Tanggung Jawab Negara Terhadap TKI di lu

`BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka wajib melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu negara wajib
melindungi warga negaranya dimanapun ia berada, sebagaimana yang telah
diamanahkan oleh isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alenia terakhir
yang berbunyi “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Perpanjangan tangan pemerintah Indonesia di luar wilayah Negara
Indonesia adalah perwakilan-perwakilan Pemerintah Republik Indonesia, yang
mana perwakilan-perwakilan tersebut memiliki kewajiban untuk memupuk
persatuan dan kerukunan antara sesama warga negara Indonesia di luar negeri
serta wajib memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi
warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri. Dalam hal warga negara
Indonesia terancam bahaya nyata.1
Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan,
membantu dan menghimpun mereka diwilayah yang aman, serta mengusahakan
untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya Negara. Dewasa ini telah
terjadi pergeseran konsep mengenai keamanan terhadap manusia (human


1Anak Agung Ayu Agung Cintya Dewi, Tanggung Jawab Negara Terhadap Tenaga Kerja
Indonesia Di Luar Negeri Oleh Perwakilan Diplomatik Berdasarkan Hukum Internasional,
(Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar, 2016), Hlm. 2

1

security). Pada masa lalu saat perang masih berkecamuk, ancaman terhadap
keamanan manusia selalu diartikan dengan ancaman dari luar negara.
Sehingga keamanan manusia difokuskan pada pengamanan negara seperti
pengamanan masalah perbatasan, uji coba senjata dan peralatan militer dan
pencegahan perang. Saat ini keamanan manusia lebih mengarah kepada individu
dibandingkan terhadap negara.Isu-isu seperti kemiskinan, penghormatan terhadap
hak asasi manusia termasuk di dalamnya perlindungan terhadap buruh migran
mendapatkan perhatian yang lebih besar sebagai ancaman terhadap keamanan
manusia.2
Dalam konsep human security, negara tetap memiliki tanggung jawab
yang besar terhadap keamanan individu. Sebagai subyek Hukum Internasional,
negara memiliki hak dan kewajiban internasional. Adapun hak dan kewajiban
negara terhadap individu pada hakekatnya ditentukan oleh wilayah negara
tersebut dan kewarganegaraan dari individu yang bersangkutan. Menurut

pendapat Sugeng Istanto, semua orang yang di wilayah suatu negara baik itu
warga negaranya sendiri maupun orang asing harus tunduk pada kekuasaan dan
hukum negara tersebut.
Meskipun untuk orang asing akan berlaku beberapa pengecualian seperti
tidak mempunyai hak dalam pemilihan umum dan tidak berhak menduduki
jabatan tertentu, hal ini dapat dimengerti karena orang asing juga tunduk pada

2Ibid. Hlm. 3

2

hukum negara asalnya. Namun di lain pihak, negara juga mempunyai kewajiban
untuk melindungi warga negaranya yang tinggal atau berada di luar negeri.3
Hal tersebut sesuai dengan prinsip kewarganegaraan pasif yang
menetapkan bahwa suatu negara mempunyai yurisdiksi atas orang yang
melakukan pelanggaran hukum di wilayah negara lain, yang akibat hukumnya
menimpa warga negaranya. Oleh karena itu, jika negara tempat terjadinya
pelanggaran tidak mampu dan tidak mau menghukum pelaku pelanggaran, maka
negara yang warga negaranya dirugikan berwenang untuk menghukum.
Tanggung jawab dan kewajiban suatu negara untuk melindungi warga

negaranya yang berada di luar negeri diemban oleh fungsi diplomatic dan
konsuler suatu Negara yaitu perwakilan konsuler negara pengirim di negara
penerima berkewajiban untuk melindungi warga negaranya dan kepentingan
mereka.
Selain itu, tanggung jawab negara dalam ketenagakerjaan juga didasarkan
pada Universal

Declaration

of

Human

Rights

(UDHR) dan International

Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). UDHR dan
ICESCR mengakui hak atas pekerjaan sebagai hak asasi manusia sehingga
melahirkan kewajiban negara untuk melindunginya. Kewajiban negara tersebut

dijelaskan dalam ICESCR General Comment 3 tentang the nature of states
parties

obligation yang

meliputi

kewajiban

negara

untuk

melakukan

sesuatu (obligations of conduct) dan negara mampu mencapai realisasi penuh
3Hadi Subhan, “Perlindungan Tki Pada Masa Pra Penempatan, Selama Penempatan Dan Purna
Penempatan” (Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia,
Jakarta, 2012), Hlm. 6


3

secara progresif (obligations of result). Obligations of conduct terdiri atas upaya
untuk

mempromosikan (to

promote), melindungi (to

protect), memenuhi (to

fulfil), memfasilitasi (to facilities), dan menyediakan (to provide).
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal
71 menyatakan, ”Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam
Undang-Undang

ini,

peraturan


perundang-undangan

lain,

dan

hukum

internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik
Indonesia”.
Sebagai pemegang kewajiban pemenuhan HAM, negara mengemban tiga
bentuk tugas. Yaitu negara harus menghormati (to respect), melindungi (to
protect), dan memenuhi (to fullfil) hak asasi manusia.
Secara internasional, masalah perlindungan terhadap hak asasi manusia di
tempat kerja menjadi perhatian pokok. Mengenai masalah perlindungan terhadap
hak asasi manusia di tempat kerja, Organisasi Ketenagakerjaan Internasional
(International Labour Organisation (ILO) telah menetapkan 8 konvensi dasar
Perburuhan ILO Core Convention yaitu:
a) Konvensi No. 87/1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan

atas Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama (Freedom of
Association and Protection of Right to Organize)

