C. Proses Internal Belajar Bahasa - Bag. II C. Proses Internal Belajar Bahasa

C. Proses Internal Belajar Bahasa

  Pernahkah terpikirkan oleh Anda, berapa lama Anda belajar bahasa Inggris? Di SMP Anda belajar selama tiga tahun; kemudian di SMA Anda belajar selama tiga tahun.

  Anda berbahasa Inggris? Mungkin Anda tersipu-sipu karena kenyataannya sampai sekarangpun Anda belum mampu berbahasa Inggris dengan baik. Perhatikan, anak-anak kita, umur lima tahun sudah pandai berbicara bahasa Indonesia dengan lancar atau sudah lancar menggunakan bahasa daerah. Mengapa demikian? Mengapa Anda belajar bahasa Inggris enam tahun dan tidak menampakkan hasil yang memuaskan? Mengapa anak-anak kecil selama lima tahun relatif sudah menguasai sistem bahasa ibunya? Apa rahasianya? Bagaimana sebenarnya manusia belajar bahasa?

  Cara manusia belajar bahasa tetap merupakan sebuah misteri. Sudah banyak penjelasan diberikan, namun hal itu tetap belum dapat mengungkap secara tepat bagaimana manusia belajar bahasa. Proses belajar bahasa itu terjadi dalam alam pikiran pembelajar bahasa. Para peneliti hanya dapat melacaknya secara elementer dan masih jauh dari kesempurnaan. Yang dapat kita lakukan adalah mengobservasi yang didengar dan diproduksi oleh pembelajar bahasa. Para peneliti yang terus menggali penjelasan proses belajar bahasa itu mencatat bahwa terdapat ketidakcocokan antara keduanya dan mereka menggabungkan sejumlah bukti yang impresif yang menunjukkan bahwa ketidakcocokan itu bersifat sistematis dan merupakan ciri semua kelompok pembelajar bahasa. Mereka seperti jejak pikiran dalam perilaku pembelajar bahasa.

  Ada tiga faktor internal yang bekerja ketika Anda belajar bahasa. Dua faktor merupakan prosesor subsadar yang disebut filter dan organisator. Satu faktor lagi merupakan prosesor sadar yang disebut monitor.

  Pembelajar bahasa tidaklah selalu menyerap segala sesuatu yang didengarnya. Motivasi, kebutuhan, sikap, dan emosinya menyaring segala sesuatu yang didengarnya dan hal itu mempengaruhi derajat dan kualitas pembelajarannya. Kita menggunakan istilah filter untuk mengacu pada faktor afektif yang menyaring segala sesuatu yang merupakan masukan di sekitar pembelajar.

  Organisator merupakan bagian pikiran pembelajar bahasa yang bekerja secara membangun kaidah sistem bahasa baru dengan cara yang spesifik dan digunakan oleh pembelajar untuk menghasilkan atau membangkitkan kalimat-kalimat yang dipelajari melalui hafalan. memproses informasi. Apabila pembelajar menghafal kaidah tata bahasa dan mencoba menerapkannya secara sadar dalam percakapan, misalnya, kita katakan orang itu mengandalkan monitornya. Gambar 1. Prosesor Internal

  Lingkung- Kinerja Verbal

  Filter Organisator Monitor an Bahasa Pembelajar

1. Filter Afektif

  Filter afektif merupakan bagian dari pemroses internal yang secara sadar menyaring masukan bahasa yang dilandasi oleh faktor afektif: motif, kebutuhan, dan emosi pembelajar. Filter afektif itu muncul dan merupakan pintu utama yang harus dilalui oleh masukan bahasa sebelum ia masuk dalam proses selanjutnya. Ia menentukan: a. model bahasa sasaran yang dipilih oleh pembelajar;

  b. bagian bahasa yang harus dikuasai lebih dahulu;

  c. kapan upaya belajar bahasa harus mengalami masa tenang; d. seberapa cepat pembelajar dapat memperoleh bahasa. Pembelajar, misalnya, akan memilih tipe frase atau butir kosakata tertentu untuk dipelajari dan digunakan pada waktu berkomunikasi. Anak-anak, misalnya mempelajari frase dan kalimat yang esensial untuk berperan serta dalam lingkungannya. Beberapa pembelajar akan dengan secara jelas menghentikan belajar bahasa sasaran pada suatu titik dilakukan setelah mereka cukup memperoleh bahasa sasaran untuk berkomunikasi. Perilaku semacam itu dapat disebabkan oleh penyaringan faktor afektif yang secara signifikan mengurangi data yang terlalu banyak bagi prosesor yang lain. Lingkungan memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar bahasa yang baru. Karakteristik masyarakat yang menggunakan bahasa tertentu, sesuai dengan fungsi bahasa itu untuk pembelajar itu sendiri, mempengaruhi sikap yang dikembangkan pembelajar terhadap bahasa itu. Bentuk-bentuk motivasi yang khusus, kebutuhan, dan sikap yang melatarbelakangi pemerolehan bahasa kedua dipengaruhi oleh masyarakat tempat pembelajar itu bermukim dan juga dipengaruhi oleh aktivitas sosial di mana pembelajar berperan serta atau ingin berperan serta.

a. Kepercayaan diri

  Kepercayan diri mungkin merupakan aspek yang paling tampak dalam perilaku manusia. Sering dengan mudah dikatakan bahwa keberhasilan kognitif atau afektif ditentukan oleh derajat kepercayaan diri, derajat kesadaran akan kemampuan sendiri, serta derajat akan kepercayaan diri seseorang. Jika Anda mau melompati sebuah parit yang lebarnya dua meter, misalnya, Anda dapat tercebur ke parit itu kalau Anda tidak percaya diri saat melompat. Jika Anda bermain bulu tangkis atau tenis misalnya, pada saat memukul bola hasilnya sangat ditentukan apakah anda ragu-ragu atau penuh percaya diri. Jika ragu-ragu, mungkin pukulan anda meleset, keluar lapangan, menyangkut di jaring, dan sebagainya.

