FAKTOR FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI LESB

Jurnal Online Psikologi
Vol. 01 No. 01, Thn. 2013
ht tp:/ / ejournal.umm.ac.id

FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI LESBIAN DAN KONDISI
PSIKOLOGISNYA
Nurkholis
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
mnurkholis43@yahoo.com
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, dengan 1 subjek .
Metode pengumpulan data menggunakan wawancara. Analisa data yang
digunakan adalah analisa data kualitatif, kemudian uji keabsahan datanya
menggunakan teknik triangulasi yaitu triangulasi sumber yaitu teman dekat
subjek. Hasil penelitian menunjukan bahwa : (1) Faktor internal meliputi :
(a) Persepsi subjek, dimana subjek berfikir tidak akan hamil jika berpacaran
dengan sesama perempuan, (b) Dorongan-dorongan atau kecendrungan
penyuka sesama jenis yang sudah ada dalam diri subjek, (c) Adanya kontrol
diri yang lemah, dimana subjek selalu terpengaruh keinginan-keinginan
(ego) nya sendiri. (2) Faktor eksternal yang meliputi : (a) Adanya proses
modeling dari perempuan yang berperilaku dan berpenampilan maskulin,
(b) Adanya pengalaman buruk yang dialami subjek, yaitu ejekan dari temanteman subjek sewaktu SMA, (c) Sikap ayah yang terkesan membiarkan

perilaku subjek, walaupun sebenarnya ayah subjek tahu tentang perilakunya
tersebut (Reinforcement positif), (d) Adanya pengalaman yang kurang
menyenangkan terhadap lawan jenis (e) Adanya dukungan dari lingkungan
sosial (Reinforcement positif), yaitu subjek pernah ikut dalam suatu
oeganisasi atau komunitas lesbian.
Kata kunci: Faktor-faktor psikologis, Lesbian.
This research is qualitatif descriptive study, with 1 subjects who has sexual
deviation “lesbian”. Data collection methods used were interviews.
Analysis of the data used is the analysis of qualitatif data, and then test the
validity of the data using triangulation techniques, namely the source of a
close friend of the subject.The results showed that the factors underlying a
lesbian that internal factors which include (1) The perception of the subject
: (a) The subject is thinking will not get pregnant if she is dating other
women, (b) Impulses or tendencies sex enthusiasts are already present in
thesubject, (c) The existence of a weak self –control, which the subject is
always affected by her own desires. (2) External factors which include : (a)
The process of modeling the behavior of women and masculine look, (b) The
existence of bad experiences suffered by the subject is in the form of ridicule
from her friends during senior high school, (c) Her father attitude that
seemed to let the behavior of subjects despite the fact that the subject’s

father know about lesbian behavior (positive reinforcement), (d) The
existence of her an unpleasant experience with the opposite sex, (e) The
support of the social environment (positive reinforcement) that is the subject
of ever joining a community organization or a lesbian.
Keywords: Psychological factors, Lesbian.
174

Jurnal Online Psikologi
Vol. 01 No. 01, Thn. 2013
ht tp:/ / ejournal.umm.ac.id

Wacana homoseksual sudah menjadi suatu fenomena yang banyak dibicarakan di dalam
masyarakat, baik di berbagai negara maupun di Indonesia. Di Indonesia sendiri
homoseksual masih menjadi suatu fenomena seksual yang masih terbilang tabu dan
dianggap aneh oleh sebagian masyarakat, walaupun di negara-negara barat fenomena ini
sudah tidak lagi menjadi suatu fenomena yang dianggap tabu lagi. Dan hal ini juga bisa
dikatakan sebagai budaya, dimana seseorang bebas dalam memilih pasangan hidupnya.
Di Indonesia juga demikian, dimana pasangan hidup yang dimaksud “bebas” adalah
bebas dalam batasan jenis kelamin. Seorang perempuan boleh berpasangan dengan lakilaki atau boleh saja (jika dianggap wajar) berpasangan dengan perempuan yang dari
sesama jenisnya sendiri. Begitu juga sebaliknya dengan kaum laki-laki. Bahkan di

negara-negara tertentu seorang individu yang memilih pasangan dari gendernya sendiri
atau pasangan sejenis diperbolehkan untuk menikah, dan dianggap sah secara hukum.
Walaupun istilah homoseksual sendiri telah dihilangkan atau dihapus dari DSM-IV pada
tahun 1973 hal itu juga telah menjelaskan bahwa homoseksual bukan suatu bentuk
kelainan atau gangguan jiwa. Tetapi hal tersebut lebih dikarenakan oleh suatu
pandangan bahwa homoseksual merupakan suatu gaya hidup alternatif dan bukan suatu
gangguan psikopatologis, selain itu homoseksualitas terjadi dengan keteraturan sebagai
suatu varian seksualitas manusia.
Di Indonesia, tentunya hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di barat terkait
dengan penerimaan kaum homoseksual. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih
beranggapan bahwa mencintai sesama jenisnya adalah sesuatu hal yang tabu, aneh dan
menjijikan. Walaupun kecendrungan homoseksual itu oleh beberapa orang dokter yang
memakai pengobatan klinis dianggap masih pada tingkatan yang normal, tetapi jika
dipandang dari sudut pandang yang legal dalam beberapa kelompok masyarakat,
homoseksualitas yang tampak jelas itu masih dianggap sebagai perbuatan yang kurang
wajar, sehingga masyarakat menjadi anti-homoseksual. Freud menyebut hal ini sebagai
Homofobia (Kaplan & Sadock, 2010). walaupun ada sebagian masyarakat atau individu
yang sudah terpengaruh dengan budaya barat tekait dengan penerimaan
homoseksualitas ini, namun seolah terbawa dengan budaya barat bahwa homoseksual
atau mencintai sesama jenisnya adalah suatu trend atau suatu gaya hidup yang menarik

