Apa yang ada di langit di bumi dan di an (1)

Judul Buku: Economic Valuation of Nature: The Price to Pay for Conservation? A Critical
Exploration
Penulis: Jutta Kill
Penerbit: Rosa-Luxemburg-Stiftung, Brussels Office
Kota Terbit: Brussels, Belgia
Tahun Terbit: 2014
Tebal: vi + 58 halaman

Apa yang ada di langit, di bumi, dan di antara keduanya: finansialisasi (alam)
sebagai tahap paling maju dari imperialisme
Mitrardi Sangkoyo
“Deklarasi Kapital Alami merupakan inisiatif yang melampaui cerita ‘keberlanjutan’. Ia
mengenai materialitas kapital alami untuk kesehatan institusi-institusi finansial.”
—Situs resmi Deklarasi Kapital Alami (deklarasi yang ditandatangani oleh lebih dari
empat puluh institusi finansial saat Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro, 2012).1
“Tidak semua yang dapat dihitung patut dipertimbangkan, dan tidak semua yang patut
dipertimbangkan dapat dihitung.”
—William Bruce Cameron.2
Permainan Baru, Logika Lama
Sejak paruh akhir abad ke-20 hingga sekarang, bersamaan dengan apa yang dijuluki Kari Polanyi

Levitt (profesor emiritus ekonomi dari McGill University di Montreal dan anak dari filsuf Karl Paul
Polanyi) sebagai periode Finansialisasi Akbar (The Great Financialization),3 telah muncul berbagai
“inovasi” berupa diskursus, institusi, mekanisme, dan instrumen baru dalam memajukan apa yang
disebut-sebut sebagai “ekonomi hijau” atau green economy.4 Secara mendasar, inovasi-inovasi
tersebut sebetulnya bukan realitas yang baru. Sajian ekonomi hijau hanya merupakan lanjutan dari
proses “pemisahan” (secara fisik di lapangan dan secara ide di alam pikiran) manusia dengan alam,
serta proses valorisasi terhadap “sumber daya alam” yang merupakan sambungan dari proses
pembarangan atau komodifikasi, yang semuanya telah dan tengah berlangsung secara intensif
selama (paling tidak) tiga abad terakhir.5 Wujud dari inovasi-inovasi ini boleh jadi mutakhir, namun
yang mendasari mereka sejatinya adalah logika akumulasi dan ekspansi kapital yang inheren dalam
kapitalisme sejak awal mula kelahirannya, yang butuh mengekuivalensikan segala sesuatu yang ada
1

“The NCD [Natural Capital Declaration] is an initiative that goes beyond ‘sustainability’. It is
about the materiality of natural capital to the health of financial institutions.”
http://www.naturalcapitaldeclaration.org/
2
“Not everything that can be counted counts, and not everything that counts can be counted.”
William Bruce Cameron, Informal Sociology: A Casual Introduction to Sociological Thinking
(Random House, 1963), h. 13.

3
“I suggest that the transformational process, which has unravelled the institutional framework
that sustained the good times of the 1960s and 1970s, might be called The Great Financialization.
It had its origins in the dissolution of the Bretton Woods financial order, gathered momentum in the
1980s, and exploded in the mid 1990s.” Kari Polanyi Levitt, The Great Financialization (John
Kenneth Galbraith Prize Lecture, Juni, 2008), h. 9.
4
Jutta Kill, Economic Valuation of Nature: The Price to Pay for Conservation? A Critical
Exploration (Brussels: Rosa-Luxemburg-Stiftung, 2014). h. 5.
5
Untuk analisis historis yang tajam mengenai genealogi komodifikasi alam, baca James C. Scott,
Seeing Like A State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (Yale:
Yale University Press, 1999).

di langit, di bumi, dan di antara keduanya ke dalam relasi uang, agar dapat dieksploitasi dan
dikapitalisasikan.
“Menu prasmanan” ekonomi hijau mengandung konsep-konsep kunci seperti “akuntansi
kapital alami” (natural capital accounting), “finansialisasi alam” (financialization of nature) yang
merupakan bagian dari finansialisasi-segalanya (financialization of everything), “jasa-jasa
ekosistem” (ecosystem services), dan “kompensasi hilangnya keanekaragaman hayati” (biodiversity

offsets). Dalam bukunya yang jika diterjemahkan berjudul “Penilaian Ekonomis Terhadap Alam”,
Jutta Kill 6 berargumen bahwa ekspresi-ekspresi tersebut hampa makna. Konsep-konsep yang
mendukung dan membenarkan mereka bersifat samar dan abstrak, dan terbuka terhadap interpretasi
sporadis yang bergantung pada kepentingan “pribadi” dari pihak-pihak yang hendak
mengeksploitasinya.7 Di balik keabstrakannya, “cara-cara baru dalam mempresentasikan alam”
tersebut justru memiliki implikasi-implikasi yang sangat nyata dan destruktif terhadap manusia dan
ekologi.
Sebagai contoh, entitas-entitas sosial-ekologis yang menyejarah, seperti hutan yang tak
terpisahkan dengan masyarakat—dengan segala bentuk pengetahuan hidup, ingatan sosial yang
terintegrasi dalam praktik dan relasi sosial, kesadaran sosial-ekologis yang kolektif, dan
subjektivitas pengalaman yang tak tergantikan—yang tinggal di dalamnya, dapat dengan penuh
legalitas, restu, dan seringkali bantuan dari pasar dan negara, dihancurkan dan dihilangkan atas dalil
“kompensasi” (yakni, “pembelian” izin untuk merawat atau menanam hutan di daerah lain sebagai
6

Kill, op. cit., h. ii. Jutta Kill menempuh pendidikan formal sebagai ahli biologi. Perempuan yang
sejak 1993 bekerja sebagai aktivis, juru kampanye lingkungan, dan peneliti tersebut telah
menggabungkan penelitian akademis dan penelitian aksi dengan kampanye dalam rangka
mendukung komunitas-komunitas yang tinggal di hutan, yang ekonomi tradisional serta pola
hidupnya terancam oleh deforestasi dan solusi-solusi palsu terhadap krisis deforestasi dan iklim.

