A. Cyberloafing 1. Definisi Cyberloafing - Pengaruh Role Ambiguity dan Role Conflict Terhadap Perilaku Cyberloafing pada Karyawan

BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisi mengenai landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi

  objek penelitian, yaitu landasan teori cyberloafing yang meliputi definisi, tipe-tipe, dan faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing, serta landasan teori role

  

ambiguity dan role conflict. Bab ini juga berisi mengenai dinamika antar variabel dan

hipotesis penelitian.

A. Cyberloafing

1. Definisi Cyberloafing

  adalah tindakan yang dilakukan oleh pihak

  Deviant Organizational Behavior

  karyawan yang dengan sengaja melanggar norma-norma organisasi yang formal dan peraturan tentang masyarakat, dan dapat menghasilkan hal yang mempunyai konsekuensi negatif (Robbins, 2004). Terdapat beberapa perilaku menyimpang dalam organisasi antara lain ketidaksopanan, cyberloafing, penyerangan fisik di tempat kerja, berkata kasar atau marah dengan kata-kata yang menyinggung perasaan, pencurian di tempat kerja oleh karyawan (Robbins, 2004). Jadi cyberloafing merupakan salah satu produk atau hasil dari deviant organizational behavior dan juga termasuk salah satu isu penting yang berkembang sesuai dengan perkembangan internet dalam dunia bisnis atau perusahaan.

  Kata lain yang biasa disebutkan pada penggunaan internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaan antara lain junk computing (Guthrie and Gray, 1996),

  

cyber-slacking atau cyber-loafing (Lim, 2002), cyber-slouching (Urbaczewski &

Jessup, 2002), dan non-work related computing (Lee et.al, 2005).

  Istilah cyberloafing didefinisikan sebagai tindakan karyawan secara sengaja menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan yang non-work di saat jam kerja (Lim, 2002). Aktifitas non-work yang dimaksud adalah aktivitas mengecek e-mail personal ataupun mengunjungi situs internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Kegiatan cyber (browsing dan emailing) yang dilakukan pada saat bekerja dapat mengalihkan karyawan dari menyelesaikan pekerjaan mereka dan menghasilkan penggunaan waktu yang tidak produktif sehingga kegiatan termasuk dalam bentuk penyimpangan kerja (Lim & Chen, 2009).

  cyberloafing

  Sementara menurut Blanchard dan Henle (2008), cyberloafing merupakan penggunaan akses internet dan penggunaan email secara disengaja untuk tujuan pribadi yang tidak berkaitan dengan pekerjaan oleh karyawan pada jam kerja. Askew (2012) menyatakan bahwa cyberloafing merupakan perilaku yang terjadi ketika karyawan menggunakan berbagai jenis perangkat komputer (seperti desktop, cell- phone, tablet) saat bekerja untuk aktivitas non-destruktif di mana supervisor karyawan tidak menganggap perilaku itu berhubungan dengan pekerjaan.

  Sedangkan Bock dan Ho (2009) menjelaskan pengunaan internet selama bekerja untuk kepentingan pribadi disebut sebagai Non-Work Related Computing (NWRC). NWRC merupakan istilah kolektif dan berisi Junk Computing dan

  Cyberloafing. Junk Computing adalah penggunaan internet servis organisasi yang

  dilakukan oleh karyawan untuk kepentingan pribadi dan tidak berhubungan dengan dengan tujuan organisasi (Bock & Ho, 2009). Baik Junk Computing maupun

  Cyberloafing merupakan penggunaan sumber daya organisasi untuk kepentingan

  pribadi, namun cyberloafing bertujuan untuk pengunaan internet pribadi sedangkan

  

junk computing merupakan penggunaan pribadi offline melalui sumber daya

organisasi.

  Berdasarkan penjelasan definisi perilaku cyberloafing yang telah dijelaskan diatas, perilaku cyberloafing yang akan menjadi fokus penelitian adalah perilaku karyawan menggunakan akses internet kantor dan atau akses internet pribadi untuk keperluan pribadi atau diluar pekerjaan.

