STUDI KOMPARATIF PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.365K/PID/2012 DENGAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI NO. 79PK/ PID/2013 RESIDENT MELAKUKAN TINDAKAN PEMBEDAHAN

(1)

ABSTRAK

STUDI KOMPARATIF PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

NO.365K/PID/2012 DENGAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI NO. 79PK/ PID/2013 RESIDENT MELAKUKAN TINDAKAN PEMBEDAHAN

Oleh

Ardi Saputra Pandu Winata

Anggapan oleh sebagian besar oknum dokter yang menganggap bahwa profesi dokter ialah profesi yang paling mulia atau paling hebat diantara profesi lainnya sehingga ketika terjadi pelanggarn hukum yang dilakukan oleh oknum dokter tidak dapat dijerat dengan sanksi hukum. Perlu diingat bahwa di Negara ini semua individu mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law), tidak hanya berlaku bagi dokter bahkan profesi hokum sendiri tidak lepas dari pengawasan hukum yang mengaturnya. Rumusan masalah skripsi ini yang pertama adalah Bagaimanakah Mahkamah Agung dapat menetapkan ketiga dokter tersebut bersalah sebagai terdakwa dan patut untuk di pidana dan yang kedua Apa faktor penyebab peninjauan kembali dari para pemohon peninjauan kembali terpidana I, II dan III di kabulkan dan para pemohon di bebaskan dari semua dakwaan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pencarian data sekunder berupa mengumpulkan berbagai ketentuan Perundang-Undangan, dokumentasi, literatur, dan mengakses internet yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini serta hasil dari wawancara dengan para ahli atau sarjana hukum.

Hasil penelitian Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 365K/Pid/2012 adalah memberi pidana penjara selama 10 bulan karena Majlis hakim telah yakin bahwa terdakwa telah memenuhi unsure kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Analisis Putusan Peninjauan Kembali No.79PK/Pid/2013, Majelis Peninjau mengabulkan permohonan para terdakwa di karnakan telah ditemukan bukti baru (nouvum) yang menyatakan bahwa para terdakwa sudah melakukan prosedur sesuai dengan SOP. Didalam peninjauan kembali Majlis Peninjau memiliki keyakinan bahwa terdakwa tidak melakukan kelalaian dan telah melakukan operasi Cito Secsio Cesaria dengan benar dan sesuai prosedur, keilmuan, dan kompetensi.


(2)

Penulis memberikan saran perlu adanya hakim-hakim pada semua tingkatan pengadilan yang memahami hokum kesehatan atau kedokteran, atau hakim-hakim memiliki spesialisasi di bidang hokum kesehatan atau kedokteran.

Kata Kunci: Komparatif, Pembedahan


(3)

STUDI KOMPARATIF PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.

365K/PID/2012 DENGAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI NO.

79PK/ PID/2013 RESIDENT MELAKUKAN TINDAKAN

PEMBEDAHAN

Oleh

Ardi Saputra Pandu Winata

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2015


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 30 Juni 1992, sebagai anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Paimin, dan mamak Dwi Purwati.

Penulis mengawali jenjang pendidikan pada tahun 1997 di Taman Kanak-Kanak Nurul Islam Liwa, Lampung Barat. Kemudian pada tahun 1998 masuk ke Sekolah Dasar Negeri 2 Liwa yang diselesaikan tahun 2004.

Setelah menyelesaikan Sekolah Dasar, penulis melanjutkan pendidikannya ke Mts Negri 1 Liwa dan diselesaikan pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2007 penulis melanjutkan ke SMAN 1 Liwa Lampung Barat dan lulus pada tahun 2010.

Kemudian tahun 2010 penulis diterima menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri dan pada tahun 2012 penulis diterima sebagai mahasiswa Bagian Hukum Pidana.Penulis juga telah melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pasir Sakti, Kecamatan Pasir Sakti, Lampung Timur pada tahun 2014.


(7)

PERSEMBAHAN

Teriring Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT Atas

Rahmat dan Hidayah-Nya serta Junjungan Tinggi Rasulullah Muhammad SAW

Kupersembahkan karya sederhanaku ini kepada :

Bapak dan Mamak, Paimin dan Dwi Purwati yang senantiasa

tulus mendoakan keberhasilanku dengan segenap cinta, kasih sayang, tetesan keringat dan air mata.

Adik-adikku tersayang Toto Satrio, Triyogo Wicaksono, dan

Wijaya Putra Kusuma yang selalu menjadi motivasi penulis untuk selalu berpikir maju memikirkan masa depan yang jauh lebih baik dari sekarang.

Untuk Nenek ku yang terkasih Sadu Wati yang selalu

memberikanku nasihat mengenai kehidupan ini.

Untuk semua sanak saudara, keluarga, sahabat-sahabat, dan

rekan-rekan yang telah memberikan dorongan, saran serta bantuan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini, serta semua pihak yang membantu sehingga dapat terselesainya skripsi ini.


(8)

(9)

MOTTO

Keindahan adalah kehidupan itu sendiri saat ia

membuka tabir penutup wajahnya. Dan kalian

adalah kehidupannya itu, kalianlah cadar itu.

Keindahan adalah keabadian yag termangu di

depan cermin. Dan kalian adalah keabadian itu,

kalianlah cermin itu.

(Khalil Gibran)

Yakinlah di balik banyak cobaan ada misteri tuhan

yang kita tidak tau, hal terpenting adalah selalu

mensyukuri segala nihkmat yang telah di berikan

lebih baik dari pada mempertanyakan kapan ujian

ini kan berakhir.

(Penulis)

Tetaplah tersenyum dalam keadaan apapun, dan

jangan pernah menyerah sebelum kita mencoba.


(10)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Sebab hanya dengan kehendak-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Setudi Perbandingan Mahkamah Agung No.365k/Pid/2012 dengan putusan Peninjauan Kembali No.79PK/Pid/2013 Resident Melakukan Tindakan Pembedahan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Hj. Firganefi, S.H., M.H., selaku sekertaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung sekaligus selaku pembahas I atas masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini.


(11)

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku pembimbing I atas kesediaannya yang memberikan kritik dan saran dalam penulisan ini..

5. Bapak Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. selaku pembimbing II yang penuh dengan kesabaran memberikan bimbingan motivasi, saran, dan juga kritik dalam proses penyelesaian skiripsi ini.

6. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. selaku pembahas II atas kesediaannya yang memberikan kritik dan saran dalam penulisan ini.

7. Bapak Charles JacsonS.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik atas bimbingannya selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh dosen dan staff Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

9. Kedua orang tuaku Paimin dan Dwi Purwati. Trimakasih telah menjadi orang tua terhebat dan selalu mendukung segala yang ku lakukan, kalianlah inspirasi ku maaf atas semua kesalahan yang telah ku perbuat tapi percayalah selalu ada bagian diri ini yang tidak berhenti berjuang untuk membahagiakan kalian gelar ini ku persembahkan untuk kalian.

10. Adik-adikku tersayang Toto Satrio utomo, Triyogo Wicaksono, dan Wijaya Putra Kusuma yang tak pernah lupa mendoakan dalam setiap langkahku. 11. Keluarga besarku, Kakek, Nenek, Pakde, Bude, Om, Bulek, trimakasih atas

doa dan nasehatnya sehingga penulis sangat termotivasi untuk terus menyelesaikan skripsi ini.

12. Untuk Nilam Sari, S.E, Trimakasih untuk segalanya dan telah senantiasa setia menemani ku memberi dukungan pengertian motivasi dan semangat


(12)

kau adalah wanita yang aku kagumi darimu ku banyak belajar tentang arti kerja keras dan pantang menyerah.

13. Sahabat-sahabat terbaikku anak-anak Gomes, dan anak Soda yang kerap menjadi tempat berbagi cerita trimakasih atas motivasi nya selama ini.

14. Sahabat seperjuangan ku (Ines, Friangga, Rizki, Bagus, Beni, Johan, Berry, Cahaya, Lukman, Dico , Burnawan, Iffan, Erik, Suhendra (2008), trimakasih atas kenangan indah yang tercipta.

15. Sahabat-sahabatku kosan (Ari, Alan, Taufan, Deni).

16. Keluarga dan teman-teman KKN Tematik 2014 Kabupaten Lampung Timur. 17. Seluruh angkatan 2010, terutama teman-teman jurusan Hukum Pidana 2010

atas bantuan, dukungan, dan kerjasamanya.

18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan, dukungan, kerelaannya.

19. Almamater tercinta Universitas Lampung.

Penulis berdoa semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan mendapat balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, 11 Januari 2015

Penulis,


(13)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 14

B. Teori Pertanggungjawaban Pidana ... 16

C. Pengertian Tindak Pidana Pemalsuan... 20

D. Pengertian Informed Consent ... 22

E. Pengertian Dokter dan Pasien ... 24

F. Pengertian Malpraktik ... 27

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 29

B. Sumber dan Jenis Data ... 30

C. Penentuan Narasumber ... 31

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 31


(14)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 35 B. Studi Komporitif Antara Putusan Mahkamah Agung No. 365/Pid/2012

Dengan Putusan Peninjauan Kembali No. 79 PK/Pid/2013 ... 36 1. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 365/Pid/2012 ... 36 2.Putusan Peninjauan Kembali No. 79 PK/Pid/2013 ... .. 42 C. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban Pidana Pelaku

Resident Melakukan Tindakan Pembedahan Yang Mengakibatkan

Pasien Meninggal Dunia. ... 50

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 55 B. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA


(15)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Informed consent merupakan suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain. Atau Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Tujuan Informed Consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif.1

Media informasi sempat dihebohkan dengan adanya demo para dokter dan para tenaga medis yang melakukan aksi solidaritas sebagai reaksi simpati terhadap dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani beserta dua rekannya, dr.Hendry Simanjuntak dan dr.Hendy Siagian karena para dokter tersebut divonis bersalah oleh Mahkamah Agung dengan tuduhan malpraktik terhadap Fransiska Julia Makatey, yang meninggal pada saat melahirkan.Para dokter di Indonesia tersebut berangkat

1


(16)

2

masing-masing ataupun berkelompok dari tempat kerja masing-masing menuju Mahkamah Agung. Bahkan dari beberapa dokter di Indonesia menurut keterangan dari pengurus Ikatan Dokter Indonesia akan melakukan aksi mogok kerja, dan tidak akan melayani pasien-pasien mereka pada saat itu. Hal ini jelas terlihat sangat konyol di mata beberapa orang, terutama bagi orang hukum sendiri yang menilai bahwa dengan melakukan demo dan aksi solidaritas semacam ini oleh para dokter dinilai telah menunjukkan jatuhnya nilai profesionalitas mereka sebagai seorang dokter.

Aksi demo semacam ini dilakukan sebagai bentuk keprihatinan kepada 3 (tiga) orang dokter yang masing-masing bernama dr.Dewa Ayu Sasiary Prawani beserta dua rekannya, dr.Hendry Simanjuntak dan dr. Hendry Siagian yang mendapat hukuman 10 bulan penjara atas kasus meninggalnya pasien yang bernama Fransiska Julia Makatey yang ditanganni oleh ketiga dokter tersebut pada waktu menjalani operasi persalinan di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandau Manado. Padahal hukuman 10 bulan penjara yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung, menurut pandangan saya masih ringan jika melihat dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh ketiga dokter tersebut dalam menjalankan praktik kedokteran hingga menyebabkan pasien meninggal dunia.2

ditemukaanya kata-kata “Stop Kriminalisasi Terhadap Profesi Dokter” yang ditulis sangat besar pada spanduk ketika melakukan pada dokter aksi demo yang menimbulkan permasalahan di kalangan orang-orang hukum. Para ahli hukum, praktisi juga akademisi sempat mengkritisi tentang penggunaan kata “Kriminalisasi” tersebut. Sebab pengunaan kata “Kriminalisasi” pada tulisan “Stop Kriminalisasi Terhadap Profesi Dokter” di spanduk yang digunakan oleh


(17)

3

para dokter sebagai alat demo itu dinilai tidak tepat dalam penggunaan bahasa tersebut. Perlu diketahui pengertian kriminalisasi secara juridis adalah penetapan delik (perbuatan pidana) baru yang semula tidak kemudian karena perbuatan tersebut dianggap dan dinilai sebagai perbuatan tindak pidana baik daldam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Undang-Undang khusus yang mengatur tentang tindak pidana maupun peraturan lain yang memuat ketentuan pidana. Jadi, bukan suatu profesi akan tetapi mengenai perbuatannya dan itu berlaku untuk siapapun di negara ini.

