PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI BANTEN

PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI BANTEN
DI
S
U
S
U
N
OLEH :
LISA APRILIA QADRINA

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 4 BANDA ACEH
TAHUN AJARAN 2014/2015

SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI BANTEN
A. PROSES ISLAMISASI
Dalam perkembangan sejarah Indonesia, Jawa Barat tidak hanya sekarang saja sebagai
wilayah yang sangat penting, baik dari tinjauan geostrategi dan geoplitik dewasa ini.
Tetapi Jawa barat juga merupakan tempat pertama timbulnya kekuasaan politik Taruma
Negara, membuktikan posisi geografi Jawa Barat mempunyai nilai tersendiri sejak abad
ke-5 Masehi.
Proses perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui gerbang Jawa

Barat yakni Cirebon. Proses ini menjadi mungkin karena kondisi kekuasaan politik yang
kuat waktu itu di Jawa adalah Jawa Tengah. Tetapi islamisasi Indonesia melalui pintu
barat. Oleh karena itu mempunyai kemungkinan besar bila masuknya islam dari pintu
gerbang Barat. Dalam hal ini mungkin dari pelabuhan Sunda Kelapa ataupun Banten.
Perlu ditambahkan disini bahwa penyebaran Islam melalui jalur perniagaan, sehingga
tidak pernah terjadi agresi militer maupun agama. Dalam penyebaran ini Islam tidak
mengenal adanya organisasi missi ataupun semacam zending. J.C Van Leur dalam hal ini
menjelaskan bahwa setiap pedagang Islam merangkap sebagai da’i. Itulah sebabnya
masuk dan meluasnya Islam di Indonesia melalui jalur perniagaan.[1]
Pertimbangan lain dari keterangan Tome Pires yang menjelaskan keadaan Jawa Barat
pada abad ke-16. Bahwa pada tahun 1513 penduduk Cirebon dan Cimanuk (Indramayu)
sudah beragam Islam. Yang lebih menarik perhatian kita, Tome Pires menjelaskan situasi
pelabuhan Jawa Barat lainnya: Banten, Pontang, Cikande, Tengerang dan Sunda Kelapa,
sebagai pelabuhan yang telah banyak dikunjungi oleh pedagang Islam yang berasal dari
Malaka, Palembang, Fansur, Tanjungpura, Lawe, Jawa, dan pelabuhan lainnya.
B. PENDIRI AGAMA ISLAM (TOKOH UTAMA) DI BANTEN
Tokoh utama para pendiri agama Islam di Banten, antara lain adalah:
1. Fatahillah (mangkat pada tahun 1570)
2. Hasanuddin Sultan Banten I (1552 - 1570)
3. Pangeran Yusuf Sultan Banten II (1570 -1580)

4. Maulan Muhammad Sultan Banten III (1580 – 1596
Ketika kerajaan yang bercorak islam berdiri, pusat kekuasaan yang semula berada di
Banten Girang dipindahkan ke Surasowan di Banten lama, dekat pantai. Pemindahan
pusat kekuasaan ini dimaksudkan untuk mempermudah hubungan pesisir utara Jawa
dengan Sumatra melalui Selat Sunda dan Samudra Hindia. Penunjukan Surasowan
sebagai ibukota kerajaan Banten dilakukan atas perintah Faletehan (Sunan Gunung Jati)
kepada puteranya, Hasanuddin, yang kemudian menjadi raja Banten pertama.[2]

Fatahillah mangkat pada tahun 1570, sebagaimana telah dimaklumi di atas, seorang
ulama muda anak Pasai yang turun dari Mekkah, telah datang
ke Demak dan berkhidmat kepada sultan Trenggono, sehingga diambil menjadi kepala
perang untuk menaklukan Banten, atau Jawa Barat. Ulama muda itu bernama Syarif
Hidayatullah, Sultan Maulana Nuruddin Ibrahim.
Untuk menyebarkan Islam di jawa Barat, langkah Sunan Gunung Jati berikutnya adalah
menduduki pelabuhan Sunda yang sudah tua, kira-kira tahun 1527. Ia memperluas
kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan Jawa Barat lain yang semula termasuk Pajajaran.
Dalam pada itu kemenangan Syarif Hidayatullah menaklukan kota Banten mendapat
penghargaan tertinggi dari Sultan Trenggono, sehingga beliau diberi gelar Fatahillah.
Portugis menyebutnya Faletehan.
kalau Fatahillah sebagai penguasa besar Jawa Barat, meliputi Banten, Jakarta dan

