MODEL SOCIAL ENGINEERING UNTUK TATA KELO
MODEL SOCIAL ENGINEERING UNTUK TATA KELOLA AIR DI
JAKARTA DAN SEKITARNYA
Henny Warsilah
Research Center for Society and Culture
The Indonesian Institute of Sciences
I.PENGANTAR
Wilayah Jakarta yang secara topografis terletak di bawah permukaan air laut, memiliki
daratan seluas 662 km2 dan lautan seluas 6.998 km2, termasuk di dalamnya 110 pulau.
Pertumbuhan perkotaan yang sangat cepat berdampak positif dalam perkembangan ekonomi,
namun juga menimbulkan permasalahan lingkungan. Kantong-kantong pertumbuhan ekonomi di
wilayah Jabodetabekpunjur (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Puncak-Cianjur) berkaitan
erat dengan terjadinya banjir, krisis air bersih dan genangan air atau rob serta perluasan lahan
perumahan dan komersial yang menggunakan lahan produktif.
Saat ini, Jakarta membutuhkan air baku setidaknya 26.200 liter per detik untuk memenuhi
kebutuhan air bersih 10 juta penduduknya. Sementara, saat ini ketersediaan air baku hanya
17.000-an liter per detik. Jakarta mengalami krisis ketahanan air. Artinya, sampai 2015 Kota
Jakarta masih mengalami defisit sekitar 9.100-an liter air per detik (Meyritha Maryanie,
Corporate Communications PT Palyja, operator air bersih rekanan Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) Jaya: 2015). Dari total kebutuhan 26.100 liter per detik, penyediaan kebutuhan
pokok kehidupan tersebut baru terpenuhi sebanyak 17.000 liter perdetik. Artinya masih terdapat
kekurangan kebutuhan sebesar 9.100 liter per detik.
Selain itu, pasokan air untuk Jakarta bukan berasal dari sungai-sungai yang ada di
Jakarta. Tidak ada satu pun dari 13 sungai yang mengalir di wilayah Ibu Kota, airnya yang layak
diminum. Dan, Jakarta tak mempunyai sumber air permukaan yang layak diubah menjadi air
baku. Sebagai contoh, PT PAM Lyonnaise Jaya sebagai pemasok air bersih di bagian barat dan
utara Jakarta memperoleh sumber air baku justru dari luar Jakarta. Sebanyak 62,5 persen air yang
diolah berasal dari Waduk Jatiluhur dan 31,8 persen berasal dari Water Treatment Plant Serpong
dan Cikokol, Tangerang. Hanya 5,7 persen yang diambil dari Kali Krukut di Jakarta Selatan dan
Cengkareng Drain di Jakarta Barat, itu pun kualitasnya tak baik.
1
Berikut table yang menggambarkan kebutuhan dan kapasitas produksi air di Jakarta dari
tahun 2010 sampai 2025:
Gambar 1.
II.PERMASALAHAN PENELITIAN
Krisis air Jakarta dan sekitarnya dipicu, pertama-tama oleh kenaikan populasi penduduk
yang tinggi di kota Jakarta dan sekitarnya, yang mau tidak mau sangat tergantung kepada
ketersediaan air dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Kedua, pola penggunaan dan
pengelolaan lahan amat menentukan arah pembangunan, begitu pula dengan faktor sosial yang
terjadi di sekitarnya. Ketiga, terjadinya land subsidence yang rata-rata 5-10 Cm per tahun.
Keempat, faktor teknis maupun sosial pada akhirnya menentukan fenomena lingkungan, seperti
polusi, banjir, temperatur udara, serta pengelolaan lingkungan yang harus bersaing dengan
kebutuhan warga akan lahan tinggal. Kelima akibat proyek reklamasi Teluk Jakarta yang sedang
dibangun juga berdampak terhadap terjadinya krisis air di Jakarta. Dan ke enam, faktor
sedimentasi terutama logam berat dan pencemaran akibat limbah organik yang berasal dari
rumah tangga dan industry.
Terkait dengan proyek reklamasi, menurut pendapat beberapa ahli, proyek reklamasi
memberikan dampak sedimentasi, penurunan kualitas air akibat logam berat dan bahan organik
serta terjadinya penurunan arus laut sehingga material yang masuk dari sungai cenderung
tertahan (hilangnya flushing system) menyebabkan kematian ikan di Teluk Jakarta. Kemudian, di
masa depan proyek reklamasi diduga akan menambah beban dengan dibangunnya infrastruktur
2
gedung permanen di pinggir laut maka tanah Jakarta akan semakin ambles. Untuk diketahui,
bahwa wilayah terparah yang mengalami amblesan salah satunya adalah di perumahan Pantai
Mutiara (Pluit) yang merupakan area reklamasi, yaitu sebesar 116 cm selama 8 tahun (dari 20022010).
Belajar dari banyak negara di dunia, pertumbuhan suatu wilayah yang paling dominan
adalah wilayah pesisir. Wilayah Pesisir seiring dengan pertumbuhan penduduk dan eksploitasi
sumberdaya laut dan kawasan pesisir mengalami peningkatan beban. Jika dibandingkan dengan
wilayah pesisir di negara tetangga, seperti Vietnam misalnya, di sepanjang aliran sungai Mekong
menjadi fokus pembangunan tanpa memarginalkan masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran
sungai dan tanpa merusak ekosistem pesisirnya. Perhatian lebih difokuskan pada kawasan pesisir
dibandingkan wilayah pedalaman.
Selain itu, alasan reklamasi ini pada tahun 1995 bertujuan untuk mencegah pengikisan
daratan Jakarta oleh air laut, serta membangun beberapa fasilitas kota lainnya. Tak hanya itu,
reklamasi pantai utara Jakarta juga bertujuan untuk menata kembali kawasan Pantai Utara Jawa
(Pantura) dengan cara membangun kawasan pantai dan menjadikan Jakarta sebagai kota pantai
(waterfront city) karena ruang Jakarta sudah tidak mungkin diperluas. Namun terdapat perubahan
tata ruang di Perda No. 1/2012 tentang RTRW 2010-2030 menjadi pulau-pulau kecil yang
terpisah dari daratan. Namun pada kenyataannya, permasalahan pembangunan reklamasi teluk
Jakarta ini sangat kompleks, baik dari sisi perizinan, masalah ekonomi; sosial dan lingkungan.