4

b) Konvensi No. 98/1949 tentang Penerapan Azas-azas Hak untuk
Berorganisasi dan Berunding Bersama (The Aplication of The
Principles of The Right to Organize and to Bargain Collectively).
c) Konvensi No. 29/1930 tentang Kerja Paksa atau Kerja Wajib (Forced
or Compulsory Labour)
d) Konvensi No. 105/1957 tentang Penghapusan Kerja Paksa. (Abolition
of forced labour)
e) Konvensi No. 138/1973 tentang Batas Usia Minimum untuk
Diperbolehkan

Bekerja

(Minimum

Age


for

Admission

to

Employment).
f) Konvensi No. 182/1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera
untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
g) Konvensi No. 100/1951 tentang Upah Yang Sama Untuk Pekerjaan
Yang Sama.
h) Konvensi No. 111/1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan
Jabatan.4
Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen untuk melindungi hak asasi
manusia di tempat kerja dengan meratifikasi kedelapan konvensi tersebut. Terkait
dengan persoalan perlindungan tenaga kerja Indonesia, pada tanggal 12 April
2012, Sidang Paripurna DPR-RI menyetujui dan mengesahkan inisiatif
Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Internasional tentang
Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (International

Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members
of Their Families) 1990 dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang
4Hadi Subhan, Perlindungan Tki Pada Masa Pra Penempatan, Selama Penempatan Dan Purna
Penempatan” (Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia,
Jakarta, 2012), Hlm. 6

5

Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All
Migrant Workers And Members Of Their Families (Konvensi Internasional
Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota
Keluarganya.
Karena buruh migran merupakan pahlawan devisa negara yang jarang
mendapatkan perhatian khusus dari negara padahal dalam Prembule UndangUndang Dasar 1945 Alenia terakhir yang berbunyi “Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsaIndonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia.” Begitu pula dalam undang-undang Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur masalah penempatan tenaga kerja yaitu
Pasal 31 sampai dengan Pasal 38. Dalam Pasal 31 Undang-Undang tersebut
dinyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang
sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh

penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri”.5
Undang-undang ketenagakerjaan tersebut mengatur bahwa penempatan
tenaga kerja terdiri dari penempatan tenaga kerja di dalam negeri dan penempatan
tenaga kerja di luar negeri.
Selanjutnya Undang Undang Ketenagakerjaan ini mengamanatkan

bahwa

Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri harus diatur dengan
undang-undang tersendiri.6

5Eko Wahyudi dkk, Hukum Ketenagakerjaan, (Sinar Grafika, Jakarta, tahun 2016), Hlm 31
6Pasal 34 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

6

Kemudian penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri diatur dalam
Undang-Undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Namun demikian, ketika dibaca dan ditelaah secara kritis, UU ini ternyata

lebih banyak mengatur prosedural dan tata cara penempatan TKI ke luar negeri,
dan hanya sedikit mengatur hak-hak dan jaminan peril
ndungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya. Padahal amanat
untuk memberikan perlindungan terhadap buruh migran selain dimandatkan oleh
konstitusi negara (UUD 1945), juga tercermin dari komitmen negara meratifikasi
sejumlah instrumen hak asasi manusia yang dikeluarkan oleh ILO dan PBB.
Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang nomor 39 tahun 2004
memberikan definisi yuridis “Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut
dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk
bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan
menerima upah”. Pada konsiderans menimbang huruf b, c, d dan e disebutkan
bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak baik di
dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat
dan kemampuan.
Dengan

disahkanya

Undang-Undang

No.39

tahun

2004

tentang

perlindungan dan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri ini semakin

7

jelas dan nyata kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
mengatur penempatan, serta melindungi TKI di luar negeri.7
Penempatan TKI keluar juga mempunyai efek negatif, dengan adanya
kasus-kasus yang menimpa TKI selama penempatan, oleh karena itu, negara perlu
melakukan penanganan secara secara terpadu terhadap kasus-kasus yang menimpa
TKI. Mencuatnya masalah TKI yang bekerja di luar negeri semakin menambah
beban persoalan ketenagakerjaan di indonesia baik yang menyangkut ketidak
adilan dalam perlakuan pengiriman tenaga kerja oleh perusahaan pengerah jasa
tenaga kerja indonesia (PPJTKI), penempatan yang tidak sesuai, standar gaji yang
rendah karena tidak sesuai kontrak kerja yang di sepakati, kekerasan oleh
pengguna tenaga kerja, pelecehan seksual dan lain-lain,seperti tenaga kerja yang
tidak sah atau ilegal.
Berbagai program pun telah di lakukan oleh pemerintah, program
penempatan tki ke luar negeri merupakan salah satu upaya penanggulangan
pengangguran. Peranan pemerintah dalam program ini di titik beratkan pada aspek
pembinaan serta perlindungan dan memberikan berbagai kemudahan kepada
pihak yang terkait, khususnya TKI dan perusahaan yang bersangkutan (PJTKI).
Selain bermanfaat untuk mengurangi tekanan pengangguran, program
penempatan

TKI

juga

memberikan

manfaat

lain,

yaitu

meningkatkan

kesejahteraan keluarganya melalui gaji yang diterima atau remitansi. Selain itu
juga meningkatkan keterampilan TKI karena mempunyai pengalaman kerja di
luar negeri. Bagi negara, manfaat yang diterima adalah berupa peningkatan
7Adrian Sutedi, hukum perburuhan, (Sinar Garafika, Jakarta, 2009), Hlm. 236

