Sistem Manajamen Mutu Penilaian Terstand

Sistem Manajamen Mutu Penilaian Terstandar di Perguruan Tinggi Agama Islam
Berbasis Ulul Albab
Alfin Mustikawan, M.Pd
el.mustikawan@gmail.com
Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Maliki Malang
A. Pendahuluan
Pada era global semua negara berkompetisi untuk meningkatkan mutu
pendidikan, karena melalui pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan sumber
daya manusia yang handal, yaitu yang mampu mengelola sumber daya alam secara
efektif dan efisien. Dengan demikian produktivitas negara yang memiliki sumber daya
manusia yang berkualitas akan cukup besar.
Peningkatan mutu pendidikan, baik di pendidikan dasar, menengah dan tinggi
harus memperhatikan banyak faktor. Peningkatan mutu pendidikan bukan hanya
ditentukan oleh adanya perencanaan dan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu,
namun juga diperlukan adanya sistem pengukuran dan penilaian secara cermat. Dali S.
Naga,menyatakan bahwa sistem penilaian di perguruan tinggi adalah hal yang sangat
penting bagi perguruan tinggi untuk meningkatkan mutu perguruan tingginya atau
setidaknya, tidak menurunkan mutu yang telah ada, maka perlu mempertimbangkan
sejumlah tindakan di dalam sistem penilaian di perguruan tinggi tersebut1.
Penilaian merupakan komponen yang penting dalam setiap sistem pendidikan
untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sistem Penilaian yang tidak jelas dengan

sendirinya menyebabkan hasil penilaian juga tidak jelas. Secara berkesinambungan
disetiap perguruan tinggi, hasil penilaian membuahkan lulusan dan bahkan gelar.
Ketidakjelasan di dalam sistem penilaian di perguruan tinggi dengan sendirinya
menimbulkan masalah di dalam penyikapan masyarakat terhadap para lulusan dan para
penyandang gelar dari perguruan tinggi.
Data dan informasi tentang pencapaian hasil belajar akan menggambarkan
pencapaian hasil pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu lembaga pendidikan.
Artinya bahwa berhasil tidaknya penyelenggaraan suatu pendidikan harus dilihat
berdasarkan data dan informasi yang ada. Data dan informasi tersebut dapat diperoleh

11

Dali S. Naga. (2005). Pengembangan Sistem Penilaian pada Perguruan Tinggi di Era Otonomi.
Yogyakarta: HEPI:22

dengan menggunakan penilaian prestasi belajar. Oleh karena itu penilaian prestasi
belajar ini haruslah dilakukan oleh orang yang berkompeten.
Pada kenyataannya penilaian pendidikan belum ditangani secara profesional
oleh orang yang terlatih untuknya. Kondisi tersebut disebabkan oleh karena pengelolaan
soal masih dilakukan secara "ad hoc", sehingga penyusunan kisi-kisi, penulisan,

penelaahan soal hanya dilakukan dalam waktu yang singkat dan tergesa-gesa, serta
sering kali dilakukan oleh orang yang belum sengaja dipersiapkan untuk tujuan tersebut.
Banyaknya persyaratan dalam membuat penilaian prestasi belajar menunjukkan
bahwa untuk melakukan penilaian prestasi belajar dengan baik bukanlah merupakan
proses yang sederhana, tetapi memerlukan persiapan atau perencanaan yang matang.
Oleh karena itu, agar dosen mampu melakukan penilaian prestasi belajar yang valid dan
berkualitas baik, maka dosen dituntut untuk memiliki sejumlah pengetahuan dan
keterampilan dalam melakukan penilaian, sehingga keputusan mengenai keberhasilan
mahasiswa mengikuti suatu mata kuliah tidak hanya didasarkan pada hasil ujian tengah
semester dan ujian akhir semester, tetapi juga memperhitungkan partisipasi mahasiswa
selama mengikuti perkuliahan, dan kualitas tugas yang dikerjakan. Dengan demikian,
prinsip integralitas penilaian akan tercapai.
Sistem Penilaian yang tidak jelas dengan sendirinya menyebabkan hasil
penilaian juga tidak jelas. Secara berkesinambungan disetiap perguruan tinggi, hasil
penilaian membuahkan lulusan dan bahkan gelar. Ketidakjelasan di dalam sistem
penilaian di perguruan tinggi dengan sendirinya menimbulkan masalah di dalam
penyikapan masyarakat terhadap para lulusan dan para penyandang gelar dari
perguruan tinggi.
Pada dasarnya penilaian dilakukan untuk mengetahui keberhasilan mahasiswa
menguasai kompetensi dasar. Penilaian mencakup jenis tagihan, instrumen dan