Misal dalam masalah perizinan, masih terdapat dua sumber hukum yang bertentangan yaitu:
Keppres No. 52 tahun 1995 sebagai pendukung keberlanjutan proyek reklamasi yang
bertentangan dengan Perpres No. 54 tahun 2008 tentang rencana tata ruang Jabodetabekpunjur,
yang menyatakan bahwa Kepres 52/1995 sepanjang berkaitan dengan aspek tata ruang tidak lagi
berlaku. UU No. 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak
menjadi acuan Pemprov DKI Jakarta dalam memberikan ijin proyek reklamasi. Terutama pada
pasal 34 menjelaskan bahwa reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam rangka
meningkatkan manfaat dan nilai tambah harus ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial
ekonomi, dan pelaksanaannya harus melibatkan masyarakat sekitar. Dalam hal ini pelaksanaan
UU no. 27/2007 tidak menjadi acuan dihampir semua proyek reklamasi di seluruh Indonesia
sehingga semakin terdampak terhadap krisis air Jakarta.
3
Proyek reklamasi pesisir Kota Jakarta dimaksudkan untuk menambah ruang
pembangunan Jakarta, karena dengan kepadatan penduduk yang tinggi kota Jakarta sudah tidak
mungkin diperluas (daratan). Saat ini, kawasan selatan Jakarta sudah tidak mungkin
dikembangkan karena fungsinya sebagai daerah konservasi. Sementara itu, kondisi wilayah timur
dan barat kota Jakarta sudah dipadati penduduk, sehingga tidak bisa dikembangkan. Memang
dalam perencanaan kota Jakarta, sejak tahun 1985 pengembangan wilayah Jakarta sudah
diarahkan ke timur dan barat.
Pembangunan DKI Jakarta sejak era 1970-an sampai sekarang, telah membawa
perubahan besar di daratan sampai pesisir dan laut. Bahkan perubahan lingkungan juga terjadi
pada daerah aliran sungai, dari hulu ke hilir. Sebagai contoh, telah terjadi konversi vegetasi
besar-besaran menjadi daerah perkotaan sebesar 80% dalam kurun 1976-2004 (Gambar 2).
Gambar 1. Citra satelit perubahan lahan dari vegetasi (warna merah kecoklatan) ke
perkotaan/pemukiman (warna hijau).
Dari aspek perubahan lahan, menurut Alan Koropitan, IPB: 2016), dampak utama dari
konversi lahan adalah sedimentasi yang tinggi di muara dan pesisir Teluk Jakarta, yang masuk
melalui sungai-sungai. Hal ini telah mempengaruhi luas tutupan karang di Kepulauan Seribu.
Misalnya, Pulau Pari dan Pulau Air telah terjadi perubahan luas tutupan karang dari 70-80% pada
tahun 1970 menjadi tinggal 15-30% pada tahun 1995. Dampak lainnya dari adanya pemukiman
dan industri, adalah pencemaran logam berat yang tinggi di Teluk Jakarta yang masuk melalui
sungai-sungai. Data isotope menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat di sedimen dasar Teluk
Jakarta pada kurun 1865-1965 masih stabil, namun pada tahun 2005 meningkat drastis lebih dari
100%.
4
Persoalan lainya, adalah limbah organik yang berasal dari rumah tangga dan industri,
yang tanpa diolah masuk ke sungai kemudian menuju ke Teluk Jakarta. Persoalan limbah organik
ini berdampak pada terciptanya kondisi hyper-eutrophic di pesisir Teluk Jakarta, yaitu kondisi
dimana nutrien tinggi tapi oksigen drop karena aktivitas bakteri dalam menguraikan limbah
organik. Penelitian Koropitan et al. (2009) melaporkan, bahwa lokasi penumpukan limbah
organik dikontrol oleh arus musiman, pada puncak musim barat (Desember – Februari)
terkumpul di sebelah timur teluk dan sebaliknya pada puncak musim timur (Juni – Agustus).
Hasil riset Ladwig et al. (2016) yang mengukur pada Oktober 2012 (menjelang musim barat),
menemukan bahwa oksigen drop di sebelah timur Teluk Jakarta. Kondisi oksigen drop
sesungguhnya terjadi hampir setiap tahun, akibatnya hampir setiap tahun juga terjadi kematian
ikan dan mengambang ke permukaan.
Jadi, kondisi air, terutama di Teluk Jakarta memang telah tercemar berat oleh sedimen,
logam berat dan bahan organik. Namun, kondisi ini umumnya terjadi di perairan dekat muara
atau pesisir. Perairan yang relatif jauh dari pesisir masih baik untuk aktivitas penangkapan ikan.
Hasil riset terbaru Baum et al. (2016) menyebutkan bahwa walaupun tercemar berat namun
Teluk Jakarta mampu menghidupkan jutaan masyarakat melalui penyediaan pangan. Memang
sumberdaya kelautan dan perikanan di Teluk Jakarta terus menurun oleh karena pencemaran dan
juga penangkapan yang berlebih akibat semakin banyak nelayan. BPS (2012) menyebutkan
bahwa populasi nelayan bertambah dalam waktu 5 tahun sebesar 30%.
Dari aspek sosial budaya, penyebab terjadinya krisis air pertama-tama disebabkan
populasi penduduk yang terus bertambah ke kota-kota besar dan penyebarannya yang tidak
merata, terutama kota Jakarta. Konsekuensi logis dari pertambahan jumlah penduduk yang tinggi
adalah kebutuhan terhadap sumberdaya air meningkat darstis dan berdampak terhadap
pencemaran dan kerusakan sumberdaya air secara massif. Pertumbuhan penduduk ini
membutuhkan pertumbuhan industrialisasi dalam skala besar, sehingga makin mendorong
terjadinya kelangkaan sumberdaya air bersih dan tidak teralayaninya sebagian besar orang atas
kebutuhan sumber air bersih dan sanitasinya.
