FOTOGRAFI HUMAN INTEREST TRADISI NYADRAN GUNUNG BALAK KECAMATAN PAKIS KABUPATEN MAGELANG.

(1)

TUGAS AKHIR KARYA SENI (TAKS)

Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Muhammad Faisal Nahdi 09206244011

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI RUPA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS YOGYAKARTA

2015


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Tugas Akhir Karya Seni ini penulis persembahkan kepada:

Ibu Wiwik Sugiarti dan Bapak Arif Hidayat, kalian yang telah mengajariku

tentang kesederhanaan hidup. Tanpa kalian, aku tidak akan pernah sampai di sini..

Amelia Diah Purwati; teman, sahabat, sekaligus istriku, tetap tenang, tetap waspada, perjalanan masih sangat panjang dan mungkin sesekali terjal..


(6)

vi

Jangan melihat siapa yang berbicara, tetapi dengarkanlah apa yang ia bicarakan ~ Darwis Triadi


(7)

vii

rahmat serta hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Karya Seni ini untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar sarjana pendidikan.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Zamzani, M.Pd selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta dan Drs. Mardiyatmo, M.Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan Seni Rupa. Terima kasih penulis sampaikan kepada pembimbing tugas akhir, Bapak Drs. R. Kuncoro Wulan Dewojati, M.Sn. yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan saran serta kritik yang membangun, sehingga Tugas Akhir Karya Seni ini dapat diselesaikan dengan baik. Kepada Drs. Heri Purnomo, M.Pd selaku Penasehat Akademik yang telah memberikan banyak dukungan dan bantuan selama penulis menempuh pendidikan di Jurusan Pendidikan Seni Rupa.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada orang tua kandung, Ibu Wiwik Sugiarti dan Bapak Arif Hidayat yang telah banyak memberikan dukungan baik moril maupun materiil. Tanpa ibu dan bapak penulis tidak akan pernah ada pada titik ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Amelia Diah Purwati atas semangat dan dorongan terus menerus untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Kepada anakku Kinanthi, terima kasih sudah mengubah sesuatu yang besar dalam diri ini untuk menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Kepada teman – teman seperjuangan Tejo, Tya, Dwi, Alpin, Bangkit, Akmal, Bayan, dan


(8)

viii

untuk teman – teman kost B24, kepada warga Pakis, serta semua pihak yang telah terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan memberikan kontribusi untuk perkembangan serta kemajuan Jurusan Pendidikan Seni Rupa. Semoga Allah SWT membalas kebaikan hati dan segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis dalam proses penulisan Tugas Akhir Karya Seni ini. Terima kasih dan selamat membaca.

Yogyakarta, 14 Mei 2015

Penulis,

Muhammad Faisal Nahdi NIM 09206244011


(9)

ix

HALAMAN JUDUL ..………... i

HALAMAN PERSETUJUAN ……… ii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iii

HALAMAN PERNYATAAN ………... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. v

MOTTO ………... vi

KATA PENGANTAR ………. vii

DAFTAR ISI ………... ix

DAFTAR TABEL ………... xii

DAFTAR GAMBAR ……….. xiii

ABSTRAK ……….. xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1

B. Identifikasi Masalah ……….. 4

C. Batasan Masalah ………. 5

D. Fokus Masalah ………... 5

E. Tujuan ……….. 6

F. Manfaat ……… 6

BAB II KAJIAN SUMBER DAN METODE BERKARYA A. Kajian Sumber ………. 8

1. Tinjauan Fotografi ……….. 8

a. Dasar – Dasar Fotografi ………. 8

1) ISO ……… 8

2) Diafragma (Aperture) ………... 8

3) Kecepatan rana (Shutter speed) ……… 9

4) Cahaya (Lighting) ………. 10

b. Teknik Fotografi ……… 15


(10)

x

3. Tinjauan Fotografi Hitam Putih ……… 26

4. Tinjauan Nyadran Gunung Balak di Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang ………... 30

5. Acuan Berkarya atau Karya Inspirasi ……… 34

a. Wilsen Way ……….. 35

b. Darwis Triadi ………... 37

B. Metode Berkarya ………. 39

1. Peralatan dan Media Berkarya .………. 39

a. Kamera ……… 39

b. Komputer ………. 40

c. Kertas ……… 40

2. Teknik Berkarya ………. 40

3. Metode Pengumpulan Data ……… 43

a. Observasi ……….. 43

b. Wawancara ………... 44

c. Studi Pustaka ……… 45

4. Proses Berkarya ………. 46

a. Identifikasi Masalah ……… 46

b. Pengumpulan Data ……….. 47

c. Penentuan Konsep ……… 47

d. Proses Berkarya atau Pengambilan Gambar ……….. 48

e. Review dan Seleksi Hasil ……… 50

f. Proses Editings atau Olah Digital ……….. 51

g. Pencetakan ……….. 53

h. Penyajian ……….. 53

BAB III PEMBAHASAN A. Karya 1 ……… 55


(11)

xi

F. Karya 6 ……… 79

G. Karya 7 ………. 83

H. Karya 8 ……… 88

I. Karya 9 ……… 93

J. Karya 10 ………. 98

BAB IV PENUTUP Kesimpulan ……….. 102

DAFTAR PUSTAKA ……….. 105 LAMPIRAN


(12)

xii

Tabel 1 : Temperatur warna 14

Tabel 2 : Keterangan sistem zona skala nada 29 Tabel 3 : Spesifikasi kamera Nikon D90 39


(13)

xiii

Halaman Gambar 1 : Bukaan diafragma atau aperture 9

Gambar 2 : Shutter speed 10

Gambar 3 : Komposisi rule of thirds dan golden mean 18

Gambar 4 : Komposisi diagonal 19

Gambar 5 : Framing 20

Gambar 6 : Format vertikal dan horizonal 22

Gambar 7 : Sistem zona skala nada 28

Gambar 8 : Karya Wilsen Way “Strong woman” 36 Gambar 9 : Karya Wilsen Way “Senyuman nenek” 37 Gambar 10 : Cerita Dari Utara Andalas 38 Gambar 11 : Cerita Dari Utara Andalas 38

Gambar 12 : Nikon D90 40

Gambar 13 : Tampilan menu Nik Silver Efek Pro 2.0 52 Gambar 14 : Tampilan menu zone system 53 Gambar 15 : Bagan alur proses berkarya 54 Gambar 16 : Kami Berkumpuldan Melingkar 55 Gambar 17 : Keterangan analisis komposisi 58 Gambar 18 : Keterangan analisis zone system 59

Gambar 19 : Nikmatnya Berbagi 60

Gambar 20 : Keterangan analisis komposisi 63 Gambar 21 : Keterangan analisis zone system 64

Gambar 22 : Pemasok Kesegaran 65

Gambar 23 : Keterangan analisis komposisi 68 Gambar 24 : Keterangan analisis zone system 68

Gambar 25 : Sisa Irama Nyadran 69

Gambar 26 : Keterangan analisis komposisi 72 Gambar 27 : Keterangan analisis zone system 73


(14)

xiv

Gambar 31 : Salam Tempel 79

Gambar 32 : Keterangan analisis komposisi 81 Gambar 33 : Keterangan analisis zone system 82

Gambar 34 : Celetuk Sesepuh 83

Gambar 35 : Keterangan analisis komposisi 86 Gambar 36 : Keterangan analisis zone system 87

Gambar 37 : Puncak Kebersamaan 88

Gambar 38 : Keterangan analisis komposisi 91 Gambar 39 : Keterangan analisis zone system 92 Gambar 40 : Pengumpul Makanan 93 Gambar 41 : Keterangan analisis komposisi 96

Gambar 42 : Keterangan analisis zone system 97

Gambar 43 : Kepada Baginda Syekh 98

Gambar 44 : Keterangan analisis komposisi 101


(15)

xv

Muhammad Faisal Nahdi NIM 09206244011

ABSTRAK

Tujuan penciptaan Tugas Akhir Karya Seni ini untuk memvisualisasikan aktivitas, momen unik dan pola interaksi manusia pada tradisi nyadran Gunung Balak, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang ke dalam bentuk karya seni fotografi human interest yang bernuansa hitam putih.

Proses penciptaan karya seni fotografi ini diawali dengan tahap mengidentifikasi masalah, yang dilanjutkan dengan pengumpulan data, penentuan konsep dalam berkarya, proses berkarya, review dan seleksi hasil, editing, pencetakan, dan terakhir penyajian. Teknik pengumpulan data, yang dipakai antara lain observasi, wawancara dan studi pustaka. Penulis menggunakan fotografi human interest untuk menampilkan sisi kemanusiaan, namun tidak hanya menekankan pada keindahan visual tetapi juga aspek ceritanya. Foto hitam putih menggunakan prinsip zone system untuk mengolah kontras, tekstur dan tone

yang tepat, untuk mendapatkan foto yang dramatis, yaitu memperkuat dalam menyampaikan pesan. Kamera yang digunakan penulis dalam penciptaan karya fotografi ini adalah Nikon D90 dan dengan mengandalkan cahaya matahari (available light) sebagai sumber cahaya utama. Pengambilan gambar dilakukan secara candid dengan menggunakan teknik Depth of Field (DOF) dan motion. Di dalam editing, penulis menggunakan aplikasi Adobe Photoshop dengan fitur tambahan Nik Silver Efek Pro 2.0.

Konsep penciptaan karya fotografi human interest ini mengangkat tradisi

nyadran Gunung Balak di Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang. Di dalam tradisi nyadran Gunung Balak terdapat aktivitas agama, budaya dan ekonomi yang mempengaruhi pola interaksi setiap manusianya yang menarik untuk dipotret. Penulis memvisualisasikan tradisi nyadran Gunung Balak, baik dari aktivitas, momen unik dan pola interaksi antar manusianya, maupun manusia dengan lingkungan sekitarnya yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan. Pada Tugas Akhir Karya Seni ini penulis menyajikan sepuluh karya fotografi yang dicetak menggunakan kertas luster berukuran 70x100 cm. Sepuluh judul karya fotografi dalam Tugas Akhir Karya Seni ini yaitu, “Kami Berkumpul dan Melingkar”, “Nikmatnya Berbagi”, “Pemasok Kesegaran”, “Sisa Irama Nyadran”, “Balon dan Daya Tarik Nyadran”, “Salam Tempel”, “Celetuk Sesepuh”, “Puncak Kebersamaan”, Pengumpul Makanan”, dan “Kepada Baginda Syekh”.


