Hidup Berdampingan dengan Bencana Gunung

Hidup Berdampingan dengan Bencana Gunung Bromo
(Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Suku Tengger)
Pandhu Yuanjaya
A. Pendahuluan
United Nations 2009 Risk and Poverty dalam buku Asian Tsunamy (Jayasuriya,
2011), menuliskan bahwa kerugian bencana global tertinggi terkonsentrasi di negara
miskin. Lebih lanjut dalam buku tersebut, yang memperparah resiko bencana di negara
miskin yaitu pemerintah yang lemah, masyarakat rentan khususnya di pedesaan, dan
degradasi lingkungan (ekosistem). Dalam kasus bencana lain dan khususnya Tsunami
yang dalam buku tersebut membuktikan hal itu, namun masyarakat Tengger memiliki
kapasitas mengahdapi bencana melalui pengetahuan, pengalaman dan kearifan lokal
yang telah ada selama ratusan tahun.
Gunung Bromo adalah salah satu gunung yang terkenal di Indonesia yang ada di
Jawa Timur. Gunung Bromo merupakan salah satu dari lima gunung yang terdapat di
komplek Pegunungan Tengger. Panorama alam yang indah dari Gunung Bromo sudah
dikenal baik dari wisatawan dalam negeri maupun wisatawan asing. Gunung Bromo
merupakan gunung berapi yang memiliki sejarah panjang, baik dalam proses alamiah
pembentukannya maupun perannya dalam kehidupan spiritual masyarakat Tengger yang
hidup di sekitarnya (Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, 2006). Dari catatan
sejarah yang ada, erupsi Gunung Bromo pertama kali dicatat oleh manusia pada tahun
1804 yang menginformasikan bahwa Gunung Bromo merupakan gunung yang sangat

aktif, dengan tenggat waktu istirahat dari erupsi satu dengan letusan lainnya hanya
beberapa bulan dan paling lama 16 tahun. Periode erupsi dapat berlangsung satu hari dan
paling lama sembilan bulan (Zaennudin, 2011). Sebenarnya kawasan gunung merupakan
keuntungan tersendiri bagi suatu wilayah. Tanah yang subur untuk diolah menjadi lahan
pertanian, panorama alam yang indah serta udara yang sejuk merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari kawasan gunung. Tingginya potensi wilayah yang dapat
dikembangkan menjadikan kawasan ini diminati oleh penduduk. Di balik potensi baik
tersebut, kawasan gunung adalah daerah yang berbahaya untuk ditinggali manusia,
karena gunung seperti bom waktu yang setiap saat dapat meletus hebat.
Gunung Bromo merupakan sumber potensi bahaya yang mengancam keselamatan
manusia yang ada di sekitarnya (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(PVMBG), 2007). Pada akhir November 2010, Gunung Bromo kembali erupsi yang

1

berlangsung selama sembilan bulan sampai dengan bulan Juli 2011 (PVMBG, 2011).
Erupsi tahun 2010-2011 merupakan erupsi terlama yang pernah tercatat dalam sejarah
Gunung Bromo. Erupsi freatomagmatik yang menghasilkan material berupa debu hingga
pasir halus menjadi ciri khas dari Gunung Bromo (Zaennudin, 2011). Material debu dan
pasir halus menyebar mengikuti arah tiupan angin yang berubah-ubah dari arah utara,

timur, timur laut hingga tenggara. Material batu pijar hasil letusan terlontar sejauh 1,5-2
km di dalam kawasan padang pasir.
Hujan abu dan pasir halus dari letusan Bromo 2010-2011 menyebabkan beberapa
daerah yang ada di lereng Kaldera Tengger gagal panen. Hasil utama pertanian berupa
kentang, daun bawang, dan kubis tidak dapat dipanen. Tanaman layu dan akhirnya mati
akibat tertutup abu vulkanik. Dari data yang dimiliki BPBD Jawa Timur, kerugian
pertanian yang diakibatkan erupsi Bromo mencapai 2.440 hektar dengan nilai kerugian
mencapai Rp 28 miliar. Kerugian paling besar terjadi di Desa Ngadirejo, luas lahan yang
rusak mencapai 304 hektar dengan total kerugian mencapai Rp 8,6 miliar (BPBD Jatim,
2011). Beberapa desa yang juga mengalami kerusakan akibat erupsi Gunung Bromo
tahun 2010-2011 antara lain Desa Ngadisari, Wonokitri, Wonoroto, Jetak, Ngadas,
Wonokerto, Sambikerep, Pakel, Kadiasari, Sariwangi, Sukapura, dan Ngepung.
Desa Ngadirejo yang berjarak 4 km dari Gunung Bromo. Desa Ngadirejo
merupkan desa terparah yang terdampak letusan Gunung Bromo 2010-2011. Desa
Ngadirejo juga menjadi langganan hujan abu pada letusan Gunung Bromo sebelumnya.
Ketebalan abu dan pasir halus di Desa Ngadirejo mencapai 50 cm, menutupi lahan
pertanian, jalan, dan rumah penduduk. Ketebalan abu membuat beberapa bangunan
roboh karena tidak kuat menyangga beban. Pada erupsi 2010-2011 selama kurang lebih
sembilan bulan, Desa Ngadirejo menjadi desa mati karena pasokan air terganggu akibat
pipa pecah. Listrik padam karena kabel-kabel listrik banyak yang putus. Akses jalan

yang sulit dilalui akibat tertutup abu dan pasir tebal. Aktivitas penduduk mati total
karena mata pencaharian utamanya adalah bertani, sedangkan lahan pertaniannya
tertutup abu dan pasir. Selama sembilan bulan tersebut penduduk Ngadirejo mendapat
bantuan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Menjalani masa sulit selama erupsi Gunung Bromo tidak menjadikan penduduk
Ngadirejo berkecil hati. Penduduk Ngadirejo atau yang biasa disebut masyarakat
Tengger menganggap erupsi Gunung Bromo sebagai “berkah” dari alam yang patut
disyukuri. Selama masa erupsi Gunung Bromo masyarakat Tengger bersikap sabar.
Setiap hari masyarakat membersihkan abu dan pasir di atap rumahnya. Kegiatan bertani
2

tidak dapat dilakukan sehingga pekerjaan lain seperti buruh tukang menjadi pilihan.
Pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti sayuran, dibantu oleh masyarakat Tengger dari
daerah lain. Manajemen aset berpengaruh pada kehidupan masyarakat Tengger.
Kepemilikan hewan ternak, emas, dan sepeda motor membantu masyarakat Tengger
dalam memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat Tengger tetap bertahan di Desa
Ngadirejo meskipun nantinya Gunung Bromo kembali erupsi. Gunung Bromo dan
masyarakat Tengger merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya
mempunyai hubungan spritual yang kuat, yang berpengaruh pada kebudayaan
masyarakat Tengger.

