Corruption dapatkah masalah korupsi ditu

Nama
NIM
Mata Kuliah
No. Urut Kehadiran
Pengajar

: Brigita P. Manohara
: 1406509901
: Hukum Pidana & Kegiatan Perekonomian
: 3 (tiga)
: Prof. Topo Santoso, SH, MH, PhD

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
TAHUN 2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 PENGANTAR


Sebagai salah satu tindak pidana khusus, korupsi disepakati memiliki dampak
meluas bagi seluruh masyarakat. Ironisnya, korupsi di Indonesia dalam tulisan Prof.
Selo Sumardjan untuk pengantar buku karangan Robert Klitgaartd disebutkan sudah
membudaya1. Lebih lanjut dijelaskan, korupsi bukan hanya melanggar aturan yang
berlaku tetapi juga kaidah kejujuran, yang berdampak pada penurunan kewibawaan
negara dan mengakibatkan high cost economy sehingga menaikkan harga produk dan
menurunkan daya saing bisnis secara umum di negeri ini. Permasalahan mengenai
Korupsi tak hanya dialami oleh Indonesia sebagai negara berkembang, tetapi juga
dirasakan negara lain seperti Malaysia, bangladesh, Turkmenistan dan Chad. Angka
kejahatan korupsi di negara berkembang dari hasil yang disampaikan Transparency
International (TI) jauh lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi di negara maju
contohnya Jepang dan Perancis.
Meski ada aturan yang tegas mengenai tindak pidana Korupsi, nampaknya
tingkat pelanggaran yang tejadi masih terbilang tinggi. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) per tanggal 31 Oktober 2014 telah menangkap tersangka korupsi dari
sejumlah elemen. Kepala lembaga/kementrian yang dijadikan tersangka sebanyak 8
(delapan ) orang, swasta sebanyak 12 (dua belas) orang, walikota/ bupati/ wakil
sebanyak 9 (sembilan) orang, hakim sebanyak 2 (dua) orang, anggota DPR/ DPRD
sebanyak 3 (tiga) orang dan Eselon I/II/III sebanyak 1 (satu) orang. Sehingga total
tersangka yang ditangkap sebanyak 45 orang, nilai ini lebih rendah dibanding tahun

lalu yang mencapai 59 orang, dan tertinggi di tahun 2010 sebanyak 65 orang2.
Sebelum menelaah lebih lanjut mengenai kaitan pengendalian korupsi dan
kejahatan ekonomi di negara berkembang khususnya Indonesia, ada baiknya kita
telah terlebih dahulu korupsi itu sendiri. Korupsi berasal dari bahasa latin yakni
corruptio memiliki arti penyuapan, sementara corruptore berarti merusak. Jika
merujuk pada Ensiklopedi Indonesia, korupsi diartikan sebagai gejala ketika pejabat,
badan
1

negara

menyalahgunakan

wewenang

dengan

terjadinya

penyuapan,


Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005, hal xiii
Penanganan TPK berdasarkan Profesi/ Jabatan, http://acch,kpk.go.id, diakses pada minggu 14
Desember 2014
2

pemalsuan, serta penyimpangan lainnya 3. Beberapa literatur mendefinisikan korupsi
sebagai4 :
“tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan
negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi
(perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan
pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi”
Sementara itu, definisi korupsi oleh para ahli yang dituliskan oleh Eva Hartanti
yaitu5 :


Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, curruptie adalah korupsi;




perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan negara;
Baharuddin Lopa mengutip David M. Chalmers, korupsi menyangkur
masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi
dan menyangkut kepentingan umum. Financial manipulations and deliction
injurious to the economu are often labeled corrupt;

Definisi lain mengenai korupsi yang dikutip Prof. Elwi Danil antara lain6 :


