Relasi Al Quran dengan Budaya Lokal

Relasi Al-Qur`an dengan Budaya Lokal

Oleh: Abdul Aziz
Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir IAIN Surakarta

Al-Qur`an sebagai pegangan pokok umat Islam, esensinya merupakan kitab
yang universal. Ia tidak hanya boleh dimanfaatkan oleh umat Muslim saja,
melainkan berlaku untuk semua suku, ras dan agama (lihat, QS. Al-Hujarat: 13).
Bahkan dalam pandangan Abd Muqsith Ghazali (2009: 71), wahyu tidak dibatasi
hanya dalam paradigma )slam. Namun, )slam sebagai agama yang universal

dapat menjadi pedoman keberagamaan hidup yang baik bagi umat lain sepanjang
masa.
Oleh karena itu, di mana pun dan kapan pun berada, al-Qur`an akan selalu
berinteraksi dengan nilai-nilai kebudayaan yang berbeda-beda dan terus berubah.
Sekalipun secara eksplisit ia tidak memberikan petunjuk langsung tentang bentuk
dinamika masyarakat, namun tetap memberikan petunjuk mengenai ciri-ciri dan
kualitas sebuah kebudayaan masyarakat, walaupun semua itu memerlukan upaya
interpretasi dan pengembangan pemikiran (Ach. Syaikhu, 2010: 99).
Kemerosotan Moral
Di era persaingan dan globalisasi ini, umat Islam dihadapkan pada kenyataan

bahwa nilai-nilai moral baik dalam agama maupun budaya semakin menyempit.
Situasi yang menyesakkan ini dalam pandangan Harun Yahya (2002: 34),
disebabkan oleh kemerosotan moral masyarakat. Dan kemerosotan ini akibat dari
tidak diterapkannya prinsip-prinsip moral al-Qur`an yang diperintahkan oleh
Allah, yang berakibat membahayakan masyarakat di semua ranah kehidupan.
Maraknya manhaj pemikiran yang sudah melenceng dari fitrah agama, seperti
berkembangnya manhaj puritan literal-skriptural dan sekuler liberalis-kapitalis di
dalam cangkang agama, merupakan bukti kemerosotan moral masyarakat dalam
beragama.
Jika menelisik ke sejarah awal Islam di Nusantara, mulai dari masuk dan
berkembangnya Islam pun menggunakan jalan yang damai, tolerir dan akomodatif.
Tidak seperti di Timur Tengah, yang pada akhirnya sesekali terpaksa memakai
1

jalan kekerasan dalam berdakwah. Padahal dakwah yang sesungguhnya adalah
dakwah sebagaimana metode dakwah Nabi Muhammad Saw. yang bijak, arif nan
bijaksana, bukan dakwah yang dapat meresahkan masyarakat. Dengan demikian,
meneguhkan kembali nilai-nilai al-Qur`an dalam budaya kearifan lokal sangat
dibutuhkan di era modern dewasa ini. Kearifan lokal yang sesuai dengan nilai-nilai
al-Qur`an perlu diteguhkan sekaligus dikembangkan dengan dalih, bahwa dari

sana lah kebudayaan religi sekaligus kebudayaan morali akan berkembang di
khalayak masyarakat luas.
Oleh karenanya, tulisan akan berusaha untuk sedikit menelisik mengenai
pengejewantahan nilai-nilai al-Qur`an yang seharusnya tetap hidup dan bersemi di
masyarakat lokal. Di sadari atau tidak, sesungguhnya ayat-ayat al-Qur`an telah
mengalami kehidupan di tengah-tengah budaya lokal masyarakat. Relasi al-Qur`an
dengan kebudayaan lokal ini, tentunya mengundang dua buah soal tentang; seperti
apa relasi al-Qur`an dengan budaya lokal, dan apa pula dampak positif yang
ditimbulkan dari adanya interaksi al-Qur`an dengan budaya lokal tersebut di masa
kini?
Kultural Qur`ani
Sebuah kitab suci pada esensinya mementingkan amal daripada gagasan.
Berkaitan dengan hal ini, Ach. Syaikhu (2010: 100) dalam penelitiannya mengenai
Al-Qur`an dan Kebudayaan, menjelaskan bahwa kata padanan kebudayaan dalam
bahasa Arab yaitu

al-Hadhara

atau


Ats-Tsaqafah , memang tidak akan

ditemukan di dalamnya, karena kata tersebut menunjuk kepada kebudayaan

sebagai produk. Sebaliknya, kata amal sebagai kegiatan manusia yang menunjuk

kepada kebudayaan sebagai proses justru merupakan salah satu pokok ajaran alQur`an.