Upacara Kasada diselenggerakan khusus untuk Gunung Bromo. Masyarakat
Tengger yang sebagian besar beragama Hindu sangat menjaga adat istiadatnya. Tanah
Bromo dianggap masyarakat Tengger sebagai “tanah suci” yang harus dijaga. Kehidupan
masyarakat Tengger di lereng Kaldera Tengger menunjukkan adanya perbedaan pola
pikir pada masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Bencana tidak dianggap
sebagai bencana, tetapi kejadian alam yang biasa. Tinjauan tentang fenomena yang
terjadi pada masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana perlu dilakukan.
Bencana alam adalah konsekuensi yang harus dihadapi manusia sebagai bagian
dari alam. Bencana alam biasanya berupa gangguan yang disebabkan oleh alam (seperti
erupsi gunung, gempa bumi, dan tanah longsor) yang menimbulkan kerusakan pada
fungsi masyarakat (UNDP, 2004). Kerusakan ini akibat keterbatasan manusia dalam
menangani bencana sehingga sifat bencana menjadi bahaya bagi kehidupan manusia.
Bencana muncul bila ancaman behaya bertemu dengan kerentanan (keterbatasan
manusia) (Utami, 2011). Manajemen bencana adalah proses sistemantis yang didalamnya
melibatkan pemerintah dan masyarakat dalam menggunakan strategi dan kemampuan
bertahan yang mereka miliki untuk mengurangi dampak dari bencana.
The Handbook of Disaster and Emergency Policies and Institutions menuliskan
dalam Emergency management typology by attributes, bancana dilihat dari tiga tipologi
manajemen yaitu rutin, non-rutin dan kompleks (Handmer dan Dovers, 2007). Erupsi
Gunung Bromo bila dilihat dari tipologi tersebut ada pada tipe yang pertama, rutin,

dengan skala rendah sampai sedang dan dalam dampak lokal (kecil) hanya di desa sekitar
Bromo (namun bila angin cukup kencang akan berdampak lebih luas), dapat
diperkirakan/ terukur. Pendekatan kelimuan mengenai gunung dan erupsi di lakukan oleh
PVMBG dan pengalaman masyarakat melihat gejala-gejala alam. Pengalaman
masyarakat inilah yang sering menjadi pedoman dalam memahami aktifitas Gunung
3

Bromo sehingga saat terjadi erupsi sangat sulit untuk mengevakuasi masyarakat ke
daerah yang jauh.
Upaya optimalisasi peran masyarakat dalam manajemen resiko bencana, maka
berbagai potensi yang ada di masyarakat harus terus digali. Tinjauan berupa penelitian
dengan mengambil contoh kehidupan masyarakat Tengger di Desa Ngadirejo yang rawan
akan bahaya Gunung Bromo. Tinjauan dikaitkan dengan kearifan lokal daerah setempat,
pengetahuan yang dimiliki, dan persepsi terhadap bahaya erupsi Gunung Bromo. Bentukbentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa; nilai, norma, etika, kepercayaan,
adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Berkaitan dengan hal tersebut
Ernawi (2009) menjelaskan bahwa secara substansi kearifan lokal dapat berupa aturan
mengenai; 1) kelembagaan dan sanksi sosial, 2) ketentuan tentang pemanfaatan ruang
dan perkiraan musim untuk bercocok tanam, 3) pelestarian dan perlindungan terhadap
kawasan sensitif, serta 4) bentuk adaptasi dan mitigasi tempat tinggal terhadap iklim,
bencana atau ancaman lainnya. Pergeseran paradigma penanggulangan bencana dari

yang bersifat responsif menjadi preventif, menuntut berbagai macam cara baru dalam
mekanisme penanggulangan resiko bencana. Pelibatan peran masyarakat merupakan
salah satu alternatif model penanggulangan bencana terutama di Asia.
B. Deskripsi Lokasi Desa Ngadisari
Di pegunungan Tengger terdapat Kaldera Tengger yang sangat indah dan
menarik, garis tengahnya mencapai 8-10 kilometer. Sementara dindingnya yang terjal
dengan ketinggian antara 200-700 meter. Dasar Kaldera Tengger berupa lautan pasir
seluas 5.290 ha. Didalam Kaldera Tengger tersebut terdapat Gunung Bromo, Gunung
Batok, Gunung Kursi, Gunung Watangan dan Gunung Widodaren dan Semeru sebagai
puncak tertinggi di Jawa (Nugroho, 2011). Gunung Bromo statusnya sebagai gunung
berapi yang masih aktif pada wakttu tertentu mengeluarkan asap dan letusan terbesar
terjadi pada tahun 1974 dan pada tahun 2010.
Gunung bromo berasal dari bahasa Sansekerta/Jawa Kuno yaitu Brahma yang
berarti seorang Dewa Utama Hindu. Suku Tengger yakin merupakan keturunan langsung
dari Majapahit. Nama Tengger berasal dari Legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang
diyakini sebagai asal usul nama Tengger, yaitu "Teng" akhiran nama Roro An-"teng" dan
"ger" akhiran nama dari Joko Se-"ger“. Bagi suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo)
dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara
Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di


4

bawah kaki Gunung Bromo utara yakni Pura Luhur Poten Bromo dan dilanjutkan ke
puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap
bulan

purnama

sekitar

tanggal

14

atau

15

di


bulan kasodo

(kesepuluh)

menurut penanggalan Jawa.

Desa
Ngadisari

Secara demografi, masyarakat desa Ngadirejo bermata pencaharian sebagai
petani. Lahan-lahan yang terletak di lereng-lereng pengunungan Tengger diolah untuk
mencukupi kebutuhan hidup. Penduduk di sekitar Suku Tengger kurang lebih sebanyak
1478 jiwa. Pekerjaan terdistribusi sebagai berikut; petani 37,93%, buruh tani 8,16%,
karyawan dan TNI 1,24%, pedagang 2,38%, pengrajin 0,01% dan lain-lain (jasa wisata)
50,05%. Aspek yang sangat penting untuk mengembangkan pribadi dan pengetahuan
yang kemudian dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup dan memajukan desanya,
rupanya ini juga didasari oleh masyarakat di Desa Ngadisari. Dengan tingkat pendidikan
yang tercatat sebagaimana dalam tabel dari monografi Desa Ngadisari tahun 2012:

5


No
1
2
3
4
5
6
7
8

Tingkat Pendidikan
PAUD
TK
SD
SMP
SMA
D3
S1
S2

JUMLAH

Jumlah Orang
20
38
799
395
168
5
48
5
1478

Presentase (%)
1,35
2,57
54,06
26,72
11,37
0,34

3,25
0,34
100

Karakteristik, budaya dan kearifan lokal masyarakat Tengger terlebih dengan
masuknya orang luar seperti wisatawan lokal dan asing serta modernitas tentu akan
berpengaruh pada perilaku dan pola hidup masyarakat Tengger terutama terhadap
pengelolaan lingkungan dan bencana.
C. Kearifan Lokal Masyarakat Tengger
1. Nilai-nilai dan kelembagaan Masyarakat Tengger
a. Nilai-nilai Lokal
Menurut Ernawi (2009), sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan
oleh suatu komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baikburuk serta benar atau salah. Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku dan tindakan
masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari diatur oleh ketentuan adat berupa aturanaturan adat dan hukum adat yang berfungsi sebagai sistem pengendalian sosial dalam
masyarakat. Hal ini seperti yang diungkapkan Salvina (2003) bahwa ada sebuah sistem
pengendalian sosial yang disepakati dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat Tengger,
yaitu adanya hukum adat untuk mencegah timbulnya ketegangan sosial yang terjadi
dalam masyarakat.
Aturan-aturan adat yang harus ditaati masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari
antara lain: 1) tidak boleh menyakiti atau membunuh binatang (kecuali untuk korban dan
dimakan); 2) tidak boleh mencuri; 3) tidak boleh melakukan perbuatan jahat; 4) tidak
boleh berdusta; dan 5) tidak boleh minum minuman yang memabukkan. Fungsi hukum
adat sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat adalah: 1) memberikan
keyakinan pada anggota masyarakat tentang kebaikan adat-istiadat Tengger yang
berlaku; 2) memberi ganjaran pada anggota masyarakat yang tidak pernah melakukan
kejahatan; 3) mengembangkan rasa malu; dan 4) mengembangkan rasa takut dalam jiwa
anggota masyarakat yang hendak menyimpang dari ketentuan adat.

