BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Karakteristik Badan Hukum Rumah Sakit di Indonesia

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. ASPEK HUKUM PERUMAHSAKITAN 2.1.1. Sejarah Dalam sejarah kuno, kepercayaan dan pengobatan berhubungan sangat erat. Salah satu contoh institusi pengobatan tertua adalah kuil Mesir. Kuil Asclepius di Yunani juga dipercaya memberikan pengobatan kepada

  orang sakit, yang kemudian juga diadopsi bangsa Romawi sebagai kepercayaan. Kuil Romawi untuk Æsculapius dibangun pada tahun 291 SM (sebelum masehi) di tanah Tiber, Roma dengan ritus-ritus hampir sama

  1 dengan kepercayaan Yunani.

  Institusi yang spesifik untuk pengobatan pertama kali, ditemukan di India. Rumah sakit Brahmanti pertama kali didirikan di Sri Lanka pada tahun 431 SM, kemudian Raja Ashoka juga mendirikan 18 rumah sakit di Hindustan pada 230 SM dengan dilengkapi tenaga medis dan perawat yang dibiayai anggaran kerajaan. Rumah sakit pertama yang melibatkan pula konsep pengajaran pengobatan, dengan mahasiswa yang diberikan pengajaran oleh tenaga ahli, adalah Akademi Gundishapur di Kerajaan Persia.

  Bangsa Romawi menciptakan valetudinaria untuk pengobatan budak, Gladiator, dan prajurit sekitar 100 SM. Adopsi kepercayaan Kristiani turut mempengaruhi pelayanan medis di sana. Konsili Nicea I pada tahun 325 memerintahkan pihak Gereja untuk juga memberikan pelayanan kepada orang-orang miskin, sakit, janda, dan musafir. Setiap satu katedral di setiap kota harus menyediakan satu pelayanan kesehatan. Salah satu yang pertama kali mendirikan adalah Saint Sampson di Konstantinopel dan Basil, Bishop of Caesarea. Bangunan ini berhubungan langsung dengan bagunan gereja,

  2 dan disediakan pula tempat terpisah untuk penderita lepra.

  Rumah sakit abad pertengahan di Eropa juga mengikuti pola tersebut. Di setiap tempat peribadahan biasanya terdapat pelayanan kesehatan oleh pendeta dan suster (Frase Perancis untuk rumah sakit adalah hôtel-Dieu, yang berarti "hostel of God."). Namun beberapa di antaranya bisa pula terpisah dari tempat peribadahan. Ditemukan pula rumah sakit yang terspesialisasi untuk penderita lepra, kaum miskin, atau musafir.

  Rumah sakit dalam sejarah Islam memperkenalkan standar pengobatan yang tinggi pada abad 8 hingga 12. Rumah sakit pertama dibangun pada abad 9 hingga 10 mempekerjakan 25 staf pengobatan dan perlakuan pengobatan berbeda untuk penyakit yang berbeda pula. Rumah sakit yang didanai pemerintah muncul pula dalam sejarah Tiongkok pada awal abad 10.

  Perubahan rumah sakit menjadi lebih sekular di Eropa terjadi pada abad 16 hingga 17. Tetapi baru pada abad 18 rumah sakit modern pertama dibangun dengan hanya menyediakan pelayanan dan pembedahan medis. Inggris pertama kali memperkenalkan konsep ini. Guy's Hospital didirikan di London pada 1724 atas permintaan seorang saudagar kaya Thomas Guy.

  Rumah sakit yang dibiayai swasta seperti ini kemudian menjamur di seluruh Inggris Raya. Di koloni Inggris di Amerika kemudian berdiri Pennsylvania

  

General Hospital di Philadelphia pada 1751. Setelah terkumpul sumbangan

£2,000. Di Eropa Daratan biasanya rumah sakit dibiayai dana publik.

  Namun secara umum pada pertengahan abad 19 hampir seluruh negara di Eropa dan Amerika Utara telah memiliki keberagaman rumah sakit.

  Sejarah perkembangan rumah sakit di Indonesia pertama sekali didirikan oleh VOC tahun 1626 dan kemudian juga oleh tentara Inggris pada zaman Raffles terutama ditujukan untuk melayani anggota militer beserta keluarganya secara gratis. Jika masyarakat pribumi memerlukan pertolongan, kepada mereka juga diberikan pelayanan gratis. Hal ini berlanjut dengan rumah sakit-rumah sakit yang didirikan oleh kelompok agama. Sikap karitatif ini juga diteruskan oleh rumah sakit CBZ

  

di Jakarta. Rumah sakit ini juga tidak memungut bayaran pada orang miskin dan gelandangan yang memerlukan pertolongan. pribumi bahwa pelayanan penyembuhan di rumah sakit adalah gratis. Mereka tidak mengetahui bahwa sejak zaman VOC, orang Eropa yang berobat di rumah sakit VOC (kecuali tentara dan keluarganya) ditarik bayaran termasuk pegawai VOC. Setelah kemerdekaan perumahsakitan di Indonesia berkembang pesat sehingga muncul berbagai macam Rumah Sakit baik milik swasta maupun milik pemerintah. Secara garis besar dapat dibedakan adanya dua kategori Rumah Sakit, yaitu Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b / MENKES / PER / II / 1998 mencantumkan pengertian tentang Rumah Sakit, Rumah Sakit Umum, dan Rumah Sakit Khusus, sebagai berikut:

  a) Rumah Sakit adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara merata, dengan mengutamakan upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit dalam suatu tatanan rujukan, serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian.

  b) Rumah Sakit Umum adalah rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat untuk semua jenis penyakit, mulai dari pelayanan kesehatan dasar sampai dengan pelayanan subspesialistis sesuai dengan kemampuannya.

  c) Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat untuk jenis penyakit tertentu atau berdasarkan

  2.1.2. Pengertian

  Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan rawat darurat (Permenkes No. 147 Tahun 2010). Rumah sakit menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Rumah Sakit seluruh Indonesia (PERSI) Bab I Pasal 1 adalah suatu lembaga dalam mata rantai Sistem Kesehatan Nasional yang mengemban tugas pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat. Rumah sakit adalah suatu saranan yang merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan yang menjalankan rawat inap, rawat jalan, dan rehabiitasi berikut segala penunjangnya.

