BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Perbedaan Tensile Bond Strength pada Resin Komposit Nanohybrid Menggunakan Sistem Adhesif Total-Etch dan Self-Etch pada Restorasi Klas I (Penelitian In Vitro)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Resin komposit pertama kali diperkenalkan di bidang kedokteran gigi untuk

  meminimalisasi kekurangan resin akrilik yang digunakan sebagai pengganti semen silikat (satu-satunya bahan estetik yang tersedia) pada tahun 1940. Pada tahun 1955, Buonocore menggunakan orthophosporic acid untuk meningkatkan adhesi antara resin akrilik dengan permukaan enamel.Pada tahun 1962, Bowen mengembangkan monomer Bis-GMA untukmeningkatkan sifat fisis resin akrilik. Resin ini diaktivasi secara kimia dan membutuhkan pasta yang harus dicampur dengan katalis. Pada tahun 1970 resin komposit yang diaktivasi oleh radiasi elektromagnetik dikembangkan.Pada awalnya cahaya yang digunakan berasal dari sinar ultraviolet (365 nm), tetapi polimerisasi yang dihasilkan kurang baik dan dapat menimbulkan efek samping iatrogenik. Hal ini menyebabkan penggunaan sumber cahaya visible

  16 light (427-491 nm) masih terus dikembangkan hingga saat ini.

2.1 Resin Komposit Nanohybrid

  Salah satu jenis bahan restorasi berukuran nano yang tersedia saat ini adalah

  17,18

  resin komposit nanohybrid. Resin komposit nanohybrid memadukan partikel berukuran nano dengan partikel bahan pengisi yang lebih konvensional. Teknologi bahan pengisi dengan partikel nano telah banyak meningkatkan sifat fisis, mekanis,

  17,18

  dan estetis dari resin komposit. Compressive strength dan diametral strength resin komposit nanohybrid setara atau lebih tinggi bila dibandingkan komposit lain (hybrid, microhybrid, dan microfilled).Partikel nano terdiri dari dua bentuk: single

  17 nanomer dan nanocluster (Gambar 1).

  17 Gambar 1. Bentuk partikel nano Single nanomer adalah partikel individu yang pada umumnya berbentuk bulat.

  Ukuran bahan pengisi berukuran nano ini berkisar antara 5-75 nm dibandingkan dengan ukuran partikel bahan pengisi yang umumnya sebesar 1 µ m. Nanocluster merupakan kumpulan dari single nanomer yang memiliki ukuran berkisar antara 2-20

  19 nm.

  Pengenalan akan partikel berukuran nano ini meningkatkan beban dari bahan pengisi yang pada akhirnya dapat meningkatkan aplikasi klinis yang lebih baik meliputi: meningkatkan kemampuan polis, meningkatkan resistensi terhadap pemakaian, serta meningkatkan resistensi terhadap fraktur. Konsentrasi dari partikel tergantung dari viskositas. Partikel bahan pengisi dapat mencapai 69% volume dan 84% berat, menyebabkan penyusutan selama polimerisasi berkurang. Bahan coupling

  19 yang paling banyak digunakan adalah organosilane.

  Farid dkk, pada tahun 2004 menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara immediate bond strength dan delayed bond strength pada resin

  20

  komposit nanohybrid. Menurut penelitian Bulem dkk, pada tahun 2006, bahwa nilai

  

compressive strength dan diametral tensile strength resin komposit nanohybrid, resin

  komposit packable, organically-modified ceramic, lebih besar daripada bahan lainnya

  21 (amalgam, dual-cure adhesive core, dan silver-reinforced glass ionomer cement).

