PENGUATAN NILAI NILAI RELIGIUSITAS UNTUK

PENGUATAN NILAI-NILAI RELIGIUSITAS
UNTUK MELAWAN KORUPSI
Oleh :
Oksep Adhayanto
Nurhasanah
adhayantooksep@yahoo.com
Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang – Kepulauan Riau
Abstrak

Perkembangan korupsi ditanah air beberapa tahun terakhir memang
menghawatirkan mengingat penyakit korupsi juga turut “menyerang”
aparat penegak hukum. Korupsi yang seringkali dikatakan sebagai
penyakit yang sudah membudaya ditengah-tengah masyarakat
sesungguhnya sangat mengganggu tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Yang terpenting dari upaya pemberantasan korupsi adalah
kesadaran moral dan spritual dari setiap pelaku korupsi bahwa perbuatan
tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama manapun.
Kesadaran moral yang semestinya tertuang dalam nilai-nilai kesusilaan
sudah barang tentu dapat menjadi koridor oleh setiap orang dalam
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Nilai kesusilaan yang

bersumber dari hati nurani tentunya akan melawan terhadap bentukbentuk perbuatan yang tidak sesuai. Kaidah kesusilaan tentunya juga
dapat membatasi seseorang untuk tidak melakukan perbuatan korupsi
sepanjang orang tersebut memiliki kesadaran moral bahwa korupsi
adalah perbuatan yang dilarang dan dapat merugikan orang lain. Dalam
ajaran agama Islam, begitu banyak nash, hadist maupun riwayat-riwayat
terdahulu yang mengajarkan bahwa tindakan korupsi yang mengambil
haknya orang lain merupakan perbuatan yang dilarang . Ketidakkuatan
nilai-nilai agama yang tertanam pada seseorang cenderung menyebabkan
dirinya untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh ajaran Islam,
termasuk juga dalam melakukan tindak pidana korupsi. Kesadaran
religius untuk tidak melakukan perbuatan korupsi seringkali dapat dengan
mudah dikalahkan oleh faktor hawa nafsu dan lingkungan. Untuk itu perlu
ditanamkan nilai-nilai Amanah, Shidiq, Adil, dan Taqwa dalam pribadi
setiap muslim agar tidak terseret dalam lingkaran korupsi.

Kata kunci: Korupsi, Kesadaran Moral, Nilai Sprituil
1

A.


Pendahuluan
Secara etimologis, menurut Fockema Andreae, yang dikutip dari Andi

Hamzah, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus yang itu
berasal pula dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Bahasa Latin itulah
turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris; corruption, corrupt, Perancis;
corruption, dan Belanda; corruptie. Dapat disimpulkan bahwa dari bahasa Belanda

inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia menjadi “korupsi” (Andi Hamzah, 2007 :
40).
Perkembangan korupsi ditanah air beberapa tahun terakhir memang
mengkhawatirkan mengingat penyakit korupsi juga turut “menyerang” aparat
penegak hukum. Korupsi yang seringkali dikatakan sebagai penyakit yang sudah
membudaya ditengah-tengah masyarakat sesungguhnya sangat mengganggu tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari aspek pemberantasan hingga pencegahan
sudah banyak kali dilakukan oleh instansi yang berwenang sampai dengan organisasi
kemasyarakatan yang fokus terhadap itu. Namun secara signifikan hasilnya belum
menunjukkan yang terbaik.
Terakhir dapat dilihat bahwa telah terjadi perlawanan terhadap aparatur
penegak korupsi sebagaimana kasus Novel Baswedan (perlu pembuktian lebih lanjut)

yang memberikan sinyalemen bahwa para koruptor merasa terganggu dengan proses
pemberantasan korupsi hari ini. Namun tekanan maupun ancaman yang datang silih
berganti baik dari aspek keinginan merubah regulasi, pembatasan kewenangan
lembaga anti korupsi sampai dengan teror kepada petugas dilapangan harus disikapi
dengan berani agar upaya pemberantasan korupsi tidak terhenti.
Korupsi sebagai kejahatan extra ordinary crime menjadi momok yang
menakutkan karena dapat menyebabkan masyarakat secara luas menjadi sengsara.
Kejahatan-kejahatan korupsi yang senantiasa berbanding lurus dengan upaya-upaya
pencegahan yang dilakukan menimbulkan berbagai strategi yang dilakukan oleh