Hal ini disebabkan, prilaku manusia yang menganggap sumberdaya air sebagai benda
sosial akibatnya sumberdaya air sungai difungsikan untuk beragam kebutuhan sehari-hari,
termasuk untuk mandi, cuci dan pembuangan kotoran atau sampah. Dan prilaku masa bodoh
masyarakat, yang sering menganggap bahwa ketersediaan air hanya merupakan urusan
5
pemerintah atau PDAM sehingga mereka tidak tergerak untuk mengatasi pencemaran dan ikut
terlibat dalam konservasi air.
Pemanfaatan air tanah oleh masyarakat untuk mandi dan mencuci pada umumnya dengan
memanfaatkan air PDAM (49%), dan dengan menggunakan air sumur bor (49%) yang dibeli
oleh para penjual air keliling, atau membuat sumur bor sendiri. Masih tingginya pemanfaatan air
dari sumur bor untuk keperluan masak yang mencapai 16% dan dari PDAM 17% menunjukkan
ketidakpeduliaan masyarakat akan krisis dan kelangkaan air di Jakarta (lihat Gambar 3 dan 4 di
bawah).
Gambar 3 Konsumsi Air Bersih Oleh Rumah Tangga
Gambar 4.
6
Gambar 5 dan 6 berikut, memperlihatkan ketergantungan warga Jakarta dan sekitarnya
terhadap air bersih, dimana sumber air bersih tersebut berasal dari air kemasan, air ledeng, air
sumur, dan sumber air lainnya seperti sungai.
Gambar 5.
Gambar 6. Sumber Kebutuhan Air Masyarakat Jakarta dan sekitarnya
Gambar 7.
7
Krisis air yang dialami penduduk Jakarta dan sekitarnya berimplikasi terhadap factor
kesehatan, yakni berkembakbiaknya beragam penyakit, seperti diare, cholera, hepatitis, disentri
dan malaria. Selain itu secara ekonomi, akibat krisis air terjadi privatisasi sumberdaya air, hal
demikian akan membuat akses masyarakat terhadap sumberdaya air semakin terbatas. Pada
posisi demikian, masyarakat yang paling mampulah yang memiliki akses sumberdaya air.
Sementara masyarakat miskin harus membeli dengan harga yang mahal. Beberapa penelitian
yang telah dilakukan, menyatakan hampir setengah pendapatan masyakat miskin Jakarta
dihabiskan untuk membeli air.
Gambar 8 Pemicu Kelangkaan Sumberdaya Air.
Penelitian unggulan ketahanan air ini bertujuan untuk memberi masukan terhadap
manajemen air di Jakarta dan sekitarnya. Metode baru yang menggabungkan pendekatan teknis
dan sosial solusi hijau baik secara teknis maupun social untuk menciptakan “kota sadar air”
(water sensitive cities).
III. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan dari kajian ini adalah untuk memberikan alternatif model kebijakan pengelolaan
8
Air secara terpadu dalam bentuk kerangka kerja yang dapat diimplementasikan dalam jangka
waktu tertentu, baik yang bersifat umum untuk seluruh DAS maupun yang bersifat khusus atas
dasarkelompok kriteria kekritisannya.
Adapun sasaran kajian ini adalah untuk: (1) menganalisa sumberdaya air baik air sungai maupun
air bawah tanah yang dalam kondisi kritis agar dapat dijadikan model pengelolaannya secara
terpadu; (2) melakukan kaji ulang terhadap kebijakan pengelolaan sumberdaya air antara lain
dalam pengendalian bencana banjir dan kekeringan; land subsidence dan (3) menyusun kerangka
kerja (frame work) untuk perumusan model kebijakan yang mengacu kepada model sosial
engineering tata kelola air. (3) Menemukan odel pengelolaan sumberdaya air yang terintegratif
dan sejalan dengan rekayasa social.
IV. METODOLOGI
Kajian ini dilakukan melalui pengumpulan, pengolahan dan analisis data secara primer
dan sekunder, kaji literatur pada universitas, lembaga penelitian, lembaga pemerintah / non
pemerintah yang terkait, untuk mendapatkan referensi dan data maupun survei. Pada kajian ini,
data dan informasi bersumber dari data dan kajian primer dan sekunder yang selanjutnya
dianalisa dengan menggunakan pendekatan konsep pengelolaan sumberdaya air berbasis social
engineering dan berdasarkan sumber daya pada masing-masing wilayah .
V.KONSEP SOCIAL ENGENEERING UNTUK TATA KELOLA AIR
Potensi defisit air di beberapa wilayah memerlukan pengelolaan sumberdaya air dengan
mempertimbangkan satu kesatuan hidrologi melalui kerjasama antar wilayah dan antar pengguna
(pertanian, domestik dan industri). Tata kelola sumberdaya air yang kurang tepat akan berakibat
krisis sumberdaya air dan berdampak terhadap ketahanan pangan. Sekitar 80% produksi padi
dihasilkan sawah beririgasi sehingga pemenuhan ketersediaan air menjadi aspek penting. Oleh
karena itu dibutuhkan tata kelola sumberdaya air yang mampu merancang kebijakan publik yang
dapat diterima dan pelaksanaannya efektif oleh aktor/stakeholder.
Hasil penelitian terdahulu, tentang kelembagaan tata kelola sumberdaya air
menunjukkan bahwa peran stakeholder terkait regulasi ditingkat nasional adalah Bappenas dan
Dirjen Sumberdaya Air Kementrian Pekerjaan Umum. Peran sebagai regulator sekaligus operator
adalah BBWS Citarum ditingkat nasional dan ditingkat provinsi/kabupaten adalah Dinas PSDA
9
dan PJT II di bawah 5 koordinasi kementrian BUMN dan kementrian PU. Pengguna sumberdaya
air terkait kebutuhan tanaman pangan adalah Kementrian Pertanian Ditjen PSP/Prasarana dan
Sarana Pertanian ditingkat nasional dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan ditingkat kabupaten.
Pengguna sektor perkotaan adalah PD PAM Jaya DKI Jakarta melalui rekanan PT Palyja dan PT
Aetra.
