AGAMA DAN NEGARA Studi Relevansi A

LAPORAN PENELITIAN
DISAMPAIKAN KEPADA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
MELALUI LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN
PADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR (LPPM UIKA BOGOR)

JUDUL :
KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERIBADAH
(Suatu Analisis Komparatif Mengenai Kebebasan Beragama dan Beribadah di
Indonesia, Amerika Serikat, dan Hukum Internasional)

OLEH :
DIDI HILMAN
NIK. 410100051
NIDN. 420045601

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2014


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadiran Allah SWT yang masih
memberi kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan Laporan Penelitian di
seputar hubungan antara agama dan negara. Laporan Penelitian ini disusun dalam
rangka tugas selaku dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun
Bogor.
Penulis menyadari bahwa Penelitian ini belum sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran dari siapa saja sangat diharapkan agar Penelitian ini dapat dijadikan bahan
dalam studi dibidang hukum.
Bogor, Januari 2014

Didi Hilman

LEMBAR PENGESAHAN
Diterima oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat dan
disampaikan kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor.

Bogor, 2 Januari 2014
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat
Universitas Ibn Khaldun Bogor


Dr. H. A. Rachmat Rosyadi, M.H.

LEMBAR PENGESAHAN
Diterima dan disahkan oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun
Bogor.

Bogor, 2 Januari 2014
Dekan Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor

H. Mukhyar Nugraha SH. MH.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebebasan beragama adalah hak asasi manusia1 yang sifatnya universal dan
termuat dalam instrument-instrumen hak asasi manusia baik nasional maupun
internasional. Hak kebebasan beragama merupakan bagian dari hak sipil (civil rights)
yang tidak dapat dicabut (inalienable rights) dan tidak dapat dikurangi (non
derogable rights). Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948 2, UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945),3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang
HAM4, Undang-Undang No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Internasional

Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Konvensi
1

Hak Asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang diperoleh dan dibawanya bersamaan
dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu
dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, dan karena itu bersifat azasi
dan universal. Dasar dari semua hak azasi ialah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk
berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya. Hak atas kebebasan beragama merupakan bagian
dari Hak-hak Sipil dan Politik. Sedangkan Hak-hak Sipil dan Politik mencakup antara lain:
Pasal 6
: Right to life – hak untuk hidup.
Pasal 9
: Right to liberty and security of person – hak atas kebebasan dan keamanan dirinya.
Pasal 14 : Right to equality before the courts and tribunal – hak atas kesamaan di muka badan-badan
peradilan.
Pasal 18 : Right to freedom of thought, conscience and religion – hak atas kebebasan berpikir,
mempunyai conscience, beragama.
Pasal 19 : Right to hold opinions without interference – hak untuk mempunyai pendapat tanpa
mengalami gangguan.
Pasal 21 : Right to peaceful assembly – hak atas kebebasan berkumpul secara damai.

Pasal 22 : Right to freedom of association – hak untuk berserikat.
Lihat Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1981. hal. 120 dan 126.
2
Deklarasi HAM PBB (The Universal Declaration of Human Rights) pasal 18 menyatakan :
1. Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall
include freedom to have or adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either
individually or in community with others and in pub ic or private, to manifest his religion or
belief in worship, observance, practice and teaching.
2. No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a
religion or belief of his choice.
3. Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations as are
Prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the the
fundamental rights and freedoms of others.
4. The states Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents
and, when applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of their
children in conformity with their own convictions.
3
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 menyatakan : (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

4

Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 4 yang berisi sebagai berikut ; Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun . Pasal
22 ayat (2), sebagai berikut .

Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial/CERD),5 Undang-Undang No. 11
Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and
Cultural Rights (Konvenan tentang Hak-ihak Ekonomi, Sosial dan Budaya/ICESCR), 6
merupakan ketentuan- ketentuan yang menjamin hak kebebasan beragama.
Dalam sejarah kehidupan ummat beragama, hak atas kebebasan beragama
mengalami pasang surut. Sejarah mencatat berbagai perang dan kekerasan yang

5

Undang-Undang No 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on the Elimination
of All Forms of Racial Discrimination

6

disebabkan oleh agama. Perang Salib7, Perang Katolik dengan Protestan8, perpecahan
dalam tubuh Gereja (Schism)9 di Eropa, inquisisi10, persekusi hingga genosida11 yang
bermotifkan agama, semuanya meninggalkan jejak-jejak traumatik terhadap agama
serta membentuk persepsi orang terhadap agama.12
Hampir semua konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia dewasa ini terkait
dengan agama atau bernuansa agama. Di kawasan Asia Tenggara konflik antar agama
terjadi di Thailand Selatan (Islam versus Budha), Myanmar (Islam versus Budha),
7