  Perkembangan kepribadian secara universal mencakup pertumbuhan konsep diri seseorang, penerimaan dirinya sendiri, dan refleksi diri seperti yang tampak dalam interaksi antara diri seseorang dengan orang lain. Manusia memperoleh rasa percaya diri dari akumulasi pengalaman dengan dirinya sendiri dan dengan berinteraksi dengan orang lain, serta dari penilaiannya atas dunia yang ada di sekitarnya. Ada tiga tataran umum rasa percaya diri dan itu menunjukkan ciri multidimensional rasa percaya diri itu.

  1) Rasa percaya diri global, rasa percaya diri dikatakan relatif stabil pada orang dewasa yang benar-benar matang, dan resisten untuk berubah kecuali dengan seseorang dalam berbagai situasi. Kira-kira dapat dianalogikan pujian dengan rerata di dalam statistik atau tataran median atas pujian terhadap diri sendiri. 2) Rasa percaya diri situasional atau spesifik mengacu pada diri dalam situasi atas bakat-bakat, seperti inteligensi, kemampuan berkomunikasi, kemampuan atletik, atau seperti bawaan kepribadian seperti empati, fleksibilitas. Derajat rasa percaya diri spesifik yang dimiliki seseorang beragam dan bergantung pada situasi atau bakat. 3) Rasa percaya diri tugas berkaitan dengan tugas tertentu di dalam situasi khusus.

  Misalnya, dalam ranah pendidikan, ia mengacu pada sebuah kawasan mata pelajaran. Dalam konteks atletik, keterampilan dalam olahraga—atau bahkan faset olahraga seperti permainan net atau melempar bola dalam baseball—akan dievaluasi dalam tataran rasa percaya diri tugas. Rasa percaya diri spesifik, menjelaskan pemerolehan bahasa secara umum, dan ia akan menjelaskan swaevaluasi seseorang dalam hal aspek tertentu dari sebuah proses: berbicara, menulis, kelas tertentu dalam bahasa kedua, atau bahkan jenis khusus pelatihan dalam kelas. Banyak penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang positif antara rasa percaya diri dengan kemampuan anak belajar bahasa. Semakin tinggi rasa percaya diri anak, semakin tinggi pula kinerja dalam belajar bahasa. Hal itu menunjukkan bahwa variabel rasa percaya diri merupakan variabel penting dalam pembelajaran bahasa.

  Apa yang tidak ketahui sampai sekarang adalah jawaban atas pertanyaan dulu mana telur atau ayam: Apakah rasa percaya diri menyebabkan keberhasilan berbahasa ataukah sebaliknya keberhasilan berbahasa menyebabkan tumbuhnya rasa percaya diri. Yang jelas adalah bahwa keduanya itu saling berinteraksi. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan apakah sebaiknya guru mengembangkan rasa percaya diri ataukah rasa percaya diri akan tumbuh dengan sendirinya jika guru mengembangkan kemampuan berbahasa siswa.

  Semua manusia dalam upaya memahami dirinya sendiri, mengembangkan seperangkat pertahanan diri untuk melindungi egonya. Bayi yang baru lahir tidak mempunyai konsep tentang dirinya sendiri; dan secara perlahan belajar untuk derajat perkembangan kesadaran diri, tanggapan, dan penilaian mulai menciptakan sistem afektif digunakan oleh individu untuk mengideentifikasi dirinya sendiri. Pada saat remaja perubahan fisik, emosi, dan kognitif praremaja dan remaja akan membawanya ke arah hambatan (inhibisi) defensif untuk melindungi egonya yang masih rapuh dalam menghadapai tantangan terhadap berbagai gagasan, pengalaman, dan perasaan yang mengancam upaya pengorganisasian nilai dan keyakinan untuk membangun rasa percaya diri. Proses membangun pertahanan itu akan berlanjut sampai pada usia dewasa. Beberapa orang – yakni yang memiliki rasa percaya diri tinggi dan kekuatan ego yang tinggi juga – akan lebih dapat mengatasi semua tantangan itu dan pertahanannya menjadi lebih rendah. Mereka yang memiliki rasa percaya diri yang rendah mempertahankan dinding inhibisi untuk melindungi pribadinya yang lemah dan egonya yang rapuh, atau kurang rasa percaya diri dalam situasi dan tugas.

  Dalam pembelajaran bahasa, Guiora (1927) memperkenalkan istilah yang disebutnya sebagai ego bahasa, yakni hakikatnya pembelajaran bahasa itu sangat personal dan egoistis. Pemerolehan bahasa yang bermakna dalam batas tertentu melibatkan konflik identitas ketika pembelajar bahasa mencari identitas baru dengan kompetensi yang baru diperolehnya. Sebuah ego bahasa yang adaptif memungkinkan pembelajar memperendah inhibisi yang dapat meningkatkan keberhasilan belajar bahasa.

