muncullah hari-hari yang sibuk dan padat dengan acara-acara penerimaan para tamu, utusan dari berbagai tempat dan kerajaan, pedagang-pedagang yang menawarkan barang-barang dagangannya, para pelarian yang memohonkan perlindungannya pada penguasa baru ini.10

9

Soegianto Sastrodiwiryo, I Gusti Ngurah Panji Sakti Raja Buleleng 599-1680(Denpasar: CV. Kayumas Agung, 1994), 89.

10


(46)

37

Sesuai dengan letaknya yang ada di tepi pantai, Buleleng berkembang menjadi pusat perdagangan laut.Hasil pertanian dari pedalaman diangkut lewat darat menuju Buleleng.Dari Buleleng barang dagangan yang berupa hasil pertanian seperti kapas, beras, asam, kemiri, dan bawang diangkut atau diperdagangkan ke pulau lain (daerah seberang).11

Para pendatang yang datang ke Buleleng terdiri dari beberapa macam orang dengan beraneka busana yang mengikuti etnis dan wilayah asal mereka masing-masing berderet-deret menunggu giliran untuk bertemu dengan Panji Sakti, raja yang membuka diri dan menjanjikan berbagai kemungkinan kepada pendatang-pendatang tersebut. Orang-orang Bali Utara itu misalnya merasa geli dengan pakaian-pakaian pedagang Melayu berdarah Arab yang memakai sarung kemudian celananya menjurai kebawah seakan-akan melorot turun, sedangkan topi-topi mereka menjulang tinggi keatas seakan-akan sajian yang ada di Bali disebut Pajegan, untuk pesembahan para dewa di waktu piodalan di pura. Mereka juga terheran-heran melihat pedagang-pedagang muslim Jawa dari Gresik atau Jepara yang berbicara pelan-pelan dengan bahasa yang mirip-mirip dengan bahasa Bali halus tapi diselang-selingi dengan bahasa Melayu. Adapula saudagar-saudagar dari Cina yang datang dari negri yang amat jauh mengenakan pakaian-pakaian sutera yang sangat indah dan berwarna warni. Selain itu juga datang perompak-perompak dari Filipina, kemudian orang-orang Bugis Makasar, orang-orang-orang-orang Eropa dari Belanda atau Batavia, serta orang-orang-orang-orang Madura.12

11

Amir Al-maruzi, “Kerajaan Buleleng Dan Kerajaan Warmadewa di Buleleng”, dalam http://www.gurusejarah.com/2014/10/kerajaan-buleleng.html (20Desember 2015) 12

Soegianto Sastrodiwiryo, I Gusti Ngurah Panji Sakti Raja Buleleng 599-1680 (Denpasar: CV. Kayumas Agung, 1994),92-93.


(47)

38

C.Periodiasi Perkembangan Agama Islam di Buleleng Bali

Penduduk yang menganut agama Islam di kerajaan Buleleng pada akhir abad ke-18 dapat diketahui dengan pasti jumlahnya. Dipelabuhan Pabean orang-orang Islam telah mencapai 4.000 orang pedagang, di Pelabuhan Sangsit bermukim 1.200 orang pedagang yang sebagian besar terdiri dari orang Bugis dan sebagian kecil orang Cina Melayu. Dipelabuhan sebelah barat, peteman dan Celukan Bawang juga terdapat kelompok-kelompok pedagang-pedagang Bugis, namun tidak diketahui jumlahnya secara pasti.13

Sementara itu, sensus pada tahun 1930 mencatat 16.992 orang yang dapat dikelompokkan sebagai Bali Selam (Bakker 1993: 31). Pada tahun 1976 komposisi itu adalah sebagai berikut:

No Agama Jumlah

1. Hindu 2.155.434 orang

2. Islam 88.471 orang

3. Kristen Protestan 12.066 orang

4. Kristen Katholik 8. 435 orang

5. Konfusinus 6.160 orang

Gelombang migrasi Muslim lebih gencar lagi terjadi ketika abad ke 20 M bersamaan dengan masuknya organisasi modern pergerakan nasional yang bercorak Islam.Gelombang keislaman mulai berkembang di Bali, seperti berdirinya madrasah di Karangasem, madrasah di Klungkung, dan madrasah di Buleleng.

Perkembangan masyarakat Islam di Buleleng Bali selain ditandai dengan bertambahnya jumlah pendudk Buleleng yang beragama Islam karna factor imigran, seperti yang telah

13

Ikhsan, “Islamisasi Di Buleleng Bali Abad XVII”, (Skripsi Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Fakultas Adab, Yogyakarta, 2000), 62.


