PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KNISLEY UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP.

(1)

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK

SISWA SMP

(Penelitian Kuasi-Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII SMP Negeri 14 Bandung)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Jurusan Pendidikan Matematika

Oleh

Putri Hidayati

NIM 0905934

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2013


(2)

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KNISLEY

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK

SISWA SMP

(Penelitian Kuasi-Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII SMP Negeri 14 Bandung)

Oleh Putri Hidayati

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Matematika

pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

© Putri Hidayati 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Juli 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

PUTRI HIDAYATI

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KNISLEY

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP

(Penelitian Kuasi-Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII SMP Negeri 14 Bandung)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:

Pembimbing I

Dr. Siti Fatimah, M.Si. NIP 196808231994032002

Pembimbing II

Dr. Bambang Avip Priatna, M.Si. NIP 196412051990031001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Matematika

Drs. Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D. NIP 196101121987031003


(4)

ABSTRAK

Putri Hidayati. (0905934). Penerapan Model Pembelajaran Knisley untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMP.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa terhadap model pembelajaran Knisley. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan desain kelompok kontrol pretest-postest. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 14 Bandung semester genap tahun akademik 2012/2013. Sampel yang digunakan adalah dua kelas dari sepuluh kelas VIII SMP Negeri 14 Bandung. Satu kelas sebagai kelas eksperimen yang memperoleh perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran Knisley dan satu kelas lain sebagai kelas kontrol yang mendapatkan perlakuan dengan metode pembelajaran ekspositori. Data penelitian diperoleh melalui tes kemampuan komunikasi matematik, angket skala sikap, lembar observasi, serta lembar wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran Knisley lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode ekspositori. Secara umum, siswa bersikap positif terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran Knisley.


(5)

ABSTRACT

Putri Hidayati. (0905934). The Implementation of Knisley Learning Model to Improve Mathematics Communication Skill of Junior High School Students

This study was aimed at finding out the improvement of students’ Mathematics

communication kill towards Knisley learning model. A quasi-experimental method was used including control group design through pretest-posttest. The population of this research was all of the 8th grade students in the second semester in SMP Negeri 14 Bandung 2012/2013. The sample was two out of ten classes at 8th grade in SMP Negeri 14 Bandung. The first class was the experimental group implementing Knisley learning model and the other class was the control group which applied expository learning method. The data gained through Mathematics communication skill test, behavior scale questionnaire, observation sheet, and interview. The result of this study revealed that Knisley learning model gave significant improvement in comparison with the implementation of expository learning method. Generally, students gave positive attitude towards mathematics learning through Knisley learning model.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMAKASIH ... ii

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTARLAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 6

1.2.1 Identifikasi Masalah ... 6

1.2.2 Pembatasan Masalah ... 7

1.3 Perumusan Masalah ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 9

1.5.2 Manfaat Praktis ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka ... 10

2.1.1 Pembelajaran Matematika ... 10

2.1.2 Kemampuan Komunikasi Matematik ... 12

2.1.3 Model Pembelajaran Knisley ... 17

2.1.4 Metode Pembelajaran Ekspositori ... 21

2.1.5 Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Matematika ... 23

2.1.6 Hasil Penelitian Yang Relevan ... 26

2.2 Kerangka Pemikiran ... 27


(7)

BAB IIIMETODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Desain Penelitian ... 31

3.2 Populasi dan Sampel ... 32

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 33

3.3.1 Variabel Penelitian ... 33

3.3.2 Definisi Operasional ... 33

3.4 Instrumen Penelitian ... 34

3.4.1 Instrumen Tes ... 34

3.4.2 Angket Skala Sikap ... 42

3.4.3 Lembar Observasi ... 46

3.4.4 Lembar Wawancara ... 46

3.5 Bahan Ajar ... 46

3.5.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 47

3.5.2 Lembar Kegiatan Siswa (LKS) ... 47

3.6 Prosedur Penelitian ... 48

3.6.1 Tahap Persiapan ... 48

3.6.2 Tahap Pelaksanaan ... 48

3.6.3 Tahap Analisis Data ... 49

3.6.4 Tahap Penyusunan Kesimpulan ... 49

3.7 Analisis Data ... 49

3.7.1 Deskripsi Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa ... 49

3.7.2 Kemampuan Komunikasi Matematik Awal Siswa ... 50

3.7.2 Kemampuan Komunikasi Matematik Akhir Siswa ... 52

3.7.4 Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa. 54 3.7.5 Uji Data Angket ... 57

3.7.6 Analisis Data Hasil Observasi ... 58

3.7.7 Analisis Hasil Wawancara ... 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 59

4.1.1 Deskripsi Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa ... 59


(8)

4.1.3 Kemampuan Komunikasi Matematik Akhir Siswa ... 64

4.1.4 Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa ... 67

4.1.5 Analisis Data Angket ... 70

4.1.6 Analisis Data Hasil Observasi ... 78

4.1.7 Analisis Hasil Wawancara ... 82

4.2 Pembahasan ... 84

4.2.1 Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik ... 84

4.2.2 Sikap Siswa Terhadap Model Pembelajaran Knisley ... 87

4.2.3 Deskripsi Pembelajaran Menggunakan Model Pembelajaran Knisley ... 89

4.2.4 Deskripsi Pembelajaran Menggunakan Metode Ekspositori ... 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 95

5.2 Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 97

LAMPIRAN ... 103


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Era globalisasi menyajikan berbagai perubahan dan tantangan yang sangat kompleks di setiap sendi kehidupan. Untuk menghadapi tantangan ini, manusia harus berupaya meningkatkan kualitas diri. Agar dapat mengembangkan kualitas pribadi, setiap individu hendaknya mampu mengembangkan kompetensi, cara kerja, dan pola pikirnya dalam menghadapi berbagai permasalahan global, sehingga diharapkan bisa menjadi inovator dalam menghadapi kemajuan jaman. Inovasi tidak akan muncul jika pemikiran individu hanya sampai pada tahap pemahaman dari suatu masalah. Proses menemukan pembaharuan sangat membutuhkan kemampuan tingkat tinggi seperti cara berpikir kritis, kemudian kreatif dalam menemukan solusi permasalahan, dan komunikatif terhadap proses maupun hasil inovasi. Hal ini dilakukan agar pembaharuan tersebut tercapai secara maksimal serta dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat umum.

Kemampuan berpikir tingkat tinggi tersebut tidak bisa datang secara instan, namun perlu pengelolaan SDM yang efektif dan efisien. Hal ini dapat ditempuh melalui pendidikan. Dalam dunia pendidikan khususnya sekolah, siswa dilatih untuk menghadapi berbagai persoalan dengan melibatkan wawasan, kreativitas, pola pikir dalam memecahkan masalah, maupun komunikasi dan kerjasama antar siswa. Beragamnya permasalahan yang timbul mengharuskan siswa untuk lebih memaksimalkan kompetensi dan daya pikirnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu bidang dalam pendidikan yang menunjang perkembangan daya pikir tersebut yaitu matematika. Hal ini didukung oleh NCTM (Putranti, 2011:1) yang menyatakan bahwa matematika memfasilitasi lima kemampuan dasar yang bisa diperoleh saat pembelajaran matematika, yaitu: (1) kemampuan pemecahan masalah; (2) kemampuan komunikasi; (3) kemampuan koneksi; (4) kemampuan penalaran; dan (5) kemampuan representasi. Kelima hal inilah yang disebut sebagai daya matematik.


(10)

2

Salah satu kemampuan dasar yang perlu dikembangkan melalui matematika adalah kemampuan komunikasi. Hal ini sesuai dengan pengertian matematika itu sendiri yaitu menurut Suriasumantri (1998: 190), matematika merupakan suatu bahasa yang melambangkan serangkaian makna. Matematika sebagai bahasa sangat perlu untuk dikomunikasikan, baik secara lisan maupun tulisan, sehingga informasi yang disampaikan dapat dipahami orang lain. Barody (Kadir, 2010) juga menyatakan bahwa terdapat dua alasan penting mengapa kemampuan berbahasa atau berkomunikasi sangat dibutuhkan dalam matematika. Pertama, mathematics as language, artinya matematika tidak hanya sebagai alat bantu berpikir, menemukan pola atau menyelesaikan masalah, namun juga sebagai alat untuk mengkomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat, dan ringkas. Kedua, mathematics learning as social activity, artinya matematika sebagai aktivitas sosial dalam interaksi antar siswa maupun antara guru dengan siswa.

Selain itu, Greenes dan Schulman (Umar, 2012: 2) juga menyatakan bahwa komunikasi dalam matematika merupakan: (1) kekuatan inti bagi siswa untuk merumuskan konsep matematika; (2) wadah komunikasi bagi siswa untuk bertukar pikiran dengan guru maupun siswa lain, memperoleh informasi, serta mengungkapkan ide untuk meyakinkan orang lain atas pola pikir atau penemuannya; dan (3) modal dasar keberhasilan siswa untuk memiliki kemampuan eksplorasi dan investigasi dalam matematika.

Kemampuan komunikasi sudah merupakan suatu keharusan untuk dikuasai setiap siswa. Hal ini didukung oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 146) yang menguraikan tentang tujuan pembelajaran matematika, salah satunya agar siswa memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan gambar, simbol, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Pentingnya kemampuan komunikasi matematik dikemukakan pula oleh Syaban (Weti, 2010) yang menyatakan bahwa penguasaan kemampuan komunikasi matematika merupakan refleksi pemahaman matematik dan merupakan bagian dari daya matematik.

Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematik yang dimiliki siswa masih terbilang rendah. Hal ini didasarkan pada


(11)

wawancara yang dilakukan penulis terhadap kepala sekolah SMP N 26 Bandung, guru matematika SMP N 14 Bandung dan SMP N 1 Cimenyan Bandung pada tahun 2012. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kemampuan siswa untuk memahami matematika masih sangat sederhana, belum sampai pada tahap bernalar, berpikir kritis, kreatif, maupun dalam hal bagaimana cara siswa mengkomunikasikan gagasan matematiknya. Hal ini sebenarnya menjadi salah satu cara untuk mengukur seberapa jauh siswa dapat menginterpretasikan pemahamannya terhadap konsep matematika.

