MACAM MACAM PUASA SUNAH

   Makalah Fiqih

MACAM MACAM PUASA SUNAH

D

  

I

S

U

S

U

N

OLEH :

  1. AL HUSNA

  2. ISLAMIATI

FAKULTAS TARBIYAH

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS SERAMBI MEKKAH

BANDA ACEH

  

2015

KATA PENGANTAR

  Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis Dapat menyusun makalah ini tepatpada waktunya. Makalah ini membahas tentang

  “Macam Macam Puasa Sunnah”

  Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

  Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

  Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

  Banda Aceh, 24 Maret 2015 Penulis

  

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. i

DAFTAR ISI................................................................................................. ii

  

BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1

A. Latar Belakang......................................................................... 1 B. Tujuan ..................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 2

A. Puasa Sunah............................................................................. 2 B. Ketentuan Puasa Sunah ....................................................

  3 C. Macam-macam puasa sunnah..................................................

  4 BAB III PENUTUP ..................................................................................... 9

  A. Kesimpulan ............................................................................. 9

  B. Saran......................................................................................... 9

  

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 10

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Puasa dalam bahasa Arab di istilahakan dengan “shaum” atau

  “shiyam”. Secara terminology “shaum” atau “shiyam” Itu berarti “al-

  

imsak”yaitu menahan dari apa saja. Ibnu Mandzur memberikan penjabaran

  untuk maksud “menahan diri” yaitu meninggalkan makan, minum, hubungan suami isti, dan berbicara. Sedangkan puasa secara syar’i adalah “ Menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri dan apa saja yang bisa membatalkannya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan mengharap ridha Allah SWT.

  Di dalam syariat islam puasa digolongkan menjadi dua yaiti puasa wajib dan sunnah,puasa wajib merupakan salah satu dari rukun islam, yaitu puasa Ramadhan, Selain puasa wajib ada juga puasa sunnah yang diperintahkan Rasullah seperti puasa 6 hari pada bulan syawwal, puasa pada hari senin dan kamis, puasa ‘arafah,dan Puasa Asyura’ masih banyak lagi

B. Tujuan Penulisan 1. Memahami keutamaan-keutamaan sunnah.

  2. Menjelaskan Macam-macam Puasa Sunnah.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 PUASA SUNAH

  Puasa Sunah adalah puasa yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan apabilatidak dikerjakan tidak berdosa. Sabda Nabi Saw,

  

Artinya: Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw,

dia bertanya: Ya, Rasulullah, terangkan kepadaku tentang puasa yang difardukan Allah atas diriku. Rasul menja

wab: bulan Ramadlan. Orang itu bertanya lagi, Adakah puasa yang lain

yang diwajikan atas diriku?, Rasul menjawab: Tidak, kecuali engkau

mengerjakan puasa tatawu’ (sunah). (HR.Bukhori dan Muslim)

  Puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun). Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi, “Hamba-Ku senantiasa

  

mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku

mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk

pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada

penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada

tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya

yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti

Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan

melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).

2.2 Ketentuan dalam Melakukan Puasa Sunnah

  1. Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar. Dari ‘Aisyah R.a ا, ia berkata: اًذإإ ىإنإإَََف :َلاَََق .. :اَََنْلُقَف ؟ ٌءْي َََش ْمُكَدََْنإع ْلَََه :َلاََقَف ٍمْوَََي َتاَذ َمَل َََسَو إهََْيَلَع ُا ىَلَص إا ُلْوُسَر َيَلَع َلَخَد

  .َلَكَأَف ،اًمإئاَص ُت ْحَب ْصَأ ْدَقَلَف ،إهْينيرَأ :َلاَقَف . ٌسْيَح اَنَل َيإدْهُأ إا َل ْوُسَر اَي :اَنْلُقَف .رَخآ اًم ْوَي اَناَتَأ َمُث ،ٌمإئاَص “Pada suatu hari, Nabi SAW menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR.

  Muslim no. 1154).

  An Nawawi ا همحر memberi judul dalam Shahih Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa udzur. ”

  2. Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut.

  3. Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya.

4. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, إهإنْذإإإب َ.إإ ٌدإهاَش اَهُلْعَبَو ُةَأ ْرَمْلا إمُصَت َ.

  “Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.”(HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026) Imam An Nawawi ا همحر menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.” 3

  Beliau ا همحر menjelaskan pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya.”

2.3 Macam-macam Puasa Sunah 1. Puasa hari Senin dan Kamis.

  Sabda nabi SAW “ Adalah nabi SAW selalu berusaha untuk puasa senin dan kamis”. (HR. Tirmizi)

  

Artinya: Rasullullah pernah ditanya tentang sebab-sebab disyariatkanya

puasa Senin-Kamis.