Perang Salib (1095 – 1272), terjadi setelah Paus Urbanus II menyerukan perang suci melawan Islam
di konsili Clairmont tanggal 25 November 1095. Di hadapan para pendeta , ksatria, dan orang-orang
miskin, Paus Urbanus II menyerukan perang suci untuk merebut kota Yerusalem dari tangan kaum
Muslimin di Palestina. Perang ini terjadi dalam tiga periode. Periode Pertama; pada tahun 1095 M.,
150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel,
kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini
memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan
tahun 1098 M menguasai Raha (Eddesa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldwin
sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan Latin

II di Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15
Juli 1099 M) dan mendirikan kerajan Latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait alMaqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli
(1109 M), dan kota Tyre (1124 M). di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, rajanya adalah
Raymond. Periode Kedua, Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukan kembali
Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. namun ia wafat tahun 1146 M. tugasnya
dilanjutkan oleh putranya, Nuruddin Zanki. Nuruddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun
1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali. Kejatuhan Edessa ini
menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib Kedua. Paus Eugenius III menyerukan
perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya
memimpin pasukan Salib unutk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka
dihambat oleh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II
sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Nuruddin wafat tahun 1174 M. pimpinan perang kemudian
dipegang oleh Shalah al-Din al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun
1175 M. Hasil peperangan Shalah al-Din yang terbesar adalah merebut kembali Yarussalem pada tahun
1187 M. Dengan demikian kerajaan Latin di Yarussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara Salib dipimpin oleh
Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja
Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalah alDin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan
tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian
antara tentara salib dengan Shalah al-Din yang disebut dengan Shuhl al-Ramlah. Dalam perjanjian ini

disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.
Periode Ketiga, tentara salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka
berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang
orang Kristen Qibhti. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari dinasti
Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat perjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain
Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick
menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di
Syria dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun
1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai
oleh dinasti Mamalik – yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah – pimpinan perang dipegang oleh
Baybars dan Qalaun. Pada masa merekala Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun
1291 M. demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di
Spanyol, sampai umat Islam terusir disana. Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerahdaerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu
terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi
lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu tetapi malah terpecah belah. Banyak

dan Filipina Selatan (Islam versus Katolik). Sedangkan di Asia Selatan, konflik
terjadi antara Hindu vs Budha di Srilangka), Islam versus Hindu di India, konflik intra
agama di Pakistan ( Syiah vs.Sunni). Di wilayah Timur Tengah konflik antar-agama
terjadi di Palestina (Islam vs Yahudi), di Irak ( Syiah vs. Sunni). Demikian pula di

Eropa dan Amerika terjadi konlik baik intra maupun antar agama, yang melibatkan
agama Islam, Katolik, Protestan, Ortodoks dan Yahudi Adapun

di Afrika yang

menonjol adalah konflik dan persaingan antara Islam vs. Kristen.
Islam agama yang dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia penyebarannya
dilakukan dengan cara damai (peaceful penetration). Agama Islam ini disebarkan
melalui misi dagang, kaum sufi dan para penganut Islam yang taat. Islam berkembang
secara damai di kalangan penduduk asli dan mampu menyatukan berbagai suku,
bahasa, dan norma-norma. Sebagai agama natural, Islam tidak menghapus tradisi para
penduduk asli tetapi justru mengakomodasinya. Kejujuran, kebenaran, keikhlasan,
dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad. Kepada mereka
yang ikut dalam perang salib Paus menjanjikan sorga dan penghapusan dosa. Lihat Sidney Poitir, The
History of Midlle Ages,. Menurut Amstrong, perang ini menimbulkan luka yang traumatik bagi ummat
Islam, hingga sekarang. Lihat Karen Amstrong “Perang Suci, Kisah Detail Perang Salib,Akar
Pemicunya, Dan Dampaknya Terhadap Zaman Sekarang,(Jakarta:Serambi Ilmu Semesta,
2011),cetakan keenam, hal.9.
8
Perang Katolik melawan Protestan dikenal dengan French Wars of Religion (1562-1598). Perang ini

