METODE PENELITIAN KUALITATIF YOVIE FEBRI

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah
Keseimbangan dalam masyarakat merupakan suatu keadaan yang diidam-

idamkan oleh setiap warga masyarakat. Dalam keadaan demikian itu para warga
masyarakat merasa akan ada ketenteraman karena tidak ada pertentangan pada
kaidah-kaidah dalam nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat, tetapi adakalanya keseimbangan itu mengalami ketegangan karena tidak ada kesusilaan atau
terjadi benturan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, sehingga dengan
demikian masyarakat dalam keadaan sakit. Gejala-gejala sosial seperti ini yang
termasuk penyakit masyarakat yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Soedjono (1988) menyatakan penyakit masyarakat itu meliputi: (1) Gelandangan
(tuna wisma dan tuna karya); (2) Penyalahgunaan narkotika dan alkoholisme; (3)
Prostitusi atau penyimpangan/abnormal di bidang seksual; (4) Penyakit jiwa; (5)
Tuna netra kriminal; dan (6) Kolerasi antar penyakit masyarakat dan kriminalitas.

Atas dasar keterangan tersebut tampak bahwa pelacuran atau prostitusi
termasuk salah satu penyakit masyarakat, karena terjadinya kemorosotan di

bidang pendidikan dan agama bisa mengakibatkan kemerosotan moral, pelacuran,
ke-nakalan anak-anak, dan sebagainya, sehingga norma-norma sosial yang ada
dalam masyarakat mengharamkan adanya tindak pelacuran dalam segala
bentuknya. Misalnya, pelacuran tidak hanya dalam bentuk rumah-rumah bordil

1

atau sering disebut lokalisasi pelacuran, tetapi juga dalam bentuk pelacuran
terselubung. Sudah menjadi rahasia umum, tempat-tempat seperti klab malam,
panti pijat, tempat dansa, bahkan ada salon kecantikan yang dipergunakan sebagai
tempat pelacuran.

Poerwodarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1998:548) menyebutkan bahwa pelacuran adalah perihal menjual diri, dan pelacur berarti wanita
tuna susila. Jadi, kata pelacuran menunjukkan pada perbuatannya sedang pelacur
menunjukkan pada orang yang melakukannya. Adapun WA Bonger sebagaimana
dikutip oleh Bosu (1998:43) menyatakan pelacuran adalah gejala kemasyarakatan,
di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata
pencahariannya.

Sementara


itu,

Iwan

Block

dalam

Bosu

(1998:43)

mengungkapkan pelacuran adalah suatu bentuk hubungan kelamin di luar
perkawinan, dengan pola tertentu, yaitu kepada siapapun secara terbuka dan
hampir selalu dengan pem-bayaran, baik untuk persebadanan maupun kegiatan
seks lainnya demi kepuasan yang bersangkutan. Selanjutnya, dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 ten-tang Perkawinan menyebut pelacuran sebagai
perzinahan. Perzinahan adalah setiap hubungan kelamin antara wanita dan pria di
luar perkawinan yang sah. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pelacuran adalah
setiap perhubungan kelamin di luar perkawinan yang sah antara laki-laki dan

wanita oleh salah satu pihaknya (pelaku) dilakukan dengan maksud mendapat
suatu keuntungan bagi dirinya atau orang lain atau mendapat imbalan jasa atas
perbuatannya.

2

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di depan, dapat diambil
simpulan bahwa unsur-unsur yang pelacuran adalah: (1) Adanya suatu perbuatan,
yaitu penyerahan diri seseorang wanita kepada laki-laki yang bukan suaminya
dalam hubungan kelamin tanpa pilih-pilih dan terjadi berulang-ulang; dan (2)
Adanya imbalan baik berupa uang atau barang lainnya sebagai pembayaran dari
pihak laki-laki.
anggota masyarakat biasa sehingga interaksi dengan lingkungan sekitar tetap
terjaga.
Di Kota Padang sendiri kegiatan prostiusi sama halnya dengan prostitusi di
kota lain, illegal namun sangat menjamur dapat dengan mudah ditemukan dan
dijumpai seperti cendawan di musim hujan. Baik secara terang-terangan atau pun
berkedok tempat usaha seperti tempat karaoke, tempat pijat, dan lain-lain. Karena
masyarakat Padang menjunjung nilai-nila dan norma sosial yang berlaku,biasanya
seorang perempuan pekerja seks komersial tidak mau menjelaskan secara terangterangan bahwa dirinya adalah seorang pekerja seks komersial namun

menutupinya dengan bekerja di suatu tempat seperti yang ada di Taman Melati
Padang. Mereka menjajakan diri didalam mobil pribadi. Karena masyarakat
Padang menjunjung nilai-nila dan norma sosial yang berlaku.
Bertolak dari uraian di atas peneliti tertarik untuk mengambil judul
penelitian “ Prostitusi berkedok mobil pribadi dan lingkungan sosial di Kota
Padang”

3

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat di identifikasi beberapa
permasalahan antara lain:
1. Kegiatan prostitusi di Kota Padang
2. Factor yang menyebabkan terjadinya prostitusi di Kota Padang khususnya
Taman Melati
3. Cara menanggulangi prostitusi di Kota Padang khususnya Taman Melati
C.


Batasan Masalah
Berbagai kompleksitas permasalahan muncul terkait dengan objek yang

akan di kaji. Oleh karena itu, pembatasan masalah perlu dilakukan agar penelitian
tidak jauh menyimpang dengan topik yang akan di kaji. Hal ini dilakukan agar
pembahasan dapat lebih spesifik dan terfokuskan sehingga akan di peroleh suatu
kesimpulan yang terarah pada aspek yang akan diteliti. Adapun batasan masalah
pada penelitian ini adalah fenomena prostitusi yang ada di Kota Padang.
D.

Rumusan Masalah

1.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Prostitusi dikawasan Taman

Melati Padang?
2.


Alasan masih melakukan prostitusi?

3.

Bagaimana mengatasi prostitusi khususnya di kawasan Taman Melati

Padang?

4

E.

Tujuan Penelitian

1.

Untuk mengetahui mekanisme prostitusi di Kota Padang khususnya Taman

Melati, Padang.
2.


Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Prostitusi

dikawasan Taman Melati Padang.
3.

Untuk mengetahui cara mengatasi terjadinya prostitusi khususnya dikawasan

Taman Melati Padang.
F.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini yang mengangkat tema tentang Fenomena Prostitusi di
kawasan Taman Melati Padang, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak. Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.

Manfaat Teoritis


a.

