MANAJEMEN SINERGITAS UNTUK PENGUATAN EKONOMI KERAKYATAN ipi48986

Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011
LAB-ANE FISIP Untirta

ISBN: 978-602-96848-2-7

MANAJEMEN SINERGITAS UNTUK PENGUATAN EKONOMI KERAKYATAN
Rutiana Dwi Wahyuningsih
Jurusan Ilmu administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Mar et
Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Artikel ini menyajikan inovasi pemerintah kota Surakarta dalam membangun sinergitas antara pilar pemerintah
dan masyarakat untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan. Prinsip yang dipakai adalah (1) product
management, menghasilkan produk yang unggul, dan kompetitif; (2) branding management, mengelola
hasil/produk kota yang mencerminnkan karakter kota; (3) dan customer management, membuat orang ingin
kembali ke kota Surakarta untuk membelanja kan uangnya . Inovasi cara berpikir untuk pengembangan kota
adalah (1) From top down to partnership/participatory, menekankan partisipasi stakeholder dibandingkan
perintah dari pemerintah saja; (2) From bureaucratic style to entrepreneurial mindset, menekankan pola berpikir
kreatif diantara para SKPD dan pro aktif mengembangkan kerjasama dengan pihak swasta dan masyarakat;
(3) From procedural attitude to end-result oriented, Perubahan dari cara berpikir yang lambat dan berbelit,
kepada pola pikir yang responsif terhadap peluang dan berorientasi pada kemanfaatan yang diterima

masyarakat, (4) From partial handling to integrative solution, Perubahan dari cara berpikir yang sektoral,
parsial, kepada pemikiran yang komprehensif, sinergis. Hal yang dibangun adalah bagaimana memberikan
kenyamanan pada orang datang kekota Surakarta, mulai dari pelayanan publiknya, transportasi, penginapan,
kuliner, dan keramahan masyarakatnya. Konsep lokal yang diyakini untuk mengelola kota adalah “saiyeg
saekopraja”, yaitu bersama-sama mengelola Kota, bukan hanya dari Walikota atau pemerintah, tetapi kota ini
adalah milik bersama rakyat Surakarta
Kata Kunci: governance, sinergi, ekonomi kerakyatan

lembaga negara semi otonom, dan kerjasama
yang didesentralisasikan antara
(2) Desentralisasi politik, organisasi dan
prosedur peningkatan partisipasi warga
untuk memilih perwakilan politik, dan
proses pengambilan keputusan publik dalam
rnagka penyediaan pelayanan yang memberi
keuntungan sosial, mendorong aktivasi
sumber daya sosial dan finansial.
(3) Desentralisasi fiskal, cara dan mekanisme
kerjasama fiskal dalam sharing pendapatan
diantara level pemerintah

(4) Desentralisasi
ekonomi,
termasuk
deregulasi, dan bentuk-bentuk public-privat
partnership lainnya.
Kesetimbangan keempat jenis desentralissi ini,
diyakini dapat membantu akselerasi ekonomi,
peningkatan akuntabilitas politik, mendorong
partisipasi publik di proses kepemerintahan, bila
dikelola dengan tepat dapat menjebol kemacetan
hirarkhi birokrasi sehingga pelayanan dan
kerjasama pemerintah dengan pelaku ekonomi
swasta serta masyarakat dapat lebih lancar.
Dengan demikian, sasaran akhir otonomi atau
desentralisasi seharusnya adalah kemandirian
daerah dan masyarakat (Warsito, 2011). Dalam
konteks ini, seharusnya otonomi daerah memberi
ruang gerak berkreasi lebih besar bagi daerah
dalam menyelenggarakan pelayanan publik,
peningkatan kesejahteraan rakyat dan peningkatan

daya saing. Ketiga indikator ini saat ini juga

1. KREATIVITAS MANAJEMEN KOTA
DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH
1.1 Tujuan Otonomi Daerah
Otonomi daerah, atau yang sering disebut
sebagai satu paket dengan desentralisasi daerah,
yaitu mempunyai tujuan administratif dan
tujuan
ekonomis.
Tujuan
administratif
mendekatkan dan menyediakan pelayanan lebih
baik, dan
memperbesar kedekatan dan
kepemilikan masyarakat, sehingga memperbesar
akuntabilitas pemerintahan (Sandee, 2009). Hal
ini sejalan dengan perkembangan konsep
governance, yang dilansir oleh The United
Nations tahun 1990-an (Cheema dan Rondinelli,