8

devisa, karena para TKI yang bekerja tentu memperoleh imbalan dalam bentuk
valuta asing.8
Semua harapan yang tertuang dalam seluruh aturan dan program
pemerintah hanyalah menjadi mimpi belaka pada kenyataannya begitu banyak
masalah yang terjadi pada TKI, presentasi masalah yang di hadapi oleh TKI
semakin tahun justru semakin bertambah.
Seperti kasus seorang TKW Tutik Lestari Ningsih atau Susi pada tahun
2015, TKW di Hong Kong yang dianiya disebabkan tidak mau tanda tangan tanda
terima gaji, bukan hanya itu dia juga hanya hanya di perbolehkan tidur empat jam
setiap hari, dari jam 18.00 sampai 22.00 serta selama sehari dia hanya boleh pergi
ke toilet sebanyak tiga kali, atau kasus yang menimpa Sumasri TKW yang bekerja
di Malaysia menderita luka parah di punggungnya karena disiram air panas oleh
majikannya, atau contoh lain yang menimpa Anis 26, yang mengalami patah
tulang jari setelah dibacok dengan pisau oleh majikannya. Insiden itu terjadi lima
hari setelah Anis bekerja di rumah majikannya di Hong Kong. Satu lagi contoh
terakhir yaitu Sritak juga mengalami penyiksaan saat bekerja di Taiwan. Luka
bakar di dada Sritak terlihat jelas dalam foto McCurry. Majikan Sritak membakar
kulitnya dengan garpu yang dipanaskan. "Dia mengambil garpu dan
memanaskannya di atas kompor dan meletakkannya di tangan Sritak.9
Masih banyak contoh kasus lainnya yang tidak kalah menyedihkan dengan
kasus-kasus di atas. Malaysia merupakan negara nomor satu yang paling sering
8Ibid. Hlm. 236
9http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150728102400-113-68529/penderitaan-para-tkwdari-tak-digaji-hingga-disiksa/html,diakses tangal 07 desember,pukul 22.45 wita

9

mengalami masalah, pada tahun 2016 tercatat sebanyak 1489 TKI bermasalah
yang di deportasi melalui Nunukan, Kalimantan Utara berdasarkan laporan
BP3TKI jumlah itu hampir sama dengan jumlah TKI bermasalah pada tahun
2015.10
Masalah TKI di luar negeri pada masa penempatan merupakan tanggung
jawab negara sepenuhnya, memang benar bahwa negara telah mengupayakan
perlindungan terhadap TKI melalui Menaketran dan BNP2TKI, yang mana
Menaketrans berwenang membuat regulasi dan BNP2TKI pada pelaksanaannya.
Namun pada kenyataannya terjadi disharmonisasi antara peraturan-peraturan
terkait dengan penempatan dan perlindungan TKI.
Akhirnya TKI sebagai individu, Warga negara yang seharusnya di lindungi
oleh negara sebagaimana di amanatkan oleh UUD pada Preambule di alinea ke
empat “dan untuk melindungi segenap bangsa” justru menjadi korban dari
overlapping wewenang para pihak yang telah di berikan tanggung jawab oleh
negara.
Dari uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti “ Tanggung Jawab
Negara Terhadap TKI di luar Negeri Pada Masa Penempatan”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka perlu adanya
perumusan masalah guna mempermudah pembahasan selanjutnya. Adapun
permasalahan yang akan di kemukakan adalah sebagai berikut :
10http://www.suara.com/news/2016/04/09/081630/sepanjang-2016-1489-tki-bermasalah-dimalaysia-dideportasi html,diakses 07 Desember,pukul 23.57 wita

10

1) Bagaimana Tanggung Jawab Negara Terhadap Tenaga Kerja Indonesia
Di Luar Negeri Pada Masa Penempatan?
2) Bagaimana Peraturan Tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
Di Luar Negeri?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian yang di ambil berdasarkan rumusan masalah di
atas yaitu :
1. Untuk Mengetaui Bagaimana Tanggung Jawab Negara Terhadap Tenaga
Kerja Indonesia Di Luar Negeri Pada Masa Penempatan.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Peraturan Tentang Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia Di Luar Negeri.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian nantinya dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis, yaitu
a. Manfaat Teoritis
1. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan dalam Hukum tata negara pada
Khususnya
2. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang Tanggung Jawab Tegara
Terhadap TKI di luar Negeri Pada Masa Penempatan
b. Manfaat Praktis
1. Untuk memberikan wawasan,informasi dan pengetahuan kepada
masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung mengenai

11

Tanggung Jawab Negara Terhadap TKI Di Luar negeri Pada Masa
Penempatan
2. Untuk menambah sumbangan pemikiran bagi masyarakat mengenai
pentingnya Tanggung Jawab Negara terhadap TKI Di Luar Negeri Pada
Masa Penempatan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum Tanggung Jawab Negara
2.1.1 Pengertian Tanggung Jawab Negara
Tanggung jawab artinya keadaan wajib menanggung segala sesuatu, 11
Negara artinya daerah di lingkungan suatu pemerintah yang teratur. 12 Menurut

11Alwin Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Jakarta, 2005), Hlm. 456
12Ibid. Hlm. 235

