INTERDEPENDENSI FAKTOR LINGKUNGAN ABIOTIK DAN BIOTIK DI EKSOSISTEM PERAIRAN.

(1)

KARYA ILMIAH

INTERDEPENDENSI FAKTOR LINGKUNGAN

ABIOTIK DAN BIOTIK DI EKSOSISTEM PERAIRAN

OLEH

Drs. DENY SUHERNAWAN YUSUP, MSc.St

NIP. 19640509199103

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji kami haturkan kepada Allah swt, atas berkah dan innayahnya sehingga karya ilmiah ini ini dapat direalisasikan. Karya ilmiah dengan judul Interdependensi Faktor Lingkungan Abiotik Dan Biotik Di Eksosistem Perairan secara keseluruhan merupakan pemahaman dasar tentang hubungan timbal balik antara faktor biotik dengan faktor abiotik. Sehingga dapat dijadikan sebagai pemahaman dasar hubungan timbal balik di lingkungan perairan khususnya .


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ...

i ii I

II.

III. IV

PENDAHULUAN... 1. Dinamika ekosistem akuatik... 2. Interdependensi...

INTERDEPNDENSI PRODUSER – FAKTOR LINGKUNGAN 1. Faktor Fisika Lingkungan ... 2. Faktor Kimia Lingkungan ... IDEPENDENSI KONSUMER TERHADAP INTERDEPNDENSI FAKTOR ABIOTIK-PRODUSER... PENUTUP... DAFTAR PUSTAKA.

1 1 1 4 4 8 12 16 17


(4)

I. PENDAHULUAN

1. Dinamika ekosistem akuatik

Sebagaimana ekosistem darat (terestrial), ekosistem akuatik juga menunjukkan variasi spatial dan temporal faktor lingkungan. Khususnya faktor abiotik lingkungan, ekosistem akuatik memiliki faktor yang lebih dinamis yaitu terkait ke dalaman dan salinitas. Faktor kedalaman air ini terkait dengan faktor lainnya sehinggga menghasilkan varaisi faktor lingkungan lainnya seperti intensitas cahaya, temperature, tekanan dan gas terlarut (O2 dan CO2). Kadar garam air (salinitas) bervariasi antar tempat dan waktu akibat adanya aliran sungai dan musim.

Sebagaimana ekosistem terestrial, dinamika variasi spatial faktor lingkungn akuatik dapat terjadi dalam skala kcil (mikrokosmos) sampai skala luas (makrokosmos). Dinamika variasi temporal faktor lingkungan perairan dapat mencakup dari harian (misalnya pasang surut) sampai musiman.

Dinamika faktor lingkungan juga semakin bervariasi seiring dengan meningkatnya kegiatan eksploitai oleh manusia utuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan melampaui ambang batas kemampuan alam untuk memperbaharui kembali, mislanya peningkatan buangan / limbah dari proses-proses ekonomi manusia. Kondisi ini akan berdampak secara

domino terhadap distribusi, struktur komunitas, proses physiologis dan produktifitas

organisme (produser, konsumer dan dekomposer).

2. Interdependensi

Sistim yang terjadi di alam dihasilkan oleh proses interelationship yang interdependen antar komponen lingkungan (biotik dan abiotik), misalnya antara abiotik dengan biotik atau biotik dengan biotik. Sistim interelationsip yang interdependen membentuk suatu hubungan yang bersifat umpan balik (feedback) positif dan negatif. Jika suatu komponen dalam kondisi

kurang baik akan mengakibatkan dampak yang kurang baik pula terhadap komponen lainnya dan sebaliknya.

Pemahaman independensi faktor abiotik dan biotik dapat fahami dengan mempelajari pengaruh faktor abiotik (faktor lingkungan) terhadap sistim biologis mahluk hidup. Ketika kualitas faktor lingkungan menurun maka akan berdampak negatif terhadap proses biologis sehingga mengakibatkan produktifitas mahluk hidup menurun dan sebaliknya ketika faktor


(5)

lingkungan dalam kondisi baik maka akan menghasilkan kondisi ideal untuk proses biologis sehingga produktifitas akan maksimal.

Pengaruh faktor lingkungan terhadap organisme produser adalah terutama pengaruhnya terhadap proses biologi organisme produser seperti fotosintesisi. Sebaliknya organisme produser juga dapat mempengaruhi kondisi faktor lingkungan atau habitatnya melalui fotosintesisi dan bioremediasi, yang akan memperbaiki kualitas fisika kimia lingkungan akuatik. Hubungan saling berpengaruh tersebut menggambarkan adanya saling ketergantungan (interdependensi) antara faktor lingkungan dengan ekofisiologi ptoduser

ekosistem akuatik.

Pengaruh faktor abiotik terhadap organisme heterotrophik (misal konsumer dan dekomposer) dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung faktor abiotik dapat melalui pengaruh faktor lingkungan terhadap proses fisiologis dalam tubuh organisme heterotrophik sehingga akan mempengaruhi produktifitas organisme konsumer/ hewan aktifitas. Sedangkan pengaruh tidak langsung melalui pengaruh faktor lingkungan terhadap terhadap organisme produser (yaitu melalui perbaikan faktor lingkungan dan ekofisiologi produktifitas produser). Perbaikan kondisi lingkungan melalui mekanisme fotosintesis dan bioremediasi. Pengaruh ekophysiologi produktifitas tanaman akuatik melalui mekanisme penyediaan bahan pakan (mekanisme transfer energi). Selanjutnya melalui kedua mekanisme tersebut akan berpengaruh terhadap produktifitas hewan.

Pemahaman interdependensi antara faktor biotik dengan biotik dapat melalui transfer energi dapat difahami melalui efek bottom up dan efek top down (Diaz-Pulido, 2008). Effek bottom up (kontrol oleh prduser primer) menggambarkan dinamika perubahan (naik/ turun) populasi produser terhadap tingkatan tropik berikutnya, dimana efeknya bersifat domino dan

linier terhadap tingkatan tropik berikutnya. Ketika populasi produser meningkat maka populasi tingkat tropik berikutnya juga akan meningkat dan sebaliknya. Effek top down (kontrol oleh konsumer/predator) menggambarkan efek perubahan (naik/turun) populasi tingkat tropik konsumer terhadap tingkatan tropik di bawahnya. Perubahan ini menghasilkan efek domino yang mosaik (berbeda-beda)/ tidak linier. Misalnya peningkatan populasi tropik karnifora tingkat I akan berdampak negatif terhadap herbivora tapi posistif terhadap karnivora tingkat II. Peneitian experimental Diaz-Pulido (2008) menggambarkan peranan ikan herbivora terhadap kondisi terumbu karang. Penghilangan ikan herbivora mengakibatkan pertumbuhan alga yang maksimum sehingga menutupi koral sehingga mati.


