TA JHON TUEMAN KERJASAMA INDONESIA NOR

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih-guna-lahan dan kehutanan. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama gas rumah kaca, terutama karbon diaksida (CO²) yang berasal dari negara – negara industri besar. Gas tersebut memiliki kemampuan menyerap gas yang berasal dari radiasi matahari yang dipancarkan kembali oleh bumi, dimana penyerapan ini telah menyebabkan pemanasan atmosfer atau kenaikan suhu dan perubahan iklim (Saufa, 2015 : 12).

Gagasan dan program untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara internasional telah dilakukan sejak tahun 1979. Program itu memunculkan sebuah gagasan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu Konvensi Perubahan Iklim, yang diadopsi pada tanggal 14 Mei 1992 dan berlaku sejak tanggal 21 Maret 1994, namun mengingat lemahnya komitmen para pihak dalam Konvensi Perubahan Iklim, Conference of The Parties (COP)III yang diselenggarakan di Kyoto pada bulan Desember tahun 1997 menghasilkan kesepakatan Protokol Kyoto yang mengatur dan mengikat para pihak negara industri secara hukum untuk melaksanakan upaya penurunan emisi gas rumah Gagasan dan program untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara internasional telah dilakukan sejak tahun 1979. Program itu memunculkan sebuah gagasan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu Konvensi Perubahan Iklim, yang diadopsi pada tanggal 14 Mei 1992 dan berlaku sejak tanggal 21 Maret 1994, namun mengingat lemahnya komitmen para pihak dalam Konvensi Perubahan Iklim, Conference of The Parties (COP)III yang diselenggarakan di Kyoto pada bulan Desember tahun 1997 menghasilkan kesepakatan Protokol Kyoto yang mengatur dan mengikat para pihak negara industri secara hukum untuk melaksanakan upaya penurunan emisi gas rumah

Terjadinya perubahan iklim tentunya membawa implikasi negatif yang tidak sedikit, oleh karena itu kepedulian terhadap lingkungan hidup akhirnya menjadi fokus penting dalam hubungan internasional, diantaranya adalah ; permasalahan menyangkut CFCs (Chlorofluorocarbons), yang berakibat pada pemanasan global, meningkatnya jenis dan kualitas penyakit akibat berlubangnya lapisan ozon yang dirasakan seluruh dunia, peningkatan suhu udara secara global, naiknya permukaan air laut yang berpotensi menenggelamkan pulau – pulau kecil, terjadinya pergeseran musim, dan perubahan pola/distribusi hujan yang memicu terjadinya banjir dan tanah longsor (Herypurba, 2015 : 1).

Mayoritas masyarakat dunia menyadari bahwa tantangan terbesar yang perlu ditanggulangi adalah perubahan iklim. Diawali dari komitmen Indonesia untuk mendukung upaya mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% hingga tahun 2020, dimana tindakan tersebut merupakan komitmen serius yang ditangkap positif oleh pemerintah Norwegia untuk merealisasikan kerangka tersebut, yaitu memberikan bantuan dana sebesar 1 miliar Dolar Amerika (reddplus.go.id). Sehingga, pada tanggal 26 Mei 2010 merupakan awaldi tandatanganinya nota kesepakatan kerjasama pengurangan emisi gas rumah kaca dan kerusakan hutan melalui mekanisme REDD+ antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Norwegia (Firdaus, 2015: 17).

REDD+ (Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation ), adalah mekanisme internasional untuk memberikan intensif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil memerangi global warming dan menjaga iklim bumi antara lain dengan melakukan penanaman kembali, baik di dalam kawasan hutan (reforestasi) maupun di luar kawasan hutan (afforestasi). REDD+ juga merupakan salah satu kegiatan mitigasi

perubahan iklim di sektor kehutanan dengan cara melakukan konservasi untuk menjaga kelestarian hutan sebagai fungsi penyerapan karbon melalui pembangunan ekosistem hutan (Noor, 2013 : 557).

Kerjasama kedua negara dilakukan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama, dana akan diberikan untuk mengembangkan strategi nasional REDD+ di Indonesia dengan melakukan reformasi kebijakan dan kelembagaan pada tempatnya. Tahap kedua, tujuannya adalah mempersiapkan Indonesia dalam melaksanakan pengurangan emisi gas rumah kaca berdasarkan kontribusi yang diratifikasi. Persiapan ini dilakukan di Profinsi percontohan. Tahap ketiga, yang dimulai pada tahun 2014, mekanisme pengurangan gas rumah kaca berdasarkan kontribusi yang telah diverifikasi ini dilakukan secara nasional. Dana bantuan Norwegia ini mulai diberikan sejak proses pengembangan srtategi nasional REDD+ di Indonesia pada tahun 2010. Dana tersebut harus di distribusikan dalam kurun waktu 7 hingga 8 tahun kedepan berdasarkan pengurangan emisi gas rumah kaca yang telah terverifikasi dan penyaluran dana ini melalui mekanisme keuangan yang

disepakati bersama(http://www.reddplus.go.id/tentang-redd/kemitraan. Diakses tanggal 05 November 2015). Tujuan dan fokus kemitraan yang tertera didalam Surat Pernyataan Kehendak atau (Letter of Intent), khususnya kebijakanterkait REDD+ yakni, Berkolaborasi dan memberikan dukungan dalam pengembangan dan implementasi strategi REDD+ Indonesia. Keinginan bersama kedua belah pihak adalah untuk memulai fase ketiga pada tahun 2014, berdasarkan pengurangan emisi tahun 2013. Pada fase ini, mekanisme pengurangan emisi berdasarkan kontrubusi yang diverifikasi akan di implementasikan mencakup :

a. Indonesia menerima kontribusi tahunan atas pengurangan emisi nasional yang diverifikasi secara independen menurut tingkat acuan UNFCCC atau tingkatan acuan yang ditentukan oleh Indonesia dan mitra-mitranya berdasarkan janji pengurangan emisi Indonesia dan panduan metedologi UNFCCC (4/CP 15), sesuai dengan keputusan- keputusan terkait Konferensi para pihak, bila tingkat acuan UNFCCC untuk Indonesia belum ditetapkan.

b. Norwegia (dan kemungkinan juga mitra – mitra lain yang bergabung dalam kemitraan ini) menyalurkan kontribusi finansil ke instrument finansial sebagaimana diuraikan dalam fase ke I (Letter of Intent Kerjasama Pengurangan Gas Rumah Kaca, 2010 :1-6).