Lain daripada itu, kemampuan siswa untuk menginterpretasikan kalimat-kalimat matematika juga belum baik. Hal ini terlihat saat mereka diminta untuk menyelesaikan suatu persoalan matematika dalam bentuk soal cerita. Siswa cenderung untuk menuliskannya secara singkat, kurang runtut dan umumnya masih merasa kesulitan untuk mengkonversi kalimat matematik dari soal cerita ke dalam model aljabar. Selain itu, jarang sekali diadakan presentasi individu maupun kelompok selama proses pembelajaran yang sebenarnya hal ini dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk mengetahui seberapa dalam tingkat pemahaman materi mereka.

Kemampuan komunikasi matematik siswa yang masih rendah didukung oleh Leung dan Puji (Andriani, 2008) bahwa data TIMSS menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di Indonesia lebih banyak ditekankan pada penguasaan keterampilan dasar, namun sedikit sekali yang menekankan pada penerapan matematika dalam konteks kehidupan sehari-hari, berkomunikasi secara matematik dan bernalar secara matematik. Sedangkan menurut hasil studi pendahuluan yang dilakukan Qohar (2011), kemampuan siswa dalam berkomunikasi matematika baik lisan maupun tulisan masih tergolong kurang. Walaupun beragam ide sudah tercetus dalam benak siswa, namun siswa cenderung malu dan belum terbiasa mengkomunikasikan hasil pemikirannya tersebut.

Selain penguasaan kemampuan komunikasi matematik yang kurang, sikap siswa selama pembelajaran matematika pun masih cenderung negatif. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan penulis pada awal tahun 2013,


(12)

4

ditemukan fakta bahwa siswa menunjukkan sikap ketidaksukaannya terhadap pembelajaran matematika. Hal ini didukung oleh pendapat Begle (Darhim, 2004: 3) yang menyatakan bahwa banyaknya siswa Sekolah Menengah yang bersikap positif terhadap matematika semakin hari kian menurun. Sejalan dengan hal itu, Polla (Hamid, 2012: 6) menambahkan bahwa di Indonesia sekarang ini banyak sekali siswa yang memiliki anggapan tentang matematika itu sulit dan menjadi salah satu hal yang menakutkan bagi siswa. Hal ini mengakibatkan siswa tidak senang terhadap matematika.

Menurut Shadiq (2013: 2), sikap negatif terhadap matematika dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (1) siswa sudah memiliki persepsi awal bahwa matematika itu sulit, (2) siswa trauma atas ketidakberhasilan saat belajar matematika, (3) kegiatan pembelajaran di kelas yang monoton sehingga kurang menarik perhatian siswa, dan (4) siswa tidak mengetahui manfaat belajar matematika. Munculnya keempat faktor tersebut dapat berawal dari proses pembelajaran yang biasa dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Darhim (2004: 4) yang mengungkapkan bahwa proses pembelajaran dapat memunculkan kesan bagi siswa terhadap pembelajaran matematika, yang realisasikan melalui sikap siswa ketika dihadapkan dengan pembelajaran itu sendiri.

Berdasarkan hasil pengamatan di sekolah pada umumnya, diketahui bahwa proses pembelajaran yang sering diterapkan dalam pembelajaran matematika adalah menggunakan metode ekspositori, yang merupakan salah satu dari bentuk pembelajaran konvensional. Dalam metode pembelajaran ini, guru berperan sebagai sumber informasi utama (Sunarto,dkk., 2008: 245). Hal ini menyebabkan pembelajaran ekspositori kurang berorientasi pada proses, melainkan fokus pada penerimaan pengetahuan secara langsung. Siswa menjadi kurang mengetahui manfaat belajar matematika dalam kehidupan sehari-hari dan cepat putus asa jika belajar tanpa bantuan guru. Cara penyampaian materi secara langsung mengakibatkan proses maupun produk dari suatu pembelajaran kurang menuntut siswa untuk mengeksplorasi ide-ide matematik secara lebih jauh. Sesuai dengan pendapat Sukarsih (2010: 29) bahwa keberhasilan metode ini sangat tergantung dengan potensi yang dimiliki guru sehingga pengetahuan yang didapatkan siswa


(13)

hanya terbatas. Percival dan Elington (Sunarto, 2009) menyebutkan bahwa rangkaian kegiatan pada pembelajaran konvensional kurang memberi ruang bagi siswa untuk mencari dan menerapkan cara belajar yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Hal ini akan berdampak pada kurangnya tingkat keterampilan siswa dalam menggali pengetahuan matematik untuk kemudian menyampaikan ide-idenya, sehingga tidak mengherankan jika kemampuan verbal dan nonverbal siswa pun masih tergolong lemah.

Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematik yang lemah dan memupuk sikap positif siswa terhadap matematika akan difasilitasi melalui alternatif model pembelajaran yang ditawarkan oleh Knisley. Model pembelajaran Knisley terdiri dari empat tahap (Knisley, 2002: 2) yaitu (1) Alegorisasi dimana siswa dihadapkan pada permasalahan matematik, kemudian diminta untuk menyusun strategi awal untuk menyelesaikan permasalahan tersebut berdasarkan konsep yang telah diketahui sebelumnya; (2) Integrasi dimana siswa mengeksplorasi pengetahuan secara mandiri dengan melakukan percobaan sederhana dan mengkaitkan antara konsep yang telah dikuasai sebelumnya dengan konsep baru yang sedang dipelajarinya, sehingga mampu membuat kesimpulan mengenai konsep baru tersebut; (3) Analisis yaitu siswa dikembalikan kepada permasalahan awal (pada tahap alegorisasi) atau diberikan permasalahan yang setipe dengan permasalahan awal, untuk kemudian diminta mencari solusi dari permasalahan tersebut menggunakan konsep baru yang telah disimpulkan dari tahap sebelumnya dan dilakukan secara berkelompok; (4) Sintesis yaitu siswa diberikan persoalan yang lebih kompleks dan diminta untuk menyelesaikannya secara mandiri dengan tujuan untuk mengembangkan strategi masing-masing siswa.

Dipilihnya alternatif model pembelajaran Knisley untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa dikarenakan beberapa alasan. Dalam jurnal Knisley (Knisley, 2002:2) disebutkan bahwa model pembelajaran yang paling bermanfaat untuk belajar matematika adalah model Kolb yang telah diadopsi Knisley dimana proses belajar didasarkan pada pengalaman. Secara tidak langsung, jika siswa belajar dari hal-hal yang telah diketahuinya, maka siswa akan


(14)

6

dapat memahami dan menguraikan konsep dari suatu materi dengan lebih mudah. Hal ini menunjang kemampuan siswa untuk menginterpretasikan hal-hal terkait konsep matematika yang telah siswa ketahui.

Selain itu, tahapan dari model pembelajaran Knisley mendukung pengembangan kemampuan komunikasi matematik siswa. Pada tahap integrasi, siswa melakukan eksplorasi, eksperimentasi, dan visualisasi untuk membandingkan fenomena matematika yang sedang dipelajari. Dengan melakukan eksperimen dan mengamati secara visual, siswa berlatih menterjemahkan hasil pengamatannya ke dalam gagasan matematika. Pada tahap analisis, siswa mencoba untuk menemukan karakteristik konsep baru. Knisley (2002: 6) menyebutkan bahwa pada tahap ini, siswa ingin mengetahui asal mula ditemukannya konsep, cara menggunakan konsep, serta penjelasan dari konsep tersebut. Namun di sini siswa harus mengeksplorasinya sendiri. Menurutnya, pada tahap ini siswa ingin mendapatkan informasi dengan singkat. Oleh karena itu, akan lebih tepat jika digunakan sistem diskusi kelompok. Dengan begitu siswa bisa sharing dengan teman kelompoknya mengenai hal-hal yang belum maupun yang sudah dipahami. Di sini siswa diajak berlatih untuk mengkomunikasikan gagasan mengenai materi yang sedang dipelajari. Siswa juga dilatih untuk dapat menginterpretasikan suatu konsep dengan bahasa sendiri dan mengevaluasi kebenaran konsep melalui eksplorasi dan diskusi kelompok.

Berdasar uraian di atas, diharapkan model pembelajaran Knisley mampu meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Knisley untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMP”.

1.2 Identifikasi dan Pembatasan Masalah 1.2.1 Identifikasi Masalah

Beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi berdasarkan pemaparan latar belakang di atas adalah sebagai berikut.

1. Motivasi siswa untuk belajar matematika masih belum optimal. 2. Kemampuan pemahaman matematik siswa masih cenderung lemah.


(15)

3. Kemampuan berpikir kritis siswa terhadap matematika masih kurang. 4. Kemampuan berpikir kreatif siswa terhadap matematika masih lemah.

5. Kemampuan komunikasi matematik yang dimiliki siswa masih tergolong rendah dikarenakan siswa belum terlatih untuk mengkomunikasikan ide-ide matematiknya.

6. Rangkaian kegiatan pada pembelajaran matematika selama ini kurang memberikan ruang gerak bagi siswa untuk aktif menggali pengetahuan secara mandiri dan kurang melatih siswa untuk dapat menyampaikan ide-ide matematiknya.

7. Model pembelajaran yang diterapkan kepada siswa belum variatif.

8. Sikap siswa yang menunjukkan kekurangtertarikannya terhadap mata pelajaran matematika.

1.2.2 Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang diuraikan di atas, permasalahan yang muncul sangatlah kompleks. Karena keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, maka fokus penelitian hanya dibatasi pada hal-hal sebagai berikut.

1. Meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa yang masih rendah. Upaya peningkatan kemampuan komunikasi matematik dalam penelitian ini dikhususkan untuk materi bangun ruang sisi datar prisma dan limas. Pemilihan materi prisma dan limas dikarenakan soal-soal pada materi tersebut lebih mudah digunakan untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematik siswa.