(48)

39

dijelaskan diatas, bukti perkembangan Islam lainnya juga ditandai dengan berdirinya masjid-masjid sebagai tempat ibadah umat Islam yang jumlahnya semakin bertambah.Berikut ini adalah masjid-masjid di Kabupaten Buleleng Bali yang terbilang kuno. Beberapa masjid kuno di Buleleng dapat dilihat dari tabel berikut:

No Nama Masjid Alamat Masjid Tahun Berdiri

1. Masjid Safinatus Salam Desa pegayaman Kab.

Buleleng

1623

2. Masjid Kuna/ Ketamat,

Masjid Agung Jamik Singaraja

Jl. Hasanuddin Kec. Buleleng

1654

(pembukaan

tanah), 1846

(berdirinya Masjid)

3. Masjid As-Shalihin Banjar Dinas Kauman Desa

Pengastulan kab. Buleleng

1821

4. Masjid Annur Celukan

Bawang

Desa Celukan Bawang kec. Gerokgak Kab. Buleleng

1900

5. Masjid Wadi Buleleng Bali 1920

6. Masjid At-Taqwa Jl. Erlangga Singaraja Kab.

Buleleng

1920

7. Masjid Baiturrahman Dusun Pegayaman Kec.

Banjar Kab. Buleleng

1921

8. Masjid An-nur Bd. Mandarsari Desa

Sumberkima Kec. Gerokgak


(49)

40

Kab. Buleleng

9. Masjid Al-Ikhlas Dusun Labuhan Haji Bingin

Banjah Desa Temukus Kec. Banjar Kab. Buleleng

1932

10. Masjid Taufiq Minallah Jl. Udayana No.4 Kelurahan

Seririt Kab. Buleleng

1933

Tabel: 3.1 Masjid-Masjid Kuno. Simas, Ditjen Bimas Islam-Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah.

Berdasarkan tabel diatas, bahwa sebelum tahun 1800, sudah terdapat masjid yang berdiri di Buleleng Bali, hal ini menandakan bahwa sudah terdapat umat Islam di Kabupaten Buleleng, namun jumlahnya tidak dketahui secara pasti.

Tahun 1821 berdiri masjid As Shalihin di Kabupaten Buleleng, saat itu sudah ada tiga masjid yang berdiri di kabupaten Buleleng Bali yaitu masjid Safinatussalam, masjid kuna, dan masid As Shalihin.Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam semakin bertambah di tahun 1821.Tahun selanjutnya adalah tahun 1846 berdirilah masjid Agung Jamik.Berdirinya masjid Agung Jamik dilatar belakangi dari perkembangan jumlah umat yang semakin banyak, daya tampung masjid keramat atau kuno sudah tidak memadai lagi. Dari masalah itulah atas kesepakatan umat pada saat itu maka pemuka umat ketiga kampung tersebut mengajukan permohonan kepada Raja Buleleng yaitu Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Polong (keturunan VI Anak Agung Panji Sakti, Raja Buleleng atau pendiri kota Singaraja) agar diberikan lahan atau tanah untuk mendirikan sebuah masjid yang lebih refresentatif.14

14Pengurus Ta‟mir, Sekilas Riwayat Singkat Masjid Agung Jami’ Singaraja

-Bali, diringkas dari tulisan H.Abd. Latif yang bersumber dari I Gusti Nyoman Panji Mantan Perbekel Kampung Kajanan dan A.A. Udayana kerabat puri Singaraja


(1)

82

kesejahteraan bersama diharapkan bagi pemerintah untuk dapat membina kerukunan antar umat beragama dengan lebih baik lagi di Kabupaten Buleleng.


(2)

1

DAFTAR PUSTAKA Buku

Abdulkarim, M. Islam Nusantara. Yogyakarta: Gama Media, 2013. AB, W. Simpen. Babad Kerajaan Buleleng. Denpasar: Cempaka 2, 1989. AD/ART. Muktamar 32 Nahdatul Ulama. Buleleng: PC Nahdatul Ulama, 2010 Ahmad, Haidlor Ali. Revitalisasi Wadah Kerukunan Di Berbagai Daerah Di

Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009.

Anom, I.G.N. et al. Masjid Kuno Indonesia. Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 1998/1999.

Antara, I Gusti Putu. Tatanama Orang Bali. Denpasar: Buku Arti, 2013.

Ardhana, I Ketut, et al. Masyarakat Multi Kultural Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi dan Integrasi. Denpasar: Pustaka Lararasan, 2011.

Assegaf, Chabib Toyyib Zain Arifin. Sejarah Wujudnya Makam Sab’atul Auliya’ Wali Pitu di Bali. Sidoarjo: Zifatama Publishing, 2012.