prosedur yang digunakan untuk menilai pencapaian kompetensi. Jenis tagihan dapat
berupa tugas-tugas, partisipasi mahasiswa dalam perkuliahan, ujian tengan semester
dan ujian akhir semester. Instrumen penilaian dapat berbentuk tes lisan, tes tulisan, tes
tindakan, sedangkan untuk menilai aspek afektif dapat digunakan wawancara,
observasi, dan kuesioner.
Data dan informasi tentang pencapaian hasil belajar akan menggambarkan
pencapaian hasil pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu lembaga pendidikan.

Artinya bahwa berhasil tidaknya penyelenggaraan suatu pendidikan harus dilihat
berdasarkan data dan informasi yang ada. Data dan informasi tersebut dapat diperoleh
dengan menggunakan penilain prestasi belajar. Oleh karena itu penilaian prestasi
belajar ini haruslah dilakukan oleh orang yang berkompeten.
Prestasi belajar yang dicapai mahasiswa selain ditentukan oleh kemampuan
mahasiswa juga tergantung pada sistem penilaian yang dilakukan. Karena pada
dasarnya skor yang diperoleh seseorang terdiri dari skor murni dan skor kesalahan.
Kesalahan ini disebabkan oleh kesalahan cuplikan bahan yang diteskan maupun
kesalahan testee itu sendiri. Sistem penilaian yang baik diharapkan dapat memberikan
informasi yang valid tentang kemampuan mahasiswa.
Hasil penilaian terhadap prestasi belajar mahasiswa akan digunakan sebagai
masukan dan pertanggungjawaban kepada pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan,

seperti lembaga pendidikan, dosen, orang tua, dan mahasiswa. Masukan-masukan yang
diperoleh sangat berguna dalam memotivasi mahasiswa belajar dan dosen mengajar
yang lebih baik. Dengan demikian peningkatan mutu pendidikan akan mudah tercapai.
B. Konsep Dasar Penilaian
Sistem sebagai suatu cara digunakan misalnya oleh Nana Sudjana dalam
mengartikan sistem penilaian. Menurut Nana Sudjana sistem penilaian merupakan suatu
cara yang digunakan dalam menentukan derajat keberhasilan hasil penilaian sehingga
kedudukan siswa dapat diketahui, apakah telah menguasai tujuan instruksional ataukah
belum2. Dari pengertian tersebut Nana Sudjana membagi sistem penilaian menjadi dua
sistem, yaitu penilaian acuan norma (PAN) dan penilaian acuan patokan (PAP).
Sebelum diuraikan lebih lanjut mengenai pengertian sistem penilaian dalam
konteks penelitian ini, maka akan diuraikan terlebih dahulu beberapa istilah yang
berhubungan dengan konsep pengujian dan sering digunakan untuk mengetahui
keberhasilan belajar peserta didik. Istilah tersebut yaitu, pengukuran, penilaian dan
evaluasi. Ketiga istilah tersebut dipandang perlu untuk dijelaskan mengingat ketiganya
merupakan suatu hirarki3. Untuk melakukan penilaian terlebih dahulu melalui proses
pengukuran. Data hasil pengukuran dan informasi hasil penilaian digunakan dalam
2

3


Nana Sudjana. (1998). Dasar- dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo

Griffin, P. & Nix, P. (1991). Educational Assessment and Reporting: A New Approach. Sydney:
Harcourt Brace Jovanovich:3

melakukan judgment terhadap evaluasi suatu program. Berdasarkan pendapat tersebut
maka pengukuran, penilaian dan evaluasi merupakan rangkaian kegiatan yang saling
menunjang.
Pengukuran menurut Allen & Yen adalah cara yang sistematik untuk menyatakan
keadaan individu4, sedangkan menurut Guilford ,pengukuran adalah proses penetapan
angka terhadap suatu gejala menurut aturan tertentu". Berdasarkan pengertian
pengukuran yang dikemukakan di atas dapat dikatakan bahwa pengukuran adalah suatu
proses untuk mendapatkan informasi dalam bentuk angka-angka dari karakteristik
individu dengan menggunakan alat tertentu berdasarkan prosedur dan aturan yang
jelas5.
Penilaian atau asesmen adalah istilah umum yang mencakup semua metode
yang biasa digunakan untuk menilai kemampuan individu peserta didik atau kelompok.
Proses penilaian mencakup pengumpulan bukti untuk menunjukkan pencapaian belajar
peserta didik. penilaian merupakan suatu pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk

menjelaskan karakteristik seseorang atau sesuatu6. Definisi penilaian berhubungan
dengan setiap bagian dari proses pendidikan. Bukan hanya keberhasilan belajar saja,
tetapi mencakup semua proses belajar dan mengajar. Kegiatan penilaian tidak terbatas
pada karakteristik peserta didik saja, tetapi juga mencakup karakteristik metode
mengajar, kurikulum, fasilitas, dan administrasi sekolah.
Menurut Gronlund & Linn ada beberapa prinsip penilaian

yang harus

dipertimbangkan agar kegiatan penilaian efektif yaitu: (a) adanya pembatasan dengan
jelas apa yang diutamakan untuk dinilai, (b) teknik penilaian yang dipilih harus sesuai
dengan karakteristik atau kemampuan yang akan diukur, (c) penilaian secara
komprehensif membutuhkan berbagai jenis teknik penilaian, (d) sebaiknya disadari
bahwa teknik penilaian yang digunakan memiliki keterbatasan, dan (e) penilaian harus
dapat digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar para peserta didik 7.
Nana Sudjana mengemukakan beberapa prinsip penilaian, yaitu (a) dalam
menilai hasil belajar hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga jelas abilitas yang
4

Allen, M. J., & Yen, W.M. (1979). Introduction to Measurement Theory. Monterey, Ca: Brooks/Cole

Publishing Company:2
5
Griffin, P. & Nix, P. (1991).:5
6
Ibid:4
7

Gronlund, N. E. & Linn, R. L. (1990). Measurement and Evaluation in Teaching. New York:
Macmillan Publishing Company.6-8

harus dinilai, materi penilaian, alat penilaian, dan interpretasi hasil penilaian, (b)
penilaian hasil belajar hendaknya menjadi bagian integral dari proses belajar-mengajar,
(c) agar diperoleh hasil belajar yang objektif, penilaian harus menggunakan berbagai
alat penilaian dan sifatnya komprehensif, (d) penilaian hasil belajar hendaknya diikuti
dengan tindak lanjut8. Menurut Djemari Mardapi prinsip penilaian yang penting adalah
akurat, ekonomis, dan mendorong peningkatan kualitas pembelajaran9. Akurat berarti
hasil penilaian mengandung kesalahan sekecil mungkin, dan ekonomis berarti sistem
penilaian mudah dilakukan dan murah. Prinsip lain yang penting yaitu prinsip
menyeluruh, berkesinambungan, berorientasi pada tujuan (kompetensi), objektif,
terbuka, kebermaknaan, kesesuaian, mendidik, menggunakan acuan kriteria, dan

adanya tindak lanjut10.
C. Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Profil perguruan tinggi yang berbeda menyebabkan orientasii mutu juga berbeda.
Perhatian utama tentang mutu masih berkisar sebatas bagaimana usaha yang perlu
dilakukan untuk meningkatkan mutu. Melalui berbagai kebijaksanaan baik yang tertuang
dalam GBHN, pemerintah telah menunjukkan perlunya perbaikan mutu yang dijabarkan
dalam program-program pendidikan tinggi. Hasil evaluasi Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi menunjukkan bahwa waktu rata-rata mahasiswa menyelesaikan studinya masih
terlalu panjang dibandingkan dengan waktu acara program studi. Sebagai contoh untuk
tahun 1999/2000, hanya 47% mahasiswa program DIII dan 51% mahasiswa program S1
yang dapat menyelesaikan studinya seperti yang diharapkan. Selain itu, produktivitas
lulusan, yaitu perbandingan antara jumlah lulusan dan jumlah mahasiswa belum
memuaskan, terutama untuk program S1 di perguruan tinggi negeri (PTN), dimana
terlihat adanya kecenderungan yang menurun. Meskipun banyak faktor yang
berpengaruh, misalnya faktor mahasiswa itu sendiri, fakta tersebut merupakan salah
satu indikasi adanya pencapaian mutu yang rendah pada sistem pendidikan tinggi11.