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Fotografi kini menjadi bagian penting bagi masyarakat dalam mendokumentasikan sebuah peristiwa. Kesadaran masyarakat akan pentingnya dokumentasi pun juga sangat tinggi, sehingga fotografi menjadi kebutuhan primer sebagai bukti aktualisasi diri seseorang atau kelompok. Hal ini berarti bahwa, fotografi di samping sebagai media perekaman atau dokumentasi juga sebagai media berekspresi atau media pengungkapan ide tertentu bagi fotografernya (Widodo, 2012: 2). Di dalam dunia fotografi terdapat berbagai jenis foto yang dihasilkan. Fotografi human interest adalah yang paling menekankan pada sisi komunikasi yang jujur. Fotografi human interest adalah jenis fotografi yang menampilkann sisi kemanusiaan dari pengalaman personal fotografernya (Way 2014: 3). Hal ini berarti bahwa fotografi ini digunakan untuk meyampaikan pesan emosi yang ada, selain itu human interest tidak hanya menekankan pada aspek keindahan visualnya tapi juga makna atau cerita dibalik objek.

Soelarko (1975: 9) berpendapat tentang pengertian human interest, bahwa:

human interest adalah apabila suatu karya fotografi yang lebih menekankan pada aspek ceritanya dari pada aspek keindahan visualnya, sebuah cerita yang mempunyai makna, menyampaikan sebuah pesan kepada pengamat, sehingga bagi orang yang peka terhadap “amanahnya” akan tersentuh hatinya atau merasa terharu.

Foto juga harus mengandung unsur-unsur artistik yang kuat, disajikan dalam komposisi dan lighting yang baik agar pesan tersebut dapat disampaikan kepada penikmat. Ruang publik merupakan tempat ideal untuk foto human interest,


(17)

kendala terbesar banyaknya manusia ditempat itu sehingga kita bisa mengisolasi foto kita untuk mendapatkan gambar yang semaksimal mungkin. Dari keterangan tersebut penulis tidak hanya melakukan isolasi foto berdasarkan objek namun juga pilihan foto dengan nuansa hitam putih. Penggunaan foto hitam putih di dalam fotografi tentu akan memberikan makna keindahan yang berbeda. Seperti yang dikemukakan Ansel Adams (1981: 47), di dalam zone system tiap nada di alam punya kolerasi dengan sebuah kepekatan dalam foto hitam putih. Pilihan penulis terhadap foto hitam putih didasarkan pada pengaruh dramatisnya yang kuat disamping penggambarannya yang relatif lebih sederhana dan tentunya mempunyai daya tarik yang besar.

Foto-foto bertema kebudayaan seperti prosesi ruwahan, kupatan, rejeb, nyadran menunjukkan salah satu bentuk aktivitas manusia yang dapat dijadikan sebagai objek yang menarik. Saat ini foto-foto yang mengangkat tema kebudayaan di Nusantara sering terjebak pada foto yang menampilkan budaya-budaya yang dianggap eksotis, misalnya hanya sebatas atribut pakaian adat atau tradisional, gerakan tari atau atraksi, memainkan musik tradisional dan melakukan aktivitas ritual saja. Padahal jika mau lebih cermat, karya fotografi ini dapat dipandang sebagai alat komunikasi secara simbolik untuk melihat lebih dalam, menggali makna dan memahaminya. Menurut seorang pakar semiotika bernama Roland Barthes foto merupakan sebuah rangkaian cerita dan dapat memenjarakan batin seseorang (Aditiawan, 2011: 120). Dari keterangan tersebut dapat diartikan bahwa sebuah gambar tidak sekedar menonjolkan sisi artistik dan sebatas baik atau buruk, namun juga memiliki rangkaian cerita yang dapat menyentuh hati seseorang.


(18)

Salah satu acara bertema kebudayaan yang menarik untuk diabadikan adalah tradisi nyadran di Gunung Balak. Nyadran adalah upacara mengirim doa kepada arwah orang mati yang dilakukan setiap tahun, yang memiliki makna mengucap syukur kepada Tuhan karena telah melimpahkan kesuburan dalam usaha pertanian dengan persembahan sesaji kepada Sri-Sadhana (Sunyoto, 2012: 126). Tradisi

nyadran di daerah ini berbeda dengan tradisi nyadran yang terjadi di Magelang pada umumnya, karena tradisi nyadran ini dilakukan di puncak Gunung Balak yang memiliki ketinggian ±800 mdpl. Tidak hanya tradisinya yang unik, tetapi juga aktivitas manusianya yang khas. Berbagai lapisan masyarakat dari sejumlah daerah seperti Semarang, Salatiga, Kendal, Boyolali, Wonosobo, dan Jakarta pun mengikuti tradisi nyadran di Gunung Balak. Di antara mereka ada yang melakukan aktivitas perekonomian, aktivitas budaya dan atau aktivitas religi. Masyarakat sekitar Gunung Balak, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, setiap tahunnya rutin melaksanakan tradisi nyadran. Tradisi ini dilaksanakan setiap tanggal 10 Suro atau 10 Muharram yang juga bertepatan dengan tahun baru Hijriah. Tradisi ini juga menyimpan muatan historis mengenai penumbal tanah Jawa yaitu ulama sakti Syekh Subakir. Syekh Subakir dikenal sebagai seorang wali keramat dari Persia yang dipercaya telah menanam tumbal di sejumlah tempat di Pulau Jawa agar kelak pulau tersebut dapat dihuni umat Islam. Istilah memasang tumbal dalam kisah Syekh Subakir berkaitan dengan usaha rohani menyucikan suatu tempat dengan cara menanam tanah di tempat yang dianggap angker, salah satunya adalah Gunung Balak.


(19)

Rangkaian acara tradisi nyadran di Gunung Balak tersebut sangat menarik untuk diabadikan dalam sebuah karya fotografi human interest. Pada dasarnya fotografi merupakan karya visual yang sederhana dan tidak banyak membutuhkan waktu lama untuk dilakukan, tanpa harus menghilangkan keaslian dari objek. Tradisi nyadran Gunung Balak ini merupakan bentuk keharmonisan antara budaya, agama dan ekonomi. Pertemuan ketiga unsur ini menjembatani hadirnya kekhasan dari sebuah acara tradisi nyadran. Kekhasan itu sendiri misalnya dari sifat pertemuan antar manusianya dan keragaman masyarakat dalam memaknai tradisi nyadran. Keragaman, keserasian dan kerukunan masyarakat dalam kehidupan sosial ini merupakan rangkaian emosi yang menarik di setiap adegan-adegannya. Di dalamnya terkandung nilai–nilai kemanusiaan yang menimbulkan kesadaran–kesadaran sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial.

Oleh karena itu, foto bertema tradisi nyadran dengan pendekatan fotografi

human interest yang bernuansa hitam putih digunakan penulis untuk berekspresi melalui karya fotografi dengan mengangkat tradisi nyadran Gunung Balak Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.


(20)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah yang terkait, antara lain:

1. Jenis fotografi apa yang tepat untuk memvisualisasikan tradisi nyadran

Gunung Balak?

2. Bagaimana antusiasme dan apresiasi masyarakat terhadap tradisi nyadran

Gunung Balak?

3. Bagaimana pola interaksi masyarakat saat tradisi nyadran Gunung Balak Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang?

4. Apa media yang paling tepat untuk penciptaan karya fotografi human interest

tradisi nyadran Gunung Balak?

5. Pendekatan fotografi apa yang tepat untuk memvisualisasikan tradisi nyadran

Gunung Balak?

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang ditemukan, maka penulis membatasi masalah pada pola interaksi masyarakat, baik antar individu maupun individu dengan lingkungannya saat pelaksanaan tradisi nyadran Gunung Balak Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang yang berbalut agama, budaya dan ekonomi. Permasalahan ini kemudian diwujudkan melalui pendekatan fotografi


(21)

D. Fokus Masalah

Masalah yang berhasil penulis rumuskan berkaitan dengan penciptaan karya fotografi human interest hitam putih ini adalah:

1. Aktivitas tradisi nyadran Gunung Balak apa saja yang termasuk human interest?

2. Bagaimana mengatur teknik pemotretan untuk tradisi nyadran Gunung Balak?

3. Bagaimana hasil visualisasi pada tradisi nyadran Gunung Balak?

E. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penciptaan karya fotografi human interest hitam putih ini adalah:

1. Memvisualisasikan aktivitas pada tradisi nyadran Gunung Balak yang termasuk human interest.

2. Mendeskripsikan pengaturan teknik pemotretan untuk tradisi nyadran Gunung Balak.


(22)

F. Manfaat

Adapun manfaat penciptaan karya fotografi human interest ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai media mengekspresikan pengalaman estetik tentang pelaksanaan tradisi nyadran Gunung Balak yang dapat memberikan kepuasan batin serta menambah pengalaman dalam berkarya seni khususnya karya seni fotografi.

b. Sebagai media publikasi dan promosi budaya tradisi nyadran Gunung Balak, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.

c. Sebagai sumbangan pengetahuan fotografi bagi mahasiswa Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.

d. Sebagai kontribusi karya fotografi human interest yang bertema kebudayaan.

2. Manfaat Praktis

Bagi penulis, penciptaan karya ini dapat menambah pengetahuan dan meningkatkan kemampuan dalam hal teknis memotret untuk dikembangkan di masa depan.


(23)

8

1. Tinjauan Fotografi a. Dasar-Dasar Fotografi

Prinsip dasar fotografi perlu dipahami dengan baik untuk dapat menghasilkan karya fotografi yang dapat menggambarkan suatu objek. Cahaya adalah elemen utama dalam foto (sinar) – grafi (tulis), sedangkan elemen fotografi untuk mengatur cahaya disebut eksposur. Eksposur merupakan kombinasi dari tiga komponen, antara lain:

1) ISO

ISO (International Standard Organization) menunjukkan tingkat sensitivitas cahaya yang dimiliki sensor kamera. ISO yang rendah lebih tidak sensitif terhadap cahaya, yang artinya membutuhkan waktu eksposur yang lebih lama. Sebaliknya, ISO yang tinggi lebih sensitif terhadap cahaya dan pada dasarnya membutuhkan waktu eksposur yang lebih sedikit. Pada pemotretan nyadran ini penulis menggunakan pengaturan manual pada ISO 500 untuk menghindari penurunan drastis kecepatan rana (Hoddinott, 2008: 14).

2) Diafragma (Aperture)

Diafragma adalah ukuran dari besarnya bukaan lensa yang dapat diubah-ubah, yang mempengaruhi banyaknya cahaya yang masuk mengenai sensor. Dengan mengubah bukaan lensa, fotografer dapat mengatur banyaknya cahaya yang


(24)

mengenai sensor. Diafragma atau aperture diukur menggunakan f-stop (Hoddinott, 2008: 14-15).

Kesuksesan dalam menampilkan visual objek yang mampu berbicara tergantung pada isolasi objek. Isolasi bisa dengan memilah-milah objek sebelum rana ditekan, atau metode lainnya menggunakan diafragma bukaan kecil. Menurut Deniek G. Sukarya (2009: 22), memberikan ruang tajam yang sangat tipis dengan demikian mampu mengisolasi objek utama foto hingga tampil mendominasi dengan latar belakang dan depan yang lembut. Di dalam memotret prosesi nyadran Gunung Balak, diafragma yang digunakan menyesuaikan dengan karakter cahaya dan subjek manusia yang akan difoto.