Penelitian ini diharapkan mampu menambah informasi serta dapat juga

sebagai bahan referensi yang berkaitan dengan Prostitusi di Taman Melati Padang.
b.

Penelitian ini dapat dijadikan penelitian yang relevan bagi penelitian-

penelitian selanjutnya.

2.

5

Manfaat Praktis

a.

Bagi Universitas Negeri Padang.


Penelitian ini diharapkan mampu untuk dijadikan sarana acuan dalam
meningkatkan dan menambah wawasan mengenai Fenomena Prostitusi di Kota
Padang.
b.
1)

Bagi Peneliti
Penelitian ini untuk memenuhi syarat dalam rangka menyelesaikan tugas

akhir mata kuliah analisis data kualitatif
2)

Menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti mengaplikasikan ilmu

pengetahuan yang didapat selama perkuliahan kedalam karya nyata.
c.
1)

Bagi Masyarakat Umum

Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memberikan informasi

yang luas mengenai Fenomena Prostitusi di Kota Padang
2)

Agar pembaca dapat memberikan tindakan yang tepat kepada para pelaku

prostitusi.

BAB II
6

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka

1. Definisi Prostitusi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Prostitusi adalah pertukaran
hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan.
Dalam pengertian yang lebih luas, seseorang yang menjual jasanya untuk
hal yang dianggap tak berharga juga disebut melacurkan dirinya sendiri, misalnya

seorang musisi yang bertalenta tinggi namun lebih banyak memainkan lagu-lagu
komersial. Di Indonesia pelacur sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai
sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat
begitu buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila
tertangkap aparat penegak ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap
melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena
melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat
sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar
mereka dari masa kemasa. Risiko yang dipaparkan pelacuran antara lain adalah
keresahan

masyarakat

seperti AIDS yang

merupakan

seperti kondom.

2. TinjauanProstitusi.

7

dan

penyebaranpenyakit
risiko

umum seks

menular

bebas tanpa

seksual,
pengaman

Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif,
dan

mereka

yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah
masyarakat. Menilik ke belakang bahwa makin maraknya tempat-tempat
prostitusi tak lepas dari lilitan ekonomi, sehingga banyaknya wanita yang
memilih dengan melacurkan diri. Dalam pandangan agama prostitusi sama
saja dengan perbuatan perzinaan. Perlunya penanaman pandangan agama
sangat diperlukan dalam hal ini, dan mampu menjadi pembatas diri untuk
melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan agama, moral maupun etika
masyarakat.
Semakin mendesaknya kebutuhan-kebutuhan menjadi alasan rasional
bukan moral. Misalnya, mundurnya usia perkawinan, tingginya angka
perceraian, meningkatnya mobilitas penduduk, gaya hidup, pendapatan
masyarakat, broken home, dan tantangan yang dihadapi. Belakangan ini,
berita di media massa membukakan mata bahwa globalisasi juga
berdampak pada penyebaran dan perluasan ruang lingkup operasi
perempuan

penghibur.

Selain beberapa faktor-faktor di atas ada satu faktor yang jangan di
kesampingkan, yaitu akses yang masih mudah di jumpai, bahkan beberapa
tempat lokalisasi secara terang-terangan menawarkan jasa pelacuran.
Motif-motif yang Melatarbelakangi Pelacuran
Motif-motif yang melatarbelakangi tumbuhnya pelacuran pada wanita itu
beraneka ragam. Dibawah ini disebutkan beberapa motif, antara lain sebagai
berikut.

8

1) Adanya

kecenderungan

melacurkan

diri

pada

banyak

wanita

untuk

menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui
jalan pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf, sehingga
menghalalkan pelacuran.
2) Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan
keroyalan seks. Histeris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas mengadkan
relasi seks dengan satu pria/suami.
3) Tekanan

ekonomi,

faktor

kemiskinan, ada

pertimbangan-pertimbangan

ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam
usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik.
4) Gadis-gadis dari daerah slums (perkampungan-perkampungan melarat dan kotor
dengan lingkungan yang immoril yang sejak kecilnya selalu melihat
persenggamaan oramg-orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga
terkondisikan mentalnya dengan tindak-tindak asusila). Lalu menggunakan
mekanisme promiskuitas/pelacuran untuk mempertahankan hidupnya.
5) Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun terlebih dahulu
dalam dunia pelacuran.
4.

Perilaku Menyimpang
Tindakan atau perilaku yang dianggap menyimpang sebenarnya sangat

beragam, hal ini tergantung dari siapa yang menentukan perilaku tersebut serta
dimana tempat perilaku tersebut terjadi. Ketika suatu perilaku dianggap tidak
sesuai dengan norma yang berlaku pada suatu kelompok masyarakat maka
perilaku tersebut akan dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang. Meskipun
seseorang melakukan sebuah perilaku yang dianggap menyimpang, tetapi perilaku

9

tersebut dilakukan oleh orang lain belum tentu mendapat pandangan yang sama.
Hal ini terjadi akibat dari adanya reaksi yang diberikan atas perilaku menyimpang
yang dilakukan berbeda-beda terhadap individu yang berbeda. Misalnya kebiasaan
berjudi yang dilakukan oleh masyarakat etnis tertentu, bagi mereka berjudi
merupakan sebuah tradisi yang dilakukan untuk menyatukan anggota keluraga
atau masyarakat sehingga dianggap bukan merupakan sebuah penyimpangan.
Dalam menentukan suatu tindakan menyimpang atau tidak serta kondisi
yang dianggap sebuah penyimpangan terdapat 4 sudut pandang yang dapat di
gunakan untuk menjadi kategori tersebut. Keempat sudut pandang berikut yaitu:
1.

Pandangan statistik
Menurut pandangan ini, penyimpangan bukan lah perilaku rata – rata yang

banyak terjadi.namun sebaliknya, penyimpangan adalah perilaku yang sangat
jarang terjadi atau secara sederhana dapat di katakan sebagai hal yang luar biasa.
Pandangan ini mengasumsikan semua perilaku adalah benar, penyimpangan
menunjukkan pada perilaku yang secara statistik berbeda dari perilaku
kebanyakan orang.
2.

Pandangan absolutisme
Pandangan ini mengasumsikan bahwa masyarakat memiliki aturan dan

dasar yang jelas dan anggotanya sepakat tentang perilaku yang dianggap
menyimpang karena acuan perilaku normal dan diterima secara luas.
Penyimpangan secara universal dianggap sebagai kegagalan penyesuaian diri
individu terlepas dari perbedaan norma budaya dan sub budaya.

10

3.

