STRATEGI PENANGANAN DAMPAK LINGKUNGAN PR

STRATEGI PENANGANAN DAMPAK LINGKUNGAN
PRODUKSI CRUDE PALM OIL MENGGUNAKAN
METODE SOFT SYSTEM METHODOLOGY (SSM)

Oleh:
Purwo Subekti/ F361150141, Universitas Pasir Pengaraian
Dedi Dwi Haryadi/ F361150131, Politeknik Negeri Jakarta
Muji Paramuji/ F36115011, Universitas Islam Sumatera Utara
Mahasawa Program Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian
Institut Pertanian Bogor Nopember 2015

1. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara dengan perkebunan sawit terluas di dunia, pada tahun
2014 luas kebun kelapa sawit mencapai 10,9 juta hektar dengan produksi Cr ude P a lm
Oil (CPO) sebesar 29,3 juta ton dengan jumlah Pabrik Kelapa Sawit 695 unit (BPS 2014).

Perkembangan industri kelapa sawit akan terus meningkat seiring dengan rencana
pemerintah tahun 2020, Indonesia ditargetkan mampu menghasilkan 40 juta ton CPO per
tahun. Rencana tersebut didukung dengan adanya Rencana Kehutanan Tingkat Nasional
(RKTN) tahun 2011-2030, pemerintah akan mengalokasikan kawasan hutan untuk
dimanfaatkan menjadi sektor perkebunan (Kemenhut 2011).

Perkembangan pesat sektor industri kelapa sawit tersebut ternyata menimbulkan
dampak lain. Dari proses produk CPO, dihasilkan limbah padat dan limbah cair kelapa
sawit. Limbah pabrik kelapa sawit di Indonesia mencapai 28,7 juta ton limbah
cair/tahun dan 15,2 juta ton limbah tandan kosong kelapa sawit

(TKKS)/tahun

(Kementerian Pertanian 2008). Berbagai persoalan muncul berkaitan dengan isu
lingkungan yang disebabkan aktivitas industri kelapa sawit. Permasalahan kerusakan
lingkungan ini mendapat perhatian serius dari pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), maupun dunia internasional.
Aktivitas industri minyak sawit mulai dari penanaman, pemupukan, penggunaan
energi, pengolahan limbah dan lainnya diduga sebagai penyebab peningkatan gas rumah
kaca (GRK). GRK merupakan gas-gas yang terdapat di atmosfer, yang menyerap dan
memantulkan kembali radiasi inframerah sehingga berakibat pada peningkatan suhu
bumi (Cicerone 1987). GRK pada industri kelapa sawit yang berkontribusi terhadap
pemanasan global adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida

1


(N2O). Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), menjelaskan bahwa setiap
GRK mempunyai potensi pemanasan global (Global Warming Potential/GWP) yang diukur
secara relatif berdasarkan emisi CO2. Semakin besar nilai GWP maka akan semakin bersifat
merusak (IPCC 2007).
Environmental

lingkungan hidup AS

Protection

(EPA),

Agency

lembaga

pemerintah

urusan


menyatakan bahwa sumberdaya energi terbarukan harus bisa

mengurangi emisi GRK sebesar 20 % (EPA 2011). Apabila hal tersebut tidak dilakukan
maka akan berdampak pada daya beli produk turunan kelapa sawit oleh negara-negara maju.
Sebagai langkah solutif meningkatkan daya saing produk sawit

Indonesia,

pemerintah

menerapkan peraturan yang tersusun dalam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Terdapat 7 prinsip ISPO yang harus dipenuhi perusahaan perkebunan kelapa sawit yaitu
sistem perizinan dan manajemen perkebunan, penerapan pedoman teknis budidaya dan
pengolahan kelapa sawit, pengelolaan lingkungan, tanggung jawab terhadap pekerja,
tanggung jawab sosial dan kominitas, pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat, dan
peningkatan usaha secara berkelanjutan. Salah satu kriteria dalam prinsip pengelolaan
lingkungan adalah perusahaan diharuskan melakukan identifikasi sumber emisi GRK
(Ditjenbun 2014). Untuk penanganan dampak lingkungan

produksi


CPO maka perlu

suatu sistem manajemen yang holistik, sehingga diharapkan akan ditemukan akar
permasalahan dan alternatif pengembangan sistem yang ideal untuk mengatasinya.
Soft Systems Methodology (SSM) adalah sebuah pendekatan holistik di dalam melihat
aspek-aspek riil dan konseptual di masyarakat. SSM dipandang sebagai salah satu strategi
dalam menangani berbagai masalah manajemen yang lahir dari sistem aktivitas manusia
(human activity system) (Bergvall-Kareborn, 2002; Martin, 2008). Serangkaian aktivitas
manusia disebut sebagai sebuah sistem karena setiap aktivitas- aktivitas tersebut saling
berhubungan antara satu sama lainnya dan membentuk suatu ikatan (keterkaitan) tertentu.
Pendekatan soft systems dianggap sebagai metodologi yang sangat produktif untuk
mempelajari setiap aktivitas manusia yang terorganisir di dalam mencapai tujuan-tujuan
tertentu tersebut (Patel, 1995). SSM sangat cocok diimplementasikan
kerangka

kerja

sebagai sebuah


(framework) pemecahan masalah yang dirancang secara khusus pada

keadaan yang secara hakikatnya masalah tersebut sulit untuk didefinisikan (Martin, 2008;
Sinn, 1998). SSM juga sering dipakai untuk membuat konsep model, memperbaiki tindakan
pragmatis, mencari kompromi, maupun pembelajaran bersama dan partisipatif seperti
pengembangan organisasi dan pengembangan komunitas, dan juga untuk pengembangan
usaha.
2

Seperti pendekatan sistem lainnya, inti dari SSM ini sendiri adalah memberikan
perbandingan antara dunia nyata dengan beberapa permodelan yang diperkirakan
merepresentasikan dunia itu sendiri. Dengan tujuan perbandingan ini nantinya akan
memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai dunia nyata (research) dan memberikan
ide-ide perbaikan (action) (Sonata & Prayama, 2011; Checkland & Scholes, 1990;
Brocklesby, 1995). SSM memiliki kapabilitas dalam menyediakan kerangka kerja untuk
memahami masalah yang dihadapi bahkan masalah yang kompleks sekalipun (Daellenbach
& McNickle, 2005).

Implementasi SSM pada berbagai disiplin ilmu sudah banyak


diterapkan oleh para pakar, peneliti dan akademisi, mulai dari persoalan struktural,
kebijakan, militer, lingkungan, metode pengajaran, sosial, permasalahan energi, inovasi dan
sebagainya (Khisty, 1995; Bjerke, 2008; Patel 1995; Cox, 2010; Konis 1994; Staker 1999).
Penerapan metode SSM untuk penanganan dampak lingkungan pada produksi CPO
ini dilakukan di P abri k P engol ah an Ke l apa S awi t (P P KS ) PTPN V Lubuk
Dalam Kabupaten Siak Propinsi Riau,

yang merupakan salah satu industri kelapa sawit

milik pemerintah Indonesia. Penanganan dampak lingkungan dilakukan mulai tahap
pembibitan, perkebunan, transportasi, dan pengolahan CPO. Dengan penerapan SSM ini,
diharapkan mampu memberikan informasi dan rekomendasi bagi perusahaan dalam
mengambil keputusan terkait permasalahan penggunaan sumberdaya, energi, dan dampaknya
terhadap lingkungan serta solusi alternatif penanganannya.

2. METODE ANALISIS
Penilaian dampak lingkungan produksi CPO dilakukan dengan menggunakan
metode

SSM yang dikembangkan oleh Checkland & Scholes (1990). Tahapan SSM


terdiri dari tujuh tahapan seperti pada Gambar 1.

3

1.