Norwegia sendiri merupakan negara maju dengan sejumlah permasalahan lingkungan yang tinggi. Hal ini dikarenakan masyarakat

Norwegia yang terbiasa hidup modern serta aktifitas pola komsumsinya yang tinggi, terutama karena tingkat penggunaan energi fossil fuel (bahan bakar, minyak dan gas), industrialisasi, dan transportasi. Selain itu, Norwegia juga merupakan negara yang cukup besar, namun tidak memiliki cukup hutan yang dapat digunakan sebagai penyerap karbon. Maka dari itu, Norwegia memerlukan kerjasama dengan negara – negara pemiliki hutan tropis untuk membayar hutang karbon. Dengan menggandeng Indonesia, Norwegia menjadikan Indonesia sebagai salah satu supplier kebutuhan udara bersih dunia termasuk Norwegia didalamnya agar penggunaan energi terbarukan Norwegia dapat terus berjalan tanpa perlu merusak iklim dunia (Novrialdi, 2014 : 2).

Selain Norwegia, Indonesia juga memiliki masalah lingkungan hidup yang terus berkembang, diantaranya adalah penebangan hutan secara liar/pembalakan hutan; polusi air dari limbah industri dan pertambangan; polusi udara di daerah perkotaan (13 tahun lalu Jakarta merupakan kota dengan udara paling kotor ketiga di dunia dan kabut dari kebakaran hutan; kebakaran hutan permanen/tidak dipadamkan; perambahan suaka alam/suaka margasatwa; pembuangan sampah tanpa pemisahan/pengolahan dan hujan asam yang merupakan akibat dari polusi udara). Tingkat pola hidup masyarakat Indonesia dari sederhana yang menuju ke kehidupan modern serta tingkat kebutuhan yang terus berkembang memaksa kerusakan lingkungan tidak dapat dihindari sebagai akibat dari eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Dengan luas hutan sebesar 88,17 juta hektar atau sekitar 46,33% Selain Norwegia, Indonesia juga memiliki masalah lingkungan hidup yang terus berkembang, diantaranya adalah penebangan hutan secara liar/pembalakan hutan; polusi air dari limbah industri dan pertambangan; polusi udara di daerah perkotaan (13 tahun lalu Jakarta merupakan kota dengan udara paling kotor ketiga di dunia dan kabut dari kebakaran hutan; kebakaran hutan permanen/tidak dipadamkan; perambahan suaka alam/suaka margasatwa; pembuangan sampah tanpa pemisahan/pengolahan dan hujan asam yang merupakan akibat dari polusi udara). Tingkat pola hidup masyarakat Indonesia dari sederhana yang menuju ke kehidupan modern serta tingkat kebutuhan yang terus berkembang memaksa kerusakan lingkungan tidak dapat dihindari sebagai akibat dari eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Dengan luas hutan sebesar 88,17 juta hektar atau sekitar 46,33%

Mekanisme pelaksanaan REDD+ di Indonesia melibatkan sejumlah pelaku internasional, nasional dan subnasional. Termasuk kementrian, lembaga dan beberapa badan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat pembangunan dan lingkungan hidup, organisasi penelitian dan kelompok pemikir, dan berbagai ajang partisipasif seperti forum meja bundar. Hubungan bilateral Indonesia – Norwegia juga tercermin ketika Presiden Indonesia, Joko Widodo bertemu Perdana Menteri Norwegia, Erna Solberg untuk membahas kelanjutan REDD+ pada bulan September 2015 lalu. Dimana, pada pertemuan tersebut telah dicapai sejumlah kesepakatan kerjasama di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Kedua negara sepakat untuk melanjutkan kerjasama REED+ yang pelaksanaannya telah dimulai sejak tahun 2010 (Kompas.com, 2015. Diakses tanggal 16 Desember 2016).

Sampai saat ini, Norwegia merupakan anggota negara Annex I (negara industri atau negara penghasil gas rumah kaca) yangterdepan dalam mendukung program REDD internasional, termasuk didalamnya melakukan kerjasama dengan Indonesia. Kebijakan Norwegia dalam mengucurkan bantuan dana yang cukup besar dalam program REDD+ di Indonesia tidak hanya didasari alasan penggunaan energi tetapi tanggung jawabnya untuk menangani dampak pemanasan global.

Pelaksanaan program REDD+ tentunya mendapatkan sejumlah faktor penghambat yang terkait erat dengan pasar dan investasi global yang menyebabkan banyaknya pengrusakan lahan termasuk lahanhutan tropis. Berbagai pemicunya disebabkan karena meningkatnya integrasi lahan untuk pangan, serat, energi dan keuangan. Ha – hal ini menyebabkan usaha untuk mengurangi emisi karbon melalui REDD+ menjadi lebih menantang, karena secara tidak langsung maupun tidak langsung, berbagai pemicu ini mendorong konversi lahan hutan menjadi penggunaan untuk pertanian dan meningkatnya kegiatan pembalakan yang sering menyebabkan degradasi hutan. Sedangkan fakor pendukung berjalannya program REDD+ sejauh ini adalah kepercayaan kedua Negara untuk tetap melanjutkan kerjasama tersebut. Hal tersebut dilihat dengan pemberian bantuan dana sebesar 1 miliar Dolar Amerika untuk mendukung pelaksanaan pengurangan emisi (Angelsen, Brockhaus, Dkk. 2012 : 18 – 20).