6

Pada kehidupan masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari terdapat konsep yang
menjadi landasan sikap hidup masyarakat yaitu konsep anteng-seger (Tengger) yang
berarti damai dan makmur. Selain itu, juga terdapat konsep yang mendasari hubungan
tiga arah yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia,
dan hubungan manusia dengan lingkungan alam (tryadic relationship) berdasarkan hasil
penelitian Sukari et al. (2004) sebagai berikut: 1) konsep Tri Sandya, konsep karma
pahala, dan hukum tumimbal lahir mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.
Konsep Tri Sandya diaplikasikan dengan melakukan sembahyang tiga kali sehari (pagi,
sore, malam), konsep karma pahala menyatakan bahwa hidup atau nasib manusia
tergantung dari pahalanya, sedangkan hukum tumimbal lahir adalah hukum hidup yang
harus dipatuhi, berbunyi ”sapa nandur kebecikan bakal ngundhuh kabecikan. Sapa
nandur barang ora becik bakal ngundhuh kacilaka”; 2) sikap hidup sesanti panca setia,
guyubrukun, sanjan-sinanjan (saling mengunjungi), sayan (gotong royong, saling bantu
membantu) yang didasari semboyan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”, dan genten
kuat (saling tolong menolong) merupakan dasar ketentuan yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia; dan 3) sikap hidup yang menganggap lingkungan alam (air,
tanah, hutan, tegalan) sebagai sumbere panguripan mengatur hubungan manusia dengan
lingkungan alam. Selain itu masih terdapat kepercayaan bahwa tanah atau pekarangan
“angker” sehingga muncul sikap tidak boleh sembarangan menebang pohon, kecuali
kalau pohon itu mengganggu lingkungan. Hubungan manusia dengan alam diwujudkan
dalam suatu slogan yang berbunyi “tebang satu tanam dua”, artinya jika masyarakat
menebang satu pohon, maka dia harus menanam minimal dua pohon yang jenisnya sama.
b. Kelembagaan
Kelembagaan pada suatu masyarakat merupakan salah satu bentuk kearifan lokal,
berperan sebagai sistem kemasyarakatan yang mengatur struktur hirarki sosial dan
kelompok masyarakat, dapat berupa organisasi adat yang terdiri dari beberapa kelompok
adat. Demikian halnya yang terdapat pada Suku Tengger Desa Ngadisari, dimana
terdapat organisasi adat yang bertugas mengelola kehidupan masyarakat yaitu lembaga
pemuka agama dan lembaga dukun adat.
Konsep Hindu Tengger terdapat adanya pengelompokan antara sistem religi yang
bersumber dari ajaran ke-Tuhan-an berdasarkan agama Hindu dengan sistem adat yang
bersumber dari kepercayaan dan tradisi yang turun temurun dari nenek moyang Suku
Tengger. Namun demikian dalam tahap pelaksanaannya dilakukan asimilasi ajaran

7

agama Hindu dengan ajaran adat-istiadat/ kepercayaan Suku Tengger. Hal ini tercermin
dari selain melakukan aktivitas-aktivitas keagamaan berdasarkan ajaran agama Hindu,
masyarakat Suku Tengger juga secara patuh melaksanakan berbagai upacara adat.
Adanya pengelompokan kegiatan religi dan adat berpengaruh terhadap pembagian tugas
dan fungsi dari masing-masing lembaga pemuka agama dan lembaga dukun adat.
Lembaga pemuka agama, merupakan lembaga agama yang mewadahi ketua
dan pengurus kegiatan keagamaan di Desa Ngadisari. Struktur kepengurusan Lembaga
Pemuka Agama terdiri dari: 1) Mangku Gedhe, ketua agama yang bertugas mengurusi
dan memimpin pelaksanaan upacara-upacara keagamaan atau mengurusi urusan-urusan
yang berkaitan dengan keagamaan di Desa Ngadisari; 2) Mangku Gelar; dan 3) Mangku
Alit. Area yang disucikan dan menjadi wilayah tanggung jawab dari para Mangku adalah
Pura Dhang Kahyangan Kerti Jaya Buana yang merupakan tempat ibadah umat Hindu.
Lembaga dukun adat, berfungsi sebagai lembaga adat yang mewadahi ketua
dan pengurus adat. Struktur kepengurusan lembaga dukun adat terdiri dari: 1) Dukun
Adat, ketua adat yang mengurusi upacara adat; 2) Legen, bertugas untuk membuat
sesajian dan mendoakan sesajian pada saat upacara adat; 3) Sanggar; dan 4) Sepuh.
Dukun, Legen, Sanggar dan Sepuh bertanggungjawab atas padhanyangan (dhanyang)
yang merupakan area yang disucikan secara adat. Selain itu peran seorang dukun adat
adalah mengawasi pelaksanaan aturan-aturan adat dan hukum adat. Hal unik yang
terdapat dalam pranata kehidupan kemasyarakatan masyarakat Suku Tengger selain
pembagian tugas dan fungsi antara lembaga pemuka agama dan lembaga dukun adat
yaitu adanya konsepsi ruang yang membagi wilayah menjadi wilayah administrasi dan
wilayah adat. Seperti desa lain pada umumnya, wilayah administrasi Desa Ngadisari
dikepalai oleh seorang kepala desa, namun yang membedakan dengan desa kebanyakan
adalah dukun/tetua adat yang berperan penting dalam memimpin wilayah adat sebagai
seorang kepala adat.
Masyarakat Suku Tengger yang terbagi dalam dua wilayah adat, yakni sabrang
kulon (diwakili oleh Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan) dan sabrang
wetan (diwakili oleh Desa Ngadisari, Wanantara, Jetak, Kecamatan Sukapura,
Kabupaten Probolinggo) terdiri atas kelompok-kelompok desa yang masing-masing
dipimpin oleh kepala adat. Dengan demikian yang menjadi batas wilayah kerja dukun
adat adalah wilayah adat dan umat masyarakat yang terdapat di desa tempat menjabat
sebagai dukun adat. Di masing-masing kabupaten terdapat dukun koordinator wilayah
yang bertugas mengkoordinir dukun adat di wilayahnya. Dukun adat yang berada di
8