  Menurut American Hospital Association, rumah sakit adalah suatu institusi yang fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan kepada pasien.

  Pelayanan tersebut merupakan diagnostik dan terapeutik untuk berbagai penyakit dan masalah kesehatan baik yang bersifat bedah maupun non

  3 bedah.

  2.1.3. Badan hukum

  Berdasarkan pengelolaan rumah sakit, bentuk badan hukum rumah sakit dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1)

  Yayasan

  Bentuk badan hukum yayasan mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Yayasan dan akte Yayasan dari masing-masing rumah sakit. Pada rumah sakit yang berbentuk Yayasan yang dimaksud yang mewakili pemilik adalah pengurus Yayasan. Oleh karena itu komposisi dan keangotaan agar mengacu sesuai peraturan yayasan tersebut. Sedangkan tanggung jawab selain mengacu kepada undang-undang Yayasan juga mengacu tanggung jawab pemilik atau yang mewakili.

  2) Perseroan Terbatas

  Acuan dari bentuk badan hukum perseroan terbatas mengacu pada Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1995 jo. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan akte perseroan terbatas dari masing-masing Rumah Sakit. Pada Rumah Sakit perseroan terbatas yang dimaksud pemilik atau yang mewakili adalah organisasi yang satu level di atas direktur rumah sakit yang lebih dikenal dengan sebutan “board of director”. Komposisi dan keanggotaan serta tugas dan tanggung jawab mengacu pada peraturan perseroan terbatas tersebut di atas.

2.1.4. Manajemen

  Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 29 ayat (1) menyatakan bahwa rumah sakit harus menyusun dan pelaksanaan perizinan rumah sakit hospital by laws (HBL) merupakan salah satu faktor yang harus dipenuhi. Pada hakikatnya hospital by laws mempunyai bidang tersendiri dan juga mempunyai fungsi penting di dalam mengadakan tata tertib dan kepastian hukum dan jalannya rumah sakit. Ia adalah “aturan main” (rules of the game) dari manajemen Rumah Sakit dalam melakukan fungsi dan tugasnya. Jika aturan dan disiplin manajemen sudah dibuat dengan baik dan juga dipatuhi, maka hospital by laws dapat merupakan alat untuk menjalankan program Mana jemen Risiko dan ‘Good

  Governance’ dengan baik dan berhasil. Kesemuanya ini tergantung kepada kemauan dan kepatuhan dari semua pihak-pihak yang terkait.

  Rumah Sakit adalah sebuah lembaga atau organisasi yang memiliki karakteristik khas, yaitu padat karya, padat modal, padat teknologi, dan padat profesi. Di dalam organisasi atau manajemen Rumah Sakit terdapat 3 (tiga) unsur kekuasaan atau pilar utama yang saling menunjang dalam operasional Rumah Sakit, yaitu:

  1) Pemilik (Governing Board);

  2) Pengelola;

  3) Pemberi pelayanan

  Ketiga pilar utama tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi serta tanggung jawab yang berbeda akan tetapi semua harus bersinergis dengan baik sehingga mencapai tujuan yang sama dalam menjalankan misi dari Rumah Sakit. Untuk dapat mengatur pembagian tugas pokok, fungsi, profesional yang disebut sebagai Statuta Rumah Sakit atau Hospital By-

  Laws . Ketiga pilar tersebut perlu diatur hubungan di antara ketiganya agar

  Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan dapat berjalan aman dan bermutu. Ketiga pilar utama tersebut harus bekerja sama secara integratif, saling mendukung, tidak saling mempengaruhi dan tidak saling menguasai. Yang secara jelas membedakan organisasi Rumah Sakit dengan organisasi perusahaan lainnya selain Rumah Sakit adalah pada organisasi perusahaan umumnya hanya memiliki 2 (dua) kekuasaan yaitu pemilik dan pengelola sedangkan pada organisasi Rumah Sakit terdiri dari 3 (tiga) pilar kekuasaan yaitu pemilik, pengelola, dan pemberi pelayanan (komite medik), sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya 3 (tiga) pilar utama dalam organisasi Rumah Sakit merupakan ciri khas organisasi Rumah Sakit yang membedakan dengan institusi atau organisasi lain.