Mengkaji Masalah Yang
Tidak Terstruktur

7. Melakukan Tindakan
Perbaikan Atas Masalah

6. Menetapkan Perubahan
Yang Layak
Dan Diinginkan
5. Membandingkan Model
Konseptual
Dengan Situasi Masalah


2. Mengekspresikan Situasi
Masalah

Dunia Nyata

3. Membangun Definisi
Permasalahan
Yang Berkaitan Dengan
Situasi Masalah

4. Membangun Model
Konseptual

Model Konseptual
Tentang Dunia Nyata

Gambar 1. Tahapan Soft System Methodology
(Checkland & Schole,1990)

1. Mengkaji masalah yang tidak terstruktur,


Pada tahap ini akan dilakukan

pengumpulan sejumlah informasi yang diperlukan berkaitan dengan dampak
lingkungan

produksi

CPO termasuk

pandangan dan asumsi para pihak yang

terlibat. Informasi dapat diperoleh dari pelaku industri kelapa sawit, dokumendokumen kepustakaan lembaga pemerintah dan swasta termasuk bahan-bahan hasil
penelitian, juga dari hasil wawancara atau focus group discussion (FGD). Tujuan
tahap ini bukan untuk mendefinisikan masalah, tetapi untuk memperoleh sejumlah
pemikiran yang sedang berkembang sehingga rentang pilihan- pilihan keputusan
yang mungkin menjadi terbuka (Martin, 2008).
2. Mengekspresikan situasi masalah, informasi yang diperoleh pada tahap
pertama, selanjutnya digunakan untuk membangun rich picture (penggambaran
peta


dunia nyata) atau disebut juga representasi keadaan sekarang. Gambar ini

melukiskan proses aktivitas dari setiap institusi dan aktor yang terlibat dalam
situasi tersebut yang mengindikasikan struktur-struktur elemen, aliran komunikasi
dan lingkungan interpretasi individu (Sonatha & Prayama 2011; Eriyatno & Larasati,
2013).

4

3. Membangun definisi permasalahan yang berkaitan dengan situasi masalah, pada
bagian ini akan merumuskan root definition (definisi akar), yaitu suatu kalimat
singkat yang menyatakan “suatu sistem melakukan P dengan cara Q untuk mencapai
R”. Root definition selanjutnya dituangkan dalam elemen dan deskripsi CATWOE
yang rinciannya pada Tabel 1.

Tabel 1. Desripsi CATWOE
Elemen CATWOE
Deskripsi
Costumer

Siapa yang mendapatkan manfaat dari aktivitas tujuan?
Actor
Siapa yang melaksanakan aktivitas-aktivitas?
Transformation
Apa yang harus berubah agar input menjadi output?
World-view
Cara pandang seperti apa yang membuat sistem berarti?
Owner
Siapa yang dapat menghentikan aktivitas-aktivitas?
Environment
Hambatan apa yang ada dalam lingkungan sistem?
Sumber: Checkland & Scholes, 1990
4. Membangun model konseptual, Berdasarkan root definition di atas untuk setiap
elemen

yang didefinisikan,

kemudian

dibangun model konseptual yang

dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang ideal. Model ini mengidentifikasi sistem
aktivitas manusia hasil ekspresi situasi masalah dalam rich picture

dan

mempresentasikan hubungan antar kegiatan. Model konseptual ini merupakan proses
adaptif, karena terjadi umpan balik antara proses memodelkan dengan hasil ekspresi
situasi masalah. Semua elemen yang tertuang dalam CATWOE disertakan dalam
model konseptual.
5. Membandingkan

model

konseptual

dengan

situasi

masalah,

model

konseptual dibandingkan dengan dunia nyata untuk menyoroti kemungkinan
perubahan di dunia nyata.

Setiap pihak yang terlibat memberikan persepsi dan

penilaian terhadap aktivitas yang dimodelkan, untuk menentukan satu pilihan model
yang akan disepakati bersama. Model ini kemudian akan menjadi rekomendasi
untuk perubahan. Analisis logis terhadap transformasi menunjukkan bahwa setiap
konversi dari input menjadi output dapat dinilai sukses atau tidak berdasarkan lima
kriteria yang disusun dalam Formulasi 5 E yang meliputi efficacy (apakah cara yang
dipilih memang dapat bekerja dalam menghasilkan output), efficiency (apakah
penggunaan sumber daya dalam proses transformasi
minimum),
panjang),

effectiveness
ethicality

(apakah

(apakah
proses
5

merupakan

penggunaan

transformasi memenuhi tujuan jangka
tidak

melawan

etika),

dan

elegance

(keberlanjutan).
6. Menetapkan perubahan yang layak dan diinginkan, tujuan tahap ini adalah untuk
mengidentifikasi dan mencari perubahan yang diinginkan secara sistemik dan layak
menurut budaya. Perubahan dapat terjadi dalam hal struktur, prosedur, atau sikap
orang-orang.
7. Melakukan tindakan perbaikan atas masalah, pada tahap ini akan muncul
rekomendasi perubahan untuk dapat diimplementasikan.

Akan ditunjukkan

sistem yang tepat untuk melakukan perubahan yang aktivitasnya dapat menjadi
“dunia nyata”.
Inti dari SSM adalah membangun model dari sistem-sistem yang berkaitan dengan
situasi masalah. Model-model ini digunakan sebagai media diskusi guna membawa
perubahan situasi aktual. Proses diskusi membolehkan partisipan untuk berdebat dan saling
bertanya sedemikian rupa sehingga keragaman perspektif dapat terungkapkan (Martin,
2008).

3. ANALISA HASIL
3.1 . Identifikasi Masalah Yang Tidak Terstruktur

Tahap awal dalam industri kelapa sawit adalah pembibitan dan perkebunan. Pada
tahap pembibitan dan perkebunan, utilitas yang memberikan dampak terhadap lingkungan
antara lain penggunaan pupuk, pestisida, herbisida, dan solar (RSPO 2012). Semakin besar
penggunaan utilitas tersebut maka akan semakin besar dampak yang diberikan terhadap
lingkungan. Pupuk merupakan salah satu penyumbang emisi yang besar dalam pertanian
sehingga penggunaannya harus mendapat perhatian yang khusus (Vijaya et al. 2008b).
Terdapat dua jenis pupuk yang biasa digunakan dalam pertanian yakni pupuk sintetik
dan pupuk organik. Pupuk yang sering digunakan dalam perkebunan sawit adalah urea, pupuk
NPK, kieserit, MOP, dolomit, RP, dan TSP. Pupuk sintetik dapat menimbulkan emisi yang
berasal dari produksi pupuk itu sendiri (penggunaan energi fosil selama produksi),
transportasi pupuk ke lapangan, emisi langsung di lapangan baik secara fisik maupun
mikroba tanah, dan emisi tidak langsung akibat re-deposisi (RSPO 2012). Pada kajian ini,
emisi pupuk yang diperhitungkan hanya pada emisi langsung saat aplikasi dilapangan. Emisi
dari pupuk organik juga tidak diperhitungkan dalam kajian ini karena jumlahnya yang relatif