A.S Hornby dan kawan-kawan , korupsi sebagai suatu pemberian atau
penawaran dalam penerimaan hadiah berupa suap serta kebusukan atau



keburukan;
Henry Campbell Black, korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan
maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai denag




kewajiban resmi dan hak pihak lain;
David H. Baley mengkaitkan korupsi denan penyuapan yang merupakan
istilah

umum

meliputii

penyalahgunaan

wewenang

sebagai

akibat

pertimbangan keuntungan pribadi tidak selalu berupa uang.
Dari definisi sejumlah ahli diatas, korupsi dapat dijelaskan sebagai
penyelewengan atau penggelapan (uang, wewenang, kekuasaan) demi kepentingan
pribadi sehingga merugikan keuangan negara.

Tiga sektor paling rawan tindak pidana korupsi adalah partai politik,
kepolisian, dan pengadilan. Sementara dari data yang dimiliki TI, suap yang kerap
dilakukan paling banyak terjadi di sektor non konstruksi, pertahanan keamanan,

3

Eva Hartanti SH, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika, cetakan kedua Juni 2006, hal 8
Robert Klitgaard, Op Cit hal 31
5
Eva Hartanti SH, Op Cit hal 9 - 10
6
Prof. Dr. H. Elwi Danil, SH, MH, Korupsi Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya,
Depok : PT. RajaGrafindo Persada, cetakan kedua tahun 2012, hal 4
4

migas, perbankan, dan properti7. Syeid Hussein Alatas seperti dikutip Prof Elwi
menyampaikan ciri korupsi, yakni 8:




Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan kecuali telah merajalela,




mendalam, dan berakar;
Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik;
Mereka yang mempraktikkan cara korupsi biasanya berusaha menyelubungi



perbuatannya denagn berlindung di balik pembenaran hukum;
Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan tegs dan





yang mampu memengaruhi keputusan itu;

Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;
Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan;
Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktid dari mereka



yang melakukan tindakan itu;
Suatu perbuatan korupsi melanggar norma tugas dan pertangungjawaban
dalam tatanan masyarakat.

Faktor penyebab korupsi dijelaskan Eva Hartanti sebagai berikut :




Lemahnya pendidikan agam dan etika
Kolonialisme
Kurangnya pendudukan (meskipun kebanyakan kasus korupsi di Indonesia









dilakukan oleh mereka dengan tingka pendidikan dan intelektual tinggi)
Kemiskinan (di Indonesia dasar korupsi adalah keserakahan)
Tidak adanya sanksi yang keras
Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelau antikorupsi
Struktur pemerintahan
Perubahan radikal
Keadaan masyarakat

Empat tipe korupsi yang dijelaskan Piers Beirne dan James Messerschmidt seperti
dikutip Prof. Elwi adalah :






Political bribery
Political kickbacks
Election fraud
Corrupt compaign practices.

Lebih lanjut dampak dan pengertian dari Korupsi dapat dirumuskan, antara lain9:


Korupsi umumnya

merugikan

organisasi.
7

Eva Hartanti SH, Op Cit 3
Prof. Dr. H. Elwi Danil, SH, MH, Op Cit 7
9
Robert Klitgaard, Op Cit hal 60

8

pembangunan

ekonomi,

politik,

dan



Korupsi yang menyangkur realokasi “barang-barang khusus milik swasta’



boleh jadi sedikit merugikan efisiensi ekonomi.
Apabila korupsii dilakukan untuk melanggar suatu kebijakan yang tidak



efisien dan tidak adil, korupsi daoat menimbulkan masalah sosial.
Korupsi menimbulkan dampak eksternal yang negatif karena menghancurkan



kepercayaan, keyakinan dan tegaknya hukum
Korupsi amat merugikan apabila menyalahgunakan insentif. Kombinasi
antara kekuatan monopoli dengan keleluasaan menentukan kebijakan yang
mengundang berbagai ‘bentuk rente” atau kegiatan mecari untung tetapi



secara langsung tidak produktif”
Korupsi terkadang merupakan sarana untuk tujuan politik. Tetapi ia juga bisa