  Ada sebuah penelitian yang menarik dalam rangka membuktikan hubungan antara inhibisi dengan pembelajaran bahasa. Guiora merancang sebuah penlitian eksperimental dengan menggunakan alkohol dalam jumlah yang kecil. Kelompok eksperimen oleh peneliti diberi minuman alkohol dalam kadar rendah sedangkan kelompok kontrrol dibiarkan tanpa minuman alkohol. Performansi siswa yang minum alkohol dalam hal lafal ternyata lebih baik daripada kelompok kontrol. Mengapa demikian? Kelompok eksperimen karena pengaruh alkohol inhibisinya menjadi rendah, sedangkan kelompok kontrol karena tidak minum alkohol masih tetap mengembangkan inhibisi. Anda tahu, menjadi lebih berani dalam berbicara, tidak memiliki rasa malu dan sebagainya. Lihatlah fenomena orang yang sedang mabuk. Semakin mabuk seseorang semakin mengoceh dia tanpa ada rasa malu sama sekali. Tampaknya anak-anak yang mendapatkan alkohol dari turunnya inhibisi itu performansi mereka dalam belajar bahasa meningkat. Tentu saja, Anda tidak perlu meniru penelitian semacam itu. Di samping tidak etis juga tidak bermoral menggunakan anak-anak untuk eksperimen semacam itu.

  Yang dapat Anda petik dari penelitian semacam itu tidak lain adalah bahwa di dalam kelas kalau guru dapat menurunkan inhibisi maka pembelajaran akan berhasil dengan baik. Lalu banyak guru yang berupaya untuk menurunkan inhibisi itu dengan cara yang lebih bermoral dan lebih etis menurut tatanan pendidikan. Pembelajaran bahasa dalam beberapa dekade terakhir ini mencoba mengembangkan pembelajaran di kelas yang menciptakan suasana yang bebas, tetapi bertanggung jawab. Diciptakanlah konteks pembelajaran yang menyennagkan yang memberdayakan pembelajar bahasa supaya mereka tidak merasa terkungkung dan takut berbuat salah dalam berbahasa.

  Setiap guru, termasuk Anda pasti tahu bahwa dalam proses belajar bahasa itu anak tidak akan luput dari berbuat salah. Namun, kesalahan itu bukan untuk dihujat, dicaci dengan keras, dan sebagainya. Koreksi langsung bahkan akan melemahkan semangat anak-anak dalam belajar bahasa. Bahkan kita harus yakin bahwa dengan berbuat kesalahan itulah anak-anak akan berkembang maju. Kesalahan adalah indikator awal sebuah keberhasilan.

  Ciri yang menonjol sebagai pembelajar bahasa yang baik ialah kemampuan untuk membuat terkaan secara cerdas. Impulsivitas juga digambarkan sebagai gaya yang mempunyai dampak positif dalam keberhasilan berbahasa. Anda baru saja juga mempelajari bahwa inhibisi, mengembangkan pertahanan seputar ego dapat menghambat pembelajaran. Faktor-faktor itu menyarankan bahwa pengambilan risiko merupakan karakteristik pembelajaran bahasa yang berhasil. Pembelajar harus dapat berjudi sedikit untuk mau mencobakan bahasa itu dan mengambil risiko untuk berbuat salah. Di kelas obat penawar yang mujarab untuk mengatasi ketakutan belajar bahasa adalah menciptakan kerangka afektif yang layak sehingga pembelajar itu merasa nyaman ketika dicerca atau ditertawakan guru atau teman. Oleh sebab itu, kesalahan itu jangan ditertawakan, jangan dihujat apalagi. Siswa harus dirangsang untuk dapat percaya diri dan didorong agar berperan serta untuk dapat bereksperimen dan bereksplorasi dan mengambil risiko dalam belajar bahasa akan berdampak positif dalam perolehan pembelajarannya.

c. Kecemasan

  Konsep yang berhubungaan erat dengan inhibisi, rasa percaya diri, dan pengambilan risiko adalah kecemasan yang memegang peranan penting dalam pembelajaran bahasa. Kecemasan pada dasarnya adalah perasaan tidak nyaman, frustrasi, ragu-ragu, khawatir. Pada hakikatnya manusia menghadapi berbagai kecemasan. Kecemasan sebenarnya bertingkat jenjangnya. Ada kecemasan yang berada pada tataran paling dalam atau global. Kecemasan semacam itu lebih bersifat permanen. Sementara itu ada orang-orang yang mengalami kecemasan momentaris, atau pada tataran situasional. Rasa cemas itu tumbuh karena pengalamannya yang berhubungan dengan peristiwa atau tindakan tertentu. Misalnya, ada siswa yang selalu cemas kalau menghadapi ulangan; ada yang cemas ketika menghadapi guru baru; ada yang cemas kalau pembelajaran dilaksanakan di luar kelas, dan sebagainya. Oleh sebab sangat penting bagi guru untuk melacak apakah kecemasan siswa itu berakar pada kecemasan global ataukah berakar pada kecemasan situasional.

  Kecemasan bawaan karena sifatnya global dan sering ambigu batasannya tidak dapat digunakan untuk meramalkan keberhasilan belajar bahasa. Tetapi, akhir-akhir ini, penelitian dalam hal kecemasan bahasa, memumpunkan pada kecemasan situasional. Tiga komponen kecemasan belajar bahasa kedua telah diidentifikasi, yakni sebagi berikut.

  1) Komunikasi dan pengertian, yang muncul dari ketidakmampuan pembelajar untuk mengekspresikan secara layak pemikiran atau gagasan yang matang. 2) Takut akan evaluasi sosial yang negatif, muncul dari kebutuhan untuk membuat kesan sosial yang positif pada yang lain; dan

  Banyak penelitian menunjukkan bahwa kecemasan belajar bahasa kedua atau bahasa asing berdampak negatif pada proses belajar bahasa. Kecemasan dapat dipilahkan menjadi kecemasan debilitatif dan fasilitatif. Dapat juga disebut sebagai kecemasan yang merupakan faktor negatif dan harus dihilangkan dengan segala macam usaha, daya, tenaga, dan dana.

d. Motivasi

  Motivasi pada hakikatnya adalah insentif, kebutuhan, atau keinginan yang dirasakan pembelajar bahasa untuk belajar bahasa. Penelitian dalam dunia pembelajaran bahasa menunjukkan bahwa motivasi itu mempengaruhi pembelajaran bahasa. Ada tiga jenis motivasi yang mempengaruhi pembelajaran bahasa, yakni (1) motivasi integratif, (2) motivasi instrumental, (3) identifikasi kelompok sosial.