6

sedikit sehingga tidak akan berpengaruh banyak. Pada perkebunan kelapa sawit sendiri
pupuk organik yang digunakan berasal dari limbah padat pabrik seperti tandan kosong dan
lumpur limbah cair.
Pestisida dan herbisida juga memberikan dampak terhadap lingkungan karena dapat
menghasilkan emisi. Pestisida dan herbisida memiliki konversi emisi yang cukup besar
(ISCC 2011). komponen lain di perkebunan yang memberikan dampak lingkungan adalah
penggunaan bahan bakar fosil seperti solar (IPCC 2006). Solar biasanya digunakan untuk
menjalankan mesin pertanian atau transportasi selama di kebun. Dari hasil studi kasus di
PKS Lubuk dalam menunjukkan aktifitas kebun tidak menggunakan peralatan yang
menggunakan solar untuk perkebunan. Pestisida dan herbisida digunakan pada waktu
tertentu saja dalam artian tidak rutin digunakan. Penggunaan pestisida hanya jika kebun
terserang hama seperti ulat api dan kumbang tanduk. Herbisida digunakan jika kondisi
sekitar tanaman sawit terdapat banyak gulma sehingga perlu dibasmi agar tidak
mengganggu pertumbuhan sawit.
Analisis selanjutnya adalah tahap transportasi tandan buah begar (TBS) dari kebun ke
pabrik. Transportasi TBS dilakukan dengan menggunakan truk berbahan bakar solar.
Kebutuhan solar inilah yang nantinya diperhitungkan penggunaannya karena penggunaan
solar sebagai bahan bakar memberikan dampak langsung kepada lingkungan (IPCC
2006). TBS yang diolah oleh PKS berasal dari kebun sendiri dan kebun pihak luar. Pada
kajian ini diasumsikan bahwa semua TBS yang diterima pabrik kelapa sawit berasal dari
kebun sendiri. TBS diangkut dari kebun ke PKS dengan menggunakan truk berkapasitas
rata-rata 9 ton. Jumlah pengangkutan dapat diperkirakan yakni dengan membagi total TBS
diterima dengan kapasitas angkut truk. Kebutuhan

solar yang sebenarnya tidak tercatat

karena truk yang digunakan merupakan truk pihak luar yang disewa berdasarkan jumlah
TBS yang diangkut. Oleh karena itu, kebutuhan solar diestimasi berdasarkan konsumsi solar
truk per km jarak yang ditempuh. Truk kosong membutuhkan solar 0,25 liter/km sedangkan
truk bermuatan (10 ton) membutuhkan solar 0,49 liter/km (ISCC 2011).
Tahapan

terakhir

dalam

ruang

lingkup

kajian adalah pengolahan CPO. Pada

tahap ini, TBS akan melalui serangkaian proses mulai dari penimbangan, sortasi, perebusan,
pengepresan, dan pemurnian minyak. Utiliti pada tahap pengolahan yang memberikan
dampak antara lain listrik, solar, dan steam (ISCC 2011, RSPO 2012). Listrik yang
diperoleh dari pembangkit turbin yang memanfaatkan uap dari bolier digunakan untuk
menjalankan berbagai mesin pengolahan. Solar digunakan sebagai bahan bakar genset
untuk menghasilkan listrik apabila kebutuhan listrik belum cukup terpenuhi oleh boiler.
7

Steam digunakan pada proses perebusan TBS yang diperoleh dari pembakaran cangkang dan
fiber pada boiler. Berikut di tampilkan data tentang dampak lingkungan yang di timbulkan dari

prose pembibitan, perkebunan, transportasi dan pengolahan di PPKS Lubuk Dalam di Kabupaten
Siak.
Tabel 1. Data PKS Lubuk Dalam
Lokasi

Kab. Siak

Luas kebun

5870 ha

Kapasitas produksi

40 ton TBS/jam

Produk

CPO & PK

Sertifikasi ISPO

Belum

PLT Biogas

Tidak ada

Sumber: Nugroho, 2014

Sedangkan pada tabel 2 merupakan rincian data penggunaan utilitas pembibitan, perkebunan,
transportsi, pengolahan dan out put dari PPKS Lubuk Dalam.
Tabel 2. Data Utilitas PKS Lubuk Dalam
Utilitas

Jumlah
(per ton CPO)

Satuan

Pembibitan dan
Perkebunan
Tandan Buah
Segar (TBS)
Pupuk N
Pupuk P
Pupuk K
Urea
Kieserit
Dolomit
Herbisida
Pestisida

ton

4,83

kg
kg
kg
kg
kg
kg
liter
liter

2,57
4,80
8,96
11,29
0,26
26,29
0,05
0,02

Transportasi TBS
Solar

liter

3,25

Pengolahan
Listrik
Solar

kwh
liter

58,35
0,79
8

Uap
Air
Output
CPO
Palm Kernel
Mesocarp Fiber
Shell
Tandan Kosong
Limbah Cair

kg
m3

2360,49
2,19

ton
ton
ton
ton
ton
m3

1,00
0,27
0,65
0,32
0,95
2,90

Sumber: Nugroho, 2014

Untuk tabel 3 diperlihatkan data kebutuhan energi pada produksi 1 ton CPO, Net
energi menunjukkan seberapa besar energi yang dibutuhkan dan yang dihasilkan yang
dinyatakan dalam MJ/ton CPO. Setiap utiliti memiliki konversi energi (calorific value)
masing-masing yang menunjukkan jumlah energi (MJ) dari setiap volume. Tabel 3
merupakan hasil perhitungan energi, sedangan tabel 4 menunjukkan nilai NEV dan NER.

Tabel 3. Kebutuhan energi pada produksi 1 ton CPO
Aktivitas

Jumlah Energi (MJ/ton CPO)

Input
Pembibitan dan Perkebunan
Pupuk N
Pupuk P
Pupuk K
Herbisida
Pestisida

360,86
51,79
44,80
12,88
4,56

Transportasi TBS
Solar

116,86

Pengolahan
Listrik
Solar
Uap

210,06
28,31
5499,94

Output
CPO

39360

Sumber: Nugroho, 2014

9

Tabel 4. Total energi masuk, energi keluar, Net Energy Ratio (NER)
dan Net Energy Value (NEV)
Energi masuk (MJ)
Energi keluar (MJ)
Net Energy Ratio
Net Energy Value (GJ)

6330
39360
6,2
33,03

Sumber: Nugroho, 2014

Efisiensi energi yang ditunjukkan berdasarkan nilai NER dan NEV menunjukkan
hasil yang baik dimana nilai NER positif dan NEV lebih dari 1. Peningkatkan efisiensi
energi

dapat

dilakukan

dengan

beberapa

upaya, misalnya dengan meningkatkan

rendemen CPO, meningkatkan kinerja boiler, dan pemanfaatan gas metana sebagai
pembangkit listrik. Peningkatan rendemen CPO akan meningkatkan NER dan NEV. Setiap 1
% peningkatan rendemen akan meningkatkan 4 % NER dan 5 % NEV. Teknologi proses
yang diterapkan seperti kondisi mesin dan teknik pengolahan sangat menentukan hasil
rendemen. Faktor penting lain yang cukup berpengaruh terhadap rendemen adalah
kematangan TBS yang diolah dan lama waktu tunggu TBS sejak pemetikan hingga
diproses.
Pemanfatan gas metana sebagai pembangkit listrik akan meningkatkan efisiensi
energi berupa kenaikan NER dan NEV. Gas metana yang dihasilkan limbah cair cukup besar.
Pada pengolahan limbah cair kolam terbuka, akan dihasilkan sekitar 12,36 kg CH4/ton POME
(Yacob et al. 2006). Setiap kg gas metana setara dengan 45,1 MJ (JRC 2011). Emisi CO2
dipengarui oleh faktor emisi CO2 yang berasal dari penggunaan dan produksi utilitas
maupun energi.
Tabel 5. Jumlah emisi pada produksi 1 ton CPO di PPKS Lubuk Dalam
Aktivitas

Jumlah Emisi
(kg CO2-eq/ton CPO)

Pembibitan dan
Perkebunan
Pupuk N
Pupuk P
Pupuk K
Urea
Kieserit
Dolomit
Herbisida
Pestisida

15,11
4,85
5,11
37,35
0,05
3,42
0,54
0,16
10

Transportasi TBS
Solar

8,67

Pengolahan
Listrik
Solar
Uap
Limbah Cair

52,51
2,1
437,39
895,38

Total
Sumber: Nugroho, 2014

1462,65

Dari data-data diatas dapat di simpulkan dalam penagnan dan penggulangan dampak
lngkungan pada PPKS, Tabel 6

menunjukkan detail herarki permasalahan penanganan

dampak lingkungan produksi CPO.
Tabel 6. Analisis Hierarki Permasalahan
Levelisasi
Direktif

