Menjadi Perempuan Sebagai Jawaban Atas

BAB I
PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Semenjak akhir tahun 1980-an, fenomena pengelolaan tubuh menjadi semakin intens dan
kompleks. Hal ini disebabkan karena adanya perkembangan pasar global dimana Indonesia
terintegrasi ke dalamnya. Faktanya semenjak tahun 1980an tersebut, berbagai kebijaksanaan
deregulasi dan integrasi ekonomi seperti WTO dan APEC telah menciptakan kondisi dan
kesadaran bahwa Indonesia telah menjadi bagian dari system dan struktur ekonomi global.
Berbagai dampak positif dan negative hadir sebagai implikasi dari semakin terbukanya pasar dan
struktur ekonomi Indonesia. Golongan-golongan masyarakat tertentu seperti kelas menengahatas dan atas tentu dapat menikmati dan “berselancar” di atas fakta semakin terbukanya pasar
kita, namun tidak demikian dengan masyarakat kelas menengah ke bawah yang notabenenya
unskilled dan dipersepsikan tidak siap menghadapi semakin meningginya persaingan lahan
pekerjaan sebagai dampak dari semakin kompleksnya system dan struktur ekonomi Indonesia.
Bagi mereka yang tergolong unskilled, “kreatifitas” mungkin akan menjadi satu-satunya jalan
keluar dari kondisi ketertekanan ini. Salah satu manifestasi dari “kreatif” ini kemudian adalah
munculnya fenomena transgender atau yang umum kita sebut sebagai waria/banci yang
sekarang ini bertransformasi menjadi basis ekonomi.
Secara sederhana, kita dapat mengartikan transgender sebagai keinginan untuk “menjadi”
lawan gender dari dirinya sendiri. Hal ini tidak mempersempit kemungkinan terjadinya trans
perempuan menjadi lelaki, namun dewasa ini kita semakin terjebak dalam konsep bahwa
transgender adalah lelaki yang ingin menjadi perempuan yang kemudian kita beri stigma sebagai

waria. Maka kemudian jelaslah bahwa dalam konteks ini, transgender berarti keinginan untuk
menjadi perempuan. Sekarang ini, perempuan dan kecantikannya telah diindustrikan menjadi
sebuah lahan konsumsi yang tidak akan berhenti oleh karena proses produksi mitos “cantik”
yang terjadi terus menerus dan hal ini sangat wajar sebagai bentuk kapitalisasi akan hasrat untuk
merih kecantikan. Oleh karena itu, perempuan kini memiliki posisi strategisnya sendiri dalam
tatanan structural ekonomi, dan hal ini telah memberikan perempuan power tersendiri. Oleh
karena itulah kita dapat mengatakan bahwa “menjadi perempuan” berarti “menjadi golongan
berada”. Menjadi perempuan telah bertransformasi menjadi basis ekonomi.
Jenis kelamin merupakan suatu hal yang konkrit dan oleh karena itulah kita dapat
menemukan oposisi biner antar satu dengan yang lain, namun usaha-usaha untuk
mentransformasikannya dewasa ini menjadi opsi yang tidak mustahil. Mengingat bahwa menjadi
perempuan berarti memiliki kekuatan dalam struktur ekonomi, munculah hasrat sebagian
golongan lelaki yang notabenenya “selalu bekerja” dan oleh karena itu “senantiasa menjadi
buruh capital” untuk kemudian mencari jalan pintas dengan “menjadi perempuan”. Hal ini
1

mungkin dapat kita asumsikan sebagai efek dari konsumsi simbolik perempuan di iklan terhadap
lelaki. Namun faktanya, setelah golongan lelaki ini bertransformasi “menjadi perempuan” atau
waria, ternyata masyarakat tidak memberikan power dan apresiasi seperti yang diidealkan.
Bahkan golongan ini banyak dipandang sebelah mata dan “diharamkan” oleh kelompok tertentu.