masing-masing wilayah desa komunitas Suku Tengger umumnya dihormati dan sangat
dipercaya karena peranannya yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat
Suku Tengger. Secara struktural dukun adat dalam kehidupan Masyarakat Suku Tengger
tergolong sebagai orang-orang terpandang yang menjadi tokoh panutan masyarakatdan
lebih dihormati dibanding lembaga aparatur desa.
Sebagai seorang kepala adat, dukun adat memiliki fungsi spiritual dan fungsi
sosial. Fungsi spiritual dukun adat yaitu memimpin upacara adat. Sedangkan fungsi
sosialnya adalah sebagai mediator antara masyarakat dan urusan yang berhubungan
dengan pemerintahan. Selain itu,dukun adat juga memiliki kewenangan tertentu dalam
pengambilan keputusan, aturan, sanksi, atau denda sosial bagi pelanggar peraturan dan
hukum adat. Sebagai contoh kewenangan dukun adat dalam pengambilan keputusan
adalah pada waktu terjadi bencana, dukun adat berhak menentukan kapan masyarakatnya
harus mengungsi atau tetap mendiami desa.
2. Pemanfaatan Ruang
a. Konsepsi ruang berdasarkan wilayah adat dan wilayah administrasi
Konsepsi ruang berdasarkan wilayah adat dan wilayah administrasi dapat
dijelaskan melalui dua aspek, yaitu batas wilayah berdasarkan penanda fisik dan penanda
non fisik. Batas wilayah administrasi berdasarkan penanda fisik dapat dinyatakan secara
jelas, misalnya jalan dan sungai. Demikian halnya dengan penanda fisik pada batas
wilayah adat yang berupa lokasi atau bangunan yang bersifat ritual seperti pura,
padhanyangan (dhanyang), dan makam dengan orientasi Gunung Bromo yang berfungsi
sebagai pusat aktivitas ritualnya (pancer).
Penanda non fisik pada batas wilayah adat dapat diamati dari setting perilaku
(behaviour setting) masyarakatnya, misalnya masih mengikuti kepercayaan, hukum,
aturan adat, bahasa, sifat dan sikap hidup Suku Tengger. Terkait dengan hal tersebut,
Pangarsa, et.al (1992) mengungkapkan bahwa ruang dalam tradisi arsitektur Tengger
dapat dijelaskan melalui konsepsi batas ruang, pada skala ruang makro (wilayah, desa
dan lingkungan) hingga skala ruang mikro (rumah tinggal). Dalam skala wilayah, ada
dua konsepsi ruang yang terjadi; wilayah adat dan wilayah administrasi. Batas wilayah
adat tidak setegas wilayah administrasi desa, dan kedua batas ini tidak selalu berimpitan.
Konsepsi Tengger Ngare, yang ditengarai melalui melalui wilayah pegunungan dialek
lokal maupun wilayah kerja dukun merupakan indikasi batas wilayah adat.

9

b. Orientasi peletakan elemen-elemen pembentuk permukiman
Pengidentifikasian nilai kearifan lokal pada permukiman dapat dilihat dari
aturan/ketentuan adat tertentu yang mengatur tentang orientasi peletakan elemen-elemen
pembentuk permukiman. Konsep arah yang berkembang dan menjadi kepercayaan turuntemurun masyarakat Suku Tengger mempunyai makna filosofis dan dilambangkan oleh
unsur warna tertentu. Makna yang terkandung dalam konsep arah ini kemudian
diinterpretasikan dalam ritual upacara Pujan Mubeng (Nrundhung) yang bertujuan
memohon keselamatan desa dan membersihkan desa dari gangguan dan bencana. Bentuk
penerapan makna filosofis yang terdapat pada konsep arah tersebut berdasarkan adat dan
kepercayaan masyarakat Suku Tengger adalah berupa sesajenjadah aneka warna (merah,
putih, kuning, hitam) yang mempunyai makna filosofis melambangkan empat penjuru
desa.
Di Desa Ngadisari terdapat pengaplikasian suatu aturan adat yang menjadi
landasan konsep arah dalam peletakan elemen-elemen pembentuk permukiman, antara
lain: 1) Makam terdiri dari makam keramat dan makam biasa. Ketentuan peletakan
makam keramat adalah di sebelah Utara desa dan jauh dari lokasi permukiman
penduduk. Kepercayaan yang diyakini masyarakat Suku Tengger terkait peletakan
makam adalah sebaiknya di luar areal permukiman dan ditempatkan di sebelah Utara.
Sejak dulu hingga sekarang lokasi makam keramat tetap ada di tempat yang sama dengan
luasan lahan yang tidak boleh bertambah ataupun berkurang. Sampai kapanpun makam
keramat harus tetap berada di tempat tersebut dengan luasan yang tetap; 2) Pura sebagai
tempat ibadah diletakkan di tempat yang disakralkan di tengah-tengah permukiman,
yaitu tempat dimana terdapat paling banyak sanggar pamujan di sekitarnya. Letak
Pura Dhang Kahyangan Kerti Jaya Buana di Desa Ngadisari adalah di sebelah Timur
Laut permukiman penduduk. Makna filosofis yang terkandung dari ketentuan peletakan
pura di sebelah Timur adalah karena menghadap ke arah matahari. Sebagai tempat yang
disakralkan,

pura

diletakkan

pada

kontur

lahan

yang

paling

tinggi;

3)

Padhanyangan (dhanyang) merupakan tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Suku
Tengger Desa Ngadisari. Letak padhanyangan (dhanyang) adalah di sebelah Selatan
desa dan berada pada satu orientasi dengan makam keramat (mengarah ke Gunung
Bromo); 4) Bangunan tempat tinggal (mikro) terbagi menjadi beberapa ruang
yaitu sanggar pamujan (tempat pemujaan), patamon (ruang tamu), paturon (kamar
tidur), pagenen (dapur), pedaringan (ruang penyimpanan), pakiwan (kamar mandi),
dan pekayon (tempat untuk menyimpan kayu). Ketentuan peletakan masing-masing
10

ruang adalah; a) sanggar pamujan diletakkan di depan rumah, harus menghadap ke
Timur atau Selatan, tidak boleh menghadap Barat dan Utara, b)patamon diletakkan di
bagian depan rumah, c) paturon harus berada di sebelah kanan arahpelawangan (pintu),
d) pagenen dan pedaringan diletakkan di belakang patamon dan dapat digabungkan, e)
peletakan pakiwan harus di bagian belakang rumah, f) pekayon merupakan ruang
tambahan, diletakkan di bagian belakang rumah.Selain itu juga ada ketentuan adat yang
menyatakan bahwa anak yang sudah berkeluarga tidak boleh membangun rumah di
sebelah kanan rumah orang tuanya; 5) Ladang/tegalan yang digunakan untuk pertanian
terletak di sebelah Selatan, Utara, dan Timur desa; dan 6) Gunung Bromo yang terletak
di sebelah Selatan diyakini sebagai poros (pancer) aktivitas spiritual seluruh masyarakat
Suku Tengger. Terdapat poros suci yang mengarah ke Gunung Bromo (Selatan) yang
menghubungkan antara makam keramat dan padhanyangan (dhanyang).
Mengenai konsep Gunung Bromo yang terletak di sebelah Selatan sebagai poros
aktivitas spiritual seluruh masyarakat Suku Tengger telah dinyatakan oleh Hefner (1985)
yang menyebutkan bahwa di Tengger, dugaan dari orientasi Selatan diikuti atas dasar
satu kepercayaan yang menyatakan bahwa Selatan diidentifikasi sebagai singgasana dari
Bromo atau Dewa Brahma. Hal ini dapat dilihat tidak hanya pada posisi pemakaman,
berdoa, pengucapan mantra yang menghadap arah selatan, atau di orientasi dari pintu
(pintu utama atau pelawangan), tapi juga di orientasi dari tempat-tempat suci. Dengan
Gunung Bromo sebagai pusat/ poros spiritual, berarti masyarakat selalu memperhatikan
Gunung Bromo setiap saat guna mengantisipasi segala kemungkinan (mitigasi)
c. Sistem penguasaan dan kepemilikan tanah
Berdasarkan hasil penelitian Sukari, et al. (2004), sikap hidup Suku Tengger yang
penting adalah tata tentrem (tidak banyak resiko), ojo jowal-jawil (jangan suka
mengganggu orang lain), kerja keras dan tetap mempertahankan tanah milik secara
turun-temurun. Seperti pada masyarakat Suku Tengger lainnya, sistem penguasaan dan
kepemilikan tanah diatur oleh aturan adat yang menyatakan larangan atau pantangan
terhadap penjualan tanah di luar masyarakat Suku Tengger. Apapun alasannya penjualan
tanah atau tanah warisan hanya boleh dilakukan antar sesama masyarakat Suku Tengger,
biasanya penjualan tanah atau tanah warisan diutamakan ke keluarga dekat. Tanah yang
dimiliki oleh masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari umumnya diperoleh dari hasil
warisan orang tuanya. Sistem pembagian tanah warisan juga masih dipertahankan sejak
saat ini dengan ketentuan pembagian yang sama rata antara anak laki-laki maupun