8

Nana Sudjana, (2005). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya. 7-8
9
Djemari Mardapi. (2004). Penyusunan Tes Hasil Belajar. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta. 75
10

KMPN No 232/U/2000; Depdikbud, 1994

11

Ekroman.S.S. (2000). Quality Assurance untuk Pendidikan Tinggi. Artikel Depdiknas

Berkaitan dengan issue value for money, yaitu sehubungan dengan adanya fakta
makin merosotnya perekonomian yang berakibat langsung pada menurunnya
kemampuan masyarakat termasuk orang tua dalam membiayai pendidikan anaknya.
Apakah benar perguruan tinggi sudah memberikan pendidikan yang bermutu? Di lain
pihak, adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan, dimana penggunaan dana
pendidikan perlu diusahakan seefisien dan seefektif mungkin, maka kebutuhan sistim
quality assurance merupakan salah satu usaha untuk penyelenggaraan pendidikan yang
menerapkan prinsip penggunaan sumber daya secara efisien. Tampak bahwa prinsip

value for money dapat dianggap sebagai faktor eksternal bagi pendidikan tinggi dalam
upaya mendorong pelaksanaan prosedur untuk menjamin mutu pendidikan tinggi.
Penyelenggaraan sistem penjaminan mutu (quality assurance) di pendidikan
tinggi sejalan dengan makin meningkatnya tuntutan tentang akuntabilitas dari perguruan
tinggi terutama menjelang era otonomi yang diawali dengan perubahan menjadi Badan
Hukum Milik Negara (BHMN) dari 4 universitas (UI, ITB, IPB dan UGM). Sehubungan
dengan hal ini, masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui bagaimana universitas
mempertahankan dan memonitor mutu dari kegiatannya, apa ukuran-ukuran yang
digunakan untuk mengidentifikasi dan mengatasi kemungkinan inefisiensi, serta sejauh
mana universitas dapat memberikan respon mengenai kebutuhan masyarakat yang
berubah-ubah.
Kondisi-kondisi tersebut diatas merupakan faktor pendorong bagi perlunya
mekanisme untuk quality assurance. Kehadiran mekanisme tersebut dipandang
mengakomodasi pelaksanaan evaluasi diri dari setiap universitas secara efektif. Oleh
karena itu, dalam manajemen mutu perhatian tidak hanya sebatas perbaikan mutu,
tetapi juga mengusahakan adanya mekanisme yang tepat baik dari dalam maupun dari
luar universitas untuk menjamin tercapainya mutu yang tinggi.
Pada masa kini setiap Perguruan Tinggi di Indonesia dituntut akuntabilitasnya.
Sebuah Pergururan Tinggi harus dapat secara eksplisit meyakinkan para pelanggannya
bahwa pelayanan akademik (pendidikan, riset, pengabdian masyarakat) yang

dihasilkannya betul-betul pelayanan yang bermutu. Proses yang dijalankan oleh PT
tersebut harus mampu menyakinkan pelanggannya, bahwa pelayanan akademik yang
diberikannya betul-betul bermutu, sesuai dengan standar, permintaan dan kepuasan
para pelanggan.
Jika menilik dari definisi tersebut maka penekanan jaminan mutu di PT adalah
untuk memenuhi kepuasan dengan memenuhi atau melampaui standar mutu

