Studi Deskriptif Tentang Derajat Resiliensi pada Orang Tua (Studi Deskriptif Tentang Derajat Resiliensi pada Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak Thalasemia di Rumah Sakit "X" Bandung.

(1)

iv Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Penelit ian ini merupakan penelitian deskriptif mengenai derajat Resiliensi pada orang

tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung. Tujuan

penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran derajat resiliensi, protective factor dan kebutuhan dasar orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah

Sakit “X” Bandung. Teknik penarikan sample yang digunakan adalah purposive

sampling dan diperoleh 40 orang tua (40 ayah dan 40 ibu) yang memiliki anak Thalasemia berjenis Mayor, yang menjalani transfusi lebih dari 3 bulan dan memiliki anak lebih dari 1 orang.

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner resiliensi yang disusun peneliti berdasarkan teori resiliensi Bonnie Benard (2004). Berdasarkan uji validitas menggunakan expert diperoleh hasil 54 item yang dapat digunakan sebagai alat ukur resiliensi. Data hasil penelitian ini diolah menggunakan teknik distribusi frekuensi dan tabulasi silang antara protective factor dengan resiliensi dan dengan kebutuhan dasar. Kesimpulan penelitian ini adalah seluruh orang tua (100%) yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit ”X” Bandung memiliki derajat resiliensi yang tinggi. Tingginya resiliensi orang tua ditunjukkan dengan tingginya social competence, problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose and bright future orang tua. Ada atau tidak adanya penghayatan orang tua akan hadirnya protective factor dalam keluarga dan komunitas, kebutuhan dasar orang tua tetap terpenuhi hanya sebagian kecil kebutuhan yang tidak terpenuhi.Terpenuhi atau tidak kebutuhan dasar orang tua tidak menaikkan atau menurunkan derajat resiliensi dari orang tua.

Peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya agar meneliti dengan menggunakan desain penelitian kontribusi. Bagi keluarga, pesan kepercayaan atau harapan-harapan positif (High Expectation) yang disampaikan oleh ibu kepada ayah mengenai tanggung jawab dalam merawat anak menjadi hal yang penting dan dibutuhkan oleh ayah. Bagi orang tua dari pasangan, tidak hanya kesempatan atau pesan kepercayaan yang dibutuhkan oleh ayah-ibu dari orang tuanya namun kesediaan orang tuanya untuk membantu (Caring Relationship) ketika dirinya mengalami kesulitan menjadi sesuatu yang berarti bagi ayah-ibu. Bagi Rumah Sakit “X”, kesediaan mereka untuk membantu (Caring Relationship) dan memberikan harapan-harapan positif (High Expectation) kepada ayah-ibu dapat membantu ayah-ibu dalam keyakinan bahwa dirinya tidak sendiri sehingga merasa aman, berarti dan tetap mampu melakukan perawatan yang tepat untuk anaknya dan membentuk kelompok dukungan sosial untuk orang tua lainnya yang memiliki anak Thalasemia baik yang diluar maupun didalam lingkungan Rumah Sakit.


(2)

ix Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

ABSTRAK... iv

KATAPENGANTAR...v

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR SKEMA ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah……… 1

1.2Identifikasi Masalah……….. 11

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian……… 11

1.3.2 Tujuan Penelitian……….. 11

1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis……… 11

1.4.2 Kegunaan Praktis……….. 12

1.5Kerangka Pemikiran………...12


(3)

x Universitas Kristen Maranatha BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Resiliensi

2.1.1 Pengertian Resiliensi... ... 25

2.1.2 Empat Aspek Resiliensi ... 25

2.1.3 Environmental Protective Factor ... 37

2.1.4 Kebutuhan dasar ... 49

2.2 Thalasemia 2.2.1 Pengertian Thalasemia... ... 50

2.2.2 Jenis-jenis Thalasemia... ... 50

2.2.3 Gejala-gajala Thalasemia ... 52

2.2.4 Penyebab Thalasemia... ... 53

2.2.5 Penanganan Penderita Thalasemia ... ... 53

2.2.6 Pencegahan ... ...54

2.3 Masa Dewasa 2.3.1 Pengertian dan Batasan masa Dewasa Awal ... 55

2.3.2 Ciri-ciri Masa Dewasa Awal ... 55

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian……….………. ... 62

3.2 Bagan Prosedur Penelitian... .... 62

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.3.1 Variabel Penelitian………... 63


(4)

xi Universitas Kristen Maranatha 3.4 Alat Ukur

3.4.1 Alat Ukur Resiliensi……… ... 65

3.4.2 Prosedur Pengisian Kuesioner………... 67

3.4.3 Sistem Penilaian………... ... 68

3.4.4 Kuesioner Data Pribadi dan Data Penunjang……….... 70

3.4.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 3.4.5.1 Uji Validitas……….. 71

3.4.5.2 Uji Reliabilitas………...…… 71

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel 3.5.1 Populasi Sasaran………..……….…… 71

3.5.2 Karakteristik Populasi………...…..……….……. 71

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel………..……….…. 72

3.6 Teknik Analisis Data………. 72

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran responden ... ... 73

4.2 Hasil Penelitian Data dan Pembahasan 4.2.1 Hasil Penelitian Data ... 78

4.3 Pembahasan... 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 105

5.2 Saran... 106

5.2.1 Saran Untuk Penelitian Selanjutnya... 106


(5)

xii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA... 108 DAFTAR RUJUKAN... 109 LAMPIRAN


(6)

xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.4.1 Pembagian Item dalam alat ukur Resiliensi ... 65

Tabel 3.4.3 Penilaian Item Kuesioner ... 68

Tabel 4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia... 73

Tabel 4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir... 74

Tabel 4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 74

Tabel 4.1.4 Gambaran Responden Berdasarkan Jumlah Anak... 75

Tabel 4.1.5 Gambaran Responden Berdasarkan Fasilitas... 75

Tabel 4.1.6 Gambaran Responden Berdasarkan Jadwal Transfusi ... 76

Tabel 4.1.7 Gambaran Responden Berdasarkan kerabat yang memiliki anak Thalasemia... 76

Tabel 4.1.8 Gambaran Responden yang bergabung dalam POPTI... 77

Tabel 4.1.9 Gambaran Responden Berdasarkan Lamanya Masa Transfusi ... 77

Tabel 4.2.1 Gambaran Derajat Resiliensi Ayah-Ibu ... 78

Tabel 4.2.2 Tabulasi Silang Derajat Resiliensi Dengan Aspek-Aspeknya ...79

Tabel 4.2.2.1 Tabulasi Silang Resiliensi dengan Social Competence Ayah ... 79

Tabel 4.2.2.2 Tabulasi Silang Resiliensi dengan Social Competence Ibu ... 79

... Tabel 4.2.2.3 Tabulasi Silang Resiliensi dengan Problem Solving Skill Ayah ... 80

Tabel 4.2.2.4 Tabulasi Silang Resiliensi dengan Problem Solving Skill Ibu ... 80

Tabel 4.2.2.5 Tabulasi Silang Resiliensi dengan Autonomy Ayah ... 81


(7)

xiv Universitas Kristen Maranatha Tabel 4.2.2.7 Tabulasi Silang Derajat Resiliensi dengan Sense Of Purpose and