berawal dari pembantaian Vassy (the Massacre of Vassy) pada tahun 1562. Pembantaian ini memicu
permusuhan terbuka antara pengikut Katolik dan Protestan (Huegenot). Para ahli sejarah membagi
periode perang Katolik – Protestan sebagai-bertikut : Periode pertama (1562-1563), periode kedua
(1567-1568), periode ketiga (1568-1570), periode keempat (1572-1573), Periode kelima (1574-1576),
periode keenam (1576-1577), periode ketujuh (1579-1580), dilanjutkan dengan tiga peperangan yang
dipimpin oleh raja Henry (The ’War of the Three Hanry’s) tahun 1585-1598. Perang Katolik-Protestan
berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Nantes (The Edict of Nantes) tahun 1598. Lihat Wikipedia,
the free encyclopedia, French Wars of Religion.html
9
Perpecahan dalam gereja/skisma (schism) adalah perpecahan di dalam sebuah gereja atau kelompok
keagamaan. Adapun istilah skismatik berarti seseorang yang menciptakan atau menghasut agar terjadi
perpecahan di dalam sebuah gereja atau anggota dari gereja yang memisahkan diri, atau gagasan serta
hal-hal yang dianggap dapat menyebabkan perpecahan tersebut.
10
Menurut Oxford Learners Dictionary, kata inquisition berarti penyelidikan (investigation) dan
interogasi (interrogation). Sedang menurut Ensiclopedia Americana kata inquisition berasal dari kata
Latin inquirere yang berarti suatu tata cara atau prosedur yang digunakan untuk memburu orang-orang
yang melakukan bid’ah dan para pelanggar hukum lainnya, sambil menunggu dakwaan yang tetap. (the
form of procedure used, that of searching out heretics and other offenders instead of waiting for
charges to be made).

11
Genosida (genocide) adalah pemusnahan atas kelompok etnis atau kelompok agama.
12
Sikap negative terhadap agama misalnya ditunjukan oleh AN Wilson. Dalam bukunya yang berjudul
Against Religion, Why We Should Try to Live Without It , Wilson menulis sebagai-berikut :
“Dalam Alkitab (Bibel) dikatakan bahwa cinta uang adalah akar segala kejahatan. Mungkin lebih
benar lagi kalau dikatakan cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat
manusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia,
namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggungjawab atas berbagai peperangan,
tirani dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat; tetapi agama
jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk
mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran.” Dikutip dari
Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia
(Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 121.

dan hubungan yang damai di antara para suku, keluarga dan warga diikat oleh nilainilai yang berdasar pada kohesi sosial.
Namun demikian, tidak berarti bangsa Indonesia tidak menghadapi masalah yang
berkaitan dengan agama. Hal ini terbukti ketika para founding father’s Republik ini
tengah mempersiapkan kemerdekaannya, dalam sidang-sidang Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), terjadi perdebatan yang hangat
mengenai relasi agama dan negara antara para tokoh golongan Islam (Nasionalis
Islam) dan golongan Nasionalis (Nasionalis Sekuler).13
Perdebatan mengenai relasi agama dan Negara kembali terjadi pada sidangsidang konstituante. Konstituante adalah suatu badan yang bertugas untuk membuat
konstitusi yang anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum pada tahun 1955.
Negara Republik Indonesia ketika itu belum memiliki konstitusi yang bersifat
permanen. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan undang-undang dasar yang
bersifat darurat. Demikian pula dengan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950, ini merupakan UUD yang bersifat sementara sampai terbentuknya UUD yang
dibuat oleh badan pembuat Undang-Undang Dasar (konstituante).
Usaha konstituate membuat undang-undang dasar yang permanen gagal, karena
terjadi deadlock dalam pengambilan keputusan.14 Presiden Soekarno berdasarkan
alasan Negara dalam keadaan bahaya, mengumumkan dekrit Presiden 5 Juli 1959,
membubarkan konstituante dan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar
1945.15
Di masa Orde Baru issue agama kembali muncul menjadi perdebatan sengit di
dalam proses legislasi beberapa perundang-undangan, seperti Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan16, Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang Sistem
13

Perdebatan dalam rapat pleno BPUPKI tentang dasar negara atau ‘weltanschauung’ berakhir dengan
disepakatinya Piagam Jakarta (Djakarta Charter). Namun pada tanggal 18 Agutus 1945, dalam rapat
PPKI Mohammad Hatta salah seorang anggota Panitia Sembilan (perumus Piagam Jakarta) mencoret
kata ‘Ketuhanan, dengan kejewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya’. Menurut
Hatta pencoretan ini dilakukan karena adanya keberatan dari wakil-wakil Katolik dan Kristen dari
kawasan Indonesia bagian timur. Lihat Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945,
(Jakarta:Tintamas,1969), hal.
14
Terjadi deadlock dalam persidangan konstituante antara kelompok/partai Islam dan partai-partai
lainnya (Nasionalis, Protestan, Katolik, Sosialis dan Komunis), keduanya tidak mencapai quorum 2/3
yang diperlukan untuk keputusan. Dalam Pemilihan Umum tahun 1955 partai Islam mendapatkan 230
kursi sedang partai lainnya memperoleh 286 kursi. Perimbangan kedua kelompok tersebut adalah 4 : 5.
Lihat Endang Saefuddin Anshari, MA, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta, Gema Insani Press, 1997), hal.67.
15
Dekrit Presiden RI 5 Juli 1957 berisikan : Pembubaran konstituante, memberlakukan kembali UUD
1945 dan membentuk Majlis Permusyawaratan Sementara (MPRS).
16
UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku sekarang ini ditetapkan dalam
suasana .panas. Awalnya pemerintah mengajukan RUU Perkawinan tahun 1973 yang ditolak olah

