PROSES PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA PADA MAHKAMAH AGUNG R.I. Repository - UNAIR REPOSITORY

  S K R I P S I

C H A R L E S L E O N A R D B t N N EN DI J K

  P R O S E S P E N I N JA U A N K E M B A L I P E R K A R A P E R D A T A P A D A M A H K A M A H A G U N G R . l .

  

F A K U L T A S H U K U M U N IV E R S IT A S A IR L A N G G A 1 9 8 7 P R G Si i - S Jt a & U S JA U A t i K E i 'l B A O i I P i i R I O H A P E K D A T A P A D A h A n l U f o A h A U b N G K . I .

  S K K i P S I G H A K i i S L b G K A R D o m h i A M l l ^ :A b H U K U h 'U i ^ I V i i t H b l 'x A b A I K ^ G G A b U R A B A i A

  1987

  f t r f o O > / f y /s>

  HI OSES PEKIKJAUAN KJSftBAU PKdKARA PERDA2A PADA MAHKAMAH AGUNG R.l.

  SKKIPSI DIAJUKAN UlilOK ME-UbKGKAPI IUGAS

  DAN MEMEKUHI SYAKAT SXARAI UNTUK HENCAPAI G£jaAK SARJANA HUKUM

  M I L I K

  • m«ivBERPlJSTAKAAN ^ V E R S I T A S A i R L A N O O A *

  CHARiiES LEONARD BINNEBDIJK*--- Ljj R A B A Y A

  j

  OLSH

  0 3 8 1 4 1 0 2 8

  PEMBIMBING DAN PENGUJ1 PEKBIMBING DAN PENGUJI SURABAYA 1987

  &ATA PbNGAM'Aft Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha

  Esa, saya dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai kelengkap- an tugas dan pemenuhan syarat untuk mencapai gelar ea^jana hukura.

  Dengan perasaan yang setulus tulusnya saya menyampai- kan terima kasih kepada yang terhormat s

  1. Bapak Ismet .baswedan, S.tt., dan Bapak Abdoel Rasjid, S.H., 1L.M., selaku dosen pembimbing dan penguji saya dengan penuh perhatian dan sabar memberikan petunjuk petunjuk yang berguna dan berharga sampai berakhirnya pembuatan skripsi ini,

  2. Bapak Bambang boerjo, S.H., dan Bapak Basuki Rekso- wibowo, selaku dosen penguji.

  3. Semua pihak yang banyak membantu sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Akhirnya eaya menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini mungkin masih mempunyai kekurangan kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, akan tetapi saya mempunyai keyakinan ser­ ta mengharapkan agar skripsi ini dapat hermanfaat untuk para pembaca dalam menambah ilmu pengetahuan.

  Surabaya ,5*2, Desember 1987 Charles Leonard Binnendijk

  iii

  DAfTAR ISI Halaman KAIA PEKGAMTAH ............................................................................. i l l

  DAfl'AH I S I ...................................................................................... i v BAB

  I P£HBAiiU LUAH .................................................. J ............

  I

1 . P e r m a s a la b a n , L a t a r B e la k a n g dan rtum uean-

n y a ............................................................................

  1 2* P e n j e l a s a n J u d u l ................................................

  5 3* A la s a n P e m ilih a n J u d u l ......................................

  6 4* X u ju a n P e n u l i s a n ................................................

  8 5 . A e t o d o l o g i .............................................................

  9 6 . P e r t a n g g u n g ja v a b a n S i s t e m a t i k a ...................

  9 BAB I I LEhBAGA PfcNIhJAUAH KJbJtBAjLl..................................

  12

1 . S e j a r a h S i n g k a t i*embaga P e n in ja u a n a b a -

  11 P e r k a r a P e r d a t a ............................................

  12 2 . P e n g e r t i a n P a n in ja u a n K e m b a li .....................

  19 3 . A la s a n P e n in ja u a n K e m b a li ..............................

  23 BAB l i l ifcGSES Pfeli lAiJAUAft JU.MBAL1 DALAM PERKAKA PhK B A T A ..........................................................................

  28 1* I 'a t a 'C a r a M e n ga ju k a n J re n ln ja u a n K e m b a li* .

  28 2 . J a la n n y a P erm oh on an P e r k a r a P e n in ja u a n K e m b a li ...................................................................

  39 BAB

  IV PUIUSAH PfcHBUAlJAN KiABALl .................................. 4 3

1 , P erm ohonan P e n in ja u a n K e m b a li l i d a k B a p a t

4 4

  B i t e r i m a ................................................................. i v

  Halaman

  4 8 2. Permohonan peninjauan Xeabali JDltolak ...

  3* Permohonan Peninjauan Cembali Dikabulkan

  49 BAB V KfcSlMPUJLAA DAA SAKAW ......................

  53 1. Keeimpulan..... .......................

  53 2. Saran ..................................

  55

  a

  DA* 'X K JUiPUbXAAAA* LArt^lxvAh

  T

  B A B I Pi^DAHiaUA*

  1. -Fermasalahan. Latar -rielakang dan Rumusannva Sistem Peradilan di Indonesia dalam mengadili suatu perkara menganut asas ne bis in idem, artinya bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama. Berdasarkan pasal 134 Reglement op de Burgerlijke fi-echtsvordering, ulangan tindakan diatas tidak akan mempu­ nyai akibat hukum,^

  Menurut Sudikno ftertokusumo, terikatnya para pihak pada putusan dapat mempunyai arti positif dan dapat pula mem- p punyai arti ne&atif. iang mempunyai arti negatif, kekuatan mengikat suatu putusan kecuali berdaearkan asas ne bis in idem yang diatur dalam pasal 154 ^eglement op de Burgerlijke

  Kechtsvordering juga berdasarkan asas litie finiri oportet yang menjadi dasar ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum, yaitu apa yang ada pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tidak boleii diajukan lagi pa­

  's da hakim. Dengan diperolehnya kekuatan hukum yang pasti, ^Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Idberti, Yogyakarta, 1985, h. 178.