Tata kelola sumberdaya air melibatkan multi stakeholder yang berperan sebagai regulator,
operator dan user (pengguna). Terdapat beberapa stakeholder dengan peran ganda sehingga
memungkinkan terjadi benturan kepentingan. Belum ada kelembagaan sebagai wadah koordinasi
pengelolaan sumberdaya air yang mengakomodasi berbagai kepentingan dengan biaya transaksi
rendah.
Sumberdaya air dari waduk Jatiluhur ke Bendung Curug untuk dialirkan ke masingmasing wilayah menunjukkan variasi suplai namun cenderung menurun Alokasi untuk keperluan
pertanian cenderung tetap dan terukur sedangkan penggunaan air untuk non pertanian meningkat.
Suplai air waduk Jatiluhur ke Tarum Utara dan Tarum Barat memberikan gejala penurunan,
sehingga alokasi air untuk pengguna harus disesuaikan. Kebutuhan air non pertanian cenderung
meningkat
terutama
kebutuhan
air
baku
untuk
DKI
Jakarta
(http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/70067).
Gambar 9 Kelangkaan Sumberdaya Air
Reformasi dalam pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu tindakan penting
untuk mengatasi pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, dan konservasi sumber daya alam
(air). Dalam pelaksanaannya, telah diterbitkan beberapa kebijakan antara lain diberlakukannya
Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA). Undang-undang ini
bertujuan untuk pelaksanaan pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh, berkelanjutan, dan
10
melalui pendekatan terbuka sehingga memberikan pilihan bagi masyarakat bisnis dan organisasi
non-pemerintah untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan
sumber daya air terpadu.
Untuk mengatasi krisis air dan kelangkaan air bersih dibutuhkan suatu manajemen atau
model tata kelola air yang sesuai dengan kondisi sosial budaya, ekonomi dan politik Indonesia.
Manajemen atau pengelolaan adalah suatu seni untuk mengatur atau mengelola semua sumber
daya yang dimiliki oleh organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi tersebut.
Pengelolaan sumber daya air seyogianya dilakukan dengan memperhatikan keserasian
antara konservasi dan pendayagunaan, antara hulu dan hilir, antara pemanfaatan air permukaan
dan air tanah, serta antara pemenuhan kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka
panjang. Dalam hal ini pembangunan ketersediaan air baku berskala kecil akan lebih diutamakan
agar rakyat kecil lebih dapat menikmatinya. Prioritas utama pada pemenuhan kebutuhan pokok
rumah tangga terutama di wilayah rawan defisit air, wilayah tertinggal, dan wilayah strategis.
Pengendalian daya rusak air terutama diarahkan untuk penananggulangan banjir dengan
menggunakan pendekatan vegetatif melalui konservasi sumberdaya air dan pengelolaan daerah
aliran sungai. Peningkatan partisipasi masyarakat dan kemitraan di antara stakeholders terus
diupayakan tidak hanya untuk kejadian banjir, tetapi juga pada tahap pencegahan serta
pemulihan pasca bencana. Penanggulangan banjir haruslah sudah diutamakan, demikian pula
pengelolaan bencana kekeringan.
Dalam rangka mewujudkan pengelolaan sumberdaya air secara terpadu (IWRM) ada tiga
criteria utama yang dijadikan acuan, yaitu:
1) Efisiensi ekonomi. Dengan meningkatnya kelangkaan air dan sumberdaya keuangan, dan
dengan sifat sumberdaya air yang tersedia secara terbatas dan mudah tercemar, serta semakin
meningkatnya permintaan maka efisiensi ekonomi penggunaan air sudah harus menjadi
perhatian.
2) Keadilan. Air adalah salah satu kebutuhan dasar kehidupan, oleh sebab itu maka semua orang
perlu mempunyai akses terhadap air yang mencukupi baik secara kuantitas maupun kualitas
untuk mempertahankan kehidupannya.
3) Keberlanjutan (sustainablility) lingkungan dan ekologi. Penggunaan sumberdaya air haruslah
dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang
terhadap air (lihat juga Riyadi: 202, Jurnal Lingkungan Hidup)..
11
Pustaka
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Pengujuan Undang
UndangNomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
‘Water Worries: Special Issue’,The Jakarta Globe
(July 25, 2009)
accessed December 4,2010
Abderrahman WA, ‘Water demand management and Islamic water management principles:
Acase study’ 16 International Journal of Water
Resources Development 465 Al'Afghani MM, ‘Can the court’s concern over water privatization
be justified? (Part 2 of 2)’
The Jakarta Post (March 10 2015) Op-Ed 6
accessed May 04, 2015
–––, ‘Court decision brings water governance reforms to a halt ( Part 1 of 2 )’
The Jakarta Post (March 09 2015) Op-Ed 6
accessed May 04, 2015
–––, ‘Constitutional Court's Review and the Future of Water Law in Indonesia’ 2 Law,
Environment and Development (LEAD) Journal (2006)
–––, ‘Indonesia Needs a Strong Water Services Law’ The Jakarta
Post, August 31, 2009 accessed November 26, 2011
–––, ‘The Potential Role of the Human Right to Water in the Management of
Indonesia’s WaterResources’ Available at SSRN: :
http://ssrncom/abstract=1723205 orhttp://dxdoiorg/102139/ssrn1723205
––– Jared Diamond, Collapse: How societies choose to fail or succeed
(Penguin 2005). Manajemen Air adalah satudari 8 penyebab yang menghancurkan peradaban di
masa lalu 15)
Mohamad Mova Al'Afghani, ‘The Role of Legal Frameworks in Enabling Transparency in
Water UtilitiesRegulation’ (PhD Thesis, University of Dundee
2012);
12
Mohamad Mova Al'Afghani, ‘When It Comes to WaterServices, Jakarta Is Living in the Distant
Past’ The Jakarta Globe, October 16, 2011
accessed May 24, 2012;
Mohamad Mova Al'Afghani, ‘Indonesia Needs a Strong Water Services Law’
The Jakarta Post, August 31, 2009 accessed November 26, 2011 juga
Sarah Marjorie Hendry, ‘An Analytical Framework forReform of National Water Law’ (PhD
thesis, University of Dundee 2008
Brinkman JJ, Flood Risk Management and Urban Resilience (2012)
13
JAKARTA DAN SEKITARNYA
Henny Warsilah
Research Center for Society and Culture
The Indonesian Institute of Sciences
I.PENGANTAR
Wilayah Jakarta yang secara topografis terletak di bawah permukaan air laut, memiliki
daratan seluas 662 km2 dan lautan seluas 6.998 km2, termasuk di dalamnya 110 pulau.
