Pengaruh pembelajaran kontekstual dengan strategi react terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika (studi eksprimen di MTSN Tangerang II Pamulang)

(1)

PENGARUH PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

DENGAN STRATEGI REACT TERHADAP KEMAMPUAN

PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA

(Studi Eksperimen di MTSN Tangerang II Pamulang)

Skripsi

Diajukan dalam rangka penyelesaian studi Strata-1 Untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan

Oleh :

DWI RATNA WULANDARI

106017000513

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011 M./1432 H.


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Dwi Ratna Wulandari (106017000513), “Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Dengan Strategi REACT Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika”. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Maret 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran kontekstual dengan strategi REACT terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika. Penelitian ini bertempat di MTSN Tangerang II Pamulang tahun ajaran 2010/2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperimen dengan desain penelitian Randomized Subjects Post-test Only Control Group Design. Subyek penelitian ini adalah 62 siswa yang terdiri dari 32 siswa untuk kelas eksperimen dan 30 siswa untuk kelas kontrol yang diperoleh dengan teknik cluster random sampling pada siswa kelas VII. Pengumpulan data setelah diberikan perlakuan diperoleh dari nilai tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada pokok bahasan Himpunan. Tes yang diberikan terdiri dari 6 soal dalam bentuk uraian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran kontekstual dengan strategi REACT berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kontekstual dengan strategi REACT lebih tinggi dari rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional.

Kata Kunci: Pembelajaran Kontekstual Dengan Strategi REACT, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika.


(7)

ABSTRACT

Dwi Ratna Wulandari (106017000513), The Effect of Contextual Learning With REACT Strategy Against Mathematical Problem Solving Ability”. Thesis for Mathematical Education, Faculty of Tarbiyah and Teaching Science, Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta, March 2011.

The purpose of this research is to determine the effect of contextual learning with the REACT strategy to resolving mathematical problem solving ability. This research was conducted at MTSN Tangerang II Pamulang for academic year 2010/2011. The method that used in this research is the method of quasi experimental design with randomized studies Subjects Post-test Only Control Group Design. Subjects for this research are 62 students consist of 32 student for experimental group and 30 student for control group which selected by cluster random sampling technique on 7th grade. The data collection after being given treatment is obtained from the test scores of the mathematical problem solving ability at the subject of Association. Test consisted of 6 question in essay. The results showed that the contextual learning with REACT strategies effect on the ability of students to solve mathematical problems. The students who are taught using contextual learning with the REACT strategy have mean score of ability

student’s mathematical problem solving higher than students who are taught using conventional learning.

Keywords: Contextual Learning With REACT Strategies, Mathematical Problem Solving Ability.


(8)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa mengikuti ajarannya sampai akhir zaman.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana pendidikan pada program studi pendidikan matematika. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan hambatan dalam penulisan skripsi ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis, namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat terselesaikan dengan baik.

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan moril dan materil, sehingga skripsi ini dapat selesai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Maifalinda Fatra M.Pd, Ketua Jurusan Pendidikan Matematika, Bapak Otong Suhyanto, M.Si., Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika dan Staff jajarannya.

3. Bapak Drs. HM. Ali Hamzah, M.Pd., Dosen Pembimbing I yang selalu memberikan bimbingan dan nasihat kepada penulis.

4. Bapak Jaenudin, MM, M.Si., Dosen Pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan dan nasihat kepada penulis.

5. Bapak dan Ibu Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis beserta staff jurusan yang selalu membantu penulis dalam proses administrasi.

6. Bapak Suhardi, M.Ag. selaku Kepala Sekolah MTS Negeri Pamulang yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian skripsi ini.


(9)

7. Bapak Lukman S.Pd selaku guru pamong matematika di tempat penulis mengadakan penelitian yang telah memberikan semangat dan masukan-masukan bagi penulis.

8. Teristimewa untuk kedua orangtuaku tersayang, ayahanda Sukasman yang menjadi motivasi bagi penulis dan Ibunda Suratinah yang tiada hentinya mencurahkan kasih sayang, selalu mendoakan, serta memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis.

9. Kakak dan adikku tersayang, Purwo Yudo Wibowo, S.E dan Priyogo Yudho Pamungkas yang telah memberikan dukungan moril dan materil serta doanya kepada penulis.

10.Sahabat-sahabat seperjuanganku dibangku kuliah (Mahmudah, Sawati, dan Resti Restuati Fatimah yang selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis serta semua teman-temanku di Jurusan Pendidikan Matematika angkatan 2006.

11. Dan kepada semua pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan di masa yang akan datang. Akhir kata semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Jakarta, 3 Maret 2010

Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Abstract ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi... v

Daftar Tabel ... vii

Daftar Gambar ... viii

Daftar Lampiran ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kajian Teori ... 10

1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika ... 10

a. Pengertian Matematika... 10

b. Kemampuan Pemecahan Masalah... 12

2. Pembelajaran Kontekstual ... 22

a. Pengertian Pembelajaran Kontekstual... 22

b. Komponen Pembelajaran Kontekstual ... 23

3. Strategi Pembelajaran REACT ... 28

a. StrategiPembelajaran... 28

b. Strategi REACT ... 29

c. Implementasi Strategi REACT pada Pembelajaran Matematika ... 38

B. Pembelajaran Konvensional ... 41

C. Penelitian yang Relevan ... 44


(11)

D. Kerangka Berikir ... 45

E. Hipotesis Penelitian ... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 47

B. Metode dan Desain Penelitian ... 47

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 48

D. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 48

E. Teknik Analisis Data ... 56

F. Hipotesis Statistik... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 61

1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Kelas Eksperimen ... 62

2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Kelas Kontrol ... 64

B. Pengujian Prasyarat Analisis ... 67

1. Uji Normalitas Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa ... 67

a. Uji Normalitas Kelas Eksperimen ... 67

b. Uji Normalitas Kelas Kontrol ... 68

2. Uji Homogenitas Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa ... 68

C. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan ... 69

1. Pengujian Hipotesis Penelitian ... 69

2. Pembahasan ... 71

D. Keterbatasan Penelitian ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84

LAMPIRAN ... 87


(12)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 2.1 Kegiatan Pembelajaran Strategi REACT ... 39

Tabel 2.2 Perbedaan Strategi REACT dengan Strategi Konvensional ... 43

Tabel 3.1 Desain Penelitian ... 47

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Tes ... 51

Tabel 3.3 Klasifikasi Interpretasi Taraf Kesukaran ... 54

Tabel 3.4 Klasifikasi Interpretasi Daya Pembeda ... 55

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kelas Eksperimen ... 62

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kelas Kontrol ... 64

Tabel 4.3 Statistik Deskriptif Hasil Penelitian ... 66

Tabel 4.4 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Normalitas... 68

Tabel 4.5 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Homogenitas ... 69

Tabel 4.6 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Hipotesis ... 70


(13)

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 4.1 Histogram dan Poligon Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa

Kelas Eksperimen... 63 Gambar 4.2 Histogram dan Poligon Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa

Kelas Kelas Kontrol ... 65 Gambar 4.3 Kurva Uji Perbedaan Data Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol 70 Gambar 4.4 Suasana Pembelajaran dengan Pembelajaran Strategi REACT Pada Kelompok Eksperimen ... 75


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaraan (RPP) Kelas Eksperimen ... 88

Lampiran 2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaraan (RPP) Kelas Kontrol ... 121

Lampiran 3 Lembar Kerja Siswa ... 132

Lampiran 4 Kisi-kisi Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika ... 167

Lampiran 5 Instrumen Uji Coba Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika ... 168

Lampiran 7 Kunci Jawaban ... 170

Lampiran 8 Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika ... 176

Lampiran 9 Pedoman Penskoran ... 178

Lampiran 10 Perhitungan Validitas ... 182

Lampiran 11 Perhitungan Reliabilitas ... 184

Lampiran 12 Uji Taraf Indeks Kesukaran ... 185

Lampiran 13 Uji Daya Pembeda Butir Soal ... 186

Lampiran 14 Langkah-Langkah Perhitungan Validitas Tes Essay ... 187

Lampiran 15 Langkah-Langkah Perhitungan Uji Reliabilitas ... 189

Lampiran 16 Langkah-Langkah Perhitungan Daya Pembeda ... 190

Lampiran 17 Langkah-Langkah Perhitungan Taraf Kesukaran ... 191

Lampiran 18 Data Mentah Hasil Penelitian Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... ... 192