untuk diikuti.
Homoseksualitas adalah keadaan seseorang yang menunjukkan perilaku sexual diantara
orang-orang dari sex yang sama (Maramis, 2004). Sadarjoen (2005) secara sederhana
juga menyebutkan homoseksualitas dapat diartikan sebagai suatu kecendrungan yang
kuat akan daya tarik erotis seseorang justru terhadap jenis kelamin yang sama. Istilah
homoseksual lebih lazim digunakan bagi pria yang menderita penyimpangan ini, sedang
bagi wanita, keadaan yang sama lebih lazim disebut “lesbian”.
Kartono (2009), juga menjelaskan lesbianisme (dari kata Lesbos = pulau di tengah
lautan Egeis yang pada zaman kuno dihuni oleh para wanita). Homoseksualitas di
kalangan wanita disebut cinta lesbis atau lesbianisme. Istilah lesbian ini selanjutnya
akan peneliti gunakan sebagai batasan istilah dalam menyebut subyek penelitian, yaitu
wanita lesbi atau kaum lesbian.

175

Jurnal Online Psikologi
Vol. 01 No. 01, Thn. 2013
ht tp:/ / ejournal.umm.ac.id

Kinsey menyebutkan (dalam Hawari, 2009) bahwa di Amerika Serikat, prevalensi

mereka yang homoseksual murni (100%) berkisar antara 2% sampai 4%, sementara
yang lebih menonjol homoseksual daripada heteroseksual berkisar antara 7% hingga
13% atau dengan kata lain diperkirakan terdapat 10% dimensi homoseksual yang cukup
berarti dalam kehidupan masyarakat modern dan industri. Kinsley (dalam Kaplan &
Sadock, 2010) juga menyebutkan bahwa 10 persen laki-laki adalah homoseksual. Untuk
wanita angka tersebut adalah 5 persen.
Secara umum diperkirakan jumlah kaum lesbian dan gay di dalam masyarakat adalah
1% hingga 10% dari populasi. Di Indonesia sendiri, data statistik menyatakan bahwa 8
dari 10 juta populasi pria indonesia pada suatu waktu pernah terlibat pengalaman
homoseksual. Sebagai catatan dari suatu survei dari Yayasan Priangan beberapa tahun
yang lalu menyebutkan bahwa ada 21% pelajar SMP dan 35% SMU yang pernah
terlibat perilaku homoseksual. Data lain juga menyebutkan kaum homoseksual ditanah
air memilki sekitar 221 tempat pertemuan di 53 kota di Indonesia. Berdasarkan catatan
LSM Abiasa dan Komisi penanggulangan AIDS Jawa Barat yang terlibat pendampingan
untuk HIV/AIDS, di kota Bandung saja tidak kurang dari 656 orang tercatat sebagai
homoseksual (Saputri, 2011).
Terkait dengan apa yang sudah dijelaskan di atas bahwa sebenarnya penyimpangan
perilaku seksual atau homoseksualitas itu tidak dibenarkan baik menurut norma-norma
ataupun ajaran agama yang ada di Indonesia, tetapi anehnya mengapa para kaum lesbian
ini masih tetap memilih atau menjalankan kehomoseksualitasannya, walaupun mereka

juga tahu bahwa apa yang mereka pilih itu salah baik secara agama, norma dan hukum
yang ada di Indonesia. Selain itu kaum lesbian juga sadar dan paham kalau keberadaan
mereka kurang atau bahkan tidak bisa diterima dalam lingkungan masyarakat, walaupun
ada sebagian kecil masyarakat yang bisa memahami mereka.
Lesbianisme
Lesbianisme (dari kata Lesbos = pulau di tengah lautan Egeis yang pada zaman kuna
dihuni oleh para wanita). Homoseksualitas dikalangan wanita disebut cinta lesbis atau
lesbianisme (Kartono, 2009). Jadi secara sederhana, homoseksualitas dapat diartikan
sebagai suatu kecendrungan yang kuat akan daya tarik erotis seseorang justru terhadap
jenis kelamin yang sama. Istilah homoseksual lebih lazim digunakan bagi pria yang
menderita penyimpangan ini, sedang bagi wanita, keadaan yang sama lebih lazim
disebut “lesbian”(Sadarjoen, 2005).
Oetomo dalam (Susilandari, 2009) juga menjelaskan, lesbianisme adalah sekelompok
sosila yang terpinggirkan dalam masyarakat karena orang tidak bisa menerima orientasi
homoseksual. Orientasi seksual mereka dianggap menyimpang dalam hal aspek
psikologis, aspek sosial, budaya, dan agama, mereka tidak hanya dianggap sebagai
menyimpang, tetapi juga sebagai individu sakit. Jadi, bagi orang normal, mereka
dianggap terlalu aneh dan harus dihindari. Tapi, untuk kaum homoseksual, mereka
menyebut setara dengan masyarakat heterosexual. Kelompok homoseksual pada
umumnya merasa bahwa mereka bukan kelompok orang “sakit”.