Peneliti memilih judul “Kerjasama Indonesia – Norwegia Terkait Isu Pemanasan Global Melalui Program REDD+ Tahun 2014 – 2015” karena disini peneliti melihat isu lingkungan hidup sekarang merupakan isu yang perlu mendapatkan perhatian penting dan segera untuk harus diselesaikan. Kerjasama pemerintah Indonesia dan Norwegia pun dilakukan sebagai upaya untuk dapat menekan laju panas iklim dunia. Kesadaran untuk memperbaiki kondisi lingkungan dilakukan kedua negara melalui kesepakatan yang akhirnya di implementasikan melalui program kerja REDD+, karena isu Peneliti memilih judul “Kerjasama Indonesia – Norwegia Terkait Isu Pemanasan Global Melalui Program REDD+ Tahun 2014 – 2015” karena disini peneliti melihat isu lingkungan hidup sekarang merupakan isu yang perlu mendapatkan perhatian penting dan segera untuk harus diselesaikan. Kerjasama pemerintah Indonesia dan Norwegia pun dilakukan sebagai upaya untuk dapat menekan laju panas iklim dunia. Kesadaran untuk memperbaiki kondisi lingkungan dilakukan kedua negara melalui kesepakatan yang akhirnya di implementasikan melalui program kerja REDD+, karena isu

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah

1.2.1 Batasan Masalah

Pada penelitian ini, peneliti akan membahas kerjasama Indonesia – Norwegia terhadap perubahan iklim dunia, dimana kerjasama kedua

negara dilakukan sebagai upaya menyiasati permasalahan “global warming”, melalui program REDD+ (Reducing Greenhouse Gas Emissions From Deforestation and Forest Degradation ) tahun 2015 –

1.2.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti dapat merumuskan masalah sebagai berikut : bagaimana kerjasama Indonesia – Norwegia terkait isu pemanasan global melalui program REDD+ tahun 2014 – 2015. Dimana rumusan tersebut dapat diturunkan menjadi :

a. Bentuk – bentuk kegiatan program REDD+

b. Faktor – faktor yang mendorong dan menghambat kerjasama tersebut melalui program REDD+

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Peneliti membagi tujuan penelitian kedalam kedua bagian, yakni :

a. Tujuan Umum Untuk mengetahuilatar belakang munculnya pemanasan globaltahun 2014 – 2015.

b. Tujuan Khusus Untuk mengetahui kerjasama Indonesia – Norwegia terkait isu pemanasan global melalui program REDD+ tahun 2014 – 2015.

1.3.2 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis digunakan sebagai referensi untuk mengetahui sampai dimana kerjasama Indonesia – Norwegia terkait isu pemansan global melalui program REDD+ tahun 2014 – 2015.

b. Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini ialah, menjadi salah satu bahan pembelajaran dan menambah pengetahuan kepada peneliti dan khalayak umum, khusunya mahasiswa ilmu hubungan internasional tentang kepedulian akan lingkungan hidup, dimana isu pemanasan global terjadi karena adanya pemanfaatan lahan secara terus menerus dan penggunaan energi terbarukan yang tidak dikontrol, sehingga pemanasan global menjadi masalah serius yang dihadapi dunia saat ini.

1.4 Kerangka Pemikiran

Indonesia - Norwegia

Hijau sme

Environmentali Kerjasama

Program REDD+

1.5 Definisi Konseptual

Untuk membahas permasalahan yang diteliti, peneliti mencoba menggunakan :

1.5.1 Konsep Environmentalisme

Konsep environmentalisme berkaitan erat dengan proses pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dilakukan demi tujuan bersama dalam rangka modernitas dan gloalisasi kemudian memberikan pengaruh pada perluasan ekonomi dimana teknologi juga berperan secara langsung. Sehingga melalui industrialisasi yang berkembang semakin mendekati dampak secara langsung pada permasalahan lingkungan (Patterson, 2011 : 277 – 307).

1.5.2 Konsep Kerjasama Bilateral

Kerjasama secara garis besar dapat dikatakan sebagai konsep dimana kerjasama yang dilakukan antara negara dengan negara manapun organisasi

berlangsung secara berkesinambungan guna untuk mencapainya tujuan – tujuan yang dapat menguntungkan negara manapun organisasi yang melakukan kerjasama (Rudi, 2009 : 3).

1.5.3 Konsep Pemanasan Global

Penasan global (Global Warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (Greenhouse Effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas – gas seperti Karbondioksida (CO²), Mentana

(CH4), Dinitrooksida (N²O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi (Muhi, 2011 : 1).

1.5.4 Teori Politik Hijau

Teori Politik Hijau menurut Eckersley menyatakan karakteristik tersebut adalah Ekosentrisme sebuah penolakan terhadap pandangan dunia Antroposentris yang hanya menempatkan nilai moral atas manusia menuju sebuah pandangan nilai independen atas ekosistem dan semua makhluk hidup.

Goodin juga menempatkan etika pada pusat pemikiran Politik Hijau yang menyatakan bahwa nilai Teori Politik Hijau berada pada inti Teori Politik Hijau. Perumusannya mengenai nilai – nilai Teori Hijau, bahwa sumber nilai segala sesuatu adalah fakta bahwa segala sesuatu itu mempunyai sejarah yang tercipta oleh proses alami, bukan oleh rekayasa manusia (Burchill dan Linklater 2012 : 337 – 338).

1.5.5 Program REDD+

REDD+ adalah berbagai tindakan yang mencakup tindakan lokal, nasional dan global yang bertujuan untuk menurunkan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan. Tanda (+) memiliki arti meningkatkan cadangan karbon hutan atau regenarasi hutan, serta penyerapan karbon –yaitu karbon dari atmosfer untuk disimpan dalam bentuk biomassa hutan (http://himasiltan.lk.ipb.ac.id/2013/05/03/apa-itu- redd. Diakses tanggal 08 November 2015).

1.6 Definisi Operasional

Definisi operasional ialah konsep yang mempunyai variasi nilai. Sehingga, penjabaran dari definisi konseptual yang digunakan dapat menjelaskan penelitian.

1.6.1 Konsep Environmentalisme

a. Memastikan keterlanjutan ekonomi, sosial dan lingkunganIndonesia – Norwegia berbasis environment.

b. Memerangi pemanasan global dan menjaga iklim bumi dengan melakukan konservasi dan restorasi.

1.6.2 Konsep Kerjasama Bilateral

a. Kerjasama dibidang lingkungan hidup dan kehutanan

1.6.3 Konsep Pemanasan global

a. Meningkatnya jenis dan kualitas penyakit akibat berlubangnya lapisan ozon.

b. Peningkatan suhu udara secara global.

c. Naiknya permukaan air laut.

d. Terjadinya pergeseran musim dan distribusi hujan.