2.1.1 Komposisi Resin Komposit Nanohybrid

  Resin komposit nanohybrid terdiri dari ukuran partikel bahan pengisi yang berbeda-beda. Ukuran partikel yang bervariasi menyebabkan distribusi bahan pengisi yang homogen di dalam matriks, karena bahan pengisi berukuran nano mampu mengisi jarak antara partikel-partikel yang besar dengan sempurna dan dapat membantu menghasilkan resin komposit dengan muatan bahan pengisi yang dapat dibandingkan dengan komposit hibrid konvensional. Resin komposit nanohybrid memadukan sifat baik dari resin komposit makrofil (seperti sifat fisik dan mekanis yang sangat baik) dengan resin komposit mikrofil (kualitas finishing dan polishing yang memuaskan). Dengan demikian, komposit ini dapat direkomendasikan sebagai bahan restorasi universal untuk gigi anterior dan posterior.Jenis matriks dari komposit ini masih terdiri dari monomer Bis-GMA konvensional yang dikembangkan oleh Bowen, meskipun jenis monomer yang baru telah diperkenalkan belakangan ini, misalnya dimer acid based dimethacrylate monomer dan urethane monomer yang khusus.Struktur inti dari monomer yang berbasis dimer acid ini disusun oleh struktur alifatik linear dan siklik.Dimer acid memiliki arti golongan dari asam karboksilat sikloalifatik yang merupakan dibasic acid dengan berat molekul yang tinggi, berupa cairan, dan dapat dipolimerisasi secara langsung dengan alkohol dan polyol untuk

  22 membentuk polyester.

2.1.2 Kelebihan dan Kekurangan Resin Komposit Nanohybrid

  Kelebihan dari resin komposit nanohybrid yaitu: 1.

  Preparasi gigi yang dibutuhkan minimal, mengingat sifat adhesif yang mengijinkan adanya penambahan bahan pada area yang mengalami defek tanpa perlu preparasi tambahan.

2. Bahan restorasi yangdiproses di laboratorium berpotensi menghasilkan restorasi yang tahan lama.

  3. Mengingat restorasi resin komposit nanohybrid dapat diselesaikan dalam satu kali kunjungan, pasien hanya membutuhkan satu kali anestesi. Hal ini dapat mempersingkat waktu dan mengurangi ketidaknyamanan bila harus dilakukan sementasi pada hari yang berbeda.

  4. Resin komposit nanohybrid dapat dipolis dengan sangat baik dan dapat bertahan selama bertahun-tahun. Hal ini akan menjamin estetis yang optimum yang menyerupai gigi asli dengan akumulasi plak minimal. Kilau dari bahan ini dapat ditingkatkan dengan menyikat gigi, disebut juga

  “self-polishing effect.” 5.

  Penyesuaian warna mudah karena tampilan resin komposit nanohybrid yang alami memaksimalkan nilai estetis bahan. Komposit ini dapat menyatu dengan

  2 baik pada gigi yang direstorasi.

  Sampai saat ini resin komposit nanohybrid merupakan bahan tambalan yang baik bila dilihat dari segi estetis, sifat fisis, sifat mekanis, maupun ketahanannya. Hanya saja, bila dibandingkan dengan resin komposit nanofilled yang semua partikel bahan pengisinya berukuran sama, sifat fisis resin komposit nanohybrid masih berada

  1 di bawah resin komposit nanofilled.

2.2Polimerisasi Resin Komposit

  Sejak diperkenalkan pertama kali pada sekitar tahun 1960, resin komposit terus mengalami perkembangan pada tiap aspek, termasuk estetik, ketahanan pemakaian, dan teknik manipulasi.Namun, pengerutan selama polimerisasi tetap

  23

  menjadi masalah utama. Polimerisasi komposit dapat dibagi menjadi fase pre gel dan post gel.Pada fase pre gel, spesimen yang reaktif mampu untuk kompensasi volume pengerutan tanpa menghasilkan stres internal dan stres interfasial dengan jumah yang signifikan.Setelah proses gelation (post gel), pembentukkan jaringan polimer semi rigid menghalangi deformasi plastis.Ketika derajat konversi mencapai 10-20%, sudah cukup untuk membentuk gel. Sebagai konsekuensinya, pengerutan polimerisasi terus berlanjut dihubungkan dengan perkembangan modulus elastisitas,

  3 sehingga menghasilkan stres pada bahan restorasi.

  Polimerisasi resin komposit dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1.