176

Jurnal Online Psikologi
Vol. 01 No. 01, Thn. 2013
ht tp:/ / ejournal.umm.ac.id

Menurut Supratiknya (1995) lesbi atau lesbian adalah perempuan yang mempunyai
orientasi seksual terhadap perempuan. Orientasi seksual di sini artinya bahwa seorang
lesbian itu hanya bisa suka atau mencintai kepada sesama jenisnya (perempuan) dalam
hal ini melibatkan perasaan kasih sayang dan cinta, termasuk juga di dalamnya yaitu
relasi intimasi atau hubungan seksual di antara mereka. Atau bisa juga, lesbianisme
diartikan sebagai perilaku seksual yang ditujukan pada pasangan sejenis dikalangan
wanita.
Faktor Psikologis
Dari segi ilmu bahasa, perkataan psikologi berasal dari perkataan psyche yang diartikan
jiwa dan perkataan logos yang berarti ilmu atau ilmu pengetahuan. Karena itu perkataan
psikologi sering diartikan atau diterjemahkan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa
atau disingkat ilmu jiwa (Walgito, 2010).
Menurut Chaplin (2008) psikologi adalah segala hal yang menyinggung akan perasaan

dan asal-usul adalah mental. Pendapat yang hampir sama juga disampaikankan Walgito
(2010) psikologi merupakan ilmu yang membicarakan tentang jiwa. Akan tetapi oleh
karena jiwa itu sendiri tidak nampak, maka yang dapat dilihat atau diobservasi ialah
perilaku atau aktivitas-aktivitas yang merupakan manifestasi atau penjelmaan dari
kehidupan jiwa itu sendri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) psikologis adalah segala sesuatu yang
berkenaan dengan psikologi dimana psikologi itu sendiri secara singkat adalah ilmu atau
studi ilmiah yang berkaitan dengan proses mental yang mana proses-proses mental
meliputi pikiran, perasaan, emosi, motivasi, impian, persepsi, dan kepercayaan baik
normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku. Dari beberapa penjelasan
diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kondisi psikologis adalah suatu
keadaan yang berkaitan dengan kejiwaan dan proses mental yang melibatkan pikiran,
emosi, dan konasi yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
METODE PENELITIAN
Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian adalah perempuan yang mengalami penyimpangan perilaku
seksual (lesbian), yaitu mereka yang apabila melihat sesama jenisnya timbul suatu
perasaan atau ketertarikan, selanjutnya dari ketertarikan ini muncul hasrat, dorongan
atau keinginan untuk melakukan perilaku homoseksual, misalkan berpacaran dengan
sesama jenisnya atau melakukan perilaku seksual sejenis. Jumlah subjek dalam

penelitian ini adalah 1 orang.
Metode Pengumpulan Data
Setelah dilakukan penentuan subjek penelitian, maka ditetapkan metode pengumpulan
data yang tepat. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode wawancara. Menurut Nazir (2005) wawancara adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil
177

Jurnal Online Psikologi
Vol. 01 No. 01, Thn. 2013
ht tp:/ / ejournal.umm.ac.id

bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden
dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).
Menurut Suwandi & Basrowi (2008) wawancara adalah percakapan dengan maksud
tertentu oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) sebagai pengaju/pemberi
pertanyaan dan yang diwawancarai (interviwee) sebagai pemberi jawaban atas
pertanyaan itu. Pendpat yang hampir sama juga disampaikan Esterberg (dalam Sugiono,
2010) bahwa wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan
ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik

tertentu. Menurut Yin (2011) wawancara merupakan sumber bukti yang esensial bagi
studi kasus, karena studi kasus umumnya berkenaan dengan urusan kemanusiaan.
Urusan-urusan kemanusiaan ini harus dilaporkan dan diinterpretasikan melalui
penglihatan pihak yang diwawancarai, dan para responden yang mempunyai informasi
dapat memberikan keterangan-keterangan penting dengan baik ke dalam situasi yang
berkaitan.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tehnik wawancara semiterstruktur
(Semistructure Interview), dimana wawancara dengan teknik ini lebih fleksibel dan
tidak kaku. Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori in-dept interview,
dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara
terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan
secara lebih terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ideidenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan
mencatat apa yang dikemukakan oleh informan (Sugiono, 2010). Interview atau
wawancara ini dilakukan untuk menggali data-data terkait dengan permasalan yang
sedang dihadapi subjek “sesuai judul penelitian”.
Prosedur dan Analisa Data
Dalam sebuah penelitian perlu adanya sebuah tahapan-tahapan atau rancangan sebelum
dilakukannya penelitian tersebut, agar dapat memberikan gambaran keseluruhan
perencanaan, pelaksanaan pengumpulan data, analisis dan penafsiran data sampai pada
penulisan laporan. Menurut Moleong (2010) ada beberapa tahapan yang harus