Penelitiannya telah menyoroti peran skema-skema sertifikasi sukarela, pasar karbon, serta “ekonomi
alam baru” dalam memelihara perdagangan yang timpang secara ekologis, yang semuanya
berhubungan erat dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, hak atas tanah, dan penggunaan
lahan tradisional masyarakat. Sejak tahun 2000, Kill telah berkontribusi terhadap analisis dalam
menunjukkan bagaimana perdagangan dengan izin-izin untuk mencemari merupakan solusi yang
palsu terhadap krisis iklim. Kill telah mendokumentasikan dampak-dampak lokal dari berbagai
proyek yang memproduksi kredit-kredit emisi yang diperdagangkan dalam pasar-pasar internasional
untuk emisi gas rumah kaca. Dokumentasi terkini mencakup laporan terhadap REDD dan proyekproyek kompensasi hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity offsets) di Amerika Latin dan
Afrika.
7
Kill, ibid., h. 5–6. Kill menjelaskan bagaimana “alam” (nature) itu sendiri tidak sekadar kata,
namun merupakan konsep—sebuah konstruksi sosial yang mengandung makna tersembunyi yang
menghalangi adanya perdebatan yang konstruktif tentang nilai-nilai dan proses penilaian “alam” itu
sendiri. Kebanyakan bahasa asli dan oral tidak memiliki kata yang sepadan untuk
merepresentasikan “alam”, melainkan memiliki nama-nama spesifik untuk lokasi-lokasi spesifik.
Kadang, bahkan, terdapat lebih dari satu nama untuk satu lokasi spasial yang sama, tergantung dari
aspek-aspek spesifik dari jejaring kehidupan dalam lokasi yang sedang dirujuk. Kata “alam”
memicu interpretasi, citra, dan asosiasi yang berbeda-beda dalam pikiran orang-orang yang
berbeda-beda pula. Terkait dengan diskursus “ekonomi alam baru”, kata “alam” dijadikan alat
untuk mengabstraksi “jasa-jasa ekosistem” dan mengekstraksi nilai ekonomis yang melekat

padanya. “Alam” dapat dengan mudahnya mengeksklusikan tempat-tempat yang memiliki nilai
yang besar untuk masyarakat, kendati tempat tersebut tidak berskor tinggi di skala “nilai konservasi
tinggi” atau “jasa ekosistem”.

ganti atas hutan yang dihancurkan) yang didasari atas perdagangan instrumen-instrumen finansial
yang diciptakan atas komoditas-komoditas baru yang diada-adakan.8 Contoh lain, negara-negara
pengemisi terbesar di belahan utara bumi dapat terus memuntahkan emisi gas rumah kaca secara
besar-besaran, bahkan melebihi batas maksimal yang diperbolehkan, karena “terkompensasi” oleh
pembelian “kredit karbon”, yang mengharuskan negara-negara pemilik hutan berskala besar, seperti
Indonesia, untuk merawat dan melindungi hutannya. Ekuivalensi bobot karbon dalam emisi dengan
luas hutan yang hendak “dibeli” didasari proses valorisasi hutan yang menggunakan metode-metode
“pengukuran” terhadap pohon, untuk mencoba menentukan jumlah “bobot karbon” yang dimiliki
hutan.9
Secara mendasar, buku ini hendak berkontribusi terhadap perdebatan dan perlawanan publik
yang kian membesar terkait dengan perjuangan masyarakat-masyarakat lokal di atas buminya Allah
ini, yang tengah berupaya membalikkan krisis sosial-ekologis—mereka yang terdisilusi oleh rupa
dan cara kerja “baru” (yang sejatinya sejak dulu tidak pernah berubah) dari kelas borjuasi yang,
dalam bahasa Marx di Manifesto Komunis, “senantiasa merevolusionerkan perkakas-perkakas
produksi dan karenanya merevolusionerkan hubungan-hubungan produksi, dan dengan itu
semuanya merevolusionerkan segenap hubungan dalam masyarakat.” 10 Kill berargumen keras

terhadap pandangan ekonomistik beserta kegemerlapan justifikasi “ilmiah” yang menyatakan
bahwa alam harus divalorisasi dan dijadikan kasatmata oleh pelaku bisnis, pasar-pasar finansial, dan
para pembuat kebijakan, dalam rangka menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati. Justru,
dengan tunduknya segala bentuk relasi kekuasaan dalam masyarakat terhadap mekanisme pasar,
serta tercaploknya kerangka-makna berbasis subjektivitas masyarakat oleh mesin-perang
kapitalisme, relasi dan syarat-syarat keselamatan sosial-ekologis kian mengalami perusakan dalam
frekuensi yang mengeskalasi dan mengintensifikasi.11
Sebagai upaya untuk turut berkontribusi dan tidak tertinggal dalam perkelahian yang tengah
berlangsung, tulisan ini akan mencoba memberikan saduran dan komentar terhadap substansi inti
dari pemikiran Kill dalam bukunya, kemudian mencoba berikan kontekstualisasi permasalahan
yang dipandang oleh Kill terhadap realitas krisis sosial-ekologis yang ada di kepulauan Indonesia.
Semoga berguna untuk manusia dan alam.
Finansialisasi (Alam): Logika Dasar dan Mekanisme Internalnya

8

Ibid.
Untuk informasi dan kritik lebih lanjut tentang pasar dan perdagangan karbon—yakni, pembukaan
kapasitas peredaran karbon bumi terhadap penilaian ekonomis dan perdagangan di pasar-pasar
finansial—baca

publikasi-publikasi
oleh
Carbon
Trade
Watch
[http://www.carbontradewatch.org/publications/carbon-trading-how-it-works-and-why-itfails.html], The Corner House [http://www.thecornerhouse.org.uk/resource/endless-algebra-climatemarkets], dan Fern [http://www.fern.org/designedtofail].
10
Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto of the Communist Party (Marx/Engels Internet
Archive (marxists.org), 1987, 2000). “The bourgeoisie cannot exist without constantly
revolutionising the instruments of production, and thereby the relations of production, and with
them the whole relations of society.”
11
Kill, op. cit., h. 10.
9

“Di mana bahkan sebuah akumulasi utang dapat tampak sebagai akumulasi kapital,
puncak distorsi yang berlangsung dalam sistem kredit menjadi terlihat jelas.”
—Karl Marx.12
Dalam upaya menelanjangi tipu-daya pergerakan kapital dan institusi-institusi mutakhirnya di era
kapitalisme global, salah satu konsep kunci yang perlu diperiksa terlebih dahulu ontologinya adalah

finansialisasi, yang dalam bukunya Kill dielaborasikan sebagai finansialisasi alam. Secara garis
besar, finansialisasi merupakan apresiasi terhadap aset-aset finansial (yakni, keuangan) yang
meningkatkan klaim terhadap kekayaan, namun tidak terhadap output-nya secara riil. Menurut
Gerald Epstein dalam tulisannya yang berjudul Financialization, Rentier Interests, and Central
Bank Policy (2002), sebagai sebuah fenomena, finansialisasi merujuk pada peningkatan signifikansi
pasar, motif, institusi, dan elit finansial dalam menjalankan ekonomi dan institusi-institusi yang
mengurusinya, baik di tingkat nasional maupun internasional.13 Pernyataan Epstein menggaungkan
pernyataan Joseph Schumpeter, seorang ekonom dan ilmuwan politik, bahwa “pasar uang selalu
merupakan markas besar sistem kapitalis.”14 Pernyataan-pernyataan tersebut tampak mengafirmasi
realitas krisis-krisis ekonomi internasional dalam dekade terakhir, yang secara langsung merupakan
akibat dari tak terbendungnya praktik akumulasi yang ada dalam institusi-institusi finansial.15
Sebagai tren global yang mendominasi, finansialisasi modern muncul sejak paruh terakhir
abad ke-20, dan menemukan basis materialnya pada revolusi teknologi informasi, sebagaimana
industrialisasi dimungkinkan oleh revolusi industri.16 John Bellamy Foster, profesor sosiologi di
University of Oregon, menulis dalam The Financialization of Accumulation bahwa finansialisasi
dapat didefinisikan sebagai perubahan jangka panjang di pusat gravitasi ekonomi kapitalis, dari
produksi menjadi keuangan. Menurutnya, perubahan tersebut tercerminkan dalam segala aspek
ekonomi, termasuk lima aspek utama yang menjadi kecenderungan umum dari finansialisasi, yang
didorong dan ditopang oleh kebijakan ekonomi-politik neoliberal:
• keuntungan keuangan yang meningkat sebagai bagian dari total keuntungan,