(6)

Hal yang sama dikemukakan oleh Bowen (1997) predasi sea oter terhadap bulu babi dapat meningkatkan produktifitas tanaman kelp .

Penjelasan di atas menggambarkan interdependensi antara faktor abiotik lingkungan dengan faktor biotik. Serta menunjukkan adanya efek domino akibat perubahan satu komponen lingkungan terhadap komponen lainnya.


(7)

II. INTERDEPNDENSI PRODUSER – FAKTOR LINGKUNGAN

Sebagaimana produser di darat, proses biologi tanaman akuatik sangat tergantung terhadap faktor-faktor seperti cahaya dan temperatur. Namun, proses biologi tanaman akuatik juga dipengaruhi oleh kandungan garam (salinitas) air.

2.1. Faktor Fisika Lingkungan 2.1. 1. Cahaya

Cahaya merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat penting bagi proses biologi tanaman darat maupun tanaman akuatik (Anonim, 2013). Pengaruh cahaya terhadap tanaman akuatik terkait dengan tiga karakter utama cahaya seperti kuantitas, kualitas dan durasi (Anonim, 2013). Secara keseluruhan cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesisi organisme produser baik di darat maupun di perairan. Energi cahaya (photon) merupakan sumber energi untuk proses fotositesis, yang produknya sangat penting untuk pertumbuhan tanaman dan lingkungan.

Karakter intensitas cahaya bervariasi antar musim (temporal) dan antar tempat (spatial). Secara temporal, variasi intensitas cahaya suatu perairan di daerah tropis tidak terlalu berbeda sebagaimana di kawasan sub tropis. Di kawasan sub tropis, intensitas cahaya akan mencapai maksimum pada musim panas (summer) dan minimum pada musim dingin (winter).

Secara spatial, variasi intensitas penetrasi cahaya ke dalam badan air berbeda antar kedalaman sehingga mempengaruhi terhadap distribusi vertikal organisme akuatik. Organisme produser perairan tersebar di zona yang masih ada cahaya (photik) dan kemelimpahannya semakin menurun ketika intensitas cahaya menurun seiring dengan kedalaman dan tidak ditemukan lagi cahaya, zona dimana cahaya tidak mencapai kedalaman tersebut (aphotik) (Pelinggon and Henderson, 2006). Selain itu variasi spatial cahaya juga terkait dengan tingkat kandungan partikel terlarut yang mempengaruhi kecerahan (turbiditas ) air, misalnya kawasan estuarin. Kawasan estuarin menerima partikel terlarut dari badan sungai sehingga memilki kecerahan yang lebih rendah dibandingnkan badan perairan lainnya seperti (hulu dan pantai).

Secara kualitas terkait dengan warna cahaya atau panjang gelombang cahaya. Cahaya merah dan biru memiliki pengaruh paling tinggi terhadap pertumbuhan tanaman. Sedangkan cahaya hijau lebih banyak direfleksikan oleh tanaman sehingga hanya sedikit yang di serap.


(8)

Durasi cahaya (photoperiod) mengacu pada jumlah/panjang waktu tanaman di ekspose ke sinar matahari. Pengertian photoperiod lebih ditekankan pada panjang periode gelap tanpa terputus suatu tanaman. Respon tanaman (misal untuk berbunga) terhadap photoperiod bersifat species spesifik sehingga dapat dikategorikan menjadi short day (long dark); long

day and day-neutral.

Variasi spatial dan temporal dari karakteristik utama cahaya di ekosistem perairan mengakibatkan variasi spatial dan temporal proses fotosintesisi sehingga menghasilkan variasi produktifitas perairan, pertumbuhan organisme produser dan kualitas lingkungan perairan.

2.1.1.A. Cahaya dan temperature

Pengaruh cahaya terhadap proses biologi tanaman akuatik tidak hanya sebagai faktor tunggal tetapi dapat mempengaruhi musim. Keterkaitan faktor cahaya dengan musim mengasilkan variasi temperatur temporal perairan. Sedangkan keterkaitan cahaya dengan kedalaman menghasilkan variasi intensitas cahaya dan temperatur. Sehingga pengaruh cahaya terhadap produser perairan dapat secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung cahaya terkait dengan peran cahaya sebagai sumber energi untuk fotosithesis, sedangkan pengaruh tidak langsung berkaitan dengan pengaruh pengaruh variasi cahaya yang mengakibatkan variasi temperatur dan intensitas cahaya di perairan.

Keterkaitan cahaya dengan suhu merupakan faktor lingkungan yang memiliki peranan yang sangat luas dalam ekosistem. Keterkaitan ini tidak hanya terkait degan musim tetapi juga terkait dengan faktor lain misalnya kedalaman dan pasang surut. Variasi cahaya dan suhu terkait musim dapat dilihat di daerah tropis maupun sub tropis (empat musim). Di zona tropis amplitudo perubahan intensitas-durasi cahaya dan suhu bagian permukaan perairan lebih tinggi dibandingkan bagian lebih dalam (bawah). Hal ini mengakibatkan adanya zona termoklin (kisaran kedalaman air dimana terjadi perubahan suhu perairan secara drastis) yang dapat menjadi penghalang (barrier) pergerakan vertical massa air dan nutrien dari badan

perairan bagian bawah ke permukaan. Sehingga mengakibatkan rendahnya pengangkatan kembali nutrien dari dasar perairan ke badan perairan bagian permukaan dan mengakibatkan rendahnya produkifitas primer di badan perairan bagian permukaan. Oleh karena itu, secara umum akan mengakibatkan produktifiitas primer yang lebih rendah dibandingkan kawasan subtropis.