2. Aktivitas Cyberloafing

  Lim dan Chen (2009) membagi cyberloafing menjadi dua aktivitas yaitu: 1.

   Emailing Activities (Aktivitas Email)

  Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan email yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (tujuan pribadi) saat jam kerja. Contoh perilaku dari tipe cyberloafing ini adalah memeriksa, membaca, maupun menerima email pribadi.

2. Browsing Activities (Aktivitas Browsing)

  Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan akses internet perusahaan untuk browsing situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan saat jam kerja. Contoh perilaku dari tipe cyberloafing ini adalah browsing situs olahraga, situs berita, maupun situs khusus dewasa.

  Beberapa peneliti menggunakan istilah cyberloafing mengarah kepada perilaku serius seperti menyebar virus dan hacking namun jenis cyberloafing yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini adalah cyberloafing yang dikemukakan oleh Lim dan Chen (2009) yaitu perilaku cyberloafing berupa aktivitas email (membaca, mengirim dan menerima email pribadi) dan aktivitas browsing (jejaring sosial, mengunduh file atau musik, dan mencari berita yang tidak berkaitan dengan pekerjaan). Aktivitas email yang dimaksud seperti pada jam kerja karyawan membaca, mengirim, dan menerima email pribadinya sehingga tugas dan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya pun menjadi teralihkan. Selain itu, aktivitas browsing yang dimaksud seperti karyawan yang membuka jejaringan sosial seperti

  

facebook, twitter, atau mengunduh file atau musik, dan kegiatan lainnya dimana situs

tersebut tidak ada kaitannya dengan tugas dan pekerjaan karyawan.

  3. Faktor-faktor Penyebab Cyberloafing

  Menurut Ozler dan Polat (2012), terdapat tiga faktor yang menyebabkan munculnya perilaku cyberloafing. Ketiga faktor itu adalah sebagai berikut :

  1) Faktor Individual

  Faktor individual berpengaruh terhadap muncul atau tidaknya perilaku

  cyberloafing . Berbagai atribut dalam diri individu tersebut antara lain : a.

  Persepsi dan Sikap Individu yang memiliki sikap positif terhadap komputer lebih mungkin menggunakan komputer kantor untuk alasan pribadi. Selain itu, terdapat hubungan yang positif antara sikap mendukung terhadap cyberloafing dengan perilaku cyberloafing (Liberman, Gwendolyn, Katelyn, dan Laura, 2011). Individu yang merasa bahwa penggunaan internet mereka menguntungkan bagi performansi kerja lebih mungkin terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak, Crouse, dan Larouse, 2011).

  b.

  Sifat Pribadi Perilaku individu pengguna internet akan menunjukkan berbagai motif psikologis yang dimiliki oleh individu tersebut. Trait pribadi seperti shyness (rasa malu), loneliness (kesepian), isolation (isolasi), kontrol diri, harga diri, dan locus of control mungkin dapat mempengaruhi bentuk penggunaan internet individu. Bentuk penggunaan internet yang dimaksud adalah kecenderungan individu mengalami kecanduan atau penyalahgunaan internet.

  c.

  Kebiasaan dan Adiksi Internet Kebiasaan mengacu pada serangkaian situasi-perilaku otomatis sehingga terjadi tanpa disadari atau tanpa pertimbangan untuk merespon isyaratisyarat khusus di lingkungan (Woon dan Pee, 2004). Lebih dari 50% perilaku media diperkirakan merupakan sebuah kebiasaan (LaRose, 2010).

  d.

  Faktor Demografis Beberapa faktor demografis seperti status pekerjaan, persepsi otonomi di dalam tempat kerja, tingkat gaji, pendidikan, dan jenis kelamin merupakan prediktor penting dari cyberloafing (Garrett dan Danziger, 2008).

  e.