2.1.5. Pendirian

  Persyaratan Izin Mendirikan Rumah Sakit menurut lampiran Permenkes Nomor 147 Tahun 2010, untuk memperoleh izin mendirikan, Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan yang meliputi: 1. Studi Kelayakan Rumah Sakit pada dasarnya adalah suatu awal kegiatan perencanaan rumah sakit secara fisik dan non fisik yang berisi tentang:

  1) Demografi, yang mempertimbangkan luas wilayah dan kepadatan penduduk, serta karakteristik penduduk yang meliputi umur, jenis kelamin dan status perkawinan);

  2) Sosio-ekonomi, yang mempertimbangkan kultur (kebudayaan), tingkat pendidikan, angkatan kerja, lapangan pekerjaan, pendapatan domestik rata-rata bruto;

  3) Morbiditas dan mortalitas, yang mempertimbangkan 10 penyakit utama (Rumah Sakit, Puskesmas & Rawat jalan, Rawat inap), angka kematian (GDR, NDR), angka persalinan, dan seterusnya;

  4) Sarana dan prasarana kesehatan yang mempertimbangkan jumlah, jenis dan kinerja layanan kesehatan, jumlah spesialisasi dan kualifikasi tenaga kesehatan, jumlah dan jenis layanan penunjang (canggih, sederhana dan seterusnya); dan

  5) Peraturan perundang-undangan yang mempertimbangkan kebijakan pengembangan wilayah pembangunan sektor non kesehatan, kebijakan sektor kesehatan dan perumahsakitan.

  b) Kajian kebutuhan sarana/fasilitas dan peralatan medik/non medik, dana dan tenaga yang dibutuhkan untuk layanan yang akan diberikan, meliputi: 1)

  Sarana dan fasilitas fisik yang mempertimbangkan rencana cakupan, jenis layanan dan fasilitas lain dengan mengacu dari kajian kebutuhan dan permintaan (program fungsi dan pogram ruang);

  2) Peralatan medik dan non medik yang mempertimbangkan perkiraan peralatan yang akan digunakan dalam kegiatan layanan;

  3) Tenaga / sumber daya manusia yang mempertimbangkan perkiraan kebutuhan tenaga dan kualifikasi; dan

  4) Pendanaan yang mempertimbangkan perkiraan kebutuhan dana investasi.

  c) Kajian kemampuan pembiayaan yang meliputi:

  1) Prakiraan pendapatan yang mempertimbangkan proyeksi pendapatan yang mengacu dari perkiraan jumlah kunjungan dan pengisian tempat tidur;

  2) Prakiraan biaya yang mempertimbangkan proyeksi biaya tetap dan biaya tidak tetap dengan mengacu pada perkiraan sumber daya manusia;

  3) Proyeksi Arus Kas (5 -10 tahun);dan

4) Proyeksi Laba/Rugi (5 – 10 tahun).

  2. Master plan adalah strategi pengembangan aset untuk sekurang-kurangnya sepuluh tahun kedepan dalam pemberian pelayanan kesehatan secara optimal yang meliputi identifikasi proyek perencanaan, demografis, tren masa depan, fasilitas yang ada, modal dan pembiayaan.

3. Status kepemilikan.

  Rumah Sakit dapat didirikan oleh: a) Pemerintah, harus berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari Instansi yang bertugas di bidang kesehatan dan instansi tertentu dengan pengelolaan

  Badan Layanan Umum;

  b) Pemerintah Daerah, harus berbentuk Lembaga Teknis Daerah dengan pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah, atau; c)

  Swasta, harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan: 1)

  Badan hukum dapat berbentuk Yayasan, Perseroan, perseroan terbatas, Perkumpulan dan Perusahaan Umum; 2)

  Badan hukum dalam rangka penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri harus mendapat rekomendasi dari instansi yang melaksanakan urusan penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri.

  4. Persyaratan pengolahan limbah meliputi Upaya Kesehatan Lingkungan (UKL), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dan atau Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dilaksanakan sesuai jenis dan klasifikasi Rumah Sakit sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

  5. Luas tanah untuk Rumah Sakit dengan bangunan tidak bertingkat, minimal 1½ (satu setengah) kali luas bangunan dan untuk bangunan bertingkat minimal 2 (dua) kali luas bangunan lantai dasar. Luas tanah dibuktikan dengan akta kepemilikan tanah yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. a) harus menggunakan bahasa Indonesia, dan b) tidak boleh menambahkan kata ”internasional”, ”kelas dunia”, ”world class”, ”global” dan/atau kata lain yang dapat menimbulkan penafsiran yang menyesatkan bagi masyarakat.

  7. Memiliki Izin undang-undang gangguan (HO), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Penggunaan Bangunan (IPB) dan Surat Izin Tempat Usaha (SITU) yang dikeluarkan oleh instansi berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.

  Persyaratan Izin Operasional Rumah Sakit: Untuk mendapatkan izin operasional RS harus memiliki persyaratan: 1.

  Memiliki izin mendirikan.

  2. Sarana prasarana Tersedia dan berfungsinya sarana dan prasarana pada rawat jalan, rawat inap, gawat darurat, operasi/bedah, tenaga kesehatan, radiologi, ruang laboratorium, ruang sterilisasi, ruang farmasi, ruang pendidikan dan latihan, ruang kantor dan administrasi, ruang ibadah, ruang tunggu, ruang penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit; ruang menyusui, ruang mekanik, ruang dapur, laundry, kamar jenazah, taman, pengolahan sampah, dan pelataran parkir yang mencukupi sesuai dengan jenis dan klasifikasinya.

  3. Peralatan

  a) Tersedia dan berfungsinya peralatan/perlengkapan medik dan non medik untuk penyelenggaraan pelayanan yang memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan laik pakai sesuai dengan jenis dan klasifikasinya.

  b) Memiliki izin pemanfaatan dari instansi berwenang sesuai ketentuan yang berlaku untuk peralatan tertentu, misalnya; penggunaan peralatan radiologi harus mendapatkan izin dari Bapeten.

  4. Sumberdaya Manusia Tersedianya tenaga medis, dan keperawatan yang purna waktu, tenaga kesehatan lain dan tenaga non kesehatan telah terpenuhi sesuai dengan jumlah, jenis dan klasifikasinya.