Pandangan reaktivis
Para reaktivis melihat penyimpangan sebagai perilaku yang di labelkan

menyimpang oleh orang lain. Penyimpangan adalah cap yang di berikan terhadap
seseorang yang perilakunya telah di cap sebagai penyimpangan oleh orang lain.
4.

Pandangan normatif
Menurut pandangan ini penyimpangan adalah pelanggaran terhadap norma

yang telah menjadi standar penting. Pelanggaran norma sering di gambarkan
sebagai reaksi atau sanksi dari pengendalian sosial.
5.

INTERAKSI SOSIAL
Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang

dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu
yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok
lainnya, maupun antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat
simbol, di mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya
diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya. Proses Interaksi sosial
menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas
dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang
dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan
terakhir adalah Makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan
terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang
ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretative
process Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok
terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap
11

pertamadari terjadinya hubungan sosial Komunikasi merupakan penyampaian
suatu informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang
disampaikan. Karp dan Yoels menunjukkan beberapa hal yang dapat
menjadisumber informasi bagi dimulainya komunikasi atau interaksi sosial.
Sumber Informasi tersebut dapat terbagi dua, yaitu Ciri Fisik dan
Penampilan. Ciri Fisik, adalah segala sesuatu yang dimiliki seorang individu sejak
lahir yang meliputi jenis kelamin, usia, dan ras. Penampilan di sini dapat meliputi
daya tarik fisik, bentuk tubuh, penampilan berbusana, dan wacana. Interaksi sosial
memiliki aturan, dan aturan itu dapat dilihat melalui dimensi ruang dan dimensi
waktu dari Robert T Hall dan Definisi Situasi dari W.I. Thomas. Hall membagi
ruangan dalam interaksi sosial menjadi 4 batasan jarak, yaitu jarak intim, jarak
pribadi, jarak sosial, dan jarak publik. Selain aturan mengenai ruang Hall juga
menjelaskan aturan mengenai Waktu. Pada dimensin waktu ini terlihat adanya
batasan toleransi waktu yang dapat mempengaruhi bentuk interaksi. Aturan yang
terakhir adalah dimensi situasi yang dikemukakan oleh W.I. Thomas. Definisi
situasi merupakan penafsiran seseorang sebelum memberikan reaksi. Definisi
situasi ini dibuat oleh individu dan masyarakat.

6. KETENTUAN PELACURAN DALAM KUHP
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada satupun
pasal yang mengatur secara khusus tentang pelacuran atau wanita pelacur, padahal
12

di dalam hukum pidana terdapat asas legalitas yang termuat dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP, yang menyebutkan: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu
dilakukan.
Hal ini berarti segala perbuatan yang belum diatur di dalam undangundang tidak dapat dijatuhi sanksi pidana. Jadi, belum tentu semua perbuatan
melawan hukum atau merugikan masyarakat diberi sanksi pidana. Namun,
Moeljatno (1994) mengartikan pelacuran tidak dijadikan larangan dalam hukum
pidana, janganlah diartikan bahwa pelacuran itu tidak dianggap merugikan
masyarakat. Oleh karena itu, perlu dicari rumusan hukum atau peraturan yang
tepat menindak aktivitas pelacuran, yang selama ini dalam praktik dapat
dilaksanakan oleh penegak hukum.
Pasal 296 KUHP, menyebutkan bahwa: Barang siapa dengan sengaja menghubungkan

atau

memudahkan

perbuatan

cabul

oleh

orang

lain,

dan

menjadikannya sebagai mata pencahariaan atau kebiasaan, diancam dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau denda paling
banyak seribu rupiah.
Ketentuan Pasal 296 KUHP tersebut mengatur perbuatan atau wanita yang
melacurkan diri tidak dilarang oleh undang-undang, sedangkan yang bisa dikenakan pasal ini adalah orang-orang yang menyediakan tempat kepada laki-laki dan
perempuan untuk melacur, dan agar dapat dihukum perbuatan itu harus dilakukan
untuk mata pencaharaian atau karena kebiasaannya.
Sementara itu, orang yang tidak masuk dalam ketentuan Pasal 296 KUHP
ini adalah orang yang menyewakan rumah atau kamarnya kepada perempuan atau

13

laki-laki yang kebetulan pelacur, dikarenakan tidak ada maksudnya sama sekali
untuk mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul, ia sebab hanya menyewakan rumah dan bukan merupakan mata pencaharian yang tetap.
Pasal 297 KUHP menyebutkan bahwa perdagangan wanita dan perdagangan laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama
enam tahun. Perdagangan wanita ini harus diartikan sebagai semua perbuatan
yang langsung bertujuan untuk menempatkan seorang perempuan dalam keadaan
ber-gantung kepada kemauan orang lain yang ingin menguasai perempuan itu
untuk disuruh melakukan perbuatan-perbuatan cabul dengan orang ketiga.
Perbuatan perdagangan wanita harus bertujuan untuk menyerahkan wanita ke
dalam kancah pelacuran tidak hanya mengenai wanita pelacur, tetapi wanita yang
sudah menjadi pelacur pun dapat juga menjadi objek perbuatan perdagangan
wanita.
Pasal 506 KUHP menyebutkan barang siapa menarik keuntungan dari
perbuatan cabul dari seorang wanita dan menjadikan sebagai mata pencaharian,
diancam dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Orang yang menarik keuntungan dari perbuatan tersebut dan menjadikannya sebagai mata pencaharian
sering disebut mucikari. Mucikari yaitu makelar cabul artinya seorang laki-laki
yang kehidupannya dibayar oleh pelacur yang tinggal bersama-sama dengannya
dalam tempat pelacuran, yang menolong mencarikan para pelanggan, dari hasil itu
ia mendapat bagiannya. Pada umumnya mucikari ini di samping menjadi
perantara (calo) untuk mempertemukan pelacur dan pelanggannya, juga berperan
sebagai “kekasih atau pelindung” para wanita pelacur itu.

14

Berdasarkan ketentuan di atas, jika dilihat dari ketiga pasal dalam KUHP
(Pasal 296, Pasal 297 dan Pasal 506) tersebut yang berhubungan dengan kegiatan
pelacuran, ternyata pelacurnya sendiri secara tegas tidak diatur atau tidak diancam
oleh hukum pidana.

B.