Perubahan intensitas dan durasi cahaya terkait musim mengakiatkan terjadinya variasi temporal produktifitas primer di kawaan sub tropis. Pada musim panas ketika intensitas


(9)

cahaya- durasi cahaya tinggi, produktifitas perairan subtropis relative sama seperti di kawasan tropis. Pada musim dingin dimana intesitas-durasi cahaya lebih paling rendah maka produktifitas perairannya menurun. Pada awal musim semi ketika intesitas cahaya dan durasi meningkat dengan suhu relative lebih hangat, produktifita primer perairan meningkat karena tidak adanya barier suhu. Secara keseluruhan produktifitas primer perairan sub tropis lebih tinggi dibadingkan daerah tropis.

Keterkaitan cahaya dan temperatur terkait dengan peningkatan suhu dapat di lihat di zona pasang surut dan perairan sungai kecil. Ketika surut atau debit air menurun suhu akan meningkat dan suhu kembali turun ketika pasang atau debit air meningkat. Pengaruh peningkatan suhu di zona pasang surut mempengaruhi keragaman dan produktifitas rumput laut (Pelinggon and Henderon, 2006).

Sedangkan di zona oseanik di daerah temperate (empat musim), terjadi pengadukan air ke permukaan dengan membawa nutrien pada awal musim semi akibat perbedaan suhu sehingga menyediakan nutrien bagai plankton di dukung intensitas cahaya yang semakin tinggi maka perkembangan plankton semakin cepat dan laju fotosintesis meningkat. Sedangkan rendahnya produktifitas di kawasan kutub diakibatkan oleh cahaya.

Penelitian Hilman et al. (1995) pada seagrass jenis Halophylla ovalis mengindikasikan bahwa

temperatur sangat mempengaruhi produktifitas. Selanjutnya dikatakan bahwa suhu perairan dibawah 15°C menghambat produktifitas dan meningkat 30% pada kisaran suhu 20 sampai 25°C dan tidak ada pertumbuhan pada suhu 10oC.

2.1.1.B. Cahaya dan kedalaman air

Penetrasi dan intensitas cahaya juga terkait dengan kedalaman air. Peningkatan kedalaman diikuti dengan menurunnya intensitas cahaya, sehingga pada penetrasi cahaya hanya sampai kedalaman tertentu. Variasi spatial ini linier dengan produktifitas primer perairan.Pada bagian permukaan (euphotik zone) dimana plankton dapat ditemukan, produktifitas zona euphotik tergolong tinggi. Keberadaan plankton dapat ditemukan sampai dengan kedalaman tertentu yang dikenal dengan compensation depth, kedalaman dimana

hanya 1% penetrasi cahaya dan fotosintesis hanya memproduksi karbohydrat untuk memenuhi kebutuhan organism (zero net productivity). Kedalaman zero net productivity


(10)

Produktifitas kawasan neritik lebih proktif dibandingkan dengan kawasan oseanik karena adanya suplay nutrien yang konstan dan densitas penukaan air yang rendah sehingga plankton melayang lebih lama. Produktifitas kawasan oseanik lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan oseanik di wilayah tropis karena adanya zona termoklin yang stabil yang menghambat pengadukan air bagian bawah ke permukaan.

2.1.C. Cahaya dan turbiditas

Sedimentasi dapat berasal dari material yang terbawa oleh aliran ke badan perairan terutama partikel terlarut yang terbawa aliran sungai, sedimen terlarut akibat erosi badan sungai atau aktifitas penggalian sepanjang sungai (misal pertambangan). Sedimen mengakibatkan peningkatan kekeruhan air (turbiditas) turbiditas badan air atau menempel pada permukaan

thallus alga makro sehingga mengakibatkan penghambatan penetrasi cahaya ke badan

perairan atau mengambat absorbsi energi cahaya oleh klorofil organisme produser. Akibatnya proses physiologis terhambat seperti fotosintesis, pertukaran gas dan nutrien (Diaz-Pulido et al. , 2008). Bahkan sedimentasi yang ekstim dapat mengakibatkan terkuburnya seagrass

sehingga berpengaruh terhadap produktiftas dan sebaran tanaman seagrass (Texas Park and Wild Life, 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa partikel terbawa aliran sungai yang berasal dari kawasan pertanian mengandung nutrien inorganik yang tinggi khususnya nitrogen sehingga dapat mengakibatkan eutrophikasi.

Pengaruh faktor lingkungan (cahaya dan kecerahan air) juga ditunjukkan oleh penelitian Borum et al. (2004), kematian masal tanaman lamun jenis Zostera marina dikawasan Florida


(11)

2.1.2. Salinitas

Salinitas adalah salah satu faktor yang menjadi pembatas antara organisme air tawar dan air laut. Namun, beberapa organism memiliki kisasaran toleransi yang luas terhadap alinitas (euryhalin) sehinga memilki sebaran yang lebih luas misalnya tanaman mangrove dan hewan yang habitatnya di muara sungai.

Meskipun tanaman mangrove memiliki toleransi yang luas terhadap fluktuasi salinitas, toleransi ini bersifat species specific. Hal ini bisa dilihat adanya zonasi tanaman mangrove, tanaman mangrove tersebar dari kawasan yang selalu terendam sampai kawasan yang kering ketika surut.

Variasi toleransi juga ditunjukkan oleh rumput laut. Pengaruh salinitas terhadap struktur komunitas rumput laut (seaweed) dapat dilihat dari variasi species antara kawasan yang dipengaruhi air tawar dan jauh dari kawasan air tawar (Pelinggon and Tito2009). Daerah yang dipengaruhi air tawar (salinitas rendah) secara umum memiliki keragaman yang rendah dibandinngkan di daerah yang tidak dipengaruhi salinitas rendah misalnya area terumbu karang (reef area).

Pengaruh faktor lingkungan (limbah) juga ditunjukkan oleh penelitian Borum et al.

(2004), kematian masal tanaman lamun jenis Zostera marina dikawasan Florida Bay (USA)

akibat limbah.

2.2. Faktor Kimia Lingkungan 2.2.1. Oksigen

Oksigen adalah salah satu komponen lingkungan yang bagi organisne untuk proses respirasi. Sumber oksigen terlarut ekosistem perairan dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer dan aktivitas fotosintesis tumbuhan air. Produser di ekosistem perairan adalah tanaman dan mikro alga (fitoplankton), melalui proses fotosintesis.