  5. Administrasi manajemen

  a) Memiliki organisasi paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau

  Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan keuangan. 1)

  Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.

  2) Tenaga struktural yang menduduki jabatan sebagai pimpinan harus berkewarganegaraan Indonesia.

  b) membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya.

  c) Memiliki dan menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws dan medical staf by laws).

2.2. ASPEK HUKUM YAYASAN 2.2.1. Sejarah

  Lembaga Yayasan sudah dikenal sejak zaman Hindia Belanda dan sudah dikenal banyak dalam masyarakat. Hal ini berlaku terus sampai Indonesia menjadi negara merdeka dan berdaulat. Karena bentuknya yang sudah melekat pada masyarakat luas di Indonesia, maka bentuk Yayasan tumbuh, hidup dan berkembang sehingga setiap kegiatan non profit yang

  4 dilembagakan akan memakai lembaga bentuk Yayasan.

  Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, kedudukan Yayasan sebagai badan hukum (rechtprsoon) sudah diakui, dan diberlakukan sebagai badan hukum, namun status Yayasan sebagai Badan Hukum dipandang masih lemah karena tunduk pada aturan- aturan yang bersumber dari kebiasaan dalam masyarakat atau yurisprudensi.

  Istilah Yayasan pada mulanya adalah terjemahan dari istilah“stichting” dalam bahasa Belanda dan “foundation” dalam bahasa

5 Inggris. Oleh karena belum adanya peraturan perundang-undangan yang

  mengatur secara khusus tentang Yayasan, maka dalam menjalankan 4 kegiatannya Yayasan-Yayasan tersebut menggunakan Kitab Undang-Undang

  Arie Kusumastuti dan Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia, Abadi, Jakarta, 2003, hal. 1. 5

  Hukum Perdata sebagai dasar pengaturannya antara lain yaitu Pasal 365,

  6 Pasal 900 dan Pasal 1680 KUH Perdata.

  Pasal 365 KUH Perdata menyebutkan bahwa dalam segala hal, bilamana Hakim harus mengangkat seorang wali, maka perwalian itu boleh diperintahkan kepada suatu perhimpunan berbadan hukum yang bertempat kedudukan disini pula, yang mana menurut anggaran dasarnya, akta-akta pendiriannya atau reglemen-reglemennya berusaha memelihara anak-anak belum dewasa untuk waktu yang lama.

  Sementara dalam Pasal 900 KUH Perdata menyebutkan bahwa tiap- tiap pemberian hibah dengan surat wasiat untuk keuntungan badan-badan amal, lembaga keagamaan, gereja-gereja atau rumah-rumah sakit, tak akan mempunyai akibatnya, melainkan kepada pengurus badan-badan tersebut, oleh Presiden atau oleh suatu penguasa yang ditunjuk Presiden telah diberi kekuasaan untuk menerimanya.

  Sedangkan Pasal 1680 KUH Perdata pun tidak jauh berbeda, yaitu menentukan tentang penghibahan yang dilakukan kepada lembaga-lembaga umum atau lembaga-lembaga keagamaan, tidak punya akibat kecuali ditegaskan melalui kewenangan yang diberikan oleh Presiden atau penguasa lainnya terhadap para pengurus lembaga tersebut. Dalam Pasal-Pasal KUH Perdata yang sudah disebutkan, tidak diatur secara lebih tegas mengenai definisi Yayasan, status Yayasan sebagai badan hukum atau bukan, bagaimana organ atau struktur organisasi Yayasan, sehingga Yayasan yang ada pada saat itu dianggap sebagai organisasi yang tertutup dan dikecualikan dari Undang-Undang terutama undang-undang perpajakan, bahkan ada juga yang menganggap bahwa Yayasan adalah salah satu alternatif badan usaha setelah Perseroan Terbatas (PT), CV dan Firma.

  Dengan ketidakpastian hukum ini Yayasan sering digunakan untuk menampung kekayaan para pendiri atau pihak lain. Bahkan yayasan sering dijadikan tempat untuk memperkaya para pengelola Yayasan. Sehingga, Yayasan tidak lagi bersifat nirlaba, sebab digunakan untuk usaha-usaha bisnis dan komersial dengan segala aspeknya. Dengan tidak adanya kepastian hukum ini, maka semakin berkembang dan bertumbuhanlah Yayasan-Yayasan di Indonesia dengan cepat, namun pertumbuhan Yayasan tidak diimbangi dengan adanya peraturan perundang-undangan Yayasan yang memadai, sehingga masing-masing pihak yang berkepentingan menafsirkan sendiri peraturan-peraturan yang ada sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka. Sejalan dengan hal tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang berkaitan dengan kegiatan Yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang tercantum dalam Anggaran Dasar, sengketa antara Pengurus dengan Pendiri atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa Yayasan digunakan untuk menampung kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain yang diperoleh dengan cara melawan hukum.

  Masalah tersebut belum dapat diselesaikan secara hukum karena belum ada hukum positif mengenai Yayasan sebagai landasan yuridis penyelesaiannya. Oleh karena itu, dalam rangka menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar Yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat, maka pada tanggal 6 Agustus Tahun 2001 dibentuklah Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang mulai berlaku 1 (satu) tahun kemudian terhitung sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 6 Agustus 2002, dan kemudian pada tanggal 4 Oktober 2004 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 disahkan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 ini tidak mengganti Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001. Perubahan hanya mengubah sebagian Pasal-Pasal dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001. Dinamika perkembangan peraturan tentang Yayasan yang cepat ini menunjukkan bahwa masalah Yayasan tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang, dimana undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai Yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.