12

Logemann mengatakan bahwa Negara adalah suatu organisasi kemasyarakatan
yang bertujuan dengan kekuasaanya mengatur serta menyelenggarakan sesuatu
masyarakat, sedangkan Menurut Mr Soenarko dalam bukunya “Susunan Negara
Kita jilid 1”, disebut: Negara itu adalah organisasi masyarakat yang mempunyai
daerah atau teriterior yang tertentu dimana kekuasaan Negara berlaku sebagai
souverein.13
Istilah dan ruang lingkup pengertian tanggung jawab negara sangat
dipengaruhi

oleh

perkembangan

orientasi

masyarakat

internasional,

perkembangan kegiatan, akibat-akibat,sifat kerugian yang timbul dari akibat
kegiatan itu, serta pengaturan terhadap aspek-aspek tersebut.
Di indonesia, istilah “tanggung jawab negara” digunakan untuk mewakili
dua istilah, yang dalam pembahasan hukum internasional umumnya di bedakan,
yaitu: “state responsibility” dan liability of states”.14
Kedua istilah ini sering digunakan secara rancu atau diperlakukan untuk
menunjuk pada maksud yang sama. Menurut Goldie perbedaan kedua istilah
tersebut adalah menyatakan bahwa istilah responsibility digunakan untuk
kewajiban (duty), atau menunjukkan pada standar pemenuhan suatu peran sosial
yang ditetapkan oleh sistem hukum tertentu, sedangkan liability digunakan untuk
menunjuk pada konsekuensi dari suatu kesalahan atau kegagalan untuk
melaksanakan suatu kewajiban atau untuk memenuhi suatu standar tertentu yang
telah ditetapkan.
13M Solly Lubis, Ilmu Negara, ( mandar maju, bandung, tahun 2002). Hlm 1
14Ida Bagus Wyasa Putra, tanggung jawab negara terhadap dampak komersialisasi ruang
angkasa, (Refika aditama, bandung tahun 2001). Hlm53

13

Tanggung jawab Negara umumnya diartikan sebagai kewajiban untuk
melakukan pemulihan kerugian (duty to make reparation), yang timbul dari akibat
adanya tindakan (act or ommission), yang dapat di persalahkan melanggar
kewajiban internasional (wrongful act), karena melanggar kewajiban internasional
(international obligation).
Menurut Goldie: a person may be said to be responsible for an injury if,
in the law, a duty or a standard of conduct has been imposed an him and a harm
to another result from a failure to meet that standard. He may also be said to be
contingently liable, if, as a result of his failure to fulfill his legally imposed
responsibility, injury to another result.
Seseorang dapat dikatakan bertanggung jawab untuk cedera jika, dalam
hukum, tugas atau standar perilaku telah memberlakukan dia dan bahaya untuk
hasil yang lain dari kegagalan untuk memenuhi standar itu. Dia juga dapat
dikatakan kontinjensi atas, jika, sebagai akibat dari kegagalan untuk memenuhi
tanggung jawab yang dikenakan secara hukum, akibat cedera lain.15
Sedangkan tanggung jawab negara menurut J. G. Starke artinya hal-hal
yang menyangkut keadaan-keadaan dimana dan prinsip-prinsip dengan mana
negara yang dirugikan menjadi berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang
dideritanya.16

15Ibid. Hlm. 55-56
16Irianti Meilisa Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan
Nuklir Menurut Hukum Internasional, (Skripsi, Fakultas Hukum Univesitas Sumatra Utara, 2009),
Hlm. 17

14

2.2 Tinjuan Umum Aspek Tanggung Jawab Negara Dalam Perspektif
Hukum Internasional
2.2.1

Bentuk

Tanggung

Jawab

Negara

Dalam

Perspektif

Hukum

Internasional
Secara umum dikatakan, negara bertanggung jawab dalam hukum
internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban
internasional negara itu. Komisi Hukum Internasional (International Law
Commission, ILC) telah membahas persoalan tanggung jawab negara ini sejak
tahun 1956 namun baru pada tahun 2001 berhasil merumuskan rancangan Pasalpasal tentang Tanggung Jawab Negara karena Perbuatan yang Dipersalahkan
menurut Hukum Internasional (draft Articles on Responsibility of States for
Internationally Wrongful Acts), selanjutnya dalam tulisan ini disebut “Artikel”
yang kemudian diedarkan oleh Majelis Umum PBB. Dalam Resolusi A/RES/
59/35 (2004) Majelis Umum mengundang negara-negara anggota PBB untuk
memberi tanggapan tentang langkah selanjutnya dan memutuskan untuk
mempertimbangkan masalah itu kembali pada tahun 2007.
Hukum internasional tentang tanggung jawab negara adalah hukum
internasional yang bersumber pada hukum kebiasaan internasional. Ia
berkembang melalui praktik negara-negara dan putusan-putusan pengadilan
internasional. ILC menerima seluruh Artikel secara aklamasi. Pengadilanpengadilan internasional bahkan telah sejak lama mengutip dan menyetujui
rancangan Artikel yang dibuat oleh ILC, sehingga kalaupun rancangan Artikel itu