Melihat adanya kejadian ini seolah-olah menimbulkan anggapan bahwa dokter merupakan profesi yang kebal hukum. Aksi demo yang terlalu berlebihan ini sebenarnya merupakan aksi demo yang tidak wajar kalau kemudian membesar-besarkan persoalan apalagi menyangkut pautkan profesi. Anggapan oleh sebagian besar oknum dokter yang menganggap bahwa profesi dokter ialah profesi yang paling mulia atau paling hebat diantara profesi lainnya sehingga ketika terjadi pelanggarn hukum yang dilakukan oleh oknum dokter tidak dapat dijerat dengansanksi hukum. Perlu diingatbahwa di negara ini semua individu mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law), tidak hanya berlaku bagi dokter bahkan profesi hukum sendiri tidk lepas dari pengawasan hukum yang mengaturnya. Apabila terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seorang yang berprofesi di bidang hukum dapat dikenakan sanksi Sesuai dengan peraturannya yang berlaku. Apalagi jika suatu perbuatan tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, hukum pidana berlaku bagi siapa saja yang melakukan suatu perbuatan hingga menyebabkan hilangnya nyawa sesorang.


(18)

4

Persoalannya terkait malpraktek dalam skripsi ini adalah menggunakan contoh kasus dokter ayu dengan kronologis pasien Ny. Fransiska hamil anak kedua masuk rumah sakit atas rujukan puskesmas. Pada waktu masuk didiagnosis sebagai anak kedua dan sudah dalam persalinan kala itu, direncanakan persalinan secara alamiah. Delapan jam kemudian pasien masuk pada tahap persalinan. Tiga puluh menit kemudian persalinan tidak ada kemajuan dan timbul tanda-tanda gawat janin, diputuskan untuk melakukan bedah sesar emergensi.

Pada waktu sayatan dimulai keluar darah kehitaman (tanda ibu dalam keadaan kurang oksigen), bayi berhasil di lahirkan dan sampai saat ini telah menjadi anak yang sehat. Pasca Operasi pasien memburuk, dua puluh menit kemudian pasien meninggal.

Tim dokter (dr.Ayu, dr.Hendri, dr.Hendi) dituntut JPU hukuman 10 bulan penjara. Pengadilan Negeri Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah (bebas murni), karena salah satu alat bukti yaitu bedah mayat menyatakan bahwa sebab kematian karena Emboli udara (gelembung udara) yang ada dibilik kanan jantung jenazah, yang tidak bisa diprediksi dan dicegah. Jaksa mengajukan Kasasi Ke Mahkamah Agung, Kasasi dikabulkan.

Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.2

2


(19)

5

Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.3

Berdasarkan hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.4

Persoalan informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh kodeki (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.5

Tahap pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolak ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku pada “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur

3

Soenaryo,Tindak Pidana Medis, Bandung : Alumni 2011 hlm 34

4 Ibid hlm 36 5


(20)

6

yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu, adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.6

Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.7

Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.8

Timbulnya kewajiban dari pihak pemberi informasi dalam menyampaikan sebuah persetujuan tindak medik yang akan dilakukan atau setelah dilakukan. Tentunya

6

I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana (Materi Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana), Cetakan Pertama, Bayumedia Publishing, 2011 hlm 16

7 Ibid hlm 20 8


(21)

7

tenaga kesehatan harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/ keluarga diminta atau tidak diminta. Informasi tersebut harus dengan jelas yang berkaitan dengan penyakit pasien ; prosedur diagnostik, tindakan/terapi, alternatif terapi dan pembiayaan serta resiko yang mungkin timbul dari proses tersebut dan harus dijelaskan selengkap-lengkapnya, kecuali dipandang merugikan pasien atau pasien menolak untuk diberikan informasi. Informasi itu juga sewajarnya diberikan oleh tenaga kesehatan yang melakukan tindakan atau tenaga kesehatan lain yang diberi wewenang, dan bila dipandang perlu informasi bisa diberikan pada pihak keluarga pasien.9

Persetujuan dari pasien dari merupakan hal yang harus sangat diperhatikan, pasien tepat tidak dibawah tekanan hubungan tenaga – pasien. Sebelum dan sesudahnya telah mendapatkan informasi lengkap, dan pihak yang membuat persetujuan adalah mereka pasien dewasa (lebih dari 21 tahun atau sudah menikah ) atau dapat diwakilkan pihak Keluarga/ Wali/ induk semang.10

Syarat sahnya persetujuan tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap pasien, sejatinya pasien diberikan secara bebas, diberikan oleh orang yang sanggup membuat perjanjian.Telah mendapatkan penjelasan dan memahaminya, Mengenai susuatu hal yang khas dari persetujuan ini, tindakan dilakukan pada situasi yang sama.11

Informed consent merupakan suatu bentuk hubungan hukum (terapeutik) antara dokter dengan pasien dalam hal penyedian jasa layanan medis, terkadang dalam

9

Jafaruddin, Permasalahan Dalam Praktik Kedokteran, Bandung: Alumni, 2011 hlm 13

10 Ibid hlm 15 11


(22)

8

praktiknya seorang dokter untuk menghindari dirinya dari jerat hukum dapat melakukan pemalsuan informed consent, seperti contoh kasus dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani yang terjadi pada bulan desember 2013, dalam kasus tersebut dr.Dewa Ayu Sasiary Prawani beserta kedua rekan nya dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Handy Siagian karna para dokter tersebut di vonis bersalah oleh Mahkamah Agung dengan tuduhan Malpraktik terhadap Fransiska Julia Makatey yang meninggal saat melahirkan.12

Hal tersebut yang melatarbelakangi penulis untuk mengkaji lebih lanjut dalam skripsi yang berjudul “Studi perbandingan komporitif putusan mahkamah agung No. 365K/Pid/2012 dengan putusan peninjauan kembali No. 79PK/ Pid/2013 resident melakukan tindakan pembedahan”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Adapun permasalahan yang ada dalam proposal penelitian ini adalah :

a) Bagaimanakah perbandingan komparatif antara putusan mahkamah agung No. 365/Pid/2012 dengan putusan peninjauan kembali No. 79 PK/Pid/2013 ? b) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku resident tindakan

pembedahan yang menyebabkan pasien meninggal dunia ?