Gambar 1: Bukaan diafragma atau aperture

Sumber: http://www.designyourway.net/blog/resources/learn-tips-and-tricks-from-the-best-photography-cheat-sheets/

3) Kecepatan rana (Shutter Speed)

Shutter speed adalah lamanya shutter kamera dalam keadaan terbuka. Hal ini menentukan jumlah cahaya yang masuk dalam kamera dan mengenai sensor.

Shutter speed dapat berdurasi mulai dari 1/8000 detik sampai 30 detik, tergantung dari seberapa terang cahaya yang ada dan juga efek yang diinginkan fotografer.

Shutter speed sangat mempengaruhi bagaimana subjek yang bergerak tertangkap di kamera. Shutter speed yang cepat akan seolah membekukan gerakan, sementara shutter speed yang lamabat akan membuat objek terlihat kabur (jika


(25)

objeknya bergerak) dan membuat kesan benda sedang bergerak (Hoddinott, 2008: 14).

Gambar 2: Shutter speed

Sumber: http://www.designyourway.net/blog/resources/learn-tips-and-tricks-from-the-best-photography-cheat-sheets/

4) Cahaya (Lighting)

Pada karya fotografi, untuk mendapatkan gambar yang diinginkan dipengaruhi oleh ketepatan dan kecermatan dalam pengambilan gambar, yang dikombinasikan dalam tiga pengaturan yang disebut dengan exposure, yaitu ISO, diafragma (aperture), dan kecepatan rana (shutter speed). Menurut Ross Hoddinott (2008: 8), eksposur adalah kombinasi dari lamanya waktu dan cahaya yang diterima oleh material sensitif cahaya.

Cahaya dalam fotografi adalah unsur yang paling penting dan utama untuk menciptakan sebuah gambar, karena fotografi adalah melukis dengan cahaya. Prinsip cahaya dalam fotografi dibagi menjadi dua, yaitu available light dan

artificial light. Available light adalah memanfaatkan cahaya yang sudah tersedia secara alami seperti matahari. Sumber cahaya jenis ini memberikan suasana alami yang baik, namun tingkat kecerahan dan arah cahaya tidak dapat diatur, sedangkan artificial light adalah sumber cahaya yang disediakan secara langsung oleh fotografer untuk tujuan pemotretan, seperti lampu flash internal, eksternal, dan flash studio.


(26)

Terlepas dari itu, pencahayaan pada pemotretan tradisi nyadran ini mengandalkan cahaya matahari sebagai sumber cahaya utama. Dari dua prinsip pencahayaan tersebut masing-masing memiliki karakter yang berbeda. Karakter cahaya menurut Michael Langford (1982: 18-19) adalah hard light dan soft light.

Hard light atau cahaya keras, adalah cahaya yang cenderung mempunyai intensitas tinggi yang menyulitkan kamera untuk mengukur eksposur yang tepat serta berpotensi membuat pantulan pada objek yang difoto. Jenis cahaya ini membantu menampilkan kontras pada warna – warna yang cerah. Karakter cahaya yang kedua yaitu soft light atau cahaya lembut adalah cahaya yang bisa didapatkan dalam bayangan atau saat cuaca mendung, dan memiliki karakter yang suram atau berkontras rendah.

Karakter cahaya hard light dan soft light ini dihasilkan dari beberapa jenis pencahayaan, antara lain:

a) Direct Light

Direct light adalah sebuah metode dalam menerapkan jatuhnya sumber cahaya secara langsung yang di arahkan ke permukaan objek tanpa adanya perantara. Arah datangnya cahaya yang menerangi objek akan memberi efek kontras yang sangat kuat dan menimbulkan kesan estetik yang berbeda pada hasil akhir setiap foto. Berdasarkan arah penyinarannya, pencahayaan dapat dikelompokkan menjadi empat macam, antara lain:

1) Cahaya dari depan (Front light)

Sesuai dengan namanya, arah datangnya sinar lurus dari depan objek. Tipe cahaya ini menyinari bagian depan objek secara merata dan menghilangkan


(27)

bayangan yang tampak. Tipe pencahayaan ini menghasilkan cahaya yang bersifatnya membuat kesan datar pada objek atau kurang memberikan kontras dan penampakan tekstur (Hoddinott, 2008: 104).

2) Cahaya dari atas (Top light)

Cahaya dari atas adalah tipe cahaya yang dapat ditemui pada tengah hari, saat sumber cahaya tepat berada di atas objek, memberikan penerangan merata seluruh bidang. Cahaya dari atas dapat menimbulkan area dimana tingkat kontras tinggi dengan bayangan tertentu yang justru akan membuat objek tampil lebih estetis. (Hoddinott, 2008: 104).

3) Cahaya dari samping (Side light)

Cahaya dari samping adalah salah satu bentuk pencahayaan yang cocok dan banyak digunakan, Sinar yang arahnya dari samping ini bisa menghasilkan bayangan dan bisa membuat area terang gelap yang karena mampu membantu menambah kedalaman pada objek dan mengoptimalkan foto yang artistik. Cahaya dari samping dapat menonjolkan bentuk, memperkuat penampakan tekstur dan mempertegas garis, meskipun seberapa banyaknya tergantung dari objek itu sendiri dan sudut pengambilan dan intensitas sumber cahaya (Hoddinott, 2008: 104).

4) Cahaya dari belakang (Back light)

Memotret dengan cahaya dari belakang berarti memotret dengan mengarahkan lensa menghadap sumber cahaya. Cahaya dari belakang adalah salah satu bentuk pencahayaan yang paling dramatis, namun juga yang paling sulit


(28)

untuk diukur cahayanya. Dua bentuk pemotretan dengan memanfaatkan tipe cahaya ini adalah rim lighting dan silhouetting.

Rim lighting adalah dimana masih ada detail yang tergambar pada bagian muka samping objek dan lingkaran keemasan mengitarinya, sedangkan

silhouetting digunakan untuk menyederhanakan bentuk. Silhouetting akan digunakan fotografer ketika mendapati situasi yang kurang baik, misal cahaya yang terlalu padat dan terlalu kontras.

Hal yang perlu diperhatikan dari penggunaan silhouetting ini adalah adanya

flare, yaitu cahaya yang tidak diinginkan yang masuk ke lensa. Flare dapat menambah nilai estetis apabila bukaan diafragma di atas f11. Di satu sisi flare

juga dapat merusak apabila tidak tepat dalam penggunaan diafragma yaitu saat bukaan diafragma dibawah f8, flare yang dihasilkan berupa spot yang justru mengganggu keindahan. Jadi jika perlu memasang lens hood (tudung lensa) atau sedikit mengubah posisi dalam memotret dapat menjadi solusi yang tepat (Hoddinott, 2008: 105).

b) Reflected Light

Reflected light adalah sebuah metode dalam menerapkan jatuhnya sumber cahaya secara tidak langsung tetapi dengan mengarahkan ke bidang lain, sehingga cahaya yang jatuh ke permukaan subjek adalah cahaya pantulan dari direct light. Pada pemotretan tradisi nyadran ini, ada beberapa sudut tempat dimana jenis cahaya ini tampil mengenai subjek.


(29)

c) Difussed Light

Cahaya baur terjadi ketika sinar matahari tertutup awan, berkabut atau karena debu, dengan kata lain percampuran cahaya matahari dengan elemen alam lainnnya menghasilkan cahaya matahari lembut dan tidak terlalu keras. Kondisi cahaya dimana tempat berlangsungnya nyadran sebagian memiliki karakter cahaya diffused light yang diakibatkan terhalangnya cahaya matahari oleh ranting-ranting pohon(Langford, 1982: 19).

Setiap dan semua sumber cahaya memiliki tiga tingkat warna dasar, yaitu merah, hijau dan biru (RGB –red, green, blue) yang berbeda. Temperatur warna cahaya memiliki efek penting untuk fotografi yang dapat mempengaruhi tampilan dan rasa dari hasil akhirnya. Sumber cahaya, warna cahaya dibagi menjadi beberapa kelompok. Berikut ini adalah tabel panduan bagaimana temperature warna berubah bergantung dari jenis sumber cahayanya (Hoddinott, 2008: 110).

Tabel 1: Temperatur warna

Temperature Sumber cahaya

1800 – 2000k Nyala lilin

2500k Lampu senter

2800k Lampu tungsten rumah 3000k Matahari terbit atau terbenam

3400k Lampu tungsten

3500k Subuh atau petang

5200 – 5500k Tengah hari atau cahaya matahari langsung 5500k Flash elektronik

6000 – 6500k Langit berawan 7000 – 8000k Bayangan


(30)

Berdasarkan temperatur warna tersebut di atas, warna dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu Tungsten 3600˚K, warna yang ditimbulkan cenderung kekuningan (YELLOWISH), Flourencent 4200˚K, warna yang ditimbulkan cenderung kehijauan (GREENISH), Daylight 5600˚K warna yang ditimbulkan cenderung kebiruan (BLUISH).

Kemampuan seorang fotografer dalam mengatur dan menyeimbangkan pencahayaan melalui White Balance (WB) akan menentukan kualitas gambar dan

mood yang dihasilkan. b. Teknik fotografi

Menurut Rangga Aditiawan (2010: 65), teknik-teknik itu dapat memperindah hasil dan menambah kesan artistik dalam foto yang dibuat. Ketepatan variasi dan kombinasi teknik dalam membuat sebuah foto dapat menjadikan foto itu enak dilihat. Di dalam fotografi, ada puluhan teknik yang bisa dipakai fotografer untuk mempercantik gambarnya, namun ada beberapa teknik dasar yang bisa dikembangkan menjadi teknik yang rumit. Teknik dasar tersebut adalah sebagai berikut.

1) Depth of Field (DOF)

Depth of Field (DOF) adalah teknik memainkan ketajaman objek. Pada kamera, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi sempit atau luasnya depth of field, yaitu apertur, jarak pengambilan objek dan focal length yang terdapat pada lensa. Diafragma atau f/number yang semakin kecil akan mempersulit depth of field, begitu juga sebaliknya. Jarak pemotretan yang semakin dekat dengan objek akan menjadikan objek utama tampak lebih tajam, sehingga sekelilingnya yang


(31)

berada di luar fokus akan tampak blur. Panjang focal length dapat mempengaruhi ketajaman ruang gambar karena panjang focal length bertalian dengan F-stop. DOF merupakan salah satu teknik pemotretan yang digunakan oleh penulis untuk memperjelas objek utama.