Strategis

Taktis

Pihak yang
terlibat

 D i r e ks i PPKS
 Pemasok Utiliti
 P e me r i n t a d a n
Swasta

Fokus Isu

 Keberlanjutan dan
pengembangan produksi
 Utiliti Ramah
lingkungan
 Kebijakan dan
pengawasan yang tegas


 Pengembangan Produk
 Pengelola PPKS
PPKS
 Manajer
 Efisiensi Utiliti
Pelaksana
 Kerjasama antar
 Pejabat terkait,
instansi Terkait dan
LSM, Masyarakat
masyarakat
sekitar

 Manajer unit
PPKS
 Pimpinan Unit
Utiliti
 U nit terkait
Kelompok
pemerhati
lingkungan
dan kelompok
masyarakat

 Tersediannya fasilitas
yang Memadai untuk
menunjang
pengembangan PPKS
 Penggunaan Utiliti yang
ramah lingkungan dan
berkelanjutan
 Konsistensi terhadap
penerapan kebijakan
dan pengawasan
aktifitas PPKS

11

Sifa
t

Pemangku
kepentingan dan
tangggung jawab
seluruh aktifitas
PPKS
Keterlibatan
parapihak secara
holistik terhadap
setiap tahapan
proses
penanganan
dampak
lingkungan PPKS
Program berkala
penanganan
dampak lingkungan
dilakukan mulai
tahap pembibitan,
perkebunan,
transportasi, dan
pengolahan CPO

Operasional

 Peningkatan efesiensi
PPKS dan Pengelolaan
 Pimpinan dan
Limbah yang ramah
Jajaran
lingkungan
PPKS

Perawatan, pemanfaatan
 Pengelola Utiliti
dan
pemeliharaan Utiliti
PPKS
yang
efektif dan ramah
 Staf terkait yang
lingkungan
profesional,
 Pelaksanaan
Karang taruna dan
pengawasan yang
media lingkungan
holistik dan
kolaboratif sesuai SOP

Dampak
lingkungan PPKS
teridentifikasi
dengan baik dan
benar dan di kelola
dengan azas
manfaat dan
keberlanjutan serta
ramah lingkungan.

Dari tabel 6 diatas terlihat analisis awal para pihak yang terlibat dalam penanganan dampak
lingkungan PPKS. Karena Peran pemangku kepentingan dalam bentuk kelembagaan sangat
penting dalam strategi pengembangan sistem manajemen kualitas agroindustri terutama
sebagai media penyebaran inovasi hasil pertanian (Budi dkk., 2009). Kelembagaan adalah suatu
sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya dan sekaligus mengatur hubungannya
(Nasution, 2002). Sedangkan untuk klasifikasi sistem yang ada di PPKS bisa dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Matrix Klasifikasi Sistem
Sistem

Input

Proses

Output

 Penanganan
 Kajian Pemanfaatan Limbah  Penggunaan limbah PPKS
Dampak
PPKS untuk pupuk
untuk pupuk tanaman Kelapa
Lingkungan PPKS  Kajian Efisiensi Energi Untuk
sawit
Pengolahan
 Peningkatan efisiensi energi
 Kajian pemanfaatan teknologi
untukpengolahan
Analisa
pengolahan
limbah
yang  Penenrapan
teknologi
berkelanjutan
dan
ramah
pengolahan limbah PPKS
lingkungan.
yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan
 Pembibitan
dan  Penggunaan
pupuk hasil  Pengurangan emisi akibat
perkebunan,
limbah PPKS
penggunaan pupuk
dan
 Transportasi
 Efisiensi
dan efektifitas
pestisida
 Pengolahan CPO
penggunaan Bahan Bakar  Pengurangan emisi akibat
Minyak (BBM)
oenggunaan BBM

Efesiensi
energi,
peningkatan

Pengurangan
emisi akibat
Sintesa
kualitas SDM,
kontrol
limbah PPKS
pemeliharaan utilitas
dan
penanganan Limbah PPKS yng
ramah
lingkungan
dan
berkelanjutan

12

Desain

Kontrol

 Manajemen
Pembibitan
dan
perkebunan dengan
pola
ramah
lingkungan
dan
keberlanjutan
 Manajemen PPKS
yang
ramah
lingkungan
dan
keberlanjutan
 Kebijakan
pemerintah untuk
pemberian insentif
 Report
aktifitas
yang up to date dan
menyeluruh
 Pelaksanaan
pengawasan yang
konsisten
dan
terpadu
antara
PPKS, pemerintah
dan masyarakat

 Pengembangan bibit unggul  Pemenuhan bibit unggul dan
dan
penerapan
efisiensi
pengadaan utilitas yang
penggunaan utilitas
memadai
dan
efektif
 Penggunaan teknologi yang
senhingga menghasilkan TBS
efektif
untuk
pengolahan
yang unggul dan berkualitas
limbah PPKS
 Berkuranganny emisi udara
 Penerpan standar ISPO
yang
menyebabkan
gas
rumah kaca (GRK) dari
limbah PPKS
 Pemberian
insentif
dari
pemerintah dan
lembaga
lainnya
 Analisa data report aktifitas  Adanya perbaikan dari hasil
yang cepat dan langsung di
tindak lanjut analisa menjadi
tindak lanjuti
lebih baik
 Kolaborasi pengawsan dan  Penurnan emisi udara dalam
kerjasama antar instansi
rangka mewujudkan PPKS
yang ramah lingkungan dan
keberlanjutan

Dari tabel 7 diatas terlihat bahwa penanganan dampak lingkungan PPKS tidak hanya di
lakukan oleh pengelola PPKS, tetapi harus adanya keterlibatan pemerintah dan masyarakat
sekitar. Sehingga diharpkan akan didapatkan lingkungan yang kondusif dan berkelanjutan,
dengan sendirinya terciptanya kerjasama antar pelaku usaha PPKS, pemerintah dan masyarakat
akan mendukung terciptanya penurunan emisi udara.

3.2. Mengekspresikan Situasi Masalah

Dampak lingkungan dari produksi CPO di PPKS meliputi peningkatan emisi udara,
bau yang kurang mengenakan, daerah aliran sungai dan struktur tanah. Dalam kajian ini yang
akan di bahas adalah tentang emisi udara sebagai salah satu penyebab meningkatnya suhu
udara. Dari

tabel 5

diatas

terlihat

bahwa

emisi

terbesar

berasal

dari

proses

pengolahan. PKS Lubuk Dalam menerapkan pengolahan limbah cair sistem anaerobik
sehingga dihasilkan gas methane yang tinggi. Menurut Yacob et al. (2006), limbah cair
dapat menghasilkan 12,36 kg CH4/ton POME. Gas metan (CH4) merupakan salah satu gas
rumah kaca yang membahayakan. 1 kg CH4 setara dengan 25 kg CO2 (IPCC 2007).
Penerapan metode SSM dalam kajian ini

diperlukan Rich picture

untuk

menunjukkan situasi masalah dari berbagai perspektif, dan menekankan struktur, proses,
hubungan, konflik dan ketidakpastian, serta mengungkapkan masalah, nilai-nilai yang
diyakini,

yang

divisualisasikan

melalui simbol-simbol. Gambar 2 memperlihatkan
13

gambaran permasalhan yang di sebabkan oleh limbah PPKS. Kerjasama dan peranan
pengelola PPKS, Pemerintah dan masyarakat sangat di perlukan dalam menunjang
terwujudnya PPKS yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Gambar 2 merupakan Rice
Picture dari berbagi sektor dalam rangka penanganan dampak lingkungan produksi CPO.