dipersiapkan oleh seorang peneliti kualitatif, diantaranya adalah sebagai berikut: 1
Tahapan pra-lapangan, 2 Tahap pekerjaan lapangan, 3 Tahap analisis data.
HASIL PENELITIAN
Subjek merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara, dan saat ini subjek berusia 22 tahun.
Saat ini subjek masih tercatat sebagai salah satu mahasiswi di salah satu perguruan
tinggi swasta di kota Malang, dikarenakan saat ini subjek sudah tidak ada perkuliahan
jadi kesibukan subjek saat ini hanya bekerja part time di salah satu warnet di kota
Malang.
Awalnya dulu sewaktu SMA, subjek hanya merasa kagum dan ingin menjadi seperti
wanita yang berperilaku dan berpenampilan maskulin. Tetapi keinginan itu lama-lama
berkembang menjadi rasa yang lebih besar yaitu subjek menjadi lebih nyaman dan
tertarik kepada perempuan daripada dengan laki-laki. Setelah lulus SMA dan mulai
178

Jurnal Online Psikologi
Vol. 01 No. 01, Thn. 2013
ht tp:/ / ejournal.umm.ac.id

masuk di sebuah perguruan tinggi subjek bertemu dengan seorang maba (perempuan)
yang sama-sama punya hobi dibidang olah raga basket. Dari situ subjek mulai kenal dan
akrab sampai pada akhirnya subjek menjalin hubungan dengan anak tersebut.
Selain alasan kagum seperti yang sudah disampaikan di atas subjek juga mengatakan
bahwa dulu sewaktu baru lulus SMA subjek juga pernah menjalin hubungan dengan
laki-laki. Sampai pada suatu hari subjek memutuskan untuk mengakhiri hubungannya
tersebut, selain alasan tidak nyaman subjek juga berpendapat kalau pasanganya adalah
seorang laki-laki yang berperilaku buruk. Kejadian itu semakin menambah kebencian
subjek terhadap lawan jenis (laki-laki) sampai saat ini. Subjek juga mengatakan
berpacaran dengan sesama jenis lebih nyaman dan tentunya lebih aman, karena dengan
sesama jenis subjek berfikir tidak akan hamil.
Tahun 2008-2010 subjek juga pernah mengikuti sebuah organisasi komunitas lesbian
yang bernama East Java Belok Forever (EBF), dan subjek juga menjabat sebagai ketua
dalam organisasi tersebut. Subjek juga mengatakan bahwa dua hari dalam satu minggu
komunitas ini mengadakan pertemuan rutin baik di Surabaya ataupun di Malang,
dimana pertemuan itu bertujuan untuk lebih mengenal satu sama lain dan menjalin
keakraban dengan sesama anggota. Bahkan semenjak bergabung dengan organisasi atau
komunitas tersebut subjek juga sering izin dari perkuliahannya. Selain itu subjek juga
lebih sering berbohong kepada orang tuanya hanya untuk berkumpul atau sekedar
bertemu dengan sesama anggota komunitas tersebut.
Subjek juga mengatakan bahwa hubungan dengan keluarganya baik-baik saja. Subjek
juga dekat sama ibu dan kakak laki-lakinya, tetapi subjek tidak dekat dengan ayahnya.
Karena ayah jarang di rumah dan sibuk bekerja sehingga subjek merasa kurang kasih
sayang dan perhatian dari seorang ayah. Menurut subjek ayahnya hanya memenuhi
kebutuhan keluarga terutama kebutuhan subjek secara materi saja, tanpa ada kedekatan
secara emosional. Pernah suatu saat subjek berterus terang kepada ibunya kalau subjek
adalah seorang lesbian, dan ayahnya juga tahu hal itu tetapi sikap ayah subjek terkesan
membiarkan tanpa ada teguran yang berarti atas perilaku anaknya tersebut. Hal itu
berbeda dengan sikap ibu yang sangat terkejut mendengar pengakuan subjek, sampai
beberapa hari subjek dan ibunya tidak saling bertegur sapa. Melihat sikap ibunya yang
kecewa dengan dirinya, subjek merasa menyesal atas apa yang sudah dipilihnya.
Subjek juga menjelaskan bahwa dalam dunia lesbi itu terdapat beberapa label. Yang
pertama butchi yaitu perempuan lesbi yang cendrung kelaki-lakian atau secara fisik
tampilannya terlihat sangat maskulin layaknya seorang laki-laki. Yang kedua yaitu
femme dimana label ini benar-benar telihat sangat feminin dan terlihat benar-benar
seperti perempuan pada kebanyakan dan biasanya label ini yang paling sulit dibedakan
antara lesbi atau tidak. Yang ketiga atau label yang terakhir yaitu andro dimana label ini
memiliki ciri dari kedua label sebelumnya yaitu butchi dan femme. Karena perempuan
dengan label andro ini terlihat maskulin tetapi sisi femininnya juga sangat terlihat jadi
bisa dikatan kalau label ini 50% maskulin dan 50% feminin. Subjek juga mengatakan
bahwa dalam menjalin sebuah hubungan kaum lesbian sebisa mungkin tidak mencari
yang selabel, seperti misalnya perempuan lesbi yang berlabel butchi dia akan mencari
pasangan yang berlabel femme atau andro. Begitu juga dengan yang berlabel femme dia