Kerangka Berpikir
Kerangka pikir yang menjadi garis besar dalam penelitian ini adalah

prostitusi di Taman Melati Padang. Desakan ekonomi dan hal lainnya membuat
wanita yang putus asa merelakan kegadisannya dijual.
Berdasarkan keadaan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang bagaimana proses wanita menjual dirinya, dan apa yang menyebabkannya
menjual diri.
Bagan 1. Kerangka Pikir
Lingkungan sosial
Pekerja Seks Komersial
Kerangka berpikir diatas menjelaskan bahwa terjadi hubungan saling
mempengaruhi antara pekerja seks komersial, dan lingkungan social. Arah panah
tersebut menjelaskan pengaruh PSK tehadap lingkungan social dan begitu juga
sebaliknya. Jadi apabila salah satu terjadi peningkatan atau sesuatu hal, akan
mempengerahui faktor-faktor yang tersebut.

15

BAB III
METODE PENELITIAN
A.

16

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terkait dengan adanya Fenomena Prostitusi di Taman
Melati Padang .Peneliti mengambil lokasi ini dikarenakan peneliti sering melihat
banyak wanita menjajakan dirinya didalam mobil pribadi dan berkeliling disekitar
kawasan Taman Melati Padang, sehingga kami tertarik untuk mengadakan
penelitian ditempat tersebut terkait dengan adanya fenomena prostitusi di Taman
Melati Padang
B.

Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 2 Minggu, yaitu

pertengahan bulan Mei 2016 terhitung hingga terselesaikannya proposal ini.
C.

Bentuk Penelitian
Penelitian mengenai Fenomena Prostitusi di kawasan Taman Melati

Padang ini memerlukan pendekatan penelitian yang nantinya mampu untuk
menganalisis setiap kejadian, persepsi, motivasi, tindakan dan lain sebagainya
untuk kemudian dijelaskan serta diuraikan dalam sebuah data berupa kalimat
ataupun kata-kata. Maka dari itu, penelitian ini menggunakan pendekatan secara
kualitatif deskriptif.
Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2007), penelitian kualitatif
didefinisikan sebagai sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
diamati. Moleong menjelaskan dalam pendekatan kualitatif deskriptif, data yang
dikumpulkan adalah data yang berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.
Data tersebut bisa diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, video, foto,
dan dokumentasi pribadi. Hasil penelitian ini berupa kutipan dari transkrip hasil
17

wawancara yang sebelumnya telah diolah dan kemudian disajikan secara
deskriptif.
Dalam penelitian ini, tentu data yang akan diambil oleh peneliti bersumber
dari pihak-pihak yang terkait dalam Fenomena Prostitusi dikawasan Taman
Melati Padang. Pengambilan data dilaksanakan dengan melakukan pengamatan
setiap kegiatan dan tentunya dari hasil wawancara kepada wanita yang melakukan
prostitusi tersebut.
D.

Sumber Data Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara dan observasi untuk

mencari

dan mengumpulkan

data yang kemudian

akan diolah untuk

mendeskripsikan tentang Fenomena Prostitusi dikawasan Taman Melati Padang
atau dengan istilah lain yaitu menggunakan data primer.
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari subyek
penelitian dimana data tersebut diambil langsung oleh peneliti kepada sumber
secara langsung melalui responden. Kata-kata dan tindakan orang-orang yang
diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data utama
dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video/ audio tape,
pengambilan foto dan film (Moleong, 2007: 157). Data diperoleh melalui
wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Sumber data primer pada
penelitian ini adalah melalui pengamatan secara langsung di kawasan Taman
Melati Padang dan dengan melalui wawancara kepada wanita yang melakukan
Prostitusi.

18

Sedangkan

untuk

data

tambahan,

peneliti

mencari

dan

mendokumentasikan berbagai data dari sumber lain guna memperkaya data, baik
itu melalui buku, foto, artikel, surat kabar, data statistik, dan lain sebagainya.
E.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data
(Sugiyono, 2012: 224). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data yang meliputi:
1.

Observasi
Menurut W. Gulo (2004:116), observasi adalah metode pengumpulan data,

dimana peneliti mencatat hasil informasi sebagaimana yang mereka saksikan
selama penelitian. Observasi melibatkan dua komponen, yaitu si pelaku observasi
atau observer, dan obyek yang diobservasi atau observe. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan observasi non pasrtisipan dimana peneliti hanya
mengamati secara langsung keadaan obyek, tetapi peneliti tidak aktif dan ikut
terlibat langsung.
Beberapa hal yang menjadi obyek observasi dalam penelitian ini
diantaranya mencakup keadaan geografis dan kehidupan sosial di kota Padang
khususnya kawasan Taman Melati, serta kegiatan wanita malam yang ada di
kawasan tersebut.
2.

Wawancara
Moleong (2007: 186) menjelaskan bahwa wawancara adalah percakapan

dengan

19

maksud

tertentu

yang

dilakukan

oleh

dua

pihak,

yaitu

pewawancara (interviewer)yang

mengajukan

pertanyaan,

dan

terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Wawancara secara umum terbagi menjadi dua, yaitu: wawancara terstruktur dan
wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur memiliki arti bahwa
wawancara yang dilakukan dimana pewawancara telah menetapkan sendiri
masalah-masalah yang akan diajukan sebagai pertanyaan. Sedangkan wawancara
tidak terstruktur merupakan wawancara yang memiliki ciri kurang diinterupsi dan
arbiter. Wawancara tersebut digunakan untuk menemukan informasi yang bulan
baku atau informasi tunggal (Moleong, 2007: 190).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara secara semi
terstruktur. Maka sebelum melakukan wawancara, peneliti telah menyiapkan
pertanyaan-pertanyaan yang nantinya akan diajukan kepada informan. Namun,
pada pelaksanaannya nanti akan disesuaikan dengan keadaan responden.
3.

Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang memiliki arti barang-barang

tertulis

(Arikunto,

2002:135).

Dokumentasi

dilakukan

dengan

cara

mengumpulkan dokumentasi pendukung data-data penelitian yang dibutuhkan.
Dalam penelitian ini, pendukung data dalam hal tertulis atau dokumen
diambil dari berbagai arsip-arsip, serta juga melalui berbagai warta berita.
4.

Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan mencari referensi yang sesuai dengan

topik atau tema yang diteliti. Studi pustaka ini digunakan untuk menunjang

20

kelengkapan data dalam penelitian dengan menggunakan sumber-sumber dari
kepustakaan yang relevan.
F.

Instrumen Penelitian
Instrumen

pada

penelitian

ini

adalah

peneliti

sendiri (human

instrument). Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif dapat dikatakan cukup
rumit

karena

selain

sebagai

perencana,

pelaksana

pengumpulan

data,

menganalisis, penafsir data, peneliti tentu juga sebagai pelapor hasil penelitiannya
tersebut (Moleong, 2007: 168). Instrumen sendiri menurut Arikunto (2002: 126)
ialah alat pada waktu peneliti menggunakan suatu metode. Karena dalam
penelitian ini menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi,
maka intrumen yang dibutuhkan antara lain yaitu pedoman observasi, pedoman
wawancara, tape recorder, kamera, serta alat tulis.
G.