1.6.4 Konsep Politik Hijau

a. Mengatur negara – negara industri untuk melaksanakan upaya penurunan emisi gas rumah kaca.

b. Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% hingga tahun 2020.

c. Meningkatnya krisis lingkungan di Negara – Negara industri

1.6.5 Program REDD+

a. Bentuk – bentuk Program dan kegiatan REDD+.

b. Faktor – faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan REDD+.

1.7 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu usaha sadar untuk mengumpulkan data yang dilakukan secara sistematis dengan prosedur yang standar (Nazir, 2014 : 34).

1.7.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptis, yaitu penelitian yang hanya mengambarkan berbagai kondisi yang konkrit dari objek penelitian dan akan dihasilkan deskriptif tentang objek penelitian. Penelitian deskriptis adalah penelitian tentang fenomena yang terjadi pada masa sekarang. Prosesnya berupa pengumpulan dan penyusunan data, serta analisis dan penafsiran data tersebut (Silalahi dan Budyana, 2012 : 52).

1.7.2 Jenis Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui buku, internet, dan juga bahan bacaan lainnya.

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan Metode Studi Pustaka (Library Research), yaitu buku, kitab, majalah, artikel pada jurnal, koran dan bahan bacaan tertulis lainnya (Nazir, 2014 : 154).

1.7.4 Teknik Analisa Data

Bagian dari penelitian ini dimaksudkan untuk melihat kerjasama Indonesia - Norwegia terhadap perubahan iklim dunia. Kerjasama yang dilakukan kedua negara bertujuan untuk dapat mengurangi dampak buruk dari pada global warming melalui Letter of Intentyang disepakati.

1.7.5 Metode Penulisan

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penulisan deduktif, yaitu menggambarkan masalah dari hal umum kepada hal khusus yaitu kerjasama Indonesia – Norwegia terkait isu pemanasan global melalui program REDD+ tahun 2014 – 2015. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisa dengan pemeriksaan data secara akurat sehingga dalam penelitian, keraguan dan kesalahan akan terminimalisasi.

1.8 Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan adalah salah satu isi proposal (rancangan penelitian) yang isinya memaparkan ruang lingkup penulisan karya akhir akademis sehingga antara satu bagian dengan bagian lainnya dapat saling Sistematika pembahasan adalah salah satu isi proposal (rancangan penelitian) yang isinya memaparkan ruang lingkup penulisan karya akhir akademis sehingga antara satu bagian dengan bagian lainnya dapat saling

BAB I Pendahuluan

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar, didalamnya menjelaskan tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah dari penelitian ini, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, defisini konseptual, definisi operasional, metode peneltian dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.

BAB II Telaah Pustaka

Berisikan gambaran mengenai teori-teori atau konsep- konsep yang berkaitan dengan kerjasama Indonesia – Norwegia terkait isu pemanasan global melalui program REDD+ tahun 2014 – 2015.

BAB III Gambaran Umum

Berisi pembahasan mengenai profil negara Indonesia dan Norwegia, gambaran umum tentangpemanasan global, gambaran umum mengenai REDD+, kebijakan iklim global seperti Protokol Kyoto, UNFCCC (United Nation Framework Convention on Clim33ate Change ), menuju perbaikan lingkungan dan dinamika hubungan Indonesia – Norwegia.

BAB IV Pembahasan

Berisikan pembahasan mengenai kerjasama Indonesia – Norwegia terkait isu pemanasan global melalui program REDD+ tahun 2014 – 2015.

BAB V Penutup

Berisikan kesimpulan dan rekomendasi yang dikemukakan berdasarkan hasil ujian dan pembahasan terhadap perumusan masalah yang dikaji.

BAB II TELAAH PUSTAKA

2.1 Konsep Environmentalisme

Environmentalism merupakan sebuah gerakan advokasi untuk menuntut perubahan lingkungan seperti pengurangan dampak kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Pemahaman tersebut lahir sebagai gerakan sosial yang muncul atas semakin terdegradasinya lingkungan hidup. Dalam perjalanannya, gerakan ini berperan untuk mengendalikan pelestarian dan perlindungan lingkungan. Gerakan ini biasa dijumpai dalam bentuk kegiatan restorasi atau perbaikan lingkungan. Selain itu, Environmentalism juga sebagai upaya untuk mengendalikan atau menyeimbangkan kehidupan, hal ini dikarenakan kehidupan manusia sangat tergantung dari alam (Munggoro, Dany, dkk. 2008 : 80 - 82).

Kaum environmentalism sendiri menolak adanya pemahaman ant hropocentrism. Antrhropocentrism merupakan pemikiran manusia

yang berpusat pada manusia tanpa memperhatikan unsure lain. Pemahaman tersebut telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, kaum environmentalism ingin merubah sistem anthropocentrism ke sistem ecocentrism me lihat dari semakin acuhnya individu terhadap keberlangsungan lingkungan. Ecocentrism merupakan pemikiran yang menempatkan unsure lingkungan sebagai nilai yang independen atas ekosistem dan semua makhluk hidup. Salah satu cara yang dilakukan dalam mengganti sistem tersebut ialah yang berpusat pada manusia tanpa memperhatikan unsure lain. Pemahaman tersebut telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, kaum environmentalism ingin merubah sistem anthropocentrism ke sistem ecocentrism me lihat dari semakin acuhnya individu terhadap keberlangsungan lingkungan. Ecocentrism merupakan pemikiran yang menempatkan unsure lingkungan sebagai nilai yang independen atas ekosistem dan semua makhluk hidup. Salah satu cara yang dilakukan dalam mengganti sistem tersebut ialah

(www.britannica.com/EBchecked/topic/27493/anthropocentrism. Diakses tanggal 26 Januari). Paham kesadaran lingkungan (Environmentalism) menempatkan kesehatan, harmoni dan integritas dari lingkungan alamiah sebagai pusat perhatian dan kepedulian manusia. Paham ini muncul sebagai gerakan etika dan politik yang bertujuan mencegah lingkungan dari degradasi (kemerosotan) akibat ulah manusia. Di samping itu, paham ini bertujuan memperbaiki kualitas lingkungan melalui preservasi, restorasi atas perbaikan sumber daya alam. Paham ini berdiri membela manajemen sumber daya alam yang berkelanjutan, dan melindungi sumber daya alam dengan jalan kebijakan publik dan melalui perubahan dalam perilaku manusia (Situmeang, 2010 : 3).