179

Jurnal Online Psikologi
Vol. 01 No. 01, Thn. 2013
ht tp:/ / ejournal.umm.ac.id

akan mencari pasangan yang berlabel butchi atau andro, begitu juga dengan perempuan
yang berlabel andro.
Selain itu subjek juga menjelaskan kalaupun ada yang menjalin hubungan dengan
sesama label, itu biasanya dilakukan oleh perempuan lesbi yang berlabel andro. Karena
label andro adalah berpaduan antara maskulin dan feminin, dan label ini bisa bertukar
fungsi sesuai dengan komitmen yang telah disepakati. Label andro akan berperan
sebagai perempuan ketika dia berpasangan dengan label butchi, dan label ini akan
berperan sebagai laki-laki ketika berpasangan dengan label femme, tetapi ketika label
ini menjalin hubungan dengan yang selabel mereka akan memerankan peran baik
sebagai laki-laki ataupun perempuan sesuai komitmen yang sudah disepakati.

180

Jurnal Online Psikologi
Vol. 01 No. 01 M ei 2013
htt p:/ / ejournal.umm.ac.id

Internal

Persepsi subjek dimana,
subjek berfikir tidak akan
hamil jika berpacaran
dengan perempuan

Dorongan-dorongan
penyuka sesama jenis
yang sudah ada dalam
diri subjek

Eksternal

Lemahnya
kontrol diri
subjek

Perempuan yang
berperilaku dan
berpenampilan
maskulin

Modeling




Ejekan temanteman subjek
sewaktu SMA

Secara tidak langsung
juga mempengaruhi
subjek dalam
pengambilan
keputusan walaupun
bukan sebagai
pencetus

Subjek merasa kagum dan tertarik dengan
perempuan yang berpenampilan maskulin
Subjek memang tertarik dan lebih nyaman
menjalin hubungan (pacaran) dengan
sesama perempuan.

Lesbian
Kondisi psikologis,
subjek selalu merasa
dalam kondisi konflik

Gambar 1 Latar belakang IA menjadi lesbian
181

Sikap ayah yang
terkesan membiarkan
perilaku subjek

Subjek pernah
dikecewakan
oleh seorang
laki-lali

Lingkungan sosial
yang mendukung

(Reinforcement positif)

Pengalaman
yang kurang
menyenangkan

(Reinforcement
positif)

Faktor eksternal diatas membuat
subjek semakin yakin dengan pilihan
perilaku atau orientasi seksualnya

Jurnal Online Psikologi
Vol. 01 No. 01 M ei 2013
htt p:/ / ejournal.umm.ac.id

Dari skema tersebut dapat diketahui faktor-faktor yang melatarbelakangi subjek IA
menjadi seorang lesbian. Dimana dapat dilihat ada faktor internal dan eksternal.
Awalnya memang subjek sendiri sudah merasa kagum dan tertarik ketika subjek melihat
perempuan yang berperilaku dan berpenampilan maskulin, kemudian subjek juga
berfikir ingin meniru dan menjadi seperti mereka. Selain alasan di atas diduga, faktor
dari dalam diri subjek yang memang sudah ada kecendrungan yang mengarah kearah
lesbian. Karena faktor dari dalam diri subjek yang sudah mengarah ke lesbian, selain
karena itu subjek juga memiliki kontrol diri yang lemah dimana subjek selalu menuruti
egonya; yaitu sebenarnya subjek tahu kalau apa yang dia pilih itu salah dan
bertentangan dengan norma, agama, adat, dan hukum yang ada di Indonesia tetapi
subjek tetap menentang semua itu dengan alasan subjek tidak bisa membohongi
perasaannya. Kemudian subjek juga mendapat penguatan (Reinforcement). Dimana
penguatan ini semakin mendukung subjek untuk menjadi seorang lesbian.
Kemudian faktor eksternal yaitu, subjek mendapat ejekan dari teman-temannya sewaktu
SMA. Kemudian selain faktor diatas subjek juga mendapat pengalaman yang kurang
menyenangkan, dimana ketika subyek baru lulus SMA subjek mencoba menjalin
hubungan dengan seorang laki-laki, tetapi hubungan tersebut tidak bertahan lama karena
subjek merasa kalau laki-laki yang menjadi pasangannya saat itu adalah laki-laki yang
kurang baik. Subjek juga mendapat penguatan positif (Reinforcement positif) yaitu,
sikap ayah yang membiarkan perilaku subjek. Subjek juga berfikir kalau menjalin
hubungan dengan sesama perempuan tidak akan hamil, dan itu berbeda ketika subjek
menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Selain itu subjek juga merasa kalau kalau
menjalin hubungan dengan sesama perempuan itu benar-benar membuat dirinya
nyaman dibandingkan ketika subjek harus menjalin hubungan dengan seorang laki-laki.
Kemudian dapat dijelaskan juga kondisi psikologis yang dialami subjek setelah menjadi
seorang lesbian, yaitu selalu merasa dalam kondisi konflik subjek selalu merasa ada
sebuah pertentangan batin. Dimana subjek harus memilih antara menjadi seorang
lesbian dengan keluarga ataupun kehidupan sosialnya yang lain. Karena disini subjek
juga selalu merasa bersalah dan bimbang akan apa yang sudah dipilihnya terkait
perilakunya sebagai lesbian, ketika subjek teringat akan keluarga terutama ibu dengan
keputusanya menjadi seorang lesbian. Walaupun pada akhirnya subjek tetap memilih
menjadi seorang lesbian. Subjek mengungkapkan pertentangan batin (konflik) tersebut
diperkuat dengan hasil observasi saat subjek mengungkapkan perasaannya dengan nada
bicara yang pelan.
DISKUSI
Dari hasil penelitian dapat diketahui, bahwa ada beberapa hal yang melatarbelakangi
subjek IA sehingga memutuskan menjadi seorang lesbian. Adanya ketertarikan subjek
terkait dengan hal-hal yang mengarah maskulin atau kelaki-lakian, kemudian ejekan
teman-teman sewaktu SMA, faktor dari dalam diri subjek yang cendrung mengarah ke
lesbian dan kontrol diri yang lemah serta pernah dikecewakan oleh seorang laki-laki.
Sehingga subjek merasa nyaman menjalin hubungan dengan sesama (lesbian). Menurut
Kartono (1996) ada tiga aspek psikologis yang mempengaruhi individu pada umumnya.
Pertama, aspek kognitif yaitu proses berfikir, meliputi rasio dan akal budi dimana
kemampuan tersebut digunakan untuk meletakkan hubungan dari bagian-bagian
182