  Resin Komposit Aktivasi Kimia Pada awalnya, polimerisasi resin komposit terjadi dengan mencampurkan dua pasta. Salah satu pasta mengandung aktivator, misalnya amina tersier, yang digunakan untuk memisahkan inisiator, biasanya benzoyl peroxide, yang merupakan

  24

  kandungan dari pasta yang lainnya. Resin komposit aktivasi kimia didasarkan pada

  25 polimerisasi radikal yang diinisiasi oleh proses dekomposisi benzoyl peroxide.

2. Resin Komposit Aktivasi Sinar

  Resin komposit aktivasi sinar merupakan bahan restorasi yang paling dominan baik untuk gigi anterior maupun posterior. Pada resin komposit ini menggunakan

  24

camphorquinone sebagai inisiator. Komposit aktivasi sinar ini mengijinkan dokter

  gigi untuk secara aktif menginisiasi polimerisasi sehingga lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan resin komposit aktivasi kimia. Lebih jauh lagi, teknik inkremental yang dilakukan untuk mengurangi pengerutan selama polimerisasi

  26 menjadi dapat dilakukan pada kavitas yang besar.

  Penyusutan selama polimerisasi dapat mempengaruhi kerapatan bagian tepi Hal ini dapat dilihat pada gambar 2, dimana setelah polimerisasi akan terbentuk gap yang dapat menyebabkan kurangnya kerapatan bagian tepi.Besarnya kontraksi yang terjadi bergantung pada ketebalan bahan yang digunakan, ukuran kavitas, serta teknik aplikasinya secara klinis.Sistem inkremental, yang umumnya digunakan pada resin komposit aktivasi kimia, bisa digunakan untuk membatasi kerusakan yang diakibatkan oleh penyusutan. Masalah lain yang dapat ditimbulkan oleh penyusutan

  19 adalah stres pada permukaan gigi.

  A B Gambar 2.A. Gigi yang baru direstorasi, sebelum polimerisasi,

  19 B. Pembentukkan marginal gap setelah restorasi.

  Akibat adanya kontraksi polimerisasi, perbedaan koefisien termal, dan perlekatan yang inadekuat antara bahan restorasi dan permukaan gigi, dapat terjadi celah mikro antara resin komposit dan permukaan gigi yg pada akhirnya menyebabkan kebocoran mikro.Kebocoran mikro adalah penetrasi mikroorganisme dan cairan rongga mulut ke dalam pulpa. Manifestasi klinis dari kebocoran mikro adalah diskolorisasi marginal, nyeri, berkembangnya karies sekunder, dan rusaknya

  27 kompleks dentin-pulpa.

2.3Sistem Adhesif

2.3.1 Klasifikasi Sistem Adhesif 1.

  Sistem Adhesif Total-Etch Sistem adhesif yang berkembang sekarang ini umumnya terdiri dari monomer fungsional, monomer berbasis resin, inisiator, pelarut, inhibitor, dan bahan pengisi anorganik. Monomer resin adalah penting karena polimerisasinya menghasilkan cross-linked matrix yang menghasilkan kekuatan mekanis pada adhesif.

  Pertimbangan pemilihan monomer resin mempengaruhi sifat dan daya tahan lapisan

  10 adhesif di dalam rongga mulut.

  Monomer hidrofilik 2-hydroxy-ethyl methacrylate (HEMA) paling umum digunakan dalam adhesif.Adhesif yang mengandung HEMA dapat meningkatkan kekuatan perlekatan pada dentin yang mengalami demineralisasi.HEMA berfungsi sebagai agen yang dapat membasahi dan sebagai pelarut.Sifat ini dapat meningkatkan stabilitas bahan adhesif yang mengandung komponen hidrofilik dan hidrofobik dan mempertahankan bahan-bahan di dalam larutan tanpa harus mengalami fase separasi. Sifat hidrofilik HEMA menyebabkan penyerapan air dan pada akhirnya akan menyebabkan degradasi bahan adhesif di waktu yang akan datang. Ketika konsentrasi HEMA menurun di bawah level kritis, akan terjadi fase separasi/pemisahan antara air dan monomer adhesif, dan dibutuhkan udara yang cukup kuat untuk menghilangkan droplet yang mengandung air di dalam bahan adhesif. Konsentrasi HEMA yang optimal untuk mendapat perlekatan yang kuat di dalam bahan primer/adhesif adalah

  10 antara 30-40%, meskipun kegunaan HEMA masih kontroversial.