2. Ruang Lingkup

Ruang Lingkup dalam penelitian ini adalah :

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan dari permasalahan yang timbul, maka penulis membatasi pada lingkup Ilmu Pengetahuan Hukum

12 Dikutip dari website www.Asrorimedical.blogsspot.com/kasus_dr_ayu diakses tanggal 18


(23)

9

Pidana matril. Ruang lingkup substansi dalam penelitian ini adalah studi perbandingan komporitif antara putusan mahkamah agung No. 365K/Pid/2012 dengan putusan peninjauaan kembali No. 79PK/ Pid/2013 resident melakukan tindakan pembedahan. Ruang lingkup tempat penelitian di Kota Bandar Lampung dan tahun penelitian ini yaitu pada tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunanaan Penelitian 1. Tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui analisis Studi perbandingan komporitif antara putusan Mahkamah Agung No. 365/Pid/2012 dengan putusan Peninjauan kembali No. 79 PK/Pid/2013.

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku resident melakukan tindakan pembedahan yang mengakibatkan pasien meninggal dunia.

2. Kegunaan penelitian ini adalah :

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan hukum, khususnya di dalam Hukum Pidana, dalam rangka memberikan penjelasan mengenai Studi perbandingan komporitif antara putusan mahkamah agung No. 365K/Pid/2012 dengan putusan peninjauan kembali No. 79 PK/ Pid/2013 resident melakukan pembedahan.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa selama mengikuti program perkuliahan Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dan masyarakat umum mengenai


(24)

10

Studi perbandingan komporitif antara putusan mahkamah agung No. 365k/Pid/2012 denganputusan peninjauan kembali No. 79PK/Pid/2013 resident melakukan pembedahan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti.13

Teori pertanggungjawaban pidana

Keterangan-keterangan Alf Ross yang dikutip Roeslan Saleh lebih jauh menegaskan tentang pertanggungjawaban itu dinyatakan adanya hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat-akibat hukum yang disyaratkan.14

Perlu diingat kembali perbedaan mendasar dari tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana:15 “Dasar Adanya Tindak Pidana Adalah Asas Legalitas, Sedangkan Dasar Dapat Dipidananya Pembuat Tindak Pidana Adalah Asas Kesalahan.”

Perlu diingat kembali tentang Unsur-unsur tindak pidana, yaitu:16 1. Perbuatan

2. melawan hukum

13

Soerjono Soekanto. Penelitian Hukum, hlm 124.

14Moeljat o, dala buku ya

Asas-Asas Hukum Pidana , Cetaka Kedua, Jakarta: Bina Aksara, 1984 hlm 47

15 Ibid hlm 48 16


(25)

11

3. dilakukan dengan kesalahan (asas kesalahan : kesengajaan (dolus) & kealpaan (culpa))

4. Alat bukti dari fakta hakim, dari keterangan saksi ( terdakwa ) dan alat bukti.

5. patut dipidana

pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, sedangkan unsur-unsur kesalahan adalah :

1. Mampu bertanggung hawab

2. Mempunyai kesengajaan atau kealpaan 3. Tidak adanya alasan pemaaf

bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; (faktor akal) b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang

baik dan buruknya perbuatan tadi. (faktor perasaan/kehendak)

1. Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah itu.17

a. pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang

17


(26)

12

terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi.18

b. Pengertian Informed Consent adalah suatu kesepakatan / persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukanuntuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.19

c. Pengertian Pemalsuan adalah proses pembuatan, beradaptasi, meniru atau benda, statistik, atau dokumen-dokumen (lihat dokumen palsu), dengan maksud untuk menipu. Kejahatan yang serupa dengan penipuan adalah kejahatan memperdaya yang lain, termasuk melalui penggunaan benda yang diperoleh melalui pemalsuan.20

d. Pengertian pelaku adalah orang yang melakukan tindakan yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu ketidak sengajaan seperti yang disyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang atau telah melakukan tindakan yang terlarang atau mengalpakan tindakan yang diwajibkan oleh undang undang.21

18 Moeljat o, dala buku ya

Asas-Asas Hukum Pidana , Cetaka Kedua, Jakarta: Bi a Aksara, 1984 hlm 43

19

Jafaruddin, Permasalahan Dalam Praktik Kedokteran, Bandung: Alumni, 2011 hlm 9

20

I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana (Materi Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana), Cetakan Pertama, Bayumedia Publishing, 2011 hlm 26

21Moeljat o, dala buku ya

Asas-Asas Hukum Pidana , Cetaka Kedua, Jakarta: Bi a Aksara, 1984 hlm 24


(27)

13

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memahami skripsi ini secara keseluruhan, maka sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuuan yang memuat latar belakng masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, serta menguraikan tentang sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengertian pertanggungjawaban pidana ,teori pertanggungjawaban pidana, pengertian informed consent dan pengertian tindak pidana pemalsuan

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta tahap akhir berupa analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini pembahasan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini, akan dijelaskan pertanggungjawaban pidana terhadap Studi komporitif antara putusan Mahkamah Agung No. 365K/Pid/2012 dengan putusan Peninjauan kembali No. 79PK/Pid/2013 V. PENUTUP


(28)

14

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.1

Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.2

Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.

1

I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana (Materi Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana), Cetakan Pertama, Bayumedia Publishing, 2011 hlm 32

2


(29)

15

Konsep Rancangan KUHP Baru tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.3

Konsep pertanggungjawaban pidana adalah tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.4

Menurut Pompe istilah pertanggungjawaban pidana terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar. Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar. Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan

3 Ibid hlm 35 4


(30)

16

yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat.5

B. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Keterangan-keterangan Alf Ross yang dikutip Roeslan Saleh lebih jauh menegaskan tentang pertanggungjawaban itu dinyatakan adanya hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat-akibat hukum yang disyaratkan.6

Perbedaan mendasar dari tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana :

“dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan.”

Unsur-unsur tindak pidana, yaitu :7

1. Perbuatan 2. melawan hukum

3. dilakukan dengan kesalahan (asas kesalahan : kesengajaan (dolus) & kealpaan (culpa))

4. patut dipidana

pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, sedangkan unsur-unsur kesalahan adalah :

1. Mampu bertanggung jawab

2. Mempunyai kesengajaan atau kealpaan 3. Tidak adanya alasan pemaaf

5Moeljat o, dala buku ya

Asas-Asas Hukum Pidana , Cetaka Kedua, Jakarta: Bi a Aksara, 1984 hlm 54

6 Ibid hlm 47 7


(31)

17

Ada dua aliran yang selama ini dianut, yaitu: 8

1. Kaum indeterminis (penganut indeterminisme), yang pada dasarnya berpendapat, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan; apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada pemidanaan.