Cirebon, apatah lagi beliau masih mengakui bahwa dia memerintah masih di bawah
naungan Demak, maka yang pantas disebut sultan Banten pertama adalah ialah
Hasanuddin. Sangatlah maju Banten selama pemerintahan baginda selam 18 tahun
lamanya. Pelabuhan Banten ramai didatangi saudagar- saudagar dari luar negeri. Setelah
18 tahun memerintah, maka mangkatlah baginda, kebetulan tahun mangkatnya bersamaan
dengan mangkat ayahnya Fatahillah, tidak berapa bulan selisihnya, Yaitu di tahun 1570.
Kedukaan yang dua kali menimpa rakyat Jawa Barat dalam satu tahun itu, menyebabkan
bahwa setelah mangkat Sultan Hasanuddin diberi gelar ”Marhum Sabakingking”, dan
makam baginda dinamai ”Sabakingking” artinya tempat duka cita.
Setelah Sultan Hasanuddin meninggal, Dan diganti oleh anaknya, Yusuf , sebagai raja
Banten kedua (1570-1580). Ia memperluas wilayah kekuasaan kerajaan Banten sampai
jauh kepedalaman yang semula masih dikuasai oleh kerajaan Sunda Pajajaran, dan
berhasil menduduki ibukotanya, yakni Pakuan. Yusuf memperluas bangunan masjid
Agung dengan membuat serambi dan juga membangun masjid lain di Kasanyutan,
sebelah selatan Banten lama.
Ketika Yusuf wafat, yang berhak naik tahta menggantikannya adalah puteranya yang
bernama Maulana Muhamad. Setelah Yusuf meninggal dunia tahun 1580 M, ia digantikan
oleh putranya Muhammad, yang masih muda belia. Selama Sultan muhammad masih di
bawah umur , kekuasaan pemerintahan dipegang oleh kali (Arab:qadhi, jaksa agung )
bersama empat pembesar lainnya. Raja Banten yang saleh ini, melanjutkan serangan

terhadap raja Palembang dan gugur dalam usia 25 tahun pada tahun 1596. Ia
meninggalkan seorang anak yang berusia 5 bulan, Sultan mafakhir Mahmud Abdulkadir.
Sebelum memegang pemerintahan secara langsung, Sultan berturut-turut berada di bawah
4 orang wali laki-laki dan seorang wali wanita. Ia baru aktif memegang kekuasaan tahun
1626, dan pada tahun 1638 mendapat gelar Sultan dari Mekkah. Dialah raja Banten
pertama dengan gelar sultan yang sebenarnya. Ia meninggal tahun 1651 dan digantikan
oleh cucunya Sultan Abulfath Abdulfath.

Pada masa sultan Abulfath Abdulfath ini tejadi beberapa kali peperangan antara Banten
dan VOC yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian perdamaian tahun 1659 M.[3]
Sebagai kota metropolitan sejak abad ke -14 sampai akhir abad ke -19, Banten mengalami
perkembangan jumlah penduduk yang pesat, menurut statistik yang dibuat oleh Sultan
Abul Mahasin Zaonal Abidin pada tahun 1694, penduduk Banten berjumlah 31,848 jiwa.
Selama lebih dari tiga abad, Banten sebagai kerajaan Bahari telah menjadi tempat
persinggahan dan transaksi perdagangan internasional. Bangsa asing yang berdagang di
Banten pada saat itu antara lain Persia, Arab, Keling, Koja, Pegu, Cina, Melayu dan
sebagainya. Barang-barang perdagangan yang beredar dan menjadi komiditi di kota
Banten adalah sutra, beludru, peti berhias, kertas emas, kipas angin dari Cina, kaca,
gading, batu permata dari India, tekstil, dan sebagainya.
Walaupun Banten berupa kerajaan Bahari, ternyata juga mengembangkan pertanian.

Pertanian telah dikembangkan sejak Sultan Abdul mufakhir Muhammad Abdul Kadir
(1596-1651). Dengan dibangunnya sistem irigasi oleh sultan Ageng Tirtayasa (16511682).
Pada peta ikhtisar Banten lama dari tahun 1900 terdapat nama tempat yang menunjukkan
adanya sebuah tempat kefakihan pada masa itu. Adanya tempat ini menunjukkan bahwa
pada jaman kesultanan Banten, unsur pendidikan islam dikhususkan dan mendapat
prioritas utama. Dengan demikian, harapan terhadap para alim ulama begitu tinggi, walau
Banten dihancurkan oleh Belanda pada tahun 1813, pada waktu itu juga lahir seorang
ulama kenamaan berasal dari Tanahara Tirtayasa, Banten, bernama Nawawi al Banteni.
Ratusan buku karangannya dicetak didalam dan luar negeri, antara lain di Mesir dan
Beirut. Sampai sekarang semua buku tersebut masih dipelajari dan dibaca oleh umat
islam, khususnya di Indonesia.
Banten, Kesultanan, sebuah pemerintahan islam di Banten berdiri sejak tahun 1527, pada
mulanya, Banten merupakan daerah kekuasaan kerajaan Hindu Budha pajajaran, pada
tahun 1527 Banten direbut oleh dan diperintah oleh Faletehan dari Demak. Sejak saat ini
mulai berdiri pemerintahan islam di Banten, yang kelak menjadi kesultanan setelah
Demak mengalami kemunduran.
Kesultanan Banten mulai meluas kekuasaannya dan mencapai kemajuan di bidang
perdagangan sejak pemerintahan Hasanuddin. Ia memerintah Banten setelah kepindahan
faletehan ke Cirebon pada tahun 1552. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf
1579-1580, Pajajaran ditaklukkan.