Bright Future Ayah ... 82

Tabel 4.2.2.8 Tabulasi Silang Derajat Resiliensi dengan Sense Of Purpose and


(8)

xv Universitas Kristen Maranatha DAFTAR SKEMA

Skema 1.1 Kerangka Pikir... 23 Skema 3.1 Prosedur Penelitian ... 62


(9)

xvi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Kuesioner Data Pribadi dan Data Penunjang Lampiran B Kuesioner Resiliensi

Lampiran C Data Mentah Kuesioner Resiliensi Ayah Lampiran D Data Mentah Kuesioner Resiliensi Ibu Lampiran E Data Pribadi Ayah dan Ibu

Lampiran F Data Protective Factor Ayah Lampiran G Data Protective Factor Ibu

Lampiran H Distribusi Skor Kuesioner Resiliensi Ayah dan Ibu Lampiran I Distribusi Skor Kebutuhan Dasar Ayah dan Ibu

Lampiran J Tabulasi Silang Protective Factor Ayah dengan Resiliensi Lampiran K Tabulasi Silang Protective Factor Ibu dengan Resiliensi Lampiran L Tabulasi Silang Kebutuhan Dasar Ayah dengan Resiliensi Lampiran M Tabulasi Silang Kebutuhan Dasar Ibu dengan Resiliensi Lampiran N Tabulasi Silang Data Pribadi Ayah dengan Resiliensi Lampiran O Tabulasi Silang Data Pribadi Ibu dengan Resiliensi


(10)

1 Universitas Kristen Maranatha PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Anak adalah hadiah yang diberikan Tuhan kepada sebuah keluarga yang dibangun oleh suami dan istri. Ketika anak lahir ada perasaan senang, bahagia karena mendapat peran baru sebagai orang tua namun di lain sisi orang tua juga mulai merasa khawatir dengan tanggung jawab mereka dalam mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya. Terkadang orang tua diliputi pertanyaan mengenai “apakah saya dapat menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak saya? atau apakah saya mampu menjalankan peran sebagai orang tua?” Kondisi ini menuntut orang tua untuk dapat mengerahkan energi, waktu dan pikirannya untuk kepentingan perkembangan anak-anaknya. Situasi yang demikian bisa dihayati sebagai suatu perubahan besar dalam hidup mereka, karena sebelumnya mereka telah memiliki berbagai peran dalam kehidupannya, seperti menjadi suami atau istri bagi pasangannya atau menjadi seseorang yang bekerja atau pemimpin di sebuah organisasi atau bekerja secara mandiri.

Di masyarakat peran ayah dalam sebuah keluarga sering diidentikkan sebagai sosok yang menjaga dan melindungi keluarga agar terasa aman dan nyaman, baik bagi pasangan maupun bagi anak-anaknya. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab ayah sebagai pencari nafkah yang dituntut untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan tugas-tugas kepemimpinannya di dalam keluarga,


(11)

2

Universitas Kristen Maranatha sedangkan ibu lebih berperan pada kemampuannya untuk memelihara, merawat, mengasuh dan melakukan aktivitas rumah tangga lainnya berkaitan dengan anak. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa ayah cenderung berperan sebagai sosok yang mencari nafkah sedangkan ibu sebagai figur yang mengasuh dan merawat. Diharapkan dalam masyarakat tidak ada lagi benturan mengenai perbedaan peran yang kontras antara ayah dan ibu. Ayah dan ibu memiliki peran yang sama penting dalam pengasuhan dan perawatan anak, yang memiliki tujuan akhir untuk mengoptimalkan perkembangan anak baik secara fisik maupun secara mental (www.groups.yahoo.com, diakses 21 juni 2010). Terutama bila anak yang hadir dalam keluarga tersebut tidak terlahir secara “normal” dalam artian anak tersebut membawa penyakit tertentu, memiliki kelainan atau cacat secara fisik ataupun mental. Pengasuhan dan perawatan yang dilakukan orang tua menjadi sangat penting, karena berfungsi sebagai tolak ukur kualitas hidup anak mereka selanjutnya. Bila dikaitkan dengan kondisi anak yang memiliki penyakit genetik seperti Thalasemia, maka perawatan serta pengasuhan yang dilakukan orang tua menjadi lebih kompleks dan tidak mudah dilakukan.

Thalasemia adalah sekelompok gejala atau penyakit keturunan yang diakibatkan karena kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sebagai bahan utama darah. Darah manusia terdiri dari plasma dan sel darah yang berupa sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah merah (trombosit). Seluruh sel darah dibentuk oleh sumsum tulang, sementara hemoglobin merupakan salah satu pembentuk sel darah merah. Hemoglobin terdiri dari 4 rantai asam amino (2 rantai amino alpha


(12)

Universitas Kristen Maranatha dan 2 rantai amino beta) yang bekerja bersama-sama untuk mengikat dan mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. (www.dradio1034fm.or.id, diakses 20 Mei 2010). Rantai asam amino inilah yang gagal dibentuk sehingga menimbulkan Thalasemia, dengan kata lain sel–sel darah tidak mengandung cukup hemoglobin (www.groups.yahoo.com, diakses 21 Mei 2010). Oleh sebab itu penderita Thalasemia harus dibantu dengan transfusi darah secara berkala untuk menambah hemoglobin dalam tubuhnya.

Thalasemia terbagi menjadi 2 jenis yaitu Thalasemia minor dan mayor Thalasemia. Thalasemia minor (trait/carier), penderita Thalasemia jenis ini hanya sebagai pembawa sifat tidak memerlukan transfusi darah namun tetap mewariskan gen Thalasemia kepada anak-anaknya.Thalasemia mayor, penderita memerlukan transfusi darah secara rutin dan bila tidak dirawat maka umur anak tidak akan panjang (www.waspada.co.id, diakses 10 Mei 2010). Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit Thalasemia, oleh sebab itu anak menjalani transfusi setiap bulan agar memperpanjang harapan hidup. Transfusi darah dilakukan secara rutin seumur hidup anak, dalam rentang waktu paling umum adalah 3-4 minggu sekali. Seorang anak Thalasemia diibaratkan seperti makhluk penghisap darah (vampir), mereka membutuhkan transfusi darah agar mereka tidak menjadi anemia, pucat, lemas, sulit tidur, rewel dan sulit makan. Transfusi yang dilakukan secara terus menerus mengakibatkan menumpuknya zat besi dalam tubuh anak sehingga dapat merusak organ-organ vital namun apabila anak tidak mendapatkan transfusi darah secara berkala maka kehidupan anak Thalasemia hanya akan bertahan 1 sampai dengan 8 tahun.