Patterson (2011, 277 – 307) berpendapat, Environmentalisme berkaitan erat dengan proses pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dilakukan demi tujuan bersama dalam rangka modernitas dan globalisasi kemudian memberikan pengaruh pada perluasan ekonomi dimana teknologi juga berperan secara langsung. Sehingga melalui industrialisasi yang berkembang semakin mendekati dampak secara langsung pada permasalahan lingkungan.

Environmentalism mempercayai kesinambungan antara lingkungan dan manusia. Dalam hal ini, lingkungan sangat mempengaruhi kuaitas hidup manusia baik secara positif maupun negatif. Dalam pelaksanaan Environmentalism , terdapat dua formulasi yang ditekankan dalam Environmentalism mempercayai kesinambungan antara lingkungan dan manusia. Dalam hal ini, lingkungan sangat mempengaruhi kuaitas hidup manusia baik secara positif maupun negatif. Dalam pelaksanaan Environmentalism , terdapat dua formulasi yang ditekankan dalam

a. Berkelanjutan memberi konsekuensi bahwa manusia menggunakan sumber daya itu tidak boleh lebih dari jumlah yang dapat diregenerasikan (tumbuh – lanjut).

b. Bertanggung jawab akuntabilitas artinya tiap perorangan dan organisasi harus mengakui diri sebagai bagian dari jaringan sosial yang lebih luas dan mempunyai tanggung jawab kepada seluruh jaringan (Situmeang, 2010 : 5).

Burchill dan Linklater (1996 : 337) berpendapat, kaum environmentalis menerima suatu kerangka atas struktur politik, sosial, ekonomi dan normatif dari politik internasional yang ada, dan berusaha untuk memperbaiki permasalahan lingkungan dalam struktu tersebut.

2.2 Konsep Kerjasama Bilateral

Kerjasama secara garis besar dapat dikatakan sebagai konsep dimana kerjasama yang dilakukan antara negara dengan negara manapun organisasi dengan organisasi dapat berlangsung secara berkesinambungan guna untuk mencapainya tujuan – tujuan yang dapat menguntungkan negara manapun organisasi yang melakukan kerjasama (Rudy, 2009 : 3).

Kerjasama dapat didefinisikan sebagai serangkaian hubungan – hubungan yang tidak didasarkan pada kekerasan atau paksaan dan disahkan secara hukum, seperti dalam sebuah organisasi internasional seperti (PBB)

Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Uni Eropa. Aktor-aktor negara membangun hubungan kerjasama melalui suatu organisasi internasional dan rezim internasional, yang didefinisikan sebagai seperangkat aturan – aturan yang disetujui regulasi – regulasi, norma – norma dan prosedur – prosedur pengambilan keputusan dimana harapan – harapan para aktor, dan kepentingan

bertemu dalam suatu lingkup hubungan internasional itu sendiri. Konteks kerjasama juga dapat dilakukan tidak hanya sebatas negara dan negara saja, melainkan negara dengan organisasi – organisasi internasional juga dapat melakukan hubungan kerjasama maupun organisasi internasional dengan sesama organisasi internasional, hal ini dilakukan demi mencapai tujuan bersama dalam kepentingannya masing-masing (http://www.unicom.ac.id/download.php?id=26193. Diakses tanggal 25 Mei 2016).

kepentingan

negara

Menurut Von Clausewitz, dalam dunia yang makin mengkerut ini, ketergantungan antar negara dan antar bangsa menjadi makin dalam, berhubung tidak mungkin ditemukan suatu negara modern yang dapat melangsungkan hidup negaranya tanpa bantuan dan kerjasama dengan negara lain. Bahkan negara paling kaya di dunia seperti Amerika Serikat pun tidak mungkin hidup secara sendiri tanpa bantuan dari negara-negara lain. Maka dalam hal ini penting bagi keberlangsungan negara – negara lain untuk melakukan kerjasama untuk saling melengkapi dan juga untuk memenuhi Menurut Von Clausewitz, dalam dunia yang makin mengkerut ini, ketergantungan antar negara dan antar bangsa menjadi makin dalam, berhubung tidak mungkin ditemukan suatu negara modern yang dapat melangsungkan hidup negaranya tanpa bantuan dan kerjasama dengan negara lain. Bahkan negara paling kaya di dunia seperti Amerika Serikat pun tidak mungkin hidup secara sendiri tanpa bantuan dari negara-negara lain. Maka dalam hal ini penting bagi keberlangsungan negara – negara lain untuk melakukan kerjasama untuk saling melengkapi dan juga untuk memenuhi

11 ). Hubungan kerjasama juga dapat dikaitkan dengan kerjasama internasional. Kerjasama internasional memiliki pandangan yang sangat luas dalam mengkaji mengenai kerjasama, tergantung konteks atau masalah yang sedang di teliti, karna konsep ini juga memiliki tujuan yang sama yaitu kerjasama dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu (Widiastuti, 2008 : 4-5).

Adapun tujuan kerjasama internasional yaitu :

a. Mencukupi kebutuhan masyarakat masing-masing negara.

b. Mencegah atau menghindari konflik yang mungkin terjadi.

c. Negara yang melakukan kerjasama telah diakui sebagai negara yang merdeka dan mendapat pengakuan.

2.3 Konsep Pemanasan Global

Pemanasan global (Global Warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (Greenhouse Effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas – gas seperti Karbondioksida (CO²), Metana (CH4), Dinitrooksida (N²O) dan CFC sehingga menyebabkan energi matahari terperangkap di dalam atmosfer bumi (Muhi, 2011 : 1).

Utina (2008, hal 1 - 2) berpendapat, Pemanasan gobal adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses Utina (2008, hal 1 - 2) berpendapat, Pemanasan gobal adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses

2.3.1 Penyebab Pemanasan Global

2.3.1.1 Efek Rumah Kaca

Segala sumber energi yang terdapat di bumi berasal dari matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba di permukaan bumi, maka energi tersebut akan berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain : uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini (Utina, 2008 : 3).