1) Motivasi Integratif dan Motivasi Instrumental

  Gardner dan Lambert (1959) membedakan antara motivasi integratif dan motivasi instrumental dalam pembelajaraan bahasa. Motivasi integratif dapat dibatasi sebagai keinginan atau kehendak untuk mencapai kemmpuan dalam bahasa yang baru agar dapat berperan serta dalam masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Motivasi integratif itu mencerminkan kepentingan sebenarnya dan sangat pribadi dalam masyarakat dan budaya yang ditunjukkan oleh budaya lain. Di sisi lain,motivasi instrumental mungkin dapat dibatasi sebagai keinginan untuk mencapai kemampuan dalam bahasa baru dengan alas an kemaslahatannya, seperti memperoleh pekerjaan. Motivasi instrumental itu mencerminkan nilai dan keuntungan praktis dalam hal belajar bahasa.

  Banyak penelitian menunjukkan bahwa motivasi integratif dan motivasi instrumental itu mempunyai sumbangan yang sangat baik terhadap keberhasilan belajar bahasa. Artinya, semakin baik atau semakin tingi motivasi seorang pembelajar untuk belajar bahasa, baik motivasi integratif maupun motivasi instrumental semakin baik pula penguasaan dan keterampilan berbahasa seseorang. Sebaliknya, semakin rendah dan semakin tidak baik motivasi seseorang, baik motivasi integratif maupun motivasi instrumental semakin buruk atau semakin lemah penguasaan atau keterampilan berbahasa seseorang.

  Contoh-contoh konkret banyak terdapat di lingkungan Anda. Cobalah Anda misalnya, pelosok desa di Kabupaten Pacitan, mendapatkan pelajaran bahasa Inggris.

  Adakah kira-kira motivasi anak itu untuk belajar bahasa Inggris? Anak-anak berpikir, untuk apa belajar bahasa Inggris di desanya yang rata-rata penduduknya hanya mampu berbahasa Jawa? Apa manfaat praktisnya bagi anak-anak? Dalam lingkungan semacam itu tentulah tidak akan muncul motivasi anak baik motivasi integratif maupun motivasi instrumental. Jika pelajaran bahasa Inggris itu tetap dipaksakan pada anak-anak tersebut, apa yang terjadi? Pasti anak-anak tidak bersemangat, tidak tertarik. Jika suasana belajar sudah lesu semacam itu, dapat diramalkan pelajaran bahasa Inggris tersebut akan gagal.

  Bandingkanlah dengan situasi pelajaran bahasa Inggris untuk anak-anak kelas enam sekolah dasar di kota Denpasar Bali. Anak-anak setiap hari harus berjuang keras menjajakan souvenir untuk orang-orang asing yang berdatangan ke Bali yang bagi orang asing atau turis mancanegara merupakan surga dunia. Anak-anak memerlukan dapat berbahasa Inggris. Maka ketika di sekolahnya ada pelajaran bahasa Inggris, anak-anak sangat bersemangat sebab kemampuan berbahasa Inggris itu sangat diperlukannya untuk dapat berjualan dengan baik. Jika bahasa Inggrisnya baik, anak-anak akan dapat berkomunikasi dengan turis asing guna menawarkan dagangannya. Dapat diyakini, pembelajaran bahasa Inggris pada anak-anak tersebut akan menarik minat mereka, akan menimbulkan motivasi yang tinggi. Pada gilirannya prestasi belajar bahasa Inggris anak- anak akan tinggi. Pada anak-anak sekolah dasar di Bali itu tumbuh motivasi instrumental.

  Bandingkanlah kisah berikut ini. Ada seorang mahasiswa dari Amerika Serikat yang sedang menyusun tesisnya tentang kesenian tradisional di Indonesia. Kebetulan ia memilih kesenian tradisional dari kota Malang, yakni wayang topeng Malang. Entah bagaimana asal-muasalnya sang mahasiswi itu menikah dengan dalang wayang topeng Malang dan akhirnya menetap di Tumpang, Malang. Agar ia dapat diterima oleh komunitas orang Jawa, dengan gigih ia belajar bahasa Jawa. Hasilnya luar biasa. Ia mampu berbahasa Jawa dengan baik, bahkan berbagai tingkat tutur bahasa Jawa pun rumit, yang bagi orang Jawa sendiri, tidak setiap orang mampu membawakannya. Ia sering tampil sebagai pesinden wayang kulit, bahkan sering tampil lewat televisi. Pada diri mahasiswi yang berasal dari Amerika Serikat itu tumbuh motivasi integratif dalam