  Tujuan dari Undang-Undang ini, memberikan pemisahan antara Yayasan sebagai pemegang saham dalam suatu badan usaha tersebut karena adanya penyertaan modal maksimal 25% dari kekayaan yayasan, agar tidak terjadi benturan kepentingan dan tumpang tindih kepentingan, terlebih bila

  7 terjadi masalah yang timbul jika ada larangan terhadap organ yayasan.

  Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan jelas menegaskan bahwa Yayasan harus bertujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Pada Pasal 3, Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 memperkenankan yayasan untuk melakukan kegiatan usaha ataupun mendirikan suatu badan usaha. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 menyebutkan : ” Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan atau ikut serta dalam suatu badan usaha.” Pada Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2004 ketentuan pada Pasal (3) ini tidak diubah tetapi penjelasan Pasal ini mempertegas bahwa yayasan tidak dapat digunakan sebagai wadah usaha. Dengan perkataan lain yayasan tidak dapat langsung melakukan kegiatan usaha, tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana yayasan mengikut sertakan kekayaannya.

  Pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 menyebutkan bahwa :” Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan.” Dari Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yayasan harus bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan, dimana yayasan boleh melakukan kegiatan usaha asalkan laba yang diperoleh dari hasil usaha tersebut dipergunakan dan diperuntukkan untuk tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Usaha yang memperoleh laba ini diperlukan agar Yayasan tidak tergantung selamanya pada bantuan dan sumbangan pihak lain.

  Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 200 jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 menyebutkan bahwa :”Kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan atau peraturan perundang- undangan yang berlaku.”

  Dalam penjelasan Pasal ini, dijelaskan bahwa cakupan kegiatan usaha yayasan menyangkut Hak Azasi Manusia, kesenian, olahraga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan.

  Dari penjelasan itu, jelas bahwa tujuan dari sebuah Yayasan adalah meningkatkan derajat hidup orang banyak atau mensejahterakan masyarakat.

  Mengentaskan kemiskinan, memajukan kesehatan, dan memajukan pendidikan merupakan kegiatan usaha yang harus menjadi prioritas bagi yayasan. Semua tujuan yayasan diharapkan berakhir pada aspek kepentingan umum kemanfaatan publik sebagaimana maksud dan tujuan

2.2.2. Pengertian

  Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, istilah Yayasan adalah badan atau organisasi yang bergerak di bidang sosial, keagamaan dan pendidikan yang bertujuan tidak mencari keuntungan. Menurut Blacks Law Dictionary, Yayasan adalah

  Permanent fund established and maintained by contribution for charitable, educational, religius, research or other benevolent purposes. In institution or association given to rendering financial aid to collages, school, hospital, and charities and generally supported by gifts for such purposes. The founding or building of a college or hospital. The incorporation or endowment of a college or hospital is the foundation; and he who endows it with land or other property is thefounder.

  Beberapa pakar hukum juga memberikan definisi tentang Yayasan diantaranya menurut Utrecht, yang di maksud dengan Yayasan ialah: “Tiap- tiap kekayaan yang tidak merupakan kekayaan orang atau kekayaan badan dan yang diberi tujuan tertentu.” Sementara menurut Paul Scholten, yang di maksud dengan Yayasan adalah: “Suatu badan hukum yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak. Pernyataan itu harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan tertentu, dengan penunjukan bagaimanakah

  8

  kekayaan itu diurus dan digunakan. Yayasan dalam bahasa Belanda disebut

  Stichting , sebagaimana terdapat dalam dalam Buku Ketiga KUH Perdata,

  8

  9

  dalam Pasal 285 ayat 1 menyebutkan bahwa:

  “Een stichting is een door rechts handeling in let leven geropean rechtspersoon, welke geen leden kent en be orgt met behulp van een da artoe bestemd vermogen een in de statuden vermeld doel te verwezenlijken” (Yayasan adalah badan hukum

  yang lahir karena suatu perbuatan hukum, yang tidak mempunyai anggota dan bertujuan untuk melaksanakan tujuan yang tertera dalam statistik yayasan dengan dana yang dibutuhkan untuk itu). Sementara menurut F.

  10 Emerson Andrews, yang di maksud Yayasan adalah:

  “A non governmental

  non profit organization having a principal fund of it’s own, managed by it’s trundes or director and established to maintain or aid social, educationnal, charitable, religius or other activities serving the common welfare

  .” Pengertian Yayasan menurut Pasal 1 ayat(1) dalam Undang-Undang

  Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan adalah: “Badan Hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.” Berdasarkan pengertian Yayasan ini, Yayasan diberikan batasan yang jelas dan diharapkan masyarakat dapat memahami bentuk dan tujuan pendirian Yayasan tersebut, sehingga tidak terjadi 9 kekeliruan persepsi tentang Yayasan dan tujuan diberikannya Yayasan yang

  Chatama Rasjid, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, Cetakan ke- 1, Bandung, Citra Ditya Bakti, 2001, hal. 6. 10 Hayati Soeroedjo, Status Hukum Yayasan Dalam Kaitanya Dengan Penataan Badan-badan

Usaha di Indonesia , Makalah pada Temu Kerja Yayasan: Status Badan Hukum dan Sifat Wadahnya, Jakarta,

  bergeraknya terbatas di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan sehingga tidak dipakai sebagai kendaraan untuk mencari keuntungan.