  Keinginan untuk Terlibat, Norma Sosial, dan Kode Etik Personal

  Persepsi individu mengenai larangan etis terhadap cyberloafing berhubungan negatif dengan penerimaan terhadap cyberloafing itu sendiri. Namun sebaliknya, hal itu berhubungan positif dengan keinginan seseorang untuk melakukan cyberloafing. Selain itu, keyakinan normatif individu (misalnya,

  cyberloafing itu tidak benar secara moral) mengurangi keinginan untuk terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak et al., 2011).

  2.) Faktor Organisasi

  Beberapa faktor organisasi juga dapat menentukan kecenderungan karyawan untuk melakukan cyberloafing. Beberapa faktor organisasi tersebut yaitu : a.

  Pembatasan Penggunaan Internet Perusahaan dapat membatasi penggunaan komputer saat bekerja melalui kebijakan perusahaan atau pencegahan pengunaan teknologi di kantor. Hal ini dapat mengurangi kesempatan karyawan menggunakan internet untuk tujuan pribadi, sehingga perusahaan dapat meningkatkan regulasi diri karyawan (Garrett dan Danziger, 2008).

  b.

  Hasil yang Diharapkan Ketika karyawan memilih online untuk tujuan pribadi saat bekerja, ia memiliki harapan tertentu bahwa perilaku itu dapat memenuhi kebutuhannya dan dapat membuat dirinya terhindar dari konsekuensi negatif (Garrett dan Danziger, 2008). c.

  Dukungan Manajerial Dukungan manajerial terhadap penggunaan internet saat bekerja tanpa menjelaskan bagaimana menggunakan fasilitas tersebut malah dapat meningkatkan penggunaan internet untuk tujuan pribadi. Dukungan ini dapat disalahartikan oleh karyawan sebagai sebuah dukungan terhadap semua tipe penggunaan internet, sehingga memunculkan perilaku cyberloafing.

  d.

  Pandangan Rekan Kerja tentang Norma Cyberloafing Blau (2006) mengatakan bahwa karyawan melihat rekan kerjanya sebagai role

  

model (panutan) dalam organisasi, sehingga perilaku cyberloafing ini

  dipelajari dengan mengikuti perilaku yang dilihatnya dalam lingkungan organisasi. Individu yang mengetahui bahwa rekan kerjanya juga melakukan

  

cyberloafing , akan lebih mungkin untuk melakukan cyberloafing

(Weatherbee, 2010).

  e.

  Sikap Kerja Karyawan Perilaku cyberloafing merupakan respon emosional karyawan terhadap pengalaman kerja yang membuatnya frustrasi, sehingga dapat diterima bahwa sikap kerja mempengaruhi cyberloafing (Liberman et al., 2011). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa karyawan lebih mungkin terlibat dalam perilaku menyimpang ketika memiliki sikap kerja yang tidak menyenangkan (Garrett dan Danziger, 2008).

  Sikap kerja karyawan ini terdiri dari tiga bagian yaitu : e.1. Injustice (Ketidakadilan) Lim (2002) menemukan bahwa ketika karyawan mempersepsikan dirinya berada dalam ketidakadilan dalam bekerja, maka salah satu caranya untuk menyeimbangkan hal tersebut adalah dengan melakukan cyberloafing. e.2. Komitmen Kerja Dalam membentuk penggunaan internet di tempat kerja, komitmen memiliki peran penting karena dapat mempengaruhi dampak yang diharapkan.

  Karyawan yang terikat secara emosional dengan organisasi dan pekerjaannya cenderung merasa bahwa cyberloafing tidak sesuai dengan rutinitas kerja, sehingga mereka akan lebih jarang melakukan cyberloafing. e.3. Kepuasan Kerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki kepuasan kerja tinggi memiliki perasaan lebih positif terhadap penyalahgunaan internet.

  Sedangkan Stanton (2002) menemukan bahwa karyawan yang cenderung menjadi sangat puas adalah karyawan yang sering menyalahgunakan internet.

  f.