Pertumbuhan perkotaan yang sangat cepat berdampak positif dalam perkembangan ekonomi,
namun juga menimbulkan permasalahan lingkungan. Kantong-kantong pertumbuhan ekonomi di
wilayah Jabodetabekpunjur (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Puncak-Cianjur) berkaitan
erat dengan terjadinya banjir, krisis air bersih dan genangan air atau rob serta perluasan lahan
perumahan dan komersial yang menggunakan lahan produktif.
Saat ini, Jakarta membutuhkan air baku setidaknya 26.200 liter per detik untuk memenuhi
kebutuhan air bersih 10 juta penduduknya. Sementara, saat ini ketersediaan air baku hanya
17.000-an liter per detik. Jakarta mengalami krisis ketahanan air. Artinya, sampai 2015 Kota
Jakarta masih mengalami defisit sekitar 9.100-an liter air per detik (Meyritha Maryanie,
Corporate Communications PT Palyja, operator air bersih rekanan Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) Jaya: 2015). Dari total kebutuhan 26.100 liter per detik, penyediaan kebutuhan
pokok kehidupan tersebut baru terpenuhi sebanyak 17.000 liter perdetik. Artinya masih terdapat
kekurangan kebutuhan sebesar 9.100 liter per detik.
Selain itu, pasokan air untuk Jakarta bukan berasal dari sungai-sungai yang ada di
Jakarta. Tidak ada satu pun dari 13 sungai yang mengalir di wilayah Ibu Kota, airnya yang layak
diminum. Dan, Jakarta tak mempunyai sumber air permukaan yang layak diubah menjadi air
baku. Sebagai contoh, PT PAM Lyonnaise Jaya sebagai pemasok air bersih di bagian barat dan
utara Jakarta memperoleh sumber air baku justru dari luar Jakarta. Sebanyak 62,5 persen air yang
diolah berasal dari Waduk Jatiluhur dan 31,8 persen berasal dari Water Treatment Plant Serpong
dan Cikokol, Tangerang. Hanya 5,7 persen yang diambil dari Kali Krukut di Jakarta Selatan dan
Cengkareng Drain di Jakarta Barat, itu pun kualitasnya tak baik.
1
Berikut table yang menggambarkan kebutuhan dan kapasitas produksi air di Jakarta dari
tahun 2010 sampai 2025:
Gambar 1.
II.PERMASALAHAN PENELITIAN
Krisis air Jakarta dan sekitarnya dipicu, pertama-tama oleh kenaikan populasi penduduk
yang tinggi di kota Jakarta dan sekitarnya, yang mau tidak mau sangat tergantung kepada
ketersediaan air dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Kedua, pola penggunaan dan
pengelolaan lahan amat menentukan arah pembangunan, begitu pula dengan faktor sosial yang
terjadi di sekitarnya. Ketiga, terjadinya land subsidence yang rata-rata 5-10 Cm per tahun.
Keempat, faktor teknis maupun sosial pada akhirnya menentukan fenomena lingkungan, seperti
polusi, banjir, temperatur udara, serta pengelolaan lingkungan yang harus bersaing dengan
kebutuhan warga akan lahan tinggal. Kelima akibat proyek reklamasi Teluk Jakarta yang sedang
dibangun juga berdampak terhadap terjadinya krisis air di Jakarta. Dan ke enam, faktor
sedimentasi terutama logam berat dan pencemaran akibat limbah organik yang berasal dari
rumah tangga dan industry.
Terkait dengan proyek reklamasi, menurut pendapat beberapa ahli, proyek reklamasi
memberikan dampak sedimentasi, penurunan kualitas air akibat logam berat dan bahan organik
serta terjadinya penurunan arus laut sehingga material yang masuk dari sungai cenderung
tertahan (hilangnya flushing system) menyebabkan kematian ikan di Teluk Jakarta. Kemudian, di
masa depan proyek reklamasi diduga akan menambah beban dengan dibangunnya infrastruktur
2
gedung permanen di pinggir laut maka tanah Jakarta akan semakin ambles. Untuk diketahui,
bahwa wilayah terparah yang mengalami amblesan salah satunya adalah di perumahan Pantai
Mutiara (Pluit) yang merupakan area reklamasi, yaitu sebesar 116 cm selama 8 tahun (dari 20022010).
Belajar dari banyak negara di dunia, pertumbuhan suatu wilayah yang paling dominan
adalah wilayah pesisir. Wilayah Pesisir seiring dengan pertumbuhan penduduk dan eksploitasi
sumberdaya laut dan kawasan pesisir mengalami peningkatan beban. Jika dibandingkan dengan
wilayah pesisir di negara tetangga, seperti Vietnam misalnya, di sepanjang aliran sungai Mekong
menjadi fokus pembangunan tanpa memarginalkan masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran
sungai dan tanpa merusak ekosistem pesisirnya. Perhatian lebih difokuskan pada kawasan pesisir
dibandingkan wilayah pedalaman.
Selain itu, alasan reklamasi ini pada tahun 1995 bertujuan untuk mencegah pengikisan
daratan Jakarta oleh air laut, serta membangun beberapa fasilitas kota lainnya. Tak hanya itu,
reklamasi pantai utara Jakarta juga bertujuan untuk menata kembali kawasan Pantai Utara Jawa
(Pantura) dengan cara membangun kawasan pantai dan menjadikan Jakarta sebagai kota pantai
(waterfront city) karena ruang Jakarta sudah tidak mungkin diperluas. Namun terdapat perubahan
tata ruang di Perda No. 1/2012 tentang RTRW 2010-2030 menjadi pulau-pulau kecil yang
terpisah dari daratan. Namun pada kenyataannya, permasalahan pembangunan reklamasi teluk
Jakarta ini sangat kompleks, baik dari sisi perizinan, masalah ekonomi; sosial dan lingkungan.