Sejak sebelum zaman islam, ketika masih berada di bawah kekuasaan raja-raja sunda
(dari Pajajaran , atau mungkin sebelumnya). Banten sudah menjadi kota yang berarti.
Dalam tulisan Sunda kuno, cerita parahyangan, disebut- sebut nama wahanten Girang.
Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan ujung barat pantai
utara Jawa. Pada tahun 1524/1525 sunan gunung jati dari Cirebon, meletakkan dasar bagi

pengembangan agama dan kerajaan islam serta bagi perdagangan orang-orang islam
disana.
Menurut sumber tradisional , penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan gunung Jati
dengan ramah tamah dan tertarik masuk islam. Ia meratakan jalan bagi kegiatan
pengislaman disana. Dengan segera ia menjadi orang yang berkuasa atas kota itu dengan
bantuan tentara jawa yang memang dimintanya. Namun, menurut berita Barros,
penyebaran islam di
jawa barat tidak melalui jalan damai, sebagaimana disebut oleh sumber tradisional.
Beberapa pengislaman mungkin terjadi secara sukarela, tetapi kekuasaan tidak diperoleh
kecuali dengan menggunakan kekerasan. Banten, dikatakan justru diserang dengan tibatiba.
C. KOTA YANG BERPERAN
Sebagai pusat pertumbuhan perekonomian sekitarnya adalah Serang, Pontang, Tirtayasa,
Cikande, pelabuhan Pendeglang, Saketi, Panimbangan, Rangkasbitung, Leuidamar dan
Banjarsari. Pembangunan Dermaga ini dimaksudkan untuk mempermudah pengiriman

barang, menekan biaya transportasi, dan mengurangi beban lalu lintas antara Serang dan
Jakarta yang berjarak 120 kilometer.
Di Banten kini sudah dibangun pelabuhan umum oleh perum pelabuhan 2, termasuk
dermaga untuk ekspor berbagai produk pabrik asal pelabuhan Serang. Sebelumnya,
kabupaten Serang mengirimkan produknya melalui pelabuhan TanjungPriuk Jakarta.[5]
Sejarah. Menurut prof.Dr. Sartono Kartodirjo, Penduduk kabupaten Serang merupakan
pembauran hasil yang datang dari Demak, Cirebon, Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung.
Oleh sebab itu selain terdapat perbedaaan dalam hal bahasa dan adat, juga terdapat
perbedaan yang mencolok antara orang Serang (Banten Utara) atau Sunda maupun orang
Jawa dari Jawa Tengah atau orang Jawa Timur.
Daya tarik Banten lama masih tetap kuat, terutama bagi para ahli kepurbakalaan dan
mereka yang berminat pada peninggalan sejarah. Selain mereka, banyak orang awam
berziarah ke masjid Agung Banten dan makam- makam para sultan Banten yang terletak
di utara dan selatan masjid tersebut.
D. MASUK DAN MELUASNYA AGAMA ISLAM DI BANTEN
Kalau kita berbicara tentang masuk dan meluasnya agama Islam di
Jawa Barat, tentunya kita ingat jasa orang tokoh Islam yang disebut
Wali sunan Gunung Jati atau Susuhan Jati atau Syarif Hidayatullah yang
dimakamkan di Pasir Jati puncak bukit Sembung, Cirebon. Kemudian
ingatan kita akan berlanjut bahwa Sunan jati itu identik dengan

Fatahillah, Fadhilah Khan, dan Faletehan.

E. PEMBENTUKAN BUDAYA BANTEN
Masyarakat dan budaya Banten, terutama dngan alam dan budaya islamnya, mungkin
hanya dapat dikenali dengan merunut kembalinya peristiwa sejarah tansformasi pusat
administasi politik dari Banten Girang di pedalaman-yang berada di bawah subordonasi
Pakuan Pajajaran yang hindustik, ke daerah pantai yang dikenal dengan Bantenlama.
Peristiwa transformasi tersebut berlangsung pada tahun 1526 oleh Syarif Hidayatullah
dan Maulan Hasanuddin. Sejak itu, embiro dan fondasi masyarakat dan budaya Banten
diletakkan dan ditetapkan dalam format yang berciri keislaman. Miksic (1986)
memperlihatkan fase-fase pertumbuhan perkembangan budaya Banten dalam panggung
sejarah, yang dapat dirunut dalam fase-fase berikut:
1. Fase pra-sunda Islam (1400- 1525). Pada masa itu Banten merupakan daerah bawahan
kerajaan Pakuan Pajajaran yang hindustis, yang berpusat di Banten Girang (kota Serang
sekarang).
2. Fase awal penyebaran Islam (1525- 1619), suatu fase dimana Islam disiarkan oleh
Sunan Gunung Jati dari Cirebon dan Maulana
3. Hasanuddin yang beraliansi dengan Demak. Pada masa ini terjadi tansformasi
keagamaan, perpindahan pusat pemerintahan dan mulai berkembangnya Banten sebagai
pelabuhan altenatif setelah Malaka. Pendirian kota Banten Sorasowan, dengan