Atmaja, Nengah Bawa. Geneologi Keruntuhan Majapahit Islamisasi, Toleransi, dan Pertahanan Agama Hindu di Bali. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Bappeda. Buleleng Dalam Angka 2004. Denpasar: Bappeda Kabupaten Buleleng

Dan BPS Kabupaten Buleleng, 2004.

_______. Buleleng Dalam Angka 2000. Denpasar: Bappeda Kabupaten Buleleng Dan BPS Kabupaten Buleleng, 2000.

Bandana, I Gede Wayan Soken. Nama Dan Gelar Dalam Masyarakat Bali. Denpasar: Balai Bahasa Propinsi Bali, 2012

Bangli, I.B. Putu. Mutiara Dalam Budaya Hindu Bali. Surabaya: Paramita, 2004. Chalim, Asep Saifuddin. Membumikan Aswaja. Pasuruan: MawaN, 2014.

Darmanugara, A.A.N. Putra. Perjalanan arya Damar Dan Arya Keneng Di Bali.

Denpasar: Pustaka Larasan, 2011.

Guntoro Suprio. Wisata Agro Di Bali Majalah Warta Pemda. Diterbitkan Untuk HUT Pemda Bali ke-38 14 Agustus 1996.

Imran, Ali. Sang Pengebom. Jakarta: Republika, 2007.


(3)

2

Laksmi, A.A. Rai Sita, et al. Cagar Budaya Bali. Denpasar: Udayana University Press, 2011.

Mantra, I.B. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Darma Sastra, 1996.

Mbete, Aron Meko et al. Proses & Protes Budaya Persembahan Untuk Ngurah Bagus. Denpasar: PT. Offset BP Denpasar, 1998.

Nata, Abuddin. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo, 2001.

Notosusanto, Nugroho. Sejara Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka, 2010.

Paji, I Gusti Ngurah. Sejarah Buleleng. Singaraja: UPTD Gedong Kirtya. 1956. Putra, I Nyoman Darma. Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif. Denpasar:

Pustaka Bali Post, 2004.

Sarlan, M. Islam di Bali. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama, 1997.

Setia, Putu. Mendebat Bali. Denpasar: PT. Pustaka Manikgeni, 2002.

Shihab, M. Quraish, M. Quraish Shihab Menjawab. Tanggerang: Lentera Hati, 2010.

Soebandi, Jro Mangku Gde Ketut. Babad Warga Brahmana: Pandita Sakti Wawu Rawuh. Denpasar: PT Pustaka Manik Geni, 1998.

Soethama, Gde Aryantha. Bali Tikam Bali. Denpasar: Arti Foundation, 2004. Sukarma, I Wayan. Ide-Ide Prof. Dr. Ida Bagus Mantra Tentang Tradisi Bali

Denpasar: Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, 2014.

Supartha, Wayan. Bali dan Masa Depannya. Denpasar: PT. Offset BP, 1999. Suryana, Dayat. Bali dan Sekitarnya. Denpasar: Manikgeni, 2012.

Tim Penulis, Menembus Benteng Tradisi: Sejarah Muhammadiyah Jawa Timur.

Surabaya: Hikmah Press, 2005.

Wiratnaya, Usadi dan Jean Couteau. Bali di Persimpangan Jalan. Denpasar: NusaData IndoBudaya, 1995.

Worsley, P.J. Babad Bulelen. Leiden: Koninklijk Institut Voor Taal Land-En Volkenkunde, 1972.


(4)

3

Zein, Abdul Baqir, Masjid-Masjid bersejarah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Skripsi

Amanah, Siti. Peran K.H Iskandar Dalam Mengembangkan Pendidikan Islam Di Pondok Pesantren Darul Falah Bendomungal Krian Sidoarjo, Skripsi Fakultas Trbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya, 2010.

Asmara, Amanda Destianty Poetri. Makam Keramat Karang Rupit Syeikh Abdul Qadir Muhammad (The Kwan Lie) di Desa Temukus Labuan Aji Banjar, Buleleng Bali (Perspektif Sejarah dan Pengembangannya Sebagai Objek Wisata Spiritual). (Skripsi Universitas Pendidikan Ganesha Fakultas Ilmu Sosial, Singaraja, 2014).

Basyar, M. Hamdan. Identitas Minoritas di Indonesia: Kasus Muslim Bali di Gianyar dan Tabanan , Laporan Akhir Program Insentif Peneliti Dan Pereka Yasa Lipi Tahun 2010.

Paramitha, Shinta. “Pola Keruangan Implementasi Caturwana Di Kecamatan Bueleng, Provinsi Bali Tahun 2012”, (Skripsi, Universitas Indonesia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Depok, 2012).

Suardika, I Wayan. “Perkembangan Nahdatul Ulama di Bali 1952-1973”, Skripsi Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar, 1988).