2) Identifikasi Kelompok Sosial

  Bahasa atau variasi bahasa yang digunakan seseorang itu mengindikasikan bahwa seseorang itu merupakan warga kelompok sosial tertentu. Oleh sebab itu, motif identifikasi kelompok sosial dapat dibatasi keinginan untuk memperoleh kemampuan dalam sebuah bahasa atau sebuah variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial yang oleh pembelajar dijadikan identitasnya. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pembelajar itu menjadikan teman-temannya yang berbahasa tertentu yang dipelajarinya itu sebagai modelnya. Motif identifikasi kelompok sosial ini mirip dengan motivasi integratif, tetapi ia lebih dari sekadar itu. Pembelajar yang memiliki motivasi integratif belajar bahasa yang lain agar ia dapat berperan serta dalam kehidupan dan budaya bahasa yang dipelajarinya itu, tetapi ia tetap mempertahankan identitas sebagai orang yang tetap berada pada budaya bahasanya sendiri. Misalnya, Anda orang Jawa. Anda bertugas di Madura. Anda ingin dapat berperan serta dalam berbagai kegiatan dan dapat berkomunikasi dengan baik dalam masyarakat budaya Madura. Dalam diri Anda tumbuh motivasi integratif. Tetapi, Anda tidak melepaskan budaya Anda sebagai pengguna bahasa Jawa. Lain halnya dengan orang yang memiliki motif identifikasi kelompok sosial. Jika Anda memiliki motif semacam itu maka Anda akan melepaskan identitas Anda sebagai orang Jawa dan Anda mengidentifikasi diri Anda sebagai orang Madura. Anda ingin jadi anggota masyarakat Madura sepenuhnya. Hal semacam itu sering terjadi pada orang Jawa, misalnya, yang kawin dengan gadis Madura dan kemudian tinggal dan bekerja dalam budaya bahasa Madura. Orang itu hidupnya sepenuhnya menyatu dengan budaya Madura; jadilah dia orang Jawa yang berbudaya Madura. Maka dapat diyakini orang semacam itu akan dapat belajar bahasa Madura dengan sangat baik. Berbeda, misalnya, ketika saya menempuh program doktoral saya dan diwajibkan untuk mengambil minor bahasa lain selain bahasa ibu saya yang bahasa Jawa. Saya mengambil tahun, saya tidak mendapatkan apa-apa, dan saya tetap tidak dapat berbahasa Madura. Tidak ada motivasi apapun pada saya, hanya sekadar asal mengambil saja.

  Organisator merupakan bagian dari sistem pemrosesan internal yang bertanggung jawab terhadap pengorganisasian pembelajar secara gradual terhadap sistem bahasa yang baru. Organisator bekerja secara subsadar dan dilandasi oleh prinsip kognitif: kriteria logis dan analitik bagi organisasi pengetahuan perilaku.

  Dalam mengkaji bahasa yang dihasilkan pembelajar, peneliti dapat melihat bekerjanya organisator itu yang tercermin dalam tiga fenomena yang pervasif, yakni: a. Kemajuan sistematik perubahan kaidah yang bersifat sementara, atau konstruksi transisional yang digunakan pembelajar sebelum struktur itu akhirnya diperoleh.

  b. Kesalahan yang terjadi secara sistematik di dalam tuturan pembelajar; c. Urutan umum di mana struktur yang mantap dipelajari. Hubungan antara temuan itu dan bekerjanya organisator sangat informatif. Analisis aspek bahasa kedua yang dikembangkan pembelajar menunjukkan faset yang berbeda tentang tata kerja prinsip-prinsip internal yang menjadi patokan pemerolehan bahasa.

  Berbagai macam kaidah ditemukan untuk memberikan ciri khusus pada tuturan bahasa pembelajar. Istilah yang sering digunakan untuk gejala semacam itu adalah konstruksi transisional. Istiah itu mengacu pada struktur khusus yang secara teratur digunakan pembelajar selama pemerolehan struktur bahasa sasaran secara khusus. Adanya banyak struktur yang sistematis yang dikembangkan pembelajar yang berbeda- beda merupakan salah satu indikator penting yang menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan faktor organisator dalam proses mempelajari bahasa.

  Bukti bahwa seseorang dalam belajar bebahasa menggunakan organisatornya tampak pada kesalahan-kesalahan yang dibuat pembelajar. Ketika belajar bahasa Indonesia, misalnya, tampak anak-anak sering menghilangkan awalan atau akhiran, menghilangkan subjek, menghilangkan kata-kata depan, atau menambahkan kata depan yang tidak diperlukan, membuat penandaan ganda, salah dalam membuat urutan kata dalam kalimat, dan sebagainya.

  Penghilangan awalan Ayah kerja di kantor.

  Ia suka nonton sepak bola. Tampaknya anaknya sudah ngantuk. Siapa yang ngarang lagu itu?

  Penghilangan subjek

  Contoh: Di Surabaya menyelenggarakan konser musik pop.

  Dengan semangat tinggi memproklamasikan dirinya sebagai ketua kelompok. Bagi yang kehilangan uang supaya melapor ke polisi. Bagi saya sangat menguntungkan. Dari Surabaya ke Madiun membawa beban yang berat.

  Penandaan ganda

  Contoh: Demi untuk rakyat ia berjuang keras.

  Pancasila adalah merupakan falsafah bangsa. Pendapatnya sangat baik sekali.

  Para guru-guru sedang sangat sibuk sekarang.

  Ia belajar keras agar supaya lulus dengan baik.

  Kesalahan urutan kata

  Contoh: Anak itu memukul kemarin dengan keras bola itu.

  Sebaiknya kamu harus bicarakan dengan teman-temanmu hal itu. Apakah hal itu kamu telah sarankan kepada sahabatmu? Bila hal ini kamu ingin lakukan, sebaiknya dulu tanyakan pada pamanmu.

  Akan apapun yang terjadi, kamu dahulu bersiap-siap sebaiknya.

  Penghilangan kata tugas

  Contoh: Tarian semacam itu tidak sesuai kepribadian bangsa.

  Urutan pemerolehan bahasa, merupakan indikator penting bahwa organisator itu bekerja selama anak-anak belajar bahasa.