• peningkatan utang yang relatif terhadap produk domestik bruto,
• tumbuhnya FIRE (finance, insurance, real estate) sebagai bagian dari pendapatan nasional,
• proliferasi instrumen-instrumen keuangan yang eksotis dan tidak tembus pandang, dan
12

Karl Marx dan Friedrich Engels (ed.), Capital: A Critique of Political Economy, Volume III: The
Process of Capitalist Production as a Whole (Marx/Engels Internet Archive (marxists.org), 1999),
h. 327. “[W]hereby even an accumulation of debts may appear as an accumulation of capital, the
height of distortion taking place in the credit system becomes apparent.”
13
Kill. op. cit., h. 12.
14
John Bellamy Foster, The Financialization of Accumulation (Monthly Review, 2010),
http://monthlyreview.org/2010/10/01/the-financialization-of-accumulation/. “The money market is
always…the headquarters of the capitalist system.”
15
Untuk penjelasan yang komprehensif mengenai peran finansialisasi dalam jejaring krisis ekonomi
di dekade terakhir, baca John Bellamy Foster, The Financialization of Capital and the Crisis
(Monthly Review, 2008), http://monthlyreview.org/2008/04/01/the-financialization-of-capital-andthe-crisis/.
16

Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai genealogi finansialisasi modern terkait dengan
materialitas revolusi informasi teknologi, baca Manuel Castells, The Rise of the Network Society
(Massachussets: Blackwell Publishers, 1996).

17
• peran yang semakin berkembang dari gelembung-gelembung keuangan.
Untuk melihat secara lebih mendasar peran keuangan dalam ekonomi modern, pemikiran
John Maynard Keynes di awal dekade 1930-an menjadi penting untuk diperiksa, terutama dalam A
Monetary Theory of Production, yang secara signifikan terinspirasi oleh Marx dan rumus umum
untuk kapital. 18 Keynes menekankan bahwa teori ekonomi ortodoks mengenai pertukaran
didasarkan atas konsep ekonomi barter: uang diperlakukan dalam ekonomi ortodoks atau neoklasik
sebagai sesuatu yang “netral”, yang seharusnya tidak memengaruhi sifat esensial dari sebuah
transaksi sebagai pertukaran antarbenda yang nyata. 19 Sebaliknya, Keynes menawarkan teori
moneter dari produksi: uang merupakan salah satu aspek operatif dari ekonomi. Foster
menyebutkan bahwa keuntungan utama dari pendekatannya Keynes adalah bahwa ia menetapkan
bagaimana krisis-krisis ekonomi dimungkinkan. Di sini, Keynes secara langsung menyerang
Hukum Say, sebuah pemahaman ekonomi ortodoks bahwa penawaran menciptakan permintaannya
sendiri, sehingga krisis ekonomi secara prinsipil merupakan sesuatu yang tidak mungkin.
Menentang ini semua, Keynes menulis bahwa “ledakan dan depresi merupakan fenomenafenomena yang khas terhadap sebuah ekonomi di mana uang tidak netral.” 20 Berdasarkan
penafsirannya terhadap rumus umum untuk kapital yang dikemukakan oleh Marx—yang

menunjukkan keharusan mengintegrasikan dalam satu sistem antara yang riil dengan yang moneter,
produksi dengan keuangan 21 —akumulasi uang atau kapital kemudian diafirmasi oleh Keynes
sebagai satu-satunya tujuan dari sebuah perusahaan, dan karakteristik paling esensial dari sebuah
“ekonomi wirausaha”.22
Berjalan mundur, secara lebih mendasar lagi, finansialisasi merupakan manifestasi dari
analisis terhadap sistem keuangan kapitalis yang sebelumnya dikemukakan oleh Karl Marx. Marx
mengatakan bahwa di dalam rumus umum untuk kapital (M–C–M’: kapital awal–komoditas–kapital
awal ditambah dengan nilai-lebih 23 ) terdapat kecenderungan dari kapital untuk berusaha
mentransformasikan dirinya, murni menjadi sebuah ekonomi keuangan atau spekulatif. Rumus M–
C–M’ kemudian dapat berubah menjadi M–M’: uang beranak uang tanpa rantai perantara berbentuk
produksi komoditas—atau sebaliknya, uang itu sendiri yang mengalami komodifikasi. Marx
menulis bahwa di dalam M–M’, “hubungan kapital mencapai bentuk yang paling dangkal dan

17

Foster 2010, op. cit.
Ibid.
19
Ibid., “He [Marx] pointed out that the nature of production in the actual world is not, as
economists seem often to suppose, a case of C-M-C′, i.e., of exchanging commodity (or effort) for
money in order to obtain another commodity (or effort). That may be the standpoint of the private
consumer. But it is not the attitude of business, which is a case of M-C-M′, i.e., of parting with
money for commodity (or effort) in order to obtain more money.”
20
Ibid.
21
Ibid.
22
Ibid. “The firm is dealing throughout in terms of sums of money. It has no object in the world
except to end up with more money than it started with. That is the essential characteristic of the
entrepreneur economy.”
23
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I: The Process of Production in
Capital (Marx/Engels Internet Archive (marxists.org), 1995, 1999). “M-C-M’ is therefore in reality
the general formula of capital as it appears prima facie within the sphere of circulation.”
18