menuntut biaya politik yang besar.
Pemerasan adalah bentuk korupsi yang sangat melumpuhkan dan cenderung



membuat masyarakat yang menjadi korban marah.
Korupsi dapat melayani kepentingan organisasi



menyingkirkan hambatan birokratis yang tidak perlu.
Perlu diteliti siapa yang mendapat untung dan siapa yang dirugikan oleh



tindakan korup.
Kalau segala seseuatu sama, usaha anti korupsi harus diarahkan pada bentuk



yang menimbulkan kerusakan paling berat.
Pengaruh korupsi terdiri dari empat kategori yakni efisiensi, pemeratan,

terutama

dalam

perangsangan (insentif), dan politik.
1.2 INDONESIA DAN KORUPSI
Indonesia di usianya yang ke-69 masih belum bebas dari korupsi. Namun ada
kemajuan besar dalam penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi.
Sesungguhnya Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum telah
memiliki Undang-Undang pemberantasan Korupsi yang disahkan pada tahun 1971,
yakni UU No.3 Tahun 1971. Undang-undang ini memiliki beragam kekurangan dan
kelemahan dalam menjerat para pelaku korupsi sehingga dilakukan perubahan. Pada
tahun 1999, pemerintah menelurkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian dilanjutkan dengan penerbitan
Undang-Undang lainnya tentang pembentukan KPK dan Pengadilan Tipikor.
Disahkannya Undang-Undang terkait dengan Tindak Pidana Korupsi ini
menjadi suatu lompatan besar bagi Indonesia dalam upaya memberantas korupsi.
Namun tidak dipungkiri, keluarnya Undang-Undang ini berkaitan erat dengan syarat

transparasi dan upaya pencegahan korupsi yang diajukan IMF ketika Indonesia
mengajukan pinjaman saat krisis terjadi di tahun 199810.
Tindak pidana Korupsi di negara ini memiliki sejarah panjang. Korupsi
sebenarnya menyangkut dua hal, yakni suap, serta penyalahgunaan wewenang 11.
Dalam penegakannya, KPK terus berupaya mengungkap kasus korupsi yang terjadi
di berbagai daerah. Dari data yang ada, sepanjang tahun 2014 hingga 31 Oktober
2014, KPK telah menangani 73 kasus penyelidikan, dimana 34 diantaranya telah
inkracht. Jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan denagn tahun 2013 dimana
kasus yang diselidiki mencapai 81 kasus, dan yang inkkracht sebanyak 41 kasus.
Tingginya angka korupsi yang terjadi di Indonesia, diduga akibat budaya
yang melekat sejak jaman kerajaan yang kemudian dilanjutkan pada masa kolonial.
Budaya yang melekat itu adalah budaya pemberian upeti yang kini identik dengan
suap. Dalam bukunya, Klitgaard mengutip Emanuel Kant dan sejumlah pengamat
yang menyatakan12 :
“ sebuah bangsa pedagang, tulis filsuf Imanuel Kant adalah bangsa penipu.
Menurut sejumlah pengamat, termasuk banyak cendekia di negara
berkembang, biang keladi korupsi adalah kapitalisme serta sekutu sejarahnya,
yakni kolonialisme....Julius K. Nyerere dari Tanzania mengeluhkan korupsi
yang tumbuh sebagai kanker. Mereka menyatakan bahwa suatu gerakan
menjauhi nailai kapitalisme sekarang ini dibutuhkan untuk mengatasi
masalah tersebut.”
Hal ini senada dengan W. F. Wertheim seperti dikutip Boesono Soedarso
bahwa meluasnya korupsi di Indonesia ada hubungannya dengan feodalisme 13. Lebih
lanjut Boesono menjelaskan 14:
“perlu diingat bahwa antiquanted preserve itu selain berupa keadaan
masyarakat lahiriyah yang serba underdeveloped, terutama terwujud
pandangan atau sikap hidup serta pola kuno yang telah bersatu dengan
kepribadian kita, interorganized in the individual’s personality
structure......Apabila setiap pejabat tidak bisa hidup dari penghsilannya yang
sah dan ia hanya bisa hidup berkat adanya kekacauan administrasi dan
kekacauan moral dalam lingkungan pekerjaannya, siapakah yang
memusingkan misalnya tentang pertumbuhan tradisi sehat yang mengatur
wewenang, kekuasaan dan wibawa jabatan. Bahkan kalau ada seorang
pejabat yang akan menumbuhkan tradisi demikian, dalam keadaan serba
10