komponen-komponen arsitektur dan monumental berciri islam, telah menyebabkan
pertumbuhan dan ramainya perdagangan. Para pedagang Inggris, Denmark, portugis dan
turki datang serta melakukan tansaksi perdagangan di bandar Banten. Sebelumnya,
Banten telah berhubungan dengan Cina, sehingga etnis teakhir ini telah membentuk suatu
komunitas tersendiri yang memberi sumbangan besar bagi perkembangan perdagangan di
Banten.
4. Fase keseimbangan kekuatan, yakni satu fase tanpa adidya dimana seluruh kekuatan
politik dan ekonomi yang ada di Banten memiliki kekuatan yang seimbang (armada
dagang Eropa, Kesultanan Banten, Cirbon, Batavia dan Mataram). Keseimbangan
kekuatan ini dinataranya bisa dilihat dari beberapa peristiwa politik yang berlangsung
saat itu, yang tidak memperlihatkan adanya dominasi satu kekutan politik tertentu trhadap
kekuatan politik lain: yakni penyerangan Banten ke Batavia, blokade Belanda atas Teluk
Banten, tumbuh dan kuatnya kekuasaan sultan Ageng tirtayasa, dan pulihnya tingkat
kemakmuran masyarakat Banten. Lebih dari itu, pada fase ini lah Banten mencapai
ketinggian budaya/ tamaddun islam.
5. Fase penguasaan VOC/Belanda, pendirian Benteng Speelwijk yang langsung
memperlihatkan wujud hubungan antara Banten dan VOC, masih berkembangnya ”kota”
Surosowan dan lain-lain.

6. Fase surut dan jatuhnyaKesultanan Banten, Hindia Belanda terkena imbas perang

Napoleonik/ Rep. Batavia, internal penguasaan Inggris (1811-1816), pemindahan
administrasi politik ke Serang, Surasowan di hancurkan, didirikannya keraton Kaibon dan
dipecahnya bekas wilayah kesultanan Banten menjadi 3 daerah serata kabupaten (Banten
Hulu, Banten Hilir, dan Anyer) di bawah pengawasan Landrrad ( setara residen), pada
tahun 1809 pembuatan jalan raya Deanddles.
7. Fase Mutakhir, Setelah kesultanan Banten dihapuskan oleh Belanda timbul berbagai
pergolakan, pemberontakan dan perlawanan rakyat dipimpin oleh para ulama/
bangsawan, bencana alam (meletusnya Krakatau dan wabah penyakit sampar),
pendudukan Jepang, perang kembali.[11]
Di balik semua kilas balik sejarah ini, hal yang tetap hidup dan terus mengakar pada
masyarakat Banten adalah kultur/kebudayaan islam. Pesanten terus menerus
menghasilkan kader dan para ulama tetap berdakwah. Rakyat mulai mengarahkan
orientasi kepemimpinan dari raja/ sultan kepada para mubaligh/kyai/ ulama. Dalam
situasi seperti ini, yang bermula sejak pertumbuhan islam di Banten, budaya pesisiran dan
budaya pedalaman di daerah selatan Banten (kecuali daerah Baduy) terus menerus
memantapkan keislamannya. Warisan budaya yang dihasilkannya adalah karya-karya
arsitektural yang hanya mungkin diproduksi dalam satu lingkungan kehidupan budaya
yang tinggi. Oleh karena itu, dari segi budaya Banten dapat disetarakan dengan
masyarakat kota seperti Mataram dan Cirebon.
Label islam dalam budaya Banten nampaknya cukup kuat bahkan hingga saat ini. Hal itu

terbukti dengan hadirnya para qori & qori’ah, ulama pesantren yang tersebar di seluruh
pelosok Banten. Pusat-pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam di wilayah Banten,
untuk sekedar menyambut beberapa lokasi-terdapat di Tanara, Tubuy, Muruy, Caringin,
Cilegon, Bojonegara, Pontang dan sebagainya. (Sartono Kartodirdjo, 1984, 1988; Teuku
Ibrahim Alfian, 1994;466-480, Hasan Muarif Ambary,1992).
F. SEJARAH BANTEN
Berdiri Kerajaan Salakanagara (Negeri Perak)yang beribukota Rajatapura yang terletak di
pesisir barat Pandeglang. Raja pertama Dewawarman I (130 – 168 M) yang bergelar Aji
Raksa Gapurasagara (Raja penguasa gerbang lautan)
Daerah kekuasaannya meliputi :
• Kerajaan Agrabinta di Pulau Panaitan
• Kerajaan Agnynusa di Pulau Krakatau
• Dan daerah ujung selatan Sumatera
165 M Banten (Pulau Panaitan) masuk dalam peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus
sebagai bagian dari jalur pelayaran dari Eropa menuju Cina dengan melalui India,
Vietnam, ujung utara dan pesisir barat Sumatera, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus
melalui Laut Cina Selatan sampai ke Daratan Cina. Abad V M Prasasti Munjul yang