B. PERMASALAHAN
“Menjadi perempuan” yang diidealkan sebagai jalan keluar dari ketertekanan ekonomi
ternyata tidak memenuhi harapan golongan waria. Permasalahan ini menghadirkan beberapa
pertanyaan penting terkait perempuan dan mereka yang ingin menjadi perempuan. Pertanyaanpertanyaan sederhana ini diharapkan dapat menjawab satu pertanyaan inti yang menjadi dasar
dari terbentuknya makalah ini.
1. Apakah seluruh golongan perempuan dinilai oleh masyarakat sebagai ideal,
ataukah ada kriteria tersendiri?
2. Bagaimanakah definisi cantik yang sejauh ini ditempatkan menjadi basis ekonomi
dari perempuan?
3. Bagaimanakah pandangan masyarakat terhadap golongan transgender atau
waria?
4. Seperti apa definisi cantik menurut waria sendiri?
Pada akhirnya, keseluruhan pertanyaan ini akan mengerucut pada satu pertanyaan utama yang
ingin diketahui dan dijawab oleh penulis:
5. Jika perempuan diberi nilai “cantik”, apakah menjadi perempuan juga dinilai
“cantik’’? Jikalau iya, mengapa waria gagal menjadi basis ekonomi? Jika tidak,
mengapa waria tidak dinilai “cantik” ?

2


C. KERANGKA PEMIKIRAN
Dibalik terjadinya fenomena transgender ini, kita dapat melihat adanya faktor lain yang
mempengaruhi pola interaksi dalam masyarakat yang dalam konteks ini berarti berinteraksi
dalam tatanan ekonomis. Munculnya faktor ini tidak lain adalah manifestasi dari apa yang Karl
Marx sebut sebagai superstructure. Teori Marx ini mengindikasikan akan adanya lembagalembaga baru serta keyakinan dan pandangan pandangan yang baru yang tentu saja tak lepas dari
faktor ekonomi (Soule, 1994:88). Teori superstructure Marx menjelaskan bahwa dibalik interaksi
yang menurut Levi-Strauss terjalin secara structural, sebenarnya ekonomi menjadi salah satu
basis pendorong terjadinya interaksi tersebut. Hal inilah yang kemudian menurut penulis
memunculkan sebutan homo economicus. Sehingga kita kemudian dapat membayangkan bahwa
konsep superstructure Marx memiliki kedudukan yang melingkupi atau bahkan menduduki
struktur sosial seperti yang selama ini telah kita kenal dengan alasan-alasan ekonomisnya.
Penerapan teori ini sebenarnya tidak lepas dari penggabungan produk-produk budaya yang
merupakan manifestasi dari terjadinya interaksi secara structural tersebut dengan konteks sosial
ekonominya. Sehingga kemudian kita dapat mengasumsikan bahwa keseluruhan konsep
“perempuan” sebagai produk budaya memiliki nilai ekonomisnya sendiri, dan menjadi
perempuan mungkin menjadi salah satu dari banyak pintu masuk untuk memperoleh capital.
Menurut penulis, fenomena transgender ini tidak lepas dari transformasi keseluruhan
konsep perempuan yang tadinya hanya sebagai pelaku kegiatan domestic, sebagai pekerja
keluarga, atau bahkan “kelas rendah” menjadi perempuan yang sangat otonom dan penuh