Teknik Pemilihan Informan
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling untuk pengambilan

sampel dengan tujuan menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai
macam sumber dan bangunannya (Moleong, 2007:224). Sampel yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah dari PSK yang melakukan prostitusi di
Taman Melati Padang

H.

Validitas Data
Validitas data merupakan bagian penting dalam sebuah penelitian dimana

dari

21

hasil

penelitian

yang

telah

dilakukan

oleh

sang

peneliti

dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam pemeriksaan keabsahan data ini,
peneliti menggunakan trianggulasi data.
Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan atau valid tidaknya
data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut (Moleong,
2007:330). Untuk tekniknya sendiri, dalam penelitian ini digunakan teknik
trianggulasi dengan sumber.
Trianggulasi sumber berarti membandingkan dan mengecek derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda
dalam penelitian kualitatif. Menurut Patton dalam Moleong (2007: 330) hal
tersebut dapat dicapai melalui:
1.

Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara.

2.

Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang

dikatakannya secara pribadi.
3.

Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian

dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
4.

Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat

dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah
atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan.
I.

22

Teknik Analisis Data

Dalam teknik analisis data, terdapat empat komponen dimana keempat
komponen tersebut merupakan proses siklus dan interaktif dalam sebuah
penelitian. Keempat komponen tersebuat ialah:
1.

Pengumpulan Data
Data dikumpulkan oleh peneliti berupa data dari hasil wawancara,

observasi, dokumentasi yang dicatat dalam catatan lapangan yang terdiri dari dua
aspek, yaitu deskripsi dan refleksi. Catatan deskripsi merupakan data alami yang
berisi tentang apa yang dilihat, didengar, dirasakan, disaksikan, dan dialami
sendiri oleh peneliti (Miles dan Huberman, 1994: 15). Pengamatan juga mencakup
data-data lainnya baik itu data verbal maupun nonverbal dari penelitian ini.
Peneliti juga akan melakukan pencatatan terkait dengan adanyaFenomena
Prostitusi di kawasan Taman Melati Padang.
Catatan refleksi merupakan catatan yang membuat kesan, komentar, dan
tafsiran dari peneliti tentang berbagai temuan yang dijumpai pada saat melakukan
penelitian dan merupakan bahan rencana pengumpulan data untuk tahap
selanjutnya. Untuk mendapatkan catatan ini, maka peneliti harus melakukan
wawancara dengan berbagai informan (Miles dan Huberman, 1994: 16).
2.

Redusi Data
Reduksi data merupakan proses pemilihan/ penyederhanaan data-data yang

diperoleh baik itu dari hasil wawancara, observasi, maupun dokumentasi yang
didasarkan atas fokus permasalahan. Setelah melalui proses pemilihan data, maka
akan ada data yang penting dan data yang tidak digunakan. Maka, kemudian data

23

diolah dan disajikan dnegan bahasa maupun tulisan yang lebih ilmiah dan lebih
bermakna (Miles dan Huberman, 1994: 16).
3.

Penyajian Data
Penyajian data adalah proses penampilan data dari semua hasil penelitian

dalam bentuk paparan naratif representatif tabular termasuk dalam format matriks,
grafis dan sebagainya, yang nantinya dapat mempermudah peneliti dalam melihat
gambaran hasil penelitian karena dari banyaknya data dan informasi tersebut
peneliti kesulitan dalam pengambilan kesimpulan dari hasil penelitian ini (Usman,
2009: 85). Data-data yang diperoleh perlu disajikan dalam format yang lebih
sederhana sehingga peneliti mudah dalam menganalisisnya dan membuat tindakan
berdasarkan pemahaman yang diperoleh dari penyajian data-data tersebut.
4.

Penyimpulan Data
Kesimpulan merupakan langkah akhir dalam pembuatan laporan

penelitian. Penarikan kesimpilan adalah usaha guna mencari atau memahami
makna, keteraturan pola-pola penjelasan, alur sebab akibat. Kesimpulan yang
telah

ditarik

maka

kemudian

diverifikasi

dengan

cara

melihat

dan

mempertanyakan kembali dan melihat catatan lapangan agar memperoleh
pemahaman yang tepat. Selain itu, juga dapat dengan mendiskusikannya (Usman,
2009: 87).
Miles dan Huberman (1994: 20) menjelaskan bahwa pengambilan
kesimpulan harus dilakukan secara teliti dan hati-hati agar kesimpulan yang
diperoleh berkualitas dan sesuai dengan tujuan penelitian. Hal tersebut dilakukan

24

agar data tersebut mempunyai validitas sehingga kesimpulan yang ditarik menjadi
kuat.

25

BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.

Temuan Umum
1. Deskripsi Cakupan Wilayah Penelitian

Kawasan Taman Melati Padang dipilih karena lebih mudah terjadinya transaksi
prostitusi dikota Padang dan telah berlangsung dari tahun ke tahun
2. Peta lokasi observasi

3. Deskripsi Informan
Sebagian dari mobil pribadi yang melintas melewati pukul 23.00 WIB di
Kawasan Taman Melati Padang rata-rata terdapat wanita pekerja seks komersial
didalamnya.
Untuk mendapatkan data yang akurat maka peneliti melakukan metode
observasi, dan wawancara. Peneliti melakukan transaksi dengan germonya dan
melihat kegiatan dari awal transaksi hingga setibanya dihotel tempat terjadinya
26

prostitusi. Namun harus ditekankan, peneliti hanya membayar PSK untuk
wawancara, tidak lebih. Informan dari penelitian ini berdasarkan judul yang
diangkat oleh peneliti yakni Prostitusi di kawasan Taman Melati Padang maka
Informan dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, yang terdiri dari PSK
yang terlibat langsung dalam Prostitusi. Dengan jumlah informan tersebut,
peneliti memang masih belum bisa untuk mendapatkan informasi yang
dibutuhkan. Populasi diidentifikasi adalah seluruh PSK yang terlibat dalam
prostitusi mobil pribadi di kawasan Taman Melati Padang, sebab informan yang
dibutuhkan adalah PSK yang secara langsung mengetahui dan mengikuti
prostitusi. Informan merupakan subjek penelitian yang sangat penting, maka
dalam penelitian ini nama asli dari informan sengaja disamarkan dengan
menggunakan nama lain untuk melindungi informan terhadap hal-hal yang tidak
diinginkan dikemudian hari.
Di bawah ini adalah gambaran secara umum tentang identitas informan
yang telah peneliti wawancarai. Secara rinci berikut data informan yang menjadi
narasumber berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan:
1. Dewi (28 Tahun)
Merupakan PSK dari daerah Solok Kabupaten, telah memiliki anak berumur 5
tahun. Seorang wanita yang merantau ke Padang untuk mencari pekerjaan yang
telah ditinggal suaminya sebab masalah keluarga. Namun dia terjebak oleh
pergaulan di Padang yang membuat ibu satu orang anak ini menjadi PSK ketika
ditawari pekerjaan yang bukan ia kehendaki. Anak dan Keluarga dikampung
hingga saat ini tidak mengetahui pekerjaannya sekarang. (Dewi, 18 Mei 2016)