  Peningkatan konsentrasi komponen hidrofilik dibutuhkan dalam adhesif untuk meningkatkan kemampuan penetrasi pada bahan yang porus, terutama pada jaringan kolagen dari dentin yang mengalami demineralisasi.Air, etanol, dan aseton adalah pelarut yang umum digunakan dan harus terevaporasi dari bahan adhesif; jika tetap berada dalam bahan adhesif, permeabilitas lapisan adhesif mungkin dapat meningkat. Jumlah pelarut yang terevaporasi dalam campuran resin adhesif sudah diteliti, dan hasilnya mengindikasikan bahwa waktu yang ditetapkan pabrik terlalu singkat untuk menghilangkan setengah dari pelarut. Setelah polimerisasi dari adhesif, sisa -sisa pelarut digantikan oleh air. Untuk mengoptimalkan eliminasi pelarut organik dan air, dibutuhkan pengeringan yang lebih lama dan sebaiknya waktu pengaplikasian juga

  10 lebih lama.

  Air adalah pelarut senyawa organik yang buruk, sehingga pelarut sekunder seperti etanol atau aseton sebaiknya ditambahkan pada bahan adhesif. Karena tekanan uap air dari adhesif berbasis air lebih rendah, aplikasi sebaiknya dilakukan dengan cara digosok untuk membantu difusi monomer dan mendapatkan hasil yang baik secara klinis. Bahan yang berbasis aseton dapat bekerja dengan baik pada dentin yang lembab tapi dapat menjadi buruk apabila dilakukan pengeringan yang berlebihan pada permukaan dentin.Sebaliknya, bahan yang berbasis air tidak terlalu sensitif pada suasana lembab dari dentin tetapi membutuhkan waktu evaporasi pelarut yang lebih lama karena air memiliki tekanan uap air yang rendah.Aseton memadukan komponen hidrofobik dan hidrofilik untuk mencegah fase separasi. Bagaimanapun, penguapan yang tinggi dapat menyebabkan menurunnya usia penyimpanan adhesif berbasis aseton akibat evaporasi aseton selama pemakaian ulang di dalam botol. Namum beberapa penelitian (meskipun masih sedikit) telah mempelajari alternatif pelarut

  10 sepertitert-butanol (2-methyl-2-propanol).

  Sistem adhesif total-etch dapat diklasifikasikan menjadi:  Three-step total-etch adhesive Ciri dari sistem ini adalah aplikasi bahan etsa, primer, dan bonding yang berada dalam larutan terpisah. Gel asam diaplikasikan pada enamel dan dentin untuk membuang smear layer dan mendemineralisasi kristal hidroksiapatit di permukaan.Hal ini menyebabkan terpaparnya serabut-serabut kolagen. Pembentukkan lapisan hibrid yang tebal terjadi akibat keterlibatan mikromekanis monomer resin

  28 dengan dentin yang sudah dietsa.

   Two-step total-etch adhesive Ciri dari sistem ini adalah kombinasi bahan primer dan bonding dalam satu botol. Untuk menghasilkan perlekatan yang optimal, etsa pada permukaan enamel

  28 dan dentin sangat diperlukan.

  Pada dentin, air dibutuhkan untuk mencegah runtuhnya serabut kolagen untuk pembentukkan lapisan hibrid yang sesuai. Terdapat dua teknik yang dapat dilakukan untuk memperoleh hibridisasi yang adekuat; teknikdry-bonding dan wet-bonding, dimana yang membedakan kedua teknik ini adalah pelarut yang digunakan pada bahan primer/adhesif. Dengan sistem total-etch, monomer primer hidrofilik dilarutkan pada suatu pelarut yang mudah menguap, seperti aseton dan etanol, kemudian pelarut primer dievaporasi dengan gentle air-drying, menyisakan monomer

  28 primer yang aktif.