2) Motion atau Stop Action

Teknik seperti ini digunakan pada objek yang bergerak cepat untuk memberikan kesan pembekuan yang lebih kental. Gerakan seperti melompat, berlari, meninju, dan menendang adalah yang lazim untuk dibekukan. Cara mendapatkan foto dengan teknik motion adalah fokus pada shutter speed. Shutter speed harus dipasang pada tingkat yang tinggi. Pada pembuatan karya fotografi ini, penulis juga menggunakan teknik motion. Teknik ini sangat tepat digunakan untuk menangkap objek yang bergerak, sehingga gerakan objek dapat terhenti dan terekam di kamera. Foto yang dihasilkan dari teknik ini adalah focus terhadap detail dan ketajaman objek. Teknik ini sangat membantu penulis dalam merekam

moment, karena setiap moment berlangsung cepat dan tidak terprediksi dimana letak puncak dari moment tersebut. Shutter speed digolongkan menjadi empat jenis, antara lain low speed kecepatan berada pada 1 – 1/8, slow speed 1/16 – 1/30, normal 1/60 – 1/250 dan high speed 1/500 – 1/2000.

3) Komposisi

Komposisi adalah sebuah proses pengabungan beberapa elemen menjadi satu kesatuan yang utuh, dalam fotografi komposisi sangatlah penting. Tujuan menyusun komposisi adalah untuk mengorganisasikan berbagai komponen foto yang saling berlainan menjadi sedemikian rupa, sehingga gambar tersebut menjadi


(32)

suatu kesatuan yang saling mengisi, serta mendukung satu sama lainnya. Disamping menambah nilai – nilai artistik dan estetika, pengaturan komposisi mampu menonjolkan objek utama foto. Di dalam sebuah komposisi fotografi selalu ada bagian objek yang ditonjolkan agar menjadi pusat perhatian, inilah yang disebut dengan point of interest (PoI), yang membuat pengamat foto langsung melihat pada objek utama. Pada pembuatan karya fotografi ini, sebagian besar yang dijadikan point of interest oleh penulis adalah interaksi dan perilaku subjek manusianya itu sendiri.

Komposisi sangat berkaitan dengan estetika dan bersifat mengikat, karena dalam fotografi terdapat format, dengan pengertian bahwa suatu komposisi yang baik dan pas pada format tertentu belum tentu cocok atau sesuai dengan format yang lain. Secara sederhana bisa dikatakan, bahwa komposisi adalah seni untuk menciptakan harmoni pembagian bidang dengan memanfaatkan berbagai elemen visual yang tersedia: garis, bentuk, cahaya dan bayangan, warna, dan teksur (Sukarya, 2009: 31). Berikut ini beberapa macam aturan dasar komposisi yang dapat diterapkan untuk menciptakan komposisi yang efektif:

a) Rule of thirds atau komposisi sepertiga bidang

Rule of thirds didapat dengan membagi bidang foto dalam tiga bagian vertikal dan tiga bagian horisontal. Garis – garis pembagi biasanya diisi garis cakrawala untuk foto – foto landscape. Pada pembuatan karya fotografi human interest ini, penulis lebih menggunakan imajinasinya dalam menempatkan objek yang ingin dipotret, tanpa meninggalkan aturan rule of thirds untuk mendapatkan gambar yang harmonis serta enak dipandang. Komposisi seperti halnya moment dan


(33)

ekspresi, tidak dapat dibuat auto pada kamera dan tidak dapat diperbaiki melalui

photoshop jika tidak sesuai.

Rule of thirds merupakan penyederhanaan dari golden ratio (rasio emas). Dari sisi historis, kaidah golden ratio banyak dipergunakan oleh seniman dan arsitek dari Abad Renaisans untuk acuan proporsi lukisan, bangunan, relief dan juga patung. Kaidah ini juga masih sangat relevan untuk diterapkan pada fotografi (Dharsito, 2015: 31).

Gambar 3: Komposisi rule of thirds dan golden mean

Sumber: http://rebel-dezigns.com/community/index.php?threads/11691/

b) Komposisi diagonal

Komposisi diagonal adalah kesan garis yang memotong dari sudut ke sudut persegi panjang, Komposisi diagonal biasanya digunakan untuk menciptakan kesan dinamis atau memunculkan dinamika sebagai estetika gambar. Subjek manusia memiliki kesan arah tegak yang sering memberikan kesan kaku, sehingga untuk mendapatkan kesan dinamis pada pemotretan ini penulis memiringkan kamera, menempatkan subjek utama pada titik potong.


(34)

Gambar 4: Komposisi diagonal

Sumber: http://djerugangsiji.blogspot.com/2012/04/10-kaidah-dalam-komposisi-foto.html

c) Komposisi Ruang Kosong dan Arah Pandang

Menurut pendapat Dharsito (2015: 35), bahwa sebuah foto tidak harus penuh berisi PoI dan elemen pelengkap, seringkali dibutuhkan adanya area tidak berisi objek atau ruang kosong. Ruang kosong pada foto bisa digunakan untuk menggambarkan arah pandang atau gerakan, sedangkan arah pandang bisa juga didapatkan dengan memberikan ruang luas didepan atau dibelakang objek.. Penerapan dari komposisi ini menciptakan arah dan kesan yang berbeda-beda, karena interpretasi kesan juga sangat tergantung pada selera dan pengalaman penikmat foto.

Disamping elemen – elemen visual dan macam komposisi, di dalam fotografi juga terdapat pendukung komposisi untuk membuat sebuah karya fotografi tampil menarik dan memberi nilai tambah, antara lain:


(35)

a) Framing

Framing dalam fotografi adalah memberikan elemen–elemen tertentu diantara objek utama sehingga membuat kesan objek utama tersebut berada dalam sebuah bingkai atau frame. Frame tersebut dapat berbentuk apa saja, dedaunan, bidang gelap, jendela rumah, dan lain–lain yang tidak terbatas jumlahnya. Pada beberapa karyanya, penulis menciptakan framing dengan pepohon, rerumputan, barang yang dibawa oleh subjek, dan segala sesuatu yang berada di dekat subjek yang menarik untuk dijadikan sebagai frame. Efek dari penerapan framing adalah mengarahkan perhatian pemirsa menuju point of interest, menambah kreasi untuk membentuk subjek tampil lebih menarik dan menambah keindahan pada bentuk.

Gambar 5: Framing


(36)

b) Sudut Pandang

1) Sudut Pandang Normal

Sudut pandang normal atau terkadang disebut eye level adalah sudut pengambilan gambar dimana objek dan kamera sejajar atau setinggi mata memandang. Efek penggunaan eye level adalah foto yang lebih akrab, ekspresi yang lebih natural, dan lebih mengena dalam memberikan sudut pandang dari objek.

2) Low angle

Low angle disebut juga frog eye viewing, pandangan sebatas mata katak. Pada posisi ini kamera berada di bawah atau lebih rendah, hampir sejajar dengan tanah dan tidak diarahkan ke atas, tetapi mendatar dan dilakukan sambil tiarap sehingga objek terkesan membesar, kuat, tinggi, dan megah.

3) High angle

High angle disebut juga pandangan burung (bird eye viewing), pemotretan ini dengan menempatkan objek foto lebih rendah daripada kamera, efek yang tampak objek terlihat rendah, pendek dan kecil. Untuk memotret subjek manusia pada tradisi nyadran ini, sebisa mungkin menciptakan kesan yang lebih akrab dan nyaman dipandang dengan pemotretan dari ketinggian mata objek.

c) Format gambar

Format gambar digunakan untuk menciptakan daya tarik objek dan bagaimana menampilkan objek dengan baik bersama suasana di sekitarnya. Ada dua jenis format gambar dalam fotografi, yaitu vertikal dan horizontal. Format vertikal biasanya digunakan untuk menimbulkan kesan tinggi, kuat, kokoh, agung


(37)

dan angkuh, sedangkan format horizontal digunakan untuk menimbulkan kesan tenang, santai, luas, damai dan kalem.

Gambar 6: Format vertikal dan horizontal

Sumber: http://www.andisucirta.com/blog_detail.php?id=107

d) Dimensi

Di dalam fotografi, dimensi dapat mengangkat rasa, dapat memberikan kesan ruang dan mengangkat suasana aslinya, sehingga menghadirkan kesan hidup. Hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan dimensi antara lain, menggunakan garis arah, mengatur pembagian ruang, perbandingan ukuran, mengendalikan kedalaman ruang, susunan warna dan susunan kecerahan. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mendukung terjadinya dimensi ruang, antara lain permainan perspektif, permainan lensa, permainan gelap terang (tone), permainan cahaya, dan permainan foreground dan background

e) Balance

Balance berkaitan dengan keseimbangan objek foto yang akan dibidik. Di dalam fotografi balance berarti mengisi frame dengan memaksimalkan komposisi


(38)

dengan meletakkan objek atau elemen pelengkap pada sisi berlawanan untuk memberikan kesan keseimbangan pada foto. Elemen itu bisa berupa gambar, gelap terang atau pun kontras.

f) Foreground

Foreground adalah bagian utama yang ada di sebuah foto yang berada paling depan atau luar pada komposisi foto. Pemotretan ini menempatkan objek lain di depan objek utama dengan tujuan sebagai pembanding dan memperindah objek utama. Objek yang berada di depan objek utama ini dapat dibuat tajam (focus) maupun tidak tajam (blurring).

g) Background

Background adalah latar yang berada paling belakang dalam komposisi foto. Berkebalikan dengan foreground, background menempatkan objek lain di belakang objek utama dengan tujuan sebagai pembanding dan memperindah objek utama.

h) Middleground

Middleground adalah space yang berada diantara foreground dan background. Pada beberapa kondisi tertentu, middleground digunakan sebagai tempat untuk meletakkan posisi objek utama. Objek pada posisi ini harus dalam kondisi fokus, sementara foreground dan background adalah softly blurred.

Di dalam fotografi, kemampuan menempatkan diri atau mencari angle wajib dikuasai seorang fotografer untuk mendapatkan moment yang diinginkan. Sudut pemotretan yang tepat akan memunculkan beberapa aspek pendukung keindahan dan keberhasilan (Sugiarto, 2014: 27).


(39)

2. Tinjauan Fotografi Human Interest

Terdapat beberapa jenis fotografi human interest, seperti sport, war, people, jurnalistik. Pada awalnya, fotografi human interest dianggap foto jurnalistik. Jurnalistik bisa masuk dalam kategori human interest, akan tetapi human interest

sendiri belum tentu jurnalistik karena pada kategori jurnalistik harus memenuhi syarat yang lebih kompleks (Sugiarto, 2003: 85). Jika ditinjau dari asal usul kata, arti human interest adalah human berarti manusia, bersifat manusia, demikian menurut John Echols dalam Kamus Inggris – Indonesia (1984: 306). Sedangkan

interest berarti perhatian, minat, kepentingan, berminat pada, menarik perhatian. Pengertian human interest dalam lingkup fotografi menurut Soelarko (1975: 9) adalah, apabila suatu karya fotografi yang lebih menekankan pada aspek ceritanya daripada aspek keindahan visualnya. Hal ini dapat diartikan bahwa, nilai foto

human interest lebih ditekankan pada aspek yang berada dibalik apa yang tidak tampak atau tersirat daripada aspek yang tampak. Jadi, foto human interest tidak hanya dilihat dan dinilai dari aspek visualnya, tetapi juga dari aspek emosionalnya. Foto human interest yang baik adalah yang berhasil menampilkan emosi subjek. Berdasarkan pengertiannya, maka foto human interest bertujuan untuk menggambarkan adegan-adegan kehidupan manusia di dalam aktivitas kehidupan sehari–hari.