2

koruptor untuk menghindar dari jeratan pidana korupsi. Sebagaimana dikatakan oleh
Andi Hamzah (2005:1):
Korupsi adalah salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis
kejahatan lain seperti pencurian, sudah ada sejak manusia bermasyarakat di
atas bumi ini. Yang menjadi masalah utama adalah meningkatnya korupsi
itu seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Bahkan ada gejala
dalam pengalaman yang memperlihatkan, semakin maju pembangunan
suatu bangsa, semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong orang

untuk melakukan korupsi.
Selain itu juga, proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam
kehidupan masyarakat, disisi lain dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial
masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah
peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana
yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini
tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat (Evi Hartanti,2005:1).
Soerjono Soekanto (1996:17), terdapat banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya tindak pidana korupsi. Salah satu faktor tersebut adalah adanya
perkembangan dan perbuatan pembangunan khususnya dibidang ekonomi dan
keuangan yang telah berjalan dengan cepat, serta banyak menimbulkan berbagai
perubahan dan peningkatan kesejahteraan. Di samping itu, kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam upaya mendorong ekspor, peningkatan investasi melalui fasilitasfasilitas penanaman modal maupun kebijaksanaan dalam pemberian kelonggaran,
kemudahan dalam bidang perbankan, sering menjadi sasaran dan faktor terjadinya
korupsi.
Sifat korupsi memang kompleks dan penyebabnya datang dari dalam maupun
luar si pelaku. Secara internal dorongan untuk melakukan tindak pidana korupsi
muncul karena:
1. Dorongan Kebutuhan. Seseorang terpaksa korupsi karena gaji yang jauh

dari mencukupi dibanding kebutuhannya yang sangat besar akibat beban
3

dan tanggungjawab yang sangat besar pula. Korupsi jenis ini biasanya
hanya meliputi nilai yang terbatas tetapi dengan frekuensi acap kali.
2. Dorongan keserakahan. Orang yang korupsi karena serakah tentu saja tidak
didorong oleh kebutuhan yang sudah mencukupi. Korupsi dilakukan agar
dapat hidup lebih mewah dapat memiliki barang-barang yang tak bakal
terbeli dengan gaji. Oleh karena tingkat kepuasan itu tidak ada batasnya
maka sepanjang ada peluang mereka yang korupsi karena keserakahan
akan mengulangi perbuatan itu hingga pada suatu saat ia harus berhadapan
dengan hukum. (Krisna Harahap, 2006:7)
Sejalan dengan hal diatas, perbuatan yang dilakukan oleh manusia tidak akan
keluar dari kedudukannya sebagai aktivitas untuk memenuhi keperluan jasmani dan
naluri. Oleh karena itu, wujudnya dorongan yang ada di dalam diri manusia, yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan, adalah bagian dari fitrah manusia.
Adakalanya karena pengaruh keperluan jasmani, dan adakalanya karena pengaruh
naluri. Meskipun dorongan tersebut merupakan fitrah manusia, akan tetapi motivasi
manusia untuk melakukan perbuatan, sehingga perbuatah tersebut terlaksana, bukan
merupakan fitrah. Oleh karena itu, ini dapat berubah dan diubah. (Hafidz

Abdurrahman, 1998 : 92).
Hadirnya agama sebagai pedoman dan petunjuk bagi jalan yang lurus
seharusnya mampu untuk mengontrol dan membatasi setiap tingkah laku manusia
untuk melakukan kejahatan. Ketika peraturan perundang-undangan yang berlaku
tidak lagi dipatuhi dan ditaati, agama semestinya menjadi tembok penghalang bagi
umatnya dalam melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Peran
agama semestinya tampil dalam upaya memberikan kesadaran moral dan sprituil bagi
manusia. Akan tetapi, ketika agama sudah tidak lagi menjadi pedoman dan pegangan
hidup, maka yang terjadi adalah “penghalalan” atas setiap tindakan yang dilakukan
dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hawa nafsu.