  2Ibld.. h. 177. 3lbid.■ h. 178.

  1

  2

  maka putusan itu tidak dapat diubah lagi oleh pengadilan yang lebih tinggi.

  Putusan pengadilan merupakan karya hakim sebagai pe- jabat yang berwenang untuk raenerima, memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya, Hakim sebagai manu- sia biasa tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan, oleh karena itu demi keadilan dan demi kebenaran maka setiap pu­ tusan hakim disediakan upaya hukum yakni suatu upaya untuk melawan atau menolak suatu putusan pengadilan menurut cara yang diatur dalam undang undang dengan tu^uan agar mendapat- kan putusan yang dirasa lebih adil. Misal terjadinya kasus Sengkon dan Karta dalam perkara pidana. Dalam perkara per­ data hal yang demikian juga mungkin terjadi. Upaya hukum biasa pada aeasnya terbuka pada setiap putusan selama teng­ gang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Newenang un­ tuk menggunakannya hapus dengan menerima putusan. Upaya hu­ kum biasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. Upaya hukum biasa ialah perlawanan ( verset ), banding dan kasasi.

  Dengan memperoleh kekuatan hukum yang pasti suatu putusan tidak dapat diubah. Suatu putusan memperoleh ke­ kuatan hukum yang pasti apabila tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Untuk putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti ini tersedia juga upaya hukum istimewa. Upaya hukum istimewa ini hanyalah dibolehkan dalam hal hal tertentu yang disebut dalam undang undang saja. Termasuk upaya hukum istimewa ialah request civiel ( peninjauan kembali

  j

  dan derdenverset C perlawanan ) dari pihak ke- tiga.* Oleh karena upaya hukum sangat luas hila diurai- kan satu persatu mulai dari perlavanan, banding dan kasa­ si maka saya akan membahas dengan batasan yang sesuai de­ ngan permasalahan pada judul : M£roees Peninjauan Kembali dalam Perkara Perdata pada Jtehkamah Agung

  Sebelum kita menginjak lebih jauh lagi masalah pe­ ninjauan kembali, kita tinjau lebih dahulu peraturan per- undang-undangan nasional yang aengatur masalah peninjauan kembali adalah sebagai berikut :

  1. Ondang undang fco. 19 3-ahun 1964 tentang ketentu- an-ketentuan xokok J^ekuasaan Kehakiman ( dimuat dalam ^embaran Negara No. 2269 ), Peninjauan Kem­ bali dapat diketahui dalam pasal 15. kemudian undang undang tersebut dicabut oleh Undang undang

  No. 14 lahun 1970 tentang ketentuan ketentuan Po- kok Kekuasaan Kehakiman.

  2. Undang undang No. 13 'iahun 1965 tentang iengadil- an dalam idn&kungan i-eradilan Omum dan Mahkamah Agung ( dimuat dalam i-embaran ^egara 1‘ahun 1965 No. 70, Tambahan ijembaran Negara No. 2767

  ),

  le-

  3 4IMjLu, h- 192.

  4

  ninjauan Kembali diatur dalam ppsal 31 dan pa­ sal 52. H-eraudian undang undang ini dicabut oleh

  a o

  Undang undang . 14 l'ahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

  3. Undang undang No. 14 lahun 1970 tentang ketentu­ an ketentuan Pokok JS-ekuasaan Ji.ehakiman ( dirauat dalam i-embaran Negara Xahun 1970 l*o. 74, Tambahan

  • Lembaran Aegara ^o. 2951, pasal 21 mengatur ten­ tang Peninjauan K.embali.

  4. Undang undang ^o. 14 l'ahun 1985 tentang Mahkamah Agung ( dimuat dalam Lembaran ixegara No. 3316 ), Peninjauan JS-embali diatur dalam Bab IV Bpgian Ke- empat mulai pasal 66 sampai pasal 77.

  Selain undang undang tersebut diatas, Mahkamah Agung dimmgkinkan untuk men&eluarkan berbagai peraturan untuk mengisi kekosongan hukum acara yang belum ada. Xindakan Mahkamah Agung R.I. tersebut dimungkinkan oleh Undang undang

  • o. 1 l'ahun 1950 tentang Susunan, JS-ekuasaan dan Jalan Peng­ adilan Mahkamah Agung Indonesia dalam pasal 131 dinyatakan :

  ”Jika dalam pengadilan ada soal sj,al yang tidak di­ atur dalam undang undang, maka Mahkamah Agunt dapat menentukan sendiri secara bagaimana soal itu harus diblcarakan". Lengan dasar itu, maka Peraturan Mahkamah Agung, Su­

  E d a r a n

  rat dan lain lainnya itu dibentuk. Sekarang maealah-

  5

  nya : Bagaimana putusan Mahkamah Agung terhadap eksekuei ypng telah dilaksanakan kemudian permohonan Peninjauan

  Kembalinya dikahulkan V.

  2* Pen.ielasan Judul Dalam penulisan ini, saya mengambil judul : "Proses

  Peninjauan Kembali dalam Perkara Perdata pada Mahkamah Agung Ini saya pilah pilah menjadi, Proses; Penin­ jauan Kembali; Perkara ^erdata; Mahkamah Agung.

  Proses artinya runtunan perubahan ( peristiva ) dalam perkembangan sesuatu, misalnya perubahan statis men­ jadi dinamis.

  Peninjauan Kembali ialah perbuatan untuk memeriksa lagi terhadap hal hal yang telah diselesaikan, demi mencari keadilan.