Menurut Soelarko (1975: 9), foto–foto yang menyajikan kehidupan manusia sehari–hari atau yang dapat menimbulkan asosiasi dengan kehidupan manusia dapat dimasukkan ke dalam kategori foto human interest. Wilsen Way (2014: 3) juga mengungkapkan bahwa fotografi human interest adalah jenis fotografi yang


(40)

menampilkann sisi kemanusiaan dari pengalaman personal fotografernya. Fotografi ini menyampaikan pesan emosi yang ada, berkaitan dengan interaksi manusia dengan lingkungan sekitarnya, bisa benda, alam, binatang ataupun manusia. Dari teori Soelarko dan Wilsen Way tersebut dapat disimpulkan bahwa,

human interest adalah foto tentang kehidupan manusia yang menarik, tidak hanya menekankan pada aspek keindahan visualnya tapi juga makna atau cerita dari sisi pengalaman fotografer.

Soelarko (1981) menuliskan tiga kriteria fotografi human interest sebagai berikut:

a. Kemampuan Foto untuk Menyentuh Perasaan Khalayak Umum

Seorang fotografer harus berupaya bagaimana menampilkan sisi kemanusiaan atau emosi yang menggugah perasaan yang melihatnya, baik itu dalam kehidupan sehari–hari maupun saat momen–momen tertentu. Tidak hanya aspek visual saja yang menjadi perhatian penulis dalam menciptakan karya foto human interest ini, akan tetapi juga aspek emosional. Pilihan nuansa hitam-putih membuat penulis lebih tertantang dalam menampilkan karyanya untuk menciptakan kesan dramatis, dimana dengan warna yang terbatas yaitu hitam putih, penulis harus bisa menyuguhkan foto human interest yang bisa menyentuh sisi emosi para penikmat karyanya.

b. Kealamian atau Keaslian Foto

Foto human interest yang bagus adalah yang diambil secara alami, asli tanpa dibuat–buat. Sifat alami tersebut akan semakin memberi kekuatan pada foto. Untuk mendapatkan hasil foto yang alami di setiap adegannya, penulis melakukan


(41)

pemotretan dengan cara candid. Penulis melakukan pemotretan secara diam–diam dan diambil dari jarak tertentu supaya subjek tidak mengetahui sedang dipotret, sehingga subjek yang dipotret pun tidak sengaja berpose dan tidak merasa terganggu. Penulis pun juga tetap melakukan pendekatan sosial dengan masyarakat setempat sebelum mengambil gambar. Foto yang didapatkan pun terlihat alami, apa adanya dan tidak ada kesan dibuat–buat dengan menggunakan teknik candid.

c. Hitam Putih yang Dramatis

Fotografi human interest berhubungan dengan sisi kemanusiaan dan bertujuan menyentuh perasaan orang lain, maka warna foto yang ada dibuat sederhana, soft dan cenderung sedikit warna (hitam putih, kekuningan atau kecoklatan). Guna mendorong keberhasilan dalam menciptakan foto human interest, penulis memilih nuansa hitam putih untuk karyanya, karena kompleksitas warna terkadang dapat membiaskan makna dari foto tersebut. Warna hitam putih yang sederhana akan lebih membantu penulis dalam menciptakan karya foto yang emosional dan dramatis.

Pada karya fotografi human interest yang bertema kebudayaan dengan topik tradisi masyarakat ini, penulis menggambarkan kegiatan masyarakat pada tradisi

nyadran Gunung Balak, baik dilihat dari prosesinya, interaksi manusia dengan manusia, maupun manusia dengan lingkungan sekitarnya.

3. Tinjauan Fotografi Hitam Putih

Di era fotografi digital seperti saat ini, foto hitam putih masih sangat mengesankan bagi sebagian fotografer di Indonesia. Masih banyak fotografer


(42)

yang memilih mengabadikan karyanya dalam nuansa hitam putih seperti Darwis Triadi. Daya tarik klasikal foto hitam putih hingga kini masih mampu membius penikmat fotografi. Salah satu yang membedakan dengan foto warna yaitu, foto hitam putih menyajikan kesederhanaan, dalam arti bahwa hitam putih bebas dari kompleksitas atau kebisingan warna serta mampu berdiri sendiri dalam menyuguhkan keindahan dalam bentuk, garis, kontras dan tekstur yang akan menjadi lebih menonjol dalam hitam putih. Foto hitam putih dalam kesederhanaannya selalu tampak lebih serius dan dramatis, bahkan ada yang mengatakan bahwa foto terkadang lebih bijaksana ketika dibalut ke dalam hitam putih. Hitam putih terasa lebih ringan untuk diamati, tetapi memiliki kedalaman makna, misalnya dalam foto portraiture, dengan hitam-putih dapat membantu seseorang untuk memusatkan perhatiannya pada ekspresi wajah dalam sebuah foto. Adanya gradasi gelap terang menjadikan pola dan tekstur yang ditampilkan menjadi lebih ekspresif dan menarik.

Ansel Adam (1981: 47) seorang ahli fotografi hitam putih mengemukakan bahwa alam memiliki skala nada masing-masing, sehingga karya fotonya sarat dengan hitam sampai putih beserta gradasi yang lengkap. Ansel Adam berpendapat, bahwa untuk menuju hitam masih ada abu-abu dan juga sebaliknya dengan putih. Berbeda dengan gambar berwarna yang mengandalkan kontrasnya warna untuk memberikan kesan tertentu, gambar hitam putih mengandalkan kontras tonal (gelap terang), meskipun banyak warna yang terlihat sama satu dengan yang lainnya saat dipotret dalam foto hitam putih. Dengan demikian, banyak fotografer hitam putih melakukan olah digital atau kamar gelap untuk


(43)

memberikan sentuhan optimal dalam memisahkan warna tertentu sebagai tone

yang lebih gelap atau lebih terang, agar warna yang serupa tampak terpisah. Ansel Adam membagi skala nada dalam bentuk sistem zona (zone system). Pada skala nada (tones) atau gradasi foto dalam sistem zona ini dibagi menjadi 10 tingkatan zone, yaitu dari zone 0-zone 9. Zone system adalah pengukuran pencahayaan dalam fotografi dalam nilai gelap terang dengan ukuran stop, dimana ukuran satu stop sama dengan kelipatan dua dari ukuran sesudahnya atau sebelumnya. Zone nol (0) adalah hitam total maksimal yang bisa dicapai kertas foto, sedangkan zone 9 adalah putih total pada kertas foto yang belum pernah tersinari sama sekali. Zone 0-3 biasa disebut zone bayangan, zone 4-6 adalah zone

menengah yang biasanya menjadi “terjemahan” warna merah, biru atau hijau, sedangkan zone 7-9 adalah zone highlight atau zone terang untuk pantulan warna atau tekstur yang sangat tipis (Adams, 1981:49). Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah pembagian masing-masing zone:

Gambar 7: Sistem zona skala nada Sumber:


(44)

Penerapan zone system ini adalah sistem yang memungkinkan dan harus membebaskan, bukan membatasi fotografer untuk menjadi kreatif. Kreativitas terletak dalam penerapan sistem zona untuk mencapai gambar yang divisualisasikan, dengan hampir tidak ada keterbatasan pada visualisasi itu sendiri. Berikut ini adalah keterangan dari sistem zona skala nada.

Dark Zone

Zone 0 Hitam pekat tanpa tekstur.

Zone I Hitam pekat yang terdapat pada foto yang kita miliki. Zone II Hitam dengan tekstur tipis mulai terlihat.

Texture Zone

Zone III Zone hitam dengan tekstur yang tersajikan dengan baik, misalnya rambut yang hitam, kain warna gelap, dan lain- lain.

Zone IV Abu-abu gelap dengan tekstur yang baik sekali, misalnya warna kulit orang Ambon dan Papua.

Zone V Abu-abu netral (grey card 18%) merupakan patokan light meter

kamera dalam pengukuran cahaya (guide exposure).

Zone VI Abu-abu gelap dengan tekstur yang baik sekali.

Zone VII Abu-abu muda dengan tekstur penuh dan merupakan nada terakhir dari abu-abu sebelum masuk dalam nada putih. Misalnya, highlight

atau bagian yang paling terang dari kain warna muda. Light Zone

Zone VIII Putih dengan tekstur seperti kertas putih, cat putih atau salju. Zone IX Putih, tanpa tekstur.

Zone X Putih bersih dan merupakan putih yang terakhir dari skala nada.


(45)

Urutan dari setiap tingkat nada ketingkat nada yang lain dibedakan dengan perbedaan pencahayaan 1 stop, baik perbedaan dengan f-stop (diafragma) maupun dengan kecepatan rana (shutter speed) pada kamera.

Zone system dapat diimplementasikan tidak hanya pada kamera manual tetapi juga pada kamera digital. Pada kamera digital kita melakukan exposed for highlight dan develop for shadow. Apabila sebuah gambar sudah kehilangan detail karena over exposed, maka tidak mungkin membuatnya pas, untuk itu lebih baik mendapatkan highlight yang tepat dan mengolah shadow.

4. Tinjauan Nyadran Gunung Balak di Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang

Pulau Jawa merupakan salah satu pulau dalam rangkaian kepulauan di Indonesia. Secara antropologi budaya, yang disebut suku Bangsa Jawa adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan Bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya. Wilayah kediaman suku Jawa biasa disebut sebagai Tanah Jawa (Herusatoto, 2008: 65). Masyarakat asli mengenal adanya kekuatan di luar dirinya (Ilahi) yang memberikan kehidupan bagi mereka. Mereka memohon perlindungan kepada Ilahi dari ancaman musuh, bencana alam, penyakit dan sebagainya. Mereka juga meminta keberhasilan dalam kegiatan bercocok tanam maupun berburu yang erat kaitannya dengan kegiatan untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Di dalam kehidupan sehari-hari untuk menjaga keseimbangan hidup, masyarakat asli melakukan kegiatan upacara-upacara. Upacara tersebut terdiri dari upacara dasar dan upacara harian. Upacara harian terdiri dari upacara panen, upacara mendirikan rumah, pemberkatan desa,


(46)

upacara peralihan yang meliputi peralihan dari bayi menjadi anak hingga dewasa, perkawinan dan kematian (Romandhon MK, 2014: 43).