Rosulullah menjawab dalam hadits yang artinya, “ Amal-amal kita ditunj

ukan kepada Allah pada setiap hari Senin dan Kamis, oleh karena itu, aku

  

suka ketika amal-amalku ditunjukan kepada Allah, aku sedang puasa,” (HR.

  Ahmad)

  Dasar Hukum: Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid R.a, dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw selalu berpuasa pada hari Senin dan Kamis, mana kala beliau ditanya tentang hal tersebut, beliau menjawab:

  إسْيإمَخْلاَو إنْيَنْثإلا َم ْوَي ُضَرْعُت إداَبإعلْا َلاَمْعَأ َنإإ

  

“Sesungguhnya amal-amal hamba dihadapkan (kepada Allah) pada hari

Senin dan Kamis."

2. Puasa selama 6 hari pada bulan Syawal

  puasa sunnah 6 hari di bulan syawal (puasa syawal) adalah puasa sunnah yang dianjurkan oleh rasulullah saw, sebagai penyempurna ibadah puasa ramadan. bila dikerjakan maka nilai pahalanya sama dengan (berpuasa sepanjang tahun.

  Sebagai dasar hukum dari puasa sunnah 6 hari di bulan syawal adalah berdasarkan hadits Rasulullah Saw, dari Abu Ayyub Ra, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda,

  إرْهَدلا إماَيإصَك َناَك ٍلاَوَش ْنإم اًًتإس ُهَعَبْتَأ َمُث َناَضَمَر َماَص ْنَم

   “Barangsiapa berpuasa Ramadhan dan meneruskannya dengan puasa

6 hari di bulan Syawal, berarti dia telah berpuasa selama

setahun.”(Hr. Muslim

  Rasulullah Saw biasa puasa Syawal 6 hari berturut-turut, tapi sebagian ulama memperbolehkan tidak harus berturut-turut 6 hari, namun pahalanya insya allah sama dengan yang berturut-turut. namun, menurut pendapat beberapa ulama termasuk Syaikh Utsaimin, mengerjakannya dengan berurutan, itu lebih utama karena menunjukkan sikap bersegera dalam melaksanakan kebaikan, dan tidak menunda-nunda amal yang bisa menyebabkan tidak jadi beramal

3. Puasa hari Arafah (9 Zulhijjah atau sebelum Idul Adha)

  Puasa Arafah adalah puasa yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa Arafah dinamakan demikian karena saat itu jamaah haji sedang wukuf di terik matahari di padang Arafah. Puasa Arafah ini dianjurkan bagi mereka yang tidak berhaji. Sedangkan yang berhaji tidak disyariatkan puasa ini.

  Mengenai hari Arofah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َةَكإئَلَمْلا

  إراَنلا َنإم اًدْبَع إهيإف ُ َا َقإتْعُي ْنَأ ْنإم َرَثْكَأ ٍم ْوَي ْنإم اَم ُمإهإب ىإهاَبُي َمُث وُنْدَيَل ُهَنإإَو َةَفَرَع إم ْوَي ْنإم إءَ.ُؤَه

  َداَرَأ اَم ُلوُقَيَف “Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka

  

adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan

keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang

diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim)

  Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hari Arofah adalah hari pembebasan dari api neraka. Pada hari itu, Allah akan membebaskan siapa saja yang sedang wukuf di Arofah dan penduduk negeri kaum muslimin yang tidak melaksanakan wukuf. Oleh karena itu, hari setelah hari Arofah –yaitu hari Idul Adha- adalah hari ‘ied bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Baik yang melaksanakan haji dan yang tidak melaksanakannya sama-sama akan mendapatkan pembebasan dari api neraka dan ampunan pada hari Arofah.” (Lathoif Al Ma’arif, 482)

  Mengenai keutamaan puasa Arafah disebutkan dalam hadits Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

  ىإتَلا َةَنَسلاَو ُهَلْبَق ىإتَلا َةَنَسلا َرّفَكُي ْنَأ إ َا ىَلَع ُبإسَت ْحَأ َةَفَرَع إم ْوَي ُماَيإص َءاَروُشاَع إم ْوَي ُماَيإصَو ُهَدْعَب ُهَلْبَق ىإتَلا َةَنَسلا َرّفَكُي ْنَأ إ َا ىَلَع ُبإسَت ْحَأ

  “Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun

  

akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun

yang lalu.”(HR. Muslim).