Aspek kemampuan komunikasi matematik siswa yang akan dianalisis meliputi (1) kemampuan menggambarkan situasi atau masalah matematika dengan menggunakan gambar, notasi-notasi matematika atau secara aljabar; (2) kemampuan mengekspresikan ide-ide matematika dari gambar maupun notasi-notasi matematika ke dalam bentuk tulisan; (3) kemampuan mengevaluasi ide-ide matematika dalam bentuk tulisan; dan (4) membuat situasi dari permasalahan matematika dengan menyediakan ide dalam bentuk tulisan dan menyatakan solusinya. Pemilihan keempat aspek tersebut sebagai pedoman pengukuran kemampuan komunikasi matematik siswa didasarkan pada indikator kemampuan


(16)

8

komunikasi matematik yang dinyatakan oleh NCTM (2003) dan Ross (Nurlaelah, 2009) yang dirangkum secara garis besar.

2. Rangkaian kegiatan pembelajaran matematika.

Rangkaian kegiatan pembelajaran matematika yang membutuhkan partisipasi aktif dari siswa akan difasilitasi oleh salah satu alternatif model pembelajaran yang ditawarkan yaitu model pembelajaran Knisley.

3. Sikap yang ditunjukkan siswa terhadap pembelajaran matematika.

Dalam penelitian ini, akan dilihat bagaimana sikap siswa setelah belajar matematika menggunakan model pembelajaran Knisley.

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran Knisley lebih tinggi daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan metode ekspositori?

2. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran Knisley?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian yang akan dicapai adalah:

1. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematik antara siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran Knisley dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan metode ekspositori.

2. Untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran Knisley.


(17)

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik dari segi teoritis (keilmuan) maupun dari segi praktis yaitu sebagai berikut:

1.5.1 Manfaat teoritis

Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagi disiplin ilmu, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

serta wawasan tentang model pembelajaran Knisley sebagai salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa.

2. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi peneliti yang tertarik untuk mengkaji masalah yang terkait dengan model pembelajaran Knisley maupun terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematik.

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut.

1. Bagi siswa, penelitian ini diharapkan menjadi pengalaman baru bagi siswa untuk belajar matematika menggunakan model pembelajaran Knisley, sehingga siswa lebih termotivasi untuk belajar matematika.

2. Bagi guru, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan khususnya bagi guru di SMP Negeri 14 Bandung, bahwa pembelajaran matematika dengan menerapkan model pembelajaran Knisley dapat menjadi suatu alternatif yang dipilih untuk menyampaikan materi kepada siswa, dan untuk selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa.


(18)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Desain Penelitian

Sebagai upaya untuk memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, diperlukan langkah-langkah penyelidikan yang tepat dengan menggunakan pedoman metode penelitian. Sugiyono (2013:1) mendefinisikan metode penelitian sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data sesuai tujuan dan kegunaan yang telah ditentukan. Pendapat lain diungkapkan oleh Narbuko (1999: 2) bahwa metode penelitian adalah cabang ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara melaksanakan penelitian meliputi pencarian data awal, pencatatan, perumusan, analisis data, sampai pada penyusunan kesimpulan berdasarkan fakta ilmiah. Jadi dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah suatu teknik yang harus dilaksanakan oleh peneliti untuk mendapatkan data-data yang sifatnya ilmiah, kemudian menganalisisnya guna mendapatkan kesimpulan tentang ilmu pengetahuan sehingga teruji kebenarannya.

Proses pemecahan masalah yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen. Hal ini dikarenakan kondisi subjek penelitian tidak memungkinkan untuk diadakan pengelompokan secara acak. Tujuan dari penelitian kuasi eksperimen ini adalah untuk menguji hipotesis tentang ada tidaknya pengaruh perlakuan model pembelajaran Knisley bila dibandingkan dengan metode konvensional, terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa sebagai variabel terikat.

Setiap langkah penyelidikan dalam penelitian harus direncanakan melalui desain penelitian. Nasution (2000: 23) berasumsi bahwa desain penelitian adalah suatu rencana tentang bagaimana cara mengumpulkan data dan menganalisisnya agar dapat dilaksanakan sesuai tujuan penelitian. Hal ini berarti bahwa desain penelitian merupakan seluruh rangkaian kegiatan yang telah terencana mulai dari persiapan, proses pelaksanaan, sampai pada pengambilan kesimpulan pada penelitian yang akan dilakukan. Desain penelitian yang akan digunakan pada


(19)

penelitian ini adalah desain kelompok kontrol pretest-postest. Desain kuasi eksperimen dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

O X O

O O

Keterangan:

X : pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Knisley

pembelajaran dengan menggunakan metode ekspositori. O : pemberian pretes (sebelum perlakuan)

pemberian postes (setelah perlakuan) : subjek penelitian tidak dipilih secara acak (Ruseffendi, 1994)

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 14 Bandung semester genap tahun akademik 2012/2013. Dasar pemilihan kelas VIII dijadikan sebagai kelas eksperimen didasarkan pertimbangan bahwa siswa kelas VIII SMP yang berusia 11-15 tahun sudah memiliki pemikiran yang tidak hanya terbatas pada hal-hal konkret, melainkan sudah beranjak ke tahap pemikiran abstrak. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Piaget (Dahar, 1996: 155) bahwa individu atau siswa yang berusia 11 tahun ke atas sudah berada pada tahap operasi atau berpikir formal yang diharapkan memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) siswa sudah mampu berpikir hipotesis-deduktif artinya siswa dapat membuat keputusan yang layak berdasar hipotesis yang diterimanya; (2) siswa sudah dapat berpikir proposisional yaitu dapat membedakan antara pernyataan yang benar atau pernyataan yang salah tanpa dikaitkan dengan benda-benda maupun peristiwa konkret; (3) siswa mampu menyusun desain percobaan dengan cara berpikir kombinatorial, artinya siswa dapat mengkombinasikan kejadian-kejadian yang berasal dari permasalahan yang dihadapkan kepadanya, walaupun tidak melihat peristiwa konkretnya secara langsung; serta (4) siswa mampu merefleksi proses berpikirnya.


(20)

33

Sampel yang akan diteliti terdiri dari dua kelas dari sepuluh kelas VIII SMP Negeri 14 Bandung pada semester genap tahun akademik 2012/2013. Satu kelas dipilih sebagai kelas eksperimen dan satu kelas dipilih sebagai kelas kontrol. Kelas eksperimen memperoleh perlakuan dengan model pembelajaran Knisley sedangkan kelas kontrol memperoleh perlakuan menggunakan metode pembelajaran ekspositori.

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.3.1 Variabel Penelitian

Terdapat dua variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Untuk kelas eksperimen, yang berperan sebagai variabel bebas adalah model pembelajaran Knisley, sedangkan yang berperan sebagai variabel terikat adalah kemampuan komunikasi matematik siswa. Untuk kelas kontrol, yang berperan sebagai variabel bebas adalah pembelajaran dengan metode ekspositori, sedangkan yang berperan sebagai variabel terikat adalah kemampuan komunikasi matematik siswa.

3.3.2 Definisi Operasional

1. Model Pembelajaran Knisley

Model pembelajaran Knisley adalah model pembelajaran yang didasarkan pada empat tahap yang terdiri dari: (a) Alegori yaitu guru menjelaskan materi baru berdasarkan pengalaman siswa sebelumnya dengan menggunakan kalimat dan konteks yang sudah familiar bagi siswa; (b) Integrasi yaitu guru memberikan dorongan maupun motivasi kepada siswa untuk bereksplorasi agar siswa mampu mempertimbangkan dan menjelaskan perbedaan maupun persamaan antara konsep baru dengan konsep lama yang telah dikuasainya; (c) Analisis yaitu siswa belajar dari penjelasan secara rinci. Artinya, siswa mampu membuat pernyataan yang benar maupun yang salah terhadap konsep baru tersebut; dan (d) Sintesis yaitu guru memberikan latihan agar siswa belajar mengembangkan strategi individu sehingga nantinya dapat digunakan dalam memecahkan masalah.


(21)

2. Metode Ekspositori

Metode ekspositori adalah metode pengajaran yang berpusat pada guru. Pada metode ini, ceramah sebagai kegiatan dominan, namun masih diselingi dengan tanya jawab dan pemberian tugas kepada siswa. Langkah-langkah pembelajarannya adalah (1) pendahuluan yang terdiri atas penjelasan tujuan materi pembelajaran dan apersepsi, (2) penyajian yang terdiri atas penyampaian materi kepada siswa melalui ceramah, tanya jawab dengan siswa lalu latihan soal, dan (3) penutup yang terdiri dari pelaksanaan tes dan pekerjaan rumah.

3. Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa

Kemampuan komunikasi matematik siswa adalah kemampuan siswa untuk menginterpretasikan gagasannya mengenai ide-ide matematika baik melalui gambar, notasi-notasi matematika maupun secara aljabar, kemampuan mengekspresikan gagasan matematika dari gambar maupun simbol matematika ke dalam bentuk tulisan dan model aljabar, kemampuan untuk mengevaluasi ide-ide matematik dalam bentuk tulisan, serta kemampuan siswa untuk membuat situasi dari permasalahan matematika dengan menyediakan ide dalam bentuk tulisan, kemudian menyatakan solusinya.

3.4 Instrumen Penelitian

Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu berupa tes dan non-tes. Instrumen non-tes terdiri dari angket skala sikap, lembar observasi dan lembar wawancara.

3.4.1 Instrumen Tes

Instrumen tes yang diberikan berupa tes kemampuan komunikasi matematik yang berbentuk soal uraian. Penyusunan soal dengan tipe uraian dikarenakan soal bentuk uraian sangat mendukung untuk menguji kemampuan komunikasi matematik siswa. Dengan tipe soal uraian, siswa dilatih untuk merepresentasikan pemahamannya terhadap persoalan matematika dan ide-ide matematika kemudian memecahkannya ke dalam bentuk tulisan dengan bahasa sendiri sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa.


(22)

35

Dalam rangka mengembangkan tes untuk mengukur kemampuan komunikasi matematik ini, dilakukan beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Menyusun kisi-kisi tes sesuai indikator kemampuan komunikasi matematik. 2. Membuat soal berdasarkan kisi-kisi yang telah ada.

3. Membuat rubrik penilaian sesuai dengan soal yang telah ada. 4. Menilai validitas isi dan validitas muka dari setiap soal. 5. Mengujicobakan tes.