Adat istiadat di suatu daerah tidak bisa dilepaskan dari karakteristik masyarakat, karena sudah menjadi kebiasaan dari masyarakat yang dipercaya secara turun-temurun dan telah dianggap sebagai suatu norma yang berlaku dalam masyarakat. Karakteristik masyarakat dapat dilihat dari budaya masyarakatnya, dalam artian secara fungsional sebagai perilaku masyarakat dan bukan sebagai artefak. Di dalam lingkup Jawa Tengah dikenal 5 lingkup budaya, yaitu Pesisir Utara Bagian Barat, Pesisir Utara Bagian Timur, Negari Gung, Banyumasan dan Bagelan. Kabupaten Magelang termasuk lingkup budaya Negari Gung, terutama dari pengaruh kesultanan Kraton Yogyakarta. Lingkup budaya ini meliputi bekas daerah Swapraja Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Masyarakat dalam pengaruh lingkup ini memiliki ciri adat sebagai berikut:

a. Percaya pada kekuatan ghoib, kesaktian melalui laku (nglakoni) dan tirakat. Dalam perilaku politik terdapat anggapan bahwa kekuatan gaib akan menambah kewibawaan melalui nyadran.

b. Di Kabupaten Magelang dalam kehidupan beragama sudah sejak abad 8 Masehi sampai sekarang menunjukan ketaqwaan dan ketaatannya, hal ini dapat dilihat dari perkembangan agama di wilayah Kabupaten Magelang. Pengaruh dalam kehidupan spirituil budaya berupa kegiatan-kegiatan spirituil yang dituangkan dalam kegiatan adat, seperti:

1) Upacara Ruwahan yang dilakukan hampir seluruh masyarakat pada bulan


(47)

2) Upacara Suran yang dilakukan pada bulan Suro.

3) Upacara kematian dan kelahiran.

4) Upacara spirituil dalam memulai dan mengakhiri kegiatan pembangunan. 5) Upacara khusus dalam mengantisipasi adanya bencana alam, seperti gempa bumi dan meletusnya Gunung Merapi.

Masyarakat Jawa memiliki filosofi “rukun agawe santosa”, kerukunan dan keharmonisan akan membuat kehidupan dalam kesentausaan atau kebahagiaan (Roqib, 2007: 3). Salah satu dari banyaknya kearifan lokal di nusantara yaitu tradisi nyadran. Nyradha atau Nyadran, yaitu upacara mengirim doa kepada arwah orang mati setiap tahun yang sebagian bermakna mengucap syukur kepada Tuhan karena telah melimpahkan kesuburan dalam usaha pertanian dengan persembahan kepada Sri-Sradha (Sunyoto, 2012: 126). Nyadran Gunung Balak sebagai ekspresi dari rukun agawe santosa itu sendiri, sebagaimana pendapat diatas dapat disimpulkan, nyadran dan Gunung Balak melibatkan banyak orang yang mempersatukan masyarakat dari berbagai lapisan. Melalui kesadaran perbedaan masing-masing, mereka berupaya menyatu, merayakan rasa syukur dan ketentraman dalam menjalani hidup yang berbalur pada tradisi nyadran.

Tradisi nyadran Gunung Balak ini dilaksakan setiap tanggal 10 Suro atau 10 Muharram. Yang membedakan tradisi nyadran ini dengan tradisi nyadran yang lain adalah, tradisi nyadran ini dilakukan di puncak Gunung Balak yang memiliki ketinggian ±800 mdpl. Gunung Balak terletak di Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Tidak hanya masyarakat di sekitar Gunung Balak saja yang mengikuti tradisi nyadran ini, namun masyarakat dari luar daerah seperti


(48)

Semarang, Salatiga, Kendal, Boyolali, Wonosobo pun antusias mengikuti tradisi ini. Ciri khas nyadran di Gunung Balak ini, pengunjung atau masyarakat berbondong–bondong memanjang menaiki jalan setapak menuju puncuk gunung yang tidak seberapa luasnya. Diantara mereka ada yang sambil menggendong anaknya, membawa tikar, rantang yang berisi makanan, ada yang menyunggi

tenong yang berisi makanan untuk mereka jajakan, ada yang berjualan mainan anak-anak, pakaian dan lain sebagainya.

Juru kunci Gunung Balak, Hadi Prayitno mengatakan bahwa tradisi nyadran

Gunung Balak ini memiliki histori mengenai penumbal tanah Jawa, yaitu ulama sakti Syekh Subakir. Syekh Subakir merupakan orang utusan dari Persia. Syekh Subakir merupakan bagian dari sembilan ulama yang diutus oleh Sultan Muhammad I. Dari sembilan ulama tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelompok dan ditempatkan pada tiga tempat, yakni di bagian barat, tengah dan timur tanah Jawa. Sembilan ulama tersebut juga memiliki spesifikasi keahlian masing-masing, adapun Syekh Subakir dalam hal ini memiliki keahlian meruqyah.

Pada masa itu, pengaruh magis di tanah Jawa masih sangatlah kuat, dimana jin dan setan masih menempati setiap sudut tanah Jawa yang kosong. Syekh Subakir yang ahli dalam ruqyah dan ilmu batin ditugasi untuk melakukan pembersihan. Syekh Subakir adalah manusia pilihan yang diamanati untuk menanam tumbal berupa jimat kalimasada berisi kotak peti untuk dibawa ke tanah Jawa agar kelak pulau tersebut dapat dihuni umat Islam. Istilah menanam tumbal dalam kisah Syekh Subakir ini berkaitan dengan usaha rohani menyucikan suatu


(49)

tempat dengan cara menanam tanah di tempat yang dianggap angker. Ada tiga titik sentral yang menjadi prioritas Syekh Subakir dalam pembersihan energi negatif di bumi Jawa, yakni timur, barat dan tengah. Untuk bagian tengah, Syekh Subakir memilih kawasan Gunung Tidar yang letaknya tidak jauh dari pusat peradaban Mataram.

Di dalam perspektif mitologi, alasan Syekh Subakir memilih Gunung Tidar adalah, karena Gunung Tidar dipercayai sebagai simbol pakunya tanah Jawa, sedangkan Gunung Balak di Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah merupakan salah satu petilasan yang pernah disinggahi Syekh Subakir. Masyarakat Pakis sendiri memahami istilah menyucikan tempat angker dengan istilah menanam jimat kalimasada. Tidak hanya di wilayah Jawa Tengah, di sejumlah tempat di pantai utara Jawa yang dikenal sebagai “Makam Panjang”, baik yang terdapat di Gresik, Lamongan, Tuban, Rembang, dan Jepara juga diyakini sebagai kuburan atau petilasan Syekh Subakir.

Dilihat dari sejarah dan asal muasal tradisi nyadran Gunung Balak ini, penulis tertarik untuk mengabadikan tradisi nyadran Gunung Balak masyarakat Pakis Magelang ke dalam bentuk karya fotografi human interest hitam-putih. 5. Acuan Berkarya atau Karya Inspirasi

Seorang seniman baik itu pelukis, musisi, disainer maupun fotografer tentu mempunyai referensi sebagai inspirasi dalam berkarya. Penulis melakukan pengamatan yaitu dengan mengamati dan mempelajari ide, teknik, bentuk, konsep dan karakter atau ciri–ciri personal karya sang inspirator. Dalam proses pembuatan karya fotografi human interest ini, penulis memilih dua fotografer


(50)

yang dianggap memberikan inspirasi, baik dari segi karya maupun pemikiran atau cara pandang. Dua fotografer yang menginspirasi penulis tersebut yaitu:

a. Wilsen Way

Wilsen Way merupakan seorang fotografer yang relative masih muda dengan kelahiran tahun 1990, memulai fotografi secara otodidak pada tahun 2010. Objek yang ia rekam kebanyakan kehidupan sehari–hari masyarakat kalangan bawah, melakukan dialog dengan masyarakat, menangkap kisah–kisah kehidupan dan mengungkapkan kembali kisah tersebut dalam jepretan sesaat.

Human interest adalah bagian dari fotografi yang menurutnya sangat menantang. Wilsen berpendapat bahwa menghargai sebuah momen yang terjadi dan cukup pandai untuk menyadari keberadaan momen itu sendiri adalah sebuah proses belajar yang tidak pernah berhenti . Dari sisi lain ia justru mendapat nilai– nilai kehidupan yang tidak ia pelajari di bangku sekolah atau pun perkuliahan. Membaur dengan lingkungn yang selalu berbeda, mengharuskannya untuk terus mengasah cara berkomunikasi. Baginya fotografi bukan saja mengajarkan tentang teknik mengambil gambar, tetapi justru lebih dari segalanya, fotografi membuatnya lebih peka dengan dunia luar dan juga mengeluarkannya dari zona aman.

Di dalam perjalanannya Wilsen Way selalu melakukan penelitian tentang

humanisme, pengamatan etnis dan lingkungan. Secara teknis fotografis, karya foto Wilsen didukung oleh tata cahaya, komposisi dan kualitas cetak yang baik sehingga tampil optimal. Penulis menjadikan Wilsen Way sebagai inspirasi dalam berkarya, karena di usianya yang relative masih muda Wilsen Way mampu


(51)

menciptakan karya–karya fotografi yang mengesankan disamping aktif melahirkan karya tulis.

Gambar 8: Karya Wilsen Way Strong woman Sumber: Buku “Human Interest Photography

Gambar 9: Karya Wilsen Way “Senyuman nenek” Sumber: Buku “Human Interest Photography


(52)

b. Darwis Triadi

Siapa yang tidak kenal dengan fotografer yang mendapat julukan “master fotografi komersial Indonesia” ini. Darwis Triadi adalah fotografer komersial kenamaan Indonesia. Karir fotografinya diawali dengan bergabung bersama Komunitas Rahardian Yamin, dimana itu menjadi tempat berkumpul selebritas, model dan peragawati terkenal Indonesia (Sugiarto, 2015: 14).

Menurut Darwis, fotografi adalah sarana untuk menjadi dewasa sekaligus pembelajaran menghargai arti hidup mulai dari cara berpikir sampai bertindak. Baginya mahkota sebuah foto adalah kejujuran. Menjadi fotografer adalah bekerja dengan kamera dan cahaya nyata. Cahaya yang tidak hanya mampu menyinari kegelapan, tetapi juga cahaya di rongga dada, dimana ada nurani yang mengandung cahaya atau nur (Sugiarto, 2015: 9).

Karya human interest Darwis memang tak sebanyak karyanya dalam memotret model maupun selebritas. Telah banyak model, penyanyi, artis kenamaan Indonesia yang diabadikan dengan kamera Darwis. Penulis terinspirasi oleh seorang Darwis lebih pada pemikiran atau cara pandangnya terhadap fotografi. Penulis juga mengagumi cara pandang dan pemahaman Darwis tentang cahaya dalam fotografi. Fotografi yang dihasilkannya memang bukan sekedar fotografi yang lahir karena ketrampilan teknis, melainkan juga karena visi pengambilannya. Visi itu adalah keindahan, yaitu keindahan yang dicipta dari sebuah pemahaman tentang cahaya, cahaya alami matahari, oleh karena itu, hasilnya juga memancarkan keindahan nyata yang alami. Karya–karyanya indah


(53)

karena visi keindahannya yang mampu menerjemahkan filosofi keindahan dari matahari.