  Ini menunjukkan bahwa puasa Arafah adalah di antara jalan untuk mendapatkan pengampunan di hari Arafah. Hanya sehari puasa, bisa mendapatkan pengampunan dosa untuk dua tahun. Luar biasa fadhilahnya ... Hari Arafah pun merupakan waktu mustajabnya do’a s ebagaimana disebutkan dalam hadits,

  ىإلْبَق ْنإم َنوويإبَنلاَو اَنَأ ُتْلُق اَم ُرْيَخَو َةَفَرَع إمْوَي ُءاَعُد إءاَعودلا ُرْيَخ ُ َا َ.إإ َهَلإإ َ.

  ٌريإدَق ٍء ْىَش ّلُك ىَلَع َوُهَو ُدْمَحْلا ُهَلَو ُكْلُمْلا ُهَل ُهَل َكيإرَش َ. ُهَدْحَو “Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah. Dan sebaik-baik yang

  

kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan

“Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa

huwa ‘ala kulli sya-in qodiir (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah

kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan,

segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu)”.” (HR. Tirmidzi,

hasan)

  Praktik Puasa Arafah bisa diikuti dengan Puasa Tarwiyah. Jadi pada tanggal 8 Zulhijjah, berpu asa Tarwiyah disambung dengan puasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah.

4. Puasa hari Asyura ( tanggal 10 Muharam)

  Pada Muharram, awal tahun baru hijriyah. Berdasarkan dalam beberapa hadis, terdapat anjuran dari pada Rasulullah SAW kepada umat Islam untuk berpuasa pada tanggal sepuluh bulan Muharram. Tanggal sepuluh bulan Muharram biasa disebut dengan Hari ’Aasyuura (Hari kesepuluh bulan Muharram).

  Suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa pada hari ’Asyuura. Lalu beliau bertanya mengapa mereka berpuasa pada hari itu. Mereka pun menjelaskan bahawa hal itu untuk memperingati hari dimana Allah SWT telah menolong Nabi Musa as bersama kaumnya dari kejaran Firaun dan bala tenteranya. Bahkan pada hari itu pula Allah telah menenggelamkan Firaun disebabkan kezalimannya terhadap Bani Israil. Mendengar penjelasan itu, maka Nabi SAW pun menyatakan bahawa ummat Islam jauh lebih berhak daripada kaum Yahudi dalam mensyukuri pertolongan Allah kepada Nabi Musa as. Setelah itu, baginda pun menganjurkan kepada kaum muslimin agar berpuasa pada hari ’Asyuura.

  َجَوَف َدوُهَيْلا اًماَيإص َلاَقَف ْمُهَل َنَأ َلوُسَر إ َا ىَلَص ُ َا إهْيَلَع

  َمَلَسَو َمإدَق َةَنيإدَمْلا َد َم ْوَي َءاَروُشاَع اَذَه اوُلاَقَف اَذَه

  ُم ْوَيْلا يإذَلا ُهَنوُموُصَت ٌم ْوَي ٌميإظَع ىَجْنَأ ُ َا إهيإف ىَسوُم ُلوُسَر إ َا ىَلَص إهْيَلَع ُ َا َمَلَسَو اَم

  ُلوُسَر إ َا ىَلَص هَمْوَقَو َقَرَغَو َن ْوَع ْرإف ُهَمْوَقَو ُهَماَصَف وُم ىَس اًرْكُش ُن ْحَنَف ُهُموُصَن َلاَقَف

  َلوُسَر إ َا ىَلَص ُ َا إهْيَلَع َمَلَسَو َرَمَأَو إهإماَيإصإب

  ُن ْحَنَفوقَحَأىَلْوَأَوىَسوُمإب ْمُكْنإم ُهَماَصَف “Sesungguhnya Rasulullah SAW tiba di Madinah dan mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Hari apakah

  

ini sehingga kalian berpuasa padanya?” Mereka (kaum Yahudi) menjawab:

”Ini adalah hari agung dimana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya

serta menenggelamkan Firaun beserta kaumnya, lalu Musa berpuasa pada

hari itu sebagai ungkapan syukur sehingga kami pun berpuasa.” Maka

Rasulullah SAW bersabda: ”Kami (kaum Muslimin) lebih berhak atas Musa

daripada kalian (kaum Yahudi). Maka Rasulullah SAW pun berpuasa dan

menyuruh (kaum muslimin) berpuasa.” (HR Muslim)

  Adapun fadhillah (keutamaan) berpuasa pada hari ’Asyuura ini? Nabi Muhammad SAW berdoa agar sesiapa yang berpuasa ’Asyuura, agar Allah mengampuni dosanya selama satu tahun yang telah berlalu.