27

2. Bunga (30 Tahun)
Merupakan seorang PSK yang berasal Dhamasraya ini, juga telah bercerai
dengan suaminya karena masalah rumah tangga. Ibu 2 orang anak ini kini
ditinggal pergi oleh anak dan mantan suaminya. Bunga bercerai lantaran kepergok
selingkuh dengan seorang pria. Putus asa, ia berkerja menjadi pemuas nafsu pria
dan kadang menjadi artis orgen tunggal. (Bunga, 18 Mei 2016)
3. NN ( 29 Tahun)
Merupakan teman seperjuangan Dewi yang juga berkerja menjadi PSK Taman
Melati Padang. NN yang sulit diungkap asal daerahnya melarikan diri dari rumah
karena dikeluarganya terjadi Broken Home. Ia kabur ke Padang dengan uang
secukupnya untuk mencoba hidup baru. Wanita yang ketika ditanyai selalu
menjawab dengan tutur kata kesal ini tidak memiliki suami. Setiba di Padang ia
mencari pekerjaan, namun sayang NN diberi pekerjaan sebagai PSK oleh pria
yang sebelumnya tak dikenal. Selama 1 tahun lebih ia telah meramaikan prostitusi
di Kota Padang tercinta ini (NN, 13 Mei 2016)
Kami mohon maaf bila informasi yang kami sebutkan di identitas informan
sangatlah sedikit, hal ini dikarenakan biaya wawancara yang mahal dan kami
berusaha dengan sangat untuk menjaga kerahasiaan informan kami, terlebih
informan kami adalah seorang wanita, sehingga jika informasi yang kami berikan
banyak maka biaya yang kami butuhkan untuk wawancara pun bertambah, oleh
karena itu kami hanya memberikan sedikit informasi mengenai informan kami.
B.

28

Temuan khusus

1. Faktor terjadinya prostitusi
Segala sesuatu dalam kehidupan melalui sebuah proses, di mana proses
tersebut yang menjadi awal mula dan tahapan untuk terjadinya sesuatu kedepan.
Dalam kaitanya dengan kehidupan masyarakat, proses-proses tersebut dapat
dikatakan sebagai sebuah interaksi karena interaksi merupakan syarat utama
terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Apabila dua orang bertemu, maka interaksi
dimulai pada saat itu juga, mereka saling menegur, berjabat tangan, atau bahkan
mungkin berkelahi. Aktivitas semacam itu merupakan bentuk dari interaksi sosial,
meskipun orang-orang yang bertemu muka tersebut tidak saling berbicara
interaksi sosial tetap terjadi karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain
yang menyebabkan perubahan dalam perasaan maupun syaraf orang-orang yang
bersangukutan karena berbagai macam hal (Soekanto, 2009: 55).
absari (2005) menyatakan bahwa beberapa hal yang menjadi penyebab
broken home adalah kemiskinan dan hutang yang melilit, pasangan tidak lagi
saling menghargai dan menyayangi,

pengaruh orang ketiga yang berusaha

mengahancurkan hubungan rumah tangga, dan salah satu pasangan jatuh cinta
terhadap orang lain sehingga menyebabkan terjadinya perselingkuhan.
Interaksi yang terjadi lantaran mereka dibawa oleh teman, dan masalah
keluarga. Dari proses interaksi inilah awal mula wanita yang sebelumnya belum
mengetahui akan keberadaan prostitusi kemudian menjadi tahu akan adanya
prostitusi tersebut, seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan
berikut : “Saya awalnya tidak tahu akan seperti ini, namun teman-teman saya telah

29

banyak menolong saya hidup di kota ini. Lalu saya tak tak tahu akan pekerjaan
yang diberikannya pada saya seperti ini.” Ungkap Dewi (11 Mei 2016)
Namun ada juga wanita yang bekerja menjadi PSK lantaran masalah
didalam keluarganya. Ia tak tahu harus berbuat apa dan kemudian terjurumus di
pergaulan yang salah. “ Saya ada masalah. Lalu ngadu kesiapa lagi? Orang tua
sudah pisah. Datang ke sini (Padang), ada yang ngebantu saya.” Ungkap wanita
29 tahun ini
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan seperti yang
telah paparkan, dapat diketahui bahwa proses awal terjadi nya prostitusi adalah
melalui interaksi yang dilakukan dengan teman mereka yang telah membantu
mereka. Kemudian faktor keluarga yang tak harmonis menambah beban hidup si
PSK
Berdasarkan dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti, dapat diketahui
bahwa proses awal wanita tersebut mengenal akan keberadaan prostitusi berawal
dari sebuah proses interaksi yang terjadi dengan teman seperjuangan, maupun
interaksi lingkungannya seperti lingkungan yang telah menolongnya, hancurnya
hubungan keluarga si PSK.
3. Faktor yang menyebabkan terjadinya prostitusi menurut KPAI
KPAI menganalisis ada enam penyebab prostitusi marak. Persoalan pertama
karena eksploitasi muncikari. Para muncikari bisa melakukan berbagai tipu daya
dan rayuan kepada perempuan bahkan anak-anak di bawah umur untuk akhirnya
dijadikan pekerja seks.

30

Penyebab kedua, menurut Susanto, adalah faktor berpikir instan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi. Karakter berpikir instan seperti ini dapat
mendorong seseorang terjun ke prostitusi. "Karakter berpikir instan harus
dicegah," ujarnya.
Yang ketiga adalah keterpaksaan. Tidak sedikit pekerja seks yang terjun di
dunia itu karena dipaksa atau diperbudak oleh seseorang atau pihak tertentu.
"Dalam hal ini, pemerintah harus bisa menyelamatkan mereka yang tak berdaya."
Penyebab keempat adalah pengaruh lingkungan atau teman sebaya. Lingkungan
memiliki pengaruh yang besar terhadap diri seseorang. "Tak sedikit yang
terjerumus ke prostitusi karena pengaruh lingkungannya," ujar Susanto.
Kelima adalah pengaruh gaya hidup. Susanto menuturkan, gaya hidup seperti itu
cenderung menafikan nilai agama, kepatutan, dan kesusilaan. "Itu terdorong gaya
hidup hedonis." Penyebab terakhir adalah faktor frustasi. Kondisi seperti ini dapat
memicu orang jatuh ke prostitusi. "Mereka berupaya lari dari masalah yang
dihadapinya,"

kata

dia.