Darwis tidak pernah statis dalam berpikir dan berkarya. Darwis selalu menempatkan dirinya pada sebuah kedinamisan dengan melakukan perubahan– perubahan yang akan melahirkan proses kreatifitas tersendiri.

Gambar 10 dan 11: Cerita Dari Utara Andalas Sumber: http://darwistradi.blogspot.com

B. Metode Berkarya

1. Peralatan dan Media Berkarya a. Kamera

Pada proses penciptaan karya fotografi human interest ini, penulis menggunakan kamera berjenis SLR atau single lens reflex, yaitu Nikon D90. Penulis memilih kamera ini karena dari segi ergonomis masih tarjangkau, dengan kinerja kamera menghasilkan kualitas gambar yang baik dengan didukung sensor CMOS beresolusi 12 MP dan fitur yang tersedia tergolong lengkap. Menggunakan lensa Kit dari Nikon D90 18-105mm yang memiliki rentang fokal yang lebar dan efektif. Pada posisi 105mm sudah mencukupi kebutuhan tele,


(54)

dilengkapi juga dengan fitur sistem stabilizer VR, namun kecepatan dalam penguncian fokus kadang-kadang menurun saat kondisi cahaya kurang.

Fitur Spesifikasi

Lensa AF-S 18-105mm DX VR. LCD VGA dengan ukuran 3 inci

ISO 200 sampai 3200 (plus boost up to 6400) Resolusi sensor CMOS APS-C dengan 12 MP

Auto fokus presisi dengan 11 titik AF serta fitur 3D tracking, auto-area AF yang handal

Flash sync 1/200 detik

Lensa AF-S 18-105mm DX VR.

Baterai EL – EN3e, Li-ion 7.4V 1500mAh 12Wh Kartu memori SD card

Tabel 3: Spesifikasi kamera Nikon D90


(55)

b. Komputer

Seperangkat komputer diperlukan untuk mellihat hasil pemotretan yang tersimpan di kartu memori. Penulis menggunakan seperangkat Personal Computer dengan prosesor Intel Premium Dual CPU E2180. Komputer disini juga diperlukan untuk proses editing gambar dengan menggunakan software Adobe Photoshop dengan fitur tambahan Nik Silver Efek Pro 2.0.

c. Kertas

Dalam pencetakan karya fotografi human interest ini, penulis memilih menggunakan media kertas luster. Penggunaan kertas luster ini akan menjadikan tekstur dan warna gambar keluar dengan sempurna saat dicetak.

2. Teknik Berkarya

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat fotografi human interest, antara lain suasana dan karakter pada lokasi yang ingin kita bidik, yaitu unsur-unsur apa saja yang kiranya menarik untuk kita bidik. Agar kita lebih leluasa ketika membidik, kita perlu untuk berinteraksi dengan lingkungan tersebut. Pada pemotretan tradisi nyadran Gunung Balak ini banyak suasana dan karakter yang menarik untuk dipotret. Suasana yang sangat ramai dihadapkan dengan tempat yang tidak begitu luas, membuat penulis harus lebih jeli dalam melihat moment

yang kiranya menarik untuk diabadikan. Banyak karakter manusia dengan suasana yang berbeda beda yang berhasil penulis potret. Tidak hanya interaksi antar manusia saja yang penulis temukan, namun juga interaksi antara manusia dengan lingkungan sekitarnya juga berhasil penulis abadikan. Hal penting lainnya adalah,


(56)

bahwa fotografer harus cepat dan tepat dalam mengambil moment yang akan dibidik, karena setiap adegan bergerak dengan cepat dan dapat berlalu begitu saja.

Teknik pemotretan dilakukan secara candid untuk membuat karya fotografi

human interest ini. Menurut Atok Sugiarto (2014:154), foto candid baik diterapkan dimana saja, dalam situasi apa saja dan pada kesempatan apa saja, di tempat-tempat yang dipenuhi dengan manusia. Pemotretan dilakukan secara diam diam dan diambil dari jarak tertentu supaya subjek tidak mengetahui sedang dipotret, sehingga subjek tidak sengaja berpose dan tidak merasa terganggu. Hasil dari teknik candid ini setiap adegan asli, tidak dibuat buat dan apa adanya, sehingga tampak lebih alami, menarik, spontan dan wajar.

Lokasi pemotretan yang di luar (out door) ini juga membuat penulis harus lebih cekatan dalam mengolah cahaya. Arah datangnya cahaya pun berubah-ubah, butuh waktu cepat untuk menangkap setiap adegan yang berharga. Setiap momen berlangsung dengan sangat cepat dan tidak terduga, serta kondisi di tempat yang sangat berdesak desakkan, selain juga pengaruh kondisi cahaya dari belakang subjek (backlight). Ketepatan setting kamera untuk mengkombinasikan shutter, diafragma dan ISO untuk menghasilkan gambar dan eksposur yang akurat sangat diperlukan, antara lain memilih program yang menyesuaikan setting dengan subjeknya. Oleh karena itu, penulis memilih mode Program (P) dimana setting

shutter, diafragma dan ISO sudah menyesuaikan secara otomatis guna mempersingkat dan mempermudah kerja penulis dalam memotret setiap peristiwa dengan cepat.


(57)

Pada mode Program (P), kamera memilih kombinasi kecepatan rana dan diafragma yang menurut pengukuran kamera merupakan pilihan tepat untuk mendapatkan hasil foto yang terbaik di bawah kondisi pemotretan yang dihadapi dengan gerakan yang tak terduga dari manusianya dan kondisi cahaya yang terhalang ranting pohon. Menurut Deniek Sukarya (2009: 18), Mode Program (P) pada umumnya memang dapat merekam foto dengan mutu yang sangat baik pada lebih dari 90% kondisi pemotretan. Semua Program (P) sekarang sudah memiliki

shift program, sehingga bisa mengubah kombinasi rana eksposur yang distel

kamera. Jadi, penulis memilih mode Program (P) ini untuk mendapatkan eksposur yang ideal. Penulis tidak sepenuhnya dikendalikan oleh teknik kamera, disisi lain agar tidak terlalu direpotkan dengan berbagai kontrol dan teknik pada kamera dan tetap mendapatkan foto–foto yang prima secara konsisten.

Di dalam proses pemotretan, penulis menggunakan format file berupa File Raw. File Raw adalah tipe file lossless (tidak ada data yang hilang) yang menggunakan algoritma yang dapat dibalik – seringkali dianggap sebagai film negatifnya kamera digital. Raw termasuk format yang memiliki titik balik eksposur yang luas. Jadi kita juga dapat memperbaiki kesalahan eksposur saat gambar dikonversi. Singkatnya raw adalah tipe file yang fleksibel dan memiliki kualitas gambar yang paling tinggi. Hanya saja tipe file ini memiliki ukuran yang besar.

Di dalam pemilihan teknik, teknik DOF dan motion menjadi pilihan penulis, karena teknik ini sangat tepat digunakan untuk menangkap subjek yang bergerak, dengan pengaturan shutter speed kisaran 1/500 – 1/250s. Penggunaan teknik DOF


(58)

dan motion dapat menjadikan gerakan subjek terhenti dan terekam di kamera dengan menawan, selain itu hasil foto dari teknik DOF dan motion juga memiliki detail yang tajam.

3. Metode Pengumpulan Data

Pada penciptaan karya fotografi human interest ini, penulis membutuhkan data–data yang berhubungan dengan fotografi dan tradisi nyadran Gunung Balak. Oleh karena itu ada beberapa metode yang dilakukan oleh penulis dalam mengumpulkan data, antara lain adalah sebagai berikut.

a. Observasi

Observasi bertujuan untuk melihat keberadaan masyarakat di sekitar Gunung Balak, serta menggali informasi mengenai tradisi nyadran Gunung Balak. Pada metode observasi ini, penulis mengamati secara langsung dan melakukan survei mengenai kondisi ekonomi, budaya dan agama masyarakat sekitar. Dari hasil observasi, penulis mendapatkan informasi mengenai kondisi lokasi Gunung Balak dan kondisi masyarakat setempat secara ekonomi, budaya dan agama. Sebagian besar masyarakat yang berada di sekitar Gunung Balak bermata pencaharian sebagai petani. Secara budaya masyarakat Pakis masih sarat dengan tradisi, selain tradisi nyadran Gunung Balak, ada juga festival lima gunung dan tradisi lainnya. Dari sisi agama, masyarakat Pakis sebagian besar menganut agama Islam, meskipun mayoritas muslim, masyarakat Pakis tetap menjunjung tinggi kearifan lokal. Penulis mencatat semua informasi yang didapatkan selama observasi.


(59)

b. Wawancara

Pada tahapan observasi, penulis juga melakukan pengumpulan data berupa wawancara informal. Pada jenis wawancara informal, pertanyaan yang diajukan sangat bergantung pada pewawancara itu sendiri, jadi bergantung pada spontanitasnya dalam mengajukan pertanyaan kepada terwawancara. Hubungan pewawancara dengan terwawancara adalah dalam suasana biasa, wajar, sedangkan pertanyaan dan jawabannya berjalan seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari-hari saja. Sewaktu pembicaraan berjalan, terwawancara malah barangkali tidak mengetahui atau tidak menyadarai bahwa ia sedang diwawancarai (Moleong, 1989: 187). Seperti pendapat tersebut, penulis mewawancarai sesepuh Gunung Balak dan beberapa warga sekitar secara spontan dan berjalan dengan santai seperti percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Wawancara informal ini dilakukan ketika penulis melakukan observasi di Gunung Balak, Pakis, Magelang. Dari hasil wawancara yang sifatnya informal ini, penulis mendapatkan sejumlah informasi yang berkaitan dengan sejarah nyadran Gunung Balak dan kondisi masyarakat sekitar. Sesepuh atau juru kunci Gunung Balak dengan senang hati memberikan informasi seperti yang berkaitan dengan Syekh Subakir yang meninggalkan petilasan di Gunung Balak. Wawancara dilakukan bukan semata - mata untuk mendapatkan informasi seputar Gunung Balak, tetapi juga untuk mencairkan suasana antara penulis dengan masyarakat setempat. Dari hal ini diharapkan dapat mempermudah penulis dalam proses memotret tradisi nyadran


(60)

c. Studi pustaka

Selain mempersiapkan konsep yang akan dibuat, penulis juga melakukan studi pustaka mengenai objek yang akan dibidik. Hal ini sangatlah penting, untuk memahami lebih dalam tentang objek fotografi. Studi pustaka yang penulis lakukan menggunakan buku–buku literatur yang berhubungan dengan sejarah

nyadran Gunung Balak, buku–buku yang berhubungan dengan fotografi khususnya human intereset dan hitam putih. Selain melakukan studi pustaka melalui buku–buku cetak, penulis juga melakukan studi pustaka melalui internet seperti artikel, jurnal dan e-book. Berdasarkan hasil studi pustaka, penulis mendapatkan buku–buku yang berkaitan dengan budaya Jawa seperti buku “Harmoni Dalam Budaya Jawa” karya Drs. Moh. Roqib, M.Ag., “Jejak Historis Syekh Subakir” karya M. Romadhon MK, “Atlas Walisongo” karya Agus Sunyoto, dan beberapa artikel serta e-book dari internet. Selain itu penulis juga mendapatkan buku – buku yang berhubungan dengan fotografi khususnya human interest seperti “Human Interest Photography” karya Wilsen Way, “Digital Exposure” karya Ross Hoddinott, “Kiat Sukses Deniek G. Sukarya”, “On Street Photography”, “Jurnalisme Pejalan Kaki”, “Irama Visual”, “The Complete Encyclopaedia of Photography” karya Michael Langford, dan masih ada beberapa yang lainnya. Berdasarkan literatur–literatur tersebut penulis mendapatkan teori-teori yang dijadikan sebagai dasar berkarya.