Tanaman air memiliki sedikit perbedaan dengan tanaman di darat berkaitan dengan hal oksigen. Tanaman di darat ketika siang menggunakan oksigen yang diproduksi melalui fotosintehsis untuk memenuhi kebutuhannya dan kelebihannya di difusikan ke alam dan pada malam hari ketika tidak melakukan fotosintesis, tanaman memeroleh dari udara bebas. Sedangkan tanaman air, oksigen hasil fotosintesis diurnal segera digunakan untuk proses respirasi dan kelebihannya disimpan dalam jaringan (lacuna) untuk digunakan pada pagi hari pada saat supply O2 rendah. Tanaman beradaptasi terhadap penurunan oksigen ini diantaranya dengan penurunan laju respirasi atau melakukan respirasi dengan glikolisis (dalam kondisi anaerob)


(12)

2.2.2. CO2

Peningkatan CO2 sampai dengan level tertentu akan menstimulate pertumbuhan tanaman di darat, tetapi tidak demikian pengaruhnya terhadap tanaman air (misalnya kelp) kecuali tanaman lamun (Seagrass). Peningkatan CO2 akan menyebabkan acidifikasi perairan laut akan menurunkan aragonite sehingga dapat mengganggu organism yang tubuhnya calciferous (seperti coral, foram).

2.2.3. Nutrien

Nutrien di ekosistem peraiaran dapat berasal dari erbagai sumber seperti proses decomposisi dan remineralisasi bahan organic atau organism mati.dan loading yang berasal dari daratan terbawa aliran sungai, upwelling, fiksasi N oleh alga biru hijau dan masukan limbah aktifitas manusia (Diaz-Puidoet et al., 2008)


(13)

Proses dekomposisi bahan organi berperan penting terhadap perubahan kondidilingkugan. Di satu sisi proses dekomposisi berperan menyediakan nutrien bagi produser perairan, disisi lain proses ini dapat mempengaruhi kondisi lingkunga seperti penurunan oksigen dan meningkatkan CO2 bahkan pH air. Pross dekomposisi berlebihan dapat mengakiatkan eutropikasi sehinga malah akan menurunkan kualitas perairan. Mc Intyre

et al. (2007) mengemukakan pengaruh ikan terhadap siklus nutrin di suatu perairan

tawartropis karena ikan berperan melalui sekresi nitrogen dan fosfor (phosphorous), shingga hilangnya ikan dari suatu kawasan dapat mempengaruhi siklus nutrien di perairan tersebut. Scara keseluruhan bahwa over eksploitas yang mengakibatkan berkurangnya ikan di suatu

kawasan dapat membahayakan / merugikan fingsi ekosistem.

Meningkatnya nutint terlarut meningkatkan pertumbuhan alga makro seaweed (misal

Sargassum sp), bahkan kandungan nutrien yang berlebihan, seperti akibat masukkan akibat

aktifitas manusia mengakibatkan eutropikasi dapat mengakbtakan pertubuhan alga yang berlebihan. (Doiaz-Pulido et al., 2008.

Pemanfaatan nutrien limbah perikanan salmon yang mencapai 56 % merupakan sumber nutrien untuk budidaya rumput laut (Oie, 2012). Lebih lanjut disebutkan bahwa biomassa rumput laut yang dikultur dengan sistem terpadu dengan budidaya ikan salmon lebih tinggi dibandingkan dengan yang dikultur di daerah tanpa budidaya salmon. Hasil ini mengindikasikan juga bahwa rumput laut dapat digunakan sebagai absorber limbah pakan budidaya ikan (sitem ini dikenal dengan sistem budidaya terontegrasi/polylcultur atau Integragrated Multi-Ttrophic Aquaculture / IMTA).

2.2.4. Pollusi

Berbagai penelitian telah banyak melaporkan pengaruh polusi bahan organik di badan perairan , termasuk didalamnya herbisida dan hidrokarbon. Polusi perairan pantai dapat diakibatkan oleh masukan bahan pencemar oleh aliran sungai (land source pollution) atau

aktifitas di laut (seperti transportasi , penambangan). Menurut Camargo dan Alonso (2006) polusi nitrogen inorganik di ekosistem akuatik menyebabkan peningkatan jumlah produser primer yang mengakibatkan eutropikasi dan ketika mencapai level toksik dapat mengakibatkan tekanan terhadap sintasan, pertumbuhan dan reproduksi. Meskipun masih sedikit bukti pengaruh lansung masih terbatas Diaz-Pulido et a.l (2008) melaporkan bahwa

pengaruh polutan tersebut terhadap physiologi rumput laut. Namun, rumput laut tidak efektif untuk bioremediasi logam berat. Hasil penelitian Philip(2013) menyebutkan bahwa peningkatan bahan nutrien yang mengandung bahan pencemar logam berat menekan


(14)

pertumbuhan rumput laut. Penelitian Amado et al. (1997) mengidikasikan bahwa konsentrasi

pencemaran Zn yang menyebakan tekanan pertumbuhan beberapa rumput laut adalah 20 µg per liter and semua seaweed mati pada level 5000 µg. Selanjutnya dikatakan bahwa Padina dan Sargassum lebih tahan terhadap pencemaran Zn dibandingkan Ulva lactuca, Enteromorpha flexuosa dan Halimeda musciformi, sehingga dapat digunakan untuk


(15)

III. DEPENDENSI KONSUMER TERHADAP INTERDEPNDENSI FAKTOR ABIOTIK-PRODUSER

Interdependensi ekophysiologi tanaman dan faktor lingkungan meningkatkan kualitas lingkungan lingkungan yang menguntungkan bagi organisme konsumer (seperti meningkatnya produktifitas primer , siklus nutrien dan produksi bahan pakan) (Altieri et al.,

2009).

Secara intrinsik (genetik), organime (termasuk organisme produk perikanan) memiliki potesi biotik pertumbuhan (Sahu et al., 2000). Selanjutnya disebutkan bahwa potensi biotik

pertumbuhan ini bersifat spcies specific bahkan individual, karena tiap individual memiliki karakteristik genetik yang berbeda sehingga ketiak memiliki respon yang berbeda. Di alam, realisasi potensi biotik (instrinnsik) pertumbuhan sangat tergantung terhadap faktor luar (ekstrinsik) yaitu pakan dan faktor lingkungan.