2. Kaum determinis (penganut determinisme) mengatakan, bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak (dalam arti nafsu-nafsu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-motif, ialah perangsang-perangsang datang dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan watak tersebut. ini berarti bahwa seseorang tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:9 1. Kemampuan bertanggung jawab

Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; (faktor akal)

8

Ibid hlm 51

9

I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana (Materi Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana), Cetakan Pertama, Bayumedia Publishing, 2011 hlm 68


(32)

18

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. (faktor perasaan/kehendak)

2. Kesengajaan (dolus) & Kealpaan (culpa)

a. Kesengajaan (dolus) Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja”, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. 1) Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan

unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.

2) Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat.

Menurut ilmu hukum pidana dibedakan tiga macam sengaja, yaitu :10

1) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk), Dalam VOS, definisi sengaja sebagai maksud adalah apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain, jika pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi maka sudah tentu ia tidak akan pernah mengetahui perbuatannya.

2) Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa, agar tujuan dapat tercapai, sebelumnya harus dilakuakan suatu perbuatan lain yang berupa pelanggaran juga.

10


(33)

19

b. Kealpaan (culpa)

Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. jadi, dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.

Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oeh hokum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat dibedakan atas dua yaitu :

1) Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) Kealpaan yang disadari terjadi apabila si pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya. Meskipun ia telah berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu.

2) Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) Kealpaan yang tidak disadari terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut.


(34)

20

Adapula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat ringannya, yang terdiri dari :

1. Kealpaan berat (culpa lata) Kealpaan berta dalam bahasa belanda disebut dengan merlijke schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa kealpaan berta ini tersimpul dalam ”kejahatan karena kealpaan”, seperti dalam Pasal : 188, 359, 360 KUHP.

2. Kealpaan ringan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld, para ahli tidak menyatakan tidak dijumpai dalam jenis kejahatan oleh karena sifatnya yang ringan, melainkan dapat terlihat didalam hal pelanggaran Buku III KUHP.

C. Pengertian Tindak Pidana Pemalsuan

Pemalsuan dalam surat-surat (valschheid in geschrift). Demikianlah judul title XII buku II KUHP. Maka KUHP berturut-turut memuat empat title, semua tentang kejahatan terhadap kekuasaan umum. Jadi jelaslah bahwa pemalsuan dalam surat-suart dianggap lebih bersifat mengenai kepentingan masyarakat dengan keseluruhannya, yaitu kepercyaan masyarakat kepada isi durat-surat daripada bersifat mengenai kepentingan dari individu-individu yang mungkin secara langsung dirugikan dengan pemalsuan surat ini.11

Unsur-unsur surat dari peristiwa pidana 12:

a. suatu surat yang dapat menghasilkan sesuatu hak sesuatu perjanjian utang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu kejadian.

11

Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Cetakan Certama, Jakarta: Sinar Grafika 2010 hlm 52

12


(35)

21

b. Membikin surat palsu (artinya surat itu sudah dari mulainya palsu) atau memalsukan surat (artinya surat itu tadinya benar, tetapi kemudian palsu). c. Tujuan menggunakan atau digunakan oleh orang lain.

d. Penggunaan itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 263

1. barang siapa membikin surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perutangan atau yang dapat membebaskan daripada utang atau yang dapat menjadi bukti tentang sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, jikalau pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian, maka karena memalsukan surat, dipidana dengan penjara selama-lamnya enam tahun.

2. Dipidana dengan pidana penjara semacam itu juga, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian.

Pasal 264.

1. yang bersalah melakukan pemalsuan surat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 8 tahun apabila perbuatan itu dilakukan :

a. pada akta-akta otentik

b. Pada surat-surat utang atau sertifikat utang yang dikeluarkan suatu Negara atau bagiannya atau oleh suatu lembaga umum.


(36)

22

c. Pada saham-saham atau utang-utang atau sertifikat sero atau sertifikat utang dari sesuatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai.

d. Pada segi saham, surat pembuktian untung sero dan bunga yang menjadi bagian dari surat-surat tersebut dalam kedua nomor termaksud diatas atau pada surat-surat bukti atau sebagai pengganti surat-surat itu.

e. Pada surat-surat kredit atau surat dagang yang disediakan untuk diedarkan.

Pemalsuan surat ada dua macam yakni 13:

1. Yang disebut pemalsuan materiil disini surat ini didalam ujudnya sama sekali palsu, sejak dari mulanya.

2. Yang disebut pemalsuan intelektuil disini suratnya sendiri tidak palsu dan ia dibuat sebagai mana mestinya akan tetapi isinya yang palsu.

D. Pengertian Informed Consent

Definisi informed consent adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.14

Informed Consent teridiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti informasi atau keterangan dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. jadi pengertian Informed Consent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian Informed Consent dapat di definisikan sebagai pernyataan pasien atau yang sah mewakilinya yang isinya berupa

13 Ibid hlm 54 14


(37)

23

persetujuan atas rencana tindakan kedokteran yang diajukan oleh dokter setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau penolakan. Persetujuan tindakan yang akan dilakukan oleh Dokter harus dilakukan tanpa adanya unsur pemaksaan.

Istilah Bahasa Indonesia Informed Consent diterjemahkan sebagai persetujuan tindakan medik yang terdiri dari dua suku kata Bahasa Inggris yaitu Inform yang bermakna Informasi dan consent berarti persetujuan. Sehingga secara umum Informed Consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh seorang pasien kepada dokter atas suatu tindakan medik yang akan dilakukan, setelah mendapatkan informasi yang jelas akan tindakan tersebut.

Informed Consent menurut Permenkes No.585/Menkes/Per/ IX/1989, Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.15

Berdasarkan hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek

15


(38)

24

hukum yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.16

Persoalan informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh kodeki (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.

E. Pengertian Dokter dan Pasien

Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuaan kompetensi yang di peroleh melalui pendidikan yang berjenjang dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.