Misal dalam masalah perizinan, masih terdapat dua sumber hukum yang bertentangan yaitu:
Keppres No. 52 tahun 1995 sebagai pendukung keberlanjutan proyek reklamasi yang
bertentangan dengan Perpres No. 54 tahun 2008 tentang rencana tata ruang Jabodetabekpunjur,
yang menyatakan bahwa Kepres 52/1995 sepanjang berkaitan dengan aspek tata ruang tidak lagi
berlaku. UU No. 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak
menjadi acuan Pemprov DKI Jakarta dalam memberikan ijin proyek reklamasi. Terutama pada
pasal 34 menjelaskan bahwa reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam rangka
meningkatkan manfaat dan nilai tambah harus ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial
ekonomi, dan pelaksanaannya harus melibatkan masyarakat sekitar. Dalam hal ini pelaksanaan
UU no. 27/2007 tidak menjadi acuan dihampir semua proyek reklamasi di seluruh Indonesia
sehingga semakin terdampak terhadap krisis air Jakarta.
3
Proyek reklamasi pesisir Kota Jakarta dimaksudkan untuk menambah ruang
pembangunan Jakarta, karena dengan kepadatan penduduk yang tinggi kota Jakarta sudah tidak
mungkin diperluas (daratan). Saat ini, kawasan selatan Jakarta sudah tidak mungkin
dikembangkan karena fungsinya sebagai daerah konservasi. Sementara itu, kondisi wilayah timur
dan barat kota Jakarta sudah dipadati penduduk, sehingga tidak bisa dikembangkan. Memang
dalam perencanaan kota Jakarta, sejak tahun 1985 pengembangan wilayah Jakarta sudah
diarahkan ke timur dan barat.
Pembangunan DKI Jakarta sejak era 1970-an sampai sekarang, telah membawa
perubahan besar di daratan sampai pesisir dan laut. Bahkan perubahan lingkungan juga terjadi
pada daerah aliran sungai, dari hulu ke hilir. Sebagai contoh, telah terjadi konversi vegetasi
besar-besaran menjadi daerah perkotaan sebesar 80% dalam kurun 1976-2004 (Gambar 2).
Gambar 1. Citra satelit perubahan lahan dari vegetasi (warna merah kecoklatan) ke
perkotaan/pemukiman (warna hijau).
Dari aspek perubahan lahan, menurut Alan Koropitan, IPB: 2016), dampak utama dari
konversi lahan adalah sedimentasi yang tinggi di muara dan pesisir Teluk Jakarta, yang masuk
melalui sungai-sungai. Hal ini telah mempengaruhi luas tutupan karang di Kepulauan Seribu.
Misalnya, Pulau Pari dan Pulau Air telah terjadi perubahan luas tutupan karang dari 70-80% pada
tahun 1970 menjadi tinggal 15-30% pada tahun 1995. Dampak lainnya dari adanya pemukiman
dan industri, adalah pencemaran logam berat yang tinggi di Teluk Jakarta yang masuk melalui
sungai-sungai. Data isotope menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat di sedimen dasar Teluk
Jakarta pada kurun 1865-1965 masih stabil, namun pada tahun 2005 meningkat drastis lebih dari
100%.
4
Persoalan lainya, adalah limbah organik yang berasal dari rumah tangga dan industri,
yang tanpa diolah masuk ke sungai kemudian menuju ke Teluk Jakarta. Persoalan limbah organik
ini berdampak pada terciptanya kondisi hyper-eutrophic di pesisir Teluk Jakarta, yaitu kondisi
dimana nutrien tinggi tapi oksigen drop karena aktivitas bakteri dalam menguraikan limbah
organik. Penelitian Koropitan et al. (2009) melaporkan, bahwa lokasi penumpukan limbah
organik dikontrol oleh arus musiman, pada puncak musim barat (Desember – Februari)
terkumpul di sebelah timur teluk dan sebaliknya pada puncak musim timur (Juni – Agustus).
Hasil riset Ladwig et al. (2016) yang mengukur pada Oktober 2012 (menjelang musim barat),
menemukan bahwa oksigen drop di sebelah timur Teluk Jakarta. Kondisi oksigen drop
sesungguhnya terjadi hampir setiap tahun, akibatnya hampir setiap tahun juga terjadi kematian
ikan dan mengambang ke permukaan.
Jadi, kondisi air, terutama di Teluk Jakarta memang telah tercemar berat oleh sedimen,
logam berat dan bahan organik. Namun, kondisi ini umumnya terjadi di perairan dekat muara
atau pesisir. Perairan yang relatif jauh dari pesisir masih baik untuk aktivitas penangkapan ikan.
Hasil riset terbaru Baum et al. (2016) menyebutkan bahwa walaupun tercemar berat namun
Teluk Jakarta mampu menghidupkan jutaan masyarakat melalui penyediaan pangan. Memang
sumberdaya kelautan dan perikanan di Teluk Jakarta terus menurun oleh karena pencemaran dan
juga penangkapan yang berlebih akibat semakin banyak nelayan. BPS (2012) menyebutkan
bahwa populasi nelayan bertambah dalam waktu 5 tahun sebesar 30%.
Dari aspek sosial budaya, penyebab terjadinya krisis air pertama-tama disebabkan
populasi penduduk yang terus bertambah ke kota-kota besar dan penyebarannya yang tidak
merata, terutama kota Jakarta. Konsekuensi logis dari pertambahan jumlah penduduk yang tinggi
adalah kebutuhan terhadap sumberdaya air meningkat darstis dan berdampak terhadap
pencemaran dan kerusakan sumberdaya air secara massif. Pertumbuhan penduduk ini
membutuhkan pertumbuhan industrialisasi dalam skala besar, sehingga makin mendorong
terjadinya kelangkaan sumberdaya air bersih dan tidak teralayaninya sebagian besar orang atas
kebutuhan sumber air bersih dan sanitasinya.