(13)

4

Universitas Kristen Maranatha Penumpukan zat besi yang berlebihan ini juga mengakibatkan tubuh anak menghitam, selain itu bentuk fisik anak berbeda dengan anak pada umumnya, misalnya bentuk wajah yang cekung, badan yang lebih kurus dan kecil, perut buncit, hidung masuk ke dalam (pesek), gigi cenderung maju kedepan (tonggos). Perbedaan ciri fisik ini tidak hanya membuat anak merasa minder dan enggan sekolah namun juga membuat orang tua merasa sedih dan minder apalagi bila anak mereka berjenis kelamin perempuan (kesehatan.kompas.com, diakses 11 Mei 2010)

Anak-anak yang menderita Thalasemia sudah mulai melakukan transfusi sejak usia kurang dari 1 tahun, tidak hanya transfusi mereka juga harus disuntik untuk memperkecil akumulasi zat besi dalam tubuhnya mengunakan Desferal (nama dagangnya). Desferal ini berbentuk kubus dan berukuran sebesar buku tulis digunakan sebelum atau sesudah transfusi, selama 5 jam dan dilakukan 12 kali dalam 1 bulan. Harga desferal ini sangat mahal oleh sebab itu tidak semua orang tua memiliki alat ini dirumah namun bisa meminjamnya dari Rumah Sakit. Selain transfusi darah, kelasi besi, anak-anak yang menderita Thalasemia juga harus menelan obat-obat yang berukuran besar dalam jumlah yang banyak dan pahit rasanya. Tidak semua anak menyukai atau cocok menggunakan desferal, tidak semua anak juga patuh dan mau transfusi atau minum obat, padahal bila tidak dilakukan akan berbahaya bagi anak. Dalam kondisi ini orang tua dituntut untuk dapat menemukan cara agar anak mau minum obat dan melakukan transfusi. Selain itu anak Thalasemia juga tidak boleh sakit, walaupun hanya flu atau batuk karena dapat menurunkan hemoglobin (Hb), tidak hanya itu terlalu letih, merasa


(14)

Universitas Kristen Maranatha sedih atau memikirkan sesuatu yang berat juga bisa mempengaruhi kondisi hemoglobin (Hb) anak.

Dengan bertambahnya usia anak maka jumlah darah yang diperlukan juga bertambah, selain itu jangka waktu transfusi juga semakin dekat dan mulai sulit diprediksi. Ketidakpastian jadwal transfusi anak terkadang membuat orang tua mengalami kesulitan, karena biaya untuk transfusi darah tidak murah, orang tua harus menghabiskan uang sampai jutaan rupiah untuk sekali transfusi (berkaitan dengan pembelian darah, transfusion set, jarum suntik dan pemeriksaan laboratorium, obat, ruangan/tindakan). Dalam situasi yang tidak pasti ini, orang tua tetap harus menemukan satu solusi agar anak bisa transfusi – orang tua bisa meminta bantuan kepada keluarganya untuk membantunya. Untuk biaya transfusi, saat ini Pemerintah Daerah telah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan keringanan biaya. Adanya sumber bantuan yang disediakan lingkungan seharusnya bisa dimanfaatkan oleh orang tua untuk membantu dirinya. Bantuan yang diberikan Pemerintah tidak secara penuh karena ada beberapa item yang ditanggung oleh Rumah Sakit dan beberapa item lagi dibayar penuh. Orang tua merasa terbantu namun hal ini masih menjadi kesulitan yang utama bagi orang tua anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung, berkaitan dengan pekerjaan orang tua yang sebagian besar adalah buruh.

Berdasarkan wawancara singkat terhadap 20 orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit „X‟ Bandung berkaitan dengan kesulitan yang dihadapi oleh orang tua, ternyata sebanyak 16 orang tua (80%) merasa kesulitan dalam keuangan sedangkan 4 orang tua lainnya (20%) tidak merasa kesulitan


(15)

6

Universitas Kristen Maranatha dalam keuangan. Walaupun sebagian pembiayaan sudah dibantu oleh pemerintah, para orang tua masih harus membayar uang fotokopi hasil laboratorium, biaya transportasi, biaya untuk makan kalau ternyata mereka harus menginap di Rumah Sakit. Selanjutnya sebanyak 15 orang tua (75%) merasa kesulitan membagi waktu, terutama ayah yang bekerja – mereka harus ijin dari kantor, apabila bekerja sebagai buruh harian maka ayah tidak mendapatkan bayaran untuk hari tersebut, sedangkan 5 orang tua lainnya (25%) tidak merasa kesulitan dalam pembagian waktu. Berikutnya sebanyak 13 orang tua (65%) merasa kesulitan dengan sikap anak mereka yang Thalasemia misalnya anak menjadi rewel, sulit makan, tidak mau minum obat/transfusi sedangkan 7 orang tua lainnya (35%) merasa tidak kesulitan dalam menghadapi anak mereka yang Thalasemia. Selanjutnya sebanyak 10 orang tua (50%) merasa kesulitan dengan prosedur sebelum melakukan transfusi darah (prosedur ini dihayati sebagai kondisi yang melelahkan bagi orang tua) sedangkan 10 orang tua lainnya (50%) merasa tidak kesulitan dengan prosedur yang mereka jalani sebelum anak mereka transfuse darah.

Mengenai penghayatan orang tua saat ini tentang kondisi anak mereka yang Thalasemia, diperoleh hasil sebanyak 14 orang tua (70%) merasa takut atau cemas jikalau kondisi anak mereka memburuk secara tiba-tiba, misalnya Hemoglobin menjadi rendah sehingga sulit untuk bisa naik kembali karena demam atau flu dan merasa takut ketika mendengar berita tentang kematian anak Thalasemia dari orang tua lainnya sedangkan 6 orang tua lainnya (30%) tidak merasa cemas ataupun takut. Selanjutnya sebanyak 9 orang tua (45%) menyadari


(16)

Universitas Kristen Maranatha adanya perasaan lelah secara fisik, bosan karena menghadapi rutinitas anak transfusi dan mengetahui bahwa transfusi yang dilakukan tidak bisa menyembuhkan anak mereka sedangkan 11 orang tua lain (55%) tidak merasa lelah ataupun bosan menghadapi rutinitas tersebut.

Kondisi tersebut adalah fakta yang dihadapi oleh orang tua yang memiliki anak Thalasemia yang bisa dianggap sebagai suatu beban atau keadaan yang menekan bukan hanya secara moral namun juga secara material (adversity). Apabila keadaan tidak dapat ditangani oleh para orang tua maka tingkah laku yang tampil menjadi negatif, seperti orang tua melakukan pembiaran terhadap anak mereka yang Thalasemia - anak tidak dibawa ke dokter, tidak dilakukan perawatan medis seperti transfusi darah atau skrining sehingga mengakibatkan kematian anak. Orang tua yang memiliki anak Thalasemia harus tegar, kuat dan dapat “berdamai” dengan penyakit ini sehingga dapat memberikan dukungan bagi anak mereka yang mengalami Thalasemia. Agar orang tua bisa tegar dan kuat menghadapi kesulitan yang ada, diperlukan adanya Resiliensi.

Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan berfungsi secara baik di tengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan (Bonnie Benard, 2004). Menurut Benard (2004) resiliensi terdiri dari empat aspek, yang pertama adalah social competence, problem solving skills,

autonomy dan sense of purpose and bright future. Dengan social competence

orang tua diharapkan akan mampu menjalin relasi dengan baik di lingkungannya walaupun ia sendiri menghadapi situasi yang melelahkan atau kesulitan sebagai


(17)

8

Universitas Kristen Maranatha orang tua anak Thalasemia. Kedua, problem solving skills dalam hal ini orang tua diharapkan dapat mengatasi kesulitan yang ia hadapi dengan melihat dan mencari solusi yang tepat dan mengambil kesempatan yang terbuka di lingkungannya. Aspek ketiga adalah autonomy, orang tua yang memiliki anak Thalasemia diharapkan memiliki kemandirian dan kontrol terhadap lingkungan sehingga merasa yakin bahwa perawatan yang ia berikan merupakan perawatan yang terbaik bagi anaknya. Aspek selanjutnya sense of purpose and bright future, orang tua yang memiliki anak thalasemia diharapkan memiliki keyakinan dan harapan yang positif tidak putus asa berkaitan dengan kondisi anak mereka yang Thalasemia. Resiliensi yang tinggi menjadikan orang tua yang memiliki anak Thalasemia dapat bertahan dalam menjalani kehidupannya walaupun berada dalam situasi yang menekan. Dengan demikian orang tua yang memiliki anak Thalasemia dapat berperilaku positif kepada dirinya sendiri, anaknya yang Thalasemia, pasangan dan lingkungannya.

Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti kepada 20 Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung maka diperoleh data sebagai berikut: sebanyak 13 ayah (65%) menyatakan dapat menjalin relasi sosial dengan lingkungan sekitar mereka, saling bertukar informasi, dan saling membantu ketika mengalami masalah dengan alat transfusi (infus) atau desferal, ini menunjukkan ayah memiliki social competence tinggi. Bagi 7 ayah lainnya (35%), keluarga (orang tua) sulit paham tentang kondisi anak mereka sehingga membuat para ayah enggan bercerita lebih lanjut, ini menunjukkan ayah memiliki


(18)

Universitas Kristen Maranatha atau mencari informasi tentang penanganan anak Thalasemia kepada sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia atau dokter-suster, mau mencoba menjalani pengobatan secara tradisional (obat-obat herbal), menunjukkan ayah memiliki problem solving tinggi. Berbeda dengan 3 ayah lainnya (15%) menyatakan tidak tahu harus bertanya atau mencari informasi tentang anak Thalasemia, enggan mencoba obat-obat tradisional, menunjukkan ayah memiliki

problem solving rendah. Sebanyak 16 ayah (80%), menyatakan bahwa dengan

kondisi anak mereka yang Thalasemia mereka menjadi orang yang tabah dan kuat, ini menunjukkan ayah memiliki autonomy tinggi. Bagi 4 ayah lainnya (20%), menyatakan dirinya tidak berarti, merasa malu memiliki anak Thalasemia dan terkadang juga merasa tidak percaya diri, ini menunjukkan ayah memiliki

autonomy rendah. Sebanyak 17 ayah (85%) percaya akan adanya mukjizat, dan

yakin bahwa Tuhan punya rencana besar untuk anak mereka, menunjukkan ayah memiliki sense of purpose and bright future tinggi. Berbeda dengan 3 ayah lainnya (15%) yang merasa pesimis dan tidak yakin akan masa depan anak mereka nantinya, menunjukkan ayah memiliki sense of purpose and bright future rendah.

Selanjutnya sebanyak 18 ibu (90%) menyatakan dapat menjalin relasi sosial dengan lingkungan sekitar mereka, saling bertukar informasi, dan saling membantu ketika mengalami masalah dengan alat transfusi (infus) atau desferal, ini menunjukkan ibu memiliki social competence tinggi. Bagi 2 ibu lainnya (10%) keluarga (orang tua) sulit paham tentang kondisi anak mereka sehingga membuat para ibu enggan bercerita lebih lanjut, ini menunjukkan ibu memiliki social


(19)

10

Universitas Kristen Maranatha

competence rendah. Sebanyak 17 ibu (85%), menyatakan mau bertanya atau

mencari informasi tentang penanganan anak Thalasemia kepada sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia atau dokter-suster, mau mencoba menjalani pengobatan secara tradisional (obat-obat herbal), menunjukkan ibu memiliki

problem solving tinggi. Bagi 3 ibu lainnya (15%) menyatakan tidak tahu harus

bertanya atau mencari informasi tentang anak Thalasemia, enggan mencoba obat-obat tradisional, menunjukkan ibu memiliki problem solving rendah. Sebanyak 17 ibu (85%), menyatakan bahwa dengan kondisi anak mereka yang Thalasemia mereka menjadi orang yang tabah dan kuat, ini menunjukkan ibu memiliki

autonomy tinggi, sedangkan 4 ibu lainnya (20%), menyatakan dirinya tidak

berarti, merasa malu memiliki anak Thalasemia dan terkadang juga merasa tidak percaya diri, ini menunjukkan ibu memiliki autonomy rendah. Sebanyak 18 ibu (90%) percaya akan adanya mukjizat, dan yakin bahwa Tuhan punya rencana besar untuk anak mereka, menunjukkan sense of purpose and bright future tinggi. Berbeda dengan 2 ibu lainnya (10%) yang merasa pesimis dan tidak yakin akan masa depan anak mereka nantinya, menunjukkan sense of purpose and bright

future rendah.

Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan di atas ditemukan resiliensi yang berbeda-beda dari orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit „X‟ Bandung. Adanya variasi tersebut dapat dipengaruhi oleh penghayatan orang tua akan Protective factor dan kebutuhan dasar yang di terimanya dari lingkungan (Benard, 2004). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih


(20)

Universitas Kristen Maranatha lanjut mengenai bagaimana derajat resiliensi pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dari penelitian ini ingin diketahui derajat resiliensi pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1Maksud Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memperoleh gambaran mengenai derajat resiliensi pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung.

1.3.2Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran mengenai derajat resiliensi, protective factor dan kebutuhan dasar pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung.

1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1Kegunaan Teoritis

 Memberikan tambahan informasi mengenai resiliensi pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia, terutama untuk bidang Psikologi


(21)

12

Universitas Kristen Maranatha Klinis dan Psikologi keluarga yang memandang keluarga sebagai sebuah sistem, dalam rangka memperkaya materi tentang resiliensi.  Memberikan sumbangan informasi kepada peneliti dan mahasiswa

lainnya yang membutuhkan bahan acuan untuk melakukan penelitian lanjut mengenai resiliensi.

1.4.2Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi kepada orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit „X‟ Bandung, agar dapat mengembangkan dan menyesuaikan diri lebih baik.

 Memberikan informasi mengenai resiliensi kepada lingkungan keluarga, sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia dan pihak Rumah Sakit “X” Bandung, sehingga dapat memberikan dukungan pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang ada sehingga membantu kondisi anak mereka yang harus melakukan transfusi darah.

1.5 Kerangka Pikir

Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung, berada dalam rentang usia 24-44 tahun yang termasuk dalam tahapan perkembangan dewasa. Dalam tahap perkembangan dewasa menjadi orang tua dan keluaga dengan anak, merupakan fase ketiga dalam siklus kehidupan


(22)

Universitas Kristen Maranatha keluarga. Memasuki fase ini menuntut orang dewasa untuk menjadi pemberi kasih sayang untuk generasi yang lebih muda. Untuk dapat melalui fase yang panjang ini secara sukses, dituntut komitmen waktu sebagai orang tua, pemahaman peran sebagai orang tua dan penyesuaian diri dengan perubahan perkembangan anak (Santrock, 1993). Permasalahan yang muncul dalam fase ini adalah permasalahan mengenai tanggung jawab, seperti menolak atau tidak mampu berfungsi sebagai orang tua yang kompeten bagi anak. Ketika orang tua yang memiliki anak Thalasemia menolak atau tidak bisa berfungsi sebagai orang tua maka kondisi ini dapat memperburuk kondisi anak mereka yang Thalasemia. Anak Thalasemia membutuhkan komitmen orang tua dalam merawat dan mengasuh mereka, selain membutuhkan biaya untuk transfusi, orang tua juga harus terus memonitor tumbuh kembang si anak. Terkait dengan bentuk fisiknya yang berbeda dengan anak pada umumnya, maka orang tua harus jeli melihat apakah perkembangan tersebut normal/umum bagi anak Thalasemia, selain itu orang tua juga harus mengontrol agar anak tidak makan makanan yang mengandung zat besi, sehingga tidak terjadi penumpukan zat besi akibat asupan makanan, orang tua juga harus bisa menjaga agar Hb anak tidak menurun drastis (adversity). Tidak hanya itu panjangnya prosedur yang harus dilalui oleh orang tua ketika akan transfusi menjadi kesulitan tersendiri dan dirasakan melelahkan bagi orang tua, terutama bagi ayah yang mengurus administrasi untuk transfuse dan orang tua juga harus bisa membagi perhatian mereka untuk anak lainnya. Dalam kondisi yang demikian dibutuhkan kemampuan orang tua untuk dapat menyesuaikan diri secara


(23)

14

Universitas Kristen Maranatha positif dan berfungsi secara baik di tengah situasi yang menekan (adversity) tersebut.