Lampiran 19 Daftar Distribusi Frekuensi Kelas Eksperimen... 193

Lampiran 20 Daftar Distribusi Frekuensi Kelas Kontrol ... 194

Lampiran 21 Distribusi Frekuensi Nilai Tes Kelas Eksperimen ... 195

Lampiran 22 Distribusi Frekuensi Nilai Tes Kelas Kontrol... 196

Lampiran 23 Perhitungan Mean, Median, Modus, Varians, dan Simpangan Baku Kelas Eksperimen ... 197

Lampiran 24 Perhitungan Mean, Median, Modus, Varians, dan Simpangan Baku Kelas Kontrol ... 199

Lampiran 25 Perhitungan Kemiringan dan Ketajaman Kelas Eksperimen ... 201


(15)

Lampiran 26 Perhitungan Kemiringan dan Ketajaman Kelas Kontrol ... 203

Lampiran 27 Perhitungan Uji Normalitas Kelas Eksperimen ... 205

Lampiran 28 Perhitungan Uji Normalitas Kelas Kontrol ... 207

Lampiran 29 Perhitungan Uji Homogenitas ... 209

Lampiran 30 Pengujian Uji Hipotesis Statistik ... 210

Lampiran 31 Hasil Wawancara Pra Penelitian... 212

Lampiran 32 Pedoman Wawancara Siswa Untuk Mengetahui Respon Siswa Terhadap Penerapan Strategi REACT ... 215

Lampiran 33 Hasil Wawancara Siswa Untuk Mengetahui Respon Siswa Terhadap Penerapan Strategi REACT ... 216

Lampiran 34 Luas Di Bawah Kurva Normal ... 220

Lampiran 35 Harga Kritik Korelasi Pruduct Moment Person ... 221

Lampiran 36 Nilai Kritis Distribusi Kai Kuadrat (Chi Square) ... 222

Lampiran 37 Nilai Kritis Distribusi Kai Kuadrat (Lanjutan) ... 223

Lampiran 38 Nilai Kritis Distribusi F ... 224

Lampiran 39 Nilai Kritis Distribusi F (Lanjutan) ... 225

Lampiran 40 Nilai Kritis Distribusi T ... 226


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat dewasa ini menuntut umat manusia untuk terus mengembangkan wawasan dan kemampuan di berbagai bidang, terutama di bidang sains dan teknologi. Oleh karena itu, manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan adalah usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.1 Majunya suatu Negara banyak ditentukan oleh kreatifitas pendidikan Negara itu sendiri, karena pendidikan sebagai upaya mencetak sumber daya manusia yang berkualitas dan berdedikasi tinggi. Begitu juga Indonesia menempatkan pendidikan pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan utama.

Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu pendidikan nasional yang mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini senada dengan apa yang tertuang dalam Undang-undang Sistem pendidikan Nasional, yang berbunyi:

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.2

Pada dasarnya, setiap manusia terlahir dengan potensi kecerdasan masing-masing sebagai anugerah Tuhan. Persoalannya terletak bagaimana cara mengembangkan kecerdasan yang beragam tersebut. Selama ini kita

1

Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 1

2

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II, Pasal III h. 8


(17)

terjebak dengan pola pengembangan yang seragam. Sehingga kita tidak melihat kecerdasan dari masing-masing individu.

Masalah pendidikan di Indonesia yang banyak diperbincangkan adalah pengetahuan sebagai seperangkat fakta–fakta yang harus dihafal. Sehingga hasil pendidikan hanya tampak dari kemampuan siswa menghafal fakta-fakta. Walaupun banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi yang diterimanya tetapi pada kenyataannya mereka sering kali tidak memahami secara mendalam substansi materinya.

Di sekolah terdapat serangkaian bidang studi yang harus dikuasai oleh siswa salah satunya adalah matematika. Matematika merupakan pelajaran yang diperlukan di dalam dunia pendidikan. Pendidikan matematika memiliki andil yang besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Konsep-konsep matematika selalu digunakan dalam berbagai aspek kehidupan, dan juga memberi manfaat untuk ilmu-ilmu lain. Kline (1973)

dalam Erman Suherman mengungkapkan, “matematika itu bukanlah

pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami

dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam.”3

Dalam Islam, belajar matematika merupakan suatu keharusan yang dimiliki oleh manusia. Hal ini dilisankan Allah Swt dalam firman-Nya Surat Al-Isra ayat 36. Berikut ini firman-Nya:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai

pengetahuan tentangnya, Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,

semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya…”

3

Erman Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA-UPI, 2003), h. 17


(18)

Maksud ayat di atas selain kita diperintahkan untuk belajar, kita juga harus mengetahui karakteristik dari ilmu pengetahuan tersebut seperti halnya matematika. Pembelajaran matematika akan menuju ke arah yang benar dan berhasil apabila mengetahui karakteristik yang dimilikinya. Matematika memiliki karakteristik tersendiri baik ditinjau dari aspek kompetensi yang ingin dicapai maupun dari aspek materi yang dipelajari untuk menunjang tercapainya kompetensi. Ditinjau dari aspek kompetensi yang ingin dicapai, matematika menekankan penguasaan konsep dan keterampilan memecahkan masalah. Kompetensi tersebut diperlukan agar siswa dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Meskipun matematika begitu penting, namun sampai saat ini matematika termasuk bidang yang dianggap sulit dipelajari dibandingkan dengan bidang lainnya. Matematika mempunyai sifat yang abstrak dan pemahaman konsep yang baik sangatlah penting karena untuk memahami konsep yang baru diperlukan pemahaman konsep sebelumnya. Konsep diperoleh dari fakta, peristiwa, pengalaman, melalui generalisasi dan berfikir abstrak. Berkaitan dengan hal tersebut, Menurut Iwan Pranoto, pakar matematika dari Institut Teknologi Bandung dalam surat kabar harian disebutkan bahwa kemenangan siswa Indonesia di berbagai ajang olimpiade internasional rupanya tak membuat kualitas siswa Indonesia meningkat. Justru sebaliknya, sekitar 76,6 persen siswa setingkat SMP ternyata dinilai

”buta” matematika. Menurut dia, dihitung dari skala 6, kemampuan

matematika siswa Indonesia hanya berada di level kedua. Ironisnya kondisi itu bertahan sejak 2003. Artinya, selama tujuh tahun, kondisi itu tak berubah. Ini menunjukkan bahwa pengajaran matematika yang sekarang tidak mampu mengangkat ke level dua atau lebih. Pembenahan pendidikan matematika sekolah kita belum berhasil.4

4

Kompas, 76,6 Persen Siswa SMP "Buta" Matematika,

http://edukasi.kompas.com/read/2011/01/31/19444535/76.6.Persen.Siswa.SMP.Buta.Matematika, 23 Februari 2011, 17. 24 WIB


(19)

Keadaan ini tentu sangat ironis dengan kedudukan dan peran matematika untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan. Pasalnya, matematika merupakan induk ilmu pengetahuan. Tapi, ternyata matematika hingga saat ini belum menjadi pelajaran yang difavoritkan. Rasa takut terhadap pelajaran matematika alias phobia matematika masih kerap menghinggapi perasaan para siswa dari tingkat SD sampai dengan SMA, bahkan hingga perguruan tinggi. Padahal, matematika bukan pelajaran yang sulit. Itu semua disebabkan karena dalam proses belajar mengajar banyak didominasi oleh peran guru saja. Guru bertindak sebagai pengajar yang berusaha memberikan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dan peserta didik giat mengumpulkan atau menerimanya.5 Dan faktor dari siswa itu sendiri adalah kurangnya pemahaman konsep siswa terhadap materi yang diajarkan. Asumsi tersebut membuat guru memfokuskan pembelajaran matematika hanya pada transfer pengetahuan tentang matematika sebanyak mungkin kepada siswa. Akan tetapi, dalam perkembangan seperti sekarang ini, guru dituntut agar tugas dan peranannya tidak lagi sebagai pemberi informasi (transmission of knowledge), melainkan sebagai pendorong belajar agar siswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui berbagai aktivitas seperti pemecahan masalah.

Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Namun, yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa pemecahan masalah dalam proses pembelajaran matematika belum dijadikan kegiatan utama dan masih dianggap bagian yang paling sulit dalam matematika baik bagi siswa dalam mempelajarinya maupun bagi guru dalam mengajarkannya.6

5

Agus Suprijono, Cooperatif Learning Teori Dan Aplikasi PAIKEM, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 3

6

Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: UPI, 2001), h. 83


(20)

Adakalanya seseorang memecahkan masalah secara naluri maupun trial and error, namun taraf pemecahan manusia lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk lain karena manusia sanggup memecahkan masalah dengan akal selain memiliki bahasa. Seperti dikemukakan oleh Gagne dalam Suherman bahwa keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah, karena pemecahan masalah merupakan tipe belajar yang paling tinggi dari delapan tipe yang dikemukan, yaitu : signal learning, stimulus-responses learning, chaining, verbal association, discrimination learning, concept learning, rule learning, dan problem solving.7

Terkadang banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal yang berbentuk non rutin. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan The National Assesment of Educational Progress (NAEP) menunjukkan bahwa siswa sekolah dasar pada umumnya menghadapi kesulitan dalam menghadapi soal tidak rutin yang memerlukan analisis dan proses berpikir mendalam.8 Kesulitan tersebut tampak pemahaman siswa terhadap soal. Sehingga untuk menyelesaikan soal tersebut siswa terlebih dahulu membaca soal dengan cermat dan menganalisis soal serta memahami apa yang harus dicari, serta bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menyelesaikan soal tersebut. Jika siswa tidak memahami soal dengan baik maka jawaban bisa salah. Untuk hal yang demikian guru harus dapat menciptakan pembelajaran untuk menye;lesaikan dengan langkah-langkah yang benar dan tepat.

Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika, tidak lepas dari proses pembelajaran matematika. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru bidang studi matematika kelas VII MTSN Tangerang II Pamulang menyebutkan bahwa kemampuan memecahkan masalah matematika masih kurang, siswa masih banyak mengalami kesulitan untuk mengaitkan materi

7

Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: UPI, 2003), h.87

8

Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: UPI, 2003), h.83


(21)

yang di peroleh di sekolah dengan masalah yang ada di sekitar mereka, hal ini menyebabkan pembelajaran cenderung bersifat konvensional. Pembelajaran yang hanya berpusat pada guru. Siswa terlihat pasif dan hanya mendengarkan penjelasan dari guru, dan siswa lebih cenderung menghafal bentuk atau kalimat dalam menyelesaikan soal matematika.

Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika dapat dilakukan dengan mengadakan perubahan-perubahan dalam pembelajaran. Dalam hal ini, perlu dirancang suatu pembelajaran yang membiasakan siswa untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, sehingga siswa lebih memahami konsep yang diajarkan serta mampu memecahkan masalah terhadap materi matematika itu sendiri. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa adalah dengan melaksanakan strategi pembelajaran yang relevan untuk diterapkan oleh guru.

Salah satu strategi pembelajaran yang dapat diterapkan adalah strategi pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri sehingga siswa lebih mudah untuk memahami konsep-konsep yang diajarkan dan mampu memecahkan masalah matematika. Strategi tersebut adalah strategi REACT.

Strategi REACT merupakan salah satu strategi pembelajaran yang dapat membantu guru untuk menanamkan konsep pada siswa, sehingga siswa tidak sekedar menghafal rumus, akan tetapi siswa dapat menemukan sendiri, bekerjasama, dapat menerapkan dalam kehidupan dan dapat mentransfer dalam konteks baru, sekaligus belajar selalu mengaitkan dengan konteks baru. Melalui strategi REACT, siswa diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika.

Pemilihan strategi pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran matematika akan mengaktifkan siswa serta menyadarkan siswa bahwa matematika tidak selalu membosankan. Guru hanya sebagai fasilitator untuk membentuk dan mengembangkan pengetahuan itu sendiri, bukan untuk memindahkan pengetahuan.


(22)

Guna membuktikan hal tersebut, maka diperlukan penelitian lebih lanjut, maka penulis merasa perlu untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Dengan Strategi REACT

Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika.”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis menguraikan masalah-masalah yang teridentifikasi sebagai berikut:

a. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika masih rendah.

b. Kemampuan siswa dalam memahami masalah masih rendah. c. Hasil belajar siswa masih rendah.

d. Siswa cenderung pasif dalam pembelajaran matematika. e. Pembelajaran matematika masih berpusat pada guru.

C. Pembatasan Masalah

Untuk membatasi masalah yang begitu luas, penulis membuat pembatasan masalah sebagai berikut:

Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang dimaksud adalah kemampuan siswa untuk menyelesaikan soal-soal matematika yang disajiakan dalam bentuk soal yang tidak rutin yaitu soal yang untuk sampai pada prosedur yang benar diperlukan pemikiran yang mendalam.

Strategi pembelajaran adalah strategi REACT. Strategi REACT merupakan salah satu strategi pembelajaran yang dapat membantu guru untuk menanamkan konsep pada siswa, sehingga siswa tidak sekedar menghafal rumus, akan tetapi siswa dapat menemukan sendiri, bekerjasama, dapat menerapkan dalam kehidupan dan dapat mentransfer dalam konteks baru, sekaligus belajar selalu mengaitkan dengan konteks baru.


(23)

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran kontekstual dengan strategi REACT?

2. Bagaimana kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional?

3. Apakah kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika dengan strategi REACT lebih baik dibandingkan kemampuan memecahan masalah matematika yang diajarkan dengan strategi pembelajaran konvensional?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan rumusan masalah di atas, peneliti merumuskan tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika setelah diterapkan pembelajaran kontekstual dengan strategi REACT.

2. Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional.

3.Untuk mengetahui perbedaan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kontekstual dengan strategi REACT dengan siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.


(24)

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Siswa : Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dalam mengerjakan soal-soal matematika.

2. Guru : Memberi pengetahuan baru kepada guru bahwa strategi REACT merupakan salah satu strategi pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika sehingga nantinya dapat menjadi alternatif strategi pembelajaran yang dapat diterapkan di dalam kelas.

3. Sekolah : Meningkatkan mutu pendidikan pada sekolah yang bersangkutan terkait dengan pengembangan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika dengan strategi REACT.


(25)

BAB II

KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

A.

Kajian Teori

1.

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

a.

Pengertian Matematika

Matematika adalah pengetahuan dasar yang harus dikuasai oleh setiap siswa, baik itu untuk bekal dalam kehidupan sehari-hari, maupun untuk dapat menguasai ilmu-ilmu yang ada hubungannya dengan matematika. Dengan menguasai konsep-konsep matematika, maka seorang siswa akan dengan mudah memahami ilmu-ilmu yang lain, mengaitkan serta mampu menerapkan konsep-konsep tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.

Banyak definisi tentang matematika yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Diantaranya menurut Erna Suwangsih bahwa matematika berasal dari perkataan Latin mathematika yamg mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike yang berarti mempelajari. Perkataan itu mempunyai asal katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal katanya, maka perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar).19 Matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi, matematika juga terbentuk karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran.

1

Erna Suwangsih dan Tiurlina, Model Pembelajaran Matematika, Cet.I, (Bandung: UPI PRESS, 2006), h.3


(26)

Reys dkk (1984) dalam buku Erna Suwangsih dan Tiurlina mengemukakan bahwa matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berfikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Johnson dan Rising dalam Russefendi (1972) yang mengemukakan bahwa matematika adalah pola berfikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi. Matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisasi, sifat-sifat dalam teori-teori dibuat secara deduktif berdasarkan kepada unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah dibuktikan kebenarannya. Matematika adalah ilmu tentang keteraturan pola atau ide, dan matematika itu adalah suatu seni, keindahannya terdapat pada keterurutan dan keharmonisannya.210

Menurut Johnson dan Myklebust, matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoretisnya adalah untuk memudahkan berpikir. Lerner mengemukakan bahwa matematika di samping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat, dan mengkomunikasikan ide mengenai elemen dan kuantitas.311

Sedangkan Soedjadi (2000) memberikan enam definisi atau pengertian tentang matematika, yaitu: (1) matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir dengan baik, (2) matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi, (3) matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logika dan berhubungan dengan bilangan, (4) matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan

2

Erna Suwangsih dan Tiurlina, Model Pembelajaran Matematika, Cet.I, (Bandung: UPI PRESS, 2006), h.4

3

Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Anak Bagi Berkesulitan Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h.252


(27)

masalah tentang ruang dan bentuk, (5) matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logis, dan (6) matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.412

Dalam mempelajari matematika seseorang harus dapat berpikir logis.

Sebagaimana Erman Suherman mengatakan, “ Konsep-konsep matematika tersusun secara hirarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana kepada konsep yang lebih kompleks. Dalam matematika terdapat topik atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk

memahami topik atau konsep selanjutnya”.513

Dari uraian, maka dapat dikatakan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang didapat karena berpikir dan didasari oleh logika . Selain itu, matematika merupakan suatu ilmu yang didasari atas akal yang berhubungan dengan benda-benda yang abstrak.

b.