Dokter berasal dari bahasa Latin yang berarti "guru" adalah seseorang yang karena keilmuannya berusaha menyembuhkan orang-orang yang sakit. Tidak semua orang yang menyembuhkan penyakit bisa disebut dokter. Untuk menjadi dokter biasanya diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus dan mempunyai gelar dalam bidang kedokteran.

Dokter adalah seorang tenaga kesehatan yang menjadi tempat kontak pertama pasien dengan dokternya untuk menyelesaikan semua masalah kesehatanyang dihadapi tanpa memandang jenis penyakit, organologi,golongan usia, dan jenis kelamin, sedini dan sedapat mungkin, secara menyeluruh, paripurna, bersinambung, dan dalam koordinasi serta kolaborasi dengan profesional

16


(39)

25

kesehatan lainnya, dengan menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika, dan moral.

Tugas seorang “dokter” adalah meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Melakukan pemeriksaan pada pasien untuk mendiagnosa penyakit pasien secara cepat dan memberikan terapi secara cepat dan tepat.

b. Memberikan terapi untuk kesembuhan penyakit pasien.

c. Memberikan pelayanan kedokteran secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan sakit.

d. Menangani penyakit akut dan kronik.

e. Menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standar.

f. Melakukan tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke RS.

g. Tetap bertanggung-jawab atas pasien yang dirujukan ke Dokter Spesialis atau dirawat di RS dan memantau pasien yang telah dirujuk atau di konsultasikan.

h. Bertindak sebagai mitra, penasihat dan konsultan bagi pasiennya.

i. Memberikan nasihat untuk perawatan dan pemeliharaan sebagai pencegahan sakit.

j. Seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran, pengobatan pasien sekarang harus komprehensif, mencakup promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dokter berhak dan juga berkewajiban melakukan tindakan tersebut untuk


(40)

26

kesehatan pasien. Tindakan promotif misalnya memberikan ceramah, preventif misalnya melakukan vaksinasi, kuratif memberikan obat/ tindakan operasi, rehabilitatif misalnya rehabilitasi medis.

k. Membina keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan taraf kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi.

l. Mawas diri dan mengembangkan diri/ belajar sepanjang hayat dan melakukan penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran.

m.Tugas dan hak eksklusif dokter untuk memberikan Surat Keterangan Sakit dan Surat Keterangan Berbadan Sehat setelah melakukan pemeriksaan pada pasien.

Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang di perlukan secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi, pasien juga merupakan seseorang yang menerima prawatan medis.

Pasien adalah orang sakit yang dirawat oleh seorang dokter. Jadi pasien adalah seseorang yang kondisi badannya tidak pada semestinya atau kurang baik dimana orang tersebut dirawat oleh seorang dokter.

Pasien adalah seseorang yang menerima perawatan medis, seringkali pasien menderita penyakit atau cedera dan memerlukan bantuan dokter untuk memulihkannya. Kata pasien dari bahasa Indonesia analog dengan kata patient dari bahasa Inggris. Patient diturunkan dari bahasa latin yaitu patiens yang memiliki kesamaan arti dengan kata pati yang artinya menderita.


(41)

27

F. Pengertian Malpraktik

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.

Malpraktik dapat di artikan sebagai kelalaian atau kegagalan seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim di pergunakan dalam mengobati pasien atau orang cedera menurut ukuran di lingkungan yang sama.

Pengertian dari malpraktek kedokteran adalah sebuah proses yang melibatkan kesalahan prosedur penanganan seorang pasien yang dilakukan oleh dokter. Kesalahan yang dimaksud diantaranya adalah kesalahan pada diagnosa, kesalahan pemberian obat, kesalahan pemberian terapi atau kesalahan penanganan pasien oleh dokter. Dalam semua kasus malpraktek kedokteran, pasien tentu adalah pihak yang dirugikan. Kerugian yang ditanggung tidak hanya secara materil, namun lebih dari itu bisa saja berupa kerugian secara kejiwaan dan mental pasien beserta keluarga.

Definisi malpraktek dalam dunia kedokteran adalah kelalaian profesional karena tindakan atau kealpaan oleh pihak penyedia jasa kesehatan, sehingga perawatan yang diberikan tidak sesuai dengan prosedur standar medis (SOP) sehingga mengakibatkan kondisi medis yang memburuk, atau kematian seorang pasien.


(42)

28

Definisi malpraktek di Indonesia adalah dokter gagal merawat pasien sehingga pasien meninggal dunia. Sepertinya asumsinya adalah kalau SOP medis dijalankan, seorang pasien tidak mungkin meninggal dunia.

Malpraktek juga merupakan tindakan profesional yang tidak benar atau kegagalan untuk menerapkan keterampilan profesional yang tepat oleh profesional kesehatan seperti dokter, ahli terapi fisik, atau rumah sakit.


(43)

29

III. METODE PENELITIAN

Metode sangat penting untuk menentukan keberhasilan penelitian agar dapat bermanfaat dan berhasil guna untuk dapat memecahkan masalah yang akan dibahas berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Metode adalah cara kerja untuk memahami objek yang menjadi tujuan dan sasaran penelitian.1 Soerjono soekanto mengatakan metodelogi berasal dari kata metode yang artinya jalan, namun menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan beberapa kemungkinan yaitu suatu tipe penelitian yang digunakan untuk penelitian dan penilaian, suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan, dan cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam melakukan penelitian ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

A. Pendekatan Masalah

Pembahasan terhadap masalah penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan masalah secara yuridis normatif. Di dalam penulisan skripsi terdapat 2 macam pendekatan masalah yang di kenal dengan yuridis normatif dan yuridis empiris: a) Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah yang didasarkan

pada peraturan perundang-undangan, teori-teori, dan konsep-konsep yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara melihat dan mempelajari kaidah-kaidah, norma-norma, aturan-aturan, yang erat hubungannya dengan penulisan penelitian ini.

38


(44)

30

b) Pendekatan yuridis empiris adalah adalah dengan mengadakan penelitian lapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktik dan mengenai pelaksanaannya. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara mempelajari kenyataan yang terjadi pada praktek lapangan, dimana pendekatan ini dilakukan dengan wawancara langsung terhadap pihak-pihak yang dianggap mengetahui dan ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas dan diperoleh atau didapatkan dilokasi penelitian.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data dalam penulisan skripsi ini diperoleh dari dua sumber, yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.2 secara langsung dari hasil penelitian lapangan, baik melalui pengamatan dan wawancara dengan para responden, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan asalah penullisan skripsi ini.