kebebasan dewasa ini (sebagai efek dari mitos-mitos yang dibentuk oleh industry kecantikan).
Pada akhirnyanya, perempuan membentuk economic capital untuk golongannya sendiri yang
kemudian mengatur hubungan-hubungan sosial antar perempuan dan laki-laki. Hal inilah yang
kemudian memberikan perempuan power untuk menempatkan dirinya sendiri dalam tatanan
struktural ekonomi, Dengan demikian, “menjadi perempuan cantik” berarti menjadi golongan
pemegang capital ekonomi atau menjadi basis ekonomi dan memiliki kemampuan untuk
melakukan konsumsi real, bukan hanya konsumsi simbolik yang diakibatkan oleh iklan-iklan
dan mitos-mitos terkait perempuan dan kecantikan.
Dengan terkonsepsikannya masyarakat melalui mitos-mistos industry kecantikan, bahwa
menjadi cantik berarti menjadi ideal dan dengan demikian seorang perempuan harus terus
berlomba-lomba untuk menjadi cantik, semakin jelaslah apa yang harus dilakukan oleh seorang
perempuan, yaitu merawat tubuhnya agar menjadi cantik. Hal ini sejalan dengan pernyataan
bahwa salah satu faktor pendorong wanita untuk menjadi cantik adalah ekonomi, semakin
mempercantik tubuh berarti meningkatkan nilai ekonomis wanita tersebut (Abdullah dalam
Tukiman, 1998:71). Artinya, dengan merawat kecantikan seorang perempuan, “perempuan” itu
sendiri telah bertransformasi menjadi basis ekonomi yang sekarang ini kemungkinan untuk
mencapainya terbuka luas. Sehingga, tidak menutup kemungkinan bahwa golongan nonperempuan pun dapat menjadi perempuan untuk memberikan dirinya sendiri kemampuan
economic capital (Dalam konteks ini tentu saja golongan lelaki). Tentu saja hal ini dikarenakan
3


golongan di luar perempuan tidak lekat dengan label estetika, keindahan, kecantikan, dll yang
tidak dapat ditransformasikan menjadi basis ekonomi dan tidak menguntungkan.
Oleh karena itulah muncul golongan waria yang hadir dengan latar belakang ekonomi.
Dengan berdandan dan bertingkah laku sepeti para pemegang capital, mereka berharap akan
memperoleh posisi yang strategis pula dalam struktur ekonomi. Dari sana, mereka mulai
merawat dirinya sendiri dalam artian mempercantik diri sehingga sedapat mungkin “menjadi
perempuan”. Jika kita menuruti teori psikologi terkait penampilan, yang Nancy Etcoff (1999)
sebut sebagai lookism, maka seharunya dengan penampilan yang lebih baik, seseorang akan lebih
sukses dalam kehidupannya. Dalam masyarakat yang terkungkung dengan banyak iklan
pembentukan mitos yang bergambar perempuan, kita kemudian dengan sendirinya
terkonsepsikan dengan definisi cantik itu sendiri. Hal ini merupakan implikasi dari
kecenderungan iklan untuk memotret aspek tertentu saja dari perempuan, yaitu bentuk tubuh,
keindahannya dan kesegaran tubuh yang kemudian memproduksi nilai tentang “kewanitaan” /
seharusnya wanita itu seperti apa (Abdullah, 2001:33) Bahkan, pusat-pusat kebugaran telah
menjadi agen yang berperan penting dalam menegaskan ukuran-ukuran tubuh yang ideal.
Sehingga kemudian kita dapat mengasumsikan bahwa para waria sebenarnya sedang berusaha
untuk terlihat seperti wanita yang secara spesifik mampu dihadirkan dalam iklan. Hal inilah yang
kemudian mendorong mereka untuk suntik silicon di bagian-bagian tubuh tertentu, memakai
dandanan yang tebal, dll yang diharapkan dapat memenuhi imaji ideal masyarakat akan definisi
dari cantik.

Sebenarnya pola fikir ini sederhana sekali dan logis bagi sebagian anggota masyarakat.
Namun, ada pula beberapa kelompok masyarakat yang seolah menajiskan golongan ini. Namun,
focus utama di sini adalah bahwa golongan waria yang berusaha “menjadi perempuan” nyatanya
tidak direspond sesuai dengan pandangan public terhadap perempuan pada umumnya yang
diselimuti dengan kecantikan. Hal inilah yang kemudian menurut penulis menjadi akibat dari
gagalnya waria dalam memperoleh capital. Di sini, penulis mengasumsikan bahwa bentuk tubuh
merupakan syarat atau faktor dominan di dalam berbagai pertukaran sosial. Penerimaan sosial
dan batas-batas hubungan sosial mungkin dipengaruhi oleh bentuk tubuh seseorang yang
kemudian menjadi standart menarik atau tidaknya orang tersebut.