3. Monitor

  Monitor merupakan bagian sistem internal pembelajar yang bertanggung jawab terhadap proses kebahasaan secara sadar. Proses kebahasaan secara sadar oleh Krashen (1981) disebut sebagai belajar. Bila seseorang mencoba belajar kaidah dengan membacanya dari buku tata bahasa atau mengikuti pelajaran di kelas di mana guru secara eksplisit memberikan kaidah, orang itu sudah berada di dalam belajar secara sadar. Di manapun proses kebahasaan sadar itu terjadi, dikatakan bahwa pembelajar itu menggunakan monitornya. Sama halnya, apabila pembelajar menampilkan penubian (drill) yang memerlukan perhatian sadar pada bentuk bahasa, atau manakala dia menghafal dialog, proses sadar sedang terjadi dan pada saat itu monitor digunakan.

  Pengetahuan bahasa yang diperoleh seseorang melalui pemonitoran dapat digunakan secara sadar untuk merumuskan kalimat-kalimat dan membetulkan tuturan atau tulisannya. Fungsi menyunting monitor itu memainkan peranan apabila siswa mencoba menyunting karangan dan membetulkan kalaimat-kalimat yang tidak gramatikal dalam butir-butir tes bahasa, juga manakala siswa secara spontan melakukan swakoreksi terhadap kesalahan yang dibuatnya selama berbicara atau menulis.

  Pemrosesan secara sadar mungkin juga melandasi penggunaan struktur bahasa pertama untuk merumuskan kalimat-kalimat bahasa kedua dalam situasi khusus. Ketika diminta memproduksi struktur yang belum merupakan bagian dari sistem bahasa yang subsadar, beberapa pembelajar, khususnya orang dewasa, cenderung secara sadar mengisi kosakata bahasa kedua ke dalam kalimat bahasa pertama mereka. Proses terjemahan kata demi kata secara sadar itu mungkin merupakan strategi komunikasi sebagai upaya

  Derajat penggunaan monitor itu bergantung pada sekurang-kurangnya faktor berikut ini.

  a) usia pembelajar;

  c) hakikat dan pumpunan yang diminta oleh tugas verbal yang dilakukan; d) kepribadian pembelajar.

  Tampaknya pemonitoran lebih mudah dilakukan manakala pembelajar itu telah mencapai tahap operasi formal. Pada tahap itu pembelajar dapat memanipulasikan hubungan abstrak antara beberapa gagasan. Anak-anak pada masa puber lazimnya sudah dapat memanipulasikan hubungan abstrak semacam itu, meskipun sebenarnya tahap operasi formal itu sudah dimulai pada masa adolesen (remaja). Pemonitoran juga sangat dipengaruhi oleh pengajaran formal. Seseorang tidak akan dapat mengadakan pemonitoran tuturannya, tidak dapat menerapkan kaidah kecuali jika kaidah itu sudah dipelajarinya, sudah diinternalisasikannya. Tetapi, yang sebaliknya tidaklah selalu benar. Artinya, tidak berarti bahwa apabila seorang pembelajar sudah menguasai kaidah kemudian akan menggunakan kaidah itu untuk melakukan pemonitoran. Sebuah penelitian yang dikerjakan oleh Krashen, dan kawan-kawan (1976) menunjukan bahwa bahwa permintaan untuk mengecek kembali tugas tertulisnya ternyata tidak menjamin penggunaan kaidah yang dipelajarinya secara sadar.

  Pemonitoran dipengaruhi oleh bentuk tugas yang diberikan oleh guru. Tugas yang lebih memfokuskan perhatian pembelajar pada bentuk kebahasaan akan meningkatkan penggunaan monitor. Misalnya, jika seorang guru minta kepada siswa untuk mengubah kalimat Ardo sangat suka donat menjadi kalimat negatif, maka siswa akan memainkan fungsi monitor guna mengecek kembali apakah bentuk negatifnya sudah benar atau tidak. Tetapi, bila dihadapkan pada tugas komunikasi alamiah, siswa akan memfokuskan perhatiannya pada pengkomunikasi gagasannya atau pendapatnya kepada orang lain dan tidak memfokuskan perhatiannya pada bentuk bahasa yang digunakannya. Dalam kasus semacam itu pembelajar hanya menggunakan monitornya, menerapkan kaidah secara subsadar untuk menyampaaikan pesannya. Jelaslah bahwa bila pembelajar dihadapkan pada memumpunkan perhatiannya pada bentuk bahasa, mereka akan menerapkan secara formal kaidah yang dipelajarinya, secara sadar ia akan menerapkan kaidah yang telah dikuasainya.

  Pemonitoran dipengaruhi oleh kepribadian pembelajar. Pembelajar yang merasa tidak daripada yang lain.

  Belajar bahasa pada hakikatnya mempunyai satu fungsi penting, yakni sebagai monitor atau editor. Belajar bahasa memainkan peranan yang penting dalam mengubah bentuk tuturan kita sesudah dihasilkan oleh sistem kebahasaan kita. Peristiwa semacam itu terjadi sebelum dan sesudah kita menghasilkan ujaran, baik lisan maupun tulis.

  Dengan adanya pemonitoran semacam itu, berarti bahwa peranan kaidah formal, dan peranan belajar bahasa secara sadar, hanya terbatas pada performansi bahasa kedua. Orang yang sedang menggunakan bahasa kedua dapat menggunakan kaidah itu jika tiga syarat terpenuhi. Syarat itu perlu dan cukup. Artinya, pembelajar mungkin tidak memanfaatkan secara tuntas kaidah itu meski ketiga syarat itu dipenuhi. Ketiga syarat tersebut adalah waktu, bentuk, dan kaidah. Penutur harus mempunyai waktu yang cukup; harus terfokus pada bentuk; berpikir pada bentuk yang benar serta harus tahu kaidah.