2.2.3. Badan hukum

  Menurut Prof Subekti, pengertian badan hukum adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti menerima serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat dan

  11

  menggugat di muka hakim. Menurut Scholten, Yayasan adalah badan hukum yang mempunyai harta kekayaan sendiri yang berasal dari suatu perbuatan pemisahan, mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai organ

12 Yayasan. Menurutnya, yayasan adalah badan hukum yang memenuhi

  unsur-unsur:

  a) Mempunyai harta kekayaan sendiri, yang berasal dari perbuatan hukum pemisahan; b)

  Mempunyai tujuan sendiri (tertentu);

c) Mempunyai alat perlengkapan (organisasi).

  Hukum di Indonesia mengenal Yayasan (stichting, foundation) yaitu organisasi dengan tujuan tertentu. Subjek hukum yang baru dan berdiri sendiri itu merupakan badan hukum. Badan hukum Yayasan dapat didirikan dengan tidak adanya campur tangan dari penguasa dan dari kebiasaan dan 11 yurisprudensi bersama-sama menetapkan aturan itu. Dengan demikian kedudukan badan hukum itu diperoleh dengan bersama-sama saat berdirinya Yayasan tersebut.

2.2.4. Manajemen

  Manajemen dalam suatu Yayasan adalah suatu proses atau cara melakukan tindakan penguasaan, pengurusan, pemeliharaan dan penyimpanan berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Dalam hal ini, pengelolaan Yayasan dapat diartikan dalam hal kekayaan Yayasan oleh organ Yayasan. Sedangkan yang dimaksud dengan kekayaan diartikan sebagai barang-barang yang menjadi kekayaan seseorang atau badan hukum baik yang berwujud dan tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang. Maka pengertian dari management harta kekayaan dapat diartikan sebagai tindakan penguasaan, pengurusan, pemeliharaan dan penyimpanan barang- barang yang menjadi kekayaan seseorang atau badan hukum yang berwujud dan tidak berwujud yang dapat dinilai dengan berdasarkan ketentuan

  13 peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Sebagaimana diuraikan dalam Undang-Undang Yayasan Pasal 2 yang menyebutkan bahwa Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, pengurus dan pengawas. Organ Yayasan tersebutlah yang menjadi 13 alat Yayasan untuk dapat mengelola Yayasan hal ini diatur dalam Pasal 3

  Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Hukum Harta Kekayaan (Menurut Sistematika KUH Perdata ayat (1). Khususnya pengelolaan Yayasan secara langsung dilakukan baik di dalam maupun di luar dilakukan oleh salah satu organ yaitu pengurus.

  Hakikatnya antara Yayasan dengan organ Yayasan terdapat hubungan yang sangat erat.

2.2.5. Pendirian

  Menyangkut bidang hukum kekayaan (dalam hal ini Yayasan), yayasan sebagai suatu badan hukum mempunyai kedudukan hukum yang

  14 sama dengan seorang manusia atau orang perorangan (person recht).

  Badan hukum (Legal Entity) adalah subjek hukum secara mandiri yang memiliki hak dan kewajiban tidak berbeda dari hak dan kewajiban yang dimiliki seorang manusia. Badan hukum juga mempunyai kekayaan yang terpisah dan ia secara mandiri dapat melakukan perbuatan hukum yang oleh karena itu hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap badan hukum yang bersangkutan. Terhadap badan hukum Yayasan misalnya, para organ perseroan juga ikut bertanggungjawab untuk perbuatan hukum yang dilakukan oleh Yayasan.

  Undang-Undang Yayasan yang berlaku saat ini member pengaturan bahwa pendirian Yayasan di Indonesia harus dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia berdasarkan pengaturan Pasal 9 ayat (2).pembuatan akta pendirian dimaksud, pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat kuasa. Akta pendirian Yayasan tersebut memuat anggaran dasar dan keterangan lain yang dianggap perlu. Anggaran dasar tersebut sekurang-kurangnya memuat: i. nama dan tenpat kedudukan Yayasan; ii. maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan

  Yayasan; iii. jangka waktu pendirian; iv. jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang dan benda; v. cara memperoleh kekayaan dan penggunaan kekayaan; vi. tata cara pengangkatan, pemberhentian dan penggantian anggota Pembina, pengurus dan pengawas; vii. hak dan kewajiban Pembina, pengurus dan pengawas; viii. tata cara penyelenggaraan rapat organ Yayasan; ix. penggabungan dan pembubaran Yayasan; x. penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan Yayasan setelah pembubaran.

  Sedangkan keterangan lain, memuat sekurang-kurangnya nama, alamat, tempat dan tanggal lahir serta kewarganegaraan pendiri, Pembina, pengurus dan pengawas.

  Untuk selanjutnya akta pendirian diajukan ke permohonan pengesahan Menteri agar memperoleh pengesahan sebagai badan hukum mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri Hukum dan HAM melalui notaris yang membuat akta pendirian Yayasan tersebut. Adapun permohonan pengesahan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 63 Tahun 2008, yang juga diatur dalam Pengumuman Nomor AHU-10.OT.03.01.

  Tahun 2008, yang dilampiri antara lain: i. surat permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan; ii. salinan akta pendirian Yayasan; iii. fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan dilegalisir notaris; iv. surat pernyataan kedudukan atau domisili diserta alamat Yayasan ditandatangani pengurus diketahui Kepala Desa; v. bukti penyetoran atau keterangan bank atas nama Yayasan, atau pernyataan tertulis pendiri tentang kekayaan yang dipisahkan sebagai kekayaan awal

  Yayasan; vi. surat pernyataan pendiri tentang keabsahan kekayaan; vii. bukti pembayaran penerimaan Negara bukan pajak; viii. bukti penyetoran biaya pengumuman dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

  Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Yayasan menyebutkan bahwa akta pendirian Yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum atau perubahan anggaran dasar yang disetujui atau diberitahukan, wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Pengumuman tersebut dilakukan oleh Menteri yang membidangi hukum. Maka pengumuman ini sebagai pemenuhan syarat publisitas yang dimaksudkan untuk diketahui oleh masyarakat atau pihak ketiga.