Pendidikan Nasional,17 dan Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.18
Setelah reformasi, issue agama-negara kembali mengemuka dalam sidang-sidang
MPR RI. Namun demikian, tidak terjadi perdebatan ideologis seperti dalam sidangsidang Konstituante tahun 1955. Beberapa peraturan perundangan yang diawali
dengan kontroversi di era ini adalah Undang-Undang tentang Anti Pornografi 19,
Undang-Undang No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 20, dan Undang-Undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional21.

kalangan Islam karena dianggap sangat ‘sekuler’ dan bertentangan dengan hukum Islam. Pemerintah
kemudian merubah secara radikal RUU Perkawinan itu dan menetapkan UU No 1 Tahun 1974 setelah
mendapatkan protes keras dari ummat Islam.
17
Pasal 28 Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur tentang
kewajiban untuk mengajarkan pendidikan agama kepada setiap peserta didik, mulai dari sekolah dasar
hingga perguruan tinggi. Penjelasan pasal 28 undang-undang tersebut menegaskan bahwa pendidikan
agama yang diajarkan, maupun guru yang mengajarnya harus sesuai dengan agama yang dipeluk oleh
peserta didik.
18
Proses legislasi Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama diwarnai oleh prokontra dan perdebatan yang cukup panas di parlemen. Penolakan terhadap RUU Peradilan Agama
antara lain berasal dari tokoh Katolik Frans Magnis Suseno dan R.Suprapto mantan Gubernur DKI
Jaya. Magnis Suseno menulis:” ….terbentuknya Peradilan Agama akan merongrong kedaulatan
negara, bertentangan dengan konsensus nasional Pancasila, serta akan menambah gejolak-gejolak
yang timbul oleh kaum ekstrimis fundamentalis’. Lihat Frans Magnis Suseno SJ, Seputar Rencana
Undang-Undang Peradilan Agama, Kompas 16 Juni 1989. Sedang R Suprapto dalam suratnya kepada
ketua DPR/MPR RI Nomor bm.j. 010/3/1989 tanggal 2 Juni 1989 menyatakan bahwa peradilan agama
bertentangan dengan : 1. Maksud mendirikan negara kesatuan. 2. Kesepakatan luhur pencoretan tujuh
kata dalam Piagam Jakarta. 3. Dasar negara Pancasila. 4.Pancasila sebagai satu-satunya asas. 5. Pasal
29 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan kewajiban negara menjamin kemerdekaan beragama. 6.
GBHN yang menghendaki pembentukan dan pengembangan satu sistem hukum nasional yang
berdasarkan dan berazaskan Pancasila. 7. Persamaan semua warga negara di hadapan hukum (tanpa
membedakan agama dan kepercayaan). 8. Wawasan nusantara. 9. Tekad Orde Baru melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
19
Terjadi kontroversi diseputar undang-undang pornografi. Ormas-ormas Islam dan partai-partai Islam
mendukung lahirnya undang-undang ini, sementara kelompok non Muslim dan daerah seperti Bali,
Papua, Sulawesi Utara menentang undang-undang ini.
20
Fraksi Partai Damai Sejahtera(partai Kristen) menolak Undang-Undang Perbankan Syariah.
21
Partai Kristen (PDS) dan faksi-faksi Kristen dalam PDI menolak UU Sisdiknas.

Selain issue legislasi sebagaimana dipaparkan di atas, pendirian atau
pembangunan rumah ibadah dan kegitan proselitisasi 22

kerapkali menimbulkan

konflik antar pemeluk agama.23
Kebebasan beragama telah diperjuangkan sejak ribuan tahun yang lalu dan hingga
kini pun kebebasan beragama masih terus diperjuangkan, karena tidak semua pemeluk
agama merasa telah mendapat hak-haknya untuk beragama dan beribadah sesuai
dengan keyakinannya.

B. Permasalahan
Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang telah diuraiakan dalam Latar Belakang
tersebut di atas, maka permasalahan pokok yang dibahas dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai-berikut :
1. Salah satu hak asasi manusia yang dijamin di dalam konstitusi adalah hak dan
kebebasan beragama. Apa yang menjadi dasar pemikiran sehingga hak dan
kebebasan beragama tersebut perlu dijamin didalam konstitusi ?
2. Dalam negara yang bersifat majemuk (plural) seperti Indonesia, mungkinkah
membuat batasan (definisi) yuridis atas agama ? Apakah batasan tersebut tidak
menghilangkan hak dan kebebasan beragama ?