2007:6)
yaitu “the exercise of political,
economic, and administrative authority in the
management of a countr’s affairs”. Dalam
konsep ini desentralisasi tidak berarti hanya
masalah transfer kekuasaan, otoritas dan
responsibilitas di dalam pemerintahan, tetapi
juga sharing otoritas dan sumber daya untuk
pembentukan kebijakan publik di masayrakat.
Cheema dan Rondinelli (2007:6) menyebut
praktik desentralisasi dikategorikan setidaknya
dalam empat kategori:
(1) Desentralisasi
administratif,
termasuk
dekonsentrasi
birokrasi
dan
struktur
pemerintah pusat, delegasi dari otoritas

pemerintah pusat dan responsibilitas kepada

[76]

Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011
LAB-ANE FISIP Untirta

ISBN: 978-602-96848-2-7

menjadi ukuran evaluasi penyelenggaraan kinerja
pemerintah daerah di Indonesia, mulai dari
perencanaan, pengendalian maupun evaluasinya
(PP nomor 6 tahun 2008, Permendagri no. 73
tahun 2009, Permendagri no 54 tahun 2010)

banyak pemerintah daerah kekurangan kemampuan
meraup peluang dari kebijakan desentralisasi yang
mempersyaratkan inovasi kreatif dalam pembuatan
kebijakan dan kemampuan berpikir melalui
pertimbangan biaya dan manfaat melalui kebijakan

baru. Salah satu kelemahan yang ditemukan adalah
kurang mengembangkan kerjasama kemitraan
dengan swasta ataupun kelompok masyarakat- yang
disebut sebagai pembangunan partisipatoris.
Menurut Grindle (2007:56) desentralisasi adalah
suatu proses yang dinamis, riskan mengalami
kemunduran-namun
juga
kemajuan,
riskan
penyelewengan- namun juga perbaikan kinerja, dan
memerlukan perhatian khusus tentang respon daerah
(lokal) pada tanggungjawab baru dan pengelolaan
sumber daya. Menurutnya ada empat faktor yang
berpengaruh pada kinerja pemerintahan lokal, yaitu
(1) pemilihan kepala derah yang kompetitif
(rasional-profesional);
(2)
kewirausahaan
(entrepreneurship) sektor

publik- tantangan
kesempatan baru kepemimpinan; (3) Modernisasi
sektor publik-penerpan ide-ide baru, penggunaan
tehnologi
informasi,untuk
pengembangan
manajemen dan administrasi yang lebih kapabel; (4)
pengembangan ruang-ruang keterlibatan partisipasi
masyarakat sipil.

Gambar 1. Tujuan Desentralisasi/Otonomi
Daerah

Desentralisasi/ otonomi

Teknik Administrasi atau
Praktik Administrasi

Proses interaksi politik


Demokrasi Lokal

Pembagian kekuasaan (Sharing of power)
Pembagian pendapatan (distribution of income)
Pemberdayaan administrasi regional (empowering
regional administrastion)

of

1.2 Kreativitas Daerah
Kreativitas
daerah
ternyata
beragam
menanggapi peluang dan tantangan dari otonomi
daerah,- setelah lebih dari satu dasawarsa
implementasinya. Eko (2007) mengidentifikasi
variasi
peran pemerintah daerah dari sisi
pembangunan (ekonomi dan sosial) dan konteks

politik lokal, yang menjadi fondasi struktural daerah
dan mempunyai kontribusi terhadap kesejahteraan
rakyat, antara lain (1) variasi tatakelola
pemerintahan daerah (local governance), yakni
tatacara mengelola kebijakan, keuangan daerah, dan
birokrasi; (2) variasi peran negara, yang
direpresentasikan oleh pemimpin daerah dan unsur
birokrasi daerah; (3) variasi pendekatan (tatakelola)
pembangunan dan sumber-sumber produksi lokal..
Eko (2007) juga menyajikan tipologi daerah
berdasar kemampuan keuangan dan orientasi
kebijakannya dalam tipologi (1) tipe daerah lemah;
(2) tipe daerah budiman; (3) tipe daerah pelit; (4)
tipe daerah sejahtera, dan; (5) tipe daerah royal.
Dalam konteks kreativitas daerah, tipologi daerah
budiman ini yang dinilai berhasil memainkan peran
pemerintah daerah mencapai tujuan desentralisasi,
yaitu kemandirian daerah melayani warganya.
Daerah budiman ditandai dengan pemerintah daerah
sanggup melakukan distribusi belanja sosial yang

tinggi, meski pendapatan daerah rendah. Daerahdaerah budiman mempunyai karakter negara yang
aktif, pemimpin lokal yang kuat dan responsif
maupun reformasi birokrasi.
Decentralization
Support Facility (2008) menemukan banyak
pemerintah daerah yang belum menyadari potensi
kontribusi mereka dalam peningkatan iklim usaha di
daerahnya. Terkait pengembangan ekonomi lokal,
Sandee (2009:191) dengan sampel penelitian
pengembangan UMKM di Jawa, menemukan bahwa

2.

PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL
DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH
Konsep ekonomi kerakyatan dalam artikel ini
mengacu pada konsep pengembangan kemampuan
ekonomi masyarakat lokal –dalam hal ini
masyarakat Surakarta-, terutama kelompok usaha
non perusahaan besar, meskipun tidak menafikan

keterkaitannya dengan struktur makro ekonomi kota
secara keseluruhan.
Pengembangan ekonomi
kerakyatan merupakan bagian integral dari
pengembangan ekonomi lokal. Mengembangkan
ekonomi lokal berarti membangun economic
competitiveness (daya saing ekonomi) suatu kota
untuk meningkatkan ekonominya. Dalam konteks
otonomi daerah, priroritasi ekonomi lokal pada
peningkatan daya saing ini adalah krusial, mengingat
kelangsungan hidup komunitas ditentukan oleh
kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan
yang cepat dan meningkatnya kompetisi pasar.
Daya saing diukur dari beberapa indikator (Munir
dan Fitanto, 2008:23), yaitu:
a. Struktur
ekonomi:
komposisi
ekonomi,
produktivitas, output dan nilai tambah, serta
tingkat investasi (asing dan domestik)
b. Potensi wilayah yang non tradeable seperti
lokasi, sumber daya alam, citra daerah, amenity
masyarakat, biaya hidup dan iklim bisnis
c. Sumber daya manusia: kualitas SDM yang
mendukung kegiatan ekonomi
d. Kelembagaan: konsistensi kebijakan pemerintah
dan
perilaku
masyarakat
yang
pro

[77]

Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011
LAB-ANE FISIP Untirta

ISBN: 978-602-96848-2-7

sinergis antar sektor dan antar stakeholder. Konsep
lokal yang diyakini untuk mengelola kota ini adalah
“saiyeg saekapraja”, yaitu bersama-sama mengelola
Kota, bukan hanya dari walikota atau pemerintah,
tetapi kota ini adalah milik bersama rakyat
Surakarta.
Manajemen
City
Branding
memerlukan
reformasi manajerial birokrat dan birokrasinya.
Oleh karena itu Walikota Joko Widodo
mengeinternalisi 4 cara berpikir kepada jajaran
birokrasi, yaitu:
1) From top down to partnership/ participatory
Prinsip ini berarti menekankan partisipasi
stakeholder
dibandingkan
perintah
dari
pemerintah saja.
2) From bureaucratic style to entrepreneurial
mindset
Cara berpikir ini menekankan pola berpikir
kreatif di antara para SKPD dan pro aktif
mengembangkan kerjasama dnegan pihak swasta
dan masyarakat;
3) From procedural attitude to end-result oriented
Perubahan dari cara berpikir yang lambat dan
berbelit, kepada pola pikir yang responsif
terhadap peluang dan berorientasi pada hasil dan
kemanfaatan yang diterima masyarakat;
4) From partial handling to integrative solution
Perubahan dari cara berpikir yang sektoral,
parsial, kepada pemikiran yang komprehensif,
sinergis.

pengembangan ekonomi lokal, dan budaya
produktivitas.
Bercermin dari pengalaman kota Surakarta, keempat
indikator daya saing ini nampaknya menjadi kompas
kebijakan
pengembangan
ekonomi
kota,
sebagaimana dipaparkan berikut.
3.