pengelolaan secara konsisten. Untuk itu PT yang bermutu adalah bila, a) PT tersebut
mampu menetapkan dan mewujudkan visinya melalui pelaksanaan misinya (aspek
deduktif), b) PT tersebut mampu memenuhi kebutuhan stakeholders (aspek induktif)
berupa: Kebutuhan kemasyarakatan (societal needs), Kebutuhan dunia kerja (industrial
needs), Kebutuhan profesional (profesional needs).
Pelaksanaan sistem penjaminan mutu di PT menggunakan siklus proses dari
Deming yang lebih terkenal dengan sistem PDCA (Plan Do Check Action). Dalam siklus
PDCA tersebut terdapat tahap Check yang berfungsi sebagai sistem evaluasi untuk
melakukan pengecekkan terhadap mutu yang akan dihasilkan. Proses pengecekan ini
dalam sistem jaminan mutu dikenal dengan istilah pengendalian mutu (quality control).
Dalam proses pembelajaran sistem kendali mutu ini biasa dilakukan dalam proses
evaluasi baik pada tes formatif maupun sumatif.
D. Konsep Ulul Albab
Menurut A.M. Saefuddin, bahwa Ulul Albab adalah pemikir, intelektual yang
memiliki ketajaman analisis terhadap gejala dan proses alamiah dengan metode ilmiah
induktif dan deduktif, serta intelektual yang membangun kepribadiannya dengan zikir
dalam keadaan dan situasi apapun, sehingga mampu memanfaatkan gejala, proses,
dan sarana alamiah ini untuk kemaslahatan dan kebahagiaan seluruh umat manusia.
Ulul Albab adalah intelektual muslim yang tangguh, yang tidak hanya memiliki ketajaman
analisis obyektif, tetapi juga subyektif12.
Kata Ulul Albab terulang sebanyak 16 kali dalam al-Qur’an, sebagaimana
tertuang dalam Q.S. Al-Baqarah: 179, 197, 269; Q.S. Ali Imran: 7, 190; Q.S. Al-Maidah:
100; Q.S. Yusuf: 111; Q.S. Al-Ra’d: 19; Q.S. Ibrahim: 52; Q.S. Shad: 29, 43; Q.S. AlZumar: 9, 18, 21; Q.S. Al-Mukmin/Ghafir: 54; Q.S. Al-Thalaq: 10 (Al Baqy:1945).
Ditinjau dari pengertian lughawi, kata Albab adalah bentuk jamak dari kata
lubb, yang berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi
isinya. Isi kacang dinamai lubb. Dengan demikian Ulul Albab adalah orang-orang yang
memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, yakni kabut ide yang dapat
melahirkan kerancuan dalam berfikir13. Dalam kaitannya dengan Q.S. Ali Imran ayat

12

A.M. Saefuddin, et. al.,(1987) Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Bandung:
Mizan, 34
13

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta:
Lentera Hati, 2000, 16

190-191, maka orang yang berzikir dan berfikir (secara murni) atau merenungkan
tentang fenomena alam raya, maka akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata
tentang keesaan dan kekuasaan Allah swt.
Hasil kajian terhadap pesan, kesan, dan munasabah dari ayat-ayat yang
berbicara tentang Ulul Albab (sebanyak 16 ayat) tersebut diperoleh temuan, bahwa Ulul
Albab memiliki 16 karakteristik seperti yang ditulis Muhaimin14, sebagai berikut
(Muhaimin:2002):
1. Orang yang memiliki akal pikiran yang murni dan jernih yang tidak diselubungi oleh
kabut-kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir. Termasuk di
dalamnya adalah orang yang mampu menyelesaikan masalah dengan adil, yang
benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah.
2. Orang yang siap dan mampu hidup dalam suasana pluralisme dan berusaha
menghindari interaksi yang dapat menimbulkan disharmoni, kesalahfahaman dan
keretakan hubungan.
3. Orang yang mampu menangkap pelajaran, memilah dan memilih mana jalan yang
benar dan baik serta mana jalan yang salah dan buruk, dan mampu menerapkan
jalan yang benar dan baik (jalan Allah) serta menghindar dari jalan yang salah dan
buruk (jalan syetan).
4. Orang yang giat melakukan kajian dan penelitian sesuai dengan bidangnya dan
berusaha menghindari fitnah dan malapetaka dari proses dan hasil kajian atau
penelitiannya.
5. Orang yang mementingkan kualitas hidup di samping kuantitasnya, baik dalam
keyakinan, ucapan maupun perbuatan.
6. Orang yang selalu sadar akan kehadiran Tuhan dalam segala situasi dan kondisi,
baik saat bekerja maupun beristirahat, dan berusaha mengenali Allah dengan kalbu
(zikir) serta mengenali alam semesta dengan akal (pikir), sehingga sampai kepada
bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah swt.
7. Orang yang concern terhadap kesinambungan pemikiran dan sejarah, sehingga
tidak mau melakukan loncatan sejarah. Dengan kata lain, ia mau menghargai
khazanah intelektual dari para pemikir, cendekiawan atau ilmuwan sebelumnya.
8. Orang yang memiliki ketajaman hati dalam
dihadapinya.