14

PEMDA

DIREKSI

PENANGANAN DAMPAK
LINGKUNGAN
PRODUKSI CPO

Gambar 2. Rich Picture Penanganan Dampak Lingkungan Produksi CPO
14

Dari gambar 2 terlihat bahwa penangan dampak lingkungan dari produksi CPO
merupakan tanggung jawab bersama antara pihak PPKS, Pemerintah dan masyarakat. Ketika
sektor tersebut salng terkait, pihat peerintah mengeluarkan regulasi dan pengawasan terhadap
lingkungan PPKS, pihak PPKS melaksanakan proses produksi CPO dengan berpedoman pada
SOP PPKS dan regulasi dari pemerintah. Sedangkan pihak masyarakat, dalam hal ini baik
masyarakat sekitar PPKS, media dan LSM bersama manajemen PPKS untuk saling kontrol
terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan dari produksi CPO. Dengan sinerginya
koordinasi antar sektor diharapkan akan tercipta lingkungan yang baik sesuai prinsip dari
ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil)

3.3. Membangun Definisi Permasalahan Yang Berkaitan Dengan Situasi Masalah
(Root Definition)
Belum maksimalnya penanganan dampak lingkungan produksi CPO di PPKS PTPN 5
Lubuk Dalam, dikarenakan

kurangnya koordinasi

antar lembaga baik pemerintah,

manajemen PPKS maupun masyarakat. Ini dibuktikan dengan adanya jaminan dari pihak
berwenang dalam hal ini adalah ISPO untuk mengeluarkan sertifikat PPKS yang baik dalam
pengelolaan lingkungan . Permasalahan – permasalahan yg menyebabkan PPKS belum
mmenuhi standar ISPO dapat uraikan dalam Root Definition, yaitu suatu sistem untuk
melakukan

kegiatan

perencanaan, proses dan penanganan dampak lingkungan produksi

CPO (P) melalui pelaksanaan dan koordinasi perencanaan, proses dan penanganan dampak
lingkungan produksi CPO oleh semua lembaga terkait (Q)

sehingga dampak lingkungan

yang ditimbulkan oleh produksi CPO yaitu Emisi Udara dapat berkurang (R) (“suatu sistem
melakukan P dengan cara Q untuk mencapai R”). Uraian Root definition selanjutnya
dituangkan dalam analisa CATWOE dapat dilihat pada tabel 8.

15

Tabel. 8. Analisa CATWOE dan Root Difinition
Deskripsi
C

A

T

W

O

E

Analisa

Kementrian ESDM, Kementrian BUMN, Kementrian KLHK, Kementrian
Pertanian (Dirjen Perkebunan), Pemerintah Daerah, Direksi, Manajer
Costumer
Operasional, Manajer PPKS, Manajer Kebun dan Masyarakat.
 Manajer PPKS, Koordinator operasional seluruh unit di PPKS
 Manajer Kebun, Koordinator operasional di Kebun
 Operator PPKS, pelaksana masing-masing unit di PPKS mulai dari
penerimaan TBS dari Kebun, proses, kontrol hasil CPO dan operasional
Actor
unit limbah.
 Operator Kebun, pelaksana masing –masing unit di kebun mulai dari
pembibitan, pemupukan, pemeliharaan, panen, transportasi ke PPKS dan
kontrol kualitas TBS.
Koordinasi antar lembaga pemerintah, PPKS dan masyarakat semakin
baik sehingga akan terbentuk efektifitas dan peningkatan SDM dalam
Transformation
rangka pelaksanaan program penanganan dampak lingkungan produksi
CPO menjadi lebih baik.
 Efisensi energi dan utiliti yang ada di setiap unit, sehingga akan
menurunkan emisi udara
 Pemanfaatan by produk untuk kebun dalam rangka penurunan emisi akibat
World-view
penggunaan pupuk sintetis.
 Pemanfaatan limbah cair untuk biogas sebagi usaha untuk meningkatkan
niali ekonomis dan menurunkan emisi udara.
 Pemerintah, PPKS, Masyarakat
Owner
 Kurangnya SDM pemerintah untuk pengawasan, kontrol dan menjalin
kerjasama dengan PPKS
 Membutuhkan biaya mahal untuk konversi LCPK dan TKKS ke biogas
Environment
 Belum adanya insentif dari pemerintah bagi PPKS dengan emisi udara
rendah

ROOT DEFINITION :
Sistem untuk melakukan kegiatan perencanaan, proses dan penanganan dampak lingkungan
produksi CPO (P) melalui pelaksanaan dan koordinasi perencanaan, proses dan penanganan
dampak lingkungan produksi CPO oleh semua lembaga terkait (Q) sehingga dampak lingkungan
yang ditimbulkan oleh produksi CPO yaitu Emisi Udara dapat berkurang (R)

3.4. Membangun Model Konseptual
Merujuk pada root definition diatas , maka diperoleh model konseptual yang
mengidentifikasi aktivitas yang akan dilakukan untuk penanganan dampak lingkungan
produksi CPO. Untuk membangun model konseptual maka di butuhkan rincian aktivitas
yang meliputi perencanaan proses dan penanganan yang saling terkait dan membentuk
rangkain sistem . Gambar

3 menggambarkan model koseptual penanganan dampak

lingkungan proses produksi CPO.

16

2. Perkebunan, Peningkatan
SDM, penggunaan pupuk by
produk PPKS, pengurangan
penggunaan pestisida,
Kualtias TBS

1. Pembibitan, inofasi
bibit unggul,
penggunaan pupuk
by produk PPKS

4. Energi, fisiensi
penggunaan energi,
Pemanfaatan Energi
PLTBg dari LCPKS

3.Transportasi, perbaikan
jalan, efektifitas Armada

5. Pengolahan TBS,
Peningkatan SDM,
efektifitas Utiliti PPKS,
Peningkatan Rendemen,
Kualitas CPO

7. Pengawasan,
kontorl
regulasi dan pelaksanaan
penanganan
dampak
lingkungan oleh manajemen
PPKS, pejabat Pemerintah
dan masyarakat

6. Pengolahan
Limbah,
Pengkomposan
TKKS, PLTBg LCPKS

8. Inovasi Teknologi,
Perlu tindak lanjut
penggunaan tenologi
mathane capture
LPCKS untuk PLTBg

9. Standar, tercapinya
PPKS sesuai standar
ISPO

Gambar 3. Model Konseptual Strategi Penanganan
Dampak Lingkungan Produksi CPO
17

Dari gambar 3 terlihat transformasi koseptual sebagai strategi untuk penanganan
dampak lingkungan dari produksi CPO, untuk melihat koseptual dapat dinilai optimal atau
belum berdasarkan 5 (lima) krteria yang di susun dalam formula 5 E seperti di uraikan
dalam tabel 9.

Tabel.9 Formulasi 5 E
No
1

Aspek
Efficacy

Formulasi
Koordinasi antara pemerintah PPKS dan masyarakat akan
menciptakan suasana kondusif dalam penanganan dampak
lingkungan

Efficiency

Efisiensi energi, transportasi dan efektifitas untiliti
proses kebun dan PPKS

Effectiveness

Perencanaan, pelaksanaan proses dan pengawasan yang lebih baik
meningkatkan produktifitas dan penurunan emisi udara

4

Ethicallity

Kontrol dan pelaksanaan regulasi yang konsisten akan
mempermudah pencapaian penurunan emisi udara

5

Elegance

Tercapinya standar ISPO sebagi wujud komitemen PPKS ramah
lingkungan dan berkelanjutan

2
3

3.5. Membandingkan Model Konseptual Dengan Situasi Masalah
Untuk mendapatak rekomendasi yang bisa di ralisasikan perlu adanya pembanding
antara model koseptual yang sudah dibuat dengan situasi masalah (dunia nyata). Dengan
adanya rekomendasi

y a n g t e r u k u r m a k a a k a n t e r l i h a t sebagai

indikator

keberhasilan proses perbaikan. Perbandingan tersebut selengkapnya dapat dilihat pada
tabel 10 dibawah ini.
Tabel 10 . Perbandingan Model Konseptual Dengan Situasi Masalah
AKTIVITAS
Pembibitan

Perkebunan

DUNIA NYATA

REKOMENDASI

Penggunaan bibit unggul, penggunaan
pupuk sintesis, penggunaan pupuk by
produk PPKS.