  Perkara Perdata ialah urusan tentang hukum yang meng- atur hak, harta benda dan perhubungan antarn orang dengan orang dalam suatu negara. f'lahkaraah Agung ialah pengadilan yang tertinggi di- wilayah negara Indonesia. Dari judul tersebut saya harapkan akan dapat memberi- kan sedikit pengertian dalam hal pembahasan skripsi ini, serta mempermudah pembaca dalam hal memehami penulisan ini.

  M f L I K

  • UNrvpEoRPUSTAKAAN

  S iTiTAS

  A,RL^ o o A - v z a b a

  • J L _

  Y a i

  3. AlagAn Pemlllhan Judul Ada beberapa alasan yang mendorong saya untuk me- milih judul "Proses Peninjauan K-embali dalam Perkara Per­ data pada Mahkamah Agung K.l,", alasan alasan tersebut an­ tara lain s a. Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi ber- venang untuk memeriksa dan memutus perkara Peninjauan Kem­ bali* Sebagaimana diketahui permasalahan peninjauan kembali perkara perdata dalam acaranya cukup pelik dan banyak hal yang kurang dipahami oleh kalangan hukum dan pencari keadil- an* b* Sebenarnya permasalahan peninjauan kembali pada masa penjajahan yakni pada masa pemerintahan Hindia Belin­ da telah ada peraturan yang mengatur permasalahan peninjau­ an kembali. Untuk peninjauan kembali perkara pidana disebut dengan Herxiening sedang dalam perkara perdata disebut Re­ quest civiel. Kitab yang mengatur tterziening dirauat dalam

  Heglement op de Strafvordering ( disingkat S.V. sedang- kan untuk Request civiel terdapat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering V disingkat Rv ). Oleh karena peraturan peraturan tersebut diatas sudah tidak sesuai la­ gi dengan cita cita hukum nasional, maka oleh Pemerintah

  Eepublik Indonesia untuk peninjauan kembali perkara perkara pidana diatur dalam Undang undang Republik Indonesia Ho. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sedan&kan untuk pe- ninjauan kembali perkara perkara perdata telah diatur Un­ dang undang

  ho,

  14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ( di- muat dalam ijembaran Ue^ara tahun 1985 Ho. 73, ^ambahan lem- baran Negara sebagai penjelasan Ho. 3316 ). Sebagaimana di­ ketahui bahwa Undang undang

  ho,

  14 tahun 1985 baru saja di- tetapkan di Jakarta yang diundangkan tanggal 30 Desember 1985. Oleh karena peraturannya masih baru sehingga kurang dipahami oleh masyarakat maupun para pencari keadilan maka saya akan mengungkapkan sebagaimana diatur dalam undang un­ dang yang baru tersebut.

  c. Selain saya akan menguraikan undang undang yang baru saja diundangkan pada tanggal 30 Desember 1985 tersebut diatas, masalah peninjauan kembali perkara perdata yang te­ lah memperoleh suatu putusan pengadilan yang tetap, juga rae- rupakan upaya hukum luar biasa atau istimewa sifatnya. Sifat istimewa dan luar biasa upaya hukum ini merupakan harapan baru bagi para pencari keadilan, tentunya setelah gagal da­ lam memenuhi persy^ratan untuk memperoleh keadilan melalui upaya hukum biasa pada pengadilan. Untuk memenuhi harapan baru bagi para pencari keadilan melalui peninjauan kembali tersebut, para pencari keadilan harus memenuhi berbagai persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam undang undang, mengingat upaya hukum luar biasa atau istimewa, ini adalah upaya untuk memperoleh keadilan yang terakhir sekali, maka saya akan menguraikan sesederhana mungkin, agar lebih mudah

  7

  8

  untuk dipaharai atau dimengerti yang ketentuannya sebagai- mana diatur dalam perundang undangan yang berlaku dewasa ini.

  4. Iu.1uan Penulisan Penulisan skripei ini bertujuan untuk memberikan gambaran bahwa lembaga Peninjauan Kembali di Indonesia khu- cusnya peninjauan kembali untuk perkara perdata telah diatur

  14 19 8 5

  dalam urdang undang yaitu Undang undang iio. tahun tentang Mahkamah Agung y?ng disebutkan secara limitstif da- lam Paragraf 2 tentang Peradilan Umum pasal 67 sampai dengan pasal 75.

  Sebelum Lembaga Peninjauan Kembali di Indonesia telah secara umum dalam Undang undang fto, 14 tahun 1970 yang per­ aturan pelaksanaannya pada peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1980 tetapi tanggal 11 Waret 1982 Mahkamah Agung me-

  1 19 8 2

  netapkan lagi peraturan Mahkamah *gung fto. tahun merupakan penyempurnaan undang undang aebelumnya.

  Jadi saya dalam hal ini akan menguraikan peninjauan kembali atrs putusan dalam perkara perdata yang telah di­

  ho,

  

14

  atur dalam Undang undang tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, agar dapat sebagai bacaan dari bahan perbandingan di- kalangan mahasiswa fakultps hukum khususnya serta masyarakat pada umumnya.

  9

  5. Metodologl 5.1. Sumber data.

  Untuk penulisan skripsi ini sumber data sekunder diperoleh dari perpustakaan, data primer diperoleh dengan wawancara kepada pihak pihak yang mengerti secara jelas masalah ini. 5*2. Tehnik pengumpulan data.

  Bata data yanp, digunakan penyusunan skripsi ini di­ peroleh dengan jalan mengadakan study kepustakaan

  Berta

  wawancara dengan Bapak Soedirjo, pensiun- an pegawai Mahkamah Agung,

  5.3. Pembahasan masalah dalam skripsi ini mempergunakan metode diekriptip analisis komparatif, yaitu dengan menganalisa dan membandingkan antara peraturan yang pernah ada akan diperoleh kesimpulan secara induktif maupun deduktif yaitu berdasarkan prinsip umum di- terapkan kekhusus / konkrit.