  Saat mengaplikasikan teknik dry-bonding, substrat dikeringkan dengan udara.Jaringan kolagen pada dentin yang terdemineralisasi runtuh bersamaan dengan hilangnya jarak interfibrillar antara serabut kolagen yang terpapar. Sistem adhesif yang mengandung primer berbasis air terhidrasi kembali dan, oleh karena itu,

  28 menambah jaringan kolagen dentin yang runtuh.

  Sebagai alternatif, permukaan dentin yang telah dietsa dapat dijaga kelembabannya dengan teknik wet-bonding, diperkenalkan oleh Kanca dan Gwinnett pada 1992. Teknik ini cocok untuk sistem adhesif total-etch yang menggunakan bahan adhesif berbahan aseton. Hal ini dapat meningkatkan perlekatan resin dengan dentin dan mengurangi terjadinya sensitivitas pasca perawatan. Bagaimanapun, besarnya tingkat kebasahan pemukaan gigi yang dibutuhkan untuk mempertahankan

  28 integritas kolagen tanpa mempengaruhi kekuatan perlekatan sulit dilakukan. Gambar 3.Two-step total-etch adhesive. A. Etsa asam untuk membuang smearlayer/smearplug, B. Aplikasi

  28

  bahanadhesif 2. Sistem Adhesif Self-Etch

  Sistem ini merupakan sistem adhesif terbaru, memerlukan langkah yang sederhana, serta waktu yang dibutuhkan saat aplikasi klinis juga lebih singkat. Sistem

  

self-etch tidak membutuhkan etsa yang terpisah, karena adhesif ini berisi monomer

  fungsional asam yang bekerja sebagai etsa dan primer sekaligus untuk perlekatan ke struktur gigi. Sistem self-etch lebih mudah digunakan dan aplikasinya tidak rumit, dengan demikian akan menghasilkan hasil yang memuaskan saat digunakan secara klinis. Monomer fungsional asam dalam sistem adhesif self-etch melarutkan smear

  layer dan mendemineralisasi substrat gigi di bawahnya untuk membentuk zona

  interdifusi yang tipis. Sistem adhesif self-etch mendemineralisasi sebagian dentin dan menyebabkan interaksi kimia dengan kristal hidroksiapatit, sehingga dapat meningkatkan kemampuan perlekatan dalam jangka waktu yang lama. Karena tidak ada korelasi antara ketebalan lapisan hibrid dengan kekuatan perlekatan, keberadaan lapisan hibrid yang tipis tidak mempengaruhi kekuatan perlekatan ketika monomer

  10 fungsional asam menyebabkan demineralisasi dentin. Sistem adhesif self-etch telah terbukti tidak membutuhkan teknik yang rumit dan menghasilkan aplikasi klinis yang baik. Keuntungan lain yang penting adalah

  10 rendahnya insidensi pasien mengalami sensitivitas pasca perawatan.

  Sistem adhesif self-etch dapat diklasifikasikan menurut pH nya, yaitu, strong (pH <1), intermediate (pH=1.5), dan mild (pH>2). Gambaran morfologi zona interaksi antara dentin dengan resin yang dihasilkan oleh sistem adhesif self-etch, tergantung pada kemampuan monomer fungsional asam untuk mendemineralisasi dentin. Strong self-etch adhesive (pH<1) melarutkan smear layer dengan sempurna dan membentuk lapisan transisi yang tebal. Gambaran morfologi interfasial yang dihasilkan sistem adhesif ini menyerupai yang dihasilkan oleh sistem adhesif total-

  etch.Mild self-etch adhesive (pH sekitar 2) mendemineralisasi dentin di permukaan

  sampai kedalaman <1 µ m dan menghasilkan lapisan transisi yang lebih tipis. Mild

  

self-etch adhesive hanya mendemineralisasi sebagian dentin, meninggalkan kristal

  

10

hidroksiapatit di sekitar serat-serat kolagen.