4

B.

Pembahasan
Jika melihat perkembangan pemberantasan korupsi beberapa tahun terakhir,

kiranya dapat dikatakan sudah komprehensif upaya-upaya yang dilakukan guna
menekan angka korupsi yang terjadi di Indonesia. Pendirian Lembaga Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai dengan gerakan-gerakan sosial yang
dilakukan oleh masyarakat guna pemberantasan korupsi ternyata belum membuat
para koruptor sadar akan dampak korupsi yang dilakukan bagi masyarakat.
Yang terpenting dari upaya pemberantasan korupsi adalah kesadaran moral
dan spritual dari setiap pelaku korupsi bahwa perbuatan tersebut merupakan
perbuatan yang dilarang oleh agama manapun. Jika melihat pelaku-pelaku korupsi
yang sebagian besarnya merupakan orang-orang yang memiliki jabatan tentunya kita
merasa miris bagaimana sumpah jabatan yang melibatkan Tuhan Yang Maha Esa
begitu mudah dilanggar akibat tergiur dengan materi.
Hukum dan moral ibarat dua sisi mata uang. Menurut Thomas Aquinas,
perintah moral yang paling dasar adalah melakukan hal baik, menghindari yang jahat.
Kaidah-kaidah moral akan mendapat pengakuan yang konkrit ketika di back up oleh
aturan hukum. Oleh karenanya keteraturan dalam masyarakat selalu sejalan dengan
adanya perilaku moral yang baik yang patuh terhadap aturan hukum yang
berkeadilan. (Fithriatus Shalihah, 2016 ; 658).
Fenomena hukum dan moral menjadi hal yang banyak dibicarakan saat ini.
Kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin tidak diiringi dengan good morality,
sehingga perbuatannya seringkali menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Moralitas
sangat penting dalam menjalankan kepemimpinan. Apabila moral pemimpinnya baik
maka kekuasaannya akan mensejahterakan, namun jika moral pemimpinnya buruk

maka kekuasaannya dapat menyengsarakan. (Fithriatus Shalihah, 2016 ; 658-659).
Sumpah jabatan yang melarang menyalahgunakan kekuasaan ( abuse of
power ) baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok orang

lain ternyata pada prakteknya seringkali dilanggar. Upaya penyadaran moral “calon5

calon” pelaku korupsi senantiasa dilakukan seperti pelantikan pejabat dikuburan
sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lingga, pemberian peti mati
kepada pejabat di Kabupaten Kampar, shalat subuh berjemaah dan lain sebagainya
seakan-akan memberikan deskripsi tentang begitu rendahnya moralitas dan nilai
religiusitas kita sebagai umat manusia agar mengingat akan kematian dalam setiap
perbuatan yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan kelak. Akan tetapi muncul
pertanyaan apakah perbuatan-perbuatan korupsi turun secara drastis?.
Hal ini dapat dipahami melalui formula munculnya perilaku sebagai berikut :
TL = D x K x B x I (Tingkah Laku sama dengan dorongan kali kesempatan kali
kebiasaan dan kali insentif). Menurut teori ini perilaku korupsi dapat terjadi jika ada

dorongan untuk mendapatkan sesuatu yang akan dikorupsi lalu ada kesempatan untuk
melakukan. Kesempatan yang datang berkali-kali akan membentuk kebiasaan.
Korupsi akan terus dilakukan apabila memberikan insentif yang menyenangkan.