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan menelusuri literatur-literatur maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Pada umunya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera.3 Data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari:

a) Bahan hukum primer, antara lain:

1) Undang Undang Nomor 1 tahun 1946 Jo Undang Undang Nomor 1 tahun 1960 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2

Amirudin, S.H.,M.Hum, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal.30.

3


(45)

31

2) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1980 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3) Undang Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

b) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti, rancangan undang-undang, hasil penelitian dan pendapat para pakar hukum.

c) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang mencakup bahan memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,, seperti kamus, bibliografi, karya-karya ilmiah, bahan seminar, hasil-hasil penelitian para sarjana berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah seseorang yang memberikan informasi yang diinginkan dan dapat memberikan tanggapan terhadapinformasi yang diberikan.4 Pada penelitian ini penentuan Narasumber hanya dibatasi pada:

1. Hakim di pengadilan Negri Tanjung Karang : 1 Orang 2. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 Orang +

2 Orang

D. Prosedur Pengumpulan Dan Pengolahan Data

Penyusunan skripsi ini sesuai dengan jenis dan sumber data sebagaimana ditentukan diatas mempergunakan dua macam prosedur, dalam rangka mengumpulkan data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu :

4


(46)

32

1. Prosedur Pengumpuan Data a Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data yang bersumber dari dokumentasi yang berhubungan dengan masalah yang sedang dibahas, yang berhubungan dengan informan yang dikehendaki oleh peneliti. Data atau informasi yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder . pengumpulan data sekunder adalah terlebih menerima sumber pustaka, buku-buku, peraturan perundang-undangan dan lain-lain yang berkaitan dengan permasalahan

b Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan dengan cara obserasi dan wawancara untuk pengumpulan dan memperoleh data primer. Studi lapangan diakukan dengan cara mengadakan wawancara dengan responden, wawancara dilakukan secara mendalam dengan sistem jawaban terbuka untuk mendapatkan jawaban yang utuh.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul dengan baik yang diperoleh dari studi kepustakaan dan studi lapangan kemudian diolah dengan cara sebagai berikut :

a Editing, yaitu data yang didapatkan dari penelitian diperiksa dan diteiti kembali untuk mengetahui apakah data yang didapat itu sudah sesuai dengan pokok bahasan penelitian ini. Sehingga dapat terhindar dari adanya kesalahan data.

b Interpretasi, menghubungkan data-data yang diperoleh sehingga menghasilkan suatu uraian yang kemudian dapat ditarik kesimpulan.


(47)

33

c Sistematisasi, yaitu proses penyusunan dan penenmpatan sesuai dengan pokok permasalahan secara sistematis sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Setelah data sudah terkumpul data yang diperoleh dari penelitian selanjutnya adalah dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan data dan fakta yang dihasikan atau dengan kata lain yaitu dengan menguraikan data dengan kalimat-kalimat yang tersusun secara terperinci, sistematis dan analisis, sehingga akan mempermudah dalam membuat kesimpulan dari penelitian dilapangan dengan suatu interpretasi, evaluasi dan pengetahuan umum.Setelah data dianalisis maka kesimpulan terakhir dilakukan dengan metode induktif yaitu berfikir berdasarkan fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan yang bersifat khusus.


(48)

55

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penemuan dalam penelitian perbandingan komparatif putusan mahkamah agung No. 365K/Pid/2012 dengan putusan peninjauan kembali No. 79PK/ Pid/2013 pelaku resident melakukan tindakan pembedahan, penulis dapat menyimpulkan bahwa ada beberapa hal yang berkaitan dengan hasil penelitian yaitu:

1. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 365K/Pid/2012, Mahkamah Agung memutus memberi pidana penjara selama 10 bulan karena Majlis hakim telah yakin bahwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian telah memenuhi unsur kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.

2. Analisis Putusan Peninjauan Kembali No.79PK/ Pid/2013, Majelis Peninjau Kembali Mengabulkan permohonan para terdakwa di karnakan telah ditemukan bukti baru (nouvum) yang menyatakan bahwa para terdakwa sudah melakukan prosedur sesuai dengan SOP. Dan didalam peninjauan kembali Majlis Peninjau memiliki keyakinan bahwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian tidak melakukan kelalaian dan telah


(49)

56

melakukan operasi Cito Secsio Cesaria dengan benar dan sesuai prosedur, keilmuan, dan kompetensi.

3. Pertanggungjawaban pidana pelaku resident diatur berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 jelas terdapat tindakan dokter yang dapat dipidana Apabila dokter tidak memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien dan diatur juga mengenai Malpraktik kedokteran yang terdiri dari 4 (empat) hal, yaitu:

a) Tanggung jawab kriminal, b) Malpraktik secara etik, c) Tanggung jawab sipil, dan d) Tanggung jawab publik.

Dari keempat hal tersebut dijelaskan mengenai kriteria bahwa dokter dan atau tenaga medis dapat dikatakan melakukan malpraktik, tugas jaksa penuntut umum adalah membuktikan adanya pelanggaran terhadap kewajiban dokter yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 ini. Untuk memperkuat dalil-dalil dalam pembuktian, maka keterangan ahli sesama dokter yang memahami standar prosedur profesi sangatlah penting.


(50)

57

B. Saran

1. Diperlukan hakim-hakim pada semua tingkatan pengadilan yang memahami hukum kesehatan atau kedokteran, atau hakim-hakim memiliki spesialisasi di bidang hukum kesehatan atau kedokteran.

2. Perlu memperkuat kontribusi MKDI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) melalui pemberian pertimbangan hukum atas tindakan profesi para medis/dokter yang dilakukan oleh MKDI sebelum dilaksanakannya penyidikan dan penyelidikan oleh Kepolisian terhadap proses penyelesaian kasus.


(51)

1

DAFTAR PUSTAKA

Arrafa, 2012. Perlindungan Hukum Dalam Praktik Kedokteran, Jakarta : Bumi Aksara.

Amirudin, 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada

Asshofa, Burhan. 1998. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta. Hanafiah, M, Jusuf, 2009. Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan. Jakarta :

EGC

Hartono, 2010. Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Cetakan Certama, Jakarta: Sinar Grafika.

I Gede Widhiana Suarda, 2011. Hukum Pidana (Materi Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana), Cetakan Pertama, Bayumedia Publishing.