Maksimalkan penggunaan pupuk by
produk PPKS untuk mengurangi emisi
udara akibat penggunaan pupuk sintesis.

Peningkatan SDM, penggunaan pupuk
by produk PPKS,
pengurangan
penggunaan pestisida, kualtias TBS,
belum dimanfaatkannya pelepah sawit
untuk peningkatan nilai tambah dan
masih adanya pekerjaan pemangkasan
rumput pada kebun.

Maksimalkan penggunaan pupuk by
produk PPKS, peningkatan kualitas
TBS dan integrasi sawit-sapi sebagi
alternatif pengurangan penggunaan
pestisida, karen rumpat dan pelpah di
jadikan pakan sapi. Kemudian sapi
mengeluarkan kotoran sebagi nutrisi
tanah, sehingga emisi udar akibat

18

Transportasi

Energi

Pengolahan
TBS

Pengolahan
Limbah

Pengawasan

Perbaikan jalan, efektifitas Armada,
jalan diperbaiki jika ada kendala
transportasi, penyedia jasa trasportasi
kurang memperhatikan performance
armada, sehingga sering terjadi macet
di areal kebus sehingga meningkatkan
emisi udara akibat penggunaan BBM
yang tidak efektif.

Fisiensi penggunaan energi, masih
menggunakan sumber listrik dari
Turbin yang di gerakan dengan uap
dari
Boiler,
sedangkan
untuk
emergensi
menggunakan
genset
dengan solar sebagai BBM, belum
adanya pemanfaatan Energi PLTBg
dari LCPKS maka emisi yang
ditimbulkan dari penggunaan energi
masih tinggi.

Peningkatan kualitas SDM terus
berjalan sesuai program, efektifitas
utiliti PPKS akan meningkatkan
kinerja dan capaian kapasitas olah,
peningkatan
rendemen
terus
diupayakan untuk menekan biaya
operasional, kualitas CPO terus
ditingkatkan sebagi efek persaingan
yang semakin ketat.

Pengkomposan
TKKS
belum
dilakukan, TKKS langsung di
aplikasikan ke lahan tanpa melalui
pengkomposan
terlebih
dahulu,
LCPKS setelah melalui proses di
kolam pengolahan langsung di alirkan
ke lahan.

Kontorol regulasi dari pejabat terkait
dari pemerintah masih lemah dan
pelaksanaan penanganan dampak
lingkungan oleh manajemen PPKS

19

pemakaian pupuk, pestisida dapat di
kurangi.
Perbaikan jalan secar berkala biarpun
belum terjadi kerusakan parah, serta
kordinasi dengan pihak penyedia
armada angkutan TBS untuk selalu
memelihara armada sehingga tidak
menimbulkan
kemacetan,
dengan
sendirinya
efektifitas
penggunaan
armada dan jalan yang baik akan
mengurangi penggunaan BBM secara
langsung mengurangi emisi udara.
Efektifitas, perawatan dan penggunaan
utilit yang baik di PPKS akan
menurunkan
penggunaan
energi,
disamping itu juga pertimbangan
manajemen
untuk
alternatif
pemanfaatan
LCPKS
sebagi
Pembangkit Tenaga Listrik Biogas
(PLTBg), sehingga penggunaan listrik
dari Power Plant di proses akan
berkurang sehingga menurunkan kerja
Boiller sehingga dengan sendirinya asap
yang ditimbulakn dari pembakaran
bahan bakar berkurang.
Program peningkatan kualitas SDM
harus di ditambah dengan kerjasama
dengan PPKS lain dalam rangka berbagi
pengalaman dan motifasi, pengawasan
kinerja operator terus ditingkatkan
seiring dengan capian peningkatan
rendemen untuk meningkatkan kualitas
CPO, monitoring utiliti PPKS yang
ketat sehingga downtime setiap unit
semakin turun sehingga meningkatkan
performance unit.
Alternatif peningkatan kualitas TKKS
dengan melakukan pengkomposan,
dengan
media
LCKS
sehingga
dihasilkan kualitas pupuk kompos yang
lebih baik dengan sendirinya tingkat
kesuburan tanah di perkebunan juga
baik. Alternatif lain melakukan
pemanfaatan LCPKS untuk PLTBg
dengan melakukan methane capture
untuk mendapatkan biogas sebagi bahan
bakar genset , sehingga di hasilkan
listrik sebagai alternatif peningkatan
nilai tambah LCPKS dan pengurangan
emisi udara.
Pelaksanaan pengawasan yang kosisten
dan kontrol kadar limbah yang ketat
serta kerjasam dengan masyarakat dlam
sosialisasi tentang penanganan dampak

masih kurang maksimal ini di tandai
tidak konsistennya nilai kadar limbah
masih ada yang diatas amabng batas,
serta kerjasama dengan masyarakat
dalam bidang pengawasan masih
sangat lemah masyarakat, hal ini
seringnya ketidaktahuan masyarakat
tentang kadar ambang batas limbah
PPKS.

lingkungan PPKS, sehingga tidak ada
selisih paham dengan masyarakat
sekitar.
Dengan
pelaksanaan
pengawasan, kontrol dan kerjasama
yang baik diharapkan akan tercipata
pengangan dampak yang kondusif dan
berkelanjutan

Perlu tindak lanjut
penggunaan
tenologi mathane capture LPCKS
untuk PLTBg

Pemanfaatan LCPKS untuk PLTLBg
membutuhkan biaya yang mahal
sehingga perlu adanya kerja sama
dengan sewasta dan pemerintah
memberikan insentif bagi PPKS yang
menerapkan
PLTBg.
Dengan
pemanfaatan LCPKS akan menurunkan
emisi udara sehingga limbah cair yang
diaplikasikan untuk perkebunan sudah
berkurang gas metan.

Tercapinya PPKS sesuai 7 standar
ISPO
(sistem
perizinan
dan
manajemen perkebunan, penerapan
pedoman teknis budidaya dan
pengolahan kelapa sawit, pengelolaan
lingkungan, tanggung jawab terhadap
pekerja, tanggung jawab sosial dan
kominitas, pemberdayaan kegiatan
ekonomi masyarakat, dan peningkatan
usaha
secara
berkelanjutan.)
merupakan tanggung jawab pelaku
usaha PPKS sebagi pelaksanaan
regualsi pemerintah.

Pemanfaatan teknologi pengkomposan
TKKS dan teknologi methan capture
untuk PLTBg dengan kerjasam dengan
instansi terkait dan lembaga sewasta.
Sehingga akan tercapi PPKS yang
ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Inovasi
Teknologi

Standar ISPO

3.6. Menetapkan Perubahan Yang Layak Dan Diinginkan
Untuk menetapkan perubahan yang layak dan diingikan sehingga penanganan dampak
lingkungan PPKS dapat direalisasikan. Perubahan tersebut seperti terlihat pada tabel 11
dibawah ini.

20

Tabel 11. Perubahan yang layak dan diinginkan untuk penanganan dampak lingkungan PPKS

Perubahan

Penangkapan
biogas
(Methane
Captures)

Potensi
penurunan emisi
udara (CO2)
Mampu
mereduksi
hingga 895 kg
CO2 eq/ton CPO
atau 61%
dari total emisi

- Pembangkit listrik
- Sisa sludge sebagai
pupuk organik dan
pakan ternak

- Menambah pendapatan
- Penghasil
biogas
dari kotoran sapi
- Penghasil
pupuk
Organik
- Pemanfaatan limbah
padat PKS sebagai
pakan ternak

Integrasi
sawit sapi

Pengompo
san
limbah
padat
(Tandan
Kosong)

Manfaat lain

75 ton CO2 – eq - Mengurangi
penumpukan limbah
per tahun atau
padat
sekitar 0,3% total
Mengurangi
emisi
penggunaan pupuk
kimia

Kendala/
kekurangan
Biaya investasi
Tinggi

Kurangnya
kebijakan
Pemerintah terhadap
kewajiban
perusahaan
menerapkan
integrasi.