Kemampuan orang tua untuk dapat menyesuaikan diri secara positif dan berfungsi secara baik di tengah situasi yang menekan (advesity), banyak halangan dan rintangan disebut resiliensi (Benard, 2004). Resiliensi mencakup empat aspek, yaitu social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of purpose

and bright future (Benard, 2004). Social competence merupakan kemampuan

orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung untuk dapat memunculkan respon positif dari keluarga atau orang lain, menyatakan pendapat/pandangannya tanpa menyakiti orang lain, menangani konflik, memahami dan peduli pada perasaan serta pandangan keluarga, membantu dan meringankan beban orang lain sesuai dengan yang mereka butuhkan serta cenderung mampu memaafkan diri sendiri, keluarga atau orang lain. Problem

solving skills merupakan kemampuan orang tua yang memiliki anak Thalasemia

di Rumah Sakit “X” Bandung untuk dapat merencanakan, melihat alternatif solusi, menemukan solusi yang tepat, mengenali sumber-sumber di lingkungan, berinisiatif mencari bantuan serta kesempatan yang tersedia untuk mengatasi permasalahannya. Autonomy, merupakan kemampuan orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung untuk dapat menilai diri mereka secara positif, bertanggung jawab terhadap tugas, menghayati dalam mengendaikan lingkungan/pelaksanaan tugas, memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mencapai hasil yang diinginkan, memiliki kompetensi,mampu untuk memotivasi diri, memiliki kemampuan secara


(24)

Universitas Kristen Maranatha emosional untuk menolak pernyataan negatif tentang dirinya, merefleksikan diri, melakukan reframing dalam memandang diri/pengalaman dalam cara yang positif dan memiliki rasa humor. Sense of purpose and bright future, merupakan kemampuan orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung untuk dapat mengarahkan dan mempertahankan motivasinya dalam mencapai tujuan, memiliki hobi yang dapat menghibur ketika menghadapai kesulitan, memiliki optimisme dan harapan akan masa depan yang lebih baik serta memiliki keyakinan secara religius yang membuatnya optimis dan memiliki harapan.

Derajat resiliensi pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia berbeda-beda, tidak terlepas dari peran faktor yang mendukung dan melindungi mereka dari tekanan (adversity) yang disebut dengan protective factors yang ada sejak orang tua anak Thalasemia berada dalam suatu keluarga atau ketika mereka menjadi anggota dalam suatu komunitas. Protective factor terdiri dari caring

relationships, high expectation messages, opportunities to participate and contribution yang diberikan keluarga, sesama orang tua yang memiliki anak

Thalasemia dan dokter-suster

Dukungan dari keluarga (pasangan dan orang tua) berupa hubungan yang dekat dan hangat antar anggota keluarga, serta perhatian dan kasih sayang tanpa syarat akan membuat orang tua yang memiliki anak Thalasemia merasa diperhatikan, didengar dan spesial (caring relationships). Begitu juga dengan keyakinan positif yang diberikan keluarga (pasangan dan orang tua) kepada orang tua yang memiliki anak Thalasemia berkaitan dengan pesan verbal dan nonverbal


(25)

16

Universitas Kristen Maranatha dari keluarga mengenai kemampuan orang tua yang memiliki anak Thalasemia dalam mengatasi kesulitan, serta memberikan semangat, akan membuat orang tua yang memiliki anak Thalasemia termotivasi untuk memenuhi harapan tersebut (high expectations). Selain itu pemberian kesempatan dan kontribusi dalam memecahkan masalah mereka sendiri atau pengambilan keputusan dan partisipasi dalam diskusi keluarga (pasangan dan orang tua) bisa membuat orang tua yang memiliki anak Thalasemia merasa diri mereka masih dibutuhkan (Opportunities

for participation and contribution).

Berikutnya dukungan dari komunitas sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia lingkungan Rumah Sakit “X” Bandung beserta dokter-suster, Hubungan yang hangat, perasaan dimengerti, didengar tanpa dihakimi, bantuan dalam mengambil keputusan-keputusan penting yang diberikan komunitas ini akan memberikan perasaan aman, dihargai, dimengerti bagi orang tua yang memiliki anak Thalasemia (caring relationships). Keyakinan postif dari komunitas terhadap kemampuan orang tua yang memiliki anak Thalasemia dalam beradaptasi dan tetap produktif walaupun sedang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan (stressfull) juga dibutuhkan oleh orang tua yang memiliki anak Thalasemia (High expectations). Selain itu harapan yang diberikan komunitas bahwa orang tua yang memiliki anak Thalasemia mampu mendidik anaknya dapat memberikan kekuatan bagi orang tua yang memiliki anak Thalasemia untuk bertahan dan terus maju mencari berbagi alternatif untuk mempertahankan kondisi anaknya. Komunitas ini juga bisa memberikan kesempatan kepada orang tua yang memiliki anak Thalasemia untuk mengikuti aktivitas bersama dalam kelompok.


(26)

Universitas Kristen Maranatha Orang tua yang memiliki anak Thalasemia juga dapat memberikan kontribusinya kepada komunitasnya ini melalui pemberian informasi mengenai hal-hal yang lebih mereka ketahui tentang penyakit Thalasemia ini. Selain itu orang tua juga dapat sharing tentang suka-duka atau hal apa saja yang bisa dilakukan bila ada di antara komunitas yang memiliki keadaan yang sama dengannya (Opportunities for

participation and contribution)

Seiring dengan hal-hal di atas, apabila orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung mendapatkan Caring relationships,

High expectation messages serta Opportunities for participation and contribution

yang diberikan keluarga (pasangan dan orang tua), sesama orang tua anak Thalasemia dan dokter-suster maka akan timbul penghayatan dalam diri orang tua yang memiliki anak Thalasemia bahwa mereka dicintai, dihargai, tidak berjuang sendiri, serta merasa mampu melakukan sesuatu hingga berhasil, dan merasa berguna bagi lingkungannya. Dengan memiliki penghayatan demikian maka kebutuhan dasar orang tua yang memiliki anak Thalasemia akan rasa aman, rasa dihormati, rasa mandiri, mampu dan berarti terpenuhi. Dengan adanya penghayatan orang tua akan protective factors yang diterima dan kebutuhan dasar yang terpenuhi, maka akan meningkatkan derajat resiliensi dari orang tua yang memiliki anak Thalasemia tersebut.

Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung yang memiliki derajat resiliensi tinggi dalam aspek social competence maka orang tua yang memiliki anak Thalasemia akan dapat memunculkan respon positif dari keluarga atau orang lain, menyatakan pendapat/pandangannya tanpa menyakiti


(27)

18

Universitas Kristen Maranatha orang lain misalnya menyampaikan ketidakpuasan terhadap pelayanan Rumah Sakit tanpa membuat tersinggung pihak Rumah Sakit, mampu menangani konflik, memahami dan peduli pada perasaan serta pandangan keluarga misalnya memahami keletihan yang pasangan rasakan ketika mengantri nomor urut atau mengerti kesakitan, kebosanan yang dirasakan anak mereka ketika harus ditransfusi secara terus menerus, mampu membantu dan meringankan beban orang lain sesuai dengan yang mereka butuhkan serta mampu memaafkan diri sendiri, keluarga atau orang lain.

Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung yang memiliki derajat resiliensi tinggi dalam aspek problem solving skills, akan memiliki kemampuan untuk dapat merencanakan sesuatu misalnya jadwal kegiatan harian anaknya agar tidak keletihan, mampu melihat alternatif solusi yang tersedia sehingga tidak terpaku pada satu solusi dan pada akhirnya menemukan solusi yang tepat misalnya mencari cara bagaimana bisa membayar uang sekolah anak sedangkan diwaktu yang sama anak yang Thalasemia membutuh uang untuk transfusi, orang tua mampu menemukan dan mengambil bantuan serta kesempatan yang tersedia untuk mengatasi permasalahannya, misalnya ketika mengalami kesulitan ia bisa bertanya kepada sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia.

Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung yang memiliki derajat resiliensi tinggi dalam aspek autonomy, maka orang tua yang memiliki anak Thalasemia dapat menilai diri mereka secara positif misalnya memandang diri sebagai orang yang kuat dan tabah, merasa yakin terhadap


(28)

Universitas Kristen Maranatha kemampuan diri serta merasa memiliki kemampuan dalam suatu bidang (merasa kompeten) misalnya mengatur keuangan keluarga, mampu memotivasi diri sehingga menghayati bahwa usaha yang ia lakukan itu bermanfaat bagi kondisi anaknya. Selain itu orang tua yang memiliki autonomy tinggi juga memiliki kemampuan secara emosional untuk menolak pernyataan negatif tentang dirinya, mampu untuk merefleksikan diri, melakukan reframing sehingga menyadari adanya perasaan letih, bosan dalam merawat anak mereka yang Thalasemia namun tetap mampu berfungsi sebagaimana mestinya dan mampu mengubah kondisi diri yang negatif (letih, bosan, marah, sedih) menjadi sesuatu yang lebih menyenangkan bagi dirinya dan lingkungan (humor).

Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung yang memiliki derajat resiliensi tinggi dalam aspek sense of purpose and bright

future maka orang tua yang memiliki anak Thalasemia akan mampu mengarahkan

dan mempertahankan motivasinya dalam mencapai tujuan, dalam hal ini tujuan orang tua adalah mempertahankan kondisi anak agar tetap “fit” sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya (melakukan transfusi berkala atau menghindari makanan yang banyak mengadung zat besi), dan berusaha agar anak tidak sesering mungkin melakukan transfusi. Selain itu orang tua juga mampu untuk melepaskan diri dari rutinitasnya dan beralih untuk melakukan sesuatu yang mereka sukai (hobi), memiliki keyakinan secara religius, dalam artian yakin bahwa apa yang mereka hadapi saat ini karena mereka (orang tua) adalah orang-orang pilihan atau spesial sehingga membuat orang-orang tua optimis serta memiliki harapan positif mengenai anak mereka yang Thalasemia.


(29)

20

Universitas Kristen Maranatha Jika orang tua yang memiliki anak thalasemia tidak menghayati adanya

protective factor yang diberikan keluarga (pasangan dan orang tua), sesama orang

tua yang memiliki anak Thalasemia dan dokter-suster maka orang tua akan merasa dirinya sendiri sehingga terancam, ditolak, merasa tidak mampu melakukan sesuatu dan merasa tidak berarti sebagai orang tua sehingga kebutuhan dasar orang tua juga tidak terpenuhi yang akan melemahkan atau menurunkan derajat resiliensi dari orang tua yang memiliki anak Thalasemia. Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung yang memiliki derajat resiliensi rendah dalam aspek social competence maka orang tua kurang dapat memunculkan respon positif dari keluarga atau orang lain, mampu menyatakan pendapat/pandangannya namun menyakiti orang lain, menyampaikan ketidakpuasan terhadap pelayanan Rumah Sakit dengan cara tidak sopan atau penuh amarah, kurang mampu menangani konflik - lebih memilih untuk menghindari, kurang memahami dan peduli pada perasaan serta pandangan keluarga misalnya kurang memahami keletihan yang pasangan rasakan ketika mengantri nomor urut atau kurang mengerti kesakitan, kebosanan yang dirasakan anak mereka ketika harus ditransfusi secara terus menerus, kurang bersedia membantu dan meringankan beban orang lain merasa dirinya dalam kesulitan juga, kurang mampu memaafkan diri sendiri, keluarga atau orang lain.

Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung yang memiliki derajat resiliensi rendah dalam aspek problem solving skills, maka orang tua kurang mampu merencanakan sesuatu misalnya tidak membatasi kegiatan harian anaknya sehingga anak menjadi keletihan, terpaku pada satu


(30)

Universitas Kristen Maranatha solusi – kurang mau melihat alternatif solusi yang lainnya dan akhirnya kurang menemukan solusi yang tepat misalnya merasa bingung ketika mencari cara bagaimana bisa membayar uang sekolah anak sedangkan diwaktu yang sama anak yang Thalasemia membutuh uang untuk transfusi, orang tua yang memiliki anak Thalasemia kurang mampu menemukan dan mengambil bantuan serta kesempatan yang tersedia untuk mengatasi permasalahannya, misalnya ketika mengalami kesulitan tidak tahu harus bertanya kepada siapa.

Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung yang memiliki derajat resiliensi rendah dalam aspek autonomy, maka orang tua yang memiliki anak Thalasemia kurang dapat menilai diri mereka secara positif misalnya masih memandang diri sebagai orang lemah, merasa kurang yakin terhadap kemampuan diri serta kurang memiliki kemampuan dalam suatu bidang (merasa kompeten) misalnya kurang bisa mengatur keuangan keluarga, kurang mampu memotivasi diri sehingga menghayati bahwa usaha yang ia lakukan itu tidak mengubah kondisi anaknya. Selain itu orang tua yang memiliki autonomy rendah juga kurang memiliki kemampuan secara emosional untuk menolak pernyataan negatif tentang dirinya, kurang mampu untuk merefleksikan diri serta melakukan reframing sehingga kurang menyadari adanya perasaan letih, bosan dalam merawat anak mereka yang thalasemia sehingga sering jengkel ketika merawat anak dan kurang mampu mengubah kondisi diri yang negatif (letih, bosan, marah, sedih) menjadi sesuatu yang lebih menyenangkan bagi dirinya dan lingkungan (humor).


(31)

22

Universitas Kristen Maranatha Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung yang memiliki derajat resiliensi rendah dalam aspek sense of purpose and bright

future maka orang tua yang memiliki anak Thalasemia kurang mampu

mengarahkan dan mempertahankan motivasinya dalam mencapai tujuan, dalam hal ini tujuan orang tua adalah mempertahankan kondisi anak agar tetap “fit”. Selain itu orang tua juga kurang mampu untuk melepaskan diri dari rutinitasnya dan beralih untuk melakukan sesuatu yang mereka sukai (hobi), kurang memiliki keyakinan secara religius, dalam artian kurang yakin bahwa apa yang mereka hadapi saat ini karena mereka (orang tua) adalah orang-orang pilihan atau karena kutukan sehingga membuat orang tua kurang optimis serta kurang memiliki harapan positif mengenai anak mereka yang Thalasemia.