  6. fertan&gunajawaban Slstematlka Agar dapat menjelaskan maaalahnya maka slstematika penulisan skripei ini rays lakukan bab per bab yang terdiri atas lima bab. Sebelum memasuki materi penulisan sa.ya beri- kan sedikit ulasan tentang hal hal disekitar perraasalahan yaitu latar belakang perraasalahan, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, rcetode yang dipakai dan sistematikanya, karena sifatnya merupakan gambaran umum saja maka saya tem-

  10

  patkan pada bab I yaitu Pendahuluan, Selanjutnya aaya jelaskan mengenai terjadinya lemba- ga peninjauan kembali yang sudah ada sejak Jaman Colonial

  .Belanda, sampai jaman merdeka praktek lembaga ini berjalan terus sehingga terbentuknya Undang undang *io. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang mengatur lembaga peninjauan kem­ bali perkara perdata. Untuk memudahkan pembhaman maka dije- laskan juga pengertian peninjauan kembali yang kemudian di- lanjutkan dengan alasan alasan peninjauan kembali, ini diatur dalajn bab XI,

  Setelah itu kita memasuki bab III yang merupakan ma- teri pembahasan, saya berikan ulasan mengenai tata cara meng- ajukan peninjauan kembali yang mana ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu syarat syarat permohonan peninjauan kembali, agar permohonan itu dapat diterima. Setelah itu di- lanjutkan dengan jalannya permohonan perkara peninjauan kem­ bali sehingga prosesnya sampai ke Mahkamah Agung.

  Mahkamah *gung kemudian mengadakan pemeriksaan dan memutus perkara peninjauan kembali, apakah telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan atau tidak. Barulah Mah­ kamah Agung dapat menentukan bahwa putusan peninjauan kem­ bali, permohonan peninjauan kembali tidak dapat diterima, ditolak ftau dikabulkan, ini dibahas dalam bab IV,

  Sebagai penutup saya tarik kesimpulan dari uraian uraian pembahasan terdahulu dan saya raencoba untuk mengaju- kan saran.

  11 Demikian penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk

  meraudahkan penulisan dalam mencapai ketepatan dan keruntun- an “berpikir.

  B A B I I

  x

  JLKMBAGA PiJJINJAUAii KLMBA .1

  1. Se.1arah_Sjngkat Lembafca ^enin.lauan cembali Perkara Per­ data lembaga Peninjauan Cembali terhadap putusan dalam perkara perdata berasal dari sistem hukum Perancis, di - kenal dengan istilah iteqete civile yang timbul pad? abad

  AVI. Sedangkan dinegeri Belanda disebut sebagai Request civiel.

  Lembaga request civiel dimasukkan dalam hukum acara perdata negeri Belanda juga negeri jajahan iiindia Belanda dengan tidak mendapat dasar hukum dari *et op de Kechter- lijke Organisatie, peraturan untuk negeri Belanda maupun rteglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia ( RO ), peraturan yang berlaku untuk negara Indonesia.

  Untuk perkara perdata ada pengaturannya dalam Regle- ment op de Burgerlijke ^echtvordering disingkat dengan Rv, yaitu hukum acara perdata yang dulu berlaku bagi pengadilan orang i-ropah dan peninjauan kembali perkara perdata ini di­ berikan nama request civiel ( disingkat R*C

  ^R. Subekti, Hukum Acara Perdata. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPtilO , Bina Cipta, 1982, h. 169.

  12

  • Bag! pengadilan untuk golongan Indonesia dan disa- makan dengan mereka, berlaku hukum acara perdata yang ter­ dapat dalam Herziene Indonesische Keglement ( HIK ) untuk daerah Jav/a dan Madura termuat dalam Stb. i*o. 44 tahun 1941, sedangkan Kechtsregleraent voor de iiuitengewesten

  ( R.i3g ) termuat dalam Stb. Ho. 227 tahun 1927 untuk dae­ rah luar Java dan Madura. Dalam HIK maupun ft.Bg tidak me- muat ketentuan yang mengatur tentang lem'baga request civiel, bahkan dalam pasal 393 Hitt dan pasal 721 H.-bg melarang ha­

  )

  kim pengadilan negeri ( landraad untuk memakai bentuk acara lain, selain yang diatur dalam HIK maupun H.ljg, mes- kipun demikian dalam praktek gugatan request civiel sudah sejak lama diterima oleh pengadilan negeri ( Landraad ) dengan memakai ketentuan ketentuan dalam heglement op de Hurgerlljke Kechtevordering ( RV ) Bebagai pedomannya, seperti bentuk acara lain, yaitu "voeging" ( penggabung-

  ), an "intervene!" ( percampuran ), dan lain lainnya.

  Contoh putusan gugatan request civiel diterima oleh lan- draad ( pengadilan negeri J, putusan iandraad Padang, tanggal 29 April 1931.6

  Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia beberapa tahun kemudian dibentuk undang undang yang mengatur ten- Soepomo, hukum Acara Perdata Pen«adilg,n Kegerl. Pradnya Paramita, 1972, h. 110.

  14

  tang Susunan, Kekuasaan dan jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal

  113, 114 dan sehagian dari paeal 149 K-onstituante Semen- tara Republik Indonesia Serikat. Undang undang yang di- maksud adalah Undang undang J'tahkamah Agung Indonesia (Un­

  )

  dang undang Ho, 1 tahun 1950 terbentuk tanggal 6 ttei 1950, yang diundangkan dan mulai berlaku tanggal 9 Juni 1950 yang tidak memuat tentang peninjauan kembali,

  Kemudian dengan terbentuknya Negara Kesatuan Repu- blik Indonesia, maka untuk mencapai kesatuan, susunan, ke- kuasaan dan acara Pengadilan Sipil diberlakukan Undang un­ dang No. 1 Darurat Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951

  No. 9).