terjimatkan.”24 Jika pada awalnya M-M’ merujuk pada kapital berbunga (interest-bearing capital),
seiring dengan perkembangan kapitalisme ia berubah menjadi permintaan spekulatif terhadap uang
secara lebih umum. Marx menjelaskan bahwa kredit menggantikan posisi uang; kapital lambat laun
menjelma sebagai bentuk duplikat dari dua tipe internalnya, yakni kapital riil (real capital—stok
dari pabrik, peralatan, serta barang yang dihasilkan dari produksi) dan kapital fiktif (fictitious
capital—struktur dari klaim-klaim finansial yang diproduksi oleh lembaran kertas-berharga yang
berhak atas kapital riil). Marx menuturkan bahwa sejauh kegiatan ekonomi diarahkan menuju
pengapresiasian kapital fiktif yang berada dalam dunia keuangan—ketimbang akumulasi dari
kapital riil yang berada dalam dunia produksi—maka kapital itu sendiri telah bermetaformosis
menjadi bentuk yang murni bersifat spekulatif.25
Finansialisasi alam merupakan langkah lanjut dari penciptaan nilai-tukar dari “barang”
fiktif. Dapat dikatakan, apapun bisa dijualbelikan sebagai “produk” keuangan yang tidak memiliki
wujud fisik. Produk-produk keuangan tersebut disebut sebagai turunan atau derivatives, dan
“barang”-nya disebut sebagai underlying asset. (Penggunaan istilah asset juga menyingkap proses
privatisasi-segalanya.) Apakah dengan “inovasi”, atau lebih tepatnya petualangan kapital keuangan
ini, sistem kapitalisme terbebas dari krisis berkala? Tidak—justru, seperti yang disingkap oleh
realitas, ia adalah konfirmasi bahwa sistem ini tengah menciptakan penggali kuburnya sendiri.
Sesungguhnya finansialisasi alam, sendirinya bagian dari finansialisasi-segalanya, juga bersifat
revolusioner bagi kapitalisme: daur waktu yang tadinya dibutuhkan untuk sirkuit produksi, barang
dan realisasi profit, sekarang terbebaskan; cadangan minyak bumi telah dapat diperjualbelikan
sebelum diekstraksi. Itu juga sesungguhnya dorongan di balik space closure dan gejala land grab
(mirip dengan proses enclosure yang dihadapi masyarakat feudal Inggris yang memuncak di abad
ke-18, segala cerita finansialisasi alam semakin berjalan beriringan dengan praktik “green
grabbing” sebagai wujud terkini dari akumulasi primitif).26
Kill menambahkan bahwa finansialisasi dapat terjadi baik di tingkat komoditas yang
diperdagangkan, di tingkat perusahaan (saat korporasi memperdagangkan barang-barang yang telah
dijadikan komoditas), maupun di tingkat infrastruktur yang digunakan untuk berdagang di skala
yang lebih besar.27 Menurutnya, proses-proses finansialisasi terkini mencakup aspek pengada-adaan
komoditas tambahan, seperti mengubah kapasitas peredaran karbon bumi menjadi izin karbon
(carbon permits) yang dapat diperdagangkan. Menciptakan kelas aset dari komoditas yang diadaadakan tersebut merupakan bagian dari proses memfasilitasi akumulasi kapital yang lebih lanjut.
Hal menarik dari finansialisasi alam adalah keterpautannya pada proses komodifikasi; tidak hanya
secara fisik, namun terlebih dahulu secara makna. Ini yang Kill sebutkan sebagai pembingkaian,
atau framing, terhadap seperangkat ekosistem dengan fungsi-fungsi tertentu, yang dikonversi

24

Foster 2010, op. cit. “…the capital relationship reaches its most superficial and fetishized form.”
Ibid.
26
Kill, op. cit., h. 53.
27
Ibid., h. 12. Contoh di mana satu barang mengalami finansialisasi dalam tiga tingkatan yang
berbeda adalah minyak: minyak itu sendiri sebagai komoditas, perusahaan-perusahaan yang
memperdagangkan minyak, serta infrastruktur yang digunakan untuk mengekstraksi serta
memperdagangkan minyak ataupun derivatif-derivatif (yakni, instrumen keuangan) minyak.
25

menjadi “jasa-jasa ekosistem.”28 Dalam konteks tersebut, sampai di sini finansialisasi alam dapat
dipahami sebagai sebuah praandaian dari proses untuk memperlakukan daerah berhutan, padang
rumput, pegununungan, dan wilayah-wilayah alam lainnya sebatas sebagai kumpulan “jasa-jasa
ekosistem” yang mencakup antara lain keanekaragaman hayati, regulasi dan filtrasi air, serta
penyimpanan dan pengikatan karbon (carbon storage and sequestration), yang nilai ekonominya
dapat dihitung dan diekspresikan dalam terminologi moneter.29
Moneterisasi, penerapan harga, serta komersialisasi tersebut kemudian dilanjutkan oleh
pembakuan hak-hak properti atas “jasa-jasa ekosistem” tertentu, ataupun atas tanah yang
memproduksi “jasa-jasa” tersebut. Proses ini seringkali melibatkan privatisasi terhadap tanah yang
tadinya dimaknai sebagai commons atau ruang-hidup bersama. Tanah beserta fungsi-fungsi yang
disediakan olehnya, yang tadinya dapat secara terbuka diakses dalam rezim-rezim komunal atau
properti publik, berubah menjadi properti privat. Privatisasi tersebut dilanjutkan oleh komersialisasi
dari “jasa-jasa ekosistem”, yakni kontrol keuangan atas wilayah-wilayah alam serta penggunaan dan
akses terhadapnya, berupa penciptaan struktur-struktur institusional untuk penjualan dan penukaran
“jasa-jasa ekosistem”. Pada tahap ini, secara luas, finansialisasi alam dimengerti sebagai seluruh
proses untuk meningkatkan pengaruh dari aktor, institusi, pasar, dan cara berpikir finansial terhadap
persepsi masyarakat dan cara pendekatan masyarakat terhadap alam itu sendiri. Adapula yang
menginterpretasikan finansialisasi alam secara lebih sempit, yakni berfokus hanya pada
perdagangan placeholder dari satuan-satuan “jasa ekosistem” di atas platform-platform
pertukaran,30 yang melibatkan derivatif keuangan yang harganya berkembang independen dari aset
“jasa ekosistem” yang aktual.31
Jejak Langkah Finansialisasi Alam di Panggung Global
“Dengan penciptaan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi karbon, banyak
orang yang sepertinya mengira bahwa mekanisme tersebut akan bertindak dalam cara
yang nonpasar, alhasil mengurangi angka kemiskinan, memberikan manfaat bersama
untuk pembangunan berkelanjutan. Tetapi, secara fundamental, kamu menciptakan
pasar yang bertindak selayaknya pasar, yang mengejar di mana yang paling hemat
biaya, di mana yang dapat menghasilkan keuntungan paling banyak. Menurut saya,
siapapun yang tidak mengira bahwa sebuah instrumen pasar akan bertindak seperti itu
tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan.”
—Michael Grubb, 2011, bekas ekonom kepala di Carbon Trust, menanggapi keluhan
organisasi-organisasi nonpemerintah bahwa salah satu dari instrumen perdagangan
28

James C. Scott dalam Seeing Like a State mengeksplorasi bagaimana perombakan makna tersebut
sudah terjadi di hutan-hutan Eropa sebelum revolusi industri, bersamaan dengan muncul dan
berkembangnya filsafat utilitarianisme.
29
Kill, op. cit.
30
Ibid., h. 21. Dalam kasus “jasa-jasa lingkungan”, bukan “jasa” itu sendiri yang diperdagangkan,
melainkan sertifikat yang merepresentasikan jaminan bahwa “jasa” tersebut ada dalam lokasi,
kuantitas, dan kualitas tertentu. Sertifikat tersebut kerap disebut sebagai kredit kompensasi (offset
credit).
31
Ibid., h. 13.