11

perempuan. Dengan peraturan adat seperti ini pengelolaan tanah tidak akan pernah
berubah dan terhindar dari masyarakat beresiko melakukan kegiatan berbahaya.
d. Adaptasi tempat tinggal terhadap iklim
Salah satu bentuk penerapan nilai kearifan lokal adalah adaptasi tempat tinggal
terhadap iklim. Kontruksi rumah tradisional Suku Tengger Desa Ngadisari mempunyai
kemampuan dalam beradaptasi terhadap iklim setempat. Karena adanya faktor adaptasi
terhadap iklim tersebut mengakibatkan adanya beberapa perubahan dan perkembangan
dalam penggunaan bahan material bangunan pada rumah tradisional masyarakat Suku
Tengger Desa Ngadisari dari waktu ke waktu.
Tampilan bangunan rumah tradisional Suku Tengger Desa Ngadisari dapat
dijelaskan berdasarkan tampilan muka bangunan (facade) dan bagian-bagian
perlengkapan bangunan yang meliputi atap, dinding, tiang, pintu, jendela. Kondisi
eksisting tampilan bangunan rumah tradisional Suku Tengger Desa Ngadisari adalah
sebagai berikut: 1) Atap, berbentuk limasan menyerupai limas tegak segitiga dengan sisi
kemiringan ±45°, terbuat dari seng; 2) Dinding, berupa tembok atau setengah tembok,
tembok terbuat dari bata sedangkan yang dimaksud setengah tembok adalah perpaduan
antara tembok dengan papan kayu; 3) Pintu, terbuat dari kayu; dan 4) Jendela, terbuat
dari kusen kayu dan kaca.
Karakteristik bentuk adaptasi rumah tradisional Suku Tengger Desa Ngadisari
terhadap iklim setempat dapat dijelaskan berdasarkan fungsi beberapa komponen yang
terdapat pada konstruksi bangunan tempat tinggalmaupun lingkungan di sekitarnya.
Kondisi iklim di Desa Ngadisari termasuk iklim tropis dengan suhu udara harian rata-rata
antara 16°-23°C. Perubahan dalam penggunaan bahan untuk atap pada rumah tradisional
Suku Tengger Desa Ngadisari disebabkan oleh faktor adaptasi terhadap iklim setempat.
Pada sekitar tahun 1950-an atap menggunakan bahan dari seng, tapi kemudian pada
tahun 1970-an diganti dengan menggunakan genteng. Namun ternyata rumah yang
atapnya menggunakan genteng justru menyebabkan suhu di dalam rumah menjadi
semakin dingin. Oleh karena itu, sejak tahun 1980-an atap pada rumah tradisional Suku
Tengger Desa Ngadisari diganti lagi dengan menggunakan bahan dari seng yang ternyata
lebih sesuai jika diaplikasikan untuk daerah yang beriklim dingin seperti di Desa
Ngadisari. Dari adanya perubahan dalam penggunaan bahan untuk atap tersebut dapat
didentifikasi bentuk nilai kearifan lokal yaitu melalui proses mencoba-coba (trial and

12

error) kemudian didapatkan hasil paling sesuai dan adaptif jika diterapkan. Dengan atap
tegak segitiga mengurangi resiko runtuh saat terjadi hujan abu vulkanik.
3. Pemeliharaan Lingkungan
a. Perkiraan musim untuk bercocok tanam
Musim merupakan salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari, khususnya terkait dengan keberlangsungan
sektor pertanian di wilayah tersebut. Sistem perhitungan perkiraan musim (pranoto
mongso) pada masyarakat Desa Ngadisari didasarkan pada sistem kalender Suku
Tengger yang membagi musim (mangsa) menjadi 12 mangsa, yaitu 1) kasa, 2) karo,
3) ketiga, 4) kapat, 5) kelimo, 6)kanem, 7) kepitu, 8) kewolu, 9) kesanga, 10) kesepuluh,
11) dhesta, 12) kesada. Dari ke-12 mangsa tersebut kemudian dikelompokkan lagi
menjadi empat, yaitu mareng, ketigo, rendheng, dan labuh.
Sistem kalender musim memperlihatkan pola kecenderungan kehidupan
masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari. Dalam kalender musim, terdapat dua bagian
utama, yaitu 1) kalender musim faktor alamiah yang berpengaruh terhadap pola kegiatan
musiman penduduk. Faktor alamiah tersebut meliputi jenis musim (hujan dan kemarau),
angin, dan lain sebagainya yang berpengaruh terhadap musim tanam sektor pertanian;
dan 2) Kalender musim faktor non-alamiah yang menginformasikan pola kegiatan
pertanian pada setiap komoditas yang meliputi masa tanam, perawatan, dan masa panen.
Khusus untuk waktu penanaman jagung terdapat larangan dan pantangan yang harus
dipatuhi yaitu pada hari kematian orang tua atau hari-hari naas berdasarkan perhitungan
tertentu menurut adat masyarakat Suku Tengger.
b. Sistem teknologi tradisional dalam pengelolaan ladang/tegalan
Pada dasarnya penggunaan teknologi dalam pengelolaan ladang/tegalan di Desa
Ngadisari dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan. Sistem
penanaman menggunakan sistem tumpang sari. Karena kontur lahan yang cukup curam,
untuk menghindari tanah longsor dan erosi maka dibuat sistem terasering dengan
membuat lahan berpetak-petak yang disebut bedengan.
Peralatan yang digunakan untuk mengolah tanah adalah peralatan tradisional
pertanian seperti: cangkul, sabit, garpu dan keranjang, serta tangki penyemprot. Untuk
mempermudah dalam menjangkau areal ladang/ tegalan yang curam maka petani di Desa
Ngadisari memakai sepatu boot. Sedangkan terkait dengan sistem penanaman,
masyarakat Desa Ngadisari memakai aturan tertentu yang mengelompokkan penanaman
13