Kesadaran moral yang semestinya tertuang dalam nilai-nilai kesusilaan sudah
barang tentu dapat menjadi koridor oleh setiap orang dalam melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Nilai kesusilaan yang bersumber dari hati nurani tentunya akan
melawan terhadap bentuk-bentuk perbuatan yang tidak sesuai. Kaidah kesusilaan
tentunya juga dapat membatasi seseorang untuk tidak melakukan perbuatan korupsi
sepanjang orang tersebut memiliki kesadaran moral bahwa korupsi adalah perbuatan
yang dilarang dan dapat merugikan orang lain. Implikasi dari tidak diindahkannya
kaidah kesusilaan tersebut tentunya menimbulkan penyesalan bagi setiap orang
termasuk pelaku korupsi.
Disisi lain ajaran agama manapun melarang perbuatan korupsi untuk
dilakukan. Dalam ajaran agama Islam, begitu banyak nash, hadist maupun riwayatriwayat terdahulu yang mengajarkan bahwa tindakan korupsi yang mengambil
haknya orang lain merupakan perbuatan yang dilarang.
Meskipun dalam hukum Islam tidak terdapat istilah korupsi secara defenitif,
namun Islam secara tegas mengharamkan tindakan mencuri, suap, dan berbagai
6

kejahatan lainnya yang termasuk dalam katagori korupsi (Irdamisraini, 2008 : 123124). Yusuf Qardhawi (Yusuf Qardhawi, tt : 240) misalnya menyatakan bahwa Islam
mengharamkan seorang muslim menyuap penguasa dan pembantu-pembantunya.
Selain itu juga kepada pihak ketiga diperingatkan untuk tidak menjadi perantara
diantara pihak penerima dan pemberi karena perbuatan suap termasuk memakan harta

orang lain dengan cara yang bathil.
Ketidakkuatan nilai-nilai agama yang tertanam pada seseorang cenderung
menyebabkan dirinya untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh ajaran Islam,
termasuk juga dalam melakukan tindak pidana korupsi. Kesadaran religius untuk
tidak melakukan perbuatan korupsi seringkali dapat dengan mudah dikalahkan oleh
faktor hawa nafsu dan lingkungan.
Seharusnya, jabatan yang ditekuni seseorang sesuai dengan ilmu dan
ketrampilannya adalah ibadah. Hal ini didasarkan pada Firman Allah dalam QS. alZariyat (51): 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.” Karena tujuan utama manusia dan jin diciptakan Tuhan

adalah untuk beribadah berarti keseluruhan aktivitas manusia harus mengandung
muatan ibadah kepada Tuhan. Yang penting tentunya adalah niat dalam melakukan
suatu perbuatan yakni dimaksudkan sebagai suatu ibadah kepada Tuhan. Selain niat
juga perlu dibarengi dengan cara melakukannya yang harus sesuai dengan tuntunan
Allah. (Nina Mariani Noor, 2015 : 59).
Sebagaimana dalam ibadah mahdhah pekerjaan pun harus ditujukan kepada
Allah. Korupsi dalam pekerjaan atau jabatan berarti menghilangkan muatan ibadah
dalam pekerjaan karena semula dimaksudkan sebagai upaya pengabdian kepada
negara tetapi pada akhirnya dibelokkan kepada tujuan-tujuan negatif yakni mencari
keuntungan pribadi atau kelompok. Keuntungan pribadi ini tidak perlu diusahakan

karena sebagai pegawai telah mendapatkan gaji dari pemerintah. Perilaku korupsi ini
tidak hanya mencederai ibadahnya kepada Allah melainkan juga berimplikasi dosa