karbon yang ada dalam Protokol Kyoto, Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean
Development Mechanism atau CDM), telah gagal untuk berkontribusi terhadap
“pembangunan berkelanjutan” dalam cara yang dijanjikan di dokumen resminya.32
Kill memulai tuturannya tentang praktik ekonomi hijau di era kontemporer dengan sebuah
eksplorasi dan pembandingan terhadap genealogi dan cara kerja dari berbagai inisiatif dalam
ekonomi hijau tersebut, seperti Pengkajian Ekosistem Milenium (Millennium Ecosystem
Assessment), proyek-proyek Akuntansi Kapital Alami (Natural Capital Accounting), Ekonomika
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati (The Economics of Ecosystems and Biodiversity atau
TEEB), dan penerapan skema-skema Pembayaran untuk Jasa Lingkungan (Payment for
Environmental Services atau PES) dalam skema-skema penilaian dan pembayaran ekonomis.
Inisiatif-inisiatif tersebut berusaha mendeterminasi nilai ekonomis dari “alam”. Di bawah logika
dari inisiatif-inisiatif tersebut, makna alam direduksi dan kemudian difragmentasi ke dalam
ekosistem-ekosistem yang berbeda, yang antara lain terdiri dari satuan-satuan keanekaragaman
hayati, karbon, air, spesies, atau bahkan “keindahan alami” (natural beauty).33
Proses-proses finansialisasi alam yang telah disebutkan pada kenyataannya merupakan
bagian dari corak ekonomi-politik neoliberal yang lebih umum, yang kian mendominasi ranah
publik. 34 Upaya-upaya serupa untuk mengorganisir ulang relasi kekuasaan dalam masyarakat
tampak di bidang-bidang lain seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, perikanan, agrikultur, dan
infrastruktur. Bidang kesehatan, contohnya, tengah menyaksikan transformasi yang pelan tapi pasti,
pertama dengan upaya untuk mengekspresikan relasi-relasi kepedulian (care relations) dalam
terminologi ekonomis, yang kemudian dikonversi menjadi jasa-jasa yang terfragmentasi, yang
ketersediaannya semakin lama dibatasi pada proses pertukaran melalui pembayaran.35 Secara garis
besar, terdapat dua argumen yang diajukan untuk membenarkan transformasi tersebut, baik dalam
bidang alam maupun dalam jasa-jasa publik yang lain: pertama, mekanisme-mekanisme peraturan
dan kultural yang sudah ada terbukti tidak efektif sebagai instrumen regulasi, dan kedua, instrumeninstrumen berbasis pasar untuk penyediaan dan pengaksesan jasa lebih efisien secara biaya. Yang
diimplikasikan adalah, dengan mengurangi intervensi negara, penyediaan jasa maupun
perlindungan terhadap wilayah-wilayah alam akan diserahkan kepada “pasar bebas” yang lebih
efisien. Argumen-argumen ini diberikan di tengah banyaknya bukti bahwa negara sendiri memiliki
peran kunci dalam mentransformasi kerjasama dan regulasi berbasis komunitas menjadi penyediaan
dan pengaksesan “jasa” yang berbasis pasar dan berorientasi komersial.36
32

Ibid., h. 30. “Having created a market-based mechanism to cut carbon, a lot of people seem to
expect it to behave in a non-market way and deliver poverty alleviation, deliver sustainable
development co-benefits. But fundamentally, you create a market, it’s behaving the way markets do,
it chases where are the most cost effective things, where can they make the most profits and I think
that anyone who didn’t expect a market instrument to behave in that way didn’t understand what
they were doing.”
33
Ibid., h. 6.
34
Ibid., h. 8.
35
Literatur mengenai praktik ekonomi-politik neoliberalisme dalam mentrasformasi jasa-jasa publik
banyak dan tersebar. Untuk pengantar sekaligus kontribusi analisis historis yang tajam, baca David
Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005).
36
Kill, op. cit., h. 10.

Garis depan dan titik rujuk bagi inisiatif finansialisasi alam adalah pasar karbon, yang
menjadi rujukan dalam advokasi terhadap penyertaan semakin banyak elemen dari jejaring
kehidupan ke dalam pasar kapital. Pasar dan perdagangan karbon sendiri memiliki sejarah yang
panjang, yang menunjukkan persetubuhan antara institusi-institusi kapital dengan konvensikonvensi internasional, komunitas-komunitas ilmuwan internasional, serta lembaga-lembaga aliansi
negara-bangsa di tingkat global. Pendirian pasar karbon untuk perdagangan satuan ekuivalen dari
gas rumah kaca (CO2e) pertama kali difasilitasi oleh Protokol Kyoto, sebuah perjanjian iklim
internasional yang menetapkan berbagai target numerik untuk emisi-emisi gas rumah kaca. Dua
konferensi internasional di Rio de Janeiro, Brazil, juga memainkan peran yang tak kalah pentingnya
dalam inisiatif mempromosikan perspektif yang ekonomistik terhadap “alam”: Konvensi
Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity atau CBD) yang diadopsi di
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi 1992 (1992 Earth Summit) dan, dua puluh tahun kemudian,
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pembangunan Berkelanjutan (United Nations
Conference on Sustainable Development atau Rio+20), yang merupakan titik temu yang krusial
bagi para pendukung konsep “ekonomi hijau”.37
Apa yang dipromosikan di pertemuan-pertemuan tersebut antara lain mencakup usulan
untuk “menghijaukan” (greening) aktivitas-aktivitas industrial yang merusak melalui mekanismemekanisme kompensatoris, seperti diperkenalkannya konsep “keanekaragaman hayati”, serta
kompensasi-kompensasi lainnya. Konvensi Keanekaragaman Hayati mengukuhkan pandangan
terhadap “alam” sebagai situs untuk “keanekaragaman hayati”, yang sendirinya merupakan konsep
yang telah meningkat momentumnya sejak dekade 1970-an. Konsep tersebut memberi jalan untuk
dapat mengkuantifikasikan “alam”, dan memberikan langkah kecil dari “keanekaragaman genetis”
(genetic diversity)—sendirinya turunan dari keanekaragaman hayati—menjadi “sumber daya
genetis” (genetic resources), yang alhasil mengisolasikan satuan-satuan yang berbeda (seperti
keanekaragaman genetis) dari jejaring kehidupan yang lebih kompleks. Pada akhirnya, satuansatuan tersebut dapat dideskripsikan, dikalkulasikan nilai ekonomisnya, dan ditentukan harganya.38
Pertemuan Rio+20 di tahun 2012 juga merupakan momentum penting untuk para
pendukung skema akuntansi kapital alami (natural capital accounting), sebuah tolak ukur yang
diajukan sebagai indikator alternatif terhadap produk domestik bruto. Uni Eropa dan Bank Dunia,
melalui program Akuntansi Kekayaan dan Penilaian Jasa-Jasa Ekosistem (Wealth Accounting and
the Valuation of Ecosystem Services atau WAVES—di tahun 2013, Indonesia bergabung dalam
WAVES sebagai salah satu negara penerap inti39), meluncurkan serangkaian inisiatif akuntansi
kapital alami. Saat Rio+20, lebih dari empat puluh pejabat eksekutif tertinggi bank, investor, dan
penjamin modal yang didukung oleh sejumlah negara di dunia mengumumkan “Deklarasi Kapital
Alami” (Natural Capital Declaration), sebuah “pernyataan global yang menunjukkan komitmen