(61)

4. Proses Berkarya a. Identifikasi masalah

Penciptaan karya fotografi ini diawali dengan proses mengidentifikasi masalah. Penulis mengamati perkembangan fotografi saat ini, dan tertarik untuk menjadikannya sebuah karya tugas akhir. Kini fotografi seakan menjadi kebutuhan bagi banyak orang, tidak hanya sebagai medium untuk mengabadikan momen pribadi tetapi juga menjadi media untuk menyampaikan informasi yang bermanfaat bagi khalayak luas, serta sebagai salah satu gairah tersendiri dalam strategi menuju kebudayaan yang lebih baik lagi. Seperti halnya tradisi nyadran

dan hal-hal kecil yang dilakukan setiap manusianya, mulai dari cara mereka bersilaturahmi, merayakan makan bersama, tertib dalam antrian panjang, semua yang dilakukan itu sederhana mudah dan menyentuh. Bagian yang kecil-kecil itu adalah sikap keharmonisan, keseimbangan, ketertiban, keindahan, kebebasan dan kesederhanaan menurut (Sachari, 2002: 206). Seperti yang dianjurkan Gamson “kepak kupu-kupu di kebun akan meruntuhkan bukit es di Alaska”, yang kecil-kecil itu merupakan esensi persoalan raksasa yang kita hadapi. Misalnya pada suatu loket karcis atau apapun yang berhubungan dengan antrian, kalau tidak memiliki kesadaran untuk tertib mengantri yang akan terjadi disharmoni memicu terjadinya masalah besar. Oleh karena itu, fotografi human interest dijadikan perpanjangan tangan untuk menyampaikan kekayaan nilai adat dan kebudayaan lokal melalui manusianya. Melihat kondisi wilayah tempat tinggal penulis, maka penulis memilih tema kebudayaan untuk divisualisasikan ke dalam karya fotografi. Di daerah tempat tinggal penulis masih banyak peristiwa budaya


(62)

khususnya dalam bentuk tradisi masyarakat seperti nyadran. Dari sekian banyak tradisi nyadran di Magelang, penulis memilih tradisi nyadran Gunung Balak sebagai bahan tugas akhir. Tradisi nyadran Gunung Balak ini dinilai unik dan memiliki kekhasan sendiri, baik dari segi prosesinya maupun pola interaksi manusianya.

b. Pengumpulan data

Setelah berhasil mengidentifikasi masalah, penulis melakukan pengumpulan data yang berkaitan dengan tradisi nyadran Gunung Balak dan fotografi khususnya human interest hitam putih. Seperti yang telah penulis jelaskan pada tulisan sebelumnya, ada tiga metode pengumpulan data yang penulis lakukan, yaitu observasi, wawancara dan studi pustaka. Sejumlah informasi terkait tradisi

nyadran Gunung Balak dan fotografi human interest berhasil penulis kumpulkan. c. Penentuan konsep

Pada penciptaan sebuah karya, menentukan konsep yang akan disajikan merupakan hal yang sangat penting. Konsep dijadikan sebagai acuan supaya hasil yang diinginkan sesuai dengan tema dan rencana. Sebelum menentukan konsep, terlebih dahulu penulis menentukan tema yang akan diambil, kemudian menentukan topik setelah itu merumuskan judul. Penulis memilih jenis fotografi

human interest yang bernuansa hitam putih. Berdasarkan objek dan peristiwa yang akan dipotret, menurut penulis human interest adalah yang paling tepat untuk memvisualisasikan tradisi nyadran Gunung Balak, karena dinilai tepat untuk menampilkan sisi kemanusiaan. Penulis juga merasa lebih tertantang menggunakan nuansa hitam putih, dengan keterbatasan warna yaitu hitam putih


(63)

penulis akan berusaha menciptakan karya foto yang mampu menyampaikan pesan atau makna tertentu. Selain itu nuansa hitam putih juga lebih dapat menciptakan kesan dramatis dibandingkan foto berwarna. Lebih lanjut, penulis juga merumuskan konsep penyajian seperti teknik pemotretan yang akan digunakan, teknik lighting dan teknik editing. Di dalam hal pengambilan gambar, penulis memilih teknik DOF dan motion untuk menghentikan objek. Objek dipotret secara diam–diam atau candid untuk mendapatkan hasil foto yang alami dan tanpa dibuat–buat dalam setiap adegannya. Angle atau sudut pemotretan yang digunakan penulis pun bermacam – macam, seperti low angle, high angle, dan

eye level, namun eye level, atau sudut pemotretan yang setara pandangan mata adalah yang paling banyak digunakan oleh penulis. Sehubungan dengan pemotretan yang dilakukan pada siang hari dan di luar ruangan (out door), maka penulis mengandalkan cahaya matahari sebagai sumber cahaya utama tanpa tambahan flash eksternal. Pemanfaatan cahaya matahari sebagai lighting ini akan menimbulkan kesan yang lebih alami. Konsep teknik editing yang dilakukan penulis adalah pengaturan brightness, contrast, tekstur dan cropping.

Dengan konsep yang sudah terancang, penulis berharap dapat memvisualisasikan tradisi nyadran Gunung Balak ini ke dalam bentuk fotografi

human interest dengan nuansa hitam putih. Foto–foto tersebut nantinya akan disajikan dalam bentuk pameran tugas akhir.

d. Proses berkarya atau pengambilan gambar

Berdasarkan konsep yang sudah direncanakan, pada pembuatan karya fotografi ini yang menjadi objek adalah segala aktivitas masyarakat pada saat


(64)

tradisi nyadran Gunung Balak. Sehubungan dengan tradisi nyadran ini hanya berlangsung satu tahun sekali, maka segala persiapan harus benar-benar matang, dan menuju lokasi lebih awal.

Pengambilan gambar dilakukan tepat pada tanggal 10 Suro atau 10 Muharram atau 2 November 2014. Acara berlangsung dari pagi sekitar pukul 06.00 sampai pukul 13.00. Setiap aktivitas masyarakat yang berlangsung saat tradisi nyadran

Gunung Balak menjadi objek pemotretan. Tidak hanya aktivitas manusia dengan manusia, tetapi juga interaksi manusia dengan tumbuhan, mau pun benda-benda di sekitarnya.

Sesuai dengan jenis foto yang dipilih yaitu human interest, yang mana didukung dengan memilih pembingkaian yang baik, penulis melakukan pemilihan bagian bagian yang akan dijadikan sebagai objek, setelah itu pilihan dimana pengambilan keputusan terhadap objek yang dianggap tepat sebagai point of interest. Tahap selanjutnya membingkai (framing) objek yang sudah dipilih, pada tahap ini komposisi menjadi peran utama untuk mendapatkan hasil foto yang baik. Memastikan posisi dan sudut pengambilan gambar yang tepat dengan pandangan high angle, low angle atau eye level sesuai konsepsi visual yang dikehendaki. Tahap penentuan, yaitu saat yang tepat untuk menekan tombol dan mengabadikan suatu momen. Pada saat pengambilan gambar, penulis melakukannya secara sembunyi-sembunyi atau candid tanpa diketahui oleh objek yang akan dipotret untuk memepertahankan kewajarann penampilan dari subjek. Pengamatan penulis terhadap subjek, bahwa tidak semua orang berlaku terbuka saat diambil gambarnya, oleh karena itu pendekatan kecil sebatas senyum atau


(1)

Resolusi : sifat lensa yang berdaya urai dengan kemampuan menyajikan detail kehalusan gambar.

Rule of thirds : pedoman sepertiga bagian dalam fotografi untuk memposisikan objek sepertiga bagian dalam foto agar lebih enak dilihat.

Ruqyah : metode penyembuhan dengan cara membacakan sesuatu pada orang sakit.

Side light : cahaya yang berasal dari arah samping objek.

Silhouetting : efek yang dihasilkan dalam fotografi karena adanya perbedaan signifikan antara pantulan cahaya objek utama di bagian depan foto dengan latar belakangnya.

Single Lens Reflex : kamera yang memiliki satu lensa untuk membidik. Shadow : bidang gelap atau bayangan pada sebuah foto yang

berbentuk objek yang membayang.

Shutter : mekanisme yang mengontrol jumlah cahaya yang mengenai sensor dengan membuka dan menutup saat shutter release diaktifkan.

Shutter speed : kecepatan rana.

Slow speed : kecepatan sedang pada kamera, berada pada 1/16 – 1/30.

Soft light

:

salah satu sifat cahaya yang cenderung lembut atau berkontras rendah.

Stop : satuan yang menunjukkan pergeseran nilai bukaan lensa.

Suro : salah satu bulan dalam penanggalan Jawa, disebut juga Muharram pada penanggalan Hijriyah. Structure : salah satu fitur pada Nik Silver Efex Software

yang berfungsi untuk menampilkan detail dan tekstur pada sebuah gambar.

Subjek : kata ganti yang digunakan untuk manusia seperti pada portraiture, human interest, dsb.


(2)

Tekstur : sifat permukaan atau sifat bahan, yang merakan elemen seni visual.

Tone : kombinasi warna pada sebuah foto. Top light : cahaya yang berasal dari atas objek.

Tumbal : sesuatu yang dipakai untuk menolah penyakit atau bala.

Under exposure : kondisi di mana terlalu sedikit cahaya masuk mengenai sensor, mengakibatkan kondisi foto terlalu gelap.

Vertikal : pengambilan gambar dengan posisi mendatar. White Balance (WB) : salah satu fitur pada kamera yang berfungsi

menangkap warna – warna saat memotret dan membuat mereka senyata mungkin sesuai aslinya. Zone system : pengukuran pencahayaan dalam fotografi dalam


(3)

LAMPIRAN FOTO


(4)

(5)

(6)