Disarikan dari kuliah Prof. Mardjono Reskodiputro mengenai KPK pada mata kuliah Sistem
Peradilan Pidana di Fak. Hukum universitas Indonesia tanggal 25 November 2014.
11
Dalam kuliahnya mengenai Tindak Pidana Ekonomi, di Fakultas Hukum Univ. Indonsia tanggal
18 November 2014, Prof Mardjono sempat menyinggung korupsi yang dijelaskan bahwa Korupsi terdiri
dari dua tindakan utama, yaitu suap atau penyalahgunaan wewenang.
12
Robert Klitgaard, Op Cit hal 86
13
Boesono Soedarso, Latar Belakang Sejarah dan Kulturan Korupsi di Indonesia,
Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia, 2009, hal 121
14
Ibid hal 123 - 127

kekurangan itu berarti ia membahayakan rezeki rekan-rekannya juga
membahayakan dirinya sendiri.”
Indonesia sebagai negara berkembang, memiliki pertumbuhan ekonomi yang
tergolong tinggi yakni dikisaran tujuh persen per tahun. Kondisi modernisasi ini
berdampak pada tumbuh suburnya korupsi seperti rumusan yang disampaikan
Samuel P. Huntington yang disadur Klitgaard sebagai berikut:
 Korupsi cenderung meningkat dalam suatu periode pertumbuhan serta
modernisasi yang cepat karena perubahan nilai, sumber baru kekayaan dan


kekuasaan, dan perluasan pemerintahan.
Di negara dengan lebih banyak stratifikasi sosial, lebih banyak polarisasi
kelas, dan lebih banyak kekecenderungan feodal, korupsi cenderung




berkurang.
Rasio akses politik dan ekonomi di suatu negara mempengaruhi sifat korupsi.
Apabila banyak ditemukan perusahaan asing di suatu negara maka korupsi



cenderung meningkat
Semakin partai politik kurang berkembang mekar semakin meluas
korupsinya lantaran lemahnya kontrol.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia sebenarnya sudah

berinteraksi dengan korupsi sejak ia masih berbentuk kerajaan dan dilanjutkan ketika
jadi negara jajahan. Korupsi yang sudah membudaya, tentunya butuh waktu lebih
lama untuk bisa memerangi tindak pidana ini. Pertumbuhan korupsi di Indonesia pun
makin subur karena adanya modernisasi yang begitu cepat seperti apa yang
disampaikan Samuel P. Huntington.
1.3 TINDAK PIDANA EKONOMI DI INDONESIA
Selama ini tindak pidana ekonomi hanya identik dengan korupsi, padahal ini
merupakan hal yang salah. Tindak pidana ekonomi sebenarnya telah diatur dalam
Undang-Undang Darurat No.7 tahun 1955 yang merupakan hasil adopsi dari
Belanda. Inti dari Undang-Undang ini adalah memerangi orang-orang yang
melakukan tindakan manipulatif dalam kegiatan ekonomi yang merugikan
masyarakat. Tentunya jika merujuk ke berbagai peraturan di bidang ekonomi, tindak
pidana ekonomi berkaitan dengan devisa, impor, ekspor, bbm, pajak dan barang.
Tindak Pidana Ekonomi juga meliputi penyelundupan, tindak pidana di bidang
perbankan, tindak pidana di bidang perniagaan, kejahatan komputer, tindak pidana