37

Ibid., h. 8–9.
Ibid., h. 9.
39
Untuk
penjelasan
lebih
lanjut,
http://www.wavespartnership.org/en/about-us.
38

lihat

situs

resmi

WAVES,

dari sektor finansial untuk bekerja mengintegrasi kriteria kapital alami ke dalam produk-produk dan
jasa-jasa finansial.”40
Di samping pertemuan dan konvensi yang sudah disebutkan, institusi-institusi global juga
tak kalah basahnya. Di akhir tahun 1999, sebuah komite yang di dalamnya terdapat Program
Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environmental Programme atau UNEP),
Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme atau
UNDP), Dewan Internasional untuk Ilmu Pengetahuan (International Council for Science), CGIAR,
Institut Sumber Daya Dunia (World Resources Institute atau WRI), Bank Dunia (World Bank),
Dewan Bisnis Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (World Business Council for Sustainable
Development), serta Serikat Konservasi Dunia (World Conservation Union), mengesahkan resolusi
yang meminta didirikannya Pengkajian Ekosistem Milenium (Millennium Ecosystem Assessment
atau MA). 41 Pada bulan Februari 2001, MA secara resmi diterapkan, dan mempublikasikan
penemuan mereka di akhir bulan Maret 2005. MA secara umum dikenal sebagai penanda penting
yang dengan kokoh menempatkan konsep “jasa-jasa ekosistem” dalam agenda kebijakan publik.
Sejak penerapannya, literatur mengenai jasa-jasa ekosistem, termasuk pendanaan untuk proyekproyek internasional yang menggunakan konsep tersebut, berlipat ganda. Inisiatif-inisiatif tersebut
membantu membingkai secara umum permasalahan-permasalahan lingkungan global—dan, secara
spesifik, hilangnya “keanekaragaman hayati” dan hutan—dalam terminologi-terminologi
ekonomistik, dan menempatkan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) sebagai metode dasar
untuk pengkajian.
Secara garis besar, Kill mengidentifikasi pelaku-pelaku yang terlibat dalam penciptaan pasar
kapital alami menjadi enam kelompok, dan menyebutkan secara rinci beberapa nama dari pelaku
tersebut, beserta jejaringnya dan hubungannya satu sama lain dalam praktik eksploitasi alam
melalui instrumen dan pasar finansial:42
• Institusi multilateral: Bank Dunia, Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United
Nations Environment Programme atau UNEP), Serikat Internasional untuk Konservasi Alam
(International Union for the Conservation of Nature atau IUCN).
• Korporasi multinasional: Dewan Bisnis Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (World
Business Council for Sustainable Development atau WBCSD), Business for Social
Responsibility (BSR), AkzoNobel, Eni, Holcim, Rio Tinto, Shell, Dow Chemical, Shell, Walt
Disney Company, Anglo American, British American Tobacco, Olam, Atama, Arcelor Mittal,
Lafarge, Eksom, dan lain-lain.
• Industri finansial: lebih dari empat puluh lembaga finansial yang tergabung dalam Deklarasi
Kapital Alami.

40

Ibid., h. 10. Deklarasi Kapital Alami kini telah ditandatangani oleh lebih dari empat puluh
institusi finansial. Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat situs resmi Deklarasi Kapital Alami di
http://www.naturalcapitaldeclaration.org/.
41
Ibid., h. 9. Beberapa bulan kemudian, Konvensi Keanekaragaman Hayati beserta Konvensi untuk
Memerangi Penggurunan (Convention to Combat Desertification atau CCD) secara resmi
mendukung MA sebagai mekanisme untuk memenuhi bagian-bagian tertentu dari kebutuhan
pengkajian mereka. Pada bulan Oktober 2000, Bank Dunia menyetujui pinjaman empat tahun
sebesar US$2 juta kepada MA, sementara UNEP setuju memberikan dana US$200.000 per tahun.
42
Ibid., h. 25.

• Organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang konservasi: Conservation International
(CI), The Nature Conservancy (TNC), World Wide Fund for Nature (WWF), the Wildlife
Conservation Society (WCS), dan Flora and Fauna International (FFI), dan lain-lain.
• Spesialis dalam bidang pendanaan investasi dan pencipta pasar (market makers): Ecosystem
Marketplace, Canopy Capital, Carbon Neutral Company, Climate Care, Bolsa Verde do Rio
de Janeiro, Althelia, Terra Global, Forest Carbon Group, Wildlife Works, Ecosystem
Restoration Associates, Program Kompensasi untuk Bisnis dan Keanekaragaman Hayati
(Business and Biodiversity Offsets Programme atau BBOP) yang merupakan bagian dari grup
Forest Trends.
• Universitas dan badan-badan konsultasi: jaringan Valuing Nature Network yang berbasis di
U.K. (koalisi universitas, institusi penelitian, perusahaan, dan organisasi nonpemerintah di
bidang konservasi), dan lain-lain.
“Komoditas Imajiner” bertemu “Pengetahuan Mustahil”: Delusi Pertumbuhan Tak
Terhingga di Planet yang Terbatas
Kita sudah melihat bagaimana garis besar cara kerja proses finansialisasi, serta bagaimana ia
bermanifestasi untuk merombak relasi-relasi makna dan nilai yang ada dalam alam. Terdapat satu
bentuk praktik finansialisasi alam yang sebelumnya sudah disinggung, yakni mekanisme
“kompensasi atas kehilangan” atau offset. Memeriksa dan memahami kecacatan logika dari
mekanisme kompensasi secara lebih khusus merupakan salah satu kunci untuk membongkar
absurditas industri ada-adaan ini.
Kredit-kredit kompensasi, atau offset credits—baik untuk emisi-emisi karbon dioksida,
perusakan wilayah-wilayah alami, maupun hutan yang ditebang secara ilegal—memungkinkan
pemegang “sertifikat kompensasi” untuk mengklaim bahwa efek dari polusi atau perusakannya
telah dihapuskan (nullified). Agar dapat membenarkan klaim tersebut, tidak cukup untuk sebatas
mengurangi emisi atau menyelamatkan sepetak hutan: pengurangan atau perlindungan harus ada
sebagai tambahan dari pengurangan maupun perlindungan yang tadinya sudah direncanakan.
Artinya, jika pengurangan yang digunakan sebagai kompensasi tersebut tidak bersifat tambahan,
atau jika hutan yang diselamatkan sebelumnya tidak terancam ditebang, klaim dari pemegang
“sertifikat kompensasi” bahwa dampak negatifnya terhadap lingkungan telah “dikompensasikan”
menjadi tidak berdasar. Maka dari itu, penghitungan berapa banyak kredit yang dapat dijual oleh
sebuah proyek kompensasi tergantung dari kemampuan untuk memperkirakan apa yang tadinya
akan terjadi di kala absennya sebuah kondisi tertentu, serta kemampuan untuk dapat
mengkuantifikasi—sampai pada tingkat presisi yang tinggi—bagaimana kondisi hipotetis tersebut
tadinya akan berjalan.43
Pada kenyataannya, tidak mungkin untuk memverifikasi apa yang seharusnya akan terjadi
dalam absennya sebuah kondisi tertentu; yang terjadi murni adalah sebuah proses spekulasi.
Kendatipun demikian, setiap proyek kompensasi perlu menuturkan cerita tentang persisnya berapa
ton CO2 yang seharusnya akan dilepaskan dalam “masa depan hipotetis” yang tidak melibatkan
“proyek kompensasi karbon” tersebut, atau berapa hektar hutan yang akan hilang seandainya
43