Adanya kondisi yang menekan (adversity), pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung, maka diperlukan adanya resiliensi dalam diri orang tua. Resiliensi dapat membantu orang tua untuk dapat menyesuaikan diri secara positif dan mampu bertahan sekalipun dalam situasi yang menekan sehingga bisa memberikan dukungan secara moral terhadap anaknya yang mengalami Thalasemia.

Uraian diatas dapat digambarkan dengan bagan kerangka pemikiran sebagai berikut :


(32)

Universitas Kristen Maranatha 1.1 Skema Kerangka Pemikiran

Orang tua Resiliensi

Adversity

(situasi yang menekan) Memiliki anak

thalasemia

Aspek Resiliensi : - Social Competence

- Problem Solving Skills - Autonomy

- Sense Of Purpose and bright future

Resiliensi Tinggi Resiliensi

Rendah

Protective Factor (Community and Family)

Caring relationship

High expectations

Opportunities for participation and contribution

Kebutuhan dasar : - Rasa aman - Rasa dihormati - Rasa mandiri - Mampu - Berarti


(33)

24

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi Penelitian

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka dapat ditarik sejumlah asumsi sebagai berikut :

1. Memiliki anak Thalasemia dalam sebuah keluarga dapat menjadi suatu keadaan yang menekan (adversity).

2. Resiliensi pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung dipengaruhi oleh protective factor dan

situasi yang menekan (adversity)

3. Orang tua yang memiliki anak Thalasemia Di Rumah Sakit “X” Bandung yang menghayati adanya protective factor dari keluarga (pasangan dan orang tua), sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia, dan dokter-suster akan memiliki derajat resiliensi yang tinggi

4. Protective factor yang diterima dari keluarga (pasangan dan orang

tua), sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia, dan dokter-suster akan memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan dasar orang tua yang memiliki anak Thalasemia.

5. Derajat resiliensi yang dimiliki oleh orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung, bervariasi terlihat melalui aspek-aspeknya yaitu : social competence, problem solving


(34)

105 Universitas Kristen Maranatha KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan data dan pembahasan hasil data dari 40 orang tua (ayah-ibu) yang memiliki anak Thalasemia di Rumah

Sakit “X” Bandung, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Seluruh ayah dan ibu (100%) yang memiliki anak Thalasemia di Rumah

Sakit “X” Bandung memiliki resiliensi yang tinggi, dan menunjukkan

kemampuan yang tinggi pula pada social competence, problem solving

skills, autonomy dan sense of purpose and bright future.

2. Ada atau tidak adanya penghayatan ayah-ibu akan hadirnya protective

factor dalam keluarga (pasangan dan orang tua) dan komunitas (sesama

orang tua anak Thalasemia dan dokter-suster) kebutuhan dasar ayah-ibu akan rasa aman, dihormati, mandiri, mampu dan berarti tetap terpenuhi, hanya sebagian kecil kebutuhan yang tidak terpenuhi.

3. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar orang tua tidak menaikkan atau menurunkan derajat resiliensi dari ayah-ibu.

4. Gambaran lamanya masa transfusi anak, latar belakang pendidikan, serta pekerjaan orang tua bisa dapat dikaitkan dengan dengan perolehan hasil resiliensi yang tinggi dari orang tua anak thalasemia.


(35)

106

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan :

5.2.1 Untuk Penelitian Lebih Lanjut

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan untuk memperkaya ilmu psikologi khususnya bidang Psikologi Klinis dan Psikologi Keluarga dengan melakukan penelitian lain yang berkaitan dengan Resiliensi. Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kontribusi protective factors dengan aspek-aspek dalam resilience.

5.2.2 Saran Praktis

1) Bagi para orang tua

- Bagi ayah, pesan kepercayaan atau harapan-harapan positif (high

expectation) yang disampaikan oleh ibu kepadanya mengenai

tanggung jawab dalam merawat anak menjadi hal yang penting, ketika ibu tidak menaruh kepercayaan kepada ayah dalam merawat anaknya maka ayah merasa bahwa dirinya tidak mampu melakukan hal tersebut.

- Bagi orang tua dari pasangan, tidak hanya kesempatan atau pesan kepercayaan yang dibutuhkan oleh ayah-ibu dari orang tuanya namun kesediaan orang tuanya untuk membantu ketika dirinya mengalami kesulitan menjadi sesuatu yang berarti bagi ayah-ibu.


(36)

Universitas Kristen Maranatha 2) Bagi Rumah Sakit (dokter-suster)

- Bagi sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah

Sakit „X‟ Bandung dan dokter kesediaan mereka untuk membantu

dan memberikan harapan-harapan positif (keyakinan positif atau

High Expectation) kepada ayah-ibu dapat membantu ayah-ibu

dalam keyakinan bahwa dirinya tidak sendiri sehingga merasa aman, berarti dan tetap mampu melakukan perawatan yang tepat untuk anaknya walau situasi sulit sekalipun.

- Sebanyak 100% orang tua yang memiliki anak Thalasemia di

Rumah Sakit “X” Bandung memiliki resiliensi yang tinggi, oleh

sebab itu orang tua dapat membentuk kelompok dukungan sosial untuk orang tua lainnya yang memiliki anak thalasemia baik yang diluar maupun didalam lingkungan Rumah Sakit sehingga orang tua lainnya dapat belajar dari kelompok dukungan sosial ini.


(37)

108 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency: What We Have Learned : WestEd Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Grasindo.

Hurlock, Elizabeth. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Papalia, Diane E., et.al. 2008. Human Development. Jakarta : Kencana

Santrock, John.W 2006. Life Span Development. Tenth edition. Amerika: McGraw-Hill, Inc.


(38)

109 Universitas Kristen Maranatha Ajie, Ibrahim.2009. Jumlah Penderita Thalasemia (online).

(http://kesehatan.kompas.com/read/2009/03/05/21122544/Jumlah.Penderit a.Thalassemia.Naik.8.3.Persen, diakses 11 Mei 2010)

Fakultas Psikologi. 2007. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Hartini. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliensi Pada Mantan

Pencandu Narkoba di Komunitas “X” Bandung. Skripsi, Bandung :

Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Halim, Budiman. 2009. Kontribusi Protective Factor Terhadap Resiliensi Ibu

yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus di Kota Bandung. Skripsi,

Bandung : Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Irawan, Daniel. 2010. Mengenal thalasemia (online)

(http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&i d=11027, diakses 10 Mei 2010)

Indra.2009.Citra Wanita Indonesia (online)

( http://www.dradio1034fm.or.id/detail.php?id=5850, diakses 20 Mei 2010)

Tjokronegoro, Arjatmo., Prof.Dr dan Utama, Hendra., Dr.SpFK 2001. Buku Ajar

Ilmu Penyakit dalam Jilid III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Yahoo.com.2010.Peran Ayah dan Ibu tidak Lagi Dibedakan (Online).

(http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/60304,di akses 21 Juni 2010).