Kemampuan Pemecahan Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering dihadapkan kepada masalah-masalah yang menuntut untuk menyelesaikannya. Kata masalah-masalah mengandung arti yang komprehensif. Oleh karenanya akan terjadi berbagai tanggapan yang berbeda. Dalam hal ini terjadi perbedaan sikap terhadap sesuatu peristiwa atau kondisi tertentu. Misalnya, sesuatu akan menjadi masalah bagi anak-anak, tetapi belum tentu menjadi masalah bagi orang dewasa.

Banyak pendapat mengenai masalah yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Diantaranya menurut Fadjar Shadiq, suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui si pelaku, seperti yang dinyatakan

4

Nahrowi Adjie dan Maulana, Pemecahan Masalah Matematika, Ed.I. Cet.I, (Bandung: UPI PRESS, 2006), h. 34

5

Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: UPI, 2003), h. 22


(28)

Cooney, et al. (1975: 242) berikut: ”... for a question to be a problem, it must present a challenge that cannot be resolved by some routine procedure

known to the student”.614

Masalah atau problem menurut Hayes (Helgimon SL, 1992: 2) adalah suatu kesenjangan (gap) antara dimana anda berada sekarang dengan tujuan yang anda inginkan, sedangkan anda tidak tahu proses apa yang akan dikerjakan.715 Webster mendefinisikan masalah sebagai berikut:816

Definition 1: "In mathematics, anything required to be done, or requiring the doing of something."

Definition 2: "A question... that is perplexing or difficult."

Dari definisi pertama dapat dikatakan bahwa masalah dalam matematika adalah segala sesuatu yang memerlukan pengerjaan atau dengan kata lain segala sesuatu yang memerlukan pemecahan. Sedangkan dari definisi kedua, masalah merupakan pertanyaan yang membingungkan atau sulit.

Menurut Grouws (1992) masalah dalam matematika adalah (1) segala sesuatu yang menghendaki untuk dikerjakan; (2) sebuah pertanyaan yang tidak dapat dijawab langsung. Sehingga masalah dalam matematika dapat ditafsirkan suatu pertanyaan yang menghendaki suatu pemecahan.917 Sehubungan dengan itu, Hudoyo (1996: 190), suatu pertanyaan merupakan suatu permasalahan bila pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan prosedur

6

Fadjar Shadiq, Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi, (Yogyakarta: Pusat Pengembangan penataran guru (PPPG) Matematika, 2004), Dari www.fadjarp3g.files.wordpress.com. h.10. 25 Juli 2010 13.40 WIB

7

Erna Suwangsih dan Tiurlina, Model Pembelajaran Matematika, Cet.I, (Bandung: UPI PRESS, (2006), h.126

8

Alan H. Schoenfeld, “learning to think mathematically: problem solving,

metacognition,and sense-making in mathematics”, dari

http://gse.berkeley.edu/faculty/ahschoenfeld/schoenfeld_MathThinking.pdf, h. 10. 15 Agustus 2010 18.25 WIB

9

Wanti Rohani, Jurnal Wacana Kependidikan, Vol. 5, No. 2, Mei 2004, h. 105


(29)

rutin, sedangkan pemecahan masalah adalah proses penerimaan tantangan dan kerja keras untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Suatu pertanyaan mungkin merupakan masalah bagi seseorang tetapi bukan masalah bagi orang lain. Syarat suatu masalah bagi seorang siswa adalah (a) pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang siswa haruslah dapat dimengerti oleh siswa tersebut, namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya, (b) pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa (Hudojo, 1979). Hal ini sejalan dengan Rusffendi (1991a) suatu persoalan merupakan masalah bagi seseorang jika: pertama, persoalan itu tidak dikenalnya. Kedua, siswa harus mampu menyelesaikannya, baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuan yang dimiliki; terlepas daripada apakah ia sampai atau tidak kepada jawabannya. Ketiga, sesuatu itu merupakan pemecahan masalah baginya, bila ia ada niat untuk menyelesaikannya.

Hudoyo (1996: 189) mengemukakan bahwa penyelesaian masalah dapat diartikan sebagai penggunaan matematika baik untuk matematika itu sendiri maupun aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari dan ilmu pengetahuan yang lain secara kreatif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang belum kita kenal.1018

Dalam pembelajaran matematika, masalah dapat disajikan dalam bentuk soal tidak rutin yang berupa soal cerita, penggambaran penomena atau kejadian, ilustrasi gambar atau teka-teki. Masalah tersebut kemudian disebut masalah matematika karena mengandung konsep matematika. Terdapat beberapa jenis masalah matematika, walaupun sebenarnya tumpang tindih, tapi perlu dipahami oleh guru matematika ketika akan menyajikan soal matematika. Menurut Hudoyo, jenis-jenis masalah matematika adalah sebagai berikut:1119

10

Erna Suwangsih dan Tiurlina, Model Pembelajaran Matematika, Cet.I, (Bandung: UPI Press, (2006), h.126

11

Nahrowi Adjie dan Maulana, Pemecahan Masalah Matematika, Ed.I. Cet.I, (Bandung: UPI PRESS, 2006), h. 7-9


(30)

1) Masalah Translasi

Masalah translasi merupakan masalah kehidupan sehari-hari dimana penyelesaiannya memerlukan adanya translasi (perpindahan) dari bentuk verbal ke bentuk matematika. Dalam mengubah bentuk verbal (kalimat/kata) ke bentuk/model matematika membutuhkan kemampuan menafsirkan atau menterjemahkan kata atau kalimat biasa kedalam simbol-simbol matematika yang selanjutnya dicari cara penyelesaiannya berdasarkan aturan yang berlaku.

2) Masalah Aplikasi

Masalah aplikasi merupakan penerapan berbagai teori/konsep yang dipelajari dalam matematika. Guru sebaiknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan bermacam-macam keterampilan dan prosedur matematika. Dengan menyelesaikan masalah semacam itu siswa dapat memahami manfaat matematika dalam kehidupan sehari-hari.

3) Masalah Proses

Masalah proses biasanya untuk menyusun langkah-langkah merumuskan pola dan strategi khusus dalam menyelesaikan masalah. Masalah semacam ini memberikan kesempatan kepada siswa agar dalam diri siswa terbentuk keterampilan menyelesaikan masalah sehingga membantu siswa menjadi terbiasa menyeleksi masalah dalam berbagai situasi.

4) Masalah Teka-teki

Masalah ini digunakan untuk tujuan rekreasi dan kesenangan serta sebagai alat yang bermanfaat untuk mencapai tujuan efektif dalam pengajaran matematika. Masalah teka-teki dapat digunakan untuk pengantar suatu pembelajaran, seperti untuk memusatkan perhatian, untuk memberikan ganjaran (penguatan ) atau mengisi waktu kelas yang sedang tidak ada pelajaran (waktu luang). Dalam masalah teka-teki 15


(31)

biasanya tidak rumus atau cara khusus yang digunakan, tetapi apakah teka-teki masuk akal atau tidak.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masalah dalam matematika adalah suatu persoalan yang harus ada pemecahannya dan suatu pertanyaan akan menjadi masalah jika pertanyaan tersebut tidak dapat dipecahkan dengan prosedur rutin dan tidak dapat dijawab langsung karena pada titik awal belum diketahui aturan/hukum yang dapat digunakan untuk mendapatkan jawabannya, serta siswa merasa tertantang untuk menyelesaikannya.

Masalah dapat ditemukan solusinya dengan menggunakan strategi berpikir yang disebut pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan suatu kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa, seiring dengan perubahan paradigma pembelajaran matematika dari fokus terhadap kemampuan berhitung dan rumus menjadi fokus terhadap kemampuan siswa dalam menggunakan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah dalam kehidupan mereka.

Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin.

Menurut Polya dalam Suherman, solusi soal pemecahan masalah memuat empat langkah penyelesaian, yaitu: (1) pemahaman terhadap permasalahan; (2) perencanaan penyelesaian masalah; (3) melaksanakan perencanaan penyelesaian masalah; (4) melihat kembali penyelesaian.