Jurnal Online Psikologi
Vol. 01 No. 01 M ei 2013
htt p:/ / ejournal.umm.ac.id

pengetahuan seseorang. Proses berfikir yang normal mengandung arus ide, simbol dan
asosiasi yang terarah pada tujuan yang dibangkitkan oleh suatu masalah atau tugas dan
yang menghantarkan kepada suatu penyelesaian yang berorientasi pada kenyataan.
Yang dimaksudkan disini adalah subjek telah memepertimbangkan dan memahami atas
apa yang sudah diputuskan atau sesuatu yang telah dipilihnya serta akibat dari apa yang
sudah dipilihnya.
Kedua, aspek afeksi atau emosi adalah gejala psikis dengan tiga sifat khas, yaitu
dihayati secara subjektif, pada umumnya berkaitan dengan gejala pengenalan, dan
dialami oleh individu dengan rasa suka atau tidak suka, duka atau gembira dalam
macam-macam gradasi/derajat serta macam-macam tingkatan (Kartono, 1996). Yang
dimaksud afeksi disini yaitu perasaan subjek yang merasa menyesal, cemas, serta
konflik karena subjek sering merasa dihadapkan dalam pilihan-pilihan hidup yang
dirasa subjek sangat berat. Walaupun pada akhirnya subjek memilih atau memutuskan
menjadi seorang lesbian karena subjek merasa lebih nyaman menjalin hubungan dengan
perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Ketiga, aspek konatif atau kemauan,
kemauan berhubungan dengan pikiran dan perasaan. Kemauan merupakan dorongan
kehendak yang terarah pada tujuan-tujuan hidup tertentu, dan dikendalikan oleh
pertimbangan akal budi (Kartono, 1996). Sedangkan kehendak merupakan kekuatan
dari dalam, dan tampak dari luar sebagai gerak-gerik (Ahmadi, 2009). Yang
dimaksudkan kemauan disini adalah pemikiran subjek kalau laki-laki itu berperilaku
kuarang baik atau bahkan tidak baik sama sekali, dan jika berhubungan (pacaran)
dengan laki-laki bisa hamil. Selain karena pemikiran tersebut subjek dari awal memang
sudah merasa lebih nyaman berhubungan (berpacaran) dengan perempuan, maka dari
itu subjek memilih menjadi seoarang lesbian.
Menurut teori psikodinamika, situasi kehidupan awal yang dapat menyebabkan perilaku
homoseksual adalah fiksasi yang kuat dengan salah satu figur orang tua dan tidak
adanya pengasuhan ayah yang efektif, inhibisi perkembangan maskulin oleh orang tua.
Sedangkan pandangan Freud tentang homoseksualitas wanita adalah tidak adanya
resolusi kecemburuan penis (penis envy) yang disertai oleh konflik oedipal yang tidak
terpecahkan (Kaplan & Sadock, 2010). Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi pada
sunyek yaitu subjek mengakui hubungn dengan orang tuannya baik-baik saja tetapi pada
kenyataannya subjek tidak dekat dengan ayah, subjek juga mengakui kalau ayah hanya
memberi kepuasan materi saja tanpa memperdulikan kalau subjek juga membutuhkan
kasih sayang atau kedekatan secara emosional. Selain itu menurut subjek ayah juga
tidak terlalu perduli atas apa yang dia lakukan dan kerjakan. Sebenarnya ayah subjek
juga tahu kalau subjek adalah seorang lesbian tetapi ayah subjek terkesan membiarkan
dan cuek akan hal tersebut.
Sedangkan paradigma kognitif mengatakan pengalaman yang dimiliki manusia selalu
membentuk kesatuan, yang memiliki pola dan konfigurasi tertentu (Alwisol, 2010).
Demikian halnya dengan subjek, dimana paradigma kognitif dapat menjelaskan
timbulnya faktor dalam diri individu berupa keyakinan yang mendasari subjek menjadi
seorang lesbian. Keyakinan bahwa perilaku lesbian subjek adalah perilaku yang dia
pilih, walaupun subjek juga tahu kalau perilaku yang seperti itu tidak sepenuhnya atau
bahkan tidak dibenarkan oleh banyak hal di Indonesia, tetapi dengan menjadi lesbian
183