2.3. ASPEK HUKUM PERSEROAN TERBATAS (PT) 2.3.1. Sejarah

  Pada masa penjajahan Belanda dikenal VOC yang merupakan perusahaan dagang sebagai perseroan dalam bentuk primitif di Indonesia.

  Lamanya VOC memonopoli perdagangan di Indonesia menunjukkan bahwa VOC sebagai sebuah perusahaan memiliki sendi-sendi bisnis dan korporat.

  Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, KUHD semula diberlakukan bagi golongan Eropa saja, sedangkan bagi penduduk asli dan penduduk timur asing diberlakukan hukum adat masing-masing. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, KUHD diberlakukan bagi golongan timur asing Cina, sedangkan untuk golongan timur asing lainnya seperti Arab dan India diberlakukan hukum adatnya masing-masing. Namun, khusus untuk hukum yang berkaitan dengan bisnis, timbul kesulitan jika hukum adat masing-

  15

  masing yang diterapkan, hal ini disebabkan:

  a) Hukum adat masing-masing golongan sangat beragam;

  b) Hukum adat masing-masing golongan sangat tidak jelas; dan

  15 c) Dalam kehidupan berbisnis sering terjadi interaksi bisnis tanpa melihat golongan penduduk, sehingga menimbulkan hukum antar golongan yang tentu saja dirasa rumit bagi golongan bisnis

  Oleh karena permasalahan tersebut, maka dirancang suatu pranata hukum yang disebut dengan “penundukan diri” dimana satu golongan penduduk tunduk pada hukum dari golongan penduduk lain. Atas hal tersebut kemudian menjadi bebas untuk mendirikan perseroan terbatas yang dahulu disebut dengan “Naamloze Vennotschap” atau NV (persekutuan tanpa nama). Hal inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya perseroan terbatas di Indonesia. Belanda yang waktu itu menjajah Indonesia menerapkan

  16 KUHD berdasarkan azas konkordansi.

  PT pertama kali diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 KUHD yang berlaku di Indonesia sejak tahun 1848 dan aturan tersebut sekaligus membuktikan bahwa bentuk perseroan terbatas sudah lama dikenal di Indonesia. Pengaturan lain juga terdapat pada Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1356 dan Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652

17 KUHPerdata.

  Pada masa orde baru, kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor

  1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, yang menjadi lex specialis dari 16 pengaturan perseroan dalam KUHD dan KUHPerdata. Konsekuensinya,

Mulhadi, Hukum Perusahaan , Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hal.

  11. Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 KUHD yang menjadi dasar hukum NV tidak lagi menjadi dasar hukum PT (sebenarnya NV tidak selalu sama dengan PT). Meskipun demikian, bagi PT yang telah disahkan sebelum berlakunya undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan anggaran dasarnya, dapat tetap berlaku. Sementara itu, perusahaan yang telah didirikan dan disahkan (menurut KUHD) harus menyesuaikan diri dalam 2 tahun sejak tanggal berlakunya undang-undang ini. Selain itu, Ordonansi MAI (Maskapai Andil Indonesia) 1939 juga tidak berlaku lagi, perusahaan tersebut harus menyesuaikan diri dalam waktu 3 tahun.

  Walaupun diundangkan pada 7 Maret 1995, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 ini baru berlaku satu tahun kemudian, yaitu pada 7 Maret 1996.

  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 ini juga memperkenalkan bentuk- bentuk perseroan seperti BUMN dan BUMD yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh pemerintah.

  Pada era reformasi kemudian disahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut Undang- Undang Perseroan Terbatas). Hal-hal baru yang diatur dalam Undang- Undang ini antara lain: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang merupakan penerapan konsep Corporate Social Responsibility (CSR), perubahan modal perseroan, penegasan tentang tanggung jawab pengurus perseroan dan pendaftaran perseroan yang sudah memanfaatkan teknologi informasi (IT) sehingga pendaftaran perseroan sudah dapat dilakukan secara mencabut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Aktifitas usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) berkembang sangat cepat, seperti Penggabungan dan Peleburan PT, pengambilalihan dan Pemisahan PT, kemudian Pembubaran dan likuidasi PT. Aktifitas-aktifitas Perseroan Terbatas (PT) tersebut tidak diatur dalam undang-undang yang lama yaitu KUHD ataupun dalam KUHPer, sedangkan aktifitas-aktifitas tersebut sering dipraktekkan sehari-hari. Oleh karena itu pengaturan yang berkenaan dengan aktifitas Perseroan Terbatas (PT) tersebut sangat penting demi kelancaran aktifitas perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Karena apabila pengaturan tentang praktek-praktek Perseroan Terbatas (PT) tidak diatur secara jelas akan menimbulkan masalah terhadap iklim usaha di Indonesia, seperti yang sering terjadi terhadap penggabungan, peleburan perusahaan Perseroan Terbatas (PT), dan pengambilalihan (akuisisi).