15

tidak menjelma sebagai konvensi, dapat dipastikan bahwa ia akan tetap
berpengaruh besar pada pengadilan-pengadilan internasional itu. Oleh karena itu,
sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional
(International Court of Justice), praktik demikian akan semakin memperkuat
kedudukan

hukum

kebiasaan

internasional

(yang

mengatur

tentang

pertanggungjawaban negara) sebagai sumber primer hukum internasional.
2.2.2 Hubungan HAM Internasional Dengan Tanggung Jawab Negara
Secara internasional, HAM termasuk kedalam sistem hukum internasional
(dibentuk oleh masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara). Negara
mempunyai peranan penting dalam membentuk sistem hukum tersebut melalui
kebiasaan, perjanjian internasional, atau bentuk lainnya seperti deklarasi maupun
petunjuk teknis. Kemudian negara menyatakan persetujuannya dan terikat pada
hukum internasional tersebut. Dalam HAM, yang dilindungi dapat berupa
individu, kelompok atau harta benda. Negara atau pejabat negara sebagai bagian
dari negara mempunyai kewajiban dalam lingkup internasional untuk melindungi
warga negara beserta harta bendanya.
Standar HAM Internasional dibentuk dan dikembangkan dalam berbagai
forum internasional. Proses pembentukan standar ini dilakukan oleh perwakilan
negara-negara dalam forum internasional melalui proses yang panjang dan dalam
kurun waktu yang cukup lama. Proses pembentukan ini tidak hanya membahas
bentuk dan substansi dari rancangan deklarasi dan perjanjian yang akan disepakati

16

tetapi juga dibahas secara detail pasal per pasal dan kata perkata dari isi perjanjian
yang kemudian disepakati menjadi perjanjian internasional oleh negara-negara.
Hak asasi manusia (HAM) pada hakekatnya merupakan hak fundamental
yamg melekat pada kodrat manusia sendiri, yaitu hak-hak yang paling dasar dari
aspek-aspek kodrat manusia sebagai manusia.Setiap manusia adalah ciptaan luhur
dari tuhan yang maha esa. Setiap manusia harus dapat mengembangkan dirinya
sedemikian rupa sehingga ia harus berkembang secara leluasa. Pengembangan diri
sebagai manusia dipertanggungjawabkan kepada tuhan sebagai asal dan tujuan
manusia. Dengan demikian hak-hak ini adalah hak universal atau berlaku di
semua dunia , dimanapun manusia berada dilindungi oleh HAM.
Bagir manan17 membagi HAM pada beberapa kategori, yaitu; hak sipil,
hak-hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan budaya. Hak sipil terdiri dari hak
perlakuan yang sama di depan hukum, hak bebas dari kekerasan, hak khusus bagi
kelompok anggota masyarakat tertentu dan hak hidup dan kehidupan. Hak politik
terdiri dari hak kebebasan berserikat dan berkumpul, hak kemerdekaan
mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan hak untuk menyampaikan
pendapat di depan umum. Hak ekonomi terdi dari hak jaminan sosial, hak
perlindungan kerja, hak perdagangan dan hak pembangunan berkelanjutan. Hak
sosial budaya terdiri dari hakmemperoleh pendidikan, hak kekayaan intelektual,
hak kesehatan dan hak memperoleh perumahan dan pemukiman.

17 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Danpengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia,
Alumni, Bandung, 2001, Hlm. 198

17

Deklarasi universal tentang HAM (universal declaration human rights),
membagi HAM dalam beberapa jenis, yaitu hak personal (hak jaminan kebutuhan
pribadi), hak legal (hak jaminan perlindungan hukum), hak sipil dan politik, hak
subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan) serta
hak konomi, sosial dan budaya.
HAM dalam bahasa inggris di kenal dengan istilah Human Rights dan
Fundamental Rights, dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah mesenrechten
ground rechsten, rechsten van denmens sering di sebut juga hak kodrat, hak dasar
manusia atau hak mutlak, dan dalam terjemahan bahasa Indonesia, sampailah
pada hak-hak kemanusiaan atau hak-hak asasi manusia.18
Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia,
merupakan bagian dari prinsip perlindungan hukum. Istilah hak asasi manusia di
Indonesia disejajarkan dengan istilah hak-hak kodrat, hak-hak dasar manusia.
Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlihat dengan warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap
mempunyai hak-hak tersebut. Inilah yang menjadikan sifat-sifat universal dari
hak-hak tersebut.19
Hakekat HAM yang sebenarnya, bahwa HAM lahir sejak manusia sadar
akan hak yang dimilikinya dan kedudukannya sebagai subjek hukum, akan tetapi
HAM baru mendapat perhatian penyelidikan ilmu pengetahuan, sejak HAM mulai

18 Al Subandi Marsudi, Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Paradigm
Reformasi, (PT Raja Grapindo Persada, Jakarta), Hlm 83
19 Rhoma K.M Smith, Dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010, Hlm 1

18

berkembang dan mulai di perjuangkan terhadap serangan atau bahaya, yang
timbul dari kekuasaan yang dimiliki negara (state).
Kekuasaan negara harus di jalankan untuk peningkatan pelaksanaan HAM.
Asumsi yang mendasari hal-hal tersebut, adalah:
1. Negara sebagai kekuasaan ’’dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’’,
Negara yang dibentuk haruslah berasal dari rakyat, semua atau
mayoritas individu dalam masyarakat; dan
2. Berdasarkan pandangan pluralisme mengakui perbedaan atas dasar
keanekaragaman golongan dalam setiap masyarakat dan negara harus
menjadi alat bagi semua golongan tersebut. Negara tidak boleh
eksklusif menjadi alat bagi satu atau sebagian golongan dalam
masyarakat. Negara, selain menjadialat untuk semua golongan, juga
harus menjadi alat bagi semua orang (individu).20
Pandangan tersebut menempatkan negara sebagai alat (pelayan) bagi
semua orang. Hal tersebut berarti negara dibentuk, di hadirkan dan dijalankan
untuk melayani setiap warga negaranya. Negara tidak dibenarkan hanya melayani
sebagian kelompok orang saja melainkan untuk semua orang. Negara dalam
melayani setiap warga negaranya wajib melayani kepentingan atau pemenuhan
hak-hak setiap orannga tanpa diskriminasi (memberikan pelayanan/perlakuan
yang berbeda.