D. METODOLOGI
Untuk memperoleh pemahaman akan pertanyaan inti yang sebelumnya telah disebutkan,
penulis pada awalnya akan melakukan studi pustaka yang kurang lebih akan membicarakan
mengenai tubuh, gender dan secara spesifik perempuan. Dari sini, penulis berharap untuk
mendapatkan referensi yang cukup untuk dapat memperoleh pemahaman akan bagaimana
perempuan sendiri melihat golongannya, dan mereka-mereka yang di luar golongannya, dalam
hal ini spesifik terkait perihal kecantikan dan perawatan tubuh. Disamping itu, sedikit studi
4

pustaka terkait system ekonomi dan hubungannya dengan gender juga harus dilakukan. Di sini

penulis akan cenderung menggunakan sudut pandang Marx terkait Superstructure. Hal ini
dikarenakan masalah kecantikan dan ekonomi merupakan topic utama yang ingin diangkat.
Di samping itu, wawancara yang bersifat terbuka juga diperlukan terhadap golongan
perempuan sendiri mengenai “kecantikan”, terhadap golongan lelaki terkait bagaimana mereka
menyikapi kondisi “semakin cantik, semakin sukses ini”, dan yang terakhir tentu saja terhadap
golongan waria mengenai bagaimana mereka menyikapi kehidupan ekonomi mereka, alasan
dibalik mem-waria, terlebih-lebih konsep mereka sendiri terkait kecantikan.
Setelahnya, kegiatan observasi juga dibutuhkan untuk melihat bagaimana masyarakat
umum menyikapi keberadaan waria. Dengan mengacu pada gerak-gerik masyarakat ketika
didatangi waria, seharusnya sudah dapat disimpulkan mengenai bagaimana masyarakat
menyikapi mereka. Jika dibutuhkan, maka penulis juga akan melakukan partisipasi demi
mencapai pemahaman yang lebih mendalam.

5

BAB II
ANALISA HASIL OBSERVASI

A. SOSOK WANITA YANG IDEAL
Berbicara mengenai sosok ideal, tentu saja berbagai macam konsep dan pandangan dapat

dimunculkan secara bebas. Hal tersebut terbukti melalui beragamnya pandangan para informan
ketika dihadapkan dengan pertanyaan “wanita yang ideal itu yang seperti apa?”. Namun dari
banyak pendapat terkait pertanyaan tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa sosok ideal
merupakan gabungan dari hasrat, tuntutan komunitas, idolizing, dan juga penabrakan dengan
realita. Demikianlah muncul jawaban-jawaban seperti: “bersikap sesuai tuntutan”, “yang kayak
mongoloid”, “secara fisik menarik”, “bodynya oke punya”, Dll. Di sini proses idolizing atau
idolisasi dan juga mengikuti tuntutan komunitas / masyarakat menjadi point yang sangat penting.
Proses idolisasi yang terbentuk melalui iklan produk kecantikan jelas memberikan
definisi utama dalam pengkonsepan sosok yang ideal. Implikasi dari kecenderungan iklan untuk
memotret aspek bentuk tubuh, keindahannya dan kesegaran tubuh wanita saja yang kemudian
memproduksi nilai tentang “kewanitaan” / seharusnya wanita itu seperti apa (Abdullah, 2001:33)
diproyeksikan oleh artis-artis wanita yang banyak ditampilkan di iklan, baik iklan-iklan produk
kecantikan ataupun tidak. Dengan semakin terbatasnya definisi kecantikan pada aspek fisik saja,
atau secara spesifik sesuai fisik sosok yang diidolakan, proses perawatan kecantikan dan juga
merebaknya pusat-pusat kebugaran menjadi idola baru dalam penentuan batas-batas ideal
seorang wanita. Sehingga, tidak mengherankan jika perempuan berlomba-lomba dalam
mengusahakan kecantikan fisiknya, dan siapapun yang “menang” di perlombaan kecantikan
tersebut menjadi sosok ideal dalam pembentukan citra wanita yang “seharusnya”.
Di samping fenomena idolisasi tersebut, masyarakat juga secara disadari maupun tidak
sebenarnya memproduksi batasan-batasan tertentu terhadap berbagai aspek kehidupan komunal