2.3.1.2 Efek Balik

Penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses efek balik yang dihasilkan, seperti pada penguapan air. Pada awalnya pemanasan akan lebih meningkatkan banyaknya uap air di atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, maka pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara hingga tercapainya suatu keseimbangan kosentrasi uap air. Keadaan ini menyebabkan efek rumah kaca yang dihasikannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO² itu sendiri (Utina, 2008 : 4 – 5).

Efek balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya oleh es. Lapisan es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat ketika temperatur global meningkat. Bersamaan dengan mencairnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi matahari. Kejadian ini akan menambah faktor penyebab pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair.

2.3.1.3 Variasi Matahari

Pemanasan global dapat pula diakibatkan oleh variasi matahari. Suatu hipotesis menyatakan bahwa variasi dari matahari yang diperkuat oleh umpan balik dari awan dapat memberikan kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme Pemanasan global dapat pula diakibatkan oleh variasi matahari. Suatu hipotesis menyatakan bahwa variasi dari matahari yang diperkuat oleh umpan balik dari awan dapat memberikan kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme

(Scafetta dan West, 2006) mengatakan, Hasil penelitian menunjukan bahwa konribusi matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata – rata global selama periode 1900 – 2000 dan sekitar 25 – 35 antara tahun 1980 dan 2000.

2.3.2 Dampak Pemanasan Global

Pemanasan global telah memicu terjadinya sejumlah konsekuensi yang merugikan baik terhadap lingkungan maupun setiap aspek kehidupan manusia. Beberapa di antarannya adalah sebagai berikut :

a. Mencairnya lapisan es di Kutub Utara dan Selatan. Peristiwa ini mengakibatkan naiknya permukaan air laut secara global, hal ini dapat mengakibatkan sejumlah pulau – pulau kecil tenggelam. Kehidupan masyarakat yang hidup di daerah pesisir terancam. Permukiman penduduk dilanda banjir rob akibat air pasang yang tinggi, dan ini berakibat kerusakan fasilitas sosial dan ekonomi. Jika ini terjadi terus menerus a. Mencairnya lapisan es di Kutub Utara dan Selatan. Peristiwa ini mengakibatkan naiknya permukaan air laut secara global, hal ini dapat mengakibatkan sejumlah pulau – pulau kecil tenggelam. Kehidupan masyarakat yang hidup di daerah pesisir terancam. Permukiman penduduk dilanda banjir rob akibat air pasang yang tinggi, dan ini berakibat kerusakan fasilitas sosial dan ekonomi. Jika ini terjadi terus menerus

b. Meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim. Perubahan iklim menyebabkan musim sulit diprediksi. Hal ini berdampak pada masalah penyediaan pangan, prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara

c. Punahnya berbagai jenis fauna. Flora dan fauna memiliki batas toleransi terhadap suhu, kelembapan, kadar air dan sumber makanan.

d. Habitat hewan berubah akibat perubahan faktor-faktor suhu, kelembapan dan produktivitas primer sehingga sejumlah hewan melakukan migrasi untuk menemukan habitat baru yang sesuai.

e. Peningkatan muka air laut, air pasang dan musim hujan yang tidak menentu menyebabkan meningkatnya frekuaensi dan intensitas banjir.

f. Pengurangan produktivitas lahan pertanian, serta peningkatan wabah penyakit (Utina, 2008 : 7).

2.4 Teori Politik Hijau

Terdapat tiga literatur utama mengajukan gagasan politik hijau mengenai hubungan internasional. Tiga literatur utama mengajukan gagasan yang sedikit berbeda tentang penjelasan karakteristik politik hijau. Eckersley menyatakan, karakteristik tersebut adalah ekosentrisme ;

“sebuah

pandangan dunia antropologisentris yang hanya menempatkan nilai moral atas manusia menuju sebuah pandangan yang juga menempatkan nilai independen atas ekosistem dan semua makhluk hidup ”.

penolakan

terhadap

Godin juga menempatkan etika pada pusat pemikiran politik hijau, yang menyatakan bahwa ‘nilai teori hijau’ berada pada inti teori hijau.

Perumusannya mengenai nilai – nilai teori hijau, bahwa sumber nilai segala sesuatu adalah fakta bahwa segala sesuatu itu mempunyai sejarah yang tercipta oleh prosesalami, bukan oleh rekayasa manusia. (Burchill dan Linklater, 1996 : 337 – 338).

Dobson, mempunyai dua penjelasan mengenai karakteristik politik hijau. Pertama penolakan atas antroposentrisme, seperti yang diuraikan

Eckersley. Selanjutnya, argumentasi ‘pembatasan pertumbuhan’ terhadap hakekat krisis lingkungan. Politik hijau menyatakan bahwa pertumbuhan

ekonomi yang bersifat eksponen yang berlangsung sepanjang dua abad terakhir merupakan penyebab utama krisis lingkungan yang ada sekarang ini. Dengan demikian bukan kepercayaan mereka mengenai krisis lingkungan, tetapi pemahaman politik hijau yang khusus (dan unik) mengenai hakekat krisis tersebut yang membuatnya berbeda dengan gerakan lain (Burchill dan Linklater, 1996: 338).

Pemikiran Dobson tidak dapat disangkal adalah yang paling menyakinkan. Reduksi pemikiran politik hijau ke suatu pendirian etis atas hakekat alam bukan manusia, tanpa sejumlah argumentasi tentang mengapa lingkungan kini sedang dihancurkan oleh umat manusia, nampak kehilangan banyak dari apa yang menjadi inti pemikiran politik hijau. Sebagai tambahan, perumusan Goodin sengat meragukan ketika ia mengajukan fakta sebuah pemisahan ragu – ragu antara segala sesuatu yang ‘alami’ dan ‘artifisial’ yang bahkan tidak bias dengan bebas dipertahankan.

2.4.1 Ekosentrisme

Menurut Ecklersey, ekosentrisme mempunyai sejumlah warna sentral. Pertama, ekosentrisme melibatkan sejumlah klaim empiris. Klaim tersebut melibatkan suatu pandangan dunia yang secara ekologis terdiri dari interelasi bukan entitas individu. Semua makhluk hi dup pada dasarnya ‘terikat hubungan dengan ekologi. Akibatnya, tidak ada ukuran – ukuran yang meyakinkan yang dapat digunakan untuk membuat suatu pembedaan tegas antara manusia dan bukan manusia.