Intinya, Susanto mengatakan penyelesaian persoalan prostitusi memerlukan
dukungan dari semua pihak. Baik pemerintah maupun masyarakat sendiri.
4. langkah mengurangi prostitusi
Usaha-usaha dalam penanggulangan terhadap pelacuran harus segera dilakukan sebab kalau tidak segera dilakukan, maka gejala dan penyakit sosial ini
lama kelamaan dipandang oleh masyarakat sebagai hal yang wajar dan normal.
Dengan adanya pandangan seperti itu berarti bahwa masyarakat mulai jenuh
dalam menghadapi segala permasalahan yang berhubungan dengan pelacuran.

31

Dengan demikian, apabila masyarakat mulai jenuh, maka usaha-usaha
penanggulangan ter-hadap pelacuran akan mengalami banyak hambatan, padahal
akibat-akibat

adanya

pelacuran

sangat

membahayakan

dan

meresahkan

masyarakat dan generasi anak-anak di masa mendatang.
Usaha-usaha dalam penanggulangan permasalahan wanita tuna susila atau
pelacuran ialah dengan berusaha membendung dan mengurangi merajalelanya
tindakan pelacuran yang membahayakan. Dalam hal ini, Dinas Sosial perlu
bekerja sama dengan instansi lain yang terkait dan tokon-tokoh masyarakat dan
agama untuk mengatasi dan menanggulangi pelacuran. Usaha-usaha untuk
memberantas dan menanggulangi pelacuran dapat dilakukan secara preventif dan
represif. Usaha preventif adalah usaha untuk mencegah jangan sampai terjadi
pelacuran, sedang usaha represif adalah usaha untuk menyembuhkan para wanita
tuna susila dari ketunasusilaanya untuk kemudian dibawa ke jalan yang benar agar
menyadari perbuatan yang mereka lakukan itu adalah dilarang oleh norma agama.
Adapun usaha-usaha yang bersifat preventif untuk menanggulangi dan
mengatasi pelacuran dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
1. Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohaniaan.
2.

Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anakanak usia puber untuk menyalurkan kelebihan energinya dalam aktivitas positif.

3. Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita .
4.

Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam
kehidupan rumah tangga.

5. Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua unsur lembaga terkait dalam
usaha penanggulangan pelacuran.

32

6.

Memberikan bimbingan dan penyuluhan sosial dengan tujuan memberikan pemahaman tentang bahaya dan akibat pelacuran.

Sementara

itu,

usaha-usaha yang bersifat represif untuk menanggulangi atau mengurangi
pelacuran dalam masyarakat dapat dilakukan berbagai hal, antara lain (Kartini
Kartono, 1998):
1. Melalui lokasilisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melaku-kan
pengawasan atau kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan ke-amanan
para pealacur dan para penikmatnya.
2.

Melakukan aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi para pelacur agar bisa dikembalikan sebagai warga masyarakat yang susila.

3. Penyempurnaan tempat penampungan bagi para wanita tuna susila yang ter-kena
razia disertai pembinaan sesuai minat dan bakat masing-masing.
4.

Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan
profesi pelacuran dan mau mulai hidup baru.

5.

Mengadakan pendekatan terhadap keluarga para pelacur dan masyarakat asal
mereka agar keluarga mau menerima kembali mantan wanita tuna susila itu guna
mengawali hidup baru.

6.

Melaksanakan pengecekan (razia) ke tempat-tempat yang digunakan untuk
perbuatan mesum (bordil liar) dengan tindak lanjut untuk dilakukan penutupan.

C.

33

Pokok-Pokok Temuan Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti menemukan temuantemuan di lapangan yang diperoleh melalui hasil observasi, wawancara, dan
catatan dokumen. Adapun pokok-pokok temuan penelitian tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Faktor Ekonomi.
Kebutuhan yang semakin lama semakin mendesak bisa saja seseorang melakukan suatu perbuatan yang nekat, oleh sebab itu seseorang menjadi pelacur itu
dikarenakan oleh adanya tekanan ekonomi, yaitu kemiskinan yang dirasakan terus
menerus dan adanya kesenjangan penumpukan kekayaan pada golongan atas dan
terjadinya kemelaratan pada golongan bawah bagi pengusaha rumah pelacuran
mencari-cari wanita-wanita pelacur dari kelas melarat karena kebanyakan wanita
tuna susila kebanyakan berasal dari keluarga miskin dengan pendidikan rendah.
2. Faktor Sosiologis
Dengan terjadinya perubahan dan perkembangan sosial-budaya yang cepat
mengakibatkan ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri.
Misal, bertemunya bermacam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat
meng-akibatkan terjadi perubahan-perubahan kehidupan yang cepat sehingga
masyarakat menjadi labil, banyak konflik budaya, kurang adanya kompromi
mengenai norma-norma kesusilaan antar anggota masyarakat. Dengan kelemahan
norma, motivasi jahat, adanya kesempatan, dan lingkungan sosial yang hiterogen
dapat dijadikan alasan orang untuk menjadi pelacur. Mereka tidak peduli pada
reaksi sosial yang dapat berupa kekaguman, pujian, hormat pesona, simpati, sikap
acuh tak acuh, cemburu, iri hati, ketakutan penolakan, kemurkaan, hukuman,
kebencian, kemarah-an, dan tindakan-tindakan konkrit lainnya.

34

3. Faktor Psikologis
Faktor psikkologis memainkan peranan penting yang menyebabkan
seorang wanita melacurkan diri. Kegagalan-kegagalan dalam hidup individu
karena tidak terpuaskan dengan kebutuhan baik biologis maupun sosial dapat
menimbulan efek psikologis sehingga mengakibatkan situasi krisis pada diri
individu tersebut. Dalam keadaan krisis ini akan memudahkan timbul konflik
batin, yang sadar atau tidak sadar mereka akan mencari jalan keluar dari kesulitankesulitan. Dalam keadaan demikian, orang akan mudah terpengaruh ke jalan yang
sesat apabila orang itu dalam keadaan jiwa yang labil. Berbagai faktor internal
psikologis yang dapat menjadi penyebab wanita menjadi pelacur, antara lain
moralitas yang rendah dan kurang berkembang (misalnya kurang dapat
membedakan baik buruk, benar salah, boleh tidak), kepribadian yang lemah dan
mudah terpengaruh, dan kebanyakan para pelacur memiliki tingkat kecerdasan
yang rendah.
Sejalan dengan pendapat Kartini Kartono, bahwa pelacuran tidak hanya
timbul disebabkan dari pihak perempuan saja, tetapi juga oleh sebab-sebab dari
pihak laki-laki, antara lain:
1.