Jurnal Online Psikologi
Vol. 01 No. 01 M ei 2013
htt p:/ / ejournal.umm.ac.id

subjek merasa nyaman. Lemahnya super ego sebagai pengontrol diri dalam berperilaku,
sehingga subjek lebih suka menuruti kemauan egonya, dan perilaku yang dijalani subjek
semakin membuat subjek jauh terlibat dalam dunia lesbian dan itu membuat subjek
semakin susah lepas untuk menjalani hidup secara normal, karena subjek sendiri sudah
merasa nyaman dengan menjadi seorang lesbian.
Selain itu, Bandura (dalam Alwisol, 2010) menyatakan banyak aspek fungsi
kepribadian melibatkan interaksi orang satu dengan orang lain. Dampaknya, teori
kepribadian yang memadai harus memperhatikan konteks sosial di mana tingkah laku
itu diperoleh dan dipelihara. Teori belajar sosial (social learning theory) dari Bandura,
didasarkan pada konsep saling menentukan (reciprocal determinism), tanpa penguatan
(beyond einforcement), dan pengaturan diri/berfikir (self-regulation/cognition).
Dalam teori belajar sosial telah dijelaskan, pertama bahwa seseorang bertingkah laku
dalam situasi tertentu tergantung kepada resiprokal antara lingkungan dan kondisi
kognitif, yaitu antara orang dan lingkungan saling mempengaruhi. Seperti halnya yang
diungkapkan Skiner, bahwa perilaku dipengaruhi oleh konsekuensi yang mengikuti,
perilaku yang jelas terlihat dan dapat diobservasi dan kondisi lingkungan, serta dimana
keadaan dan kejadian di lingkungan menentukan sebuah perilaku. Kedua, menurut
Bandura reinforsemen penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus
terjadi atau tidak akan tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku. Yang
dimaksud disini adalah adanya penguatan baik negatif maupun positif yang diterima
subjek terkait dengan lesbian yang dia jalani, tetapi penguatan ini bukan satu-satunya
pembentuk sehingga subjek menjadi seorang lesbian. Kemudian yang ke-tiga Bandura
menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur dirinya sendiri (self
regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan,
menciptakan dukungan kognitif, dan mengadakan konsekuensi bagi tingkahlakunya
sendiri.
Rogers (dalam Alwisol, 2010) mejelaskan bahwa keseluruhan pengalaman itu, baik
yang internal maupun yang eksternal disadari maupun yang tidak disadari dinamakan
medan fenomena. Beberapa deskripsi berikut menjelaskan pengertian medan fenomena:
(1) Meliputi pengalaman internal (persepsi mengenai diri sendiri) dan pengalaman
eksternal (persepsi mengenai dunia luar), (2) Meliputi pengalaman yang; disimbolkan
tetapi diingkari/dikaburkan (karena tidak konsisten dengan struktur dirinya), dan tidak
disimbolkan atau diabaikan (karena diamati tidak mempunyai hubungan dengan struktur
diri). Pengalaman yang disimbolkan disadari, sedang pengalaman yang diingkari dan
diabaikan tidak disadari, (3) Semua persepsi bersifat subjektif, benar bagi dirinya
sendiri.
Subjek juga menjelaskan kalau awalnya subjek memang merasa kagum dan tertarik
dengan perempuan yang perpenampilan dan berperilaku maskulin. Pernyataan itu sesuai
dengan poin satu diamana kekagumannya dan ketertarikan pada perempuan yang
maskulin itu sebagai persepsi mengenai dirinya, dan sekaligus persepsi mengenai dunia
luar. Kemudian subjek juga mengatakan kalau dirinya berfikir bahwa laki-laki selalu
berperilaku kurang baik, ini sesuai dengan poin dua dimana subjek ingin mengkaburkan
kalau dirinya menjadi lesbian seolah-olah disakiti oleh laki-laki, tetapi memang dari
184