diperkirakan berasal dari abad ke V masehi ditemukan di Sungai Cidangiang, Lebak
Munjul – Pandeglang. Prasasti berhurufkan palawa dengan bahasa sanksekerta
menyatakan bahwa raja yang berkuasa di kawasan tersebut adalah Raja Purnawarman
dari Kerajaan Tarumanegara. Dalam prasasti tersebut dituliskan juga bahwa negara pada
saat itu berada dalam kemakmuran dan kejayaannya.


Abad XII – XV Banten menjadi pelabuhan dari Kerajaan Pajajaran.



Abad XIV Ditemukan prasasti di Bogor, yang menyatakan Pakuan Pajajaran didirikan
oleh Sri Sang Ratu Dewata, yang daerah kekuasaannya meliputi seluruh Banten, Kalapa
(Jakarta), Bogor, sampai Cirebon.



Abad XVI Awal abad ke XVI, Banten dibawah pemerintahan Prabu Pucuk Umun (Dalam
Babad Cibeber disebut juga sebagai Ratu Ajar Domas). Pusat pemerintahannya terletak di
Banten Girang, yang dihubungkan dengan pelabuhan Banten melalui Sungai Cibanten,
dan melalui Klapadua sebagai jalur darat.

1513 M Tome Pires, pelaut Portugis, memberitakan bahwa pelabuhan Banten merupakan
pelabuhan kedua terbesar setelah Kalapa. Telah terjadi hubungan perniagaan dengan
Sumatera dan Maladewa, dan pelabuhan Banten merupakan pengekspor beras, bahan
makanan dan lada.
Pada masa ini, diberitakan juga sudah banyak dijumpai orang Islam di daerah Cimanuk,
dan kota kota pelabuhan seperti Kalapa dan Banten.
1511-21 M Tanggal 5 Agustus 1511 M, Bangsa Portugis menguasai Malaka dan disusul
dengan takluknya Samudera Pasai pada tahun 1521 M. Selain untuk kekuasaan dan
kekayaan, bangsa Portugis juga dibebani misi untuk menghancurkan agama Islam.
Dengan menguasai Malaka, bangsa Portugis memonopoli perdagangan rempah rempah di
Asia Tenggara, dan memberlakukan peraturan peraturan yang memberatkan bagi para
pedagang terutama yang beragama Islam. Kondisi ini membuat pedagang pedagang dari
Arab, Parsi, Cina, dan bangsa lain enggan untuk berniaga ke Malaka dan mengalihkannya
ke Aceh, Banten, Cirebon, dan Demak.
Keadaan ini sangat menguntungkan bagi Pelabuhan Banten yang berkembang semakin
pesat dan lama kelamaan menjadi pusat penyebaran agama Islam di bagian barat pulau
Jawa.
1521 M Dengan semakin berkembang pesatnya kekuatan Islam di barat dan timur, timbul
kekhawatiran raja Pajajaran akan semakin terdesaknya agama Hindu selaku agama resmi
kerajaan dan juga lunturnya kekuasaan di di daerah pantai. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang
Ratu Dewata) melakukan :


Pembatasan pedagang pedagang yang beragama Islam mengunjungi pelabuhan pelabuhan
yang berada di bawah kekuasaan Pajajaran.



Menjalin hubungan persahabatan dan kerjasama dengan bangsa Portugis di Malaka, agar
dapat membantu Pajajaran bila diserang Kerajaan Demak, dengan mengutus putera
mahkota Pajajaran Ratu Sangiang atau Surawisesa ke Malaka.



1522 M 21 Agustus 1522 M, Henrique Leme, utusan Gubernur Malaka, menandatangani
perjanjian dengan raja Pajajaran, Pangeran Surawisesa, pengganti Sri Baduga Maharaja.
Perjanjian tersebut berisi antara lain :



Portugis dapat mendirikan benteng di pelabuhan Sunda Kelapa



Raja Pajajaran akan memberikan lada sebanyak yang diperlukan Portugis sebagai
penukaran barang barang kebutuhan Pajajaran.



Portugis bersedia membantu Pajajaran apabila diserang Demak atau kerajaan lainnya.



Sebagai tanda persahabatan, Pajajaran akan memberikan hadiah 1000 karung lada setiap
tahunnya kepada Portugis.