14

menangkap fenomena yang

Muhaimin, Siapa Ulul Albab itu? Makalah Disajikan Pada Orientasi Studi dan Pengenalan
Kampus (OSPEK) STAIN Malang, Tgl. 21 Agustus 2002

9. Orang yang mampu dan bersedia mengingatkan orang lain berdasar ajaran dan
nilai-nilai Ilahi dengan cara yang lebih komunikatif.
10. Orang yang suka merenungkan dan mengkaji ayat-ayat Tuhan baik yang tanziliyah
(wahyu) maupun kauniyah (alam semesta), dan berusaha menangkap pelajaran
darinya.
11. Orang yang sabar dan tahan uji walaupun ditimpa musibah dan diganggu oleh
syetan (jin dan manusia).
12. Orang yang mampu membedakan mana yang lebih bermanfaat dan
menguntungkan dan mana pula yang kurang bermanfaat dan menguntungkan bagi
kehidupannya di dunia dan akhirat kelak.
13. Orang yang bersikap terbuka terhadap pendapat, ide atau teori dari manapun
datangnya, dan ia selalu menyiapkan grand-concept/theory, atau criteria yang jelas
yang dibangun dari petunjuk wahyu, kemudian menjadikannya sebagai piranti
dalam mengkritisi pendapat, ide atau teori tersebut, untuk selanjutnya berusaha
dengan sungguh-sungguh dalam mengikuti pendapat, ide atau teori yang terbaik.
14. Orang yang sadar dan peduli terhadap pelestarian lingkungan hidup.
15. Orang yang berusaha mencari petunjuk dan pelajaran dari fenomena historik atau
kisah-kisah terdahulu.
16. Orang yang tidak mau membuat onar, keresahan dan kerusuhan, serta berbuat
makar di masyarakat.
Dari keenam belas karakteristik Ulul Albab tersebut juga diformulasikan
Muhaimin sebagai berikut15, “Ulul Albab adalah orang yang: (1) memiliki akal pikiran
yang murni dan jernih serta mata hati yang tajam dalam menangkap fenomena yang
dihadapi, memanfaatkan

kalbu untuk zikir kepada Allah dan memanfaatkan akal

(pikiran) untuk mengungkap rahasia alam semesta, giat melakukan kajian dan
penelitian untuk kemaslahatan hidup, suka merenungkan dan mengkaji ayat-ayat
(tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran)-Nya dan berusaha menangkap pelajaran
darinya, serta berusaha mencari petunjuk dan pelajaran dari fenomena historik atau
kisah-kisah terdahulu; (2) selalu sadar diri akan kehadiran Tuhan dalam segala situasi
dan kondisi; (3) lebih mementingkan kualitas hidup (jasmani dan ruhani); (4) mampu
menyelesaikan masalah dengan adil; (5) siap dan mampu menciptakan kehidupan
15

Muhaimin. 2011. Diskusi tentang Nilai-nilai Ulul Albab sebagai Pendidikan Karakter. Malang.
UIN Malang (tidak diterbitkan)

yang harmonis dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat; (6) mampu memilih
dan menerapkan jalan yang benar dan baik yang diridloi olehNya serta mampu
membedakan mana yang lebih bermanfaat dan menguntungkan dan mana pula yang
kurang bermanfaat dan menguntungkan bagi kehidupannya di dunia dan akhirat; (7)
menghargai khazanah intelektual dari para pemikir, cendekiawan atau ilmuwan
sebelumnya; (8) bersikap terbuka terhadap pendapat, ide atau teori dari manapun
datangnya, dan selalu menyiapkan grand-concept/theory, atau kriteria yang jelas
sebagai piranti dalam mengkritisi pendapat, ide atau teori tersebut, untuk selanjutnya
berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mengikuti pendapat, ide atau teori yang
terbaik; (9) mampu dan bersedia mendidik orang lain berdasar ajaran dan nilai-nilai
Ilahi dengan cara yang benar dan baik; (10) sabar dan tahan uji walaupun ditimpa
musibah dan diganggu oleh syetan (jin dan manusia); (11) sadar dan peduli terhadap
pelestarian lingkungan hidup;; dan (12) tidak mau membuat onar, keresahan dan
kerusuhan, serta berbuat makar di masyarakat”. Tujuan pendidikan Ulul Albab, dengan
demikian, adalah menyiapkan peserta didik yang memiliki beberapa karakteristik
tersebut di atas.