20 Suryadi Radjab, Negara Dan Hak Asasi Manusia, (PHBI Jabar, Bandung, 2000), Hlm. 8

19

Pemahaman umum dalam hukum kebiasaan internasional, sebuah negara
dianggap melakukan pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights),
jika:
1. Negara tidak berupaya melindungi atau justru meniadakan hak-hak
warganya yang digolongkan sebagai non derogable rights; atau
2. Negara yang bersangkutan membiarkan terjadinya atau justru melakukan
melalui aparat-aparatnya, tindak kejahatan internasional (international
crimes) atau kejahatan serius (serious crimes) yaitu kejahatan genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang: dan atau
3. Negara tersebut gagal atau tidak mau menuntut pertanggungjawaban dari
para aparat negara pelaku tindak kejahatan tersebut.21
Diterimanya gagasan HAM sebagai norma yang berlaku bagi setiap negara
dimulai dengan diterimanya HAM dalam lingkungan masyarakat
internasional. Kemudian perkembanga HAM terdiri dari dua tahap, yaitu
HAM sebelum perang dunia 11 dan HAM setelah perang dunia 11.
2. 3 Sistem Tanggung Jawab Negara Indonesia
Di Indonesia, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah lembaga
pemerintah utama untuk pengaturan pekerja migran di Indonesia. Rekrutmen dan
penempatan tenaga kerja dilakukan oleh agen swasta, yang diberikan izin oleh
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen juga mengawasi
21 Pusat Studi HAM –UII, Hukum Haka Asasi Manusia, (PUSMAH- UII, Yogyakarta, 2010) ,
Hlm. 53

20

pelatihan keterampilan, pembekalan wajib pra keberangkatan dan menyediakan
sejumlah kecil atas tenaga kerja di kedutaan besar Indonesia di luar negeri.
Departemen-departemen pemerintah yang lain juga terlibat, sejalan dengan
mandat mereka yang beragam. Misalnya, Departemen Luar Negeri menangani
persoalan konsuler, Direktorat Jenderal Imigrasi (di dalam struktur Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia) mengeluarkan paspor, dan Departemen
Kesehatan bertanggungjawab atas pemeriksaan kesehatan pra-keberangkatan.
UU

Penempatan

dan

Pelindungan

Pekerja

Migran

mewajibkan

pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja ke
Luar Negeri (BNPP-TKLN). Badan ini belum dibentuk, kendati Menteri Tenaga
Kerja baru-baru ini telah meyakinkan masyarakat bahwa badan ini akan mulai
beroperasi pada Oktober 2006. BNPP-TKLN akan terdiri dari departemendepartemen pemerintah yang terkait, dan akan bertanggungjawab langsung pada
presiden. Badan ini akan memiliki tanggung jawab untuk “menerapkan kebijakankebijakan dalam bidang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
luar negeri secara terkoordinir dan terpadu” (Pasal 95 UU No. 39 tahun 2004).
Hal ini akan meliputi, interalia, rekrutmen, pemeriksaan kesehatan, pelatihan,
keberangkatan dan perlindungan dalam negara.
Pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kota/Kabupaten dalam menerapkan UU Penempatan dan Pelindungan
Pekerja Migran tidak dibuat dengan jelas. UU tersebut tidak menjelaskan
hubungan antara BNPP-TKLN dan tingkat-tingkat pemerintahan yang berbeda-

21

beda. Saat ini, kesepakatan penempatan kerja haruslah didaftarkan dengan
wewenang Kota/Kabupaten, dan “Biro Pelayanan” akan dibentuk di ibukotaibukota provinsi. Pengawasan perizinan terhadap para perekrut dan pelatihan
tampaknya dibagi secara informal oleh tingkat pemerintahan yang berbeda;
hubungan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kotapraja/Kabupaten tidaklah jelas. Persoalan penting lainnya juga tidak tercakup
dalam UU ini. Kenyataan bahwa otonomi daerah sekarang berlaku di Indonesia,
maka penting bagi UU tersebut untuk mendefinisikan secara jelas peran dan
tanggung jawab tiap tingkat pemerintahan dalam mengelola proses migrasi.
Pembagian wewenang terakhir haruslah berupaya untuk menyeimbangkan
kebutuhan menyalurkan jasa untuk tingkat lokal di satu sisi dengan sumber daya
manusia yang lebih banyak tersedia di pemerintah pusat di sisi lainnya.
Di Indonesia, rekrutmen dan penempatan warga negara untuk bekerja di
luar negeri dilakukan oleh perusahaan swasta yang disebut sebagai Perusahaan
Jasa Tenaga Kerja Indonesia, atau PJTKI. Peran pemerintah menurut kerangka
peraturan yang ada sekarang adalah untuk mengawasi agen-agen ini melalui
skema perizinan yang disebut sebagai Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI, atau
SIPPTKI.
Perlindungan hukum dan tanggung jawab perusahaan yang mengirim TKI
ke luar negeri merupakan dua variabel yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lainnya. Pengiriman TKI ke luar negeri termasuk salah satu masalah krusial dalam
sistem ketenagakerjaan di Indonesia karena penerimaan devisa negara yang sangat