  Sistem adhesif self-etch dapat diklasifikasikan menjadi:  Two-step self-etch adhesive Sistem ini membutuhkan aplikasi bahan primer sistem adhesif self-etch pada enamel dan dentin, diikuti dengan aplikasi bahan bonding yang hidrofobik. Efek dari sistem adhesif self-etch berasal dari monomer dimana asam karboksilat atau asam

  28 fosfat ditambahkan.

   One-step self-etch adhesive Bahan etsa, primer, dan bonding tersedia dalam satu botol. Sistem ini tidak

  28 memerlukan pencampuran, disebut juga all-in-one adhesives. Gambar 4.Sistem adhesif self-etching primer. A. Smear layer sebagai substrat. B.

  Aplikasi bahan primer (biru) akan berpenetrasi ke dalam smear layer dan

  29 smear plug.

  C. Aplikasi bahan adhesif dan penyinaran.

2.3.2 Perlekatan terhadap Enamel

  Perlekatan resin komposit terhadap enamel tergantung retensi mekanis resin

  

tag pada enamel yang termineralisasi. Tag ini akan menutup pori-pori yang berada di

  dalam dan di sekitar prisma enamel dengan mekanisme etsa asam, umumnya menggunakan asam fosfor. Viskositas yang rendah, resin tanpa bahan pengisi secara efektif akan masuk ke dalam pori-pori tersebut. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan etsa asam ini bervariasi, antara 15-30 detik, tergantung dari kondisi giginya. Misalnya, gigi dengan enamel yang mengalami fluorosis akan membutuhkan waktu lama dalam pengetsaannya. Hal penting lainnya adalah ketika membersihkan

  30 asam fosfor setelah pengetsaan, umumnya memerlukan waktu 10-20 detik.

  Karena komposit berbasis resin lebih kental dibandingkan resin akrilik tanpa bahan pengisi, bahan bonding enamel dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan membasahi enamel yang teretsa. Umumnya, kekentalan bahan ini berasal dari matriks resin yang dilarutkan dengan monomer lain untuk meningkatkan kemampuan membasahi. Bahan ini tidak mempunyai potensi perlekatan tetapi cenderung meningkatkan ikatan mekanis dengan membentuk resin tag yang optimum

  31 pada enamel.

  Gambar 5 merupakan tampilan dari ujung prisma enamel yang memiliki diameter 5 µm. Permukaan ini sangat sesuai untuk membentuk suatu perlekatan mikromekanis dengan bahan adhesif . Hal ini dikarenakan terdapat banyak undercut

  19 yang menjadi jalan masuk untuk resin untuk membentuk suatu mechanical lock. Gambar 5.Permukaan enameldilihat dengan scanning

  electron microscop (SEM) setelah pengetsaan

  dengan asam fosfor 37%, proses pencucian,

  19

  dan pengeringan(200x pembesaran)

  2.3.3Perlekatan terhadap Dentin

  Perlekatan terhadap dentin lebih sulit dibandingkan perlekatan terhadap enamel. Hal ini dikarenakan dentin merupakan jaringan yang hidup, memiliki kandungan air yang tinggi, dan berisi jaringan termineralisasi yang lebih sedikit

  31,20

  dibandingkan enamel. Dentin bersifat heterogen dan terdiri atas bahan anorganik (hidroksiapatit) 50% volume, bahan organik (khususnya kolagen tipe I) 30% volume, dan cairan 20% volume. Tubulus dengan saluran-saluran cabangnya juga dapat digunakan untuk meningkatkan retensi mekanis. Tantangan lain terhadap perlekatan termasuk adanya lapisan pada permukaan dentin yang terpotong serta kemungkinan efek samping biologi yang disebabkan oleh berbagai bahan kimia terhadap pulpa.Untuk alasan-alasan tersebut perkembangan bahan bonding dentin menjadi

  30 terhambat dibandingkan dengan perkembangan bahan bonding enamel.

  2.3.4Smear Layer Smear layer adalah lapisan adheren, yang merupakan debris dari hasil

  preparasi gigi menggunakan hand instrument atau rotary instrument. Smear layer memiliki ukuran 1-2 µ m dan menutupi seluruh dentin bila dilihat menggunakan SEM.Pada orifisi tubulus dentin ditutup oleh debris tag, yang disebut juga smear

  

plug, dimana smear plug ini dapat masuk ke tubulus dentin hingga kedalaman 1-10

  32 µm.