E. Penutup
Penilaian pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dalam
pendidikan. Mengingat tujuan dan fungsi penilaian merupakan barometer dari
pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan di sebuah lembaga pendidikan termasuk di
perguruan tinggi. Untuk mendapatkan hasil penilaian yang sesungguhnya, perlu
dilakukan perencanaan yang menyeluruh mengenai proses yang akan dilakukan. Dan
memastikan bahwa pelaksanaan ujian atau penilaian yang dilakukan telah memenuhi
prasyarat yang telah ditentukan oleh masing-masing lembaga.
Untuk mendapatkan lulusan yang ulul albab, sebuah perguruan tingggi
agama islam tentu juga harus memastikan bahwa semua sistem mutu di perguruan
tinggi di mengacu pada nilai-nilai ulul albab yang telah diajarkan dalam Al quran
sebagai filosofi pengembangan kelembagaan dan kademik. Setiap kali suatu filosofi
turun kedalam bentuk konsep dan kemudian kedalam standar, dan instrumen
pengukuran selalu mengalami “penurunan”. Hal tersebut dikarenakan dalam proses
implementasi suatu konsep masih diperlukan berbagai persyaratan. Misalnya dalam
proses penilaian akan diperlukan sumber daya yang cukup, baik dari segi sumber daya
manusia maupun dari sumber daya lainnya. Kondisi ini menyebabkan idealisme yang

ada pada konsep, kemudian tidak dapat dilakukan penilaian secara akurat. Oleh
karena itu kemudian penilaian dilakukan dengan mendasarkan berbagai keterbatasan
pada sumber daya tadi. Namun demikian, seiring dengan perkembangan sumber daya
yang ada pada suatu lembaga dan perkembangan teknologi maka idealisme pada
konsep akan dapat dicapai.Wallahua’lambisshowab

Daftar Pustaka
Allen, M. J., & Yen, W.M. (1979). Introduction to Measurement Theory. Monterey, Ca:
Brooks/Cole Publishing Company.
A.M. Saefuddin, et. al.,(1987) Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Bandung:
Mizan, 1987
Dali S. Naga. (2005). Pengembangan Sistem Penilaian pada Perguruan Tinggi di Era
Otonomi. Yogyakarta: HEPI.
---------. (1992). Pengantar Teori Sekor pada Pengukuran Pendidikan. Jakarta:
Gunadarma.
Depdikbud. (1994). Pedoman Program Perbaikan dan Pengayaan. Jakarta: Dirjen
Dikdasmen.
Depdikbud. (2001). Bahan Penataran Pengujian Pendidikan. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Pusat Pengujian.
Depdikbud. (2000). Standarisasi Tes Prestasi Belajar untuk Guru SLTP. Jakarta: Dirjen
Dikdasmen..
Djemari Mardapi. (2004). Penyusunan Tes Hasil Belajar. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
----------. (2005). Pengembangan Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi. Yogyakarta:
HEPI.
Djemari Mardapi dkk. (1999). Survey Kegiatan Guru dalam Melakukan Penilaian di Kelas.
Laporan Penelitian, Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta.
Ebel, Robert L. (1972). Essentials of Educational Measurement. Englewood Cliffs, New
Jersey: Pretice-Hal, Inc.
Ekroman.S.S. (2000). Quality Assurance untuk Pendidikan Tinggi. Artikel Depdiknas
Fernandez H.J.X. (1984). Testing and Measurement. Jakarta: BP3K.
Gronlund, N. E. & Linn, R. L. (1990). Measurement and Evaluation in Teaching. New York:
Macmillan Publishing Company.
Gronlund. (1985). Measurement and Evaluation in Teaching. New York: Macmillan
Publishing Company.
Griffin, P. & Nix, P. (1991). Educational Assessment and Reporting: A New Approach.
Sydney: Harcourt Brace Jovanovich.

KMPN No. 232 tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi
dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa.
Muhammad Fuad Abd al-Baqy, Al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfadh al-Qur’an al-Karim.
Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1945.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta:
Lentera Hati, 2000, 16.
Muhaimin, Siapa Ulul Albab itu? Makalah Disajikan Pada Orientasi Studi dan
Pengenalan Kampus (OSPEK) STAIN Malang, Tgl. 21 Agustus 2002.
Muhaimin. 2011. Diskusi tentang Nilai-nilai Ulul Albab sebagai Pendidikan Karakter. Malang.
UIN Malang (tidak diterbitkan)
Mukminan. (2004). Desain Pembelajaran. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Nana Sudjana. (1998). Dasar- dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
---------. (2005). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Saifuddin Azwar. (2000). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
---------. (2000). Tes Prestasi, Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Worthen, B. R., & Sanders, J.R. (1984). Educational Evaluation: Theory and Practice.
Worthington, OH: Charles A Jones Publishing Company.