  Dalam suasana kemerdekaan praktek request civiel masih tetap berjalan, misalnya putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 4 Juli 1953 t^ukum, tahun 1954, No. II dan

  7

  111 h. 94-96f dan putusan pengadilan Negeri Surabaya tanggal 29 September 1953).8 Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5

  Juli 1959, maka berlakulah Undang undang Daear 1945. lima tahun kemudian setelah Dekrit Presiden, terciptalah Un­ dang undang No* 19 tahun 1964 tentang ketentuan ketentuan 7l b l d . .

  h. 112.

  8Ibld.. h. 113.

  15 Pokok Kekuasaan Xehakiman, dimana lembaga Peninjauan Kem­

  bali diatur dalam paeal 15, sedangkan peraturan pelaksana- an undang undang tersebut dikeluarkan Undang undang Wo. 15 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam i-ingkungan Peradilan

  Umum dan Mahkamah Agung, Lembaga Peninjauan Kembali men- dapat pengaturan dalam pasal 31 dan 52. Kedua pasal ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung diberi wewenang tugas un­ tuk menangani permohonan peninjauan kembali terhadap putus- an pengadilan negeri (menurut pasal 31> yang mempunyai ke­ kuatan hukum yang tetap. i^engan keluarnya peraturan ini banyak pencari ke­ adilan yang mengajukan permohonan peninjauan kembali ke pengadilan negeri. Sampai akhirnya Mahkamah Agung menge- luarkan Surat Edaran No. 6 i'ahun 1967, tanggal 29 Septem­ ber 1967 yang menginstruksikan agar semua perkara yang me- mohon peninjauan kembali ditolak karena undang undang pelaksanaannya belum ada, yaitu dengan jawaban tidak di- terima, apabila permohonan diajukan ke Mahkamah Agung, atau tidak berwenang apabila permohonan diajukan ke penga-

  9 dilan negeri. Cisebabkan karena banyaknya permohonan peninjauan kembali yang diajukan ke pengadilan negeri atau secara

  ^itubini dan Chaidir Ali, Peneantar Hukum Acara Per- Hn+.flr Alumni, Bandung, h. 137.

  16

  langsung ke Mahkamah Agung dan ternyata banyak dari per­ mohonan tersebut mempunyai dasar yang kuat sehingga apa­ bila tidak diterima hanya karena belura ada undang undang yang mengatur pelaksanaannya maka akan menimbulkan rasa ketidak puasan dan ketidak adilan, Oleh karena itu maka sebelum adanya undang undang pelaksanaan yang dlmaksud, Mahkamah Agung menganggap perlu untuk menambah hukum acara- nya dengan mengeluarkan peraturan Mahkamah Agung Kepublik Indonesia Ho. 1 tahun 1965 pada tanggal 19 Juli 1969 dengan memperhatikan pasal 31 Undang undang Ho. 13 tahun 1965, pa­ sal 15 Undang undang Ho. 19 tahun 1964 dan pasal 131 Undang

  Undang Ho. 1 tahun 1950, lalu mencabut Surat -kdaran Mahka­ mah Agung Ho. 6 tahun 1967.

  Peraturan Mahkamah Agung Ho. 1 tahun 1965 tersebut berisikan alasan dan cara mengajukan permohonan peninjau­ an kembali putusan perkara perdata maupun perkara pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap beserta akibatnya dan mulai berlakunya peraturan ini secara ter- perinci dalam pasal 1 sampai dengan pasal 8. Pada tanggal

  23 Qktober 1969 Mahkamah Agung Kepublik Indonesia menge­ luarkan Surat idaran Ho. 18 tahun 1969 tentang belum ce- patnya dijelaskan Peraturan Mahkamah Agung Ho. 1 tahun 1969. Dengan demikian maka peraturan Kahkamah Agung Ho. 1 tahun 1969 belum dapat dijalankan sesuai dengan isi surat edaran tersebut.

  17 Dengan demikian permohonan yang masuk setelah dl-

  keluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1969 dapat diterima dan sementara ditahan dl kepaniteraan, un­ tuk kemudian apabila sudah ada peraturannya lebih lanjut seperti dimaksud diatas, didaftarkan menurut tanggal pene- rimaannya di kepaniteraan, sedangkan permohonan yang telah diperiksa sebelum tanggal 19 *Iull 1969 supaya diteruskan menurut cara yang lama, yaitu diperiksa oleh pengadilan negeri dengan hak banding dan kasasi.10

  Pada tanggal 17 Desember 1970 berlaku Undang undang Uo. 14 tahun 1970 tentang ketentuan ketentuan Pokok Kekua­ saan Kehakiman yang menggantikan Undang undang No. 19 ta­ hun 1969 dimana dalam pasal 21 nya menyatakan ;

  "Apabila terdapat hal hal atau keadaan keadaan yang ditentukan dengan undang undang terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mah­ kamah Agung, dalam perkara perdata.dan pidana oleh pihak pihak yang berkepentingan".

  Sebelas bulan kemudian dikeluarkan lagi peraturan Mahkamah Agung atau Perma No. 1 tahun 1971 tanggal 30 No- pember 1971, yang berisi mencabut Peraturan Mahkamah Agung

  No. 1 tahun 1969 dengan catatan bahwa permohonan peninjau­ an kembali dapat diajukan menurut cara gugatan biasa dengan

  10I M ( L , h. 135. ^ K . Subekti, up. cit., h. 170. berpedoman pada peraturan "Burgerlijke ^echtsvordering", namun lima tahun kemudian menyusul Perma No. 1 tahun 1976 tanggal 31 Juli 1976, dengan mengakhiri penggarisan yang diberikan Perma Wo. 1 tahun 1971 dan surat edaran sebelum- nya.