  Komposisi smear layer hingga saat ini belum dapat diuraikan dengan baik. Namun, komposisismear layer diperkirakan sama dengan komposisi dentin yang berada dibawahnya. Smear layer dipercaya terdiri dari hidroksiapatit yang telah rusak/hancur serta kolagen yang sudah mengalami fragmentasi dan denaturasi.Smear

  32 layer dapat mengakibatkan perlekatan yang lemah terhadap dentin.

  Terdapat dua cara untuk mengatasi perlekatan yang kurang baik yang disebabkan oleh smear layer.Pertama, dengan membuang smear layer terlebih dahulu sebelum mengaplikasikan bahan bonding. Kedua, dengan menggunakan bahan

  32 bonding yang dapat berpenetrasi menembus smear layer.

2.3.5Hybrid Layer

  Untuk memperoleh perlekatan yang baik, diperlukan infiltrasi bahan primer dan/atau resin ke dalam dentin yang sudah didemineralisasi dengan asam sebelumnya.Selanjutnya diaktivasi baik secara kimiawi ataupun dengan cahaya, supaya dapat berpolimerisasi.Lapisan tipis ini, yang merupakan resin-infiltrated dentin, pertama kali diperkenalkan oleh Nakabayashi et al, pada tahun 1982, yang disebut

  11 hybrid layer. Lapisan ini merupakan gabungan dari dentin dan resin.

  Gambar 6.Hybrid layer membentuk adhesive interface, lapisan ini membentuk

  11

  ikatan yang menghubungkan jaringan gigi dan bahan restorasi

   Hybrid layer yang terbentuk pada sistem adhesif total-etch lebih tebal

  

6

  dibandingkan pada sistem adhesif self-etch. Hal ini disebabkan karena pengetsaan dengan asam fosfor pada sistem adhesif total-etch menyebabkan demineralisasi yang lebih besar, sehingga penetrasi bahan adhesif ke tubulus dentin semakin baik. Selanjutnya, bahan primer dan/atau resin akan berpenetrasi ke dalam tubulus dentin dan membentuk suatu hybrid layer(gambar 7).

  Resin Resin komposit komposit

  Bahan adhesif

  Hybrid layer

  Resin menembus

  smear plug

  Gambar 7. A. Hybrid layer pada total-etch system, B.Hybrid layer pada self-etch

  6 system Banyak yang berasumsi bahwa semakin tebal hybrid layer, semakin baik.

  Faktanya, hybrid layer yang dihasilkan oleh sistem adhesif total-etch, hanya memiliki sedikit keuntungan bila dihubungkan dengan kekuatan perlekatan. Pembentukkan

  

hybrid layer yang baik dilihat dari infiltrasi resin pada zona demineralisasi yang

  dihasilkan oleh pengetsaan. Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa proses hibridisasi yang efektif dinilai dari penetrasi hybrid layer secara sempurna ke dalam

  11 dentin yang telah terdemineralisasi, berapapun ketebalannya.

2.4 Kekuatan Perlekatan pada Kavitas Klas I

  Faktor-faktor yang mempengaruhi perlekatan bahan restorasi secara umum adalah tingkat kebasahan substrat, contact-angle yang rendah, dan kondisi substrat yang bersih.Tegangan permukaan bahan bonding harus lebih rendah dari permukaan enamel maupun dentin. Adanya kontaminasi dengan saliva maupun substansi lainnya dapat mempengaruhi energi permukaan substrat dan mengganggu proses pembasahan

  30 oleh bahan adhesif.

  Beberapa peneliti menunjukkan bahwa tingginya nilai faktor C berhubungan dengan rendahnya kekuatan perlekatan. Pada restorasi klas I memiliki faktor C tertinggi yaitu 5:1 (gambar 8). Ketika merestorasi kavitas dengan faktor C yang tinggi maka strespolimerisasi yang dihasilkan juga tinggi.Hal ini menyebabkan kekuatan perlekatan terhadap kavitas semakin lemah. Stres polimerisasi dipengaruhi oleh karakteristik resin komposit (misalnya jenis kandungan matriks), kandungan

  7 bahan pengisi, kecepatan polimerisasi, derajat konversi, serta modulus elastisitas.