lingkungan hidup, tindak pidana di bidang kekayaan intelektual, tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan.
Ada tiga karakteristik atau features of economic crime, yaitu pelaku
menggunakan modus operandi yang sulit dibedakan dengan modus operandi kegiatan
ekonomi pada umumnya; tindak pidana ini biasanya melibatkan pengusaha sukses
dalam bidangnya; tindak pidan ini memerlukan penanganan atau pengendalian secara
khusus dan aparatur penegak hukum pada umumnya. Tiga tipe tindak pidana
ekonomi yakni property crimes; regulatory crimes; dan tax crimes15.
Sebagai extra ordinary crime, korupsi merupakan bagian tindak pidana
ekonomi, dimana ada sejumlah kegiatan di dalamnya. Pada kasus korupsi Biro
Pendapatan Negeri (BIR) Filipina, terdapat sejumlah kegiatan yang termasuk dalam
kasus tersebut, yakni pemberian uang pelicin dan pembayaran bagi catatan dan
persetujuan yang seharusnya gratis, menurunkan kewajiban pajak, menggelapkan
dana yang dikumpulkan luas, dan meminta uang suap besar pada posisi basah di
dalam BIR. Tak jauh berbeda dengan BIR, pada kasus korupsi di dalam NFO
(Organisasi Pangan Nasional di Ruritania) juga terdapat sejumlah tindak pidana di
dalamnya, yakni suap menyuap dalam proses penagdaan di distrik Dipawa,
penyimpanan (pencurian dan penipuan label), penyerahan (kolusi), kartu jatah
(penipuan).
Dari pembahasan tersebut dapat diketahui bahwa dalam sebuah kasus
korupsi, kadang kala ada tindak pidana ekonomi lain yang menyertainya. Atau
korupsi sebagai bagian akhir dari tindak pidana ekonomi yang terjadi, misalnya
penggelapan pajak oleh pegawai pajak, awalnya hanya penggelapan namun bias
menjadi korupsi karena ada kerugian negara yang terjadi akibat perilaku pegawai
tersebut.
1.4 UPAYA PENANGGULANGAN
Dalam bukunya Klitgaard menyampaikan hasil Laporan Komisi Santhanam
tentang korupsi di India dimana laporan itu menyarankan semakin banyak peraturan
akan menolong mengurangi korupsi. Suatu peraturan dapat juga mempermudah
pertanggung jawab yang kiranya akan menolong mengurangi korupsi. Peraturan
dapat membatasi atau meningkatkan kewenangan efektif16.
Di Indonesia aturan menenai korupsi termaktub dalam UU No. 3 Tahun 1971
lalu diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
15

Tindak Pidana Di Bidang Ekonomi; Suatu Tinjauan Kriminologi, http://qolbi.wordpress.com,
diakses pada minggu 14 Desember 2014
16
Robert Klitgaard, Op Cit hal 117

Tindak Pidana Korupsi yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor Nomor 20
Tahun 2001. Kerap kali, dalam menjerat pelaku korupsi, digunakan Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010.
Tak hanya dengan menguatkan perundangan guna menjerat para pelaku
korupsi, ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak
pidana ini. Klitgaard menjelaskan lebih detail langkah memerangi korupsi dengan
sebuah analisis kebijakan sebagai berikut17 :
 Memilih pegawai yang “jujur” dan “cakap”
 Mengubah imbalan dan hukuman bagi pegawai
a. Mengubah imbalan dengan cara menaikkan gaji guna mengurangi
kebutuhan akan korupsi; memberikan imbalan tindakan khusus bagi
pegawai yang berprestasi; gunakan korntrak aksidentil untuk menghadiahi
pegawai; gunakan hadiah bukan uang (pelatihan, mutasi, perjalanan,
publisitas, pujian)
b. Hukumlah tingkah laku korup dengan menaikkan hukuman formal;
menaikkan kewenangan atasan untuk menghukum; menyesuaikan hukuman
dalam