Ekosentrisme mempunyai empat ciri utama yang bersifat etis yang kesemuannya membedakannya dari pemikiran – pemikiran lain mengenai lingkungan. Pertama, ekosentrisme mengidentifikasi semua kepentingan manusia terhadap dunia bukan-manusia. Kedua, ekosentrisme mengidentifikasi masyarakat bukan-manusia. Ketiga, ekosentrisme mengidentifikasi kepentingan generasi muda masa depan Ekosentrisme mempunyai empat ciri utama yang bersifat etis yang kesemuannya membedakannya dari pemikiran – pemikiran lain mengenai lingkungan. Pertama, ekosentrisme mengidentifikasi semua kepentingan manusia terhadap dunia bukan-manusia. Kedua, ekosentrisme mengidentifikasi masyarakat bukan-manusia. Ketiga, ekosentrisme mengidentifikasi kepentingan generasi muda masa depan

2.4.2 Batas – Batas Pertumbuhan

Batasan petumbuhan memiliki argumentasi bahwa perluasan ekonomi dan pertumbuhan populasi masyarakat manusia telah menghasilkan suatu rangkaian krisis yang saling berhubungan. Peningkatan pertumbuhan tersebut menciptakan suatu situasi dimana dunia dengan cepat kehabisan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia atau untuk menyediakan bahan baku bagi pertumbuhan industri yang terus berlanjut (melampaui daya tamping dan kapasitas produksi), dan secara simultan melampaui kapasitas penyerapan dari lingkungan untuk mengasimilasi sampah sisa industri (Burchill dan Linklater, 1996 : 342).

Donella Meadows mengantakan, dengan tingkat pertumbuhan pada masa sekarang ini, banyak bahan baku yang akan menipis dengan cepat, populasi akan dengan cepat melampaui kapasitas penyerapan

lingkungan, dan umat manusia akan mengalami ‘degradasi dan jatuh’ pada suatu waktu sebelum 2100 (ibid).

2.4.3 Ekologi Global

Prinsip – prinsip dasar politik hijau muncul pada awal tahun 90an dan mengajukan analisis terhadap situasi saat ini yang konsisten dengan prinsip – prinsip tersebut. Dengan kata lain, sementara green Prinsip – prinsip dasar politik hijau muncul pada awal tahun 90an dan mengajukan analisis terhadap situasi saat ini yang konsisten dengan prinsip – prinsip tersebut. Dengan kata lain, sementara green

2.4.4 Melawan Pembangunan

Salah satu alasan mengapa para penulis ‘ekologi global’ menolak pembangunan adalah karena pembatasan pertumbuhan. ‘Dalam pandangan developmentalis, “pembatasan pertumbuhan” tidak meminta mengabaikan laju pertumbuhan, tetapi mengubah teknis pelaksanaannya. Bagi praktisi pembangunan berkelanjutan,

‘pembangunn berkelanjutan’ dan ‘pembangunan berkelanjutan’ pada umumnya telah bersama – sama tidak berhasil dan secara pasti menyatakan bahwa suatu era pertumbuan ekonomi baru penting bagi pembangunan berkelanjutan (Burchill dan Linklater, 1996 : 353).

Ecologist (1993) menyatakan bahwa salah satu ciri utama pembangunanadalah tindakan memagari (enclosure), atau mengubah ruang publik menjadi hak milik pribadi. Tindakan pembangunan merupakan hal yag penting menuju modernisasi. Namun, efek dari pemagaran ini adalah menjadikan kepuusan menjauh dari mereka yang tergantung pada sumber daya lokal, yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya degradasi lingkungan, seperti halnya sosial terpecah belah (Burchill dan Linklater, 1996 : 354).

2.2 Program (REDD+) Reducing Emission From Deforestation and Forest Degradation

REDD+ adalah berbagai tindakan yang mencakup tindakan lokal, nasional, dan global yang bertujuan untuk menurunkan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan. Tanda plus (+) memiliki arti meningkatkan cadangan karbon hutandan rehabilitasi hutan, serta penyerapan karbon, yaitu menyerap karbon dari atmosfer yang seterusnya disimpan

kedalam bentuk biomassa karbon hutan (http://himasiltan.lk.ipb.ac.id/2013/05 /03/apa-itu-redd/. Diakses tanggal 08 November 2015). Pemikiran utama REDD+ adalah menciptakan suatu sistem pembayaran multitingkat global, nasional dan lokal untuk jasa lingkungan yang akan mengurangi emisi dan meningkatkan cadangan karbon hutan. Masyarakat internasional mencapai kelestarian hutan dengan membayar para pemilik dan pengguna hutan melalui pemerintah nasional atau secara langsung untuk mengurangi penebangan pohon dan mengelolah hutan mereka secara lebih baik.

REDD merupakan sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak – pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Dua inisiatif global sedang dilakukan untuk membantu negara – negara berkembang mengimplementasikan mekanisme REDD+ di masa yang akan datang; Pertama , program REDD Perserikatan Bangsa – Bangsa (UN-REDD), menawarkan dukungan secara ekstensif bagi negara berkembang untuk REDD merupakan sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak – pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Dua inisiatif global sedang dilakukan untuk membantu negara – negara berkembang mengimplementasikan mekanisme REDD+ di masa yang akan datang; Pertama , program REDD Perserikatan Bangsa – Bangsa (UN-REDD), menawarkan dukungan secara ekstensif bagi negara berkembang untuk

Kedua , Bank Dunia mengkoordinasikan inisiatif berupa Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility). Serupa dengan UN-REDD, namun dalam skala dan partisipasi yang lebih besar. Program ini direncanakan beroperasi di 37 negara, yakni : Argentina, Bolivia, Chili, Costa Rica, Ekuatorial Guinea, El Salvador, Etiopia, Gabon, Ghana, Guatemala, Guyana, Hinduras, Indonesia, Kamboja, Kamerun, Kenya, Kolombia, Liberia, Madagaskar, Meksiko, Mozambik, Nepal, Nikaragua, Panama, Papua Nugini, Paraguay, Peru, Republic Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Republik Kongo, Republik Demokratik Laos, Suriname, Tanzania, Thailand, Uganda, Vanuatu, dan Vietnam.