22

besar dari pengiriman dan penempatan TKI ke luar negeri. Peraturan perundangundangan yang memberikan perlindungan terhadap TKI (baik selama masa pra
penempatan, selama penempatan, dan purna penempatan) termasuk tanggung
jawab perusahaan pengirim TKI telah banyak dibuat oleh pemerintah, tetapi Tim
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia masih banyak
menemukan permasalahan pokok di lapangan yang kerap menimpa TKI.
2.4 Tinjauan Umum Delegasi Kewenangan
2.4.1 Kewenangan secara Umum
Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering
ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering
disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan
dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering
disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan
dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang
diperintah” (the rule and the ruled).22
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak
berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh
Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”,23 sedangkan kekuasaan yang
berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau
legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami
22 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998), Hlm.
35-36
23 Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu
Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, (Surabaya, Universitas
Airlangga, 1990), Hlm. 30

23

sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan
yang di perkuat oleh negara.
Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.24
Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang
dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal.
Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu:
a) hukum
b) kewenangan (wewenang)
c) keadilan
d) kejujuran
e) kebijakbestarian, dan
f) kebijakan.25
Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan Negara agar Negara
dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara itu dapat
berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya.
Oleh karena itu Negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam
Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk
mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa

24 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, 2001,
Hlm. 1
25 Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Yogyakarta, Universitas Islam
Indonesia, 1998), Hlm. 37-38

24

sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau
Negara.26
Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ
sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten
complex) dimana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung
hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban. 27 Dengan
demikian kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum,
sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata yang artinya; kekuasaan
itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi
(inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan
jelas bersumber dari konstitusi.
Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah
wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan
istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon,
jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah
“bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah
“bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum
privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya
digunakan dalam konsep hukum publik.28
2.4.2 Pengertian Kewenangan

26 Miriam Budiardjo, Op.Cit, Hlm. 35
27 Rusadi Kantaprawira, Op.Cit, Hlm. 39
28 Phillipus M. Hadjon, Op.Cit, Hlm. 20

25

Kata kewenangan berasal dari kata dasar wenang yang diartikan sebagai
hal berwenang, hak dan kekuasaaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. 29
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal
dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan
eksekutif administratif. Kewenangan yang biasanya terdiri dari beberapa
wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan
terhadap suatu bidang pemerintahan.30
Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan
dan wewenang.31 Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag)
dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang
disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan
oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”
(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat
wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup
tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi
wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang
dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi
wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan
oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.

29 Tim Bahasa Pustaka, 1996. Hlm. 1128
30 Prajudi Atmosudirdjo. Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001, Hlm. 78
31 Jurnal Pro Justisia Edisi IV, ( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), Hlm. 22

26

Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah: 32
“Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke
bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke
rechtsverkeer”. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan
yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh
subjek hukum publik dalam hukum publik).33
Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, maka
kesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda
dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang
berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari
kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan
oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut
dalam kewenangan itu.
Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam
melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan
keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara
atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan
yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus
ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain.
Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang,
32 Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994),
Hlm. 65
33 Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah,
(Alumni, Bandung, 2004), Hlm. 4

27

akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam
pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk
bertindak atas nama mandator (pemberi mandat)
Bagir Manan mengemukakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum
tidak sama dengan kekuasaan (match). Kekuasaan hanya menggambarkan hak
untuk berbuat atau tidak berbuat. Di dalam hukum, wewenang sekaligus berarti
hak dan kewajiban (rechten en plichen). Di dalam kaitan dengan otonomi daerah,
hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen),
sedangkan

kewajiban

menyelenggarakan

secara

pemerintahan

horizontal
sebagaimana

berarti

kekuasaan

mestinya.

Vertikal

untuk
berarti

kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan
pemerintahan negara secara keseluruhan.34
J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang
diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh
suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak
diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan
kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan
memberikan kepada organ yang berkompeten.35
Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari
suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator
34 Bagir manan, wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah. Hlm
1-2
35 J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, (Nijmegen: Ars Aeguilibri,
1998), Hlm. 16-17

28

(organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas
namanya, sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan
tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain
(mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas
namanya.
Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada
atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada
delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan
secara besar-besaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan
hukum menentukan menganai kemungkinan delegasi tersebut. Delegasi harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Delegasi harus definitif, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri
wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi
hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam
peraturan perundang-undangan;
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian tidak
diperkenankan adanya delegasi;
d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang
untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.36
36 Philipus M. Hadjon, Op.Cit, Hlm. 5

29

Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi),
sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan
demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber
kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat
diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi,
delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu
kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan
mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan
yuridis yang benar.37
2. 4. 3 Sifat Kewenangan
Mengenai sifat kewenangan pemerintahan yaitu yang bersifat terikat,
fakultatif, dan bebas, terutama dalam kaitannya dalam kewenangan-kewenangan
pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan (besluiten) dan ketetapanketetapan (beschikkingan) oleh organ pemerintahan, sehingga dikenal ada
keputusan yang bersifat terikat dan bebas.
Menurut Indroharto; pertama, pada wewenang yang bersifat terikat, yakni
terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang
bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit
banyak menentukan tentang isi dan keputusan yang harus diambil, kedua,
wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang
bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih
37 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006), Hlm. 219