Pemecahan masalah matematika tidak terlepas dari pengetahuan seseorang akan substansi masalah tersebut, apakah pemahamanya terhadap inti masalah, prosedur atau langkah yang digunakan untuk menyelesaikan masalah, maupun aturan atau rumus yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Hal ini sejalan dengan teori belajar Gagne (1970), yang

menyatakan bahwa, “keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat


(32)

dikembangkan melalui pemecahan masalah. Sebab pemecahan masalah merupakan tipe belajar paling tinggi dari 8 tipe yang dikemukakan Gagne, yaitu: signal learning, stimulus-response learning, chaining, verbal association, discrimination learning, concept learning, rule learning, dan problem solving”.1220

Problem solving (pemecahan masalah) adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini para siswa belajar merumuskan pemecahan masalah, memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik, yang mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Belajar memecahkan masalah itu berlangsung sebagai berikut: individu menyadari masalah bila ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan adanya semacam kesulitan.1321

Menurut Pestel menyatakan bahwa untuk memecahkan masalah, siswa terlebih dahulu memiliki beberapa kemampuan antara lain kemampuan memahami konsep, memahami masalah, maupun menerapkan konsep yang dimiliki pada situasi baru, dan mengevaluasi tugas yang telah dikerjakannya.1422

Pemecahan masalah pada mata pelajaran matematika dapat disajikan dalam bentuk soal yang tidak rutin yaitu soal yang untuk sampai pada prosedur yang benar diperlukan pemikiran mendalam. Sehingga pemecahan masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, logis, analitis dan sistematis atau bahkan soal dapat disajikan dalam bentuk soal cerita.

Pemecahan masalah tidak sekadar sebagai bentuk kemampuan manerapkan aturan-aturan yang telah dikuasai melalui kegiatan-kegiatan belajar terlebih dahulu, melainkan lebih dari itu, merupakan proses untuk

12

Eman Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: UPI Press,2003), h.83

13

Junaedi, dkk, Strategi Pembelajaran, (Jakarta, LAPIS PGMI, 2008), h. 1.19

14

Gelar Dwirahayu dkk, Pendekatan Baru dalam Pembelajaran Sains dan Matematika Dasar, Cet.I. (Jakarta: PIC UIN, 2007), h. 51


(33)

mendapatkan seperangkat aturan pada tingkat yang lebih tinggi.1523Apabila seseorang telah mendapatkan seperangkat aturan dan dapat dioperasikan sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi maka ia tidak saja dapat memecahkan masalah, melainkan dapat menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang dimaksud adalah perangkat prosedur atau strategi yang memungkinkan seseorang dapat meningkatkan kemandirian dalam berpikir.

Pemecahan masalah merupakan strategi yang ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih pendekatan dan strategi pemecahan, dan menyelesaikan model untuk menyelesaikan masalah. Indikator yang menunjukkan pemecahan masalah antara lain adalah:1624

1) Menunjukkan pemahaman masalah.

2) Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah.

3) Menyajikan masalah secara matematik dalam berbagai bentuk. 4) Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat. 5) Mengembangkan strategi pemecahan masalah.

6) Membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah. 7) Menyelesaikan masalah yang tidak rutin.

Memecahkan masalah berbeda dengan menyelesaikan soal latihan. Menyelesaikan soal latihan merupakan aktivitas rutin keterampilan menggunakan fakta, konsep, dan prinsip untuk mendapatkan jawabannya. Sedangkan di pemecahan masalah kadangkala kita harus berhenti merenung mengingat langkah-langkah berhasil yang pernah dibuat, atau mendapatkan langkah yang baru sama sekali menuju ke pemecahan masalah.1725

15

Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h.52

16

Asep Jihad dan Abdul Haris, Evaluasi Pembelajaran, Cet.III, (Yogyakarta: Multi Pressindo, 2009), h.149.

17

Soemoenar dkk, Penerapan Matematika Sekolah, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 1.27


(34)

Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa pemecahan masalah matematika adalah proses yang menggunakan kekuatan dan manfaat matematika dalam menyelesaikan masalah, yang juga merupakan metode penemuan solusi melalui tahap-tahap pemecahan masalah. Tahap-tahap ini merupakan tahapan yang meliputi indikator pemecahan masalah yaitu, memahami soal yang diterima oleh siswa merupakan soal yang belum ia ketahui cara menyelesaikannya, merencanakan penyelesaian masalah, melaksanakan penyelesaian masalah, dan melihat kembali penyelesaian.

Kemampuan pemecahan masalah sangat penting artinya bagi siswa dan masa depannya. Menurut Suharsono (1991) para ahli pembelajaran

berpendapat bahwa, “kemampuan pemecahan masalah dalam batas-batas tertentu, dapat dibentuk melalui bidang studi dan disiplin ilmu yang

diajarkan”.1826

Karena matematika merupakan bidang studi yang dapat membentuk kemampuan siswa dalam memecahkan suatu masalah, matematika juga dapat membantu dalam memecahkan persoalan baik dalam pelajaran lain maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Kemampuan pemecahan masalah adalah proses kognitif yang berhubungan dengan kemampuan analisis, evaluasi dan kreasi. Bloom dalam taksonominya menggolongkan ke dalam ranah berpikir pengetahuan tingkat tinggi (higher order or higher level cognitive processes). Proses berpikir ini melibatkan kemampuan membedakan (differentiating), pengorganisasian (organizing), atribusi (attributing), pengecekan (checking), mengkritik (critiquing), penyimpulan (generating), perencanaan (planning), dan produksi (producing).1927

Menurut Sumarmo (2003), aktivitas-aktivitas yang tercakup dalam kegiatan pemecahan masalah meliputi:

18

Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h.53.

19

http://ontarusria.tripod.com/bab2.html, 14 Juli 2010, 20:21 WIB


(35)

Mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah situasi sehari-hari dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau luar matematika; menjelaskan/ menginterpretasikan hasil sesuai masalah asal; menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematika secara bermakna.2028

Branca (Krulik dan Reys 1980: 3) sebagaimana dikutip oleh Gelar Dwirahayu menyatakan bahwa klasifikasi aktivitas yang termasuk pemecahan masalah dalam matematika meliputi memecahkan masalah sederhana yang muncul dalam buku teks, memecahkan masalah teka-teki non rutin, menerapkan matematika pada masalah dunia nyata, membuat dan menguji konjektur matematika yang mungkin mengarah pada bidang kajian baru.2129

Di Amerika Serikat, penyelidikan tentang pemecahan masalah telah dilakukan beberapa puluh tahun yang lalu. Penyelidikan diantaranya dilakukan oleh Dodson dan Hollander. Menurut mereka kemampuan pemecahan masalah yang harus ditumbuhkan antara lain:2230

1) Kemampuan mengerti konsep dan istilah matematika.

2) Kemampuan untuk mencatat kesamaan, perbedaan, dan analogi.

3) Kemampuan untuk mengidentifikasi elemen terpenting dan memilih prosedur yang benar.

4) Kemampuan untuk mengetahui hal yang tidak berkaitan. 5) Kemampuan untuk menaksir dan menganalisa.

6) Kemampuan untuk memvisualisasi dan menginterpretasi kuantitas atau ruang.

7) Kemampuan untuk memperumum berdasarkan beberapa contoh. 8) Kemampuan untuk berganti metode yang telah diketahui.

20

Mumun Syaban, Menumbuhkembangkan Daya Matematis Siswa, Tersedia [Online]:http://educare.e-fkipunla.net, [14 Juli 2010, 19:15 WIB]

21

Gelar Dwirahayu dkk, Pendekatan Baru dalam Pembelajaran Sains dan Matematika Dasar, Cet.I. (Jakarta: PIC UIN, 2007), h. 51

22

Herry Pribawanto Suryawan, Strategi Pemecahan Masalah, h.2.

http://ebookbrowse.com/search/pemecahan-masalah


(36)

9) Mempunyai kepercayaan diri yang cukup dan merasa senang terhadap materinya.

Beberapa keterampilan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah antara lain adalah: (1) memahami soal; (2) memilih pendekatan atau strategi pemecahan; (3) menyelesaikan model; (4) menafsirkan solusi.2331

Kemampuan memahami suatu masalah berhubungan dengan pengalaman yang pernah dijalaninya atau masalah-masalah sejenis yang pernah dihadapinya, dan kemampuan menyelesaikannya merupakan dasar untuk bertahan hidup. Dengan demikian, mendidik siswa untuk menjadi pemecah masalah yang baik merupakan hal yang sangat penting di dalam pendidikan.