Hal ini disebabkan, prilaku manusia yang menganggap sumberdaya air sebagai benda
sosial akibatnya sumberdaya air sungai difungsikan untuk beragam kebutuhan sehari-hari,
termasuk untuk mandi, cuci dan pembuangan kotoran atau sampah. Dan prilaku masa bodoh
masyarakat, yang sering menganggap bahwa ketersediaan air hanya merupakan urusan
5
pemerintah atau PDAM sehingga mereka tidak tergerak untuk mengatasi pencemaran dan ikut
terlibat dalam konservasi air.
Pemanfaatan air tanah oleh masyarakat untuk mandi dan mencuci pada umumnya dengan
memanfaatkan air PDAM (49%), dan dengan menggunakan air sumur bor (49%) yang dibeli
oleh para penjual air keliling, atau membuat sumur bor sendiri. Masih tingginya pemanfaatan air
dari sumur bor untuk keperluan masak yang mencapai 16% dan dari PDAM 17% menunjukkan
ketidakpeduliaan masyarakat akan krisis dan kelangkaan air di Jakarta (lihat Gambar 3 dan 4 di
bawah).
Gambar 3 Konsumsi Air Bersih Oleh Rumah Tangga
Gambar 4.
6
Gambar 5 dan 6 berikut, memperlihatkan ketergantungan warga Jakarta dan sekitarnya
terhadap air bersih, dimana sumber air bersih tersebut berasal dari air kemasan, air ledeng, air
sumur, dan sumber air lainnya seperti sungai.
Gambar 5.
Gambar 6. Sumber Kebutuhan Air Masyarakat Jakarta dan sekitarnya
Gambar 7.
7
Krisis air yang dialami penduduk Jakarta dan sekitarnya berimplikasi terhadap factor
kesehatan, yakni berkembakbiaknya beragam penyakit, seperti diare, cholera, hepatitis, disentri
dan malaria. Selain itu secara ekonomi, akibat krisis air terjadi privatisasi sumberdaya air, hal
demikian akan membuat akses masyarakat terhadap sumberdaya air semakin terbatas. Pada
posisi demikian, masyarakat yang paling mampulah yang memiliki akses sumberdaya air.
Sementara masyarakat miskin harus membeli dengan harga yang mahal. Beberapa penelitian
yang telah dilakukan, menyatakan hampir setengah pendapatan masyakat miskin Jakarta
dihabiskan untuk membeli air.
Gambar 8 Pemicu Kelangkaan Sumberdaya Air.
Penelitian unggulan ketahanan air ini bertujuan untuk memberi masukan terhadap
manajemen air di Jakarta dan sekitarnya. Metode baru yang menggabungkan pendekatan teknis
dan sosial solusi hijau baik secara teknis maupun social untuk menciptakan “kota sadar air”
(water sensitive cities).
III. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan dari kajian ini adalah untuk memberikan alternatif model kebijakan pengelolaan
8
Air secara terpadu dalam bentuk kerangka kerja yang dapat diimplementasikan dalam jangka
waktu tertentu, baik yang bersifat umum untuk seluruh DAS maupun yang bersifat khusus atas
dasarkelompok kriteria kekritisannya.
Adapun sasaran kajian ini adalah untuk: (1) menganalisa sumberdaya air baik air sungai maupun
air bawah tanah yang dalam kondisi kritis agar dapat dijadikan model pengelolaannya secara
terpadu; (2) melakukan kaji ulang terhadap kebijakan pengelolaan sumberdaya air antara lain
dalam pengendalian bencana banjir dan kekeringan; land subsidence dan (3) menyusun kerangka
kerja (frame work) untuk perumusan model kebijakan yang mengacu kepada model sosial
engineering tata kelola air. (3) Menemukan odel pengelolaan sumberdaya air yang terintegratif
dan sejalan dengan rekayasa social.
IV. METODOLOGI
Kajian ini dilakukan melalui pengumpulan, pengolahan dan analisis data secara primer
dan sekunder, kaji literatur pada universitas, lembaga penelitian, lembaga pemerintah / non
pemerintah yang terkait, untuk mendapatkan referensi dan data maupun survei. Pada kajian ini,
data dan informasi bersumber dari data dan kajian primer dan sekunder yang selanjutnya
dianalisa dengan menggunakan pendekatan konsep pengelolaan sumberdaya air berbasis social
engineering dan berdasarkan sumber daya pada masing-masing wilayah .
V.KONSEP SOCIAL ENGENEERING UNTUK TATA KELOLA AIR
Potensi defisit air di beberapa wilayah memerlukan pengelolaan sumberdaya air dengan
mempertimbangkan satu kesatuan hidrologi melalui kerjasama antar wilayah dan antar pengguna
(pertanian, domestik dan industri). Tata kelola sumberdaya air yang kurang tepat akan berakibat
krisis sumberdaya air dan berdampak terhadap ketahanan pangan. Sekitar 80% produksi padi
dihasilkan sawah beririgasi sehingga pemenuhan ketersediaan air menjadi aspek penting. Oleh
karena itu dibutuhkan tata kelola sumberdaya air yang mampu merancang kebijakan publik yang
dapat diterima dan pelaksanaannya efektif oleh aktor/stakeholder.
Hasil penelitian terdahulu, tentang kelembagaan tata kelola sumberdaya air
menunjukkan bahwa peran stakeholder terkait regulasi ditingkat nasional adalah Bappenas dan
Dirjen Sumberdaya Air Kementrian Pekerjaan Umum. Peran sebagai regulator sekaligus operator
adalah BBWS Citarum ditingkat nasional dan ditingkat provinsi/kabupaten adalah Dinas PSDA
9
dan PJT II di bawah 5 koordinasi kementrian BUMN dan kementrian PU. Pengguna sumberdaya
air terkait kebutuhan tanaman pangan adalah Kementrian Pertanian Ditjen PSP/Prasarana dan
Sarana Pertanian ditingkat nasional dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan ditingkat kabupaten.
Pengguna sektor perkotaan adalah PD PAM Jaya DKI Jakarta melalui rekanan PT Palyja dan PT
Aetra.