1525 M Pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang dipimpin Fatahillah, Pangeran
Cirebon, Dipati Cangkuang, dan Dipati Keling, serta pasukan lokal di bawah pimpinan
Hassanudin dapat menguasai Banten.
Untuk menjaga stabilitas keamanan di Banten, Hassanudin kemudian diangkat menjadi
Adipati Banten dengan pusat pemerintahan di Banten Girang.
1526 M Atas petunjuk dari Sunan Gunung Jati, ibukota Banten dipindahkan ke dekat
pelabuhan Banten, yang kemudian disebut dengan Surosowan. Berdasarkan beberapa
data, pemindahan ibukota ini dilakukan pada tanggal 1 Muharram 933 H yang bertepatan
dengan tanggal 8 Oktober 1526 M.
1527 M Terdengar kabar, Portugis dengan armada dan persenjataan lengkap telah
meninggalkan Malaka menuju Sunda Kelapa. Mendengar berita ini, Demak, Banten, dan
Cirebon bergerak untuk menguasai Sunda Kelapa. Sunda Kelapa dapat dikuasai pada
tahun 1527 M, dan Fatahillah diangkat untuk menjadi Adipati Sunda Kelapa. Sebagai
tanda kemenangan, Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta, yang berarti Kota
Kemenangan. Armada Portugis yang datang dari Malaka untuk melaksanakan perjanjian
tahun 1522 M dengan Kerajaan Pajajaran tiba setelah Sunda Kelapa dikuasai pasukan
Islam. Portugis yang dipimpin oleh Francisco de Sa melakukan perang terbuka di
perairan Sunda Kelapa, dan setelah mendapat perlawanan hebat dari pasukan Islam,
Portugis dapat diusir mundur dari Sunda Kelapa.
Setelah Jayakarta berhasil diamankan dari serangan Portugis, Hassanudin dan Fatahillah
bekerjasama menangani pembangunan di Banten dan Jayakarta. Hassanudin bertanggung
jawab dalam masalah pengembangan wilayah dan pendidikan kemasyarakatan,
sedangkan Fatahillah bertanggung jawab menangani keamanan dan pertahanan wilayah.

Sehingga pada masa itu Islam menyebar dengan pesat dan keamanan negara terjamin.
Kedua penguasa di Jawa Barat memerintah atas nama Sultan Demak.
1552 M Kemajuan perkembangan Banten yang sangat pesat, menjadikan status Banten
ditingkatkan dari Kadipaten menjadi Kerajaan. Hassanudin ditunjuk sebagai raja pertama.
Dan pada tahun yang sama pula, Fatahillah (menantu dari Sunan Gunung Jati) diangkat
menjadi raja di Cirebon, mewakili Sunan Gunung Jati, dikarenakan mangkatnya raja
Cirebon, Pangeran Pasarean (putera Sunan Gunung Jati) di tahun tersebut. Untuk
menjalankan tugas pemerintahan di Jayakarta diangkat Pangeran Bagus Angke, menantu
Sultan Hassanudin.
1552-1570 M Masa Pemerintahan Sultan Maulana Hassanudin.
Sultan Maulana Hassanudin memerintah sebagai raja pertama Kesultanan Banten dari
tahun 1552 M hingga wafatnya di tahun 1570 M. Pada masa pemerintahannya,
digambarkan kota Banten telah berkembang sangat pesat. Jumlah penduduk diperkirakan
telah mencapai 70.000 jiwa. Terletak di pertengahan pesisir teluk Banten, Kota yang
dikenal dengan nama Surosowan ini memiliki panjang 400 hingga 850 depa. Kota Banten
dilewati sungai jernih yang dapat dilalui oleh kapal jung dan gale.
Kota Banten dikelilingi benteng bata setebal tujuh telapak tangan. Bangunan bangunan
pertahanan dua lantai terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan meriam. Di tengah kota
terdapat alun alun yang digunakan untuk kegiatan ketentaraan, kesenian rakyat dan juga
sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di sisi selatan alun alun, disampingnya
dibangun bangunan datar yang ditinggikan dan diatapi yang disebut srimanganti, sebagai
tempat raja bertatap muka dengan rakyat. Di sebelah barat alun alun dibangunlah Masjid
Agung Banten.
Sultan Hassanudin dalam usahanya membangun dan mengembangkan kota Banten lebih
menitik beratkan pada pengembangan sektor perdagangan, disamping memperluas lahan
pertanian dan perkebunan. Pada masa pemerintahannya, Banten telah menjadi pelabuhan
utama di Nusantara, sebagai persinggahan utama dan penghubung pedagang pedagang
dari Arab, Parsi, Cina, dengan kerajaan kerajaan di Nusantara.
Cara jual beli saat itu, masih menggunakan sistem barter, dan juga sudah mulai digunakan
mata uang sebagai alat tukar. Mata uang yang digunakan adalah Real Banten dan cash
cina (caxa). Terjadinya krisis kepemimpinan di Kesultanan Demak pada tahun 1547-1568
M, mendorong Sultan Hassanudin untuk melepaskan diri dari Kesultanan Demak dan
menjadikan Banten kerajaan yang berdiri sendiri. Saat itu, wilayah Kesultanan Banten
telah meliputi Banten, Jayakarta, Kerawang, Lampung, Inderapura, sampai Solebar.
Sultan Hassanudin wafat tahun 1570 M dan dimakamkan di samping Masjid Agung.
Setelah wafatnya, Maulana Hassanudin dikenal dengan sebutan Sedakinking. Sebagai
penggantinya, dinobatkanlah Pangeran Yusuf sebagai Raja Banten ke 2.