Dalam penelitian ini, pemecahan masalah bukanlah sebagai strategi melainkan sebagai tujuan. Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah matematika dianggap sebagai standar kemampuan yang harus dimiliki para siswa setelah menyelesaikan suatu pembelajaran. Kemampuan pemecahan masalah matematika merupakan target pembelajaran matematika yang sangat berguna bagi siswa. Kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan seseorang melakukan serangkaian proses dalam mencari solusi atas masalah yang dihadapi. Proses yang dimaksud adalah proses yang menggunakan kekuatan dan manfaat matematika dalam menyelesaikan masalah, yang juga merupakan metode penemuan solusi melalui tahap-tahap pemecahan masalah. Tahap-tahap ini merupakan tahapan yang meliputi indikator pemecahan masalah yaitu, memahami soal yang diterima oleh siswa merupakan soal yang belum ia ketahui cara menyelesaikannya, merencanakan penyelesaian masalah, melaksanakan penyelesaian masalah, dan melihat kembali penyelesaian.

23

Nahrowi Adjie dan Maulana, Pemecahan Masalah Matematika, Ed.I. Cet.I, (Bandung: UPI PRESS, 2006), h. 15


(37)

2.

Pembelajaran Kontekstual

a.

Pengertian Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual adalah terjemahan dari istilah Contextual Teaching and Learning (CTL). Kata kontekstual (contextual) berasal dari

context yang berarti “hubungan, konteks, suasana, dan keadaan (konteks)”.

Sehingga CTL dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu.2432

Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu konsepsi yang membantu guru untuk mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja ( US. Departement of Education the National School-to-work Office yang dikutip oleh Blanchard, 2001).2533Hal ini sejalan dengan pendapat Sanjaya yang mengatakan Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkan dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.2634

Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus dipahami. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan

24

Dharma Kesuma dkk, Contextual Teaching and Learning Sebuah Panduan Awal Dalam Pengembangan PBM, (Yogyakarta: Rahayasa, 2010), h. 57

25

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif, Cet III, Ed 1, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 105

26

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 255


(38)

antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan.

Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya (Tim Depdiknas, 2002:2). Dengan kata lain, guru berperan sebagai fasilitator yaitu memberikan fasilitas kepada siswa, berupa strategi pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk menemukan dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan baru, sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual (CTL) adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, serta lebih menekankan pada belajar bermakna.

b.

Komponen Pembelajaran Kontekstual

Trianto menyebutkan pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection) dan authentic assesment.2735

1)Konstruktivisme(Constructivism)

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah sekedar seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Siswa

27

Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Cet. I, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 106


(39)

harus mengkonstruksi sendiri pengetahuan matematika itu dan memberikan makna melalui pengalaman nyata.

Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses

“mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan. Dalam proses

pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan bukan guru.

Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan kontruktivis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan:2836

a) menjadikan pengetahuan yang relevan dan bermakna bagi siswa;

b) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan;

c) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

2) Inquiry

Inquiry merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.

Langkah–langkah kegiatan menemukan (inquiry) meliputi: a) merumuskan masalah;

b) mengamati atau melakukan observasi;

c) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya;

28

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif, Cet III, Ed 1, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 113


(40)

d) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audien yang lain.

3) Bertanya (Questioning)

Bertanya (Questioning) merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa.

Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:

a) menggali informasi, baik administrasi maupun akademis; b) mengecek pemahaman siswa;

c) membangkitkan respons kepada siswa;

d) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa; e) mengetahui hal–hal yang sudah diketahui siswa;

f) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru; g) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; dan h) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

Questioning dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas, dan sebagainya. Aktivitas bertanya juga ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati, dan sebagainya.

4) Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep Learning Community dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu dengan yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya. Kelompok siswa dapat sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, 25


(41)

jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ahli ke kelas.

Masyarakat belajar terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.

5) Pemodelan (Modeling)

Pemodelan yaitu proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Dalam pendekatan CTL guru bukan satu-satunya model. Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa, selain itu model juga dapat didatangkan dari luar.

6) Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.

Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan yang dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru.

Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa:

a) pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu; b) catatan atau jurnal di buku siswa;

c) kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran itu; d) diskusi;


(42)

e) hasil karya.

7) Authentic Assessment

Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang dapat memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan belajar, maka guru segera mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, maka assessment tidak dilakukan di akhir periode pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (UAN), tetapi dilakukan bersama secara integral tidak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.

Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn), bukan ditekankan pada diperolehnya pada sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran.

Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses bukan hanya hasil.

Penilaian autentik menilai pengetahuan dan keterampilan (performance) yang diperoleh siswa. Dengan demikian sebagai penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman atau orang lain.

Menurut Trianto Penerapan pembelajaran kontekstual secara garis besar langkah-langkahnya adalah:

a) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.


(43)

b) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik. c) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.

d) Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok–kelompok). e) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.

f) Lakukan refleksi di akhir pertemuan.

g) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

3.

Strategi Pembelajaran REACT

a. Pengertian Strategi Pembelajaran

Secara harfiah, kata strategi dapat diartikan sebagi seni (art), melaksanakn, stratagem, yakni siasat atau rencana (McLeod, 1989). Banyak kata strategi dalam bahasa Inggris, dan yang dianggap relevan dalam pembahasan ini ialah kata approach (pendekatan) dan kata procedure (tahapan kegiatan).2937

Strategi adalah suatu rencana tentang cara-cara pendayagunaan dan penggunaan potensi dan sarana yang ada untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi (pengajaran).3038Hal ini sejalan dengan Kemp (1995) dalam buku strategi pembelajaran menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.

Strategi pembelajaran menurut Atrhur L.Costa (1985) seperti yang dikutip oleh Rustaman (2003: 3) merupakan pola kegiatan pembelajaran berurutan yang diterapkan dari waktu ke waktu dan diarahkan untuk mencapai suatu hasil belajar siswa yang diinginkan.3139

29

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Cet. XI, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), h. 214

30

Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran Sebagai Referensi Bagi Pendidikan Dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 131

31

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif, Edisi 1, Cet III, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 135


(44)

Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal (J.R. David, 1976).3240Jadi, dengan demikian strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa strategi adalah pola-pola umum kegiatan guru dan siswa dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Strategi digunakan untuk memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan.

b.

Strategi REACT

Strategi REACT merupakan suatu strategi pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan memotivasi peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.3341

Strategi REACT ini dikembangkan dengan mengacu pada paham konstruktivisme karena pembelajaran dengan menggunakan strategi ini menuntut siswa untuk terlibat dalam bebagai aktivitas yang terus-menerus, berpikir dan menjelaskan penalaran mereka, mengetahui berbagai hubungan antara tema-tema dan konsep-konsep bukan hanya sekedar menghafal dan membaca fakta secara berulang-ulang serta mendengar ceramah dari guru. Dalam hal ini guru berusaha menanamkan pada diri siswa rasa minat dan kepercayaan diri dan rasa butuh terhadap pemahaman.

Dengan strategi ini, siswa akan mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi yang baru dan siswa akan terbiasa memecahkan

32

Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Ed.I. Cet.I, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 294

33

Agus Suprijono, Cooperatif Learning, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.79


(45)

masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, karena siswa mengalami sendiri pengetahuan yang diperolehnya.3442

Ada lima unsur dalam strategi REACT yang masing-masing merupakan singkatan R dari Relating (menghubungkan/mengaitkan), E dari Experiencing (mengalami), A dari Applying (menerapkan), C dari Cooperating (bekerja sama) dan T dari Transferring (mentransfer). Strategi ini terfokus pada pengajaran dan pembelajaran dalam konteks suatu prinsip fundamental dalam konstruktivisme. (Crawford, 2001: 3).

Center Of Occupational Reseach And Development (CORD) menyampaikan 5 strategi bagi pendidik dalam rangka penerapan pembelajaran kontekstual, yang disingkat REACT, yaitu:3543

1) Relating

Relating adalah belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata. Dalam proses pembelajaran, relating dimaksudkan dalam konteks agar siswa harus dapat menghubungkan pengetahuan baru yang diperolehnya dengan pengalaman hidup yang telah dan akan dia peroleh.3644

Pengetahuan prasyarat adalah relevansi antar faktor internal seperti bekal pengetahuan, keterampilan, bakat, minat, dengan faktor eksternal seperti ekspos media dan pembelajaran oleh guru dan lingkungan luar.

Pengetahuan berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru.

34

Gelar Dwirahayu dkk, Pendekatan Baru dalam Pembelajaran Sains dan Matematika Dasar, Cet.I. (Jakarta: PIC UIN, 2007), h.123

35

Agus Suprijono, Cooperatif Learning, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 83

36

Gelar Dwirahayu dkk, Pendekatan Baru dalam Pembelajaran Sains dan Matematika Dasar, Cet.I. (Jakarta: PIC UIN, 2007), h. 125


(46)

Belajar selalu ditekankan dengan konteks kehidupan nyata, yaitu peristiwa dalam kehidupan sehari-hari yang dikaitkan dengan informasi baru yang didapat dengan memecahkan masalah-masalah. Untuk itu, sebelum mengawali pembelajaran seharusnya guru memberi pertanyaan-pertanyaan yang menarik dan akrab bagi siswa, sehingga siswa memiliki gambaran awal tentang materi yang akan dipelajari.

