Buku Pak Harto Sisi sisi yang Terlupakan

Buku Pak Harto Sisi-sisi yang Terlupakan
Menguak Kehidupan Pak Harto dalam Perspektif Jernih
Laporan: Rahmawati
“Saya sungguh mengetahui bahwa hingga Pak Harto
wafat, bahkan hingga hari ini, tidak satu pun dari
tudingan dan tuduhan terhadapnya yang dapat
dibuktikan secara hukum.” Pernyataan ini disampaikan
secara tegas oleh Prof Dr OC Kaligis dalam buku
terbarunya berjudul Pak Harto Sisi-Sisi yang
Terlupakan.
Buku yang sudah dipersiapkan sejak Juli 2011 dan baru
launching pada Juli 2014 ini, benar-benar dipersiapkan
untuk menguak kehidupan Presiden RI kedua, HM
Soeharto dalam perspektif jernih, baik dalam pemikiran,
perkataan, kepribadian dan tindakannya yang telah
banyak terlupakan atau mungkin sengaja dilupakan orang pada masa kini. Buku ini menjadi sangat
istimewa karena dikemas secara apik dalam bahasa yang mudah dimengerti dan memuat kesaksian
sejumlah narasumber yang belum pernah terekam dalam media manapun.
Di antaranya adalah mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono yang dikenal pelit bercerita kepada
pers, berhasil diwawancara OC Kaligis sebelum dirawat di RS Mount Elizabeth, Singapura dan akhirnya
wafat. Penuturan mantan Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman RI Ismail Saleh di dalam buku ini juga

disulut oleh beberapa hal yang bertentangan dengan ilmu yang dimilikinya, ketika dalam penanganan,
perkara Pak Harto tengah menjadi bulan-bulanan politisi.
Ada juga penuturan Bob Hasan yang pernah dilantik sebagai Menteri Perindustrian pada 16 Maret 1998,
namun hanya menjabat selama dua bulan. Ia memutuskan ikut berhenti ketika Pak Harto menyatakan
berhenti pada 21 Mei 1998. Meskipun kemudian Bob Hasan harus menjalani kehidupan yang sulit selama
empat tahun di LP Nusakambangan, ia tidak pernah berhenti mengagumi Pak Harto. Ia punya alasan
kuat untuk tetap membela Pak Harto.
Bob yakin berbagai tudingan terhadap Pak Harto itu salah besar dan bahwa kebenaran yang hakiki akan
dibukakan Tuhan. Keyakinan ini terbukti, sejak enam tahun terakhir ini beredar foto-foto Pak Harto
menempel di jalan-jalan raya, warung, mobil-mobil pribadi atau angkutan umum yang memperlihatkan
Pak Harto mengacungkan ibu jari dengan tagline “Luwih penak jamanku to?”
Tulisan Djafar Assegaf juga sangat menarik serta membukakan sudut pandang yang selama ini seakan
terlupakan. Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden yang simpatik ketika menjabat pada 1993 – 1998 dan
pernah dielu-elukan pada masa itu sebagai presiden mendatang juga menuliskan kekagumannya tentang
Pak Harto. Meskipun berbagai isu miring tentang hubungan Pak Harto dengan Try sempat berembus.
Satu dari mereka yang merasa memiliki kedekatan lahir batin dengan Pak Harto adalah Prof Dr Haryono
Suyono. Ia telah membantu pemerintahan Pak Harto selama puluhan tahun, mulai dari menjadi Kepala
BKKBN hingga diangkat sebagai Menteri Kependudukan. Pada priode berikutnya ia kembali diangkat
sebagai Menkokesra dan Taskin. Jika kemudian Haryono masuk dalam kabinet BJ Habibie, bukan berarti
ia mengkhianati Pak Harto. Sejumlah rekan dekatnya malah menyebut Haryono sebagai mata dan telinga

Pak Harto.
Subiakto Tjakrawerdaja adalah mantan Menteri Koperasi dan pembina pengusaha kecil pada kabinet
pembangunan priode 1993 – 1998. Jabatan ini bisa jadi merupakan perwujudan dari kepedulian Pak
Harto terhadap rakyat kecil. Ada juga penuturan Emil Salim dan Cosmas Batubara, dua menteri yang
menangani lahan sangat strategis pada kabinet pembangunan, yaitu sebagai Menteri Lingkungan Hidup
dan Menteri Perumahan Rakyat.
Menariknya lagi, buku ini mengangkat kisah kedekatan Pak Harto dengan sekretaris dan pengawal Pak
Harto. Anton Tabah sebagai sekretaris dan I Gusti Nyoman Suweden sebagai pengawal berada tanpa
jarak dari Pak Harto. Suweden berperan lebih dari seorang pengawal. Lelaki asal Bali ini memiliki kisah
tidak biasa mengenai kesetiaan dan pengabdian yang sangat langka di negeri ini. Begitu pula dengan
Anton Tabah yang sempat bimbang berada di tengah-tengah tekanan politik yang luar biasa terhadap
Pak Harto. Akhirnya ia memilih keluhuran budi seperti yang diajarkan ibunya dan mantap menjalankan

tugasnya selaku sekretaris seorang mantan presiden.
Tak ketinggalan, OC Kaligis juga menghadirkan putri bungsu Pak Harto, Siti Hutami Endang Adiningsih
yang bertutur tentang kedekatannya dengan almarhum ayahnya. Intisari dari penuturan Mamiek,
mengisyaratkan bahwa Pak Harto berwasiat kepada kita semua untuk saling tenggang rasa,
meningkatkan kualitas toleransi, kebersamaan dan kasih sayang. Bukan saling mengecam, memburukburukkan apalagi mendendam. Dengan cara itu Pak Harto membina dan membimbing bangsa Indonesia
selama 31 tahun.
Pak Harto Anak Ideologis Bung Karno dan Bung Hatta