Irfan, Muhammad, 2010. Aspek Hukum Sengketa Medis, Jakarta: Raja Grafindo. Jafaruddin, 2011. Permasalahan Dalam Praktik Kedokteran, Bandung: Alumni. Mariyanti, 1986. Istilah Istilah Hukum, Jakarta : Bumi aksara.

Moeljatno, 1984. dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana”, Cetakan Kedua, Jakarta: Bina Aksara.

_________, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara.

Nawawi Arief, Barda. 2001 Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung:PT. Citra Aditya Bakti.

Siswanto, 2005 Penegak hukum Indonesia, Jakarta : Raja grafindo 2005 Santoso, Ardi, 1997. Kode Etik Profesi Dokter, Cet. I, Ind-Hill-Co, Jakarta. Soerjono Soekanto. 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan

Hukum Cetakan Kelima.Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta: UI-Press. Soenaryo, 2011. Tindak Pidana Medis, Bandung : Alumni.


(52)

2

Undang-Undang

1. Undang Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Internet :

Dikutip dari website www.Asrorimedical.blogsspot.com/kasus_dr_ayu diakses tanggal 18 Maret 2014 pukul 10.00 WIB.

http://bloge.lat. Pengertian narasumber Diakses tanggal 9 juni 2014, Pukul 10.00 WIB.


(1)

c Sistematisasi, yaitu proses penyusunan dan penenmpatan sesuai dengan pokok permasalahan secara sistematis sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Setelah data sudah terkumpul data yang diperoleh dari penelitian selanjutnya adalah dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan data dan fakta yang dihasikan atau dengan kata lain yaitu dengan menguraikan data dengan kalimat-kalimat yang tersusun secara terperinci, sistematis dan analisis, sehingga akan mempermudah dalam membuat kesimpulan dari penelitian dilapangan dengan suatu interpretasi, evaluasi dan pengetahuan umum.Setelah data dianalisis maka kesimpulan terakhir dilakukan dengan metode induktif yaitu berfikir berdasarkan fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan yang bersifat khusus.


(2)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penemuan dalam penelitian perbandingan komparatif putusan mahkamah agung No. 365K/Pid/2012 dengan putusan peninjauan kembali No. 79PK/ Pid/2013 pelaku resident melakukan tindakan pembedahan, penulis dapat menyimpulkan bahwa ada beberapa hal yang berkaitan dengan hasil penelitian yaitu:

1. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 365K/Pid/2012, Mahkamah Agung memutus memberi pidana penjara selama 10 bulan karena Majlis hakim telah yakin bahwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian telah memenuhi unsur kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.

2. Analisis Putusan Peninjauan Kembali No.79PK/ Pid/2013, Majelis Peninjau Kembali Mengabulkan permohonan para terdakwa di karnakan telah ditemukan bukti baru (nouvum) yang menyatakan bahwa para terdakwa sudah melakukan prosedur sesuai dengan SOP. Dan didalam peninjauan kembali Majlis Peninjau memiliki keyakinan bahwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian tidak melakukan kelalaian dan telah


(3)

melakukan operasi Cito Secsio Cesaria dengan benar dan sesuai prosedur, keilmuan, dan kompetensi.

3. Pertanggungjawaban pidana pelaku resident diatur berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 jelas terdapat tindakan dokter yang dapat dipidana Apabila dokter tidak memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien dan diatur juga mengenai Malpraktik kedokteran yang terdiri dari 4 (empat) hal, yaitu:

a) Tanggung jawab kriminal, b) Malpraktik secara etik, c) Tanggung jawab sipil, dan d) Tanggung jawab publik.

Dari keempat hal tersebut dijelaskan mengenai kriteria bahwa dokter dan atau tenaga medis dapat dikatakan melakukan malpraktik, tugas jaksa penuntut umum adalah membuktikan adanya pelanggaran terhadap kewajiban dokter yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 ini. Untuk memperkuat dalil-dalil dalam pembuktian, maka keterangan ahli sesama dokter yang memahami standar prosedur profesi sangatlah penting.


(4)

B. Saran

1. Diperlukan hakim-hakim pada semua tingkatan pengadilan yang memahami hukum kesehatan atau kedokteran, atau hakim-hakim memiliki spesialisasi di bidang hukum kesehatan atau kedokteran.

2. Perlu memperkuat kontribusi MKDI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) melalui pemberian pertimbangan hukum atas tindakan profesi para medis/dokter yang dilakukan oleh MKDI sebelum dilaksanakannya penyidikan dan penyelidikan oleh Kepolisian terhadap proses penyelesaian kasus.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arrafa, 2012. Perlindungan Hukum Dalam Praktik Kedokteran, Jakarta : Bumi Aksara.

Amirudin, 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada

Asshofa, Burhan. 1998. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta. Hanafiah, M, Jusuf, 2009. Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan. Jakarta :

EGC

Hartono, 2010. Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Cetakan Certama, Jakarta: Sinar Grafika.

I Gede Widhiana Suarda, 2011. Hukum Pidana (Materi Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana), Cetakan Pertama, Bayumedia Publishing.

Irfan, Muhammad, 2010. Aspek Hukum Sengketa Medis, Jakarta: Raja Grafindo. Jafaruddin, 2011. Permasalahan Dalam Praktik Kedokteran, Bandung: Alumni. Mariyanti, 1986. Istilah Istilah Hukum, Jakarta : Bumi aksara.

Moeljatno, 1984. dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana”, Cetakan Kedua, Jakarta: Bina Aksara.

_________, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara.

Nawawi Arief, Barda. 2001 Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung:PT. Citra Aditya Bakti.

Siswanto, 2005 Penegak hukum Indonesia, Jakarta : Raja grafindo 2005 Santoso, Ardi, 1997. Kode Etik Profesi Dokter, Cet. I, Ind-Hill-Co, Jakarta. Soerjono Soekanto. 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan

Hukum Cetakan Kelima.Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta: UI-Press. Soenaryo, 2011. Tindak Pidana Medis, Bandung : Alumni.


(6)

Undang-Undang

1. Undang Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Internet :

Dikutip dari website www.Asrorimedical.blogsspot.com/kasus_dr_ayu diakses tanggal 18 Maret 2014 pukul 10.00 WIB.

http://bloge.lat. Pengertian narasumber Diakses tanggal 9 juni 2014, Pukul 10.00 WIB.


Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122