  Gambar 8. Faktor C pada berbagai preparasi klas

  3

  restorasigigi Selama proses polimerisasi, aliran resin tidak mampu menyesuaikan tekanan penyusutan yang terjadi pada kavitas dengan faktor C yang tinggi. Hal ini akan menyebabkan degradasi bahanbonding pada satu atau lebih dinding kavitas. Dengan menggunakan sistem adhesif yang berbeda, diketahui bahwa kavitas dengan faktor C

  33 yang tinggi berpengaruh terhadap microtensile bond strength pada dentin.

2.5 Tensile Bond Strength

  Pemilihan sistem adhesif didasarkan pada kekuatan perlekatan yang dimilikinya, ketika dilakukan uji di laboratorium. Meskipun validitas suatu uji kekuatan perlekatan untuk menggambarkan keberhasilan klinis dari sistem adhesif masih dipertanyakan, bukti yang sudah ada menunjukkan bahwa keberhasilan klinis

  12

  dapat diprediksi melalui uji laboratorium yang tepat. Uji kekuatan perlekatan dilakukan sebagai alat skrining yang membantu untuk memperkirakan bagaimana

  34 keberhasilan suatu sistem adhesif bila digunakan secara klinis.

  Salah satu uji yang dapat dilakukan adalah uji kekuatan tarik perlekatan (tensile bond strength test).Pada uji ini, beban diberikan pada setiap sisi spesimen.Spesimen tersebut ditahan pada tempatnya oleh suatu activeorpassive

  

gripping methods.Active gripping method menggunakan lem atau penjepit untuk

  menahan spesimen, sedangkan pada passive gripping method, spesimen ditempatkan

  13 pada alat uji tanpa alat bantu seperti lem atau penjepit lainnya.

2.6 Kerangka Teori

  Resin komposit nanohybrid Restorasi klas I Stres polimerisasi Faktor C tertinggi

  Efek penyusutan selama polimerisasi tinggi Mengganggu perlekatan

  Upaya penanganan? Sistem adhesif yang stabil

  Total-etch adhesive system Self-etch adhesive system Three-step system Two-step system Two-step system One-step system Tensile bond strength

Dokumen yang terkait

Efektivitas Pemakaian Obat Kumur Non-Alkohol Setelah Menyikat Gigi Terhadap Akumulasi Plak pada Siswa SMA Negeri 11 Medan

0 0 14

Prediksi Panjang Mandibula Dewasa Dengan Menggunakan Usia Skeletal Vertebra Servikalis pada Anak Perempuan Usia 9-14 Tahun di Medan

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Kraniofasial - Prediksi Panjang Mandibula Dewasa Dengan Menggunakan Usia Skeletal Vertebra Servikalis pada Anak Perempuan Usia 9-14 Tahun di Medan

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sefalometri - Analisa Konveksitas Jaringan Lunak Wajah Menurut Subtelny Pada Mahasiswa India Tamil Malaysia FKG USU

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Resin Akrilik - Perubahan Warna pada Lempeng Resin Akrilik Polimerisasi Panas setelah Perendaman dalam Ekstrak Daun Jambu Biji 30%

0 0 18

Perubahan Warna pada Lempeng Resin Akrilik Polimerisasi Panas setelah Perendaman dalam Ekstrak Daun Jambu Biji 30%

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gigi Tiruan Sebagian Lepasan - Kondisi Periodontal pada Pasien Gigi Tiruan Sebagian Lepasan (GTSL) Akrilik yang Dibuat di Klinik Prostodonti FKG USU

0 2 13

Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Medan Maimun dan Medan Selayang

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Etiologi Trauma Gigi - Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Medan Maimun dan Medan Selayang

0 0 13

Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Medan Maimun dan Medan Selayang

0 0 12