yang kemudian bertransformasi ke dalam bentuk “tuntutan”. Tuntutan-tuntutan tersebut akan
selalu diproduksi oleh masyarakat untuk memastikan tiap individu anggota masyarakat berada
dalam lingkaran norma dan etika, sehingga control pemerintah terhadap kedudukan tiap individu
menjadi semakin jelas. Begitu pula dengan fungsi gender, yang telah diatur baik disadari
maupun tidak oleh pemerintah. Keteraturan fungsi gender sangat penting untuk ditegaskan oleh
pemerintah, seperti yang disebutkan oleh Howard bahwa, pemerintahan, gender-sexuallity, dan
agama merupakan 3 element yang mengatur kestabilan sebuah negara (Howard. 1996:172).
Disebutkan pula oleh Howard bahwa, untuk dapat menjalankan fungsinya sebagai manusia dan
warga negara di Indonesia, seseorang harus menikah. Oleh karena itu peranan gender yang
“pasti” menjadi sangat penting di Indonesia. Hal ini disebabkan untuk menjalankan fungsi
menikah, seseorang harus menjadi perempuan atau lelaki di Indonesia, bukan “di tengah”.
6

B. WARIA DAN MALFUNGSI PERAN DALAM MASYARAKAT MODERN
Banyak hal menarik yang penulis dapatkan ketika pertanyaan terkait waria dimunculkan
dalam wawancara dengan narasumber. Salah satu jawaban yang menjadi kunci dari pertanyaan
utama dalam penelitian ini adalah: “usaha waria untuk menjadi cantik itu terlalu berlebihan,
pake make up ketebelan, suntik silicon, dll”, “waria itu terlalu dibuat-buat perempuannya, soksokan pake suara perempuan, lenggak-lenggoknya kayak perempuan, sampe suntik silicon juga,
kan jadinya jijik”. Dari jawaban-jawaban tersebut ada beberapa kata kunci penting yang menjadi
alasan mengapa waria dianggap gagal dalam menjadi basis ekonomi, yaitu: berlebihan, terlalu

dibuat-buat dan juga menjijikan.
Kata “Berlebihan” di sana merujuk secara abstrak pada keberadaan suatu garis imajiner
yang membatasi keadaan “cantik” dan “tidak cantik”. Batasan imajiner ini, seperti yang telah
dijelaskan pada sub bab A sebelumnya, merupakan produk dari proses idolisasi, reproduksi mitos
kecantikan, tuntutan masyarakat, dan juga realita yang terbentuk. Batasan ini kemudian
memberikan definisi terhadap kecantikan dan dengan demikian secara alamiah menyeleksi
individu mana saja yang tergolong ke dalamnya. Ketika kelompok waria sudah dikatakan
“berlebihan”, maka sebenarnya masyarakat sudah memposisikan waria di luar batas cantik, dan
oleh karenanya masyarakat mengkategorikan mereka sebagai “jijik”. Dari asumsi ini, waria tidak
dapat dikatakan “sepenuhnya” menjadi perempuan yang salah satu ciri kodrat gendernya adalah
“cantik”. Dengan melewati batas tersebut, terbentuklah satu alasan mengapa waria tidak berhasil
menjadi basis ekonomi, yakni karena waria tidak mampu memanipulasi “kecantikannya”
sebagaimana wanita berhasil menjadikannya basis ekonomis, hal ini disebabkan waria bahkan
tidak berada dalam kategori terendah dalam struktur kecantikan yang masyarakat kita bentuk.
Walaupun demikian, tidak sedikit waria yang masih berjuang untuk kembali ke dalam batas
cantik tersebut dengan melakukan perawatan, seperti yang narasumber waria penulis sebutkan
“Saya perawatan kok, maskeran, luluran”. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika waria
tersebut melakukan suntik silicon yang kemudian menempatkan dirinya keluar dari batas
kewajaran dan “membuat-buat” kecantikannya.
Di samping itu, waria juga sering kali disebut sebagai golongan “abu-abu” ketika