rangka

pencegahan;

menggunakan

hukuman

non

formal

(pemindahan, publisitas, hilangnya reputasi profesional, munculnya suara


negatif)
Kumpulkan dan analisis informasi untuk dapat menaikkan peluang bahwa
koupsi akan terdeteksi, ini dapat dicapai dengan perbaiki sistem audit dan
sistem

manajemen

informasi;

memperkuat

“agen-agen”

informasi;

menggunakan informasi yang diberikan oleh pihak ketiga (media, bank);
menggunakan informasi yang diberikan oleh klien dan masyarakat; menggeser
beban pembuktyian agar orang yang diduga korupsi harus membuktikan


bahwa mereka tidak bersalah.
Menyusun hubunga atasan-pegawai-klien untuk menghilangkan kekuasaan
monopoli plus kewenangan bertindak plus dengan mendorong kompetisi dalam




menyediakan jasa; dan mengurangi kekuasaan pegawai.
Menggilir para pegawai secara fungsional maupun geografis.
Mengubah misi, produk, atau teknologi organisasi hingga membuatnya tahan
korupsi.

17

Ibid hal 125 - 126



Mengubah sikap terhadap korupsi dengan cara menggunakan pelatihan,
program pendidikan dan contoh teladan pribadi; permaklumkan suatu kode
etik; dan mengubah budaya organisasi.
Meski sudah dilakukan sejumlah upaya penanggulangan, di sejumlah negara

tindak pidana korupsi masih saja terjadi. Hal ini memicu keprihatinan dunia
Internasional. Tindak pidana ini oleh sebagian orang dikenal sebagai salah satu
bentuk ‘crime as bussiness, economic crimes, white collar crime, official crime” atau
sebagai bentuk “abuse of power”18. Sejumlah kongres internasional dilaksanakan
guna membahas tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime ini,
diantaranya dalam Kongres PBB ke-6 tahun 1980 di Caracas Venezuela, Kongres
Internasional Anti Korupsi ke-7 tahun 1995 di Beijing. Tak berhenti disana, sebagai
kejahatan yang meresahkan karena menimbulkan dampak luas terhadap masyarakat,
Sidang Umum PBB tanggal 16 Desember 1996 membahas hal ini dan menghasilkan
sebuah dokumen United Nations Declarations Against Corruption and Bribery in
International Commercial Transaction. Kerja sama dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi ini menguat hingga ditandatanganinya Declaration of 8th
International Conference Against Corruptions tahun 1997 di Lima Peru. Akhirnya
pada Desember 2003 dideklarasikanlah United Declarations Convention Against
Corruption (UNCAC) yang disahkan dalam Konferensi Diplomatik di Merida
Mexico.

18

Prof. Dr. H. Elwi Danil, SH, MH, Op Cit hal 61

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ARTIKEL GERASIMOVA KSENIA
Artikel yang diberikan menjelaskan mengenai Tindak Pidana Korupsi,
pencucian uang, dan penyuapan. Terkait tindak pidana yang meresahkan karena
dampaknya luas ini, penulis artikel menjelaskan korupsi sebaai kejahatan
transnasional maka diperlukan pendekatan oleh organisasi internasional. Tetapi
upaya penegakan hukum yang dipilih oleh organisasi internasional ini ternyata tidak
efektif karena pendekatan dan prioritasnya adalah denagn prinsip pencegahan bukan
penghukuman, biaya pengendalian kejahatan ekonomi di negara berkembang tidak
perlu tinggi dan tidak berharga sehingga korupsi ini tidak mungkin dihilangkan.
Korupsi dianggap sebagai kanker yang tidak hilang tetapi bahkan meningkat. Meski
ada pesimistis didalamnya namun hal ini tidak kemudian menyebabkan kemalasan
dalam upaya pemberantasannya.
2.2 TANGGAPAN ARTIKEL GERASIMOVA KSENIA
Sebagai kejahatan bertolak belakang dengan kebiasaan masyarakat selama
ratusan tahun akibat kolonialisme, tentu menjadi pekerjaan tidak mudah untuk
menanggulangi permasalahan ini. Ketika korupsi dan tindak pidana ekonomi lainnya
seperti penyuapan justru memberikan keuntungan pada perusahaan atau warga
penyuap maka akan menjadi hal yang aneh jika mereka justru menentangnya dan
mempersulit diri. Sebagai manusia yang memiliki sifat hedonistik, tentu hal