PENGALAMAN KOTA SURAKARTA
Kota Surakarta termasuk salah satu kota yang
sering mendapatkan penghargaan atas kreativitas
dan inovasi penyelenggaraan governance . Beberapa
penghargaan tersebut antara lain: (1) Penghargaan
Social Entrepreneurship Achievement tahun 2010
dari Majalah Swa; (2) Penghargaan Daya Saing
Daerah tingkat provinsi Jawa Tengah tahun 2010;
(3) Penghargaan Bung Hata Anti Korupsi Award
(BHAKA) tahun 2010 bidang reformasi dan
pelayanan publik; (4) peringkat kota bersih korupsi
naik menjadi nomor 3 tahun 2011; (5) anugerah
kotamadya berkinerja terbaik 2011.
Dari hasil penelitian Wahyuningsih (2010),
pengalaman di Kota Surakarta, menyajikan
bagaimana kreativitas manajemen Pemerintah Kota
Surakarta mengelola potensi ekonomi lokal melalui
upaya
pengembangan
jeajaring/kemitraan/
membangun kaitan (linkage) antara pemerintah,
masyarakat, dan dunia usaha dalam jaringan aktor,
serta merespon tantangan perubahan dalam konteks
lokalitas. Kondisi geografis kota Surakarta tidak
mempunyai sumber daya alam yang besar, tetapi
sebagai kota yang dikelilingi daerah produsen hasil
pertanian. Sebagai kota yang memiliki peninggalan
kerajaan (Kasunanan dan Mangkunegaran), Kota
Surakarta memiliki warisan budaya tradisonal cukup
banyak. Kota Surakarta juga pusat koordinasi
karesidenan masa lampau, banyak berdiri fasilitas
pemerintahan dan layanan jasa. Oleh karena itu
orientasi pengembangan kota Surakarta sebagai kota
jasa
dan
perdagangan.
Dalam
rangka
mengoptimalkan potensi dasar kota tersebut,
Pemerintah kota Surakarta –dibawah pemerintahan
Walikota Joko Widodo mengembangkan manajemen
city branding. Manajemen City Branding adalah
upaya membuat kota Surakarta terkenal di dunia
melalui pencitraan kota. Pencitraan kota didasarkan
pada tiga pola utama pencitraan, yaitu produk,
keunikan/kekhasan brand, dan kepuasan pelanggan.
Manajemen pengembangan kota didasarkan atas
manajemen, yaitu: (1) manajemen product:
menghasilkan produk yang unggul, dan kompetitif;
(2) manajemen brand: mengelola hasil/produk kota
yang mencerminkan karakter kota; dan (3)
manajemen customer: membuat orang ingin kembali
ke kota Surakarta untuk membelanjakan uangnya.
Hal yang dibangun adalah bagaimana memberikan
kenyamanan pada orang yang datang ke kota
Surakarta, mulai dari pelayanan publiknya,
transportasi, penginapan, kuliner, dan keramahan
masyarakatnya. Manajamen ini dilakukan secara

Terkait dengan pengembangan ekonomi lokal,
penerapan prinsip-prinsip tersebut terwujud dalam
implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah kota
Surakarta dalam kurun 7 tahun terakhir, yang akan
dicontohkan dengan beberapa kasus berikut.
Prioritas pengembangan pasar tradisional
menunjukkan pilihan basis ekonomi komunitarian
aktif. Penataan pedagang pasar tradisional
merupakan kebijakan yang pro ekonomi kerakyatan,
berpihak pada kaum lemah dan perempuan. Pembangunan pasar tradisional akan mampu membangun
kota ke arah pemberdayaan perempuan sebagai
kelompok usaha. Hasilnya, pendapatan asli daerah
(PAD) dari pasar yang semula Rp 7 miliar naik
menjadi Rp 12 miliar. Agar pasar tradisional
unggul, selain menata fisik bangunan, Walikota
berusaha mengubah pola pelayanan dan perilaku
pedagang: ”Kesan pasar kotor dan jorok harus
diubah jadi bersih dan higienis”. Dalam lima tahun
(2005-2010), 13 pasar tradisional berhasil dibangun.
Pasar Tradisional di Solo juga merupakan sentra
ekonomi masyrakat terutama juga masyarakat
miskin. Sejumlah area di kota itu bebas PKL, seperti
Stadion Manahan dan Jalan Slamet Riyadi. Bahkan,
di Jalan Slamet Riyadi, pedagang makanan diberi
gerobak seragam untuk mendukung city walk
(kawasan khusus pejalan kaki). Membuat city walk
di Jalan Slamet Riyadi, kawasan Ngarsapura di
[78]

Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011
LAB-ANE FISIP Untirta

ISBN: 978-602-96848-2-7

depan Pura Mangkunegaran, penataan taman-taman
kota dan bantaran sungai untuk memberi
kenyamanan pelancong, kesegaran psikologis
warga, dan pada ujungnya mendongkrak skala
ekonomi kota.