  Karakteristik Pekerjaan Karakteristik pekerjaan tertentu akan mengarah pada perilaku cyberloafing dengan tujuan untuk meningkatkan kreativitas atau melepas kebosanan.

  Dengan kata lain, pekerjaan yang kreatif akan memiliki lebih banyak tuntutan dan tidak membosankan, sehingga karyawan akan lebih jarang melakukan

  cyberloafing .

  3.) Faktor Situasional

  Perilaku penyimpangan internet biasanya terjadi ketika karyawan memiliki akses terhadap internet di tempat kerja, sehingga hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor situasional yang memediasi perilaku ini (Weatherbee, 2010). Penelitian menunjukkan bahwa kedekatan jarak secara fisik dengan supervisor secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi karyawan terhadap kontrol organisasi. Lebih jauh lagi, adanya kebijakan formal organisasi dan sanksi atas perilaku cyberloafing juga dapat mengurangi perilaku cyberloafing.

  Dalam suatu perusahaan setiap karyawan memiliki tuntutan pekerjaan sesuai dengan jabatan masing-masing, apabila tuntutan pekerjaan tersebut sesuai dengan jabatan seseorang dan sesuai dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya maka karyawan pun dapat dengan baik melaksanakan tugas dan kewajibannya. Namun apabila tuntutan pekerjaan yang diberikan bertentangan dengan nilai-nilai keyakinan pribadinya ataupun tugas-tugas yang dikerjakan menurut pandangan karyawan tersebut bukan merupakan bagian dari pekerjaannya maka akan timbul perasaan tidak menentu dan ketidakyakinan karyawan mengenai kewajiban dan harapannya saat bekerja. Sehingga dapat membangkitkan stres yang dapat menghalangi karyawan untuk melakukan tugas dan pekerjaanya. Oleh sebab itu karyawan memilih untuk melakukan online atau mengakses internet pada saat jam kerja dengan harapan perilaku tersebut dapat memenuhi kebutuhannya dan agar terhindar dari konsekuensi negatif yaitu rasa stres atau lelah yang dialami (Garrett dan Danzinger, 2008).

  Dari uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing di atas, maka penelitian ini hanya akan berfokus faktor organisasi yang dikemukakan oleh Ozler dan Polat (2012).

B. Role Ambiguity

  Definisi Role Ambiguity menurut Rizzo et al.(1970) adalah suatu keadaan dimana suatu pekerjaan memiliki kekurangan dalam prediksi suatu respon terhadap perilaku pihak lain dan kejelasan mengenai persyaratan perilaku yang diharapkan. Menurut Munandar (2001) role ambiguity timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya:

  1) Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab yang ia miliki.

  2) Tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjannya.

  3) Tuntututan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya, atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya.

  4) Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya. adalah suatu kesenjangan antara jumlah informasi yang

  Role ambiguity

  dimiliki seseorang dengan yang dibutuhkannya untuk dapat melaksanakan perannya dengan tepat (Brief dalam Nimran, 1999). Sehingga role ambiguity bersifat sebagai pembangkit stres sebab dapat menghalangi individu untuk melakukan tugasnya dan menyebabkan timbulnya perasaan tidak aman dan tidak menentu.

C. Role Conflict

  Role Conflict didefinisikan sebagai ketentuan dalam sebuah peran dimana

  terdapat kesesuaian atau ketidaksesuaian (congruency-incongruency), dalam hal ini kesesuaian atau kecocokan (congruency atau compatibility) merupakan penilaian relatif dari suatu keadaan yang melanggar peran kinerja (Rizzo et al, 1970). Ketidakcocokan atau incongruency dapat mengakibatkan berbagai jenis konflik, yaitu:

1. Konflik antara nilai-nilai internal seseorang dengan peran perilaku.

  Merupakan person-role conflcit atau intrarole conflict yang menjadi fokus ketika seseorang berada dalam suatu posisi atau peran.