Melihat bahwa kebudayaan dalam al-Qur`an lebih dipandang sebagai proses
manusia mewujudkan totalitas dirinya dalam kehidupan yang disebut amal ,

maka akan teringat eksistensi kehidupan masyarakat lokal Indonesia seperti Jawa,
yang selalu berusaha agar perbuatannya tidak melanggar pantangan dan
senantiasa sesuai dengan nilai-nilai kebaikan (Yana MH, 2012: 151). Di sisi lain,
masyarakat Jawa pun pada dasarnya selalu menghidupkan al-Qur`an melalui
tradisi kearifan budaya yang mereka jalani selama ini.
2

Beberapa tahun yang lalu muncul wacana baru di kalangan dosen dan
mahasiswa IAIN –yang sebagian kini telah berganti nama menjadi UIN—mengenai

perlunya kajian tentang al-Qur`an dalam pengertian yang lebih luas, yakni sebagai

“The Living al-Qur`an . Al-Qur`an diinginkan untuk tidak hanya dimaknai sebagi

sebuah kitab suci, tetapi juga sebuah kitab yang isinya terwujud atau berusaha

diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian menurut Heddy Shri
Ahimsa-Putra (2012: 236), studi tentang al-Qur`an akan mencakup bukan hanya
al-Qur`an sebagai kitab dengan berbagai macam tafsirnya, tetapi juga berbagai
upaya untuk merealisasikan tafsir-tafsir tersebut dalam kehidupan nyata, dalam
hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan
alamnya.
Ayat yang Hidup
Al-Qur`an yang hidup di tengah kehidupan sehari-hari manusia biasa
mewujud dalam bentuk yang beraneka ragam, yang bagi sebagian pemeluk Islam
mungkin malah telah dianggap menyimpang dari ajaran-ajaran dasar agama Islam
itu sendiri. Kajian The Living al-Quràn di sini dapat juga dikatakan sebagai
qur`anisasi kehidupan , yang artinya memasukkan al-Qur`an sebagaimana al-

Qur`an tersebut dipahami ke dalam semua aspek kehidupan manusia, atau


menjadikan kehidupan manusia sebagai suatu arena untuk mewujudkan al-Qur`an
di bumi (Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2012: 253).
Wujud

dari

living

al-Qur`an

sendiri

di

masyarakat

lokal

adalah


diberlakukannya ritual-ritual pada saat-saat tertentu. Misalnya, adalah kegiatan
Yâsinan, yaitu pembacaan surat Yâsin pada malam Jum`at oleh kelompokkelompok pengajian tertentu, atau membacanya di rumah seseorang yang salah
seorang keluarganya telah meninggal. Kegiatan semacam ini, menurut Heddy Shri
Ahimsa (2012: 253), sesungguhnya dapat diteliti untuk dibandingkan dan
kemudian difahami fungsi-fungsi sosial-kulturalnya, seperti halnya kajian
mengenai fungsi ritual dalam antropologi budaya. Contoh lain, yang termasuk
ayat-ayat hidup di masyarakat adalah kegiatan dzikir bersama. Wujud lainnya dari
living al-Quràn adalah penulisan ayat-ayat al-Qur`an menjadi seni kaligrafi atau
lukisan kaligrafis.
3

Selain

terjewantahkan

melalui

tradisi-tradisi


lokal,

al-Qur`an

juga

mengejawantah ke dalam bentuk tafsir al-Qur`an di Indonesia. Di mana pada
nantinya corak, bentuk, dan teknis penulisan tafsirnya pun akan terkesan lebih
unik dan berbeda daripada tafsir-tafsir al-Qur`an di Timur Tengah. Menurut Islah
Gusmian (2013: 22), sejak proses islamisasi yang digerakkan para Walisongo dan
berdirinya Kerajaan Demak, sekitar tahun 1500, tentunya pengajaran al-Qur`an
semakin semarak, meskipun dilakukan secara sederhana. Demikian juga, menurut
Islah, yang terjadi pada masa Mataram Islam. Dalam beberapa suluk, seperti suluk
Sunan Bonang, Suluk Sunan Kalijaga, dan Suluk Syaikh Siti Jenar, terlihat bahwa
teks-teks al-Qur`an telah menjadi salah satu rujukan penting dalam membangun
suatu konsepsi keagamaan.
Bahkan masa itu pula budaya literasi di dunia Islam Indonesia sudah mulai
berkembang dan berakulturasi dengan budaya-budaya lokal. Seperti penggunaan
serta teknis penulisan tafsir al-Qur`an yang menggunakan bahasa pegon, dalam
Tafsir Al-Ibriz karya KH. Bisri Musthofa dan Bakri Syahid dengan Tafsir Al-Hudanya. Ini merupakan bukti bahwa Islam di Indonesia mampu beradaptasi dan

berakulturasi dengan budaya lokal, dengan tanpa merusak apalagi bertentangan
dengan nilai-nilai Islam secara syar`i. Sebab Islam di sini hanya berelasi dan
beradaptasi dengan nilai-nilai budaya yang arif saja, bukan budaya yang secara
esensi dapat merusak aqidah Islam. Dengan demikian, Islam (baca: al-Qur`an)
merupakan agama (wahyu) yang universal, dan berlaku bagi seluruh budaya dan
suku yang ada di dunia, tak terkecuali di Indonesia, khususnya Jawa.
Peneguhan serta reinterpretasi terhadap korelasi al-Qur`an dengan nilai-nilai
budaya lokal, sesungguhnya satu jalan yang dapat menolong manusia modern agar
lebih bisa menata kehidupan. Sebab kehidupan yang tertata adalah kehidupan
ideal yang dapat sejalan lurus sesuai dengan norma sekaligus nilai-nilai agama dan
kearifan budaya.
Untuk itu, guna meneguhkan nilai-nilai Qur`ani yang juga sesuai dengan
kearifan-budaya lokal, maka studi khusus tentang The Living Qur`an menjadi
sangat urgen untuk dikembangkan. Sebab ia merupakan bentuk representasi dari
ajaran Islam yang universal.
4