Nafsu birahi laki-laki untuk menyalurkan kebutuhan dan kepuasan seks tanpa
ikatan apapun.

2. Rasa iseng laki-laki yang ingin mendapat pengalaman reaksi seks di luar ikatan
perkawinan, ingin mencari varisi dalam reaksi seks.
3. Istri sedang haid, hamil tua, atau lama sekali mengidap penyakit, sehingga tidak
mampu melakukan reaksi seks dengan suaminya.

35

4. Istri menjadi gila atau cacat jasmaniah, sehingga merasa malu untuk kawin lalu
menyalurkan kebutuhan-kebutuhan seksnya dengan wanita-wanita pelacur,
misalnya karena bongkok, buruk rupa, pincang dan lain sebagainya.
5. Bertugas di tempat yang jauh, pindah kerja atau ditugaskan di tempat yang lain
yang belum sempat atau tidak dapat memboyong keluarga.
6.

Karena berprofesi sebagai penjahat sehingga tidak memungkinkan berumah
tangga.

7. Tidak mendapat kepuasan kebutuhan seks dengan patner atau istrinya.
8.

Tidak bertanggungjawab atau akibat relasi seks dan dirasakan sebagai lebih
ekonomis, misalnya tidak perlu memelihara anak keturunan, tidak perlu
membiayai rumah tangga dan tidak perlu menjamin kebutuhan istri.

Faktor-faktor sebagaimana tersebut di atas akan menjadi penyebab yang
kompleks. Hal ini yang secara langsung ataupun tidak langsung akan memelihara
dan mempengaruhi keberadaan drama pelacuran yang tidak berkesudahan, dari
masa ke masa, dan di mana saja belahan muka bumi ini, sepanjang manusia itu
masih ada maka pelacuran pasti ada.

BAB V
PENUTUP
A.
36

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian kami, dapat dikemukakan beberapa simpulan
sebagai berikut.
Banyak faktor yang nendorong wanita terjun dalam dunia pelacuran, antara lain
faktor ekonomi, sosiologis, dan psikologis. Faktor ekonomi, kebutuhan hidup
semakin banyak dan dan mendesak, namun tidak dapat dipenuhi akibat tidak ada
sumber penghasilan. Oleh karena itu melakukan pelacuran dianggap sebagai
solusi yang instan. Faktor sosiologis, merujuk pada perkembangan dan perubuhan
sosial-budaya yang begitu cepat, ikatan sosial yang renggang, dan masyarakat
bersifat pragmatis, nilai-nilai sosial mengendor. Banyak anggota masyarakat yang
tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman, mereka teralienasi
dari masyarakatnya. Pelacuran dipandang sebagai jalan keluar dari alienasi
tersebut. Faktor psikologis, kepribadian yang lemah dan mudah terpengaruh,
moralitas yang rendah dan kurang berkembang sehingga tidak dapat membedakan
antara baik dan buruk, benar dan salah, boleh dan tidak boleh, menjadi sebabsebab timbulnya pelacuran.
Akibat dari aktivitas pelacuran menimbulkan dampak negatif dan pisitif.
Namun dampak negatifnya jauh lebih banyak daripada dampak positifnya. Antara
lain akibat negatif pelacuran adalah dapat menimbulkan dan menyebarluaskan
berbagai macam penyakit menular yang berbahaya sebagai akibat hubungan seksualitas yang salah. Menimbulkan dekadensi moral sebab aktivitas pelacuran
bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat (norma kesopanan,
kesusilaan, agama, dan hukum). Pelacuran juga mengakibatkan eksploitasi
manusia oleh manusia lain, karena wanita-wanita pelacur itu diperlakuan sebagai
sapi perahan dan objek atau barang yang dapat dijualbelikan.

37

B.

Saran

1.

Bagi Orang Tua

Sebagai orang tua yang bertugas menjaga dan mendidik anaknya agar bertingkah
laku dan berprilaku baik, hendaknya orang tua selalu memberikan kasih sayang
pada anaknya agar tidak terjadi hal yang tak diinginkan
2.

Bagi Pemerintah

Pemerintah harus jeli dalam menegakan hokum. Selalu melakukan razia ditempat
rawan namun para wanita tersebut seharusnya diberikan pembinaan dan
keterampilan agar mereka tak melakukan hal yang sama. Memberikan hukuman
pada mucakari agar tidak menjerumuskan wanita yang dalam kesulitan ke dunia
hitam

Daftar Pustaka
Alam, A.S. 1984. Pelacuran dan Pemerasan, Bandung: Alumni.

38

Anwar, Mochamad Dading. 1986, Hukum Pidana Bagian Khusus Buku II,
Bandung: Alumni.

Basu, Benediktus, 1998. Sendi-Sendi Kriminologi, Surabaya: Usaha Nasional,
Indah, Maya, 2001, “Bekerjanya Peradilan Pidana dalam Mewujudkan
Perlindungan Korban”, Masalah-masalah Hukum Nomor 1 Tahun 2001.
Semarang: Fakultas Hukum Undip..

Kartono, Kartini. 1988. Patologi Sosial. Jilid I, Edisi Baru, Jakarta: CV Rajawali.

Moeljatno. 1994. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: PT Bumi
Aksara.

Moeljatno. 2001. Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Bumi Aksara.

Poerwardaminta, WJS. 1998. Kamus Umum Bahasa Indonesi,, Jakarta: PN Balai
Pustaka.
Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,
Bandung: PT Erresco.

Soedjono, D. 1988. Pathologi Sosial, Bandung: Alumni.
LAMPIRAN OBSERVASI
Saya merekam percakapan melalui perekam handphone

39

Observasi
Informan : Dewi
Umur
: 29 tahun
Tanggal : 18 Mei 2016
Waktu :23.00
Tempat : Hotel sesudah Mesjid
Muhammadiyah Sumatera Barat

Refleksi
Terkait dengan apa yang dikatakan
informan 1 menggambarkan bahwa
narasumber mengungkapkan keluh
kesahnya menjadi seorang pekerja
seks komersial

Awalnya saya bertransaksi di kawasan
Taman Melati, lalu setelah dea