tanaman tertentu pada satu petak lahan. Tanaman berakar kuat misalnya cemara banyak
di tanam di ladang/tegalan Desa Ngadisari untuk mencegah longsor dan erosi, selain
akarnya kuat kayunya juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Jenis pupuk yang
dipakai sangat mengutamakan penggunaan pupuk kandang/kompos yang menurut
masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari termasuk ramah lingkungan dan tidak merusak
tekstur dan kesuburan tanah. Pemberantasan hama menggunakan cara manual dengan
mengambil hama langsung dari tanaman kemudian ditanam di tanah atau diinjak dan
memakai obat pemberantas hama.
c. Sistem pemeliharaan hewan ternak
Peternakan yang dibudidayakan di Desa Ngadisari adalah peternakan sapi dan
babi. Bentuk penerapan kearifan lokal masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari dalam
sistem pemeliharaan hewan ternak, yaitu dengan peletakan kandang yang lokasinya jauh
dengan permukiman penduduk. Peletakan kandang ternak yang jauh dari permukiman ini
merupakan wujud tindakan tindakan yang arif lingkungan. Selain hal tersebut,
masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari juga memanfaatkan kotoran ternak untuk
dibuat pupuk kandang yang mampu menyuburkan tanpa merusak tekstur tanah namun
juga ramah lingkungan.
d. Sistem pengelolaan dan perlindungan hutan dan sumber-sumber air
Nilai kearifan lokal pada masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari terkait sistem
pengelolaan dan perlindungan hutan adalah dengan mengklasifikasikan hutan dan
memanfaatkannya. Dalam wilayah Desa Ngadisari hanya terdapat kawasan hutan
lindung yang dikelola oleh pihak Perhutani. Hutan lindung ini berguna untuk menjaga
keseimbangan struktur tanah dan melestarikan tanah. Masyarakat Suku Tengger Desa
Ngadisari memiliki kesadaran yang tinggi dalam mengelola hutan. Bukti keperdulian
masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari dalam kegiatan ikut serta memelihara hutan
adalah dengan tidak menebang hutan secara sembarangan. Sikap dalam pengelolaan dan
perlindungan hutan ini dilandasi oleh slogan yang dipatuhi, berbunyi “tebang satu tanam
dua” yang artinya jika menebang satu pohon, maka harus menanam minimal dua pohon
yang jenisnya sama.
Kegiatan

pengelolaan

sumber-sumber

air

yang

dilakukan

antara

lain

membersihkan dan merawat sumber air, melakukan penghijauan di sekitar sumber air
serta melakukan perbaikan pada saluran yang merusak badan jalan akibat longsor.
Perbaikan saluran dilakukan dengan membuat tambak atau tanggul tanah yang
14

dimasukkan ke dalam karung kemudian ditumpuk.Kegiatan pengelolaan sumber-sumber
air ini juga menjadi salah satu kegiatan sosial yang merupakan kegiatan mingguan bagi
masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari adalah gotong-royong membersihkan bak
penampungan air umum.
4. Tradisi-tradisi dan Upacara Masyarakat Tengger
Dalam upaya pemeliharaan lingkungan, masyarakat Suku Tengger Desa
Ngadisari melakukan beberapa tradisi ritual berdasarkan adat dan kepercayaan mereka,
yaitu

melakukan

Upacara

Leliwet,

ngamongi jagung), Wiwit, Hari Raya

Pujan, Munggah

Sigiran (Among-among/

Kasada, Mayu (Mahayu)

Desa, Mayu Banyu

dan Pujan Mubeng (Narundhung).

Hari Raya Kasada, digelar setiap tahun pada bulan purnama di bulan Desember
atau Januari. Hari Raya Kasada memiliki kisah, bermula sejak abad ke-15 bermula dari
sebuah cerita tentang seorang puteri Roro Anteng yang meminpin kerajaan Tengger
dengan suaminya Joko Seger. Pasangan ini tidak memilki anak, oleh karena itu mereka
berdoa dan memohon kepada dewa-dewa gunung untuk diberikan anak. Dari
permohonan mereka di karuniai 25 anak, kemudian dewa memerintahkan agar
mengorbankan anak terakhir (Raden Kusuma) untuk dilempar ke gunung berapi dan
apabila permintaan tidak dilakukan akan ada bencana besar yang menimpa. Permintaan
dewa itupun dilaksanakan, sehingga menjadi tradisi sampai saat ini dengan melemparkan
hasil bumi dan ternak. Suku Tengger Percaya dengan hal tersebut, gunung-gunung tidak
akan marah kepada mereka. Oleh karena itu masyarakat Tengger berkumpul, berdoa dan
melakukan ritual larung sesaji dari hasil pertaniannya dengan tetap menjalankan nilainilai adat kebudayaan nenek moyangnya.
15

D. Persepsi Masyarakat Tengger terhadap Ancaman Erupsi: Gunung Bromo itu
Saudara dan Orang Tua Kami
Masyarakat Desa Ngadirejo sudah turun temurun tinggal dilereng Gunung.
Pertanian merupakan kegiatan utama masyarakat Ngadirejo untuk mencukupi kebutuhan
hidup. Keterampilan bercocok tanam diturunkan oleh nenek moyang dan diterusakan
hingga anak cucunya. Lereng Tengger menjadi tempat tinggal paling ideal bagi
masyarakat Ngadirejo meskipun suhu udara mencapai 15 oC. Hasil erupsi Gunung Bromo
seringkali menimpa desanya namun masyarakat Desa Ngadirejo tetap mendiami lereng
Gunung Tengger.
Gunung Bormo yang menjadi salah satu ancaman tinggal di daerah lereng
Gunung Tengger dianggap sebagai saudara sendiri oleh masyarakat. Menurut mitos
masyarakat setempat, Gunung Bromo merupakan titisan dari Raden Kusuma, anak dari
Joko Seger dan Roro Anteng yang menjadi tumbal untuk Gunung Bromo agar tidak
marah. Legenda ini peroleh dari cerita tetua suku Tengger yang juga orang tua dari
teman penulis saat penulis mengunjungi Gunung Bromo beberapa hari saat terjadi erupsi
tahun 2010. Bagi penulis yang turut simpati dengan mengunjungi teman yang berasal
dari suku Tengger tersebut merasa bahwa masyarakat tidak takut menghadapi erupsi
Gunung Bromo dan percaya pada legenda yang telah ada ratusan tahun. Seperti yang
diceritakan salah satu tetua suku Tengger dan kemudian penulis melakukan wawancara
telepon sebagai berikut:
“Makanya kalau sampai terjadi apa-apa sampai Bromo itu meletus kita tidak
boleh takut, karena tidak mungkin saudara kita membunuh saudaranya sendiri itu tidak
mungkin. Nah ternyata saya rasakan itu ya betul juga mas, ternyata di tahun 2010 desa
sini yang paling parah, ternyata istilahnya korban jiwa tidak ada”. (Wawancara telepon
pada tanggal 5 Juli 2014)
Tidak adanya korban jiwa pada kejadian erupsi sebelumnya menjadikan
masyarakat tidak takut untuk tinggal di daerah Gunung Bromo. Erupsi tahun 2010-2011
yang berlangsung hingga Sembilan bulan, tidak membuat masyarakat Desa Ngadirejo
mengunsi meskipun kehidupan mata pencahariannya mati total selama masa erupsi
karena menganggap Gunung Bromo yang sumber kehidupan seperti orang tua.
Masyarakat tahu bahwa Desa Ngadirejo merupakan “jalur” lewatnya material erupsi
setiap kali Gunung Bromo Erupsi. Namun hal itu dianggap sebagai berkah tersendiri.
Material erupsi seperti abu dianggap sebagai pupuk bagi pertaniannya. Hasil pertanian
biasanya meningkat setelah pasca erupsi.
16