30

ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalm hal-hal atau keadaan
tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya: ketiga, wewenang
bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberikan kebebasan kepada
badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai isi dari
keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberi ruang
lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.
Philipus mandiri Hadjon mengutip pendapat N. M. Spelt dan Ten Berge,
membagi kewenangan bebas dalam dua kategori yaitu kebebasan kebijaksanaan
(beleidsvrijheid)

dan

kebebasan

penilaian

(beoordelingsverijheid)

yang

kewenangan untuk memutuskan mandiri; kedua, kewenangan interpretasi
terhadap norma-norma tersamar (verge norm).38
2. 4. 4 Sumber Kewenangan
Di dalam negara hukum dikenal asas legalitas yang menjadi pilar
utamanya dan merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam
setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum
terutama bagi negara-negara hukum dan sistem kontinental.39
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa kewenangan diperoleh melalui
tiga sumber yaitu; atribusi, delegasi, mandat. Kewenangan atribusi lasimnya
digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar,

38 Philipus M. Hadjon, Op.Cit, Hlm. 112
39 Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Paradoksal Konflik dan otonomi Daerah, Sketsa
bayang-bayang Konflik Dalam Prospek Masa Depan Otonomi Daerah. 2002. Hlm. 65

31

kewenangan delegasi dan Mandat adalah kewenangan yang berasal dari
pelimpahan.40
Bedanya kewenangan delegasi terdapat adanya pemindahan atau
pengalihan kewenangan yang ada, atau dengan kata lain pemindahan kewenangan
atribusi kepada pejabat dibawahnya dengan dibarengi pemindahan tanggung
jawab. Sedangkan pada kewenangan mandat yaitu dalam hal ini tidak ada sama
sekali pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan kewenangan, yang ada
hanya janji-janji kerja intern antara penguasa dan pegawai (tidak adanya
pemindahan tanggung jawab atau tanggung jawab tetap pada yang memberi
mandat). Setiap kewenangan dibatasi oleh isi atau materi, wilayah dan
waktu.Cacat dalam aspek aspek tersebut menimbulkan cacat kewenangan
(onbevoegdheid) yang menyangkut cacat isi, cacat wilayah, dan cacat waktu.
2. 5 Tinjauan Umum Tenaga Kerja Indonesia
2. 5. 1 Pengertian Tenaga Kerja Indonesia
Warga Negara sebagai subyek hukum memiliki hak untuk memilih
pekerjaan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pengertian dari tenaga
kerja adalah tiap-tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Istilah tenaga kerja migran sudah didefinisikan dalam pasal 11 ayat (1)
Konvensi Migrasi Tenaga Kerja (edisi revisi) 1949 dan didefinisikan juga dalam
pasal 11 ayat (1) Bagian II dari konvensi pekerja migran (ketentuan tambahan)
40 Op Cit, Hlm. 112

32

1975. Istilah pekerja migran tersebut berubah seiring dengan kebutuhan
perkembangan globalisasi migrasi pekerja. Pasal 2 ayat (1) Konvensi Pekerja
Migran tahun 1990 mendefinisikan pekerja migran sebagai seseorang yang akan,
tengah atau telah melakukan pekerjaan yang dibayar dalam suatu negara dimana
ia bukan menjadi warga Negara. Definisi dalam Konvensi Pekerja Migran tahun
1990 mengindikasikan bahwa migran tidak mengacu pada pengungsi, dalam
pengungsian atau paksaan lain untuk meninggalkan tempat asal mereka. Tidak
terdapat pembatasan dalam definisi tersebut, sehingga tenaga kerja dapat meliputi
pejabat Negara, pegawai negeri sipil atau militer, pengusaha, buruh, swa-pekerja,
dan penganggur.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
mendefinisikan istilah tenaga kerja adalah: "Setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan
sendiri

maupun

untuk

kebutuhan

masyarakat”.41”Secara

khusus

Halim

memberikan pengertian buruh/pegawai adalah: orang yang bekerja pada atau
untuk majikan/perusahaan, imbalan kerjanya dibayar oleh majikan/perusahaan,
dan secara resmi terang-terangan dan kontinyu mengadakan hubungan kerja
dengan majikan/perusahaan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk jangka
waktu tidak tertentu lamanya. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun
2004 TentangPenempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, tenaga kerja
adalah: “Setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di

41Undang-undang no 13 tahun 2003

33

luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima
upah.”42
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat diketahui unsur-unsur dari
seorang tenaga kerja yang bekerja di luar negeri adalah: memiliki hubungan kerja;
pekerjaan dalam bentuk menghasilkan barang atau jasa; untuk jangka waktu
tertentu yang terdapat dalam perjanjian kerja, mendapatkan upah, dan penempatan
di luar negara asal.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
3.1.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif,

yaitu

mengkaji

pokok

permasalahan

yang

dibahas

dengan

mengkaitkannya dengan peraturan perundanag-undangan dan pendapat-pendapat
para sarjana dari berbagai sumber buku yang terkait dengan permasalahan,

42Undang-undang no 39 tahun 2004

34

sehingga ditemukan titik pangkal dalam pembahasan. Penelitian ini kerap di sebut
penelitian yang bersifat teoritis.43
3.1.2 Jenis Pendekatan
Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa “pendekatan-pendekatan yang
digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan
konsepsual (conceptual approach).”
Dalam penulisan ini digunakan pendekatan Undang-undang, yaitu
mengkaji permasalahan dari segi hukum yang sumbernya berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan. Dan juga menggunakan pendekatan konsep, yaitu
mengutip pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat para sarjana yang
terdapat dalam buku-buku atau literatur-literatur yang relevan dengan
perm