  2. Konflik antara waktu, sumber daya, atau kemampuan seseorang dengan peran perilaku. Ketika terjadi ketidakcocokan antara salah seorang yang saling berkaitan maka hal ini disebut sebagai intrasender conflict. Hal ini juga dapat dihasilkan dari organisasi. Bila dilihat dari person-role conflict misalnya kemampuan yang tidak memadai.

  3. Konflik antara beberapa peran untuk satu orang yang sama yang membutuhkan perilaku yang berbeda atau bertentangan, atau perubahan dalam perilaku sebagai fungsi dari situasi. Hal ini merupakan interrole conflict ketika seseorang berada lebih dari satu posisi dalam satu sistem peran.

  4. Harapan yang bertentangan dan tuntutan organisasi dengan bentuk aturan yang tidak sesuai, perbedaan permintaan dari orang lain, dan standar evaluasi yang tidak sesuai.

  Role conflict atau konflik peran didefinisikan oleh Brief dalam Nimran

  (1999) sebagai adanya ketidakcocokan antara harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran. Role conflict timbul karena ketidakcakapan untuk memenuhi tuntutan- tuntutan dan berbagai harapan terhadap diri individu tersebut (Munandar, 2001).

D. Pengaruh Role Ambiguity dan Role Conflict Terhadap Cyberloafing

  Organisasi merupakan sebuah sistem peran yang menyediakan berbagi macam tugas kerja untuk tiap peran dari karyawan dan motivasi untuk karyawan dalam melaksankan perannya dalam organisasi (Kahn et al., 1964). Karyawan dapat memberikan masukan untuk kesuksesan organisasi atau tindakan korektif dalam keputusan yang diambil dalam hal yang berhubungan dengan kinerjanya, dan pemberian sanksi jika terjadi kesalahan. Idealnya setiap peran mempunyai satu aktivitas yang dikerjakan, tetapi kadang peran karyawan tersebut membuat karyawan harus menyeimbangkan berbagai tuntutan di lingkungan, kebingungan karyawan mengenai tuntutan tugas dan tanggung jawab (Henle & Blanchard, 2008). Berbagai masalah ini mempunyai dampak negatif pada kesejahteraan karyawan itu sendiri, seperti meningkatnya tekanan darah, ketidakpuasan kerja, depresi (Selye dalam Munandar, 2001) dan juga kondisi organisasi yang tidak efektif (Schaubroeck dalam Henle & Blanchard, 2008).

  Adanya pengalaman negatif yang memberikan dampak negatif pada kesejahteraan karyawan tersebut seperti lelah atau stres, penyebab dari pengalaman negatif tersebut biasa disebut sebagai stressor. Adapun stressor yang dimaksud yaitu,

  role ambiguity dan role conflict. Stressor tersebut dapat berperan dalam munculnya perilaku cyberloafing.

  Ditinjau dari role ambiguity dimana karyawan merasa bingung harus melakukan pekerjaan seperti apa, ini dikarenakan adanya suatu kesenjangan antara jumlah informasi yang dimiliki seseorang dengan yang dibutuhkannya untuk dapat melaksanakan perannya dengan tepat (Brief dalam Nimran, 1999). Apabila seorang pekerja tidak mengetahui wewenangnya untuk mengambil suatu keputusan, tidak mengetahui apa yang diharapkan darinya, dan tidak mengetahui bagaimana ia akan dinilai, maka dia akan ragu-ragu dalam membuat keputusan dan akan menggunakan pendekatan coba-coba (trial and error) dalam memenuhi ekspektasi atasannya (Rizzo et al., 1970). Begitu juga agar menghasilkan kinerja yang baik, karyawan perlu mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan. Namun ketika tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran.