Cara masyarakat membaca tanda alam juga mempengaruhi persepsi mereka.
Tanda alam seperti hasil melimpah merupakan pertanda bagi mereka bahwa Gunung
Bromo akan erupsi lagi. Tanda yang ada disekitar lingkungan, masyarakat gunakan
sebagai alarm tanda bahaya, hal itu dipercayai masyarakat meskipun belum dapat dikaji
dari segi ilmu pengetahuan. Material erupsi seperti abu dan pasir tidak dianggap bahaya
oleh masyarakat dibanding dengan material erupsi awan panas yang dikeluarkan Gunung
Merapi. Masyarakat dapat mengatakan “untung” (beruntung), meskipun lahan pertanian
rusak total akibat erupsi Gunung Bromo.
Persepsi yang terbangun di dalam masyarat Desa Ngadirejo terhadap bahaya
erupsi Gunung Bromo adalah persepsi positif. Masyarakat merasa nyaman tinggal di
kawasan gunung. Kerugian di sektor pertanian tidak menjadikan masalah bagi
masyarakat Nagdirejo. Erupsi gunung bukan sebagai musibah, melainkan sebagai
keberuntungan bagi masyarakat tengger. Hal ini dilihat dari tanggapan masyarakat saat
erupsi Gunung Bromo tahun 2010-2011, tidak ada masyarakat yang mau mengungsi
meskipun desanya dihujani abu dan pasir selama sembilan bulan.
BPBD Kab. Probolinggo sebagai badan koordinasi bencana mempunyai tanggung
jawab beasr pada saat erupsi Gunung Bromo. Desa Ngadirejo dilihat dari peta KRB yang
dikeluarkan BNPB termasuk dalam kawasan KRB III merupakan kawasan bahaya
tingkat satu yang masyarakatnya harus mengungsi jika gunung Bromo erupsi.
Pemerintah sudah menyiapkan jalur evakuasi dan tenda pengungsian namun masyarakat
tidak mau mengungsi. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan masyarakat bahwa erupsi
Gunung Bromo merupakan Kehendak Sang Hyang Widi yang harus dijalani dengan
ikhlas. Pemerintah tidak dapat memaksa karena keyakainan dalam masyarakat bahwa
Gunung Bromo tidak akan menimbulkan korban jiwa. Langkah yang dilakukan
pemerintah dengan memantau situasi, menyiagakan aparat TNI maupun Polri di lokasi
kejadian. Alat transportasi disediakan bila sewaktu-waktu evakuasi harus dilakukan.
Berkoordinasi dengan PVMBG untuk mengetahui status terbaru saat erupsi Gunung
Bromo. Kepala Desa harus melaporkan kondisi warganya. Prioritas BPBD Probolinggo
adalah penyelamatan nyawa manusia.
Persepsi terhadap bahaya dibangun oleh pengetahuan seseorang/ masyarakat
mengenai bahaya tersebut (Bhatti, 2007). Mayarakat desa Ngadirejo yang sudah ratusan
tahun tinggal di lereng Gunung Tengger mempunyai padangan sendiri terhadap Gunung
Bromo. Gunung Bromo dianggap sebagai pusat kosmologi, kepercayaan, Ibu mereka,
dan saudaranya yang menghuni gunung tersebut. persepsi yang terbentuk dalam
17

masyarakat dipengaruhi oleh sektor budaya yang kuat dan sudah diturunkan dari generasi
ke generasi (Bhatti, 2007). Hal ini mempengaruhi pola pikir masyarakat tentang gunung
dan bahayanya.
Erupsi Gunung Bromo sebelumnya dan yang terparah pada tahun 2010-2011
menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat terutama di bidang pertanian. Ratusan
hektar ladang rusak dan tidak dapat diolah selama lebih dari satu tahun. Kejadian ini
tetap diterima masyarakat Tengger dengan “legowo” bahkan mereka menganggap ini
sebagai berkah dari Sang Hyang Widi. Saat kejadian erupsi tidak ada masyarakat yang
mengungsi karena keyakinannya bahwa Gunung Bromo tidak akan membahayakan
nyawanya.
Pola pikir seperti ini menyebabkan terbentuknya persepsi positif di masyarakat
Tengger. Masyarakat Tengger menggap masyarakat merupakan bagian dari lingkungan
gunung. Tanah, air, dan hutan adalah sumber kehidupannya, bahkan abu dan pasir dari
hasil erupsi dapat dimanfaatkan. Anggapan ini dimasukkan dalam mitos maupun adat
istiadat masyarakat seperti cerita mitos maupun adat istiadat masyarakat seperti asal usul
Tengger (Joko Seger dan Roro Anteng). Masyarakat Tengger sudah tidak merasa bahwa
Gunung Bromo berbahaya, sehingga tidak ada tanggapan yang diberikan pada saat
Gunung Bromo erupsi. Hal ini merupakan bentuk persetujuan masyarakat pada alam
bahwa masyarakt menerima resiko hidup di daerah gunung dengan menganggap
ancaman sebagai berkah.
E. Masyarakat Tengger Hidup Berdampingan dengan Gunung Bromo
UN 2009 Risk and Poverty dalam buku Asian Tsunamy (Jayasurya, 2011) yang
menuliskan bahwa kerugian bencana global tertinggi terkonsentrasi di negara miskin.
Lebih lanjut dalam buku tersebut, yang memperparah resiko bencana di negara miskin
yaitu pemerintah yang lemah, masyarakat rentan khususnya di pedesaan, dan degradasi
lingkungan (ekosistem). Dalam kasus bencana lain dan khususnya Tsunami yang dalam
buku tersebut membuktikan hal tersebut, namun masyarakat Tengger memiliki kapasitas
mengahdapi bencana melalui pengetahuan, pengalaman dan kearifan lokal yang telah ada
selama ratusan tahun. Kearifan lokal masyarakat Tengger seakan menjawab temuan dari
United Nations, dengan pengetahuan dan kearifan lokal melalui segala kegiatan tidak ada
korban jiwa, pemerintah terbantu dengan kerjasama masyarakat, dan tentunya dengan
kearifan lokal, lingkungan Pegunungan Tengger masih terjaga dengan baik.