22

Proselitisasi adalah kegiatan menyebarkan agama kepada orang yang telah beragama lain. Pada
tahun 1967 pemerintah Republik Indonesia pernah menyelenggarakan ‘Pertemuan Antar Agama” yang
dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dari berbagai agama yang dianut di Indonesia. Kondisi hubungan
antar ummat beragama ketika itu kurang harmonis. Di Ujung Pandang sebuah gereja dirusak oleh
orang-orang Islam, karena seorang pemuka agama Kristen di kota itu mengeluarkan ucapan-ucapan
menghina Nabi Muhammad SAW. Di Aceh sebuah gereja baru tidak jadi diresmikan karena di daerah
tempat gereja itu didirikan tidak ada penganut Kristennya. Menteri Agama RI ketika itu KH M.
Dahlan mengajukan sebuah rencana persetujuan kepada para peserta pertemuan yang pada pokoknya
tidak membenarkan melakukan propaganda agama atau menyebarkan agama kepada orang yang sudah
memeluk agama lain. Pemerintah menginginkan terciptanya kerukunan antar ummat di tanah air.
Rosihan Anwar yang hadir dalam pertemuan itu menggambarkan sebagai-berikut :
23

Menurut Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) banyak kasus-kasus pelarangan beribadah
atau perusakan, bahkan penutupan rumah ibadah seperti pada masa pemerintahan Soekarno (19451967) sebanyak 2 kasus, pada masa pemerintahan Soeharto (1967-1998) sebanyak 456 kasus, pada
masa pemmerintahan Habibie (1998-1999) sebanyak 156 kasus, pada masa pemerintahan K.H. Abd.
Wahid (1999-2001) sebanyak 232 kasus, selama pemerintahan Megawati terjadi sebanyak 92 kasus,
sedangkan di tahun 2004 terjadi kasus gereja yang ditutup, dirusak, dan peghambatan beribadah
sebanyak 30 kasus, pada tahun 2005 sebanyak 39 kasus, tahun 2006 dan 2007 terjadi kasus sebanyak
masing-masing 17 dan 22 kasus. Pada tahun 2008 terjadi pelarangan beribadah dan penutupan rumah
ibadah sebanyak 14 kasus, di tahun 2009 gereja yang mendapat kesulitan ada 10 kasus, dan di tahun
2010 kasus pelarangan beribadah dan penutupan gereja dan lembaga Kristen terjadi sebanyak 10 kasus.

3. Bagaimanakah model Relasi Agama dan Negara yang dianut di Indonesia, dan
Amerika Serikat ? Bagaimana pula model tersebut mempengaruhi kehidupan
beragama para pemeluknya ?
4. Apakah amandemen UUD 1945 yang menegaskan kembali jaminan atas
kemerdekaan beragama merubah makna kebebasan beragama yang
dipahami selama ini ?
5. Bagaimanakah kebebasan beragama dipahami dalam konteks kebebasan
berekspresi.

II TINJAUAN PUSTAKA
1. Kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi
Pada tahun 1948 masyarakat dunia menyatakan pentingnya penghormatan
terhadap hak-hak

asasi manusia dalam suatu dokumen yaqng dikenal dengan The

Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Salah satu hak asasi manusia yang
harus dihormati oleh masyarakat dunia yaitu hak atau kebebasan beragama.
Kebebasan beragama merupakan fondasasi yang penting bagi kemerdekaan dan
perdamaian ummat manusia. Hak kebebasan beragama bersifat universal, inalienable
dan indivisible. Universal berarti hak ini diberlakukan bagi semua orang; analienable
berarti tidak dapat dicabut karena hak ini bukan pemberian negara. Sedangkan
indivisible artinya hak ini sama pentingnya dengan hak-hak asasi manusia yang lain
seperti hak untuk hidup (right to life), hak untuk berpendapat, berserikat dan
berkumpul.
Menurut pakar hak atas kebebasan beragama Tore Lindholm, ada delapan elemen
atau unsur dari hak kebebasan beragama, yaitu :24
a. Kebebasan Internal (Forum Internum).
Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini
mencakup kebebasan setiap orang untuk memiliki, menganut, mempertahankan
atau pindah agama atau keyakinan.
b. Kebebasan Eksternal (Forum Eksternum).
Setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang
lain, di tempat umum (publik) atau wilayah pribadi, untuk memanifestasikan agama
atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengamalan, ibadah dan penataannya.
c. Tidak ada Paksaan (Non Coersion).
Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk
menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya.
d.Tidak Diskriminatif (Non Discrimination).
Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau
berkeyakinan bagi semua orang yang berada di dalam wilayah kekuasaannya dan
tunduk pada wilayah hukum atau yuridiksinya, hak kebebasan beragama atau
berkeyakinan tanpa pembedaan apapun seperti suku, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama atau keyakinan, politik atau perbedaan pendapat, kebangsaan atau
asal-usulnya, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
e. Hak dari Orang Tua dan Wali.
24

Tore Lindholm, W. Cole Durham Jr. Bahia G. Tahzib-Lie (ed), Kebebasan Beragama atau
Berkeyakinan: Seberapa Jauh ? Sebuah Referensi tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek, dikutip dari
Margiyono, Muktiono, Rumadi, dan Soelistyowati Irianto. Bukan Jalan Tengah Eksaminasi Publik
Putusan Mahkamah Konstitusi Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965
Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.(Jakarta: The Indonesian Legal Resource
Center ILRC, 2010), hal. 46-47.

Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah
(jika ada) untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak
mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk
melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring
dengan kapasitas anak yang sedang berkembang.
f. Kebebasan Lembaga dan Status Legal.
Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas
keagamaan adalah kebebasan untuk berorganisasi atau berserikat. Oleh karena itu,
komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama/berkeyakinan,
termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.
g. Pembatasan yang diijinkan.
Kebebasan untuk memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya
dapat dibatasi oleh undang-undang dan ditujukan untuk kepentingan melindungi
keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak
dasar orang lain.
h. Tidak Dapat Dikurangi (Non-Derogability).
Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam
keadaan apa pun.
Pembatasan Hak Kebebasan Beragama
Pembatasan atas manifestasi kebebasan beragama hanya dapat dibenarkan jika
diatur oleh hukum. Menurut pasal 18 ayat (3) International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights (ICCPR), ada lima alasan untuk diijinkannya pembatasan
hak kebebasan beragama, yaitu:25
a.Pembatasan Demi Keamanan Publik (Restriction for the Protection of Public
Safety).
Makna pembatasan keamanan publik menurut Manfred Nowak (Special Repourteur
PBB) ditafsirkan secara terbatas, berbeda dengan makna keamanan public di dalam
pasal-pasal lain di dalam Konvensi Sipol. Pembatasan ini akan dibenarkan seperti
ketika ada sekelompok organisasi agama sedang berkumpul untuk melakukan prosesi
25

Manfred Nowak dan Tanja Vospernik, Pembatasan-Pembatasan Yang Diperbolehkan terhadap
Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, dalam Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr. Bahia G.
Tahzib-Lie (ed), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan : Seberapa Jauh ? Sebuah Referensi
tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek, Karnisius, Jakarta, 2010, halaman 207-230

keagamaan, upacara penguburan jenazah, menyelenggarakan ritual dan kebiasaan
agama yang mana secara spesifik mengancam keamanan orang-orang lain(nyawa,
fisik dan kesehatan mereka itu) dan benda-benda lainnya.
b. Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat (Restriction for the
Protection of Public Order).
Pengertian ketertiban umum di sini adalah untuk mencegah gangguan terhadap
ketertiban publik dalam arti yang terbatas. Sebagai sebuah gambaran seperti adanya
aturan untuk pendaftaran penguburan jenazah dengan maksud untuk mengatur lalulintas, sehingga orang-orang yang menggunakan jalan tidak terganggu oleh adanya
upacara penguburan jenazah tersebut. Disini, ketertiban umum ditafsirkan secara
sempit untuk menjaga arus lalu lintas agar tidak terganggu oleh adanya upacara
penguburan jenazah tersebut.
c.Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat (Restriction for the
Protection of Public Health).
Pembatasan yang diijinkan karena alasan kesehatan publik terutama dimaksudkan
untuk mengijinkan intervensi negara dalam rangka mencegah wabah atau penyakitpenyakit lain. Seperti vaksinasi, pencegahan rabies, pencegahan penularan TBC.
d.Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat (Restriction for the
Protection of Morals).
Pengertian moral harus diambil dari berbagai macam tradisi keagamaan, sosial dan
filosofi. Oleh karena itu pembatasan atas manifestasi keagamaan atas dasar moral
tidak boleh hanya diambil secara ekslusif dari satu tradisi saja. Pembatasan
manifestasi keagamaan dalam kasus ‘black masses’ (ritual keagamaan yang
mensyaratkan hubungan seksual), kemudian upacara/ritual keagamaan yang
membahayakan

kesehatan,

seperti

upacara

keagamaan/kebiasaan

keagamaan

mewajibkan sunat untuk perempuan di Afrika, atau mewajibkan pengikutnya untuk
minum racun. Negara atas dasar alasan-alasan tersebut ‘dapat’ membatasi manifestasi
keagamaan setiap warga negara.
e. Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan Kebebasan Orang
Lain (Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and Freedom
of Others).
Pembatasan atas manifetasi keagamaan dalam hal melindungi hak-hak dan kewajiban
fundamental orang lain, hanyalah untuk hak-hak dan kewajiban yang fundamental,
seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

nurani, hak beragama, hak untuk diakui sebagai pribadi didepan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Hal yang sama juga terjadi pada hak seseorang untuk menentukan nasib sendiri, hak
atas persamaan hak perempuan, larangan perbudakan, hak atas integritas fisik dan
mental, hak untuk menikah, hak-hak minoritas, hak atas pendidikan dan kesehatan
berkonflik dengan hak atas manifestasi agama orang lain. Dalam kasus kebiasaan
keagamaan yang mewajibkan perempuan untuk disunat bertentangan dengan hak-hak
dan kebebasan-kebebasan orang lain yaitu hak perempuan atas integritas fisik dan
mental serta persaan hak perempuan.