  Menjelang akhir 1980 timbul drama pidana terhadap Sengkon dan Karta yang dijatuhi dan menjalani hukuraan aki- bat putuaan pengadilan yang sesat, kasus ini menarik per- hatian masyarakat hingga ke Dewan Perwakilan Kakyat R.I. demikian pula para akhli hukum banyak memberikan tanggapan melalui berbagai mass media*

  Dalam rapat kerja Mahkamah Agung dengan Dewan Per- wakilan Kakyat pada tanggal 19 Nopember 1980 antara lain membahas kasus tersebut diatas, akhirnya kedua instansi ini saling menghimbau. Si&uasi ini ditanggapi oleh Mahkamah untuk menciptakan sarana peraturan sendiri baik bidang per­ data maupun pidana mengenai neninjauan kembali.

  Pada tanggal 1 Desember 1980 maka diterbitkan per­ aturan Mahkamah Agung &o. 1 tahun 1980, sekaligus dibuat- kan pula Surat i-daran Mahkamah Agung flo. 7 tahun 1980 yang merupakan peraturan pelaksanaannya, peraturan ini bersifat

  Bementara

  sambil menunggu undang undang yang

  mengatur

  hukum acara peninjauan kembali. Oleh karena itu berakhirlah masa berlakunya peratur­ an Mahkamah Agung No. 1 tauun 1980 untuk peninjauan kembali

  18 dalam paham pidana, sedangkan peninjauan kembali perkara perdata masih tetap berlaku, akan tetapi disempurnakan dengan peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1982, tanggal 11 Maret 1982.

  Akhirnya pada tanggal 30 Desember 1985 diundangkan dan mulai berlaku Undang undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dalam hukum acaranya telah diatur lembaga peninjauan kembali perkara perdata mulai dari pasal 66 sampai pasal 77.

  2. Pengertlan Peninjauan Kembali Dalam sistem peradilan kita berlaku suatu asas bahwa suatu putusan pengadilan yang sudah berkakuatan mutlak, ti­ dak dapat diubah lagi.

  Kalau suatu perkara yang sudah pernah diputus dengan suatu putusan yang berkekuatan mutlak akan diajukan lagi kemuka pengadilan, maka tuntutan jaksa

  {

  dalam perkara pi­ dana

  )

  atau gugatan baru ( dalam perkara perdata ) dapat ditangkls dengan eksepsi tentang sudah adanya putusan yang berkakuatan mutlak itu. Eksepsi tersebut didas?>rkan pada asas wne bis in idem" ( tidak boleh terjadi dua kali pemu- tusan terhadap suatu kasus yang sama antara dua pihak yang

  • » i 12 samq pula

  )> 19 12lbld.. h. 168.

  20 Hal ini dimaksudkan demi kepastian hukum, peri ke-

  raanusiaan dan wibawa putusan hakim. Memang harus diakui bahwa tidak setiap masalah, apalagi yang sulit dan pelik dapat dipecahkan dengan mudah dan memuaekan. Hamun setiap proses harus berakhir secara definitif dengan adanya putus­ an pengadilan yang berkekuatan huKum tetap.

  Putusan pengadilan merupakan karya hakim, sedang- kan sebagai manuaia biasa tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Dalam kasus Sengkon dan &arta, melalui suatu putusan pengadilan keduanya meringkuk dalam lembaga pe- maeyarakatan, kemudian adanya fakta atau keadaan yang mem- buktikan keduanya tidak bersalah, maka oleh Mahkamah Agung dengan suatu putusan pula kedua orang tersebut akhirnya dibebaskan, dalam perkaia perdata hal yang demikian mung- kin saja ter^adi.

  Kempertahankan suatu putusan yang tidak adil, tidak merupakan Byarat bagi hukum, bukan pula tuntutan kepastian hukum. fcuatu upaya atau sarana untuk memperbaiki kekhilaf­ an harus dimungkinkan, tetapi harus disertai dengan syarat syarat yang ketat, bukan berarti dengan akibat bahwa putu­ san yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu, menjadi longgar ikatannya atau menjadi tidak tentu keduduk- kannya.

  Untuk menempatkan putusan tetap agar dapat kembali pada posisi yang benar yaitu memberi keadilan, maka perlu

  21

  upaya hukum luar "biasa atau istimewa. Keistiihewaannya ter- letak bahwa ia merupakan sarana untuk membatfilkan keputusan pengadilan, terhadap putusan mana jalan biasa seperti verzet (perlawanan), banding atau kasasi tidak dapat ditempuh. Upa­ ya hukum luar biasa penggunaannya diatur dalam batae batas dan syarat syarat tersendiri, sarana istimewa itu ialah pe­ ninjauan kembali.

  Upaya hukum peninjauan kembali disebut sebagai upaya hukum istimewa karena.dipergunakan terhadap putusan yang te­ lah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

  Pada waktu sekarang semenjak diberlakukan Undang un­ dang *o. 14 tahun 1985 ( dimuat dalam -Lembaran Negara tahun

  t )

  1985 No. 73 Tambahan .Lembaran Negara No. 3316 pada tang­ gal 30 J>esember 1985» maka lembaga peninjauan kembali telah ada pengaturannya eebagaimana disebutkan dalam pasal 34 yang dinyatakan sebagai berikut :

  "Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan pe­ ninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuat­ an hukum tetap berdasarkan alasan alasan yang diatur dalam Hab IV Bagian *.e - empat Undang undang ini”,

  Alasan yang dimaksud dalam Bab IV Bagian empat Undang undan? ini ialah pasal 67 Undang undang *o. 14 tehun 1985 yakni sebagai berikut :

  a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau ingin tipu muslihat pihak lawan yang dike­ tahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti bukti yang kemudlan oleh pidana di- nyatakan palsu; b* Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan;

  c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak di- tuntut atau lebih daripada dituntut; d. Apabila mengenai euatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimban^kan sebab eebabnya; e. Apabila antara pihak pihak yang sama mengenai sua- tu soal yang sama( atas dasar yang sama oleh Pe- ngadilan yang sama atau sama tingkatnya telah di- berikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

  f. Apabila dalam suatu putuean terdapat kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata.