2.3.2. Pengertian

  Menurut Sri Redjeki Hartono, Perseroan Terbatas adalah sebuah persekutuan untuk menjalankan perusahaan tertentu dengan menggunakan suatu modal dasar yang dibagi dalam sejumlah saham atau sero tertentu, masing-masing berisikan jumlah uang tertentu pula ialah jumlah nominal, sebagai ditetapkan dalam akta notaris pendirian Perseroan Terbatas, akta mana wajib dimintakan pengesahannya oleh Menteri Kehakiman, sedangkan untuk jadi sekutu diwajibkan menempatkan penuh dan menyetor jumlah

  18 nominal dari sehelai saham atau lebih.

  Dasar pemikiran bahwa modal PT itu terdiri dari “sero-sero” atau “saham-saham” dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 yakni: “Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang- undang ini serta peraturan pelaksanaannya”. Penunjukan “terbatasnya tanggungjawab” pemegang saham tersebut dapat dilihat dari Pasal 3 Undang- undang PT yang berbunyi : “Pemegang saham perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah dimilikinya”

  Di dalam hukum Inggris PT dikenal dengan istilah Limited

  Company. Company artinya bahwa lembaga usaha yang diselenggarakan itu

  tidak seorang diri, tetapi terdiri atas beberapa orang yang tergabung dalam suatu badan. Limited menunjukkan terbatasnya tanggungjawab pemegang saham, dalam arti bertanggungjawab tidak lebih dari dan semata-mata dengan harta kekayaan yang terhimpun dalam badan tersebut. Dengan kata

  19 lain, hukum Inggris lebih menampilkan segi tanggungjawabnya.

  Berbeda dengan hukum di Jerman, PT dikenal dengan istilah Aktien . Aktien adalah saham. Gesellschaft adalah himpunan. Ini berarti

  Gesellschaft

  hukum Jerman lebih menampilkan segi saham yang merupakan ciri bentuk usaha ini. Menurut Rudhi Prasetya, istilah PT yang digunakan Indonesia sebenarnya mengawinkan antara sebutan yang digunakan hukum Inggris dan hukum Jerman. Di satu pihak ditampilkan segi sero atau sahamnya, tetapi sekaligus disisi lain juga ditampilkan segi tanggungjawabnya yang

  20 terbatas.

2.3.3. Badan hukum

  Badan Hukum, dalam bahasa Belanda “Rechtspersoon” adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban

  

21

  seperti orang-orang pribadi. Oleh karena badan hukum adalah subyek, maka ia merupakan badan yang independen atau mandiri dari pendiri, anggota atau penanam modal badan tersebut. Badan ini dapat melakukan kegiatan bisnis atas nama dirinya sendiri-nya seperti manusia. Bisnis yang

  19 Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 43. 20 21 Ibid. , hal. 43. dijalankan, kekayaan yang dikuasai, kontrak yang dibuat semua atas badan itu sendiri.

  Secara teoretik, dikenal beberapa ajaran atau doktrin yang menjadi landasan teoretik keberadaan badan hukum. Ada beberapa konsep terkemuka

  22

  tentang personalitas badan hukum (legal personality):

  a) Legal Personality as Legal Person Menurut konsep ini, badan hukum adalah ciptaan atau rekayasa manusia.

  Kapasitas hukum badan ini didasarkan hukum positif, sehingga negara mengakui dan menjamin personalitas hukum badan tersebut.

  b) Corporate Realism

  Menurut konsep ini personalitas hukum suatu badan hukum berasal dari suatu kenyataan dan tidak diciptakan oleh proses inkorporasi, yakni pendirian badan hukum yang didasarkan pada peraturan perundang- undangan.

  c) Theory of the Zweckvermogen

  Menurut konsep ini suatu badan hukum terdiri atas sejumlah kekayaan yang digunakan untuk tujuan tertentu.

  d) Aggregation Theory

  Menurut konsep personalitas korporasi, badan hukum ini adalah semata- mata suatu nama bersama, suatu symbol bagi para anggota korporasi.

  22

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Interaksi dan Adaptasi Sosial Pelajar Papua: Studi Kasus Pelajar Asal Papua di SMA Kristen Satya Wacana dan SMA Theresiana Kota Salatiga

0 2 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Interaksi dan Adaptasi Sosial Pelajar Papua: Studi Kasus Pelajar Asal Papua di SMA Kristen Satya Wacana dan SMA Theresiana Kota Salatiga

0 0 23

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Unsur-Unsur Tanggung Jawab Komando di Dalam Hukum Pidana Internasional: Studi Putusan The Prosecutor V. Jean-Pierre Bemba Gombo/ICC-01/05-01/08)

0 1 8

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Unsur-Unsur Tanggung Jawab Komando di Dalam Hukum Pidana Internasional: Studi Putusan The Prosecutor V. Jean-Pierre Bemba Gombo/ICC-0

1 5 67

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Media Interaktif Berbasis Adobe Flash CS4 Professional pada Pembelajaran Tematik untuk Siswa Kelas 2 SD Kristen Satya Wacana Salatiga

0 1 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Media Interaktif Berbasis Adobe Flash CS4 Professional pada Pembelajaran Tematik untuk Siswa Kelas 2 SD Kristen Satya Wacana Salatiga

0 0 16

45 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Data Hasil Penelitian 4.1.1 Hasil Uji Validitas, Reliabilitas, dan Tingkat Kesukaran Instrumen Soal Tes

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Media Interaktif Berbasis Adobe Flash CS4 Professional pada Pembelajaran Tematik untuk Siswa Kelas 2 SD Kristen Satya Wacana Salatiga

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Karakteristik Badan Hukum Rumah Sakit di Indonesia

0 0 22

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Karakteristik Badan Hukum Rumah Sakit di Indonesia

0 0 41