(1)

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi Penelitian

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka dapat ditarik sejumlah asumsi sebagai berikut :

1. Memiliki anak Thalasemia dalam sebuah keluarga dapat menjadi suatu keadaan yang menekan (adversity).

2. Resiliensi pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung dipengaruhi oleh protective factor dan situasi yang menekan (adversity)

3. Orang tua yang memiliki anak Thalasemia Di Rumah Sakit “X” Bandung yang menghayati adanya protective factor dari keluarga (pasangan dan orang tua), sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia, dan dokter-suster akan memiliki derajat resiliensi yang tinggi

4. Protective factor yang diterima dari keluarga (pasangan dan orang tua), sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia, dan dokter-suster akan memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan dasar orang tua yang memiliki anak Thalasemia.

5. Derajat resiliensi yang dimiliki oleh orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit “X” Bandung, bervariasi terlihat melalui aspek-aspeknya yaitu : social competence, problem solving skill, autonomy dan sense of pupose and bright future.


(2)

105 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan data dan pembahasan hasil data dari 40 orang tua (ayah-ibu) yang memiliki anak Thalasemia di Rumah

Sakit “X” Bandung, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Seluruh ayah dan ibu (100%) yang memiliki anak Thalasemia di Rumah

Sakit “X” Bandung memiliki resiliensi yang tinggi, dan menunjukkan

kemampuan yang tinggi pula pada social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of purpose and bright future.

2. Ada atau tidak adanya penghayatan ayah-ibu akan hadirnya protective factor dalam keluarga (pasangan dan orang tua) dan komunitas (sesama orang tua anak Thalasemia dan dokter-suster) kebutuhan dasar ayah-ibu akan rasa aman, dihormati, mandiri, mampu dan berarti tetap terpenuhi, hanya sebagian kecil kebutuhan yang tidak terpenuhi.

3. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar orang tua tidak menaikkan atau menurunkan derajat resiliensi dari ayah-ibu.

4. Gambaran lamanya masa transfusi anak, latar belakang pendidikan, serta pekerjaan orang tua bisa dapat dikaitkan dengan dengan perolehan hasil resiliensi yang tinggi dari orang tua anak thalasemia.


(3)

Universitas Kristen Maranatha

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan :

5.2.1 Untuk Penelitian Lebih Lanjut

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan untuk memperkaya ilmu psikologi khususnya bidang Psikologi Klinis dan Psikologi Keluarga dengan melakukan penelitian lain yang berkaitan dengan Resiliensi. Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kontribusi protective factors dengan aspek-aspek dalam resilience.

5.2.2 Saran Praktis

1) Bagi para orang tua

- Bagi ayah, pesan kepercayaan atau harapan-harapan positif (high expectation) yang disampaikan oleh ibu kepadanya mengenai tanggung jawab dalam merawat anak menjadi hal yang penting, ketika ibu tidak menaruh kepercayaan kepada ayah dalam merawat anaknya maka ayah merasa bahwa dirinya tidak mampu melakukan hal tersebut.

- Bagi orang tua dari pasangan, tidak hanya kesempatan atau pesan kepercayaan yang dibutuhkan oleh ayah-ibu dari orang tuanya namun kesediaan orang tuanya untuk membantu ketika dirinya mengalami kesulitan menjadi sesuatu yang berarti bagi ayah-ibu.


(4)

107

Universitas Kristen Maranatha 2) Bagi Rumah Sakit (dokter-suster)

- Bagi sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah

Sakit „X‟ Bandung dan dokter kesediaan mereka untuk membantu

dan memberikan harapan-harapan positif (keyakinan positif atau High Expectation) kepada ayah-ibu dapat membantu ayah-ibu dalam keyakinan bahwa dirinya tidak sendiri sehingga merasa aman, berarti dan tetap mampu melakukan perawatan yang tepat untuk anaknya walau situasi sulit sekalipun.

- Sebanyak 100% orang tua yang memiliki anak Thalasemia di

Rumah Sakit “X” Bandung memiliki resiliensi yang tinggi, oleh

sebab itu orang tua dapat membentuk kelompok dukungan sosial untuk orang tua lainnya yang memiliki anak thalasemia baik yang diluar maupun didalam lingkungan Rumah Sakit sehingga orang tua lainnya dapat belajar dari kelompok dukungan sosial ini.


(5)

108 Universitas Kristen Maranatha Benard, Bonnie. 2004. Resiliency: What We Have Learned : WestEd

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Grasindo.

Hurlock, Elizabeth. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Papalia, Diane E., et.al. 2008. Human Development. Jakarta : Kencana

Santrock, John.W 2006. Life Span Development. Tenth edition. Amerika: McGraw-Hill, Inc.


(6)

109 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Ajie, Ibrahim.2009. Jumlah Penderita Thalasemia (online).

(http://kesehatan.kompas.com/read/2009/03/05/21122544/Jumlah.Penderit a.Thalassemia.Naik.8.3.Persen, diakses 11 Mei 2010)

Fakultas Psikologi. 2007. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Hartini. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliensi Pada Mantan

Pencandu Narkoba di Komunitas “X” Bandung. Skripsi, Bandung :

Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Halim, Budiman. 2009. Kontribusi Protective Factor Terhadap Resiliensi Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus di Kota Bandung. Skripsi, Bandung : Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Irawan, Daniel. 2010. Mengenal thalasemia (online)

(http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&i d=11027, diakses 10 Mei 2010)

Indra.2009.Citra Wanita Indonesia (online)

( http://www.dradio1034fm.or.id/detail.php?id=5850, diakses 20 Mei 2010)

Tjokronegoro, Arjatmo., Prof.Dr dan Utama, Hendra., Dr.SpFK 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Yahoo.com.2010.Peran Ayah dan Ibu tidak Lagi Dibedakan (Online).

(http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/60304,di akses 21 Juni 2010).


Dokumen yang terkait

Hubungan Harga Diri dengan Resiliensi pada Anak Multietnis Batak–Tionghoa

12 79 126

Strategi Orang Tua Dalam Mendidik Anak (Studi Deskriptif Tentang Strategi Orang Tua Dalam Mendidik Anak di Kelurahan Helvetia Tengah, Kecamatan Medan Helvetia)

4 94 91

Kemampuan Empati Orang Tua dan Perilaku Anak Autis (Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan)

1 79 134

Hubungan Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Retardai Mental Ringan terhadap Tingkat Kemandirian Anak Kelas 4-6 di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri Kedungkandang

8 64 26

Dukungan Orang Tua yang Memiliki Anak dengan Leukemia Usia 6-12 tahun di RSU Kabupaten Tangerang

0 8 96

Komunikasi Interaksional Orang Tua Pada Anak Usia Sekolah Dasar di Kota Bandung dalam Menyampaikan Pendidikan Seks (Studi Deskriptif Tentang Komunikasi Interaksional Orang Tua pada Anak Usia Sekolah Dasar di Kota Bandung dalam Menyampaikan Pendidikan Seks

0 26 113

Pola Komunikasi Orang Tua Dengan Anak Down Syndrome (Studi Deskriptif Mengenai Pola Komunikasi Orang Tua dengan Anak yang Mengalami Down Syndrome di Kota Bandung)

5 41 108

Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak (Studi Deskriptif Pola Komunikasi Orang tua dan Anak Penderita HIV (Human Immunity Virus) di Muara Angke Jakarta)

1 12 92

Studi Deskriptif Strategi Coping pada Anak Jalanan di Riau

0 0 8

Gambaran Identitas Etnis pada Remaja yang Memiliki Orang Tua Berbeda Etnis Batak-Minang di Kota Medan

0 1 16