2. Model-Model Dalam Relasi Agama dan Negara
Winfried Brugger mengemukakan enam model relasi agama dan negara seperti dalam
tabel berikut :
1.

2.

3.

4.

Aggressive

Strict

Strict

Division

Animosity

Separation in

Separation

between state

Theory

and Church

Practice

and

in

5.

6.

and Formal

coorperation

Formal and

Unity

of Subtantive

Theory,

Church

& Unity

Accomodation

State, with Church and

in practice

Substantive

of

State

Division

Model 1 adalah model permusuhan negara terhadap agama (Animosity between
Church and State).
Negara bersikap anti agama seperti tercermin dalam konstitusi, ideology serta policy
pemerintahnya. Contoh dari model ini adalah Albania. Dalam pasal 37 Kostitusi
Albania tahun 1976, dinyatakan :26
“The state recognizes no religion of any kind and supports and develops the atheistic
view so as to ingrain in the people the scientific and materialistic world view”.
Sikap permusuhan terhadap agama lazim dianut di negara-negara komunis,
sebelum runtuhnya Uni Sovyet pada akhir tahun 1980’an. Dalam tulisannya yang
26

Ibid hal.31

berjudul Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right tahun 1844, Karl
Marx menegaskan pandangannya yang anti agama sebagai berikut :27
“Religion is the sight of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and
the soul of soulless conditions. It is the opium of the people”.
Sedang V.I Lenin dalam socialism and religion, menulis sebagai-berikut :28
“Religion is one of the forms of spiritual oppression which everywhere weighs down
heavily upon the masses of people……”.
Sikap anti agama bukan hanya monopoli negara-negara yang berideologi komunis
saja. Konflik antara gereja dan negara merupakan masalah yang paling mengemuka
dalam sejarah Eropa modern. Konflik ini misalnya terjadi di Prancis, Italy dan
Spanyol. Menurut Shapiro, meski bentuk konflik dan periode terjadinya berbedabeda, namun akar pertentangannya tetap sama yaitu perebutan kekuasaan. Meski
tingkat permusuhannya terhadap agama tidak seagresif merxisme-leninisme, Perancis
sering dijadikan contoh sebagai negara yang aktif membendung pengaruh agama.
Perancis yang sejak dulu mendapat julukan sebagai ’the classic land of
anticlericalism’ , dari waktu ke waktu secara konsisten melakukan politik anti gereja
dan upaya-upaya intelektual untuk menentang pengaruh agama.. Istilah Perancis
’laicite’ mengandung makna permusuhan terhadap agama. Menurut Brugger kualitas
permusuhan (animosity) terhadap agama dapat dibedakan menjadi :29
(1)

Permusuhan terhadap agama yang militan dan berkombinasi

dengan

tujuan untuk mengeliminir agama dan menggantikan tema-tema agama
dengan tema-tema sekuler.
(2)

Permusuhan yang lebih ’lunak’ (softer) yaitu tidak memenolak
pemusnahan agama dan keyakinan agama secara totalitas, tetapi
memperjuangkan pandangan yang sekuler dalam kehidupan.

(3)

Permusuhan terhadap agama tertentu seperti permusuhan terhadap agama
Katolik di Perancis.

Model 2 adalah model pemisahan yang tegas dalam teori dan praktik (Strict
Separation in Theory and Practice).
27

ibid. lihat pula

28
29

Windfrid Brugger, loc.cit

Model ini adalah variasi dari doktrin pemisahan agama dan negara yang tegas
dalam ruang dan tatanan kenegaraan, dan secara ketat diterapkan dalam praktik.
Perancis, Mexico dan Amerika Serikat, dapat digolongkan kedalam model ini.
Mexico menganut prinsip pemisahan yang ketat (strict separation) dengan kecurigaan
yang berlebihan terhadap agama Katolik.30
Contoh dari model ini adalah kasus Everson melawan Dewan Pendidikan
(Everson v. Board of Education) di Amerika Serikat. Pada tahun 1941, negara bagian
(State) New Jersey memberlakukan undang-undang yang memberikan fasilitas bus
sekolah baik bagi sekolah-sekolah negeri maupun swasta, termasuk sekolah Katolik.
Perdebatan di Mahkamah Agung Amerika Serikat, memandang hal ini sebagai
keuntungan bagi agama Katolik dan karena itu dianggap sebagai