  Berdasarkan pemakaian monitor itu para penutur dapat dipilahkan menjadi tiga kelompok, yakni: a) Penutur yang menggunakan monitornya secara berlebihan;

  b) Penutur yang sangat jarang menggunakan monitor; c) Penutur yang menggunakan monitor secara optimal.

a) Penutur yang menggunakan monitor secara berlebihan

  Pernahkan Anda menyaksikan seorang pembicara di televisi atau dalam seminar, simposium, atau diskusi, yang ketika berbicara sangat berhati-hati, sangat cermat, takut berbuat kesalahan baik dari sudut isi maupun dari sudut bentuk bahasa? Mungkin Anda pernah menyaksikan Pembina bahasa Indonesia di televisi, Prof. Dr. Anton M. Moeliono. Kalau memberikan penyuluhan bahasa Indonesia di TV, Pak Anton, demikian nama panggilannya, begitu cermat dalam berbahasa, begitu berhati-hati dalam memilih bentuk kata, ucapan, maupun kalimatnya. Ia berusaha untuk tidak membuat kesalahan dalam Pak Murdiono kalau berbicara di televisi sangat pelan, sangat berhati-hati. Terkesan dia ingin supaya tidak ada kesalahan dalam hal isi maupun kalimat yang disampaikannya. Tampak pembicaraannya tersendat-sendat dan sering ada jeda dengan menggunakan jeda banyak menggunakan monitornya.

  Penutur tipe ini selalu mengadakan pemantauan setiap saat. Ia mengecek secara taat asas hasil tuturannya dengan pengetahuan yang sangat disadarinya tentang kaidah bahasa. Akibatnya penutur jenis itu akan berbicara dengan ragu-ragu, sering berhenti di tengah pembicaraan, mementingkan pembetulan dan tidak dapat berbicara secara lancar. Penyebab utama penutur mengadakan pemonitoran secara berlebihan itu ialah faktor sejarah pajanan bahasa kedua, serta faktor kepribadian penutur.

  Dalam sejarah pajanan bahasa kedua, penutur yang mengadakan pemantauan secara berlebihan itu bergantung sekali pada pengajaran tata bahasa. Ia tidak memperoleh kesempatan cukup banyak untuk memperoleh bahasa kedua. Ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali menggantungkan dirinya pada belajar. Saya masih ingat benar, saya belajar bahasa Inggris dalam situasi prembelajaran yang masih mengandalkan pada metode tata bahasa terjemahan. Tata bahasa diajarkan secara ketat oleh guru saya. Tata bahasa merupakan sentral pengajaran yang diberikan guru saya. Apa yang terjadi pada saya? Ketika saya mau berbicara bahasa Inggris, maka saya berpikir dahulu, saya menggunakan monitor saya dulu secara berlebihan untuk mengecek apakah ucapan atau tata bahasa, atau pilihan kata saya sudah tepat atau belum. Akhirnya saya berbicara terbata-bata tidak lancar sama sekali.

  Dipandang dari sudut kepribadian, penutur yang menggunakan monitornya secara berlebihan itu biasanya kurang percaya diri akan kemampuan dirinya sendiri untuk belajar bahasa kedua. Ia hanya merasa aman jika mengacu pada monitornya agar yakin benar-benar. Ketika kami mendapatkan tugas studi banding ke Universitas London, kami mempunyai teman yang sama sekali tidak percaya diri akan kemampuannya berbahasa Inggris. Ia serba ragu, serba takut untuk berbicara. Ia memang termasuk orang yang merasa rendah diri. Kepercayaan dirinya rendah. Pada setiap kesempatan dialog dengan mitra dosen dari Universitas London, ia hampir-hampir tak berbicara. Ketika dia terpaksa bata, dan dipenuhi dengan jeda atau kesenyapan yang agak lama. Orang yang tidak percaya diri atau kurang percaya diri pasti akan sangat banyak menggunakan monitornya dalam berbahasa.

b) Penutur yang sangat jarang menggunakan monitornya Penutur semacam itu tidak memiliki keberanian untuk menggunakan monitornya.

  Berarti, ia sebenarnya tidak pernah belajar. Jika pernah, ia cenderung tidak menggunakan pengetahuan sadarnya meskipun kondisi memungkinkan. Orang semacam itu tidak dapat dipengaruhi oleh pembetulan kesalahan dan hanya dapat membetulkan kesalahan dengan perasaan.

  Ada kisah yang sangat menarik tentang teman saya ketika kami melakukan studi banding ke Universitas London. Teman saya itu kalau saya boleh menilai sebenarnya kemampuan berbahasa Inggrisnya pas-pasan. Tetapi, ia begitu percaya diri (memang ia mempunyai jabatan yang strategis di universitasnya). Tata bahasa, ucapan, serta pilihan katanya ketika berbahasa Inggris benar-benar payah. Intonasinya adalah intonasi bahasa Jawa yang “medhok” sekali; dan tata bahasanya amburadul. Tetapi, ia selalu tampil pertama untuk berbicara, serta mengabaikan sama sekali bentuk tata bahasa yang digunakannya. Ketika saya tanyakan kepadanya rumusnya, ia menjawab enteng, “Ngapain harus takut ngomong sama bule-bule itu? Kita bukan bangsa tempe. Kita harus

  

tunjukkan kepada mereka bahwa kita tidak kalah pinter sama mereka. Kita bisa bicara

  bahasa mereka. Tidak penting tata bahasa itu. Yang penting adalah mereka paham apa yang kita omongkan. Yang penting adalah komunikatif. Mereka juga ngerti bahwa kita bukan Inggris. Jadi mereka juga mafhum kalau Inggris kita itu tidak sebaik mereka.” Begitu ia menjawab pertanyaan saya tanpa memberikan kesempatan kepada saya untuk menginterupsinya. Itu juga menunjukkan bahwa ia memang sangat percaya diri dan ketika berbicara dalam bahasa Indonesia pun ia hampir-hampir tidak menggunakan monitornya sama sekali. Perhatikan pilihan kata dan tata bahasa Indonesianya. Banyak yang tidak beres. Tetapi, ia memang tidak peduli pada bentuk, ia lebih peduli pada makna. Yang penting komunikatif, katanya.