2) Experiencing

Belajar ditekankan kepada penggalian (eksplorasi), penemuan (discovery), dan penciptaan (invention). Dalam proses pembelajaran siswa perlu mendapatkan pengalaman langsung melalui kegiatan eksplorasi, penemuan, investigasi, penelitian, dan lain-lain. Hal ini senada dengan William Burton dalam Oemar Hamalik, menyatakan bahwa Experiencing means living through actual situations and recting vigorously to various aspects of those situations for purposes apparent to the learner. Experiencing includes whatever one does or undergoes which result in changed behavior, in changed values, meanings, attitudes, or skill.3745

Setelah mendapatkan pengetahuan baru siswa akan dapat menemukan ide, dan menciptakan sesuatu dari ide yang dia miliki tersebut. Hal tersebut akan mendorong siswa untuk aktif dalam belajar dan belajar secara mandiri karena siswa benar-benar mengalami sendiri setiap kegiatan dalam pembelajaran dan bukan hanya teori-teori yang disampaikan oleh guru.

Proses pembelajaran akan berlangsung cepat jika siswa diberi kesempatan untuk memanipulasi peralatan, memanfaatkan sumber belajar, dan melakukan bentuk-bentuk kegiatan penelitian yang lain secara aktif.3846

37

Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002 ), h. 29

38

Dewi Salma Prawiradilaga, Mozaik Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2004), h.16-17


(47)

Dalam hal ini guru tidak pernah memberitahukan secara langsung kepada siswa tentang segala sesuatu, tetapi lebih memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Namun demikian guru harus tetap memandu siswa selama proses pembelajaran berlangsung.

Siswa yang tidak memiliki pengetahuan sebelumnya yang relevan dengan informasi baru tentu tidak mungkin dapat membuat hubungan antara informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya. Guru dapat mengatasi hal ini dan membantu siswa menyusun pengetahuan baru dengan berbagai pengalaman yang tersusun rapi dan terus menerus yang terjadi dalam kelas. Inilah yang dimaksud dengan mengalami.3947

Pengalaman yang terus menerus di dalam kelas dapat berupa penemuan, eksperimen, penciptaan, dan aktivitas siswa lainnya dalam menyelesaikan soal.

3) Applying

Applying merupakan belajar dalam konteks bagaimana pengetahuan atau informasi baru yang dia peroleh oleh siswa dapat digunakan dalam berbagai situasi yang dia hadapi, baik situasi yang mudah maupun situasi yang sulit.4048

Menerapkan fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang dipelajari dalam situasi dan konteks yang lain merupakan pembelajaran tingkat tinggi, lebih daripada sekedar hafal. Kemampuan siswa untuk menerapkan materi yang telah dipelajari untuk diterapkan atau digunakan pada situasi lain yang berbeda merupakan penggunaan fakta,

39

Michael L. Crawford, Teaching Contextually: Research, Rational, and Techniques for Improving Student Motivation and Achievement in Mathematics and Scince, CORD. 2001. Printed October

40

Gelar Dwirahayu dkk, Pendekatan Baru dalam Pembelajaran Sains dan Matematika Dasar, Cet.I. (Jakarta: PIC UIN, 2007), h. 126


(48)

konsep, prinsip atau prosedur atau pencapaian tujuan pembelajaran dalam bentuk menggunakan.(Merrill & Reigeluth, 1987, p. 17)41 49

Mengaplikasikan adalah suatu strategi belajar dengan menempatkan konsep-konsep untuk digunakan (Crawford, 2001: 8). Konsep-konsep matematika digunakan pada saat siswa melaksanakan aktivitas menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru terutama untuk menyelesaikan soal-soal latihan atau tugas-tugas lainnya. Siswa akan lebih termotivasi untuk memahami konsep-konsep tersebut apabila guru memberikan latihan-latihan yang realistik dan relevan.

4) Cooperating

Selama proses pembelajaran berlangsung, tentunya selalu ada masalah yang tidak dapat diselesaikan secara individual oleh siswa. Untuk menyelesaikan masalah-masalah yang kompleks, khususnya masalah yang melibatkan situasi-situasi yang realistis yang tidak dapat diselesaikan secara individu tersebut sebaiknya siswa dapat bekerja sama dengan teman-temannya secara berkelompok. Dengan bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil akan memberikan kemampuan yang lebih bagi siswa untuk dapat mengatasi berbagai persoalan yang kompleks.

Kooperatif adalah mengerjakan sesuatu bersama-sama dengan saling membantu satu sama lain.4250Bekerja sama adalah belajar dengan proses kolaboratif dan kooperatif melalui belajar kelompok, komunikasi interpersonal atau hubungan intersubjektif. Belajar dalam konteks saling tukar pikiran, mengajukan dan menjawab pertanyaan guru, komunikasi interaktif antar sesama siswa, antar siswa dengan narasumber, memecahkan masalah dan mengerjakan tugas bersama.4351

41

Dewi Salma Prawiradilaga, Mozaik Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2004), h.17.

42

Erna Suwangsih dan Tiurlina, Model Pembelajaran Matematika, Cet.I, (Bandung: UPI PRESS, 2006), h.160

43

Dewi Salma Prawiradilaga, Mozaik Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2004), h.17.


(49)

Slavin mengatakan bahwa, ”cooperative learning refers to variety of teaching methods in which student work in small group to help one another learn academic content....Cooperative work rarely replaces teacher instruction, but rather replaces individual seatwork, individual study, and individual drill. Dalam hal ini, Slavin mengungkapkan bahwa seluruh siswa di kelas dapat menciptakan suasana saling membantu, berdiskusi, mengatasi keterbatasan penguasaan materi satu sama lain.4452

Pembelajaran kooperatif adalah belajar bersama-sama, saling membantu satu sama lain dalam belajar dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang telah ditentukan sebelumnya.4553Hal senada dikemukakan oleh Trianto yang dikutip dari Eggen dan Kauchak mengungkapkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama.4654

Menurut Trianto yang dikutip dari Johnson & Johnson menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. Karena siswa bekerja dalam satu team, maka dengan sendirinya dapat memperbaiki hubungan di antara para siswa dari berbagai latar belakang etnis dan kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses kelompok dan pemecahan masalah.4755

44

Ismail, dkk, Pembaharuan dalam Pembelajaran Matematika, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 3.4

45

Erna Suwangsih dan Tiurlina, Model Pembelajaran Matematika, Cet.I, (Bandung: UPI PRESS, 2006), h.160

46

Trianto, Mendesain model pembelajaran, ....h. 58

47Trianto, Mendesain Model Pembelajaran,…h. 57


(50)

Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang saling terkait. Unsur-unsur tersebut menurut Johnson dan Johnson dalam buku Trianto adalah sebagai berikut.4856 a) Saling ketergantungan yang bersifat positif antar siswa. Dalam

pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana yang mendorong siswa agar merasa saling membutuhkan. Siswa merasa dirinya merupakan bagian dari kelompok yang juga mempunyai andil terhadap suksesnya kelompok.

b) Interaksi antar siswa yang semakin meningkat. Interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif adalah dalam hal tukar-menukar ide mengenai masalah yang sedang dipelajari bersama. Interaksi semacam itu memungkinkan para siswa dapat saling menjadi sumber belajar sehingga sumber belajar lebih bervariasi. Interaksi semacam itu sangat penting karena ada siswa yang merasa lebih mudah belajar dari sesamanya.

c) Tanggung jawab individual. Tanggung jawab individual dalam belajar kelompok dapat berupa tanggung jawab siswa dalam hal (a) membantu siswa yang membutuhkan bantuan, (b) bahwa siswa tidak

dapat hanya sekedar “membonceng” pada hasil kerja teman

sekelompoknya.

d) Ketrampilan interpersonal dan kelompok kecil. Dalam belajar kooperatif, selain dituntut untuk mempelajari materi yang diberikan, siswa juga dituntut untuk belajar bagaimana berinteraksi dengan siswa lain dalam kelompoknya. Selain itu siswa juga diajarkan ketrampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, berani mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi (interpersonal relationship).