6. Menghitung validitas, reliabilitas, indeks kesukaran, dan daya pembeda dari setiap soal yang telah diberikan.

Untuk memperoleh data yang obyektif dari tes kemampuan komunikasi matematik siswa, terlebih dahulu ditentukan pedoman penskoran dari Cai, Lame, dan Jakabscin (Mia, 2012) untuk setiap butir soal sebagai berikut:

Tabel 3.1

Pedoman Penskoran Kemampuan Komunikasi Matematik

Skor Menulis Menggambar Ekpresi Matematika

0 Tidak ada jawaban, kalaupun ada hanya memperlihatkan tidak memahami konsep sehingga informasi yang diberikanpun tidak berarti. 1

Hanya sedikit dari penjelasan yang benar

Hanya sedikit dari gambar, diagram, atau tabel yang benar.

Hanya sedikit dari model matematika yang benar. 2

Penjelasan secara matematis masuk akal namun hanya sebagian lengkap dan benar

Melukiskan, diagram, gambar, atau tabel namun kurang lengkap dan benar

Membuat model matematika dengan benar, namun salah dalam mendapatkan solusi.

3

Penjelasan secara matematis masuk akal dan benar, meskipun tidak tersusun secara logis atau terdapat sedikit kesalahan bahasa.

Melukiskan, diagram, gambar, atau tabel secara lengkap dan benar

Membuat model matematika dengan benar, kemudian melakukan

perhitungan atau men-dapatkan solusi secara benar dan lengkap 4

Penjelasan secara matematis masuk akal dan jelas serta tersusun secara logis


(23)

Sebelum ditetapkan sebagai instrumen dalam penelitian, tes kemampuan komunikasi matematik ini diujicobakan terlebih dahulu kepada 34 siswa kelas VIII-F SMP Negeri 4 Bandung yang telah memperoleh materi matematika tentang bangun ruang prisma dan limas. Dasar pemilihan SMP Negeri 4 Bandung sebagai tempat pelaksanaan uji coba instrumen tes kemampuan komunikasi matematik dikarenakan SMP tersebut berada pada kluster yang sama dengan sekolah yang akan dijadikan sebagai tempat pelaksanaan penelitian yaitu SMP Negeri 14 Bandung, sehingga dapat dikatakan bahwa siswa kedua sekolah tersebut memiliki kemampuan yang setara. Skor hasil uji coba instrumen ini kemudian dianalisis untuk mengetahui validitas, reliabilitas, indeks kesukaran dan daya pembeda dari setiap butir soal.

1. Validitas

Menurut Suherman (2003: 102) suatu alat evaluasi disebut valid jika alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Sedangkan menurut Azwar (Tamami dkk, 2010), validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi alat ukurnya. Oleh karena itu, suatu instrumen dapat dikatakan valid jika instrumen tersebut benar-benar mampu mengukur apa yang seharusnya diukur.

Tingkat validitas butir soal dapat direpresentasikan menurut kategori sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah. Seperti yang dinyatakan Suherman (2003: 120), cara menentukan kategori validitas instrumen adalah dengan menghitung koefisien korelasi dengan rumus momen produk (product moment) atau metoda Pearson, yaitu:

∑ ∑ ∑

√ ∑ ∑ ∑ ∑

Dengan : = koefisien korelasi antara X dan Y n = banyak siswa peserta tes

X = skor tiap butir soal Y = skor total


(24)

37

Proses penghitungan koefisien korelasi dilakukan dengan menggunakan bantuan software Microsoft Excel 2007. Adapun validitas suatu soal dapat dikategorikan menjadi beberapa tingkatan. Kategori validitas soal menurut Suherman (2003: 113) diperoleh dari penghitungan koefisien korelasi dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

0,90   1,00 : validitas sangat tinggi

0,70 ≤  0,90 : validitas tinggi

0,40 ≤  0,70 : validitas sedang 0,20 ≤  0,40 : validitas rendah 0,00 ≤  0,20 : validitas sangat rendah

Setelah kategori validitas butir soal ditentukan, perlu dilakukan uji keberartian koefisien korelasi untuk mengukur apakah butir soal memiliki validitas yang berarti atau tidak. Hipotesis yang akan diuji adalah :

Validitas butir soal tidak berarti. Validitas butir soal berarti.

Dengan statistik uji yaitu (Sudjana, 1996: 380):

Keterangan: = koefisien korelasi antara X dan Y n = banyak siswa peserta tes

Untuk taraf signifikansi 0,05 dan , kriteria pengujian yang digunakan adalah sebagai berikut.

a. Jika maka diterima. b. Jika , maka ditolak.

Melalui perhitungan yang terdapat pada lampiran C.2, hasil analisis terhadap validitas butir soal dapat dirangkum pada tabel 3.2 di bawah ini.

Tabel 3.2

Validitas Tiap Butir Soal

No. Soal Kriteria Kategori

1 0,602

Validitas berarti Sedang

2 0,654 Validitas berarti Sedang


(25)

No. Soal Kriteria Kategori

4 0,761

Validitas berarti Tinggi

5 0,648 Validitas berarti Sedang

2. Reliabilitas

Menurut Suherman (2003: 131) suatu alat evaluasi disebut reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika digunakan untuk subjek yang sama. Oleh karena itu, reliabilitas dapat diartikan sebagai keajegan hasil tes, artinya soal dapat memberikan hasil tetap atau relatif sama jika diberikan pada subjek yang sama meskipun dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda.

Reliabilitas tes bentuk uraian dapat ditentukan kategorinya melalui perhitungan menggunakan rumus Cronbach’s Alpha (Suherman, 2003: 154) yaitu:

11

r =

            

2

2 1 1 t i s s k k

Keterangan : r11 = koefisien reliabilitas k = banyak butir soal

2

i

S = varians skor tiap item = varians skor total Suherman (1990: 177) menyatakan bahwa hasil perhitungan koefisien reliabilitas (r11) dapat diinterpretasikan menurut kategori sebagai berikut.

0,80< r111,00 : korelasi sangat tinggi 0,60< r110,80 : korelasi tinggi 0,40< r110,60 : korelasi cukup

0,20< r110,40 : korelasi rendah 0,00< r110,20 : korelasi sangat rendah

Melalui proses penghitungan menggunakan bantuan software Microsoft Excel 2007 yang ditunjukkan pada lampiran C.3, diperoleh nilai koefisien reliabilitas adalah r11= . Hal ini menunjukkan bahwa keseluruhan butir soal memiliki reliabilitas dalam kategori tinggi.

Setelah kategori reliabilitas instrumen ditentukan, perlu dilakukan uji keberartian koefisien reliabilitas untuk mengetahui apakah instrumen tes


(26)

39

kemampuan komunikasi matematik memiliki reliabilitas yang berarti atau tidak. Hipotesis yang akan diuji adalah :

Reliabilitas butir soal tidak berarti. Reliabilitas butir soal berarti.

Dengan statistik uji yaitu (Sudjana, 1996: 380):

Keterangan: r11 = koefisien reliabilitas

n = banyak siswa peserta tes

Untuk taraf signifikansi 0,05 dan , kriteria pengujian yang digunakan adalah sebagai berikut.

a. Jika maka diterima. b. Jika , maka ditolak.

Berdasarkan pengujian statistik melalui perhitungan yang terdapat pada lampiran C.3 dengan menggunakan bantuan software Microsoft Excel 2007, pada taraf signifikansi 0,05 dan , diperoleh nilai

. Jadi ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa reliabilitas instrumen tes kemampuan komunikasi matematik berarti.

3. Daya Pembeda

Suherman (2003: 159) mengungkapkan bahwa Daya Pembeda (DP) dari suatu butir soal menyatakan kemampuan butir soal tersebut dalam membedakan siswa berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.

Suherman (1990: 206) menyampaikan ketentuan dalam melakukan proses perhitungan daya pembeda untuk sampel dalam kelompok kecil (jumlah sampel yang kurang dari 30) dan sampel dalam kelompok besar (jumlah sampel lebih dari 30). Untuk jumlah sampel dalam kelompok kecil, digunakan teknik kelompok atas dan kelompok bawah dengan pengambilan sampel 50% dari kelompok atas dan 50% dari kelompok bawah. Untuk jumlah sampel dalam kelompok besar, digunakan teknik pengambilan sampel 27% dari kelompok atas dan 27% dari kelompok bawah. Karena instrumen diujicobakan kepada 34 siswa, maka dalam


(27)

proses penghitungan daya pembeda cukup diambil 27% dari kelompok atas dan 27% dari kelompok bawah atau masing-masing terdiri dari 9 siswa. Adapun rumus untuk menentukan daya pembeda adalah sebagai berikut (Tomo dalam Nurokhmatillah, 2010: 35):

SMI X X

DP

atas

bawah

Keterangan: DP : Daya Pembeda SMI : Skor Maksimal Ideal

atas X

: bawah X

Hasil perolehan DP kemudian diinterpretasikan menurut kategori sebagai berikut (Suherman, 2003:161).

0

DP sangat buruk 20

, 0

0DP buruk

40 , 0 20

,

0  DP cukup

70 , 0 40

,

0  DP baik 00 , 1 70

,

0 DP sangat baik

Dari hasil perhitungan DP menggunakan bantuan software Microsoft Excel 2007 seperti yang terdapat pada lampiran C.4, dapat ditentukan kategori DP dari setiap butir soal sebagai berikut.

Tabel 3.3

Daya Pembeda Tiap Butir Soal

No. Soal Daya Pembeda Kategori

1 0,292 Cukup

2 0,522 Baik

3 0,333 Cukup

4 0,267 Cukup

5 0,255 Cukup

4. Indeks kesukaran

Indeks Kesukaran (IK) soal digunakan untuk menghitung derajat kesukaran setiap soal. Perhitungan IK tiap butir soal uraian dapat ditentukan melalui rumus sebagai berikut (Tomo dalam Nurokhmatillah, 2010: 34) :

: Rata-rata skor kelompok atas


(28)

41

SMI X

IK

dengan IK = Indeks Kesukaran

̅ = Rata-rata skor tiap butir soal dari kelompok atas dan kelompok bawah SMI = Skor Maksimal Ideal

Selanjutnya Suherman (2003: 170) merepresentasikan hasil perhitungan IK tiap butir soal sebagai berikut :

IK = 0 : soal sangat sukar 0,00 < IK < 0,30 : soal sukar 0,30  IK < 0,70 : soal sedang 0,70  IK < 1,00 : soal mudah

IK = 1,00 : soal terlalu mudah

Dari proses penghitungan Derajat Kesukaran tiap butir soal pada lampiran C.5, yang diperoleh melalui bantuan software Microsoft Excel 2007, didapatkan hasil sebagai berikut.