Pasca pelantikan menjadi Walikota periode
2005-2010, Walikota membentuk sebuah tim
kecil untuk mensurvey keinginan warga kota
Solo dimana mayoritas masyarakat Surakarta
menginginkan daerah Banjarsari ditertibkan
karena dirasa banyaknya PKL pasca kerusuhaan
Solo 1998 sudah sangat mengganggu pengguna
jalan dan pemandangan kota. Namun demikian
Walikota tidak ingin memancing konflik dengan
para PKL, karena keinginan sebagian masyarakat
Solo yang ingin para PKL dipindahkan dari
jalan-jalan
dan
taman.
Dengan
mempertimbangkan pengalaman masa lalu
dimana Solo sudah dua kali dibakar, Joko
Widodo kemudian memutuskan bahwa para PKL
itu harus direlokasi dengan cara yang strategik
dan hati-hati.
Dengan latar belakang
pengalamannya sebagai pengusaha, digunakan
strategi “lobi meja makan” untuk berdialog dan
mencari kesepahaman dengan para PKL.
Targetnya para PKL di daerah Banjarsari,
kawasan elite di Solo. Di sana terdapat 989
pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban.
Para koordinator paguyuban diundang dan diajak
makan di Loji Gandrung, rumah dinas Walikota.
Namun pada pertemuan pertama ini hingga
pertemuan yang ke 53 tidak ada pembicaraan
mengenai relokasi, tetapi hanya makan bersama
dan bersilaturahmi kepada para PKL. Pada
jamuan ke-54, dimana saat itu semua PKL yang
hendak
dipindahkan
hadir,
Walikota
mengutarakan niatnya untuk merelokasi mereka.
Ketika hal itu diungkapkan, tidak ada satu
pedagang pun yang menolak. Mereka setuju
dengan kebijakan yang diambil Walikota,
sepanjang mereka mendapatkan tempat yang
baru untuk berdagang. Walikota berjanji akan
memberikan lokasi baru. Walikota juga
menjanjikan akan mempromosikan tempat
berdagang baru itu selama empat bulan di media
lokal. Infrastruktur penunjang juga disiapkan,
yaitu memperluas jalan menuju pasar dan
membuat satu trayek angkutan kota baru.
Hasilnya, Pemerintah Kota Surakarta berhasil
menata ulang pasar di antaranya Pasar Klitikan
Notoharjo, Pasar Nusukan, Pasar Kembalang,
Pasar Sidodadi, Pasar Gading, pusat jajanan
malam Langen Bogan, serta pasar malam
Ngarsapura
b. Digerakkan oleh visi
Visi menjadi titik pancang kebijakan
pengembangan kota.
Visi dipancangkan
terutama untuk tiap bidang krusial yang memiliki
spread effect atau multiflier effect besar. Sebagai
contoh: di bidang budaya dan tata kota memiliki
visi “Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu”,
sehingga tempat-tempat ikon kota dihidupkan
kembali sebagai pusat berkumpulnya publik,
dikemas dalam model perekonomian sesuai

Dunia usaha juga mendapat perhatian baik dari
Walikota Surakarta. Pemerintah Kota Surakarta
mengkondisikan supaya iklim kota kondusif bagi
partisipasi dunia usaha untuk menggerakkan roda
perekonomia dan pembangunan kota. Hal ini ditunjukkan dengan program reformasi dan revitalisasi
pelayanan perijinan, sehingga terbentuklah Kantor
Pelayanan Ijin Terpadu, dengan penampilan budaya
organisasi yang didesain mirip pelayanan dunia
bisnis, misalnya dalam hal seragamnya, alur prosesnya, tata ruangnya.
Reformasi ini dibuktikan
dengan.
Kinerja ini juga dibuktikan dengan
diperolehnya piala dan piagam Citra Bhakti Abdi
Negara dari Presiden untuk kinerja kota dalam
penyediaan sarana pelayanan publik, kebijakan,
deregulasi penegakan disiplin dan pengembangan
manajemen pelayanan (11 Pebruari 2009), dan
Penghargaan Bung Hata Anti Korupsi Award tahun
2010 bidang reformasi dan pelayanan publik. Pada
tahun 2010, peringkat kota bersih korupsi naik
menjadi nomor 3 diantara 50 kota besar yang
disurvey.
Keterlibatan dunia usaha dalam program
pemerintah kota yang bersifat langsung ke
masyarakat belum terlalu besar, tetapi sudah ada.
Misalnya dalam bantuan permodalan industri kecil.
Mitra usaha yang sudah bekerjasama dengan
melakukan CSR (Corporate Social Responsibility)
adalah Bank Indonesia, Telkom, PT. Pos, Garuda
Indonesia, dan PLN. Dunia usaha ini langsung
menetapkan kriteria dan pemilihan kelompok
sasaran penerima bantuan. Kemitraan dengan dunia
usaha ini merupakan salah satu kraeativitas untuk
mengembangkan ekonomi lokal masyarakat kota
Surakarta.
Di bidang sektor informal, Walikota
memberikan lokasi baru pada PKL yang direlokasi
dengan membayar biaya retribusi sebesar Rp 2.600,perhari di tempat baru yang suasananya jauh lebih
baik dibandingkan tempat para PKL berdagang
sebelumnya. Dengan retribusi sebesar itu, modal
pemerintah sebesar Rp 9,8 miliar untuk membangun
lokasi baru itu diperkirakan dapat kembali pada
kurun 9 tahun. Salah satu aksi kebijakan kota yang
sangat menarik perhatian nasioanal bahkan
internasional adalah keberhasilan pemerintah kota
Surakarta menertibkan 5.817 pedagang kaki lima
(PKL), tanpa kekerasan.
Dari kronologis
pelaksanaan penertiban PKL ini, dapat diidentifikasi
kunci sukses kebijakan sebagai berikut:
a. Kebijakan didasarkan atas pengenalan
kondisi masa lalu dan kondisi eksisting, serta
data riil kemauan publik.
[79]

Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011
LAB-ANE FISIP Untirta

ISBN: 978-602-96848-2-7

pinggir jalan, lokasi PKL Banjarsari, hingga di
Loji Gandrung (rumah dinas Walikota). Ketika
komunikasi sudah terjalin, konsep penataan PKL
disusun Pemerintah Kota (Pemkot) Solo dan
disosialisasikan kepada pedagang. Proses
berlanjut dengan perencanaan pembangunan,
pelaksanaan, baru relokasi.
Saat relokasi dilakukan, Joko Widodo menggelar
arak-arakan sepanjang jalan menuju Pasar
Klitikan dengan iringan musik “klenengan” khas
Solo. Dalam acara tersebut dihadirkan Prajurit
Keraton agar timbul rasa kebanggaan pada diri
para PKL. Faktanya, para PKL sangat legowo
saat pindah lokasi ke tempat yang baru.
Konsumsi dan perlengkapan arak-arakan
dibiayai sendiri oleh para PKL. Ini jarang terjadi
di daerah lain yang biasanya relokasi selalu
bersinggungan dengan kekerasan. Sebanyak 989
PKL dipindah tanpa gejolak, bahkan secara
antusias para PKL itu mendukung program
pemerintah dengan sukacita.
Di Kota Surakarta, kreasi pengelolaan ekonomi
kerakyatan, dilakukan lintas sektoral juga, salah
satunya
dengan
sektor
pendidikan.
Pengarusutamaan pro job di sektor pendidikan
nampak dalam program pengembangan pendidikan
non formal untuk meningkatkan kualitas angkatan
kerja yang memenuhi kebutuhan pasar. Saat ini Kota
Surakarta telah memiliki Solo Techno Park (STP).
STP
merupakan
pengembangan
Surakarta
Competency and Technology Center (SCTC) yang
merupakan institusi diklat hasil kerjasama antara
Pemerintah Kota Surakarta dengan Akademi Teknik
Mesin Indonesia (ATMI). Tujuan awal SCTC adalah
untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru SMK
keahlian mesin perkakas se-Indonesia agar
menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi
sesuai standar industri. Selain itu, SCTC juga
berfungsi sebagai tempat diklat pemuda penganggur
sampai penyalurannya ke tempat kerja.