18

Pengalaman masyarakat yang telah lama tinggal dilereng gunung, memberikan
pengetahuan masyarakat untuk mempelajari alam dan beradaptasi dari ancaman bahaya
Gunung Bromo. Secara umum masyarakat Tengger dikenal menganut kepercayaan
Hindu yang sangat kuat. Ajaran ini menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Tengger
dalam memperlakukan sesamanya, alam, maupun Sang Pencipta. Berlakuknya hukum
adat menjadi pengendali sosial bagi masyarakat Tengger. Rasa takut akan hukum karma
masih di pegang teguh oleh masyarakat Tengger. Lembaga agama dan adat juga turut
berperan saat erupsi dan pascaerupsi dengan bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten
Probolinggo dan lembaga terkait. Lembaga agama dan adat sangat dipercaya oleh
masyarakat, oleh karena itu pada saat terjadi erupsi lembaga agama dan adat menjadi
sangat penting. Keputusan evakuasi ataupun tinggal di kampung akan dilaksanakan
sepenuhnya oleh masyarakat. Lembaga agama dengan adat meskipun dapat membaca
aktifitas Gunung Bromo dengan pengetahuannya dan kepercayaannya, juga mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan kegunungapian dan bekerjasama dengan PVMBG serta
lembaga lain.
Konsepsi ruang melalui ritual Pujan Mubeng (Nrundhung) yang bertujuan
memohon keselamatan desa dan membersihkan desa dari gangguan dan bencana, seperti;
1) makam di utara, jauh dari lokasi permukiman (luasan tetap), 2) pura di timur karena
menghadap matahari, 3) ladang/ tegalan di sebelah selatan, utara, dan timur, dan 4)
Gunung Bromo di selatan sebagai poros (pancer) diidentifikasi sebagai singgasana dari
Bromo atau Dewa Brahma, menjadi orientasi posisi pemakaman, berdoa, pengucapan
mantra yang menghadap arah selatan, pintu utama atau pelawangan, tempat-tempat suci,
dan bertujuan untuk selalu mengamati Gunung Bromo setiap saat. Sistem penguasaan
dan kepemilikan tanah dengan tata tentrem, ojo jowal-jawil (tidak mengganggu orang
lain), kerja keras dan tetap mempertahankan tanah milik secara turun-temurun
memperlihatkan kearifan menjaga lingkungan dan menjaga dari campur tangan orang
luar terhadap pengelolaan ruang.
Perubahan bahan baku dan struktur pemukiman memperhatikan perubahan iklim,
misalnya; perpindahan penggunaan genteng ke seng karena seng lebih tepat digunakan di
daerah dingin. Selain itu dengan atap 45o akan memudahkan abu vulkanik yang
menumpuk diatap rumah yang akan merobohkan rumah warga. Selama masa erupsi dan
pascaerupsi masyarakat Desa Ngadirejo dapat bertahan mengahadapi bencana, salah
satunya adalah pengaruh budaya yang kuat dari komunitas Tengger. Budaya masyarakat
berbeda dengan masyarakat lain, karena sistem sosial hubungan sosial didasarkan pada
19

kesatuan hidup yaitu adanya ikatan tempat kehidupan bersama (Macmud, 2003). Adanya
hubungan ini dipengaruhi oleh hubungan religious karena masyarakat Tengger dikenal
dengan penganut kepercayaan Hindu yang sangat kuat. Hubungan religious terjadi
diantara penduduk, mereka saling berinteraksi dan berhubungan karena didasari suatu
tujuan yang sama.
Degradasi lingkungan di negara miskin nampaknya tidak terjadi di masyarakat
Tengger. Hal ini terlihat dari cara bercocok tanam dengan menempatkan tanaman
berakar kuat misalnya cemara banyak di tanam di ladang/tegalan Desa Ngadisari untuk
mencegah longsor dan erosi, selain akarnya kuat kayunya juga bisa dimanfaatkan sebagai
bahan bangunan. Jenis pupuk yang dipakai sangat mengutamakan penggunaan pupuk
kandang/kompos yang menurut masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari termasuk
ramah lingkungan dan tidak merusak tekstur dan kesuburan tanah. Peletakan kandang
yang lokasinya jauh dengan permukiman penduduk. Peletakan kandang ternak yang jauh
dari permukiman ini merupakan wujud tindakan tindakan yang arif lingkungan. Selain
itu masyarakat Tengger mengklasifikasikan hutan dan memanfaatkannya. Masyarakat
Suku Tengger Desa Ngadisari memiliki kesadaran yang tinggi dalam mengelola hutan.
Sikap dalam pengelolaan dan perlindungan hutan ini dilandasi oleh slogan yang dipatuhi,
berbunyi “tebang satu tanam dua” yang artinya jika menebang satu pohon, maka harus
menanam minimal dua pohon yang jenisnya sama.
Sistem sosial ini menjadi keuntungan bagi masyarakat Tengger karena dapat
digunakan sebagai kekuatan pada saat terjadi bencana. Selain sistem sosial tersebut,
pengetahuan lokal warisan dari nenek moyang masyarakat Tengger juga bermanfaat
dalam penanggulangan bencana erupsi Gunung Bromo. Pengetahuan tersebut diturunkan
secara generasi ke generasi dengan interaksi yang terjalin dari berbagai media seperti
upacara adat dan tumang/ tungku (berkumpul di dapur). Nilai lokal masyarakat Tengger
di transformasikan dalam kehidupan ekonomi, sistem bercocok tanam, pengolahan lahan,
menghargai alam dan hidup berdampingan dengan Gunung Bromo (Nugroho, 2011).
Adanya inisiatif dari masyarakat untuk mengupayakan cara-cara pengurangan resiko
bencana dengan cara mereka sendiri menjunjukkan hal tersebut merupakan upaya
mitigasi bencana secara mandiri dari masyarakat dengan memanfaatkan kearifan lokal
dan pengalaman.

20

F. Kesimpulan
Pengalaman masyarakat yang telah lama tinggal dilereng gunung, memberikan
pengetahuan masyarakat untuk mempelajari alam dan beradaptasi dari ancaman bahaya
Gunung Bromo. Upacara adat yang sering dilakukan dapat menjaga kebersamaan dan
gotong royong masyarakat tengger. Kearifan lokal masyarakat Tengger dalam bencana
sebagai berikut:
1. Dengan menempatkan bromo sebagai poros dan semua menghadap ke gunung
menandakan masyarakat selalu memantau aktivitas gunung yang setiap saat bisa
meletus.
2. Lembaga-lembaga adat sangat dipatuhi dan sangat terbuka terhadap masukan
mengenai becana.
3. Kebersamaan dalam menghadapi musibah
4. Pelestarian lingkungan oleh masyarakat melalui aturan adat sebagai upaya
mitigasi mengurangi bencana longsor, hama penyakit, kelaparan, dan konflik
sosial
Nilai lokal masyarakat Tengger ditransformasikan dalam kehidupan ekonomi,
sistem bercocok tanam, pengolahan lahan, menghargai alam dan hidup berdampingan
dengan Gunung Bromo. Hal ini sangat besar pengaruhnya pada masyarakat Tengger
yang hidup bersama dengan gunungapi dan upaya meminimalkan resiko bencana.

Referensi
Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. 2006.
Bhatti, Amjad. 2007. “Risk Perception, Culture and Communication: A South Asian
Experience”.
Ernawi. 2009. Kearifan Lokal Dalam Perspektif Penataan Ruang. Malang: Unmer.
Handmer, J and Dovers, S. 2007. The handbook of disaster and emergency policies and
institutions. London: Earthscan
Jayasuriya, S and McCawley, P. 2010. The Asian Tsunamy. ADBI. UK: Edwar Elgar
Machmud, M. 2003. Mitos dan Adat Istiadat Masyarakat Tengger. Yogyakarta: LkiS.
Pangarsa, G. W., Pamungkas, S. T. & Subekti, H. 1993. Studi Transformasi Arsitektur
Vernakular dan Permukiman di Desa Ngadisari sebagai Dasar Pertimbangan
Kebijaksanaan Pengembangan Industri Pariwisata. Universitas Brawijaya.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). 2007.
21

Salvina D.S, Vina. 2003. Modal Sosial Masyarakat adat Tengger Dalam Menjaga
Tatanan Sosial. Yogyakarta: LkiS dan UMM Press.
Sukari, et al. 2004. Kerifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Tengger Pasuruan Jawa
Timur. Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
UNDP, 2004. Reducing Disaster Risk: A Challenger for Development. New York
Utami, Sri. 2011. “Bertani Selaras Alam di Lereng Merapi”. Yogyakarta: Sek