Susanti, “Potensi Masjid Nur Singaraja, Bali Sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan Di Sma”, (Skripsi Universitas Pendidikan Ganesha Fakultas Ilmu Sosial, Singaraja, 2014).

Jurnal

Kunawi Basyir, Islamica: Jurnal Studi Keislaman (Volume8, Nomor 1, September 2013).

I Made Pegah et al, “Analisis Faktor Integratif Nyama Bali-Nyama Selam, Untuk Menyusun Buku Panduan Kerukunan Masyarakat Di Era Otonomi

Daerah”. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 2, No. 2, Oktober 2013,

Singaraja.

Muhammad Kosim, Madrasah di Indonesia (Pertumbuhan dan Perkembangan), Jurnal Tadris Volume 2. Nomor 1. 2007.


(5)

4

Wawancara

Abdullah Suardana. Ta’mir Masjid Agung Jamik Singaraja.Wawancara. Singaraja 26 November 2015.

Agus Syamsudin. Pengurus Subak di Tegalinggah. Wawancara. Tegallinggah, 1 Januari 2016.

Ahmad Hadi. Penjaga Makam Keramat Karang Rupit. Wawancara. 26 Nopember 2015.

Muhammad Shadiq, Kepala Desa Pegayaman. Wawancara. Pegayaman 28 November 2015.

Saihuddin. Keturunan Gusti Ketut Jelantik Celagi. Wawancara. Yehbiyu, 3 Januari 2016

Suharto. Sekertaris Masjid Safinatussalam. Wawancara, Pegayaman, 28 Nopember 2015.

Internet

Administratif, K. “PKPBM: Pembangunan Kawasan Pedesaan Berbasis

Masyarakat”. Dalam

psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2014/09/401.pdf (20 Desember 2015).

Al-maruzi, Amir. “Kerajaan Buleleng Dan Kerajaan Warmadewa di Buleleng”. Dalam http://www.gurusejarah.com/2014/10/kerajaan-buleleng.html (20 Desember 2015).

Anshory, Irfan. “Buleleng dan Sejarahnya”. Dalam http;// www.buleleng.com (26 Oktober 2015).

Babussalam, MI. “Latar Belakang Berdirinya Madrasah DI Indonesia”. Dalam http://mi-baabussalaam.blogspot.co.id/. (18 Desember 2015).

Buleleng, Muhammadiyah. “Sejarah Muhammadiyah”. Dalam

http://muhammadiyahbuleleng.blogspot.co.id/ (29 November 2015). Hildawani, Siswanto. “Asal Usul Pesantren Dan Perkembangan Lembanga

Pesantren di Indonesia”. Dalam http://aura-kharismathis.blogspot.co.id/ (19 Desember 2015).

Huda, Eko. “Al-Qur’an Kuno Peninggalan Kerajaan Hindu Bali”. Dalam http://m.bola.viva.co.id. (26 November 2015).


(6)

5

Kayana, Kenzie. “Sejarah Kerajaan Buleleng”. Dalam

http://e-kuta.com/blog/sejarah/sejarah-kerajaan-buleleng.htm (20 Desember 2015).

Lestari, Puji. “Kehidupan Kerajaan Buleleng”. Dalam

http://pujel.blogspot.co.id/2014/03/kehidupan-kerajaan-buleleng.html (20 Desember 2015).

Masyayikh. “Akultuasi Hindu Dan Islam Lahirkan Keunikan Di Bali”. Dalam https://nubali.wordpress.com (25 November 2015).

Muhammad, Rifqil Halim. “Ahmad Al Hadi Pendiri NU di Bali”. Dalam http://www.nu.or.id. (29 November 2015).

Tohari, Ahmad Darwis. “Ziarah 7 Wali di Bali”. Dalam

https://ahmaddarwistohari.files.wordpress.com (25 November 2015).

Yoesni, Sigit. “Menyambagi Kampung-Kampung Muslim di Bali”. Dalam http:/www.bimasislam.kemenag.go.id (07 September 2015).

Dokumen

Buku Kunjungan Tamu Makam Keramat Karang Rupit The Kwan Lie (Syekh Abdul Qadir Muhammad).

Pengurus Ta’mir, Sekilas Riwayat Singkat Masjid Agung Jami’ Singaraja-Bali, diringkas dari tulisan H.Abd. Latif yang bersumber dari I Gusti Nyoman Panji Mantan Perbekel Kampung Kajanan dan A.A. Udayana kerabat puri Singaraja.

Surat Keteragan Berdirinya Muhammadiyah di Buleleng Bali

Tim Perumus Adat Istiadat Desa Pegayaman yang berlandaskan dengan hasil-hasil dari penggalian adat istiadat Desa Pegayaman.