PENDAHULUAN HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN FREKUENSI PENYAKIT ISPA DAN DIARE PADA BALITA USIA 12-48 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GILINGAN SURAKARTA.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan gizi yang sering terjadi di seluruh negara di dunia adalah
kekurangan energi protein seperti merasmus, kwarsiorkor, dan stunting.
Kekurangan energi protein dapat berdampak pada perkembangan otak, hal
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, durasi keadaan
kekurangan gizi, pemulihan menuju keadaan normal, lingkungan, serta terdapat
atau tidaknya penyakit (Poskitt, 2003). Masalah gizi yang paling banyak
ditemukan pada anak di Indonesia adalah stunting. Kategori stunting didasarkan
pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut
Umur (TB/U) dengan ambang batas (z-score) antara -3 SD sampai dengan < -2
SD.
Hasil Riskesdas 2013 prevalensi pendek (stunting) menurut provinsi,
prevalensi pendek adalah 37,2% , yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan
tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi stunting sebesar 37,2% terdiri
dari 18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek. Pada tahun 2013 pravalensi
sangat pendek menunjukan penurunan dari 18,8% pada tahun 2007 dan 18,5%
pada tahun 2010. Berbeda dengan prevalensi sangat pendek yang mengalami
penurunan, pravalensi pendek justru fluktuatif dari 18,0% pada tahun 2007, dan

turun pada angka 17,1% pada tahun 2010, kemudian naik kembali menjadi 19,2
% pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Prevalensi pendek (stunting) pada balita
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terkait, antara lain keadaan gizi ibu ketika

1

masa kehamilan, asupan gizi yang kurang pada bayi, kekurangan konsumsi
makanan yang berlangsung lama sehingga status gizi balita rendah.
Status gizi bayi dan balita merupakan salah satu indikator gizi masyarakat
dan bahkan telah dikembangkan menjadi salah satu indikator kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat. Hal ini karena bayi dan balita merupakan kelompok
yang sangat rentan terhadap berbagai penyakit kekurangan gizi, padahal bayi
dan balita merupakan aset terhadap kemajuan bangsa. Balita merupakan masa
dimana terjadinya proses pertumbuhan dan perkembangan dengan cepat,
dengan begitu balita membutuhkan asupan gizi berkualitas baik dan seimbang,
karena pada masa inilah terjadi banyak aktifitas yang tentunya tinggi. Jika
kebutuhan gizi balita tidak terpenuhi, maka dikhawatirkan tidak tercapainya
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Hal tersebut dapat menyebabkan
masalah kekurangan gizi misalnya stunting, yang selanjutnya dapat beresiko
menurunkan derajat kesehatan (Depkes RI, 2002).

Status gizi merupakan hal yang paling berperan dalam kejadian sakit,
terutama pada balita. Penelitian Hamisah (2011) yang dilakukan di kabupaten
Klaten, menyebutkan bahwa status gizi memiliki hubungan yang bermakna
terhadap penyakit diare dan ISPA di mana balita dengan status gizi kurang
mudah terjangkit diare dan ISPA. Balita dengan konsumsi pangan hewani, susu,
dan produk olahan susu yang rendah akan menyebabkan balita kekurangan
protein dan mineral seperti kalsium dan seng. Dikarenakan stunting tidak dapat
dipisahkan dengan asupan gizi, dimana asupan gizi akan mempengaruhi
pertumbuhan tinggi badan anak. Hubungan stunting dengan frekuensi penyakit
ISPA dan diare, sistem imunitas tubuh sangat berperan penting, sehingga
apabila konsumsi sayur dan buah tidak tercukupi maka dapat menyebabkan
2

balita kekurangan vitamin A dan vitamin C yang dapat menurunkan imunitas
tubuh. Hal ini dapat memicu terjadinya penyakit infeksi pada balita seperti ISPA
dan diare. Konsumsi pangan berhubungan timbal balik dengan penyakit infeksi.
Terjadinya stunting serta penyakit infeksi, seperti diare dan ISPA yang
terjadi pada balita tidak lepas dari riwayat pemberian ASI eksklusif. Balita usia 06 bulan kebutuhan gizinya terpenuhi dari ASI. Balita yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif berisiko lebih tinggi mengalami kekurangan gizi. Gizi sangat penting
bagi balita 1-4 tahun yang dalam masa pertumbuhan, kekurangan gizi dapat

menghambat proses pertumbuhan. Kualitas asupan makanan yang baik
merupakan komponen penting dalam makanan anak karena mengandung
sumber zat gizi makro (karbohidrat, lemak, protein) dan mikro (seng, kalsium)
yang semuanya berperan dalam pertumbuhan anak (BPPK, 2010).
Stunting pada balita perlu menjadi perhatian khusus karena dapat
menghambat perkembangan fisik dan mental anak. Stunting berkaitan dengan
peningkatan risiko kesakitan dan kematian serta terhambatnya pertumbuhan dan
perkembangan kemampuan motorik dan mental. Balita yang mengalami stunting
memiliki risiko terjadinya penurunan kemampuan intelektual, produktivitas, dan
peningkatan risiko penyakit degeneratif dimasa mendatang. Hal ini dikarenakan
anak stunting juga cenderung lebih rentan terhadap penyakit infeksi. Begitu juga
anak yang mengalami infeksi rentan terjadi status gizi kurang. Anak yang
mengalami infeksi jika dibiarkan maka berisiko terjadi stunting (BPPK, 2010).
Keadaan stunting dapat menimbulkan berbagai macam penyakit,
diantarannya penyakit yang sering menyerang balita seperti halnya diare dan
ISPA. Penyakit infeksi ini merupakan penyakit yang dapat menyebabkan
kematian, 21% dari 15 juta orang yang meninggal karena penyakit diare adalah
3