Tabel 3.4

Indeks Kesukaran Tiap Butir Soal

No. Soal Indeks Kesukaran Kategori

1 0,451 Sedang

2 0,428 Sedang

3 0,246 Sukar

4 0,333 Sedang

5 0,294 Sukar

Adapun hasil analisis tiap butir soal instrumen dapat direkapitulasi ke dalam tabel 3.5 berikut ini.

Tabel 3.5

Rekapitulasi Analisis Tiap Butir Soal

No. Soal

Validitas Butir Soal Daya Pembeda Indeks

Kesukaran Koefisien

Validitas Kategori Kriteria

Nilai

DP Kategori Nilai IK Kategori

1 0,602 Sedang Validitas berarti 0,292 Cukup 0,451 Sedang 2 0,654 Sedang Validitas berarti 0,522 Baik 0,428 Sedang 3 0,757 Tinggi Validitas berarti 0,333 Cukup 0,246 Sukar 4 0,761 Tinggi Validitas berarti 0,267 Cukup 0,333 Sedang 5 0,648 Sedang Validitas berarti 0,256 Cukup 0,294 Sukar Reliabilitas = 0,702


(29)

Berdasarkan hasil analisis tiap butir soal yang digambarkan pada tabel di atas, maka kelima butir soal tersebut akan digunakan sebagai instrumen tes kemampuan komunikasi matematik dalam penelitian ini.

3.4.2 Angket Skala Sikap

Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket dalam bentuk skala sikap dari Likert. Angket ini mencoba mengungkap sikap siswa terhadap penerapan model pembelajaran Knisley. Dalam angket ini disajikan 24 pernyataan dengan lima alternatif jawaban yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Ragu-Ragu (R), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Sebelum dilakukan pengolahan data angket, terlebih dahulu ditentukan validitas tiap butir pernyataan dan reliabilitas butir angket.

1. Validitas butir

Tingkat validitas butir pernyataan angket direpresentasikan menurut kategori sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah. Cara menentukan kategori validitas instrumen adalah dengan menghitung koefisien korelasi (rxy) dengan rumus Pearson (Suherman, 2003: 120), yaitu:

∑ ∑ ∑

√ ∑ ∑ ∑ ∑

Dengan : = koefisien korelasi antara X dan Y n = banyak siswa peserta tes

X = skor tiap butir soal Y = skor total

Menurut Suherman (2003: 113), hasil penghitungan koefisien validitas dapat diklasifikasikan sesuai dengan kategori sebagai berikut

0,90  rxy 1,00 : validitas sangat tinggi

0,70 ≤ rxy  0,90 : validitas tinggi

0,40 ≤ rxy  0,70 : validitas sedang

0,20 ≤ rxy 0,40 : validitas rendah


(30)

43

Setelah kategori validitas butir soal ditentukan, perlu dilakukan uji keberartian koefisien korelasi untuk mengukur apakah butir pernyataan angket memiliki validitas yang berarti atau tidak. Hipotesis yang akan diuji adalah :

Validitas butir pernyataan angket tidak berarti. Validitas butir pernyataan angket berarti.

Dengan statistik uji yang digunakan yaitu (Sudjana, 1996: 380):

Keterangan: = koefisien korelasi antara X dan Y n = banyak siswa peserta tes

Untuk taraf signifikansi 0,05 dan , kriteria pengujian yang digunakan adalah sebagai berikut.

a. Jika maka diterima. b. Jika , maka ditolak.

Berdasarkan perhitungan menggunakan bantuan software Microsoft Excel 2007 seperti yang ditampilkan pada lampiran C.6, hasil analisis terhadap validitas butir angket dapat dirangkum ke dalam tabel 3.6 sebagai berikut.

Tabel 3.6

Hasil Uji Validitas Butir Pernyataan Angket Tahap 1 No.

Pernyataan Kriteria Kategori

1. 0,358 2,332

2,027

validitas berarti rendah

2. 0,531 3,812 validitas berarti sedang

3. 0,452 3,082 validitas berarti sedang

4. 0,016 0,097 validitas tidak berarti sangat rendah

5. 0,486 3,382 validitas berarti sedang

6. 0,424 2,848 validitas berarti sedang

7. 0,375 2,460 validitas berarti rendah

8. 0,325 2,090 validitas berarti rendah

9. 0,621 4,819 validitas berarti sedang

10. 0,356 2,317 validitas berarti rendah

11. 0,417 2,791 validitas berarti sedang

12. 0,337 2,177 validitas berarti rendah

13. 0,494 3,456 validitas berarti sedang

14. 0,339 2,192 validitas berarti rendah


(31)

No.

Pernyataan Kriteria Kategori

16. 0,443 3,006

2,027

validitas berarti sedang

17. 0,456 3,117 validitas berarti sedang

18. 0,426 2,864 validitas berarti sedang

19. 0,280 1,774 validitas tidak berarti rendah

20. 0,422 2,831 validitas berarti sedang

21. 0,580 4,331 validitas berarti sedang

22. 0,191 1,184 validitas tidak berarti sangat rendah

23. 0,613 4,719 validitas berarti sedang

24. 0,335 2,163 validitas berarti rendah

Berdasarkan tabel 3.6, terdapat tiga butir pernyataan yang validitasnya tidak berarti, yaitu pernyataan nomor 4, 19 dan 22. Oleh karena itu, perlu dilakukan kembali pengujian validitas tanpa mengikutsertakan ketiga nomor tersebut. Hasil penghitungannya disajikan dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 3.7

Hasil Uji Validitas Butir Pernyataan Angket Tahap 2 No.

Pernyataan Kriteria Kategori

1. 0,363 2,366

2,027

validitas berarti rendah

2. 0,553 4,041 validitas berarti sedang

3. 0,366 2,393 validitas berarti rendah

5. 0,536 3,861 validitas berarti sedang

6. 0,435 2,937 validitas berarti sedang

7. 0,322 2,072 validitas berarti rendah

8. 0,338 2,188 validitas berarti rendah

9. 0,591 4,454 validitas berarti sedang

10. 0,408 2,719 validitas berarti sedang

11. 0,478 3,306 validitas berarti sedang

12. 0,337 2,174 validitas berarti rendah

13. 0,525 3,748 validitas berarti sedang

14. 0,343 2,221 validitas berarti rendah

15. 0,447 3,297 validitas berarti sedang

16. 0,409 2,728 validitas berarti sedang

17. 0,444 3,014 validitas berarti sedang

18. 0,384 2,528 validitas berarti rendah

20. 0,414 2,765 validitas berarti sedang

21. 0,618 4,787 validitas berarti sedang

23. 0,646 5,147 validitas berarti sedang


(32)

45

Berdasarkan hasil pengujian validitas di atas, maka untuk selanjutnya butir pernyataan angket yang diolah dalam penelitian ini hanya dilakukan terhadap 21 nomor pada tabel 3.7 di atas, dimana seluruh butir pernyataan angket tersebut memiliki validitas berarti.

2. Reliabilitas

Adapun penentuan kategori reliabilitas tes bentuk uraian dilakukan melalui perhitungan menggunakan rumus Cronbach’s Alpha (Suherman, 2003: 154) yaitu:

11

r =

            

2

2 1 1 t i s s k k

Keterangan : r11 = koefisien reliabilitas k = banyak butir soal

2

i

S = varians skor tiap item = varians skor total Suherman (2003: 131) menyatakan bahwa hasil dari perhitungan koefisien reliabilitas (r11) dapat diinterpretasikan menurut kategori sebagai berikut.

0,80< r111,00 : korelasi sangat tinggi 0,60< r110,80 : korelasi tinggi 0,40< r110,60 : korelasi cukup 0,20< r110,40 : korelasi rendah 0,00< r110,20 : korelasi sangat rendah

Melalui proses penghitungan pada lampiran C.6, diperoleh nilai koefisien reliabilitas adalah r11= 7. Hal ini menunjukkan bahwa keseluruhan butir

pernyataan pada angket memiliki reliabilitas dalam kategori tinggi.

Setelah penentuan kategori reliabilitas instrumen tes dilakukan, perlu dilakukan uji keberartian koefisien reliabilitas untuk mengukur apakah butir pernyataan angket memiliki reliabilitas yang berarti atau tidak. Hipotesis yang akan diuji adalah :

Reliabilitas butir pernyataan angket tidak berarti. Reliabilitas butir pernyataan angket berarti.


(33)

Dengan statistik uji yaitu (Sudjana, 1996: 380):

Keterangan: r11 = koefisien reliabilitas

n = banyak siswa peserta tes

Untuk taraf signifikansi 0,05 dan , kriteria pengujian yang digunakan adalah sebagai berikut.

a. Jika maka diterima. b. Jika , maka ditolak.

Berdasarkan pengujian statistik melalui perhitungan yang terdapat pada lampiran C.6 dengan menggunakan bantuan software Microsoft Excel 2007, pada taraf signifikansi 0,05 dan , diperoleh nilai

. Jadi ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa reliabilitas instrumen angket skala sikap berarti.

3.4.3 Lembar Observasi

Lembar observasi disusun untuk mencatat aktivitas apa saja yang berlangsung selama proses pembelajaran. Lembar observasi yang digunakan oleh peneliti ada dua macam, lembar pertama untuk mengobservasi kegiatan yang dilakukan guru dan siswa selama proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Knisley, lembar kedua untuk mengobservasi kegiatan guru dan siswa selama proses pembelajaran dengan metode ekspositori.