Pakan merupakan sumber energi untuk pertumbuhan konsumer. Oleh karena itu untuk memperoelh pertumbuhan maksimal, pakan harus memenuhi kebutuhan konsumer baik jumlah maupun komposisinya. Di alam, kualitas dan komposisi dan ketersediaan pakan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sehingga faktor lingkungan erpengaruh secara tidak langsung terhadap organism konsumer.

Faktor lingkungan mempengaruhi secara langsung proses biologi organism konsumer, seperti temperatur, oksigen, pH air, pencemaran (amoniak). Sehingga terlihat bahwa produktifitas organisme konsumer sangat tergantung terhadap faktor lingkungan habitat dan ketersediaan pakan di alam

3.1. Pengaruh langsung faktor lingkungan terhadap organisme konsumer 3.1.1. Oksigen dan hewan

Menurut peneliti US EPA (1986) hewan sangat tergantung terhadap produser perairan dalam ketersediana oksigen di air (dissolve Okxygen/ DO), untuk digunakan untuk respirasi dan recycle limbah. Oksigen di perairan terutama berasal dari aktifitas fotosintesis produser (fitoplankton dan alga makro). Organisme perairan sangat sensitif terhadap penurunan oksigen terlarut (DO), dapat mengakibatkan stress dan bahkan kematian. Organisme yang hidup dalam suatu ekosistem yang relatif tertutup (misal danau, kolam dan tambak), kekurangan oksigen dapat menyebabkan stress sehingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sampai kematian. Sedangkan organisme di perairan terbuka akan melakukan “ migrasi” ke daerah yang oksigennya cukup. Menurut Mallya (2007) kebutuhan ikan sangat


(16)

bervariasi tetapi secara garis besar disebutkan bahwa kebutuhan sekitar 3 – 8 ppm dan kebutuhan oksigen ikan bervariasi antar spesies (species specific). Di tambak, kekurangan oksigen terlarut (di kolam budidaya) mengakibatkan stress ikan atau udang sehingga akan mengakibatkan penurunan feeding sehngga akan berdanpak terhadap pertumbuhan. Ikan yang hidup di laut dalam memiliki sistim pengunaan oksigen yang efisien karena zona tersebut tidak ada fotosintesis tanaman (kondisinya gelap).

3.2. Pengaruh tidak langsung faktor lingkungan terhadap organisme konsumer 3.2.1. Upweeling faktorligkungan (suhu dan angin)

Upwelling adalah pergerakan air bagian bawah perairan ke permukaan sehingga menghasilkan aliran dari bawah permukaan perairan, biasangya membawa material terlarut (seperti nutrien) yang terendapkan. Penyertaan nutrien ke permukaan secara langsung menyediakan nutrien bagi produser sehingga akan memacu pertumbuhan fitoplankton. Selanjutnya pertumbuhan fitoplankton akan meningkatkan organism konsumer. Peningkatan populasi fitoplankton juga akan meningkatkan laju photosinthesis di kawasan tersebut. Oleh karena itu kawasan dimana terjadi upwelling dikenal dengan kawasan yang memiliki produktifitas yang tinggi.

Upwelling dapat terjadi sebagai hasil pergerakkan air permukaan oleh angin sehingga terjadi “ tur over” air di bagian bawah upwelling tipe ini dikenal luas di perairan kawasan Chilli Amerika Latin sehigga dikenal sebagai salah satu penghasil ikan teri (Anchovy) dan di wilayah Indonesia bagian timur. Upwelling juga dapat terjadi akibat peningkatan suhu permukaan perairan (pada musim semi) akibat meningkatya intensitas dan surasi cahaya matahari, sehingga mengakibatkan pergerakan air bagian bawah ke bagian permukaan

3.2.2. Bioremediasi

Perkembangan usaha peikanan tambak intensif berkembang dengan pesat dan mencapai masa keemasan pada akhir tahun 1980 an. Berkembangnya usaha pertambakan, disi lain akan mengakibatkan penumpukan limbah sepanjang pantai , seperti nitrogen (N) dan posfor (P) yang berasal dari sisa pakan dan ekskresi organisme konsumer. Sehingga akan meningkatkan tekanan terhadap lingkungan pertambakan karena air tambak dipasok air laut dari yang sudah banyak mengalami penurunan kualitas, padahal tambak sendiri secara internal menghasilkan limbah organik yang tinggi yang dapat berakibat buruk terhadap lingkungan tambak budidaya. Salah satu upaya meningkatkan kondisi perairan tambak adalah dengan melakukan polykultur ikan dan rumput laut (misal bandeng dengan


(17)

Gracillaria sp). Gracillaria dapat memanfaatkan limbah ikan bandeng sehingga

meningkatkan kualitas air (Anonym, 2013b). Meningkatnya kualitas perairan akhirnya akan berdampak terhadap pertumbuhan udang atau bandeng.

3.2.3. Segrass dan Alga

Tim peneliti Texas Park and Wild life (1999) mengemukakan bahwa mangrove dan kawasan padang lamun (seagrass beds) telah dikenal sebagai kawasan (selain coral reef) yang memiliki produktifitas perikanan yang tinggi. Beberapa alasan ekologis tingginya produktifitas perikanan tersebut adalah mangrove dan lamun sebagai tempat mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery groun), tempat berlindung dari predator (refuge area). Seagrass bahkan merupakan tempat menempelnya alga (ephyphytic alga).

Seagrass

Berbagai penelitian yang melaporkan peranan ekologi dan ekonomi ekosistem padang lamun, diantaranya sebagai penyumbang material organik yang berasal dari penguraian “ daun” nya oleh berbagai mikroorganisme yang hidup dihabitat padang lamun (Sand-Jensen, 1975; Coleman and Burkholder, 1994); sebagai tempat berlindung dan mencari makan berbagai organisme (James and Heck Jr., 1994) dan sebagai tempat nurshery ground dan spawning ground (Shieh, and Yang, 1997)

Pertumbuhan tanaman seagrass tidak dipengaruhi oleh nutrien di dalam air karena tanaman lamun mampu memperoleh nutrin dari substrat (Speight and Henderson, 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa kepadatan, pertumbuhan dan distribusi tanaman lamun sangat sensisitive terhadap faktor ligkungan terutana ketersediaan cahaya dan peningkatan kekeruhan air akibat eutrophikasi. Sehingga penurunan intensitas cahaya akan berakibat terhadap peroduktifitas dan sintasan hidup lamun. Karena intensitas dan durasi cahaya menurun maka pertumbuhan, biomasa, kepadatan akan menurun, sementara level nitrat dan fosfat meningkat akibat physiologis yang tidak seimbang dan penguraian material yang mati.