masyarakat mempertanyakan kejelasan gendernya, apakah ia berfungsi sebagai perempuan atau
sebagai lelaki? Narasumber waria penulis sudah mampu mengidentifikasikan dirinya sebagai
perempuan secara keseluruhan, ada pula yang masih memposisikan dirinya sebagai laki-laki dan
“bertransformasi” menjadi perempuan ketika malam. Namun, secara umum pandangan
masyarakat tetap menempatkan mereka dalam ketidak jelasan atau “abu-abu”. Dari asumsi ini,
penulis dapat menyimpulkan bahwa waria bukanlah suatu gender yang dapat dimaklumi oleh
masyarakat. Sejalan dengan pendapat Suryakusuma, bahwa mereka-mereka yang jatuh di luar
gender resmi yang ditentukan oleh masyarakat dikategorikan sebagai warga negara yang gagal
(Suryakusuma, 1996). Dengan kegagalan mereka sebagai warga negara, tentu mereka tidak dapat
menjalankan fungsi ekonominya, yang merupakan hak bagi tiap warga negara yang berada dalam
keteraturan gender pemerintah.
7

Masyarakat dan pemerintah Indonesia menentukan bahwa fungsi gender yang diakui
adalah perempuan dan laki-laki. Dengan cara perwujudan dan pemaksimalan fungsi gender ini
melalui hubungan pernikahan, baik lelaki maupun wanita berusaha memenuhi tanggung jawab
seksualnya sebagai warga negara Indonesia.
"'to make sense as a man in Indonesia' one must get married and function effectively as a dutiful husband and provider.... the importance of adequately
performing one's familial duties and obliga- tions is now linked to notions of
progressiveness and good citizenship" (Howard 1996:13,172).

Dengan demikian, di Indonesia seseorang haruslah memiliki kejelasan gender yaitu apakah ia
lelaki atau perempuan, dengan demikian barulah individu tersebut dapat melaksanakan tanggung
jawab seksualnya terhadap negara, dan dari sana pulalah ia kemudian dapat memenuhi haknya
sebagai homo economicus, dan memperoleh kesuksesan dalam segi ekonomis. Oleh karenanya,
pemosisian waria sebagai “di tengah-tengah” tidak dapat memperoleh pemakluman sebagai suatu
gender dan oleh karenanya tidak dapat memenuhi fungsinya sebagai seorang warga negara.
Penolakan-penolakan warga negara lain terhadap kelompok waria ini pun seolah dapat diterima
dan dibenarkan secara luas, oleh karena kita telah terkonsepsikan bahwa fungsi gender hanya 2
yaitu antara lelaki atau perempuan. Setelahnya, “waria” menjadi sebuah kesalahan dan Karena
itu mereka tidak dapat diterima sebagai warga negara normal lainnya. Dari sana, pemerintah dan
masyarakat secara luas tidak dapat mendistribusikan common goods (dalam hal ini tentu saja halhal terkait pemajuan keadaan ekonomi seseorang) kepada kelompok waria. Oleh karena itulah
mereka senantiasa ditolak dan dianggap gagal sebagai basis ekonomis.