Kedua inisiatif akan mengkoordinasikan misinya ketika diterapkan di negara yang sama dan melaksanakan pertemuan mengenai kebijakan – kebijakan mereka secara bersama – sama agar para peserta dapat saling bertukar informasi. Kemajuan dan hasil dari inisiatif tersebut akan membantu para juru runding UNFCCC dalam menentukan apakah emisi CO² yang Kedua inisiatif akan mengkoordinasikan misinya ketika diterapkan di negara yang sama dan melaksanakan pertemuan mengenai kebijakan – kebijakan mereka secara bersama – sama agar para peserta dapat saling bertukar informasi. Kemajuan dan hasil dari inisiatif tersebut akan membantu para juru runding UNFCCC dalam menentukan apakah emisi CO² yang

BAB III GAMBARAN UMUM

3.1 Profil Negara

3.1.1 Profil Negara Indonesia

Nama Negara

Republik Indonesia Ibu Kota

Jakarta

Total Luas Wilayah

1.904.569 Km² Bahasa Resmi

Bahasa Indonesia Mata Uang

Rupiah

Grup Enik

Melayu, Melanesia. Pemerintahan

Republik Presidensial Presiden

Ir. Joko Widodo Wakil Presiden

Drs H. Muhammad Jusuf Kalla Legislatif

Majelis Permusyarawatan Rakyat - Majelis Tinggi

Dewan Perwakilan Daerah - Majelis Rendah

Dewan Perwakilan Rakyat Populasi Tahun 2015

255.461.700 Juta Jiwa GDP (PPP) 2015 - Total

$ 2.840 Triliun - Perkapita

GDP Perkapita (nominal) 2015 - Total

$ 895.677 Miliar - Perkapita

HDI

Dibawah 0.684 Jiwa (Sumber : https://www.indexmundi.com/indonesia/. Diakses tanggal

26Januari 2016)

3.1.2 Profil Negara Norwegia

Nama Negara

Kerajaan Norwegia Ibu Kota

Oslo

Total Luas Wilayah

385.525 Km²

Bahasa Resmi

Norwegia (Bokmal dan Nynorsk) Mata Uang

Krona

Grup Etnik

76% Norwegia, 1,3% Sami, 12% NuLian

Pemerintahan

Monarki Konstitusional Raja

Harald V

Perdana Menteri

Erna Solberg

Legislatif

Stortinget

- Majelis Tinggi

Lagting

- Majelis Rendah

Odelsting

Populasi Tahun 2015

5.189.435 Juta Jiwa GDP (PPP) Perkiraan 2015 - Total

GDP Perkapita (nominal) 2015 - Total

Diatas 0.944 Jiwa (Sumber : https://www.indexmundi.com/norwegia/. Diakses tanggal 26

Januari 2016)

3.2 Gambaran Umum Pemanasan Global

Utina (2008) berpendapat, Pemanasan gobal adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata – rata atmosfer, laut dan daratan di bumi. Selama kurang lebih seratus tahun terakhir, suhu rata – rata permukaan bumi telah meningkat 0.74

± 0.18 ºC. Meningkatnya suhu rata – rata permukaan bumi yang terjadi adalah akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca, seperti; karbondioksida, metana, dinitrooksida, hidrofluorokarbon, perfluorokarbon, dan sulfur heksafluorida di atmosfer. Emisi ini terutama dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) serta akibat penggundulan dan pembakaran hutan. Seperti gambar berikut :

Gambar 3.1 Jenis Gas Rumah Kaca Global

Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu isu lingkungan utama saat ini. Pemanasan global sendiri berhubungan dengan proses meningkatnya suhu di pemukaan bumi, dimana peningkatan suhu permukaan buni ini dihasilkan oleh adanya radiasi sinar matahari menuju ke atmosfer bumi, kemudian sebagian sinar ini berubah menjadi energi panas dalam bentuk sinar infra merah yang diserap oleh udara dan permukaan bumi.

Berbagai fenomena yang muncul terkait dengan pemanasan global antara lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhi (2011), sebagai berikut : Berbagai fenomena yang muncul terkait dengan pemanasan global antara lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhi (2011), sebagai berikut :

b. Situs purbakala cepat rusak. Akibat alam yang tak bersahabat, sejumlah kuil, situs bersejarah, candi dan artefak lain lebih cepat rusak dibandingkan beberapa waktu silam. Hal ini disebabkan karena banjir, suhu yang ekstrim dan pasang laut.

c. Setelit bergerak lebih cepat. Emisi karbon dioksida membuat planet lebih cepat panas, bahkan berimbas ke ruang angkasa. Udara di bagian terluar atmosfer sangat tipis, tetapi dengan sejumlah karbondioksida yang bertambah, maka molekul di atmosfer bagian atas menyatu lebih lambat dan cenderung memancarkan energi dan mendinginkan udara sekitarnya. Makin banyak karbondioksida di atas sana, maka atmosfer menciptakan lebih banyak dorongan dan satelit bergerak lebih cepat.

d. Hanya yang terkuat yang akan bertahan. Akibat musim yang kian tak menentu, maka hanya makhluk hidup yang kuatlah yang bisa bertahan hidup. Misalnya, tanaman berbunga lebih cepat, maka migrasi sejumlah hewan akan terjadi lebih cepat. Mereka yang tangkas akan dapat bertahan hidup.

e. Pelelehan besar – besaran. Temperatur planet yang memicu pelelehan gunung es dan semua lapisan tanah yang selama ini membeku. Imbas dari ketidakstabilan ini akan dirasakan pada daratan tinggi seperti pegunungan bahkan menyebabkan keruntuhan batuan.

f. Mekarnya tumbuhan di Kutub Utara. Saat pelelehan Kutub Utara memicu masalah pada tanaman dan hewan di daratan yang lebih rendah, tercipta pula situasi yang sama dengan saat matahari terbenam pada biota Kutub Utara. Tanaman kutub yang dulu terperangkap es kini tidak lagi dan mulai tumbuh. Ilmuwan menemukan terjadinya peningkatan pembentukan fotosintesis di sejumlah tanah sekitar dibandingkan dengan tanah di era purba.