48

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran,…h. 60


(51)

e) Proses kelompok. Belajar kooperatif tidak akan berlangsung tanpa proses kelompok. Proses kelompok terjadi jika anggota kelompok mendiskusikan bagaimana mereka akan mencapai tujuan dengan baik dan membuat hubungan kerja yang baik.

5) Transfering

Peran guru pada pembelajaran konstruktivistik atau kontekstual tidak hanya menyampaikan fakta-fakta dan prosedur-prosedur, tetapi perannya berkembang mencakup penciptaan berbagai macam pengalaman belajar dengan fokus pada pemahaman bukan pengingatan. Guru menyediakan aktivitas-aktivitas berdasarkan pengalaman-pengalaman yang terus menerus dan soal-soal yang realistis yang melalui aktivitas, dengan soal-soal ini diharapkan siswa dapat memperoleh pemahaman awal dan dapat memperdalam pemahaman terhadap konsep matematika.

Transfering merupakan belajar menekankan pada terwujudnya kemampuan memanfaatkan pengetahuan dalam situasi atau konteks baru. Dengan kata lain pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki bukan sekedar untuk dihapal tetapi dapat digunakan atau dialihkan pada situasi dan kondisi lain.4957

Berdasarkan penjelasan di atas, strategi ini menitikberatkan agar dalam pembelajaran, siswa tidak hanya mendapatkan solusi yang diberikan oleh guru, melainkan siswa dapat menemukan sendiri solusinya dengan cara memperoleh kompetensi suatu mata pelajaran melalui belajar tahu, belajar berbuat, belajar menjadi diri sendiri, dan belajar hidup bersama dalam komunitas lingkungan belajar sehingga siswa menjadi paham, dan dapat memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan pelajaran.

Strategi REACT adalah strategi pembelajaran yang dikembangkan untuk dapat membantu mengembangkan pemahaman-pemahaman siswa yang mendalam terhadap konsep-konsep fundamental yang didasarkan pada

49

Dewi Salma Prawiradilaga, Mozaik Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2004), h.18


(52)

penelitian tentang bagaimana orang-orang belajar untuk mendapatkan pemahaman dan tentang pengamatan terhadap bagaimana para guru terbaik mengajar untuk mendapatkan pemahaman (Crawford, 2001: 2). Namun demikian, sebagaimana halnya strategi-strategi pembelajaran yang lain tentu REACT juga mempunyai keunggulan. Kelebihan strategi REACT dapat diuraikan sebagai berikut.5058

1) Memperdalam pemahaman siswa

Peran siswa tidak hanya mengingat fakta-fakta dan mempraktekkan prosedur-prosedur dengan mengerjakan latihan-latihan ketrampilan dan drill yang disampaikan oleh guru, akan tetapi lebih melibatkan aktivitas sehingga bisa mengaitkan serta mengalami sendiri prosesnya.

2) Mengembangkan sikap kebersamaan dan rasa saling memiliki

Sikap ini tumbuh karena adanya kerja sama antar siswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengkonstruk pengetahuan mereka. Siswa mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam kelompoknya.

3) Mengembangkan sikap menghargai diri dan orang lain

Hasil yang diperoleh dari kerja kelompok merupakan andil dari semua anggota kelompok, sehingga siswa memiliki rasa percaya diri serta menghargai orang lain.

4) Meningkatkan sikap positif terhadap belajar dan pengalaman belajar Pembelajaran yang bervariasi dapat menumbuhkan daya tarik tersendiri bagi siswa. Siswa sangat membutuhkan pengalaman belajar terutama untuk mentransfer pengetahuan mereka ke dalam konteks yang baru atau situasi baru.

50

Mohammad Yatim, Pembelajaran Teorema Pythagoras dengan Strategi REACT pada siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Kuta Makmur Aceh Utara, Tesis dalam

http://www.scribd.com/doc/16851561/BAB-II


(53)

5) Membentuk sikap mencintai lingkungan

Pengalaman-pengalaman belajar selalu dikaitkan dengan lingkungan atau kehidupan nyata yang dialami siswa, sehingga akan tumbuh sikap mencintai lingkungan.

6) Membuat belajar secara inklusif.

Pembelajaran dilaksanakan secara menyeluruh dan menyenangkan.

c.

Implementasi

Strategi

REACT

pada

Pembelajaran

Matematika

Pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT, setelah proses pembelajaran berlangsung diharapkan siswa mampu memahami materi matematika, tidak hanya sekedar menghafalnya. Memahami sebagai suatu proses untuk menyatukan informasi dengan struktur pengetahuan yang telah ada. Pengetahuan dapat dibentuk jika siswa berperan aktif baik fisik maupun mental mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang dipelajari. Strategi REACT menekankan pada aktifitas siswa dalam menghubungkan, mengalami, menerapkan, serta mentransfer yang dilaksanakan secara kooperatif .

Penggunaan strategi REACT pada materi Himpunan dimulai dengan pembentukan kelompok yang dimaksudkan agar siswa dapat bekerja sama dalam menyelesaikan tugas yang diberikan guru (Cooperating), memotivasi siswa, dan menggali pengetahuan prasyarat (Relating). Langkah selanjutnya adalah secara berkelompok (Cooperating) siswa menggali informasi baru tentang himpunan dengan memanfaatkan pengalaman-pengalaman belajar, serta pengetahuan yang sudah ada dengan bantuan media LKS serta media lainnya yang dibutuhkan.

Setelah siswa berhasil memahami himpunan, diharapkan juga siswa mampu menerapkannya untuk menyebutkan anggota himpunan, maupun dalam kehidupan nyata (Applying), dan menerapkannya ke dalam situasi baru (Transfering). Pada akhir kegiatan kerja kelompok ini, guru meminta salah seorang siswa sebagai perwakilan kelompok untuk melaporkan hasil 38


(54)

kerja kelompoknya di depan kelas yang diikuti dengan diskusi kelompok (Cooperating). Setelah semua proses selesai, guru membimbing siswa untuk membuat kesimpulan.

Pembelajaran dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap awal, tahap inti, dan tahap akhir. Adapun ketiga tahap tersebut diuraikan dalam tabel berikut.

Tabel 2.1

Kegiatan Pembelajaran Strategi REACT

No. Kegiatan Guru Kegiatan Siswa Komponen

REACT

Alokasi Waktu

1.

Tahap Awal

Membuka pelajaran. Mengikuti pelajaran yang akan disampaikan guru.

15 menit 2. Mengelompokkan siswa

dalam kelompok belajar.

Menempati kelompok belajar yang telah ditentukan.

3.

Menjelaskan tugas dan tanggung jawab anggota kelompok.

Memperhatikan dan memahami penjelasan.

4.

Menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai siswa dalam pembelajaran ini.

Memahami tujuan pembelajaran.

5. Memotivasi siswa tentang pentingnya materi himpunan yang akan dipelajari serta manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.

Memperhatikan dan memahami penjelasan.

6. Membagikan LKS dan media yang dibutuhkan.

Menerima LKS dan media yang diberikan. 7. Meminta siswa memahami

LKS dan meminta siswa untuk bertanya jika ada yang kurang jelas.

Memahami LKS dan menanyakan hal-hal yang belum jelas.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Strategi Pembelajaran Konflik Kognitif Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa

3 25 261

Penggunaan bahan ajar berbasis pendekatan kontekstual untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik pada materi aljabar di MTsN Tangerang II Pamulang

0 25 307

Improving students’ skill in writing procedure text through picture sequences: a classroom action research at the ninth grade of MTs Negeri Tangerang 2 Pamulang

0 3 118

Penggunaan bahan ajar berbasis pendekatan kontekstual untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik pada materi aljabar di MTsN Tangerang II Pamulang

0 3 307

Pengaruh strategi pembelajaran react dengan teknik scaffolding terhadap kemampuan koneksi matematik siswa di SMP Negeri 11 Depok

1 9 248

Pengaruh pendekatan open-ended terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa dalam belajar metematika: penelitian quasi eksprimen di MTsN babakan sirna

3 31 141

Pengaruh Pendekatan KOntekstual Strategi REACT Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa

0 5 170

Penggunaan bahan ajar berbasis pendekatan kontekstual untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik pada materi aljabar di MTsN Tangerang II Pamulang

0 8 307

PENGARUH STRATEGI REACT DAN SIKAP SISWA TERHADAP MATEMATIKA DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA SMA.

0 3 32

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DENGAN STRATEGI REACT DALAM UPAYA PENGEMBANGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH, BERPIKIR KRITIS, DAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS MAHASISWA BIDANG BISNIS.

0 0 65