1570-1580 M Sultan Maulana Yusuf
Pada masa kepemerintahan Sultan Maulana Yusuf, strategi pembangunan dititik beratkan
pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Pada saat itu,
perdagangan sudah sangat maju sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang
barang dari seluruh dunia yang nantinya akan disebarkan ke seluruh nusantara. Dengan
majunya perdagangan maritim di Banten, maka kota Surosowan dikembangkan menjadi
kota pelabuhan terbesar di Jawa. Ramainya kota baru ini dengan penduduk pribumi
maupun pendatang membuat diberlakukannya aturan penataan dan penempatan penduduk
berdasarkan keahlian dan asal daerah penduduk. Perkampungan untuk orang asing
biasanya ditempatkan di luar tembok kota, seperti Pekojan yang diperuntukan bagi
pedagang muslim dari kawasan Arab ditempatkan di sebelah barat pasar Karangantu,
Pecinan yang diperuntukan bagi pendatang dari Cina ditempatkan di sebelah barat Masjid
Agung, di luar batas kota. Penataan pengelompokan pemukiman ini selain bertujuan
untuk kerapian dan keserasian kota juga untuk kepentingan keamananan, dan merupakan
upaya penyebaran dan perluasan kota. Selain penataan pemukiman, juga dilakukan
perkuatan dan penebalan tembok keliling kota dan tembok benteng sekeliling istana.
Tembok benteng diperkuat dengan lapisan luar yang terbuat dari bata dan batu karang
dengan parit parit disekelilingnya. Perbaikan Masjid Agung juga dilakukan dan
penambahan bangunan menara dengan bantuan Cek Ban Cut, arsitek muslim asal
Mongolia.
Untuk kepentingan irigasi bagi persawahan yang berada di sekitar kota dan untuk
pemenuhan kebutuhan air bersih bagi kota Surosowan, di buatlah danau buatan yang
dinamakan Tasikardi. Air dari sungai Cibanten dialirkan melalui terusan khusus ke danau
ini, yang kemudian disalurkan ke daerah daerah sekitar danau. Dengan melalui pipa pipa
terakota, setelah diendapkan di Pengindelan Abang dan Pengindelan Putih, air yang sudah
jernih dialirkan ke keraton dan tempat tempat lain di dalam kota. Di tengah danau buatan
ini juga dibuat pulau kecil yang digunakan sebagai tempat rekreasi keluarga keraton.
Sultan Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580 M dan dimakamkan di Pakalangan Gede
dekat kampung Kasunyatan sekarang, dan karenanya beroleh gelar Pangeran Panembahan
Pakalangan Gede atau Pangeran Pasarean. Sebagai pengganti, diangkatlah putranya,
Pangeran Muhammad yang pada waktu itu baru berusia 9 tahun.
1579 M Pasukan Banten di bawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf berhasil merebut
Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran dan menguasai seluruh wilayah bekas kerajaan
Pajajaran. Raja terakhir yang memerintah Kerajaan Pajajaran adalah Raga Mulya atau
Prabu Surya Kencana, yang juga dijuluki Prabu Pucuk Umun atau Panembahan Pulosari,
karena pada akhir masa kepemerintahannya berkedudukan di gunung Pulosari,
Pandeglang. Benteng Pulosari dapat dikuasai oleh Sultan Maulana Yusuf pada tanggal 8
Mei 1579/11 Rabiul Awal 987 H. Setelah berhasil dikalahkan, seluruh punggawa kerajaan
Pajajaran diislamkan dan dibiarkan kembali memangku jabatannya sehingga dapat
menjamin stabilitas keamanan di seluruh wilayah Banten.