sebaliknya yang akan dilakukan yakni tetap menikmati kemudahan yang berbuntut
pada keuntungan pribadi atau kelompok.
Budaya pemberian upeti yang terbangun selama ratusan tahun, secara logis
tidak akan bisa berubah hanya dalam beberapa tahun penerapannya. Akan
membutuhkan waktu yang panjang untuk bisa merubah perilaku yang selama ini
dianggap biasa dilakukan, tetapi kini menjadi tindak kriminal. Memang sudah ada
upaya pencegahan yang dilakukan dengan sejumlah aturan yang dibuat sebagai
wujud ratifikasi aturan internasional yang ada. Tetapi tentunya hal itu kembali pada
kebijakan pemerintahan tiap negara terkait penanganan korupsi itu sendiri.
Kembali mengutip Klitgaard yang menyampaikan hasil Laporan Komisi
Santhanam tentang korupsi di India dimana laporan itu menyarankan semakin
banyak peraturan akan menolong mengurangi korupsi. Suatu peraturan dapat juga
mempermudah pertanggung jawab yang kiranya akan menolong mengurangi
korupsi. Peraturan dapat membatasi atau meningkatkan kewenangan efektif.
Hal ini memang menjadi salah satu solusi, namun kebenaran hasil laporan
masih perlu dibuktikan kembali mengingat kondisi sosiologis tiap daerah berbeda.
Masing-masing negara memiliki kekhasannya sendiri yang berimplikasi pada
penanganan tindak pidana ini. Di Indonesia, ada sejumlah pihak yang mengusulkan
hukuman mati bagi para koruptor, dan memiskinkan keluarganya. Hal ini mendapat
sambutan beragam dari masyarakat. Di satu sisi, pihak yang menyetujui pemberatan
hukuman ini sepakat bahwa hal tersebut bisa menjerakan seperti yang diajarkan
aliran klaik dan neo klasik dimana criminal policy yang berlaku “kejahatan hilang
kalau pelakunya diberikan hukuman setimpal”19. Tetapi di sisi lain pemberatan
hukuman belum tentu bisa memberikan efek jera dan mencegah terjadinya tindak
pidana serupa. Dalam kuliahnya, Prof. Marjono Reksodiputro sempat menyampaikan
bahwa pemberatan hukuman belum tentu bisa menjerakan pelaku dan membuat
orang tidak mau melakukan hal tersebut20. Tentunya aturan jelas dan tegas
dibutuhkan untuk mengatasi korupsi yang dalam artikel disampaikan sudah seperti
kanker sehingga sulit untuk dihilangkan.