Hasil penelitian tim Texas Park and Wild life (1999) menyebutkan bahwa peranan seagrass sangat penting untuk berbagai organisme, kepadatan hewan di kawasan padang lamun dapat mencapai 2-25 kali lipat kawasan sekitarnya tanpa segrass. Lebih lanjut disebutkan bahwa kawasan padang lamun menyediakan habitat untuk berbagai hewan akuatik seperti invertebrata dan ikan. Unswort et al. (2009) mengkelompokkan beberapa peranan kawasan seagras dan mangrove sebagai daerah asuhan bagi larva dan anakan ikan karena


(18)

menyediakan daerah berlindung dari predator dan menyediakan makanan. Namun sedikit ikan yang berasal dari kawasan koral reef.

Alga

Penelitian Hilman et al. (1995) menunjukkan bahwa variasi musiman (temporal) faktor

lingkungan (salinitas, temperatur air, suplay cahaya) berpengaruh sangat nyata terhadap biomassa, produktifitas dan pertumbuhan Halophila ovalis. Hasil tersebut menunjukkan

bahwa pertumbuhan, biomassa dan produktifitas terbaik dicapai ketika musim panas dibandingkan musim dingin karena pada musim panas, temperatur dan suplay cahaya cukup serta salinitas yang lebih tinggi.


(19)

IV. PENUTUP

Hasil studi pustaka di atas menunjukkan bahwa:

1. Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap organisme produser di ekosistem akuatik 2. Organisme produser perairan dapat meningkatkan kauliatas lingkungan perairan

3. Interdependenesi faktor lingkungan dan organisme produser memiliki pengaruh terhadap produktifitas organisme konsumer perairan baik secara langsung maupun tidak langsung


(20)

DAFTAR PUSTAKA

Altieri AH, Trussell GC, Ewanchuk PJ, Bernatchez G, Bracken MES (2009) Konsumers Control Diversity and Functioning of a Natural Marine Ecosystem. PLoS ONE 4(4): e5291. doi:10.1371/journal.pone.0005291

Amado Filho GM, Karez CS, Andrade LR, Yoneshigue-Valentin Y, Pfeiffer WC. 1997

Anonym. 2013. Marine Environment And Primary Productivity. http://faculty.scf.edu /rizkf/ OCE1001/OCEnotes/chap11.htm. opene

Anonym. 2013b. Pemanfaatan Rumput Laut (Gracilaria Sp.) Sebagai Agen Biofiltrasi Bahan Organik Di Perairan Tambak Ikan Bandeng Dan Pengaruhnya Terhadap Produksihttp://www.sobatbumi.com/inspirasi/view/561/Pemanfaatan-Rumput-Laut- Gracilaria-Sp.-Sebagai-Agen-Biofiltrasi-Bahan-Organik-Di-Perairan-Tambak-Ikan-Bandeng-Dan-Pengaruhnya-Terhadap-Produksi

Borum, CM Duarte, D Krause-Jensen and TM Greve (ed). 2004. European seagrasses: an introduction to monitoring and management. The M&MS project. http://www.seagrasses.org

Bowen, W.D. 1997. The Role of Marine Mammals in Akuatik Ecosystems. Marine Prog. Ser.158 : 267-274.

Camargo, J. A. , Á. Alonso. 2006. Ecological and toxicological effects of inorganic nitrogen pollutionin akuatik ecosystems: A global assessment. Environment International 32 : 831– 849

Coleman, V.L. and Burkholder, J.M. 1994. Community structure and productivity of epiphytic microalgae on eelgrass (Zostera marina, L. ) under water-column nitrate enrichment. J. Exp. Mar. Biol. 179 : 29 – 48.

Diaz-Pulido, G. and McCook, L. July 2008, ‘ Macroalgae (Seaweeds)’ in Chin. A, (ed) The State of the Great Barrier Reef On-line, Great Barrier Reef Marine Park Authority,

Townsville. Viewed on

(enterdateviewed),http://www.gbrmpa.gov.au/corp_site/info_services/publications/sotr/ downloads/SORR_Macroalgae.pdf

Diaz-Pulido, G. and McCook, L. July 2008, ‘ Macroalgae (Seaweeds)’ in Chin. A, (ed) The State of theGreat Barrier Reef On-line, Great Barrier Reef Marine Park Authority,

Townsville.

http://www.gbrmpa.gov.au/corp_site/info_services/publications/sotr/downloads/SO RR_Macroalgae.pdf

Effects on growth and accumulation of zinc in six seaweed species. Ecotoxicol Environ Saf.

37(3):223-8

Hillman, K,; A.J. McComb 1, D.I. Walker. 1995. The distribution, biomass and primary production of the seagrass Halophila ovalis in the Swan/CanningEstuary, Western

Australia Akuatik Botany 51 (1-54).

James, P.L. and Heck Jr., K.L. 1994. The effect of habitat complexity and light intensity on ambush predation within a simulated sea grass habitat. J. Exp. Mar. Biol and Ecol.: 176 : 187 – 200.

Mallya, Y.J. 2007. The effect of Dissolved Okxygeb on Fish Growth in Aquaculture. Final Report . The United Nation Unversity

McIntyre PB, Jones LE, Flecker AS and Vanni MJ..2007. Fish extinctions alter nutrien recycling in tropical freshwaters. Proc Natl Acad Sci U S A. 104(11):4461-

Øie, Gunvor.2012. Seaweed cultivation as biomass for bioenergi. SINTEF Fisheries and Aquaculture


(21)

Pelinggon and Tito. 2009. Module 7: Seaweed Production. Western Mindanao State Unibersity.

Sahu, BB; P.K. Meher; S. Mohanty; P.V.G.K. Reddy ands. Ayyappan. 2000.. Evaluation of the Carcass and Comercial Characteristic of Carp. The ICLARM Quarterly. 23 (2). Sand-Jensen, K. 1975. Biomass, net production and growth dynamic in an eelgrass (Zostera

marina L) population in Vellerup Vig. Denmark. Ophelia . 14 : 185.201.