Ibid., h. 24.

sebuah proyek REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), misalnya,
tidak ada. (Dalam kasus tersebut, proyek kompensasi juga perlu mengonversikan jumlah hektar
hutan yang tidak ditebang menjadi jumlah ton CO2 yang “diselamatkan”, alhasil membutuhkan
praktik tebak-tebakan lebih lanjut.) Sementara itu, instansi-instansi yang menyetujui “kredit
kompensasi” perlu memverifikasi bahwa seluruh cerita tersebut tidak terjadi, dan tidak akan pernah
terjadi. Kendati teknik-teknik pengukuran untuk emisi-emisi CO2 dari hutan dapat dikembangkan,
pada akhirnya mereka tidak akan berdaya untuk memungkinkan penghitungan-penghitungan
“kompensasi” agar dapat diverifikasi.44
Berdasarkan paradoks-paradoks tersebut, “kredit kompensasi” dideskripsikan Kill sebagai
komoditas imajiner, yang dihasilkan oleh perbedaan antara apa yang terjadi, dan cerita tentang apa
yang tadinya akan terjadi. Dalam praktiknya, para pembeli “kredit kompensasi” sejatinya
membayar untuk sebuah pendongengan, bukan untuk “jasa-jasa ekosistem”. Seperti halnya logika
finansialisasi pada dasarnya, industri kredit kompensasi merupakan industri ada-adaan yang
mengklaim memiliki akses terhadap apa yang disebutkan oleh Kill sebagai “pengetahuan mustahil”
(impossible knowledge); tuan mereka hanyalah pasar dan logika akumulasi dan ekspansi internalnya
sendiri.45
Mendekati akhir buku, Kill secara eksplisit membongkar beberapa mitos seputar penilaian
ekonomis terhadap alam. Secara keseluruhan, mitos-mitos tersebut hanya mencoba untuk
membenarkan melalui pencari-carian alasan, atau untuk mengandaikan kondisi yang dapat
menjadikan penilaian ekonomis terhadap alam sebagai sesuatu yang bermanfaat. Yang melemahkan
mitos-mitos tersebut adalah keterikatannya pada logika dasar finansialisasi yang dalam praktiknya
berimplikasi langsung pada krisis sosial-ekologis. Berikut saduran dari mitos-mitos tersebut beserta
kontra-argumen yang diberikan Kill:46
• “Satu-satunya cara untuk menyelamatkan alam adalah dengan menunjukkan nilai
ekonomisnya”: Kenyataannya, finansialisasi alam tidak hanya gagal menyelamatkan alam—ia
juga mengakibatkan krisis bagi manusia yang menjadi alam sebagai tempat tinggal. Seluruh
cerita tentang penilaian ekonomis terhadap alam mengeksklusikan subjek sejarah yang
menempati wilayah-wilayah alam tersebut, yang justru telah ikut serta membentuk komposisi,
struktur, dan penampilan dari wilayah alami yang mereka duduki, sesuai dengan kesadaran
sosial-ekologis yang paling ramah dan efisien menurut pengetahuan hidup (living knowledge)
mereka. Selain itu, masyarakat kehilangan tanahnya bukan karena kurangnya cara untuk
mengakuntansikan nilai dari ekosistem dan keanekaragaman hayati, melainkan karena caracara masyarakat untuk mengkaji dan mempertahankan nilai—ekonomis, kultural, spiritual,
inheren—dari wilayah yang mereka sebut sebagai “rumah” secara terus-menerus dikikis,
diabaikan, atau bahkan ditekan di kala kepentingan-kepentingan eksternal membuat keputusan
tentang penggunaan tanah. Banyaknya konflik seputar penggunaan tanah antara komunitas
dan korporasi—yang seringkali dibantu oleh aparat negara—menjadi saksi atas fakta tersebut.
• “Menghitung nilai ekonomis tidak sama dengan menaruh “tempelan harga” di atas alam”:
Pendeskripsian sesuatu berdasarkan nilai-nilai ekonomis dan penerapan nilai ekonomis

44

Ibid.
Ibid.
46
Ibid., h. 39.
45

terhadapnya, walaupun tidak secara otomatis melibatkan komodifikasi atau penghargaan
(pricing), mendukungnya secara praktik dengan pemberian insentif ekonomis terhadap
terciptanya pasar untuk instrumen-instrumen finansial.
• “Hutannya juga lambat laun pasti akan dihancurkan. Daripada tidak mendapat apa-apa, lebih
baik membuat perusahaan-perusahaan membayar untuk kerusakan yang mereka hasilkan”:
Argumen tersebut merupakan alat psikologis korporasi untuk melemahkan perlawanan dan
gerakan di tingkat komunitas, dan menjadi hampa di hadapan kasus-kasus seperti masyarakat
Tupinikim dan Guarani, Nuxalk, Navajo, gerakan No TAV atau gerakan No Dirty Gold di
Rosia Montana, yang semuanya berhasil bertahan melawan korporasi besar dan bahkan
mampu merebut kembali tanah-tanah mereka yang tadinya dalam status sengketa.
• “Kompensasi seharusnya hanya digunakan sebagai pilihan terakhir”: Perdagangan
“kompensasi” tidak mengusahakan apa-apa untuk mengubah model terkini dari produksi dan
konsumsi yang menjadi tumpuan dari banyaknya krisis sosial-ekologis yang sedang dihadapi,
termasuk perusakan perlahan dari sistem-sistem pendukung alami yang menopang kehidupan
manusia. Sebaliknya, ia bergantung penuh pada model tersebut dan menguatkannya.
Perdagangan, baik dalam “kompensasi” maupun “ekonomi hijau”, didasari atas asumsi bahwa
pertumbuhan dan akumulasi kapital yang tak terhingga dimungkinkan di atas planet yang
secara fisik terbatas.
• “Sebuah bentuk penilaian diperlukan untuk menentukan kompensasi yang akurat atas
kerusakan setelah terjadinya, misalnya, kebocoran minyak”: Penilaian ekonomis melayani
pembenaran perusakan di masa depan melalui pembayaran awal (advance payment) dalam
bentuk paket-paket kompensasi, perbankan keanekaragaman hayati (biodiversity banking) dan
kompensasi konservasi. Menilai “alam” berdasarkan istilah-istilah ekonomis mengandaikan
bahasa, metodologi, dan data yang dipersiapkan adalah sama. Hal ini terlepas dari apakah
konteksnya adalah untuk menentukan ukuran denda sebagai hukuman untuk kehilangan dan
kerusakan di masa lalu, maupun sebagai kompensasi untuk membenarkan perusakan di masa
depan atas wilayah-wilayah alami.
Penutup: Kontekstualisasi Krisis dan “Kekerasan Epistemik”
“Tentram, aman di kampung, banyak gunung yang nggak bisa dibeli oleh uang yang
banyak. Walau jadi petani, gak apa-apa, aku bangga jadi petani. […] Kami itu cinta
lingkungan, cinta ibu pertiwi, sama seperti cinta ibu sendiri. […] Ibu pertiwi lagi
kesusahan. Usus-ususnya, jantungnya mau dikeruk. Dia meminta tolong.”
—Sukinah, 2014, petani Rembang, di seminar “Keadilan Ekologis” yang diadakan
Komunitas Mahasiswa Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.47
“Apakah kamu dua puluh ribu dolar lebih sehat hari ini?”
—Hendro Sangkoyo.48