perkembangan jaman. Misalnya berdirinya pasar
Ngarsopuro, dibangunnya City Walk yang
menghubungka dua pusat keraton masa lalu.
Dibidang ekonomi, ada visi “PKL menjadi
Saudagar”, ini menjadi arah bagi pengembangan
ekonomi kerakyatan, mengingat Surakarta adalah
kota jasa dan perdagangan. Di bidang kerjasama
antar daerah dikembangkan visi “Solo Spririt of
Java ” artinya Solo (Surakarta) menjadi kota
simpul pengembangan produk dan potensi yang
dimiliki kabupaten disekitarnya. Visi Walikota
untuk mengangkat status PKL menjadi saudagar,
hal ini dipengaruhi oleh latar belakang Walikota
sebagai pengusaha, membentuk perspektifnya
atas PKL sebagai potensi ekonomi rakyat. Visi
lain adalah menjadikan Solo layaknya Singapura,
sebuah kota yang bersinar dengan wisata
belanjanya. Karena itu ketertiban, kebersihan dan
keindahan kota menjadi kunci utama. Pesrpektif
ini mempengaruhi cara yang ditempuh Walikota
untuk mengeksekusi kebijakan yang ditempuh
untuk mewujudkan visi tersebut.
c. Kebijakan berlandaskan nilai (based value
system).
Kebijakan ini menggunakan nilai lokal:
“nguwongke uwong ” artinya menempatkan para
PKL sebagai manusia yang mempunyai hak-hak
dasar sebagai warga; hak hidup dan berusaha.
Menurut Walikota, tugas pemerintah memberi
ruang kepada pedagang kecil untuk maju, bukan
menggusur mereka. ”Pemimpin yang baik adalah
yang mengikuti keinginan orang yang
dipimpinnya”.
Sebelum direlokasi, para
pedagang diajak berdialog hingga 54 kali
pertemuan, selama tujuh bulan dengan mengajak
para PKL makan bersama dan dialog. Metode
dialog ini oleh Walikota disebut sebagai
“pendekatan Jawa”, yaitu “rebug bareng”
(berdialog bersama).
Nilai ideologis, diambil dari konsep Ideological
State Apparatus yaitu aparat negara yang
menjalankan fungsinya melalui ideologi-ideologi
tertentu. Bukan menggunakan Represif State
Apparatus. Dalam hal ini nilai ideologisnya
adalah pemberdayaan ekonomi kerakyatan (wong
cilik) supaya bisa berkontribusi lebih besar untuk
negara.
d. Strategi
Komunikasi
politik
untuk
menguatkan partisipasi masyarakat sasaran.
Dalam mempersiapkan implementasi kebijakan
penataan
kota,
Walikota
menggunakan
pendekatan empathy dan homofili, yaitu
menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang
lain, dan menciptakan situasi kesamaan posisi.
Ini terwujud dalam cara Walikota mengajak
makan bersama dan dialog para PKL, yang
bersuara vokal didatangi langsung untuk
diketahui keinginan mereka seperti apa. Tempat
dialog mulai dari warung kecil (wedangan),

Saat ini, STP (Solo Techno Park) adalah pusat
vokasi dan inovasi teknologi di Kota Surakarta yang
dibangun dari sinergi dan hubungan yang kokoh
antara dunia pendidikan, bisnis dan pemerintah ( the
triple helix). Dalam hal ini ada penerapan nilai-nilai
governance dalam bentuk sinergitas. STP
memberikan layanan pendidikan dan pelatihan
bidang industri, inkubator bisnis, jasa produksi serta
penelitian dan pengembangan teknologi untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia,
meningkatkan daya saing dan kinerja dunia usaha
dan dunia industri, meningkatkan pertumbuhan
ekonomi daerah dan memperluas lapangan pekerjaan
melalui pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Branding untuk kota Solo dilakukan dengan
menyetujui moto "Solo: The Spirit of Java ". Spririt
ini juga untuk mendongkrak skala ekonomi
kabupaten hinterland yaitu Boyolali, Sukoharjo,

[80]

Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011
LAB-ANE FISIP Untirta

ISBN: 978-602-96848-2-7

Internasional: Lebih Dari Sekadar Penghapusan
Kemiskinan: Memajukan Kebijakan Sosial yang
Komprehensif di Era Desentralisasi yang
diselenggarakan oleh Perkumpulan Prakarsa,
Ford Foundation, OXFAM Great Britain, Kantor
Menkro Kesra, Pemerintah Kota Makassar,
Pemerintah Kota Serdang Badagai, ADKASI,
IESR dan KruHa. Jakarta 26-28 Juni 2007.
Grindle, M.S. (2007). “Local Governments That
Perform
Well:
Four
Explanation”
in
Decentralizing Governance: Emerging Concepts
and Practices, Cheema, G.S and Rondinelli ,
D.A (ed).
Washington D.C.: Brooking
Institution Press.
Munir, R. dan Fitanto, B. (2008). Pengembangan
Ekonomi Lokal Partisipatif: Masalah, Kebijakan
dan Panduan Kegiatan.
Jakarta: Local
Government Support Program, USAID.
Sandee, H. (2009). “Small Entreprises and
Decentralization: some essons from Java” in
Decentralization and Regional Autonomy in
Indonesia: Implementation and Challenges ,
Holtzappel, C.J.G, and Ramstedt, M. (ed).
Singapore; Institutes of Southeast Asian Studies.
Utomo, W. (2011). “Prospek Era Otonomi Daerah
Strategi Pelaksanaan Otonomi Daerah”, dalam
Kumpulan Makalah Analitis Serangkaian
Kajian: Konsep, Formulasi dan Implementasi
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesi .
Unpublished
Wahyuningsih, R.D. (2010). Kontekstualisasi Model
Sound Public Governance dalam Perencanaan
Pembangunan Daerah untuk Meningkatkan
Kinerja Penyelenggaraan Otonomi Daerah
(Studi Kasus Kota Surakarta). Universitas
Sebelas Maret: Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Pada Masyarakat, Laporan Hasil
Penelitian.
PP nomor 6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Permendagri no. 73 tahun 2009 tentang Tatacara
Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah
Permendagri no 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2008
tentang
Tahapan,
Tatacara
penyusunan,
Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan Daerah

Karanganyar,
Wonogiri,
Sragen,
Klaten
(Sobosukowonosraten). Kebijakan pencitraan kota
yang lain diwujudkan dalam konsep pembangunan
”Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu”,
bertujuan untuk mengubah Solo menjadi “kota yang
berkarakter”. Sebagai salah satu kebijakan branding
Walikota mengajukan Surakarta untuk menjadi
anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan
diterima pada tahun 2006.
Dunia
pariwisata
di
Solo
meningkat
perkembangannya. Sejumlah potensi penggerak
perekonomian rakyat yang lama meredup, seperti
kerajinan batik tumbuh dengan pesat. Salah satu
kluster yang menonjol perkembangannya adalah
kampung Batik Laweyan. Batik berkembang tidak
hanya media kain, tetapi juga media kayu, dan
lainnya. Semua perkembangan ini terkait dengan
pencitraan kota.
KESIMPULAN
Pengalaman
kota
Surakarta
dalam
pengembangan ekonomi daerah berbasis ekonomi
kerakyatan
merefleksikan
implementasi
decentralized
governance
yang menerapkan
paradigma public governance yaitu penyelenggaraan
administrasi publik yang dijiwai oleh kesadaran
akuntabiltas dari para aktor mengenai nilai-nilai
kepublikan, sehingga terbentuk relasi vertikal dan
horisontal dalam networking yang luwes, responsive,
dan kreatif dalam kerangka legalitas, dengan
mempertimbangkan aspek lokalitas. Para aktor
dalam governance ini meliputi Kepala Daerah,
Satuan Kerja Perangkat Daerah, DPRD, unsur
masyarakat, dan unsur privat/pengusaha/pemilik
modal.
Kunci pembelajaran mencakup materi
tentang
(1)
Kepemimpinan
partisipatif;
(2)Perencanaan kota berbasis visi; (3) Perencanaan
program pro public value (pro poor, pro people, pro
job); (4) Inovasi cara berpikir untuk pengembangan
kota; (5) Manajemen program integratif; (6)
Manajemen
Komunikasi
Pembangunan;
(7)Penguatan peran partisipatif masyarakat (dunia
usaha/ privat dan masyarakat umum); (8)
Mengkontekstualisasikan
nilai
lokal
dalam
menjawab tantangan intervensi nilai-nilai global
PUSTAKA
Cheema, G.S. dan Rondinelli , D.A.(2007). “From
Government Decentralization to Decentralized
Governance” in Decentralizing Governance:
Emerging Concepts and Practices, Cheema, G.S
and Rondinelli , D.A (ed). Washington D.C.:
Brooking Institution Press
Decentralization
Support
Facility
(2008).
Mengoptimalkan Kontribusi Desentralisasi Bagi
Pembangunan
Eko, S. (2007). “DAERAH BUDIMAN: Prakarsa
dan Inovasi Lokal Membangun Kesejahteraan”
Makalah
disajikan
dalam
Konferensi

Biodata Penulis
Penulis adalah staf pengajar di jurusan Ilmu Administrasi
Negara FISIP UNS, sedang menempuh program S3 di
Universitas Gadjah Mada, beraktivitas dalam kemitraan
dengan beberapa Pemerintah Daerah, pernah aktif sebagai
Short Term Technical Assistant (2006-2009) untuk 8
Kabupaten di Jateng, melalui Local Government Support
Program- USAID

[81]