Shieh, W.Y. and Yang, J.T. 1997. Denitrification in the rhizosphere of the two sea grass , Thalassia hemprichii (Ehrenb.) Ascher and Halodule uninervis (Forsk.) Ascher. J. Exp. Mar. Biol and Ecol. 218: 229-241.

Speight, M and P. Henderson. 2010. Marine Ecology: Concept and Application. Wiley – Blackwell.

Texas Park and Wild life .1999.Seagrasss Conservation Plan for Texas. Texas Park and Wild life, resorces Protection division.Austin. Texas

US EPA. 1986. Water Quality: Ambient Water Quality Criteria for Dissolved Oxygen (section 4.0. Akuatik Life (Freshwater, Marine and Sediment).


(1)

bervariasi tetapi secara garis besar disebutkan bahwa kebutuhan sekitar 3 – 8 ppm dan kebutuhan oksigen ikan bervariasi antar spesies (species specific). Di tambak, kekurangan oksigen terlarut (di kolam budidaya) mengakibatkan stress ikan atau udang sehingga akan mengakibatkan penurunan feeding sehngga akan berdanpak terhadap pertumbuhan. Ikan yang hidup di laut dalam memiliki sistim pengunaan oksigen yang efisien karena zona tersebut tidak ada fotosintesis tanaman (kondisinya gelap).

3.2. Pengaruh tidak langsung faktor lingkungan terhadap organisme konsumer 3.2.1. Upweeling faktorligkungan (suhu dan angin)

Upwelling adalah pergerakan air bagian bawah perairan ke permukaan sehingga menghasilkan aliran dari bawah permukaan perairan, biasangya membawa material terlarut (seperti nutrien) yang terendapkan. Penyertaan nutrien ke permukaan secara langsung menyediakan nutrien bagi produser sehingga akan memacu pertumbuhan fitoplankton. Selanjutnya pertumbuhan fitoplankton akan meningkatkan organism konsumer. Peningkatan populasi fitoplankton juga akan meningkatkan laju photosinthesis di kawasan tersebut. Oleh karena itu kawasan dimana terjadi upwelling dikenal dengan kawasan yang memiliki produktifitas yang tinggi.

Upwelling dapat terjadi sebagai hasil pergerakkan air permukaan oleh angin sehingga terjadi “ tur over” air di bagian bawah upwelling tipe ini dikenal luas di perairan kawasan Chilli Amerika Latin sehigga dikenal sebagai salah satu penghasil ikan teri (Anchovy) dan di wilayah Indonesia bagian timur. Upwelling juga dapat terjadi akibat peningkatan suhu permukaan perairan (pada musim semi) akibat meningkatya intensitas dan surasi cahaya matahari, sehingga mengakibatkan pergerakan air bagian bawah ke bagian permukaan

3.2.2. Bioremediasi

Perkembangan usaha peikanan tambak intensif berkembang dengan pesat dan mencapai masa keemasan pada akhir tahun 1980 an. Berkembangnya usaha pertambakan, disi lain akan mengakibatkan penumpukan limbah sepanjang pantai , seperti nitrogen (N) dan posfor (P) yang berasal dari sisa pakan dan ekskresi organisme konsumer. Sehingga akan meningkatkan tekanan terhadap lingkungan pertambakan karena air tambak dipasok air laut dari yang sudah banyak mengalami penurunan kualitas, padahal tambak sendiri secara internal menghasilkan limbah organik yang tinggi yang dapat berakibat buruk terhadap lingkungan tambak budidaya. Salah satu upaya meningkatkan kondisi perairan tambak adalah dengan melakukan polykultur ikan dan rumput laut (misal bandeng dengan


(2)

Gracillaria sp). Gracillaria dapat memanfaatkan limbah ikan bandeng sehingga meningkatkan kualitas air (Anonym, 2013b). Meningkatnya kualitas perairan akhirnya akan berdampak terhadap pertumbuhan udang atau bandeng.

3.2.3. Segrass dan Alga

Tim peneliti Texas Park and Wild life (1999) mengemukakan bahwa mangrove dan kawasan padang lamun (seagrass beds) telah dikenal sebagai kawasan (selain coral reef) yang memiliki produktifitas perikanan yang tinggi. Beberapa alasan ekologis tingginya produktifitas perikanan tersebut adalah mangrove dan lamun sebagai tempat mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery groun), tempat berlindung dari predator (refuge area). Seagrass bahkan merupakan tempat menempelnya alga (ephyphytic alga).

Seagrass

Berbagai penelitian yang melaporkan peranan ekologi dan ekonomi ekosistem padang lamun, diantaranya sebagai penyumbang material organik yang berasal dari penguraian “ daun” nya oleh berbagai mikroorganisme yang hidup dihabitat padang lamun (Sand-Jensen, 1975; Coleman and Burkholder, 1994); sebagai tempat berlindung dan mencari makan berbagai organisme (James and Heck Jr., 1994) dan sebagai tempat nurshery ground dan spawning ground (Shieh, and Yang, 1997)

Pertumbuhan tanaman seagrass tidak dipengaruhi oleh nutrien di dalam air karena tanaman lamun mampu memperoleh nutrin dari substrat (Speight and Henderson, 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa kepadatan, pertumbuhan dan distribusi tanaman lamun sangat sensisitive terhadap faktor ligkungan terutana ketersediaan cahaya dan peningkatan kekeruhan air akibat eutrophikasi. Sehingga penurunan intensitas cahaya akan berakibat terhadap peroduktifitas dan sintasan hidup lamun. Karena intensitas dan durasi cahaya menurun maka pertumbuhan, biomasa, kepadatan akan menurun, sementara level nitrat dan fosfat meningkat akibat physiologis yang tidak seimbang dan penguraian material yang mati.