3.4.4 Lembar Wawancara

Lembar wawancara digunakan oleh peneliti dalam melakukan wawancara kepada beberapa siswa kelas eksperimen. Wawancara dilakukan pada akhir penelitian untuk melengkapi data-data penelitian yang sekiranya belum dapat terjawab oleh angket dan hasil observasi.

3.5 Bahan Ajar


(34)

47

3.5.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana kegiatan pembelajaran yang menggambarkan prosedur atau langkah-langkah pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar. RPP disusun untuk dijadikan pedoman bagi guru dalam memandu jalannya proses pembelajaran agar terorganisir dengan baik dan sistematis. Penyusunan RPP untuk kelas eksperimen disesuaikan dengan model pembelajaran Knisley, sedangkan penyusunan RPP untuk kelas kontrol disesuaikan dengan metode pembelajaran ekspositori. RPP untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan dalam lampiran.

3.5.2 Lembar Kegiatan Siswa (LKS)

Penyusunan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) dimaksudkan untuk membantu siswa dalam belajar sehingga siswa memiliki pemahaman dan keterampilan sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dalam indikator pembelajaran. Pemanfaatan LKS dapat merangsang siswa untuk belajar aktif dan melatih siswa untuk dapat memahami suatu permasalahan matematik, menemukan suatu konsep, kemudian mengkomunikasikannya kepada teman sebaya atau guru.

Langkah-langkah yang ada dalam LKS disesuaikan dengan tahapan pada model pembelajaran Knisley. Namun, hanya tiga tahapan dari model pembelajaran ini yang difasilitasi oleh LKS, yaitu tahap alegorisasi, integrasi, dan analisis. Tahap alegorisasi divisualisasikan ke dalam LKS dalam bentuk kegiatan 1 yang memuat permasalahan matematika yang sering ditemui siswa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bertujuan untuk memancing keingintahuan siswa terhadap suatu konsep dengan memikirkan, mempertimbangkan, kemudian memperkirakan cara mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Tahap integrasi difasilitasi oleh LKS dalam bentuk kegiatan 2 yang memuat petunjuk-petunjuk sederhana agar siswa dapat mengeksplorasi konsep matematika secara mandiri dengan melakukan percobaan sederhana melalui petunjuk tersebut. Tahap analisis divisualisasikan ke dalam LKS dalam bentuk kegiatan 3 yang


(35)

memuat soal-soal aplikasi yang dapat melatih kemampuan komunikasi matematik siswa.

3.6 Prosedur Penelitian

Prosedur dalam penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, analisis data, dan penyusunan kesimpulan.

3.6.1 Tahap Persiapan

Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut. 1. Identifikasi masalah terhadap pembelajaran matematika tingkat SMP. 2. Konsultasi pemilihan judul skripsi.

3. Penyusunan proposal penelitian dan seminar proposal penelitian.

4. Penyusunan komponen-komponen pembelajaran seperti bahan ajar dan instrumen penelitian.

5. Melakukan ujicoba instrumen untuk kemudian dievaluasi validitas, reliabilitas, daya pembeda dan indeks kesukarannya.

6. Merevisi instrumen penelitian.

7. Pemilihan lokasi penelitian dan mengurus perizinan penelitian. 8. Menentukan sampel dari populasi yang telah ditentukan.

9. Menghubungi kembali lokasi penelitian guna fiksasi waktu dan teknis selama proses penelitian.

3.6.2 Tahap Pelaksanaan

Langkah-langkah yang dilakukan selama tahap pelaksanaan adalah sebagai berikut.

1. Memberikan pretes untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol sebagai tahap awal untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematik awal siswa. 2. Melaksanakan pembelajaran dengan model pembelajaran Knisley pada kelas

eksperimen dan metode ekspositori untuk kelas kontrol. 3. Melakukan observasi selama proses pembelajaran berlangsung.


(36)

49

4. Memberikan postes untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematik akhir siswa setelah selesai dilaksanakan pembelajaran dengan model pembelajaran yang diberikan. 5. Melakukan wawancara kepada beberapa siswa jika sekiranya masih terdapat

data yang belum terjawab oleh angket dan lembar observasi. 3.6.3 Tahap Analisis Data

Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap analisis data adalah sebagai berikut.

1. Pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif.

2. Pengolahan data kuantitatif berupa pretes dan postes kemampuan komunikasi matematik serta data angket.

3. Pengolahan data kualitatif berupa lembar observasi dan lembar wawancara. 3.6.4 Tahap Penyusunan Kesimpulan

Pada tahap ini, peneliti menyusun kesimpulan dari hasil analisis data dan pembahasan untuk menjawab hipotesis yang telah dirumuskan.

3.7 Analisis Data

Data yang akan diperoleh dari hasil penelitian terdiri dari dua macam, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif meliputi data pretes, data postes, data indeks N-gain dari kelas eksperimen maupun kelas kontrol dan data angket dari kelas eksperimen. Sedangkan data kualitatif diperoleh dari lembar observasi dan lembar wawancara. Pengolahan data kuantitatif diawali dengan deskripsi tentang kemampuan komunikasi matematik siswa dengan melihat data mentah yang diperoleh saat penelitian.

3.7.1 Deskripsi Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa

Deskripsi kemampuan komunikasi matematik siswa menyajikan tentang perbandingan statistik deskriptif antara data pretes dan data postes. Statistik deskriptif kedua data tersebut diperoleh dari perhitungan menggunakan bantuan software Statistical Product and Servise Solution (SPSS) versi 17.0. Namun dalam


(37)

menjawab hipotesis, tidak cukup bila hanya dilihat dari deskripsi data saja, melainkan harus dilakukan uji statistik pada data pretes untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematik awal dan data postes untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematik akhir yang dimiliki siswa.

3.7.2 Kemampuan Komunikasi Matematik Awal Siswa

Kemampuan komunikasi matematik awal siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat diketahui melalui analisis data pretes. Untuk mengetahui apakah kemampuan komunikasi matematik awalyang dimiliki siswa memiliki perbedaan yang signifikan atau tidak, maka perlu dilakukan uji kesamaan dua rata-rata terhadap data pretes. Dalam menentukan uji statistik yang akan digunakan, terlebih dahulu harus dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji homogenitas varians.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah sebaran data pretes berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak berdistribusi normal. Uji normalitas dilakukan menggunakan bantuan software SPSS versi 17.0 dengan uji statistik Shapiro-Wilk dengan taraf signifikansi 5%. Hipotesis yang akan diuji adalah:

: Skor pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. : Skor pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berdistribusi normal. Adapun kriteria pengujiannya yaitu :

Jika nilai Sig maka diterima, Jika nilai Sig maka ditolak.

Jika kedua kelas berdistribusi normal, maka pengujian yang dilakukan selanjutnya adalah uji homogenitas varians untuk menentukan uji parametrik yang sesuai. Akan tetapi jika salah satu atau kedua kelas tidak berdistribusi normal, maka tidak perlu dilakukan uji homogenitas varians melainkan langsung dilakukan uji statistika nonparametrik menggunakan uji Mann-Whitney U.


(38)

51

2. Uji Homogenitas Varians

Uji homogenitas varians dilakukan untuk mengetahui apakah kelas eksperimen dan kelas kontrol bervariansi homogen atau tidak bervariansi homogen. Jika kedua kelas berdistribusi normal, maka pengujian dilanjutkan dengan uji homogenitas varians menggunakan uji Lavene’s test dengan taraf signifikansi 5%. Hipotesis yang diujikan adalah:

: Skor pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol bervariansi homogen. : Skor pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak bervariansi homogen. Adapun kriteria pengujiannya yaitu:

Jika nilai Sig maka diterima, Jika nilai Sig maka ditolak 3. Uji Perbedaan Dua Rata-Rata

Uji perbedaan dua rata-rata dapat dilakukan berdasar kriteria kenormalan dan kehomogenan data skor pretes. Jika kedua kelas berdistribusi normal dan bervariansi homogen, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji t atau Two Independent Sample t-Tes dengan asumsi kedua varians homogen (Equal variances assumed). Jika data kedua kelas berdistribusi normal namun tidak bervariansi homogen, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji atau Two Independent Sample t-Tes dengan asumsi kedua varians tidak homogen (Equal variances not assumed). Adapun hipotesis yang diujikan adalah:

: Tidak ada perbedaan kemampuan komunikasi matematik awal siswa kelas eksperimen dengan siswa kelas kontrol.

: Ada perbedaan kemampuan komunikasi matematik awal siswa kelas eksperimen dengan siswa kelas kontrol.

Sedangkan kriteria pengujiannya adalah: Jika nilai Sig maka diterima, Jika nilai Sig maka ditolak

Jika diterima, maka data yang diuji untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematik kelas eksperimen dan kelas kontrol berasal


(39)

dari skor postes kedua kelas. Akan tetapi jika ditolak, pengujian data dilakukan terhadap skor indeks N-gain .

4. Uji Statistika Nonparametrik

Jika salah satu atau kedua data tidak berdistribusi normal, maka pengujian hipotesis dilakukan menggunakan uji statistik nonparametrik menggunakan uji Mann Whitney-U.

3.7.3 Kemampuan Komunikasi Matematik Akhir Siswa

Kemampuan komunikasi matematik akhir siswa dapat dilihat dari analisis data postes. Analisis data ini bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan komunikasi matematik siswa yang mendapatkan pembelajaran menggunakan model pembelajaran Knisley lebih tinggi daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika menggunakan metode ekspositori. Langkah-langkah analisis data postes dijabarkan sebagai berikut.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah sebaran data postes berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak berdistribusi normal. Uji normalitas dilakukan menggunakan bantuan software SPSS dengan uji statistik Shapiro-Wilk, taraf signifikansi 5%. Hipotesis statistik yang akan diuji adalah:

: Skor postes kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. : Skor postes kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berdistribusi normal. Adapun kriteria pengujiannya sebagai berikut:

Jika nilai Sig maka diterima, Jika nilai Sig maka ditolak.

Jika kedua kelas berdistribusi normal, maka pengujian selanjutnya adalah uji homogenitas varians untuk menentukan uji parametrik yang sesuai. Namun jika salah satu atau kedua kelas tidak berdistribusi normal, maka tidak perlu dilakukan uji homogenitas varians melainkan langsung dilakukan uji statistika nonparametrik menggunakan uji Mann-Whitney U untuk pengujian hipotesis.