Tata kelola sumberdaya air melibatkan multi stakeholder yang berperan sebagai regulator,
operator dan user (pengguna). Terdapat beberapa stakeholder dengan peran ganda sehingga
memungkinkan terjadi benturan kepentingan. Belum ada kelembagaan sebagai wadah koordinasi
pengelolaan sumberdaya air yang mengakomodasi berbagai kepentingan dengan biaya transaksi
rendah.
Sumberdaya air dari waduk Jatiluhur ke Bendung Curug untuk dialirkan ke masingmasing wilayah menunjukkan variasi suplai namun cenderung menurun Alokasi untuk keperluan
pertanian cenderung tetap dan terukur sedangkan penggunaan air untuk non pertanian meningkat.
Suplai air waduk Jatiluhur ke Tarum Utara dan Tarum Barat memberikan gejala penurunan,
sehingga alokasi air untuk pengguna harus disesuaikan. Kebutuhan air non pertanian cenderung
meningkat
terutama
kebutuhan
air
baku
untuk
DKI
Jakarta
(http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/70067).
Gambar 9 Kelangkaan Sumberdaya Air
Reformasi dalam pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu tindakan penting
untuk mengatasi pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, dan konservasi sumber daya alam
(air). Dalam pelaksanaannya, telah diterbitkan beberapa kebijakan antara lain diberlakukannya
Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA). Undang-undang ini
bertujuan untuk pelaksanaan pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh, berkelanjutan, dan
10
melalui pendekatan terbuka sehingga memberikan pilihan bagi masyarakat bisnis dan organisasi
non-pemerintah untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan
sumber daya air terpadu.
Untuk mengatasi krisis air dan kelangkaan air bersih dibutuhkan suatu manajemen atau
model tata kelola air yang sesuai dengan kondisi sosial budaya, ekonomi dan politik Indonesia.
Manajemen atau pengelolaan adalah suatu seni untuk mengatur atau mengelola semua sumber
daya yang dimiliki oleh organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi tersebut.
Pengelolaan sumber daya air seyogianya dilakukan dengan memperhatikan keserasian
antara konservasi dan pendayagunaan, antara hulu dan hilir, antara pemanfaatan air permukaan
dan air tanah, serta antara pemenuhan kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka
panjang. Dalam hal ini pembangunan ketersediaan air baku berskala kecil akan lebih diutamakan
agar rakyat kecil lebih dapat menikmatinya. Prioritas utama pada pemenuhan kebutuhan pokok
rumah tangga terutama di wilayah rawan defisit air, wilayah tertinggal, dan wilayah strategis.
Pengendalian daya rusak air terutama diarahkan untuk penananggulangan banjir dengan
menggunakan pendekatan vegetatif melalui konservasi sumberdaya air dan pengelolaan daerah
aliran sungai. Peningkatan partisipasi masyarakat dan kemitraan di antara stakeholders terus
diupayakan tidak hanya untuk kejadian banjir, tetapi juga pada tahap pencegahan serta
pemulihan pasca bencana. Penanggulangan banjir haruslah sudah diutamakan, demikian pula
pengelolaan bencana kekeringan.
Dalam rangka mewujudkan pengelolaan sumberdaya air secara terpadu (IWRM) ada tiga
criteria utama yang dijadikan acuan, yaitu:
1) Efisiensi ekonomi. Dengan meningkatnya kelangkaan air dan sumberdaya keuangan, dan
dengan sifat sumberdaya air yang tersedia secara terbatas dan mudah tercemar, serta semakin
meningkatnya permintaan maka efisiensi ekonomi penggunaan air sudah harus menjadi
perhatian.
2) Keadilan. Air adalah salah satu kebutuhan dasar kehidupan, oleh sebab itu maka semua orang
perlu mempunyai akses terhadap air yang mencukupi baik secara kuantitas maupun kualitas
untuk mempertahankan kehidupannya.
3) Keberlanjutan (sustainablility) lingkungan dan ekologi. Penggunaan sumberdaya air haruslah
dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang
terhadap air (lihat juga Riyadi: 202, Jurnal Lingkungan Hidup)..
11
Pustaka
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Pengujuan Undang
UndangNomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
‘Water Worries: Special Issue’,The Jakarta Globe
(July 25, 2009)
accessed December 4,2010
Abderrahman WA, ‘Water demand management and Islamic water management principles:
Acase study’ 16 International Journal of Water
Resources Development 465 Al'Afghani MM, ‘Can the court’s concern over water privatization
be justified? (Part 2 of 2)’
The Jakarta Post (March 10 2015) Op-Ed 6
accessed May 04, 2015
–––, ‘Court decision brings water governance reforms to a halt ( Part 1 of 2 )’
The Jakarta Post (March 09 2015) Op-Ed 6
accessed May 04, 2015
–––, ‘Constitutional Court's Review and the Future of Water Law in Indonesia’ 2 Law,
Environment and Development (LEAD) Journal (2006)
–––, ‘Indonesia Needs a Strong Water Services Law’ The Jakarta
Post, August 31, 2009 accessed November 26, 2011
–––, ‘The Potential Role of the Human Right to Water in the Management of
Indonesia’s WaterResources’ Available at SSRN: :
http://ssrncom/abstract=1723205 orhttp://dxdoiorg/102139/ssrn1723205
––– Jared Diamond, Collapse: How societies choose to fail or succeed
(Penguin 2005). Manajemen Air adalah satudari 8 penyebab yang menghancurkan peradaban di
masa lalu 15)
Mohamad Mova Al'Afghani, ‘The Role of Legal Frameworks in Enabling Transparency in
Water UtilitiesRegulation’ (PhD Thesis, University of Dundee
2012);
12
Mohamad Mova Al'Afghani, ‘When It Comes to WaterServices, Jakarta Is Living in the Distant
Past’ The Jakarta Globe, October 16, 2011
accessed May 24, 2012;
Mohamad Mova Al'Afghani, ‘Indonesia Needs a Strong Water Services Law’
The Jakarta Post, August 31, 2009 accessed November 26, 2011 juga
Sarah Marjorie Hendry, ‘An Analytical Framework forReform of National Water Law’ (PhD
thesis, University of Dundee 2008
Brinkman JJ, Flood Risk Management and Urban Resilience (2012)
13