19

Disarikan dari kuliah Prof. Mardjono Reksodiputro mengenai Tiga Mahzab Kriminologi pada
mata kuliah Sistem Peradilan Pidana, tanggal 1 Oktober 2014
20
Disarikan dari kuliah Prof Mardjono Reksodiputro mengenai HAM dan Kriminologi, pada mata
kuliah Sistem Peradilan Pidana, , tanggal 18 November 2014

Dalam rangka menangani kasus ini, ada upaya yang bisa dilakukan,
diantaranya21 :


Tingkat korupsi yang sudah pada tahap kritis dan traumatis sehingga pihak
berwenang dituntut membentuk badan penegak hukum yang sama sekali baru



untuk melawannya.
Guna menjamin kepercayaan rakyat terhadap organisasi tadi, maka



keorganisasiannya mesti terpisah dari administrasi politik ataupun eksekutif.
Staf dan organisasi ini harus jelas memiliki kejujuran dan integritas tinggi dan



sanggup mempertahankannya.
Korupsi sebagai tindak kejahatan sulit diberantas , maka kewenangan



diberikan pada badan baru harus luas sekali kalau tidak mau dibilang kejam.
Harus diciptakan lagi suatu sistem independen yang terpercaya untuk



menangani keluhan terhadap badan baru itu.
Semua pertimbangan ini melibatkan sumber dana yang besar dan negara mau
menyisihkan dana guna mendorong pelaksanaannya.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan angka korupsi yang dinilai tinggi,

kini sudah memiliki badan independen yang dimaksud yakni KPK. Tetapi memang
dibutuhkan keberanian dan kejujuran dari lembaga ini untuk terus memerangi
korupsi agar secara konsisten lembaga ini bisa terus bekerja sesuai dengan
fungsinya. Dibutuhkan pula effort pemerintah sebagai eksekutif dan legislatif untuk
mau dan melaksanakannya agar cita-cita memberantas korupsi ini dapat terealisasi
dengan baik.
Sesuai dengan apa yang disampaikan dalam upaya yang diusulkan Klitgaard,
butuh biaya besar untuk bisa mendorong melaksanakan program pemberantasan
korupsi. Nominal angka yang digelontorkan untuk memerangi korupsi ini bisa
dibilang merupakan investasi jangka panjang yang jika dilaksanakan dengan baik
dan benar akan membawa dampak baik mengatasi kebocoran dana korupsi yang
merugikan negara dalam jumlah besar.

21

Robert Klitgaard, Op Cit hal 160

BAB III
KESIMPULAN

Adalah benar bahwa korupsi sebagai tindak pidana sudah dalam kondisi
kronis sehingga penanganannya pun harus ekstra, sehingga tindak pidana korupsi
merupakan extra ordinary crime. Dunia internasional yang prihatin dengan kondisi
ini melalui organisasi yang ada berupaya memerangi dengan sejumlah program yang
bersifat mencegah, namun memang hal ini belum cukup efektif mengingat peyakit
bernama korupsi sudah mengakar. Sehingga butuh treatment khusus dalam
penanganannya. Organisasi internasional sebagai lembaga yang hanya bersifat
koordinatif, menurut saya sudah benar hanya berupaya mencegah meskipun program
pencegahan ini juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Karena kebijakan
masing-masing negara untuk menangani tindak pidana tertentu merupakan
kewenangan dari masing-masing negara.
Sementara itu, sebagai warisan budaya yang sudah berabad-abad hidup di
suatu negara, korupsi yang didalamnya termasuk juga penyuapan, perlu diperangi
secara konsisten dengan penerapan aturan secara tegas. Dengan penanganan yang
benar dan tegas, dalam jangka waktu tertentu (bukan waktu yang singkat), tindak
pidana ini bisa terkurangi secara signifikan. Karena apapun bentuk tindak pidananya,
kriminalitas akan selalu ada di masyarakat selama masih ada sifat hedonistik,
egoisme, dan sifat buruk lain yang melekat dalam diri masing-masing individu
sebagai manusia dengan dua sisi hidupnya. Pertanyaan selanjutnya yang perlu
dijawab oleh pemerintahan negara, khususnya Indonesia, seberapa kuat keinginan
dan upaya memberantas tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang memiliki
keterkaitan? Hal itu akan nampak dalam setiap kebijakan yang diambil oleh para
penyelenggara

negara,

pemberantasan korupsi ini.

yang

kemungkinan

besar

terusik

dengan

upaya