(40)

53

2. Uji Homogenitas Varians

Uji homogenitas varians dilakukan untuk mengetahui apakah kelas eksperimen dan kelas kontrol bervariansi homogen atau tidak bervariansi homogen. Pengujian homogenitas varians dilakukan menggunakan uji Lavene’s test, taraf signifikansi 5%. Hipotesis yang diujikan adalah:

: Skor postes kelas eksperimen dan kelas kontrol bervariansi homogen. : Skor postes kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak bervariansi homogen. Adapun kriteria pengujiannya yaitu:

Jika nilai Sig maka diterima, Jika nilai Sig maka ditolak. 3. Uji Perbedaan Dua Rata-Rata

Uji perbedaan dua rata-rata dilakukan untuk mengetahui pencapaian kemampuan komunikasi matematik akhir siswa kelas eksperimen maupun siswa kelas kontrol. Uji perbedaan dua rata-rata dilakukan berdasar kriteria normal atau tidaknya distribusi data postes serta homogen atau tidaknya varians data postes. Jika kedua kelas berdistribusi normal dan bervariansi homogen, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji t atau Two Independent Sample t-Tes dengan asumsi kedua varians homogen (Equal variances assumed). Jika kedua kelas berdistribusi normal namun tidak bervariansi homogen, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji atau Two Independent Sample t-Tes dengan asumsi kedua varians tidak homogen (Equal variances not assumed). Jika salah satu atau kedua kelas berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal, maka pengujian hipotesis dilakukan menggunakan uji statistik nonparametrik Mann-Whitney U. Adapun hipotesis yang diujikan adalah:

: Kemampuan komunikasi matematik akhir siswa kelas eksperimen tidak lebih tinggi daripada siswa kelas kontrol.

: Kemampuan komunikasi matematik akhir siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada siswa kelas kontrol.


(41)

Jika nilai Sig maka diterima, Jika nilai Sig maka ditolak.

3.7.4 Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa

Pengujian data indeks N-gain dilakukan untuk mengetahui perbedaan kemampuan komunikasi matematik siswa jika hasil skor pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol menunjukkan kemampuan awal yang berbeda. Namun jika kemampuan komunikasi matematik awal yang dimiliki kedua kelas sudah sama, analisis data indeks N-gain dilakukan untuk melihat kualitas peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa. Perhitungan indeks N-gain ini dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan efek yang ditimbulkan dari nilai gain tertinggi sehingga kesimpulan yang didapatkan tidak akan bias (Hake dalam Lambertus, 2010: 95).

Menurut Meltzer (Afifah, 2011: 33), rumus yang dapat digunakan untuk menghitung skor indeks N-gain adalah sebagai berikut.

N-

Keterangan: = skor pretes

= skor postes = skor maksimal

Setelah didapatkan skor indeks N-gain masing-masing siswa, selanjutnya disajikan tentang deskripsi kualitas peningkatan kemampuan komunikasi matematik kelas eksperimen maupun kelas kontrol berdasarkan pada statistik deskriptif yang diolah melalui software Statistical Product and Servise Solution (SPSS) versi 17.0.

Namun untuk mengetahui perbedaan kualitas peningkatan kemampuan komunikasi matematik kedua kelas tersebut signifikan atau tidak, belum cukup bila hanya dilihat dari deskripsi data saja, melainkan harus dilakukan uji statistik pada data indeks N-gain. Dalam pengujian statistik, harus dilakukan uji prasyarat terlebih dahulu yaitu uji normalitas dan uji homogenitas varians.


(42)

55

1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah sebaran skor indeks N-gain berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak berdistribusi normal. Uji normalitas data indeks N-gain dilakukan menggunakan bantuan software SPSS dengan uji statistik Shapiro-Wilk, taraf signifikansi 5%. Hipotesis statistik yang akan diuji adalah:

: Skor indeks N-gain kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. : Skor indeks N-gain kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berdistribusi

normal.

Adapun kriteria pengujiannya sebagai berikut: Jika nilai Sig maka diterima, Jika nilai Sig maka ditolak.

Jika indeks N-gain kedua kelas berdistribusi normal, maka pengujian selanjutnya adalah uji homogenitas varians. Namun jika indeks N-gain salah satu atau kedua kelas tidak berdistribusi normal, maka tidak dilakukan uji homogenitas varians akan tetapi langsung dilakukan uji statistika nonparametrik menggunakan uji Mann-Whitney U untuk pengujian hipotesisnya.

2. Uji Homogenitas Varians

Uji homogenitas varians dilakukan untuk mengetahui apakah kelas eksperimen dan kelas kontrol bervariansi homogen atau tidak bervariansi homogen. Uji homogenitas varians menggunakan uji Lavene’s test dengan taraf signifikansi 5%. Hipotesis yang diujikan adalah:

: Skor indeks N-gain kelas eksperimen dan kelas kontrol bervariansi homogen : Skor indeks N-gain kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak bervariansi

homogen.

Adapun kriteria pengujiannya yaitu:

Jika nilai Sig maka diterima, Jika nilai Sig maka ditolak.


(43)

3. Uji Perbedaan Dua Rata-rata

Uji perbedaan dua rata-rata dilakukan untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa kelas eksperimen lebih baik daripada siswa kelas kontrol atau tidak. Jika kedua kelas berdistribusi normal dan bervariansi homogen, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji t atau Two Independent Sample t-Tes dengan asumsi kedua varians homogen (Equal variances assumed). Jika kedua kelas berdistribusi normal namun tidak bervariansi homogen, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji atau Two Independent Sample t-Tes dengan asumsi kedua varians tidak homogen (Equal variances not assumed). Jika salah satu atau kedua kelas berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal, maka pengujian hipotesis dilakukan uji statistik nonparametrik menggunakan uji Mann-Whitney U. Hipotesis yang diujikan yaitu: : Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa kelas eksperimen

tidak lebih tinggi daripada siswa kelas kontrol.

: Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada siswa kelas kontrol.

Adapun kriteria pengujiannya adalah sebagai berikut. Jika nilai Sig maka diterima,

Jika nilai Sig maka ditolak.

Adapun perolehan skor indeks N-gain tiap siswa dapat diinterpretasikan menurut kategori tinggi, sedang dan rendah. Dari hasil perhitungan menggunakan bantuan Software Microsoft Excel 2007, skor indeks N-gain masing-masing siswa kemudian dibagi ke dalam tiga kategori. Menurut Hake (Afifah, 2011: 34) skor indeks N-gain yang diperoleh dapat diinterpretasikan sebagai berikut.

Tabel 3.8

Kriteria Indeks N-gain

Indeks N-gain Keterangan

Tinggi

Sedang


(44)

57

3.7.5 Uji Data Angket

Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sikap dari Likert. Pernyataan yang diajukan terdiri dari pernyataan positif dan pernyataan negatif. Pemberian skor pada jawaban masing-masing butir angket didasarkan pada pedoman sebagai berikut:

Tabel 3.9

Pedoman Penskoran Jawaban Angket Skala Sikap Jenis

pernyataan

Skor

SS S R TS STS

Positif 5 4 3 2 1

Negatif 1 2 3 4 5

Analisis data angket dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Menghitung persentase skor angket tiap siswa dengan rumus berikut.

Dengan P : persentase skor angket tiap siswa X : skor total angket tiap siswa Y : skor maksimal ideal

b. Menghitung rata-rata persentase skor angket seluruh siswa dengan rumus:

̅ ∑

Dengan ̅ : rata-rata persentase skor total angket seluruh siswa

∑ : jumlah persentase skor total angket siswa

: banyaknya siswa yang mengisi angket

Setelah persentase skor angket tiap siswa diperoleh, sikap siswa dapat diintrepretasikan sesuai kategori yang dikemukakan oleh Riduwan dan Sunarto (2007: 23) sebagai berikut.

Tabel 3.10

Klasifikasi Hasil Perhitungan Persentase Skala Sikap Setiap Siswa Rata-Rata Persentase Skor Tiap Siswa Interpretasi Sikap Siswa

Sangat Lemah / Sangat Negatif

Lemah / Negatif

Cukup / Netral

Kuat / Positif


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, N. (2011). Hakikat Pembelajaran Matematika. [Online]. Tersedia: http://noviansangpendiam.blogspot.com/2011/05/hakikat-pembelajaran-matematika.html. [23 Desember 2012]

Afifah, N. (2011). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP Melalui Penerapan Pendekatan Creative Problem Solving (CPS). Skripsi. UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.

Ahmad, M. (2012). Komunikasi Matematika. [Online]. Tersedia: lubisbrother88. blogspot.com/2012/06/v-behaviorurldefaultvmlo.html [17Desember 2012] Andriani, M. (2008). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Dan Pemecahan

Masalah Matematika Siswa Madrasah Ibtidaiyah Melalui Strategi Think-Talk-Write Berbasis Modul. [Online]. Tersedia:Http://Mellyirzal.Blogspot. Com/2008/12/ MengembangkanKemampuan-Komunikasi-Dan.Html. [26 November 2012]

Anisa. (2011). Hakekat Pembelajaran Matematika. [Online]. Tersedia: http://veynisaicha.blogspot.com/2011/07/hakekat-pembelajaran-matematika. html [11 April 2012]

Apino, E. (2012). Hakikat Pembelajaran Matematika. [Online]. Tersedia: http://eziapino.blogspot.com/2012/04/hakikat-pembelajaran-matematika. html [17 Desember 2012]

Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta: Tidak Diterbitkan.

Baharuddin dan Wahyuni, E. N. (2008). Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Budi. (2011). Karakteristik dan Hakekat Matematika. [Online]. Tersedia: http://bupulenambudi.blogspot.com/2011/12/karakteristik-matematika-dan-hakekat.html. [18 Desember 2012]

CBS. (2010). Communication in the MathematicsClassroom. [Online]. Tersedia: http://www.edu.gov.on.ca/eng/literacynumeracy/inspire/research/CBS_Com munication_Mathematics.pdf [18 Desember 2012]


(2)

Darhim. (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual Terhadap Sikap Siswa Sekolah Dasar. [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori /FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/195503031980021-DARHIM/ Makalah_Artikel/JurnalSikapSiswa.pdf [31 Juli 2013]

Fahrurrazi. (2011). Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siwa Sekolah Dasar. [Online]. Tersedia: http://Jurnal.Upi.Edu/File/8-Fachrurazi.Pdf. [16 Nov 2012].