  Pasal 67 tersebut merupakan alaean untuk nengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukura yang tetap, alasan alasan ini harus dimuat apabila hendak mengajukan permohon­ an peninjauan kembali*

  Sebagaimana diketahui diketahui bahwa sebelum di­ ke luarkan Undang undan^ *o. 14 tahun 1985 tentang Kahkamah Agung, dalam menyelesaikan perkara perkara peninjauan kem­ bali, Kahkamah Agung telah mengeluarkan peraturan peraturan

  22 atau khususnya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1982 tentang penyempurnaan dari Peraturan Mahkamah Agung Ho. 1 'iahun 1980. Pada asasnya tidak ada perbedaan an tar a pera­ turan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1982 dengan Undang undang No. 14 tahun 1985, dimana Mahkamah Agung dalam acara mem«- friksa, dari memutus perkara peninjauan kembali menggunakan peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1982 tersebut, kinl tertuang dalam Undang undang Ho. 14 tahun 1985, dengan ka- ta lain peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1982 telah diwu^udkan dalam Undang undang yang disyahkan oleh Peme- rintah, yakni peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1982 telah diwujudkan dalam Undang undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

  3. Alasan Penln.lauan Kembali Alaean yang menjadi dasar untuk melakukan permohon- an penitfjauan kembali telah disebutkan secara limitatif dalam Paragraf 2 Peradilan Umum'pasal 67 Undang undang No.

  14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Oleh karena itu per- mohonan peninjauan kembali perkara perdata dapat diterima hanya berdasarkan alasan alasan tersebut. Dengan kata lain pintu peninjauan kembali perkara perdata, hanya terbuka dalam batae batas tersebut.

  Demikian pula dalam mengemukakan alasan alasan un­ tuk menggunakan permohonan peninjauan kembali perkara

  23 pidana yang diatur dalam Undang undang fto. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada pasal 263 ayat 2 dan 3, yakni sebagai berikut J

  Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan du- gaan kuat, bahwa ;}ika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukura, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pi­ dana yang lebih ringan. Apabila dalam pelbagai putusan terhadap pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinya- takan telah terbukti itu ternyata bertentangan satu aengan yang lain*

  Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Apabila dalam suatu putusan itu suatu perbuat- an yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan,

  Jadi pada dasarnya alasan peninjauan kembali, baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dapat dikate- gorikan menjadi 2

  {

  dua

  )

  alasan :

  1. Alasan yang di&ebabkan oleh perbuatan salah satu pihak, perbuatan mana menjadi dasar dari keputus-

  25 an yang kemudian keliru.

  2. Alasan yang dasarnya terdapat dalam kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam melaksanakan hukum acara.

  Pasal 67 Undang undang Mo. 14 tahun 1985 dapat di- kategorikan sebagai berikut : a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahul se- telah perkaranya diputus atau didasarkan pada buk- ti bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyata- kan palsu;

  b. Apabila setelah perkara ditutup, diketemuken su- rat Burat bukti yang bersifat rnenentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemu- kan. Bari pasal 67 huruf a dan b Undang undang Wo. 14 tahun 1985 termasuk kategori alasan pertama, yakni alasan alasan yang dasarnya diketemukan dalam perbuatan dari sa- lah eatu pihak yang berperkara, dimana upaya hukum penin- jauan kembali baru dipergunakan, bila orang mengan^gap bahwa ia dapat memperoleh suatu keputusan yang dalam satu segi menguntungkan atau setidak tidaknya meniadakan putus- an yang merugikannya.

  Pada alasan alasan yang dasarnya terdapat dalam ke- khilaian hakim atau kekeliruan hakim dalam melaksanakan hukum acara dapat diketahui melalui pasal 67 Undang undang 14 tahun 1985, sebagai berikut : c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak di- tuntut atau lebih dari yang dituntut.

  d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan be- lum diputue tanpa dipertimbangkan sebab sebabnya, e. Apabila antara pihak pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh

  Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.

  f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu ke­ khilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Sedangkan yang termasuk kategori alasan yang ke 2 yaitu dimaksud dalam pasal 67 huruf e Undang undang No. 14 tahun 1985, yakni "Apabila antara pihak pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain". Apabila asas "ne bis in idem" dipegang teguh, maka pertentangan diantara putusan putusan itu merupakan kekhilafan yang sumbernya diketemukan pada hakim sendiri dalam melaksana- kan hUAum acara, jika satu pihak telah menggunakan dalih adanya putusan lebih dahulu yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas dasar itu, maka *adah alasan tersebut

  26 hukum acara dapat diketahui melalui pasal 67 Undang undang Ko. 14 tahun 1985, sebagai berikut :

  g

  . Apabila telah dikabulKan suatu hal yang tidak di- tuntut atau lebih dari yang dituntut.

  d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan be- lum diputue tanpa dipertirabangkan sebab sebabnya.

  e. Apabila antara pihak pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh irengadilan yang Gama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan eatu dengan yang lain.

  f. Apabila dalam suatu putusan terdapat cuatu ke- khilaian Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, Sedangkan yang termasuk kategori alasan yang ke 2 yaitu dlmakeud dalam pasal 67 huruf e Undang undang So. 14 tahun 1985, yakni "Apabila antara pihak pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yan& sama oleh ■tengadilan yang eama atau eama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain*. Apabila asas "ne bis in idem" dipegang teguh, maka pertentangan diantara putuean putusan itu merupakan kekhilafan yang sumbernya diketetnukan pada hakim sendiri dalam melaksana- kan h u u m acara, jika satu pihak telah menggunakan dalih adanya putuean lebih dahulu yan& telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas dasar itu, maka v.adah alasan tersebut

  26

  27

  adalah kategori alasan yang kedua, sebaliknya apabila kita bertolak dari piklran bahwa hakim telah menjatuhkan putuean yang bertentangan dengan putusan lebih dahulu yang telah mendapatkan kekuatan hukum tetap, ksrena pi­ hak yang berperkara tidak mengemukakan adanya putusan tetap itu maka tempatnya juetru pada kategori pertama.