7

dengan hukuman berat yang telah disiapkan di sisi Allah. (Nina Mariani Noor, 2015 :
60).
Dalam perspektif agama memandang bahwa korupsi terjadi sebagai dampak
dari lemahnya nilai-nilai agama dalam diri individu, dan oleh karenanya upaya yang
harus dilakukan adalah memperkokoh internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam diri
individu dan masyarakat untuk mencegah tindak korupsi kecil (petty corruption),
apalagi korupsi besar (grand corruption). (Nanang T. Puspito, 2011 : 5).
Menjalankan nilai-nilai Islam semestinya harus secara kaffah agar tidak terjadi
pemilihan perbuatan yang tidak disenangi. Ketaqwaan seseorang terhadap ajaran
agamanya tentu berkorelasi langsung terhadap perilakunya. Semakin tinggi nilai
ketaqwaanya maka akan semakin baik perilakunya karena kepatuhan dan ketaatan
dalam menjalankan ajaran agama. Begitu juga sebaliknya. Akan tetapi tidak dapat
dipungkiri juga bahwa dengan melihat berbagai kasus korupsi yang menjerat banyak
orang hari ini yang dari kacamata awam memiliki nilai ketaqwaan yang tinggi.
Namun semuanya terpulang kepada moralitas dan spritualitas seserorang dalam
menjalankan nilai-nilai agama.
Sebagai contoh, pada saat bulan Ramadhan dimana tingkat keimanan
seseorang cendrung meningkat dikarenakan ketaqwaan yang tinggi menyebabkan
kecenderungan orang untuk tidak melakukan perbuatan yang mengandung unsur
kesalahan (baca : dosa). Persepsi logika yang memandang bahwa setiap tindakan
yang dilakukan dilihat oleh Allah SWT begitu tinggi selain dari pelipatgandaan amal
ibadah yang terjadi pada bulan tersebut. Secara kodrati walaupun hanya ada diri kita
sendiri namun hal tersebut tidak membuat kita untuk melakukan hal-hal yang dapat
membatalkan puasa atau mengurangi nilai puasa.
Seharusnya transformasi nilai-nilai yang diperoleh pada bulan tersebut harus
dapat diimplementasikan pada bulan-bulan selanjutnya. Jika hal tersebut dapat
dilakukan sesungguhnya kita tidak membutuhkan lembaga-lembaga lain untuk
mengawasi gerak gerik kita, karena dihati dan pikiran kita ada Allah SWT yang
8

senantiasa melihat dan mengawasi setiap perbuatan kita dengan imbalan dosa dan
pahala. Sama halnya jika dikomparasikan dengan perbuatan korupsi yang akan
dilakukan tentunya tidak akan mungkin untuk dilakukan karena ada Allah SWT yang
senantiasa mengawasi kita. Akan tetapi semua itu terpulang dari kadar keimanan dan
kepribadian masing-masing orang.
Hal ini sejalan sebagaimana yang disampaikan oleh Hafidz Abdurrahman
(Hafidz Abdurrahman, 1998 : 78):
Pembentukkan kepribadian Islam sama dengan kepribadian yang lain. Samasama dibentuk oleh aqliyah dan nafsiyah, dengan asas yang sama, yaitu cara
berfikir dan dawafi’ (dorongan) yang diasaskan dengan pemikiran ideologis
(al-fikru al-mabda’i). Apabila pemikiran ideologinya sama, maka warna
kepribadiannya sama. Dan apabila pemikiran ideologisnya lebih daripada satu,
maka warna kepribadiannya menjadi bermacam-macam (mutalawwin), atau
kacau balau (ghaira mutamayyiz).
Oleh karena itu dalam mengimplementasikan ajaran Islam sudah semestinya
harus dilakukan secara komprehensif antara Aqidah, Syari’ah dan Akhlak. (Oksep
Adhayanto, 2011 : 87). Untuk itu perlu ditanamkan nilai-nilai Amanah, Shidiq, Adil,
dan Taqwa dalam pribadi setiap muslim agar tidak terseret dalam lingkaran korupsi.
Secara etimologis, “amanah” berarti” “titipan” (Munawwir, 1997). Selanjutnya, kata
shidiq, secara etimogis, berarti: benar atau jujur (Munawwir, 1997). Dimana seorang
muslim dituntut untuk selalu dalam keadaan benar lahir-batin. Meliputi: benar-hati
(shidq al-qalb), benar-perkataan (shidq al-hadits), serta benar-perbuatan (shidq al‘amal). Kata Adil, secara etimologis berarti: “kesepadanan, kelurusan dan ukuran”.
(Munawwir, 1997). Sedang dalam pengertian terminologis berarti: “sikap tengah
yang berkeseimbangan dan jujur” (Madjid, 2000) yang muncul dari rasa insaf
(kesadaran) yang mendalam. Dan kata Taqwa sendiri dalam pengertian etimologis –
berarti: “takut., berhati-hati dan waspada”. Sedang dalam pengertian terminologis,
taqwa berarti: “penjagaan diri dari sesuatu yang tidak baik”. (Raharja, 1996).
Penguatan terhadap nilai-nilai religius seseorang secara teori tentunya
berbanding lurus dengan perbuatan yang dilakukannya. Upaya utuk melawan korupsi
9

dari perspektif penguatan nilai-nilai religius harus dimulai sejak dini dengan
menyadari bahwa apapun yang dilakukan dimuka bumi ini sesunggunya akan
dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

C.