Perlu biaya
tambahan dan
proses yang lebih
lama

3.7. Melakukan Tindakan Perbaikan Atas Masalah

Tindakan perbaikan atas masalah penanganan dampak lingkungan PPKS adalah
Pemanfaatan Limbah Padat, Penangkapan Biogas Limbah Cair (Methane Capture) dan
Integrasi Sawit – Sapi.
3.7.1. Pemanfaatan Limbah Padat
Setiap indutri kelapa sawit akan menghasilkan limbah padat berupa tandan kosong,
pelepah, cangkang, dan serabut. Pengelolaan limbah padat dalam masih belum optimal.
Padahal limbah padat tersebut

berpotensi sebagai sumber hara yang

mampu

menggantikan pupuk sintetis (Urea, TSP, dan lain-lain). Namun pemanfaatan TKKS
sampai saat ini masih terbatas. Selama ini limbah dibakar dan sebagian ditebarkan di
lapangan sebagai mulsa.
Salah satu pemanfaatan limbah padat yang sudah lama dikenal adalah pengomposan.
21

Setiap limbah padat yang dibuang ke tanah akan mengalami pembusukan

oleh

mikroorganisme baik mikroba dari tanah atau mikroba dari limbah itu sendiri. Faktor
penting dalam proses pengomposan adalah kebutuhan nitrogen untuk pertumbuhan mikroba
yang dinyatakan dalam nisbah C/N. Jika nisbah C/N dalam limbah terlalu besar berarti N
tidak mencukupi sehingga akan menggunakan cadangan N dalam tanah. Nisbah C/N yang
optimal untuk pengomposan adalah antara 15-20. Sebelum melakukan pengomposan, tankos
dirajang untuk memperkecil ukuran agar dekomposisi dapat dipercepat atau bisa juga
pengomposan dilakukan tanpa perajangan. Meskipun biaya lebih tinggi, pengomposan
dengan dirajang struktur yang dihasilkan lebih homogen, mudah dalam distribusi, dan
memungkinkan produk kompos dapat dijual. Pengomposan tanpa dirajang memerlukan
biaya lebih rendah namun kompos yang dihasilkan tidak homogen dan sulit dalam
pendistribusian (Deptan 2006).
Limbah padat Tandan Kosong (Tankos) merupakan limbah padat yang jumlahnya
cukup besar yakni sekitar 5 ribu ton yang tercatat pada tahun 2013 ( PKS Lubuk Dalam).
Setiap ton Tankos mengandung unsur hara N, P, K dan Mg berturut-turut setara dengan 3
kg Urea; 0,6 kg CIRP; 12 kg MOP; dan 2 kg Kieserit (Lubis dan Tobing, 1989). Apabila
semua tankos yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai pupuk organik dengan demikian
akan dihasilkan pupuk organik setara dengan 15 ton Urea; 3 ton CIRP; 60 ton MOP; dan
10 ton Kieserit.
Penggunaan pupuk organik akan mengurangi penggunaan pupuk sintetik sehingga
akan dapat mengurangi dampak emisi CO2. Berdasarkan ekivalen masing-masing pupuk
maka penggunaan pupuk organik sebagai subtitusai pupuk sintetik akan mengurangi emisi
sebesar 75 ton CO2 –eq/tahun atau sekitar 1,5 kg CO2 –eq/ton CPO/tahun.

3.7.2. Penangkapan Biogas Limbah Cair (Methane Capture)
Limbah cair industri kelapa sawit masih banyak mengandung bahan organik dalam
jumlah besar. Pengolahan limbah cair biasanya dilakukan dengan sistem kolam terbuka
karena lebih sederhana dalam operasional dan mudah dalam konstruksinya. Sistem ini
memiliki beberapa kelemahan seperti memerlukan lahan yang luas, efisiensi eliminasi bahan
organik rendah (60-70%), biogas tidak dapat ditampung dan dimanfaatkan, menimbulkan bau
busuk dan membutuhkan pengambilan sludge/endapan secara reguler (Suprihatin 2009).
Pada pengolahan limbah cair akan dihasilkan biogas yang merupakan hasil degradasi
bahan organik oleh bakteri anaerobik. Dalam biogas terkandung gas metana, gas karbon

22

dioksida, dan sedikit H2S. Dengan sistem kolam terbuka, produksi biogas secara teknis
sulit dikumpulkan dan dimanfaatkan, sehingga terbuang ke atmosfir dan berkontribusi
terhadap masalah lingkungan global (efek rumah kaca). Setiap 1 kg gas metana setara dengan
25 kg gas CO2 (IPCC 2007).
Jumlah gas metana yang dihasilkan dari limbah cair cukup besar. Limbah cair
sendiri dihasilkan oleh industri sebanyak 0,5-0,7 ton limbah cair/ ton TBS yang diolah.
Pada pengolahan limbah cair kolam terbuka, akan dihasilkan sekitar 12,36 kg CH4/ ton
POME (Yacob et al. 2006). Jumlah biogas yang dihasilkan juga dapat diestimasi secara
teoritis dan empiris berdasarkan nilai COD limbah cair dan tingkat degradasinya. Setiap kg
COD yang terdegradasi pada kondisi anaerobik dapat dihasilkan sekitar 0,4 m3 CH4 (USDA
dan NSCS 2007).
Berdasarkan studi kasus yang dilakukan di PKS Lubuk Dalam pengolahan limbah
cair dilakukan pada kolam terbuka tanpa ada pemanfaatan biogas. Selama tahun 2013,
PKS Lubuk Dalam menghasilkan 157 ribu m3

limbah cair/tahun yang setara dengan

895 kg CO2 –eq/ ton CPO. Melihat besarnya reduksi emisi GRK yang besar pada tahap
ini, pemanfaatan biogas tersebut sangat disarankan.

Dengan

menggunakan

teknologi

yang sesuai, misalnya UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket) dan AFBR (Anaerobic
Fluidized Bed React ), bahan organik dalam limbah cair minyak kelapa sawit dapat

dikonversi menjadi energi terbarukan berupa biogas pada kondisi yang lebih terkendali, dan
biogas yang

diproduksi

dengan

mudah

dapat

dikumpulkan

ditampung

untuk

dimanfaatkan (Suprihatin 2009).
Selain dapat mengurangi emisi, biogas yang ditangkap dapat dimanfaatkan untuk
keperluan

lain.

Biogas

diperangkap untuk digunakan sebagai pembangkit

listrik.

Menurut Hutzler (2004), satu kg COD dapat dikonversi menjadi 0,6 m3

biogas

yaitu gas campuran dengan kandungan utama metana (50-70%vol.), karbon diokasida
(30-40%vol.) serta sejumlah kecil gas kelumit seperti H2•H2S, uap H2O, dan nitrogen.
Nilai kalor biogas adalah sekitar 6 kWh/m3, setara dengan 0,5 Liter solar. Menurut
JRC (2011), setiap kg CH4 yang dihasilkan setara dengan 45,1 MJ.
Sludge dari pengolahan limbah cair dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik.