1580-1596 M Sultan Maulana Muhammad Kanjeng Ratu Banten Surosowan
Keadaan Banten pada masa Sultan Maulana Muhammad dapat diketahui berdasarkan
kesaksian Willem Lodewycksz yang mengikuti Cornelis de Houtman yang mendarat di
pelabuhan Banten tahun 1596. Dari catatan mereka diketahui bahwa Kota Banten
mempunyai tembok tembok yang lebarnya lebih dari depa orang dewasa dan terbuat dari
bata merah. Diperkirakan besarnya sebesar kota Amsterdam tahun 1480 M dan orang
dapat melayari seluruh kota Banten melalui banyak sungai. Setiap kapal asing yang
hendak berlabuh di Bandar Banten diharuskan melalui semacam pintu gerbang dan
membayar bea masuk. Transaksi perdagangan di pasar ini berjalan mudah karena mata
uang dan pertukaran mata uang (money changer) sudah dikenal.
Maulana Muhammad terkenal sebagai orang yang saleh. Untuk kepentingan penyebaran
agama Islam, beliau banyak mengarang kitab agama Islam dan membangun masjid
hingga ke pelosok negeri. Sultan juga menjadi khatib dan imam untuk setiap shalat
Jum’at dan Hari Raya. Pada masa kepemimpinannya, Masjid Agung diperindah dengan
melapisi dinding dengan keramik dan kolomnya dengan kayu cendana, untuk tempat
shalat perempuan disediakan tempat khusus yang disebut pawastren atau pawadonan.
Sultan Maulana Muhammad wafat pada tahun 1596 pada saat penyerangan ke
Palembang, perang yang dimulai akibat bujukan Pangeran Mas, keturunan dari Kerajaan
Demak yang ingin menjadi Raja Palembang. Sultan tertembak ketika memimpin pasukan
dari kapal Indrajaladri di Sungai Musi. Sultan Maulana Muhammad wafat di usia 25
tahun, dimakamkan di serambi Masjid Agung dan beroleh gelar Pangeran Seda ing
Palembang atau Pangeran Seda ing Rana. Sultan meninggalkan putra yang baru berusia
lima bulan, yaitu Abul Mafakhir, yang ditunjuk sebagai penggantinya.
1596-1651 M Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
Sultan Abul Mafakhir yang baru berusia lima bulan, untuk menjalankan roda
pemerintahan maka ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara, seorang tua yang lemah lembut
dan luas pengalamannya dalam pemerintahan sebagai walinya. Masa awal pemerintahan
Sultan yang masih balita ini merupakan masa masa pahit dalam sejarah Kesultanan
Banten karena banyaknya perpecahan dalam keluarga kerajaan, dengan berbagai
kepentingan yang berbeda serta keinginan untuk merebut tahta kerajaan. Pada saat
Mangkubumi Jayanegara wafat di tahun 1602 M, perwalian dikembalikan ke ibunda
sultan, Nyai Gede Wanagiri. Nyai Gede Wanagiri yang telah menikah kembali, mendesak
agar suami barunya ditunjuk sebagai Mangkubumi. Mangkubumi yang baru ini, dalam
kenyataannya banyak menerima suap dari pedagang asing, sehingga tidak memiliki
wibawa dan keputusannya lebih banyak tidak ditaati. Kekacauan di dalam negeri
semakin membesar dan tidak dapat ditangani karena Mangkubumi lebih sibuk mengurus
keributan yang ditimbulkan oleh pedagang Belanda dengan pedagang Inggris, Portugis,
maupun pedagang dalam negeri.

Puncak dari kekacauan itu adalah dibunuhnya Mangkubumi, yang memicu terjadinya
perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Pailir, yang terjadi di tahun 1608 –
1609 M. Perang untuk memperebutkan tahta yang dilancarkan oleh Pangeran Kulon,
saudara sultan lain ibu ini, dapat dihentikan atas usaha Pangeran Jayakarta hingga dibuat
perjanjian perdamaian antara semua pihak. Salah satunya adalah diangkatnya Pangeran
Ranamanggala sebagai Mangkubumi dan wali dari sultan muda, semenjak itu Banten
menjadi aman kembali. Pangeran Ranamanggala adalah putra Maulana Yusuf, saudara
beda ibu dengan Sultan Maulana Muhammad. Selama menjabat sebagai Mangkubumi,
tindakan utama yang diambil adalah mengembalikan stabilitas keamanan Banten dan
menegakan peraturan untuk kelancaran pemerintahan, yang bahkan Sultan sendiri tidak
diperkenankan untuk ikut campur. Dengan cara demikian, Banten dapat terselamatkan
dari kehancuran akibat rongrongan dari dalam amupun luar negeri. Mangkubumi dalam
menghadapi bangsa asing tidak berat sebelah atau memihak pihak manapun. Beberapa
kebijakan penting yang diambil :


Penghapusan keharusan bagi pedagang Cina untuk menjual lada kepada pedagang
Belanda



Penetapan pajak ekspor lada dan pajak impor bagi barang barang yang sebelumnya tidak
terkena pajak



Pemberlakuan pajak yang lebih tinggi bagi pedagang dari Belanda. Hal ini dilakukan agar
pedagang dari Belanda tidak berniaga di Banten karena perilaku pedagang Belanda yang
kasar dan mau mencampuri urusan pemerintahan dan dalam negeri Banten.