8

BAB III
KESIMPULAN

Pasca tahun 1980, wanita telah berhasil menempatkan dirinya dalam struktur ekonomi
negara Indonesia sebagai sebuah basis ekonomis baru yang tercipta melalui adanya proses
reproduksi mitos kecantikan yang terjadi secara konstan dan rapid. Kedudukan wanita sebagai
sebuah basis ekonomi yang kuat ini membentuk sebuah konsep baru dalam masyarakat bahwa,
menjadi perempuan dapat jadi lebih menguntungkan dalam segi ekonomi. Mengingat bawa
sesuai dengan konsep superstructure Marx, aspek ekonomi menjadi salah satu alasan dibalik
terjadinya interaksi antar individu dalam masyarakat, terbentuklah sebuah struktur yang
memposisikan tiap anggota masyarakat dalam kelas Atas, menengah maupun bawah. Sukses
dalam segi ekonomi tentu sudah menjadi tujuan banyak anggota masyarakat dari berbagai kelas
dengan menggunakan berbagai kelebihan yang ia terima, lalu bagaimana dengan masyarakat
kelas bawah? Satu-satunya pola resistensi yang tersedia bagi masyarakat kelas bawah adalah
dengan memanfaatkan kekreatifitasannya, mengingat bahwa mereka berasal dari kelompok yang
unskilled. “menjadi perempuan” atau dalam hal ini “mewaria” telah menjadi salah satu jalan
keluar kreatif yang banyak digunakan oleh masyarkat kalangan unskilled untuk dapat memenuhi
kebutuhan ekonomisnya, mengingat bahwa “perempuan” itu sendiri sudah menjadi basis
ekonomi yang kuat di Indonesia.
Namun ternyata, faktanya dalam masyarakat kita kedudukan waria tak pernah dianggap
“serius” bahkan dinajiskan oleh beberapa kelompok masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa
ternyata waria gagal dalam menjadi basis ekonomi, atau dalam kata lain individu-individu non
perempuan yang “menjadi perempuan” gagal dalam menempatkan dirinya sebagai basis
ekonomi. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa demikian? Dari riset ini, penulis
menemukan adanya dua alasan mengapa waria gagal, yaitu: 1) waria tidak mampu memanipulasi
“kecantikannya” sebagaimana wanita berhasil menjadikannya basis ekonomis, hal ini disebabkan
waria bahkan tidak berada dalam kategori terendah dalam struktur kecantikan yang masyarakat
kita bentuk, 2) “waria” bukanlah suatu gender yang dapat dimaklumi oleh masyarakat, dan oleh
karenanya mereka gagal menempatkan dirinya dalam keteraturan gender yang dibentuk oleh
pemerintah dan oleh karena itu mereka tidak dapat menjalankan fungsi seksualnya sebagai warga
negara. Dengan demikian mereka digolongkan ke dalam “warga negara gagal” dank arena itu
mereka tidak dapat menikmati hak ekonomi seperti yang warga negara lelaki maupun perempuan
terima.
Oleh karena dua alasan tersebut, akhirnya waria gagal dalam memberikan dirinya sendiri
kekuatan untuk menjadi cantik dan dengan demikian pula secara langsung mereka tidak dapat
menikmati hak ekonomis sebagaimana warga negara lainnya rasakan. Untuk mengatasinya, ada
beberapa cara yang waria tempuh, diantaranya adalah
9

REFERENSI

Abdullah, Irwan. Seks Gender dan Reproduksi Kekuasaan: Rimba Lelaki dan Kematian
Perempuan: Tubuh Perempuan dalam Iklan
Boelstorff, Tom. 2005. Between Religion and Desire: Being Muslim and Gay in Indonesia.
American Anthropological Association: USA
Howard, Richard Stephen. 1996 , Falling into the Gay World: Manhood, Marriage, and Fam- ily
in Indonesia. Ph.D. dissertation, University of Illinois at Urbana-Champaign
Soule, George. 1994 . Pemikiran Para Pakar Ekonom Terkemuka . Penerbit Kanisius:
Yogyakarta
Suryakusuma, Julia I. 1996 . The State and Sexuality in New Order Indonesia. In Fanta- sizing
the Feminine in Indonesia . Laurie Sears, ed. Pp. 92-119. Durham, NC: Duke University
Press

10

11