Lumpur sawit merupakan larutan buangan yang dihasilkan selama proses pemerasan dan
ekstraksi minyak. Kandungan lemak dan protein yang relatif tingg i tersebut menjadikan
limbah lumpur sawit dan serat merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan
23

mikroorganisme. Limbah lumpur kering kelapa sawit yang terdiri dari sludge dan serat
cukup potensial untuk diolah lebih lanjut. Salah satu pemanfaatannya adalah sebagai pakan
ternak. Dalzell (1978) setelah melakukan kajian dengan menambahkan limbah kelapa
sawit pada makanan sapi, akhirnya menyimpulkan bahwa limbah kelapa sawit merupakan
bahan pakan yang potensial, selain itu juga dapat mengatasi masalah polusi dan
memberi nilai tambah pada pabrik pengolahan kelapa sawit.
3.7.3. Integrasi Sawit – Sapi
Salah satu skenario yang akhir-akhir ini banyak dibahas dalam pengembangan daur
hidup perkebunan sawit yakni integrasi antara pengelolaan perkebunan sawit dengan usaha
peternakan sapi. Di beberapa lokasi perkebunan telah melaksanakan program integrasi
tersebut. Sebagai

bentuk

integrasi,

sapi memperoleh makanan berupa dari hijauan

perkebunan dan limbah pabrik sawit. Kotoran sapi digunakan sebagi pupuk kompos dan
dapat juga sebagai penghasil biogas. Perkebunan sawit berpotensi besar dalam pola
pengembangan daur hidup ini karena banyak manfaat yang diperoleh antara lain:

a. Pupuk organik kotoran sapi
Penggunaan hijauan antar tanaman sebagai pakan sapi akan mengurangi penggunaan
herbisida sebagai pembasmi hama. Selain itu sapi juga menghasilkan kotoran yang dapat
digunakan sebagai pupuk kompos. Satu ekor sapi dewasa menghasilkan

4

ton

pupuk kandang dalam setahun. Dengan demikian pemeliharaan 2-3 ekor sapi akan
dapat menghemat pemakaian pupuk anorganik minimal 50%/kavling/ tahun (Disnak Jambi
2003).
b. Memanfaatkan limbah pelepah dan hijauan antar tanaman
Perkebunan kelapa sawit berpotensi memenuhi kebutuhan pakan ternak sapi.
Sumber pakan sapi berasal dari pelepah pohon, rumput, dan limbah padat PKS. Hasil
kajianDinas Peternakan Jambi (2003) menerangkan setiap pohon sawit besar (TM)
menghasilkan sekitar 22 pelepah/tahun. Rata-rata bobot pelepah (setelah dikupas untuk
pakan ternak) mencapai 2,2 kg/pelepah. Kebun sawit terdapat sekitar 130 pohon/ha
sehingga pakan yang dihasilkan sekitar 22 (pelepah/tahun) x 2,2 (kg/pelepah) x 130
pohon = 6.292 kg/ha/tahun. Pelepah pohon sawit mampu menghasilkan sekitar 0,5 kg
dauntanpa lidi sehingga pakan yang dihasilkan sekitar 22 x 0,5 kg x 130 pohon =1.430
kg/ha/tahun. Jika diasumsikan 1 ekor sapi (Bali) membutuhkan pakan dalam 1 tahun

24

adalah 25 kg/hari x 365 hari = 9.125 kg, maka setiap ha kebun sawit dapat memenuhi
80% kebutuhan pakan satu ekor sapi.
Hijauan antar tanaman (HAT) dapat dimanfaatkan untuk pakan hijauan
ternaknya. Namun sampai sekarang belum terdata potensi nyata dari HAT ini. Potensi ini
dapat ditingkatkan dengan menanam rumput yang tahan naungan dan pada lahan yang
kosong karena pohon sawitnya mati. Berdasarkan pengamatan Dinas Peternakan Jambi
(2003), HAT dapat memenuhi kebutuhan minimal 1 ekor sapi/ha.
c. Penghasil Biogas
Pemanfaatan kotoran sapi sebagai penghasil biogas banyak

dilakukan di

sejumah tempat karena menghasilkan gas metan yang cukup tinggi. Dalam kotoran
sapi terkandung berbagai bahan yang dapat menghasilkan biogas melalui reaksi
anaerobik. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa kotoran sapi mengandung
22,59%

sellulosa;

18,32%

hemiselulosa;

10,20%

lignin;

34,72% total karbon

organik; 1,26% total nitrogen; 27,56:1 rasio C:N; 0,73% P, dan 0,68%

K

(Lingaiah dan Rajasekaran 1986). Produksi biogas/gas metana dipengaruhi oleh
C/N rasio input (kotoran ternak), residence time, pH, suhu dan toksisitas. Menurut
Sutarno dan Firdaus (2007), kotoran sapi seberat 25 kg setara dengan 1 m3 biogas.

4. SIMPULAN
Penerapan metode

SSM dalam penangan dampak lingkungan PPKS dapat

membantu memberikan solusi terhadap permasalahan yang tidak terstruktur.

Untuk

kasus di atas, solusi yang ditawarkan adalah melakukan perbaikan mulai dari tingkat
pembibitan, perkebunan, transportasi, penggunaan energi, pengolahan TBS dan
pengolahan Limbah. Dengan harapan dampak lingkungan yaitu tigginya emisi udara yang
ditimbulkanoleh aktifitas PPKS dan diturunkan sehingga dampaknya terhadap lingkungan
bisa dikurangi.
Melalui pelaksanaan, pengawasan dan kerjasama yang baik antara PPKS,
pemerintah dan masyarakat diharapakan akan terjalin situasi kondusif untuk bersama-sam
bertanggung jawab atas lingkungan di sekitar PPKS. Dengan kontrol yang baik dari semua
sektor diharapkan PPKS akan menjadi industri
lingkungan serta berkelanjutan.

25

yang berdaya saing dan yang ramah

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan Terimakasih Disampaikan Kepada Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Maarif,
M.Eng, Dipl.Ing, DEA, Sebagai Dosen Rekayasa Sistem Dan Strategi Agroindustri
Program Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor,
Desember 2015

6. DAFTAR PUSTAKA
Budi LS, Maarif MS, Sailah I, dan Raharja S. 2009. Strategi Pemilihan Model
Kelembagaan dan Kelayakan Finansial Agroindustri Wijen . Jurnal Teknologi Industri
Pertanian 19:2, 56-63.
Cicerone R J. 1987. Changes in Stratospheric Ozone. J. Science 237: 35-42.
Checkland P & Scholes J. 1990. Soft System Methodology in Action, England: Jhon Wiley &
Sons Ltd.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014, Data Luas Lahan Sawit, Produksi, serta Ekspor CPO
2009-2015,[diunduh tanggal 01 Desember 2015]
Dalzell R. 1978. A case Study on The Utilization of Effluent and by Products of Oil Palm
by cattle and Buffaloes on an Oil Palm Estate . Malaysian Agriculture Research and
Development Institute. Serdang-Selangor.
Daellenbach H & McNickle D. 2005. Management Science: Decision Making through
Systems Thinking. Hampsire: Palgrave Macmillan.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Pengelolaan Limbah Industri kelapa
Sawit. Jakarta.
[Disnak] Dinas Peternakan Provinsi Jambi. 2003. Potensi Dan Peluang
Pengembangan Sistem Integrasi Sawit-Sapi Di Provinsi Jambi. Lokakarya
Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi.
[EPA] Environmental Protection Agency. 2011. Regulatory Announcement: EPA Issues
Notice of Data Availability Concerning Renewable Fuels Produced from Palm Oil
Under the RFS Program. Environmental Protection Agency. United States.
Hutzler
N.
2004.
Solid
Waste
Management.
Lecture
Note
online.
www.cee.mtu.edu/~hutzler/ce3503/Solid Waste Managementnjh.ppt. [Diund

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

KEBIJAKAN BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN DAERAH (BAPEDALDA) KOTA JAMBI DALAM UPAYA PENERTIBAN PEMBUANGAN LIMBAH PABRIK KARET

110 657 2

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN SEPEDA MOTOR HONDA MELALUI PENDEKATAN BOSTON CONSULTING GROUP PADA PT. MPM MOTOR DI JEMBER

7 89 18

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

MAKALAH DAMPAK NARKOBA

2 4 11

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

PENGAWASAN OLEH BADAN PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP PENGELOLAAN LIMBAH HASIL PEMBAKARAN BATUBARA BAGI INDUSTRI (Studi di Kawasan Industri Panjang)

7 72 52