  ُهَلْبَق يإتَلا َةَنَسلا َرّفَكُي ْنَأ إ َا ىَلَع ُبإسَت ْحَأ َءاَروُشاَع إم ْوَي ُماَيإصَو Rasulullah SAW bersabda: ”Puasa hari ‘Asyura, aku memohon kepada Allah

  

agar menjadikannya sebagai penebus (dosa) satu tahun sebelumnya.” (HR

  Muslim)

  5. Puasa pada bulan Sya’ban

  Bulan Sya'ban adalah bulan di saat Nabi Muhammad saw melakukan puasa sunnahnya yang terbanyak. Di bulan-bulan lain, Nabi tidak melakukan puasa (sunnah) sebanyak di bulan Sya'ban. Namun tak ada kejelasan, tepatnya berapa hari yang disunnah kan berpuasa.

  Dari Aisyah RA berkata, “Rasulullah SAW tidak pernah berpuasa

  

(sunah) pada satu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban. Sungguh

beliau berpuasa pada seluruh bulan Sya’ban.”

  Dalam sebuah riwayat dikatakan, “Beliau berpuasa di seluruh bulan

Sya’ban kecuali beberapa hari saja beliau tidak berpuasa.” (Muttafaq Alaihi).

Riwayat Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain). Al-Albani mensahihkan “Allah melihat kepada hamba-hambaNya pada malam nisfu

  

Sya'ban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya kecuali musyrik (orang

yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci membenci)".(hadith ini dalam

Silsilah al-Ahadith al-Sahihah. (jilid 3, .m.s. 135, cetakan: Maktabah al-

Ma`arf, Riyadh).

  Itulah kebiasaan yang kerap dilakukan Rasulullah SAW pada Sya’ban. Beliau mengisi hari-harinya pada bulan Sya’ban dengan memperbanyak puasa sunah demi mengharap rida Allah SWT.

  6. Puasa Hari Abyadh (puasa setiap tanggal 13,14 dan 15 bulan Qomariyah)

  Disunnahkan untuk melakukannya pada hari-hari putih (Ayyaamul Bidh) yaitu tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan. Sehingga tidaklah benar anggapan sebagian orang yang menganggap bahwa puasa pada harai putih adalah puasa dengan hanya memakan nasi putih, telur putih, air putih, dsb.

7. Puasa Dawud ( sehari puasa sehari buka)

  Hal ini di dasarkan kepada hadits Nabi SAW: Artinya:”Puasa yang paling dicintai Allah SWT adalah puasa Dawud Dan

  

Shalat yang paling dicintai Allah adalah Shalat Nabi , biasanya Dia tidur

sampai pertengahan malam lalu bangun spertiganya dan tidur lagi seperenam

malamnya.Beliau biasanya puasa sehari dan berbuka sehari”, (HR. Bukhari)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Puasa dalam bahasa Arab di istilahakan dengan “shaum” atau

  “shiyam”. Secara terminology “shaum” atau “shiyam” Itu berarti “al-

  

imsak”yaitu menahan dari apa saja. Ibnu Mandzur memberikan penjabaran

  untuk maksud “menahan diri” yaitu meninggalkan makan, minum, hubungan suami isti, dan berbicara. Sedangkan puasa secara syar’i adalah “ Menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri dan apa saja yang bisa membatalkannya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan mengharap ridha Allah SWT.

  Puasa Sunah adalah puasa yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan apabilatidak dikerjakan tidak berdosa.

B. Saran

  Bahwa apa yang terkandung didalam penulisan makalah ini bukan pemikiran penulis semata, tetapi penulis ambil dari berbagai macam referensi untuk terselesaikannnya makalah ini. Penulisa sangat mengharapkan kritik dan saran serta dukungan dari berbagai pihak untuk menunjang makalah penulis ke arah yang lebih baik

DAFTAR PUSTAKA

  Basri, Helmi. Fiqih Ibadah, Pekanbaru: Suska press. 2010 Ridwan hasa, Fiqih Ibadah. Bandung: Pustaka Setia bandung. 2009 Hasan Ridwan, Fiqih Ibadah, (bandung: Pustaka Setia: Bandung, 2009) hlm.

  235. Helmi Basri, Fiqih Ibadah, (Pekanbaru: Suska Press, 2010) hlm.104

  Ibid, hlm.104 Helmi Basri, Fiqih Ibadah, (Pekanbaru: Suska press, 2010) hlm.105.