Penutup
Maraknya korupsi yang terjadi saat ini mengharuskan menggunakan segala

bentuk formulasi untuk melakukan perlawanan dan pemberantasan korupsi itu
sendiri.

Penguatan terhadap nilai-nilai

religiusitas guna

melawan korupsi

sesungguhnya sudah diatur didalam ajaran agama Islam. Akan tetapi pada tataran
implementasi masih banyak ditemukan perilaku korupsi yang dilakukan ditengahtengah masyarakat. Untuk itu perlu kesadaran moral dan religius yang lebih serius
lagi agar dapat membentengi setiap orang untuk tidak melakukan perbuatan korupsi.
Sejalan dengan itu perlu ditanamkan nilai-nilai Amanah, Shidiq, Adil, dan Taqwa
dalam pribadi setiap muslim agar tidak terseret dalam lingkaran korupsi.
Semoga dengan semakin meningkatnya nilai-nilai religius dalam diri setiap
individu mampu untuk mengarahkannya kepada nilai-nilai kebaikan yang seharusnya
dilakukan sesuai dengan tuntutan ajaran agama. Dengan semakin mantapnya nilai
religius setiap individu, kedepan tidak diperlukan pengawasan yang lebih ketat
terhadap perilaku-perilaku korupsi, karena setiap orang menyadari bahwa perbuatan
tersebut merupakan bagian dari perbuatan dosa.

10

D. Daftar Pustaka
Abdurrahman, Hafidz, 1998, “Islam Politik dan Spiritual ”, Singapore, Lisan Ul-Haq.
Adhayanto, Oksep, 2011, “Khilafah Dalam Sistem Pemerintahan Islam”, Jurnal Ilmu
Politik dan Ilmu Pemerintahan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Maritim Raja Ali Haji, Vol. 1, No. 1, 2011.
Hamzah, Andi, 2004, “Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara ”,
Jakarta, Grafindo Persada.
______, 2007, “Pemberantasan Korupsi, Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional”, Jakarta, Grafindo Persada.
Harahap, Krisna, 2006, “Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung ”, Bandung,
Grafitri.
Hartanti, Evi, 2005, “Tindak Pidana Korupsi”, Jakarta, Sinar Grafika.
Irdamisraini, 2008, “Korupsi Perspektif Pidana Islam”, Jurnal Hukum Islam, Vol
VIII, No. 2, Desember 2008.
Madjid, Nurcholish, 2000, “Islam Doktrin dan Peradaban”, Jakarta, Paramadina.
Munawir. A.W., 1997, “Kamus Al-Munawwir [Arab-Indonesia]”, Surabaya, Pustaka
Progressif.
Noor, Nina Mariani (ed), 2015, “Etika dan Religiusitas Anti-Korupsi : Dari Konsep
ke Praktek di Indonesia ”, Geneva: Globethics.net.
Puspito, Nanang T, dkk, 2011, “Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi”,
(ed), Jakarta, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Direktorat
Pendidikan Tinggi.
Raharjo, M. Dawam., 1996, “Ensiklopedi al-Quran”, Jakarta, Paramadina.
Shalihah, Fithriatus dan Oksep Adhayanto, 2016, “ Hukum, Moral, Dan Kekuasaan
Dalam Telaah (Hukum adalah Alat Teknis Sosial) ”, Lampung, Jurnal FIAT
JUSTITIA, Volume 10 Issue 4, October-December 2016.
Soekanto, Soerjono, 1996, “Kejahatan dan Penegakkan Hukum di Indonesia ”,
Jakarta, Rineka Cipta.
11

http://sexisfree.net/korean-18/sex-korea-co-tiep-vien-nhiet-tinh/
http://www.coolinet.com/category/asia-video/page/370/
http://www.dam69.com/movies/g523843/phim-vlxx-vung-trom-vo-ban-trongchuyen-nghi-mat.html

12