c) Penutur yang menggunakan monitor secara optimal

  Penutur ini menggunakan monitornya secara optimal, yakni menggunakan monitor manakala dibutuhkan dan apabila tidak mengganggu komunikasi. Dalam dirasakan akan mengganggu komunikasi. Penutur semacam ini dapat menggunakan kompetensi yang telah dipelajarinya sebagai suplemen pada kompetensi pemerolehannya. Jika dugaan adanya monitor itu benar, maka pemerolehan bahasa itu akan menjadi penting atau sentral sedangkan belajar bahasa itu merupakan bagian periferal. Oleh sebab itu, yang penting ialah menggalakkan pemerolehan bahasa dan bukan belajar bahasa.

4. Rangkuman

  Belajar bahasa terjadi dalam alam pikiran pembelajar. Di situlah struktur mental atau mekanisme proses dan mengorganisasikan bahasa itu dilakukan. Ada tiga faktor yang memainkan peranan penting dalam pembelajaran bahasa, yakni filter afektif, organisator, dan monitor.

  Filter afektif menjadi pintu gerbang pertama yang harus dilewati oleh pemrosesan belajar bahasa di dalam pikiran. Filter afektif itu menyaring semua masukan bahasa yang bekerja atas dasar faktor afektif, yakni motif pembelajar, sikap pembelajar, dan keadaan emosi pembelajar. Ada tiga jenis motivasi yang mempengaruhi proses penyaringan masukan pembelajaran bahasa, yakni motivasi integratif, motivasi instrumental, dan motif indentifikasi kelompok sosial. Motivasi integratif adalah keinginan untuk berperan serta di dalam kehidupan masyarakat yang menggunakan bahasa yang dipelajari pembelajar. Motivasi instrumental adalah keinginan untuk menggunakan bahasa karena alasan praktis, misalnya, memperoleh pekerjaan. Motif identifikasi kelompok adalah keinginan untuk menguasai bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial tertentu karena pembelajar ingin mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian anggota masyarakat itu. Keadaan emosi pembelajar juga merupakan bagian dari filter afektif. Penelitian menunjukkan bahwa pembelajar yang tidak cemas, yang lebih santai akan memperoleh kemajuan yang baik dalam belajar bahasa.

  Organisator merupakan faktor yang bertanggung jawab atas pengorganisasian tercermin dalam tiga aspek performansi verbal pembelajar, yakni (a) konstruksi transisional yang digunakan pembelajar sebelum struktur itu dikuasai benar-benar; (b) kesalahan yang secara teratur dan bersistem yang dilakukan pembelajar; (c) urutan umum

  Monitor bertanggung jawab untuk pemrosesan bahasa secara sadar. Pembelajar dapat menggunakan pengetahuan kebahasaan yang didapatnya melalui pemonitoran untuk memformulasikan, membetulkan, atau menyunting secara sadar tuturannya atau tulisannya. Derajat penggunaan monitor bergantung pada sejumlah faktor. Faktor pertama, umur pembelajar atau tataran perkembangan koginitifnya. Pemonitoran lebih mudah dikerjakan ketika pembelajar telah mencapai tahap operasi formal, yakni ketika pembelajar dapat memanipulasi hubungan abstrak antara gagasan-gagasan. Faktor kedua, tugas verbal yang dituntut dari pembelajar akan menentukan derajat pemonitoran. Tugas yang memfokuskan pada bentuk kebahasaan akan banyak melibatkan monitor. Faktor ketiga penentu derajat pemonitoran adalah kepribadian pembelajar. Pembelajar yang merasa kurang aman, sadar diri, dan takut membuat kesalahan cenderung lebih banyak menggunakan monitornya. Dalam hal penggunaan monitor ini, pembelajar dapat dikategorikan menjadi tiga tipe, yakni (a) pembelajar yang menggunakan monitornya secara berlebihan, (b) pembelajar yang hampir tidak menggunakan monitornya, dan (c) pembelajar yang menggunakan monitornya secara optimal.

  Bukti penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan dalam menguasai keterampilan komunikatif dalam bahasa yang dipelajari seseorang terutama bergantung pada proses penyaringan dan proses pengorganisasian dan bukan pada proses pemonitoran.

5. Pelatihan

  a. Dalam kelas, Anda menjumpai beberapa anak yang gagal dalam performansi menulisnya. Kemampuan menulis surat, misalnya, baik surat dinas, maupun surat dagang ternyata tidak baik. Diskusikan dengan teman Anda, faktor yang mungkin menjadi penyebab kegagalan siswa tersebut dalam menulis. Hubungkan dengan proses internal belajar bahasa.

  b. Seorang siswa SMP yang berusia tiga belas tahun mempunyai latar belakang becak, dan ibunya pembantu rumah tangga sebuah keluarga kaya di daerahnya. Motivasi apa yang ada pada anak itu untuk belajar bahasa Inggris? Jelaskan!

  c. Jika seorang menulis tata bahasa Indonesia, misalnya, haruskah ia penutur yang

  d. Sebuah laporan penelitian menyatakan bahwa siswa yang dihipnotis, performansinya dalam lafal bahasa Inggris lebih baik. Dapatkah hal itu dihubungkan dengan cara kerja filter afektif, organisator, atau monitor?

  e. Mengapa, misalnya, seorang pembicara berbicara sangat lancar, tanpa tersendat- sendat, meskipun banyak kesalahan lafal, bentuk kata, pilihan kata, maupun struktur kalimatnya? Faktor apa sebagai penentunya?