47

Notulensi pribadi.
David Bollier, Interpretive Summary of the Asian Deep Dive on Economics and the Commons
(Common Strategies Group, 2012), h. 3. “Are you $20.000 healthier today?”
48

Salah satu bagian terpenting dari teori, konsep, tulisan, cerita, ataupun tuturan apapun adalah
kontekstualisasi. Apa pentingnya untuk kehidupan di sekeliling kita? Penuturan Kill mengenai akalakalan institusi kapital keuangan dan krisis sosial-ekologis yang diimplikasikannya bukan sesuatu
yang jauh dari kita, yang merupakan problematik orang-orang di Eropa, India, atau Amerika Latin
saja. Cerita finansialisasi alam tengah berkait kelindan dengan kehidupan kita sehari-hari yang
tinggal di Indonesia, karena pada intinya, ada satu realitas inheren yang mengikat kita semua: kita
semua tinggal di atas pulau. Apa pentingnya kenyataan yang tampaknya sederhana tersebut? Di
tengah skema-skema penilaian ekonomis terhadap alam (termasuk di dalamnya Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI), pandangan ekonomistik
korporasi dan pengurus publik dalam memandang relasi-relasi sosial-ekologis tengah mengubah
makna pulau dari sebuah entitas sosial-ekologis menyejarah—yang di samping pusaka sosiokultural yang inheren dalam masyarakat-masyarakat yang menempatinya, juga memiliki
infrastruktur ekologisnya masing-masing yang khas, guna menopang kehidupan manusia dan
spesies flora-fauna yang lain—menjadi sebatas lokasi spasial yang tak bernyawa untuk dikonversi
manusia dan proses-proses alami yang ada di dalamnya menjadi rangkaian barang yang maknanya
hadir (dan dihadir-hadirkan) hanya untuk dapat dieksploitasi, agar dapat menghasilkan nilai-tukar
yang setinggi-tingginya. Tak ada pulau yang terlalu kecil untuk dikeruk, tak ada pulau yang terlalu
besar untuk dirusak.
Salah satu contoh pahit dampak finansialisasi alam di kepulauan Indonesia datang dari pulau
Kalimantan, yang merupakan lokasi proyek REDD (Reducing Emissions from Deforestation and
Forest Degradation), sebuah inisiatif berbasis kredit kompensasi karbon yang dideklarasikan di
Konferensi Pihak-Pihak yang tergabung dalam Konvensi Kerangka untuk Perubahan Iklim
Perserikatan Bangsa-Bangsa (Conference of the Parties to the UNFCCC atau COP-13) di Bali pada
tahun 2007. 49 Di tahun yang sama, sebuah kesepakatan bilateral tentang hutan dan iklim
ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan Australia, yang bernama Kerjasama Hutan dan Iklim
Kalimantan (Kalimantan Forests and Climate Partnership atau KFCP). Kerjasama tersebut dikelola
bersama oleh AusAID dan Departemen Perubahan Iklim dan Efisiensi Energi Australia
(Department of Climate Change and Energy Efficiency atau DCCEE), serta melibatkan beberapa
organisasi nonpemerintah seperti Wetlands International, Borneo Orangutan Survival Foundation,
CARE dan WWF. Pemerintah Australia menjanjikan AUS$47 juta untuk KFCP, sedangkan Bank
Dunia berperan sebagai perantara finansial untuk AUS$8,4 juta dari alokasi tersebut.50
Sebagai proyek percontohan untuk REDD, KFPC menargetkan melindungi tujuh puluh ribu
hektar hutan gambut, mengairi kembali dua ratus ribu hektar lahan gambut yang sebelumnya
49

Premis utama REDD adalah bahwa pemerintah, perusahaan, maupun pemilik hutan harus
diberikan penghargaan atas upaya mereka untuk menjaga hutan mereka, ketimbang menebangnya.
Penghargaan berupa pembayaran tersebut tidak diberikan atas dasar menjaga hutan, melainkan
untuk mengurangi emisi-emisi dari deforestasi dan degradasi hutan melalui mekanisme kompensasi.
Untuk pengantar mengenai polemik REDD, lihat situs REDD Monitor, http://www.reddmonitor.org/redd-an-introduction/, atau buka juga dokumenter tentang REDD dari Friends of the
Earth,
“Not
for
Sale:
the
fantasy
of
carbon
offsetting”,
https://www.youtube.com/watch?v=A4uvl7s5MXM.
50
Jutta Kill, REDD: A Gallery of Conflicts, Contradictions, and Lies (Montevideo: World
Rainforest Movement, 2014), h. 26.

dikeringkan, dan menanam seratus juta pohon selama periode tiga puluh tahun. Lokasi proyek
ditetapkan di sebagian kecil dari rawa gambut yang sebelumnya telah dikeringkan di tahun 1990-an
untuk megaproyek pangan raksasa yang diinisiasikan oleh Soeharto.51 Dalam data tentang KFPC
yang tersedia di situs Bank Dunia, terungkap pula peran KFCP dalam menyiapkan pasar
kompensasi karbon hutan di masa depan.52
Realitas di lapangan jauh berbeda dari apa yang dicanangkan: proyek tersebut menghasilkan
kebingungan dan konflik di antara komunitas lokal yang seharusnya merupakan “penerima
manfaat”. Sekitar sembilan ribu orang, sebagian besar masyarakat Dayak Ngaju, tinggal di “lokasi
proyek”, dalam dua belas sampai lima belas kampung di sepanjang Sungai Kapuas. Menurut
laporan wartawan Anett Keller dari Jerman: “Proyek tersebut direncanangkan tanpa melibatkan
mereka [masyarakat lokal]. Informasi penting ditahan dari mereka. Hasilnya, hanya lima puluh ribu
pohon [dari seratus juta pohon] yang pernah ditanam. Bahkan yang sebenarnya ditanam di wilayah
yang dipersiapkan sebagai tempat penanaman pohon berjumlah lebih sedikit lagi. Pemblokiran
kanal-kanal drainase juga gagal di berbagai tempat, dikarenakan perlawanan dari penduduk

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24