Jurnal Online Psikologi
Vol. 01 No. 01 M ei 2013
htt p:/ / ejournal.umm.ac.id

awal subjek sudah merasa tertaik dengan perempuan. Kemudian subjek juga
mengatakan bahwa dia sebenarnya tahu kalau apa yang dipilihnya ini salah tetapi karena
alasan perasaan cinta subjek tetap menjalani hidup sebagai lesbian dan ini sesuai dengan
poin ketiga dimana dalam poin ini dikatakan setiap persesi itu subjektif dan benar bagi
dirinya sendiri.
SIMPULAN DAN IMPLIKASI
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa faktorfaktor yang melatarbelakangi perempuan menjadi lesbian, yaitu faktor internal dan
eksternal, (1) Faktor internal meliputi : (a) Persepsi subjek, dimana subjek berfikir tidak
akan hamil jika berpacaran dengan sesama perempuan, (b) Dorongan-dorongan atau
kecendrungan penyuka sesama jenis yang sudah ada dalam diri subjek, (c) Adanya
kontrol diri yang lemah, dimana subjek selalu terpengaruh keinginan-keinginan (ego)
nya sendiri. (2) Faktor eksternal yang meliputi : (a) Adanya proses modeling dari
perempuan yang berperilaku dan berpenampilan maskulin, (b) Adanya pengalaman
buruk yang dialami subjek, yaitu ejekan dari teman-teman subjek sewaktu SMA, (c)
Sikap ayah yang terkesan membiarkan perilaku subjek, walaupun sebenarnya ayah
subjek tahu tentang perilakunya tersebut (Reinforcement positif), (d) Adanya
pengalaman yang kurang menyenangkan terhadap lawan jenis (e) Adanya dukungan
dari lingkungan sosial (Reinforcement positif), yaitu subjek pernah ikut dalam suatu
oeganisasi atau komunitas lesbian. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa
kondisi psikologis seorang lesbian adalah konflik, perasaan tersebut dirasakan subjek
karena subjek harus memilih antara menjadi seorang lesbian atau keluarga dan
kehidupan sosialnya yang lain, walaupun pada akhirnya subjek tetap memutuskan
menjadi seorang lesbian.
Implikasi
Diharapkan subjek perlahan-lahan untuk mulai menjauhi pergaulan yang mengarah
kelesbian, kemudian subjek dapat membuat kegiatan atau kesibukan yang lebih positif,
tentunya dengan teman-teman yang bukan atau tidak berperilaku lesbian. Terkait
dengan ayah disarankan subjek untuk terlebih dahulu membuka suatu pembicaraan
dengan ayah agar terjalin kedekatan secara emosional. Selain itu, diharapkan subjek
untuk tidak selalu menuruti keinginan-keinginan (egonya) yang mengarah ke lesbian.
Diharapkan agar orang tua selalu mengontrol aktifitas anak-anaknya baik di luar
maupun di dalam rumah supaya orang tua juga tahu apa yang sedang dilakukan oleh
anak. Orang tua baik ayah maupun ibu diharapkan mampu membangun komunikasi
yang baik dengan anak, agar anak juga merasa dekat dan akrab dengan kedua orang tua.
Sehingga anak tidak terjerumus dalam pergaulan yang menyimpang (pergaulan bebas).
REFERENSI
Ahmadi, A. 2009. Psikologi umum (Ed. revisi). Semarang: Rineka Cipta.
Alwisol. 2010. Psikologi kepribadian (Ed. revisi).Malang: UMM Press.
185

Jurnal Online Psikologi
Vol. 01 No. 01 M ei 2013
htt p:/ / ejournal.umm.ac.id

Basrowi., & Suwandi. 2008. Memahami penelitian kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaplin, J.P. 2009. Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Hawari, D. 2009. Pendekatan psikoreligi pada homoseksual. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Hidayat, M.W. 2005. Tinjauan psikoanalisa terhadap lesbian (Skripsi, Fakultas
Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur).
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Ed. Keempat). 2008. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Kaplan, H.I., Sadock, B.J. & Gerbb, J.A. 2010. Sinopsis psikiatri (Jilid dua). Jakarta:
Binapura Aksara.
Kartono, K. 2009. Psikologi abnormal dan abnormalitas seksual. Bandung: Mandar
Maju.
Kartono, K. 2006. Psikologi wanita 1 mengenal gadis remaja dan wanita dewasa.
Bandung: Mandar Maju.
Kartono, K. 1996. Psikologi umum. Bandung: Mandar Maju
Maramis, W.F. 2004. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press.
Moleong, L.J. 2010. Metodologi penelitian kualitatif (Ed. revisi).Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nazir, M. 2005. Metode penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sadardjoen, S.S. 2005. Bunga rampai kasus gangguan psikoseksual. Bandung: PT
Refika Aditama.
Saputri, M. 2011. Krisis identitas seorang lesbian (analisis semiotika film boy’s don’t
cry) (Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa
Timur).
Sugiyono. 2010. Memahami penelitian kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Supratiknya, A. 1995. Mengenal perilaku abnormal. Yogyakarta: Kanisius.
Susilandari, E. 2009. Living as lesbian in Indonesia: survival strategies and challenges
in Yogyakarta. Yogyakarta: Graduate School Gadjah Mada University.
Walgito, B. 2010. Pengantar psikologi umum. Yogyakarta: C.V Andi Offset
Yin, R.K. 2011. Studi kasus desain dan metode. Jakarta: Rajawali Pers

186