Fatimah, S. (2012). Penerapan Model Pembelajaran Knisley dengan Metode Brainstorming untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA. Skripsi. UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Hamid, A. dan Mukhtar. (2012). Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Sikap Matematika Siswa Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SMP Negeri 2 Kisaran. [Online]. Tersedia: http://digilib.unimed.ac.id/UNIMED-Master-250018/22470 [31 Juli 2013]

Hamruni. (2012). Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Insan Manani

Hendriana, H. (2009). Pembelajaran Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik dan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama.

Disertasi. UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Hulukati, E. (2011). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP Melalui Model Pembelajaran Generatif.

Disertasi. UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Jefri, C. (2012). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Matematika Menggunakan Multimedia Interaktif. Skripsi. UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.

Kadir. (2008). Kemampuan Komunikasi Matematik dan Keterampilan Sosial Siswa dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta. Tidak diterbitkan. Disampaikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika tanggal 28 Nopember 2008 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY. [Online]. Tersedia: http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/6949. [11 April 2012]

Knisley, J. (2002). A Four-Stage Model of Mathematical Learning. Dalam Mathematics Educator. [Online]. Vol 12 (1)10 halaman. Tersedia:


(3)

Kurniawati. (2012). Upaya Meningkatkan Level Berpikir Geometrik Van Hiele Pada Siswa Smp Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Matematika Knisley. Skripsi. UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Lambertus. (2010). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SD Melalui Pendekatan Matematika Realistik.

Disertasi. UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Mahmudi, S. (2009). Komunikasi Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah termuat pada jurnal MIPMIPA UNHALU Volume 8, nomor 1, Februari 2009, ISSN 1412-2318.

Mardani. (2010). Resume Teori Belajar Kolb & Krathwohl. [Online]. Tersedia: http://rahayumardani08-114.blogspot.com/2010/10/resume-teori-belajar-kolb-kratwohl.html. [25 Desember 2012]

Mia. (2012). Komunikasi Dalam Matematika [Online]. Tersedia: http://miamtk.wordpress. com/2012/01/09/19/ [11 April 2012]

Mulyana, E. (2009). Pengaruh Model Pembelajaran Matematika Knisley Terhadap Peningkatan Pemahaman Dan Disposisi Matematika. Disertasi. UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Narbuko, C., dkk. (1999). Metodologi Penelitian. Jakarta. Bumi Aksara.

Nasution, S. (2000). Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta. Bumi Aksara. National Council of Teachers of Mathematics. (2003). NCTM Program

Standards. Programs for Initial Preparation of Mathematics Teachers. Standards for Secondary Mathematics Teachers. [Online]. Tersedia: http://www.nctm.org/uploadedFiles/ Math_Standards/.[7 April 2012]

Nugroho, P. A. (2010). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Talk-Write (TTW). Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta. Tidak Diterbitkan.

Nurlaelah, E. (2009). Pencapaian Daya dan Kreativitas Matematik Mahasiswa Calon Guru Melalui Pembelajaran Berdasarkan Teori APOS. Disertasi Doktor pada SPS UPI. Bandung. Tidak diterbitkan.

Nurokhmatillah, I. (2010). Upaya Meningkatkan Pemahaman Geometri pada Siswa SMP dengan Menggunakan Model Pembelajaran SAVI. Skripsi. UPI Bandung : Tidak dipublikasikan.


(4)

Permana, Y. (2011). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Komunikasi, dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Model-Eliciting Activities. Disertasi. UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.

Putranti, A.R. (2011). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMP.

Skripsi. UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Qohar, A. (2011). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Koneksi dan Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP Melalui Reciprocal Teaching. Disertasi. UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.

Qohar, A. (2011). Pengembangan Instrumen Komunikasi Matematis Untuk Siswa SMP. Yogyakarta: Tidak Diterbikan. Makalah Disajikan Pada Lomba dan Seminar Matematika LSM XIX UNY.

Riduwan dan Sunarto. (2007). Pengantar Statistika Untuk Penelitian Pendidikan, Sosial, Ekonomi, Komunikasi dan Bisnis. Bandung: Alfabeta.

Ruseffendi. (1994). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan Dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.

Rusgianto. (2006). Hubungan Antara Sikap Terhadap Matematika, Kecerdasan Emosional Dalam Interaksi Sosial di Kelas dengan Hasil Belajar Matematika Siswa SMP Negeri 5 Yogyakarta Tahun 2006. Yogyakarta. Tidak diterbitkan. Disampaikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika tanggal 24 Nopember 2006 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.

Rusmono. (2012). Strategi Pembelajaran dengan Problem Based Learning (PBL) Itu Perlu. Bogor: Ghalia Indonesia.

Shadiq, F. (2004). Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi. Yogyakarta: Tidak Diterbitkan. Disampaikan Pada Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang Dasar tanggal 6 S.D. 19 Agustus 2004 Di PPPG Matematika.

Sudjana. (1993). Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif Dalam Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Nusantara Press.


(5)

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Suharsih, Ririn. (2010). Pembelajaran Matematika Melalui Model Generatif Untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Adaptif Siswa SMA. Skripsi. UPI Bandung : Tidak dipublikasikan.

Suherman, E. (2008). Belajar dan Pembelajaran Matematika. Hands-Out Perkuliahan. Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI .

Suherman, E. dan Kusumah, Y. S. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157 Bandung. Suherman, E. dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.

Bandung: JICA-UPI.

Suherman, E. dkk. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematik .Bandung:JICA-UPI.

Sukarsih. R. I. (2010). Perbedaan Pengaruh Antara Pembelajaran Inkuiri dan Pembelajaran Ekspositori Terhadap Motivasi dan Prestasi Belajar Mata Kuliah Asuhan Kebidanan Patologi. Tesis. UNS : Tidak dipublikasikan. [Online]. Tersedia: http://www.fik.umsurabaya.ac.id/jurnal/tesis_java.pdf [31 Juli 2013].

Sunarto, dkk. (2008). Hasil Belajar Kimia Siswa dengan Model Pembelajaran Metode Think-Pair-Sharedan Metode Ekspositori. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol. 2, No. 1. Tidak diterbitkan. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang. [Online]. Tersedia: http://journal.unnes.ac.id/ nju/index.php/JIPK/article/download/1225/1188 [31 Juli 2013]

Sunarto. (2009). Pengertian Metode Ekspositori. [Online]. Tersedia: http:// sunartombs.wordpress.com/2009/03/09/pengertian-metode-ekspositori/. [17 Desember 2012].

Sungkana. I. (2011). Masalah-Masalah Belajar. http://indrasite.weebly.com/ uploads/7/6/4/3/7643691/masalah_-_masalah_belajar.pptx [23 Juni 2013] Suriasumantri, J. S. (1998). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan.

Syaiful. (2011). Peningkatan Kemampuan Berpikir Logis, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Sikap Siswa Terhadap Matematika Melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Disertasi. UPI Bandung : Tidak dipublikasikan.


(6)

Tamami, A. N., dkk. (2010). Konstruksi Tes Memori. [Online]. Tersedia: http://www.scribd.com/doc/61508546/10/Pengertian-Validitas [20 Mei 2012]

Umar, W. (2012). Membangun Kemampuan Komunikasi Matematis Dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1. Tidak diterbitkan. Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Khairun Ternate. [Online]. Tersedia: http://publikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/08/Wahid-Umar.pdf [11 April 2012]

Wahyudin dan Widjajanti, D. B. (2010). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Matematis Mahasiswa Calon Guru Matematika Melalui Strategi Perkuliahan Kolaboratif Berbasis Masalah. Makalah. Bandung: Tidak diterbitkan.

Walsh, C. F. (1991). The Relationship Between Attitudes Towards Specific Mathematics Topics And Achievement In Those Domains. [Online]. Tersedia:http://circle.ubc.ca. 1991. [20 Juni 2013].

Weti, I. (2010). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Melalui Strategi Think-Talk-Write (TTW). [Online]. Tersedia: http:// kartiniokey.blogspot.com/2010/05/meningkatkan-kemampuan-komunikasi. html. [7 April 2012]

Zainab. (2011). Komunikasi Matematis dalam Pembelajaran Matematika. [Online]. Tersedia: http://mgmpmatoi.blogspot.com/2011/12/komunikasi-matematis-dalam-pembelajaran.html. [17Desember 2012].

Zan, R dan Martino, P. D. (2007). Attitude Toward Mathematics: Overcoming The Positive/Negative Dichotomy. [Online]. Tersedia: http://www.math.umt.edu /tmme/ monograph3/Zan_Monograph3 _pp.157_168.pdf [20 Juni 2013).


Dokumen yang terkait

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBANTUAN PROGRAM FLASH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP.

2 9 34

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KNISLEY DENGAN METODE Penerapan Model Pembelajaran Knisley dengan Metode Brainstorming untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik (PTK bagi Siswa Kelas VIII Semester Genap SMP N 2 Teras Tahun 2013/ 2014).

0 3 17

PENDAHULUAN Penerapan Model Pembelajaran Knisley dengan Metode Brainstorming untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik (PTK bagi Siswa Kelas VIII Semester Genap SMP N 2 Teras Tahun 2013/ 2014).

0 1 7

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KNISLEY DENGAN METODE Penerapan Model Pembelajaran Knisley dengan Metode Brainstorming untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik (PTK bagi Siswa Kelas VIII Semester Genap SMP N 2 Teras Tahun 2013/ 2014).

1 3 12

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM-BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP.

0 5 50

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INDUKTIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA.

0 0 24

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THE LEARNING CELL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK PADA SISWA SMP.

0 1 44

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KNISLEY.

1 1 35

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SINEKTIK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP.

1 3 41

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMA.

0 2 57