  Role ambiguity ini dapat menghalangi individu untuk melakukan tugasnya

  dan menyebabkan timbulnya perasaan tidak aman dan tidak menentu. Adanya kebingungan yang terjadi saat bekerja maka akan timbul ketidakyakinan mengenai kewajiban dan harapan yang diinginkan (Rizzo et al., 1970). Terciptanya suasana yang tidak menentu ini, membuat karyawan untuk menghindari koneskuensi negatif tersebut dengan cara melakukan mengakses internet untuk tujuan pribadi saat bekerja (Garrett dan Danzinger, 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Henle dan Blanchard (2008) apabila karyawan merasa bingung mengenai apa yang harus mereka kerjakan maka untuk mengalihkankannya dengan melakukan

  cyberloafing .

  Bila ditinjau dari role conflict dimana karyawan memiliki konflik atau masalah dengan tuntutan kerja atau dengan karyawan lain sehingga dapat menimbulkan ketegangan pekerjaan yang cukup tinggi (Van Sell dalam Munandar, 2001). Role conflict tersebut dapat dihasilkan ketika seseorang dihadapkan pada pengharapan peran yang berlainan (Robbins dan Judge, 2009). Seperti karyawan yang berada dalam ketidakadlian saat bekerja, sehingga menciptakan pengharapan- pengharapan yang mungkin sulit untuk dipenuhi atau dipuaskan (Robbins dan Judge, 2009), dan dapat menimbulkan konflik, salah satu cara untuk menyeimbangkannya dengan melakukan cyberloafing (Lim, 2002). Penelitian yang dilakukan Lim (2002), menemukan fakta bahwa 37% responden melakukan cyberloafing karena terjadi tuntutan konflik di tempat kerja (high role conflict), tetapi 52% responden merasa aneh melakukan cyberloafing jika pekerjaan mereka belum selesai (low role ambiguity ).

  Leigh (dalam Nimran, 1999) menyatakan bahwa role conflict merupakan hasil

  dari ketidakkonsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai akibatnya, sikap kerja seseorang yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana terombang-ambing, terjepit, dan serba salah. Dengan adanya sikap kerja yang tidak menyenangkan tersebut mendorong karyawan untuk terlibat dalam perilaku menyipang seperti penyalahgunaan internet kantor (Garret dan Danzinger, 2008). Cyberloafing merupakan respon emosional karyawan terhadap pengalaman kerja yang membuatnya frustasi, sehingga dapat dikatakan bahwa sikap kerja dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan cyberloafing (Liberman et al, 2011).

E. Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan uraian dalam kerangka berpikir di atas, maka hipotesa penelitian ini adalah: a.

  Role ambiguity berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing pada karyawan b.

  Role conflict berpengaruh positif terhadap perilaku cyberloafing pada karyawan

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri - Tinjauan Atas Peranan Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan Timur

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori - Pengaruh Corporate Social Performance Terhadap Corporate Financial PerformanceStudi Empiris Pada perusahaanyang terdaftar di National Center forSustainability Reporting 2010-2013

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Corporate Social Performance Terhadap Corporate Financial PerformanceStudi Empiris Pada perusahaanyang terdaftar di National Center forSustainability Reporting 2010-2013

0 0 8

Pengaruh Corporate Social Performance Terhadap Corporate Financial PerformanceStudi Empiris Pada perusahaanyang terdaftar di National Center forSustainability Reporting 2010-2013

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Bank - Analisis Permintaan Kredit Multiguna Pegawai Negeri Sipil Pada Perbankan Di Kota Panyabungan

0 0 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PARADIGMA KAJIAN - Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabu

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN 1.1 KONTEKS MASALAH - Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keputusan dan Pengambilan Keputusan 2.1.1 Definisi - Implementasi Perbandingan Algoritma Analytic Hierarchy Process (AHP) dengan Algoritma Simple Additive Weighting (SAW) dalam Pemilihan Website Hosting

0 0 11

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Shortest Path - Implementasi Metode Exhaustive Search untuk Menentukan Shortest Path Antar Pusat Perbelanjaan di Kota Medan

1 1 11

Pengaruh Role Ambiguity dan Role Conflict Terhadap Perilaku Cyberloafing pada Karyawan

0 3 31