Mewakili sejumlah narasumber tersebut, Prof Haryono Suyono, Subiakto Tjakrawerdaja, Cosmas
Batubara dan Anton Taba berbicara tentang sosok Pak Harto dalam talkshow yang dipandu Fifi Aleyda
Yahya, sekaligus menandai peluncuran buku Pak Harto, Sisi-Sisi yang Terlupakan. Kian terkuak, bahwa
Pak Harto tidak sejahat apa yang dihembuskan media dan menjadi bahan perbincangan orang yang
belum mengenal sisi lain Pak Harto.
“Pak Harto sesungguhnya seorang demokrat luar biasa. Bahkan lebih dari 17 tahun saya menjadi Kepala
BKKBN, tiga kali menjadi menteri, 10 tahun menjadi eselon 1, tiap kali menghadap Pak Harto selalu
ditanya apa kemungkinan yang terbaik. Saya utarakan apa saja yang saya pikirkan, bahkan saya sering
diminta menghubungi gubernur apa benar komit terhadap program ini, apa betul-betul menolong. Kalau
gubernur itu bagus, diajak jadi menteri. Anggapan otoriter itu salah. Jadi beliau itu bahasanya, nanti saya
bantu,” tukas Prof Haryono Suyono menyatakan rasa kekagumannya pada Pak Harto.
Hal sama juga diungkapkan Subiakto Tjakrawerdaja yang berpendapat bahwa Pak Harto anak ideologis
Bung Karno dan Bung Hatta. Di bidang kepemimpinan, Pak Harto meneruskan konsep-konsep
kepemimpinan Bung Karno. Pak Harto secara tegas orde baru itu suatu pemerintahan untuk
mengamalkan pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Beliau tidak sedikit pun mengubah
UUD 45 dan Pancasila. Oleh karena itu dalam GBHN, pembangunan nasional adalah pengamalan
pancasila.
“Bahkan saat lengser tahun 1997, beliau mendapat penghargaan UNFPA untuk mengurangi kemiskinan,
suatu prestasi yang luar biasa. Dari 70 persen rakyat miskin, tinggal 11 persen pada waktu itu. Ini semua
merupakan pengamalan Pancasila. Secara tegas, di GBHN itu pembangunan nasional itu adalah

pengamalan pancasila. Disinilah beliau itu anak ideologisnya Bung Karno,” tegas Subiakto.
Di bidang ekonomi, Pak Harto anak ideologis Bung Hatta. Pak Harto melaksanakan secara murni dan
konsekusen pasal 33 UUD 45, mulai dari membangun koperasi, menugaskan perusahaan-perusahaan
negara untuk menstabilkan harga, cabang-cabang produksi yang memenuhi hajat hidup orang banyak
dikuasai negara, dilaksanakan secara konsekuen oleh Pak Harto. “Indosat dibangun, setelah reformasi
dibuang, buruh dipotong hak nya,” kilah Subiakto yang menyesalkan hal ini terjadi.
Berbicara soal kehilangan, OC Kaligis juga bernada sama. “Sudah banyak perjanjian yang merugikan
kita. Saat negosiasi, kebanyakan kita kalah dalam perjanjinan internasional. Tidak ada yang tersisa bagi
kita.” tukasnya.
Prof Dr OC Kaligis merupakan pengacara yang pertama kali ditunjuk oleh Pak Harto sebagai kuasa
hukumnya. Dikisahkan dalam buku ini cukup menarik. Sejak masa persiapan pembelaan Pak Harto
secara hukum pada 1998 hingga hari-hari akhir hayat beliau setia mendampingi Pak Harto.
“Membuat buku mengenai Pak Harto itu tidak gampang. Dalam 1 tahun saya bisa bikin 7 sampai 8 buku.
Jadi ini benar-benar buku tentang Pak Harto. Yang menarik dari buku ini, kebetulan saya bela Pak Harto.
Saya bela juga lawan-lawan politiknya. Tapi tak ada satu kata pun dari Pak Harto yang mendiskreditkan
mereka. Bahkan saat Gusdur waktu itu lempar rumahnya, saya lapor polisi dia tidak menjawab berarti dia
tidak setuju. Apa yang saya lihat? Kesederhanaan beliau, dia bisa mendengar pendapat-pendapat saya
dan sampai beliau meninggal, saya tetap pengacara beliau,” ujar pengacara kondang yang sudah
menulis lebih dari 90 buah buku.
Bagi Anton Taba, buku karya OC Kaligis ini lebih dari sekedar buku. Karena buku yang baik adalah buku

yang memberikan pesan moral apa yang lebih penting diharapkan penulis. Di dalam buku ini juga
berkisah bagaimana Anton Taba, seorang perwira muda yang memiliki masa depan panjang lebih
memilih mengabdikan diri mendampingi Pak Harto yang menjadi bual-bualan banyak orang. “Yang saya
kagumi dari Pak Harto, perabotannya sederhana sekali. Pak Harto tidak seburuk yang disangka media,”
tandasnya.

http://www.gemari.or.id/artikel/6679.shtml