Hasil penelitian tim Texas Park and Wild life (1999) menyebutkan bahwa peranan seagrass sangat penting untuk berbagai organisme, kepadatan hewan di kawasan padang lamun dapat mencapai 2-25 kali lipat kawasan sekitarnya tanpa segrass. Lebih lanjut disebutkan bahwa kawasan padang lamun menyediakan habitat untuk berbagai hewan akuatik seperti invertebrata dan ikan. Unswort et al. (2009) mengkelompokkan beberapa peranan kawasan seagras dan mangrove sebagai daerah asuhan bagi larva dan anakan ikan karena


(3)

menyediakan daerah berlindung dari predator dan menyediakan makanan. Namun sedikit ikan yang berasal dari kawasan koral reef.

Alga

Penelitian Hilman et al. (1995) menunjukkan bahwa variasi musiman (temporal) faktor lingkungan (salinitas, temperatur air, suplay cahaya) berpengaruh sangat nyata terhadap biomassa, produktifitas dan pertumbuhan Halophila ovalis. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan, biomassa dan produktifitas terbaik dicapai ketika musim panas dibandingkan musim dingin karena pada musim panas, temperatur dan suplay cahaya cukup serta salinitas yang lebih tinggi.


(4)

IV. PENUTUP

Hasil studi pustaka di atas menunjukkan bahwa:

1. Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap organisme produser di ekosistem akuatik 2. Organisme produser perairan dapat meningkatkan kauliatas lingkungan perairan

3. Interdependenesi faktor lingkungan dan organisme produser memiliki pengaruh terhadap produktifitas organisme konsumer perairan baik secara langsung maupun tidak langsung


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Altieri AH, Trussell GC, Ewanchuk PJ, Bernatchez G, Bracken MES (2009) Konsumers Control Diversity and Functioning of a Natural Marine Ecosystem. PLoS ONE 4(4): e5291. doi:10.1371/journal.pone.0005291

Amado Filho GM, Karez CS, Andrade LR, Yoneshigue-Valentin Y, Pfeiffer WC. 1997

Anonym. 2013. Marine Environment And Primary Productivity. http://faculty.scf.edu /rizkf/ OCE1001/OCEnotes/chap11.htm. opene

Anonym. 2013b. Pemanfaatan Rumput Laut (Gracilaria Sp.) Sebagai Agen Biofiltrasi Bahan Organik Di Perairan Tambak Ikan Bandeng Dan Pengaruhnya Terhadap Produksihttp://www.sobatbumi.com/inspirasi/view/561/Pemanfaatan-Rumput-Laut- Gracilaria-Sp.-Sebagai-Agen-Biofiltrasi-Bahan-Organik-Di-Perairan-Tambak-Ikan-Bandeng-Dan-Pengaruhnya-Terhadap-Produksi

Borum, CM Duarte, D Krause-Jensen and TM Greve (ed). 2004. European seagrasses: an introduction to monitoring and management. The M&MS project. http://www.seagrasses.org

Bowen, W.D. 1997. The Role of Marine Mammals in Akuatik Ecosystems. Marine Prog. Ser.158 : 267-274.

Camargo, J. A. , Á. Alonso. 2006. Ecological and toxicological effects of inorganic nitrogen pollutionin akuatik ecosystems: A global assessment. Environment International 32 : 831– 849

Coleman, V.L. and Burkholder, J.M. 1994. Community structure and productivity of epiphytic microalgae on eelgrass (Zostera marina, L. ) under water-column nitrate enrichment. J. Exp. Mar. Biol. 179 : 29 – 48.

Diaz-Pulido, G. and McCook, L. July 2008, ‘ Macroalgae (Seaweeds)’ in Chin. A, (ed) The State of the Great Barrier Reef On-line, Great Barrier Reef Marine Park Authority,

Townsville. Viewed on

(enterdateviewed),http://www.gbrmpa.gov.au/corp_site/info_services/publications/sotr/ downloads/SORR_Macroalgae.pdf

Diaz-Pulido, G. and McCook, L. July 2008, ‘ Macroalgae (Seaweeds)’ in Chin. A, (ed) The State of theGreat Barrier Reef On-line, Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville.

http://www.gbrmpa.gov.au/corp_site/info_services/publications/sotr/downloads/SO RR_Macroalgae.pdf

Effects on growth and accumulation of zinc in six seaweed species. Ecotoxicol Environ Saf. 37(3):223-8

Hillman, K,; A.J. McComb 1, D.I. Walker. 1995. The distribution, biomass and primary production of the seagrass Halophila ovalis in the Swan/CanningEstuary, Western Australia Akuatik Botany 51 (1-54).

James, P.L. and Heck Jr., K.L. 1994. The effect of habitat complexity and light intensity on ambush predation within a simulated sea grass habitat. J. Exp. Mar. Biol and Ecol.: 176 : 187 – 200.

Mallya, Y.J. 2007. The effect of Dissolved Okxygeb on Fish Growth in Aquaculture. Final Report . The United Nation Unversity

McIntyre PB, Jones LE, Flecker AS and Vanni MJ..2007. Fish extinctions alter nutrien recycling in tropical freshwaters. Proc Natl Acad Sci U S A. 104(11):4461-

Øie, Gunvor.2012. Seaweed cultivation as biomass for bioenergi. SINTEF Fisheries and Aquaculture


(6)

Pelinggon and Tito. 2009. Module 7: Seaweed Production. Western Mindanao State Unibersity.

Sahu, BB; P.K. Meher; S. Mohanty; P.V.G.K. Reddy ands. Ayyappan. 2000.. Evaluation of the Carcass and Comercial Characteristic of Carp. The ICLARM Quarterly. 23 (2). Sand-Jensen, K. 1975. Biomass, net production and growth dynamic in an eelgrass (Zostera

marina L) population in Vellerup Vig. Denmark. Ophelia . 14 : 185.201.

Shieh, W.Y. and Yang, J.T. 1997. Denitrification in the rhizosphere of the two sea grass , Thalassia hemprichii (Ehrenb.) Ascher and Halodule uninervis (Forsk.) Ascher. J. Exp. Mar. Biol and Ecol. 218: 229-241.

Speight, M and P. Henderson. 2010. Marine Ecology: Concept and Application. Wiley – Blackwell.

Texas Park and Wild life .1999.Seagrasss Conservation Plan for Texas. Texas Park and Wild life, resorces Protection division.Austin. Texas

US EPA. 1986. Water Quality: Ambient Water Quality Criteria for Dissolved Oxygen (section 4.0. Akuatik Life (Freshwater, Marine and Sediment).