balita (WHO, 2011). Dalam kawasan Negara berkembang penyakit diare masih

menjadi masalah yang besar tercermin dari angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit diare yang tinggi (Priyanti, dkk, 2009). Infeksi saluran pernapasan akut
disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai
salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit,atau nyeri telan, pilek, batuk
kering atau berdahak. Periode prevalensi ISPA dihitung dalam kurun waktu 1
bulan terakhir.
Kejadian stunting (pendek) dapat disebabkan diantaranya oleh penyakit
infeksi. Kejadian stunting dengan frekuensi penyakit diare dan ISPA tidak dapat
dipisahkan karena saling berkaitan satu sama lain. Berdasarkan penelitian
Masithah, Soekirman, dan Martianto (2005) disebutkan bahwa status kesehatan
berupa penyakit infeksi memiliki hubungan positif terhadap indeks atau status gizi
TB/U. Sedangkan hasil penelitian Husein (2013) disebutkan bahwa status
ekonomi rendah, riwayat ISPA, dan asupan protein kurang merupakan faktor
risiko yang bermakna pada kejadian stunting anak usia 12-24 bulan kecamatan
Semarang Timur.
Salah satu daerah di Jawa Tengah dengan prevalensi stunting tinggi
adalah Kota Surakarta. Menurut data dari UPTD Puskesmas Gilingan Surakarta
(2014), mulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2014 terdapat
kejadian diare pada 41 balita dengan rata-rata 8 balita terjangkit diare per bulan.
Sedangkan kejadian ISPA pada balita di lingkungan Puskesmas Gilingan ini lebih

banyak yaitu 374 balita terjangkit penyakit ISPA dalam kurun waktu 5 bulan sejak
Januari dengan rata-rata 75 balita per bulan terkana penyakit ISPA. Berdasarkan
data dari UPTD Puskesmas Gilingan (2013), prevalensi kejadian stunting

4

(pendek dan sangat pendek) adalah 12,5% (139 balita) dari jumlah balita 834
balita.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian data pada latar belakang, penulis tertarik untuk
meneliti tentang hubungan kejadian stunting dengan frekuensi penyakit Diare
dan ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Gilingan Surakarta.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara kejadian stunting dengan frekuensi
penyakit Diare dan ISPA pada balita usia 12-48 bulan di wilayah
Puskesmas Gilingan Surakarta tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan kejadian stunting pada balita usia 12-48 bulan di
wilayah Puskesmas Gilingan Surakarta tahun 2015.

b. Menganalisis hubungan antara kejadian stunting dengan frekuensi
penyakit ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Gilingan
Surakarta tahun 2015.
c. Menganalisis hubungan antara kejadian stunting dengan frekuensi
penyakit Diare pada balita di wilayah Puskesmas Gilingan
Surakarta tahun 2015.
d. Menginternalisasi

nilai-nilai

keislaman

dalam

bidang

gizi

khususnya mengenai kesehatan anak balita.


5

D. Manfaat Penelitian
a. Bagi Peneliti
1. Menambah pengetahuan tentang masalah gizi pada balita.
2. Menambah wawasan dan pengalaman dalam mengidentifikasi
masalah gizi pada balita dan dapat mengaplikasikan ilmu yang
didapat diperkuliahan di tengah masyarakat.
b. Bagi Pemerintah (Dinas Kesehatan)
Dapat memberikan informasi sebagai masukan tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita sehingga
dapat menurunkan prevalensi terjadinya penyakit infeksi.
c. Bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat menjadi informasi dalam upaya pencegahan
stunting pada balita.
d. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat menjadi referensi dalam melakukan penelitian
sejenis selanjutnya.

6


Dokumen yang terkait

DETERMINAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK BALITA USIA 12-36 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RANDUAGUNG KABUPATEN LUMAJANG

4 21 22

BAB I PENDAHULUAN Hubungan Lama Pemberian Asi Eksklusif Dan Pemilihan Makanan Jajanan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 36-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Gilingan Surakarta.

0 2 6

DAFTAR PUSTAKA Hubungan Lama Pemberian Asi Eksklusif Dan Pemilihan Makanan Jajanan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 36-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Gilingan Surakarta.

0 1 4

PUBLIKASI KARYA ILMIAH Hubungan Lama Pemberian Asi Eksklusif Dan Pemilihan Makanan Jajanan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 36-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Gilingan Surakarta.

0 6 10

HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN FREKUENSI PENYAKIT ISPA DAN DIARE PADA BALITA USIA 12-48 BULAN HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN FREKUENSI PENYAKIT ISPA DAN DIARE PADA BALITA USIA 12-48 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GILINGAN SURAKARTA.

0 2 10

DAFTAR PUSTAKA HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN FREKUENSI PENYAKIT ISPA DAN DIARE PADA BALITA USIA 12-48 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GILINGAN SURAKARTA.

0 3 4

HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN FREKUENSI PENYAKIT ISPA DAN DIARE PADA BALITA USIA 12-48 BULAN DI WILAYAH KERJA HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN FREKUENSI PENYAKIT ISPA DAN DIARE PADA BALITA USIA 12-48 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GILINGAN SURAKAR

0 3 17

HUBUNGAN PERSEPSI IBU DAN PARTISIPASI BALITA KE POSYANDU DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 36-59 BULAN Hubungan Persepsi Ibu dan Partisipasi Balita Ke Posyandu Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 36-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Gilin

0 3 17

PENDAHULUAN Hubungan Persepsi Ibu dan Partisipasi Balita Ke Posyandu Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 36-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Gilingan Surakarta.

0 3 7

DAFTAR PUSTAKA Hubungan Persepsi Ibu dan Partisipasi Balita Ke Posyandu Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 36-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Gilingan Surakarta.

0 7 6