  B

  A B ill Hi OSES PEN IHJAUAN Kb MBA LI

  DAJoAM PEK&ARA PERDATA Ketentuan ketentuan yang pernah dlpergunakan dalam acara peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telaJi memperoleh kekuatan hukum yang tetap yakni Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering ( Kv ), PJuHMA Aio. 1 ta­ hun 1969, IERMA Ao. 1 tahun 1980 yan^ disempurnakan ( PERMA

  ho,

  1 tahun 1982 J dan kini menggunakan ketentuan ketentuan dalam Undang undang ho. 14- tahun 1985 tentang Hahkamah Agung.

  1. lata Cara henfta.lukan fenin.lauan Kembali

  Dalam mengajukan permohonan peninjauan kembali ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu syarat syarat yang memungkinkan beserta ketentuan ketentuan lain agar da­ pat diterimanya permohonan peninjauan kembali tereebut.

  Syarat

  syarat Permohonan Peninjauan Kembali

  a. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

  b. Alasan alasan yang menjadi dasar permohonan pe- ninjauan kembali. ad. a. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Putusan yang mana ? Ini tidak disebutkan dalam Undang un­ dang ttahkamah Agung, lain halnya dalam perknra pidana yang

  28

  M 1 LIK.

  • - I J N I V E R S I T A S A I R L A N O O A 1 PERPUSTAK.AAN \

  a

  S U K A B A Y ___ 1

  • — ■ '

  29 dimaksud ialah putusan yang bukan putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum ( pasal 263 ayat 1 K.IMi.A.-f ).

  Dalam perkara perdata ada putusan yang mengabulkan dan menolak gugatan. Ditinjau dari Mamar" atau "diktum", putvean itu dapat dibedakan dalam 3 ( tiga ) macam, yaitu :

  a. putusan "condemnatoir*', yaitu yang amarny* ber- bunyi "Menghukum dan seterusnya”.

  b. putusan "declaratoir" yaitu yang piarnyn menyata- kan suatu keadaan yang sah menurut hukum dan c. putusan yang "konstitutif", yaitu yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru. Contoh suatu putusan dari macam sub a adalah putusan yang menghukum tergugat untuk membayar sejumlah uang kepada penggugat, untuk menyerahkan suatu barang atau mengosongkan suatu persil, melarang tergugat berbuat sesuatu, dan lain sebagainya.

  Putusan macam sub b adalah misalnya, putusan yang me- nyatakan penggugat seba&ai pemilik sah atas tanah eengketa, atau yang menyatakan penggugat adalah ahli waris dari si - meninggal X, dan sebagainya.

  Akhirnya putusan dari macam sub c adalah putusan yang membatalkan suatu perjanjian, memutuskan ikatan perkawinan antara penggugat dan tergugat, Juga suatu putusan yang me­ nyatakan seorang pailit, tergolong pada macam sub c ini.*^

  ” r . o p .

  Subekti, clt.. h. 127

  30 Jadi ketlga putusan diatas termasuk putusan yang me- ngabulkan gugatan.

  Menurut hemat saya putusan yang dapat diminta untuk peninjauan kembali adalah putusan yang mempunyai dampak atau akibat. Putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat di- terima, misalnya tidak merubah status pihak pihak yang ber- perkara. Putusan ini semata mata bersifat prosesuil atau mengenai prosedur, tidak memecahkan pokok persoalan.

  Peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa baru dapat dipergunakan apabila tidak tersedia lag! upaya

  ) 9

  hukum biasa, seperti ; perlawanan t, ver^et banding dan kasasi. Menurut Kv C pasal 385 sub 1 kv, pasal 382 sub 1 WRv ) putusan itu harus diberikan dalam tingkat terakhir.

  • Dalam praktek pengadilan negeri syarat dalam tingkat ter­ akhir itu telah ditinggalkan, ditinggalkannya syarat itu sudah sewajarnya mengingat Undang undang i>lo. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dalam pasal 67. Demikian pula pada Perraa ho. 1 tahun 1982 pada pasal 2 butir a, Mungkin ter- jadi bahwa pihak lawan melakukan sumpah palsu, dan pihak yang menjadi korban tidak mempergunakan haknya untuk ban­ ding, kemudian si korban memperoleh data bahwa pihak lawan melakukan sumpah palsu, baik pada Perma ho. 1 tahun 1982 maupun Undang undang ho. 14 tahun 1985 nampaknya sejalan dengan pendirian itu, maka dari itu tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa putusan itu harus diberikan pada

  31 tingkat terakhir.

  ad.b. Alasan alasan yang menjadi dasar permohonan penin- jauan kembali.

  Alasan alasan yang menjadi dasar permohonan penin- jauan kembali harus dikemukakan dan diuraikan eejjelas je- lasnya sesuai dengan bunyi pasal 67 Undang undang Ko. 14 tahun 1985 adalah sebagai berikut : a. fcpabila putusan dldasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui se- telah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti bukti yang kemudian oleh hakim pidana di- nyatakan palsu;

  b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

  c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut; d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab se- babnya;

  e. Apabila antara pihak pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadllan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

  32