pelanggaran

terhadap klausul yang melarang adanya memberikan keistimewaan terhadap agama..
Para hakim mengutarakan simpatinya terhadap orang tua Kristen yang dipaksa
membayar pajak untuk mendukung sekolah-sekolah negeri tapi tidak bisa menikmati
hak istimewa dari fasilitas bus sekolah. Ini jelas menjadi beban keuangan dan bahkan
mungkin hukuman terhadap para orang tua dari siswa sekolah yang berorientasi
keagamaan. Namun, ditemukan toleransi, sekali waktu negara mulai memberi manfaat
secara finansial kepada gereja-gereja, peraturan lebih luas tidak bisa lagi dicegah.
Hakim Jackson mencatat :
”if the state may aid these religious schools it may therefore regulate them. Many
groups have sought aid from tax funds only to find that it carried political control
with it.”
(jika negara dapat membantu sekolah-sekolah keagamaan ini, maka kemungkinannya
dilakukan dengan mengaturnya. Banyak kelompok memerlukan bantuan dari danadana pajak untuk menemukan bahwa itu dilakukan dengan kontrol politik.)
Kerugian keuangan dipertimbangkan terhadap keuntungan konkrit –
pemisahan yang kuat diperoleh dari kebebasan maksimal dalam kaitannya dengan
permusuhan agama-agama atau preferensi lainnya. ”It is the same constitution that
alone assures Catholics the right to maintain these [parochial] schools... when
30

Pasal 5 Konstitusi Mexico menegaskan : The state cannot permit the execution of any contract, pact
or agreement having as its object other diminution, loss, or irrecovable sacrifice of the liberty of man,
whether for reason of occupation, education, or religious vow. Therefore, the law does not permit the
establishment of monastic orders, whatever the domination or onstensible purpose of their
establishment.

predominant local sentiment would forbid them.” (Ini adalah undang-undang yang
sama yang mengatur hak umat Katolik untuk mempertahankan sekolah-sekolah
keagamaan ... ketika perasaan sentimen setempat yang paling berkuasa akan melarang
mereka.) Dengan demikian, sebagaimana Hakim Rutledge menyimpulkan, pemisahan antara
gereja dan negara, yang meliputi ruang dan organisasi serta aspek substantif dan keuangan
adalah ”best for the state and best for religion.” (terbaik untuk negara dan terbaik untuk
agama). Selain itu, ”is only by observing the prohibition rigidly that the state can

maintain its neutrality and avoid partisanship in dissensions inevitable when sect
opposes sect over demands for public funds to further religious education, teaching
or training in any form or degree, directly or indirectly.” "hanya dengan cara mengamati
larangan dengan keras bahwa negara dapat menjaga netralitas dan menghindari keberpihakan
dalam perselisihan yang tak terelakkan ketika menentang sekte sekte atas tuntutan dana
publik untuk mengajar lebih lanjut keagamaan, pendidikan atau pelatihan dalam bentuk atau
derajat, langsung atau tidak langsung . "

Model 3 adalah model pemisahan yang tegas dalam teori tetapi luwes dalam
praktik (Strict Separation in Theory, Accommodation in Parctice)
Mayoritas Hakim dalam perkara Everson melawan Board of Education di
Amerika Serikat, sampai pada kesimpulan yang berbeda meskipun mereka menerima
doktrin pemisahan agama dan negara secara ketat. Klausul non-establishment
melarang pemerintah menarik pajak gereja untuk kepentingan keagamaan. Namun
Hakim lain berpendapat bahwa hal itu boleh dilakukan jika ada netralitas dimana
negara memberikan pelayanan baik bagi sekolah negeri maupun swasta. Hal ini
merupakan

kewajiban

negara

sebagaimana

seharusnya

seperti

memberikan

perlindungan dan keamanan oleh kepolisian, pungutan uang sampah,

pemadam

kebakaran dan jaminan keselamatan di jalan raya. Oleh karena itu klausul Nonestablishment tidak mengeluarkan sekolah dan siswa sekolah agama dari menerima
bantuan negara.
Sebuah kesimpulan yang berbeda akan membatasi kebebasan beragama yang positif dan
mungkin dipahami sebagai sikap permusuhan terhadap agama. ”[The First Amandement]

requires the state to be neutral in its relations with groups of religious believers and
non-believers; it does not require the state to be their adversary. State power is no
more to be used so as to handicap religions than it is to favor them.” ("[Amandemen
Pertama] mengharuskan negara untuk bersikap netral dalam hubungannya dengan kelompok

penganut agama dan orang tidak beriman; tidak mengharuskan negara untuk menjadi musuh
mereka. Kekuasaan negara tidak lagi digunakan untuk dapat mencacatkan agama daripada
untuk mendukung mereka”.)

Moderat ini, mengakomodasi pandangan dari doktrin tembok pemisah menyarankan
bahwa dinding tidak perlu menjadi begitu tinggi dan tebal seperti yang lain, versi yang lebih
ketat. Secara doktrin berbicara, salah satu klausul agama (yakni, the Free Exercise

Clause) digunakan untuk membatasi struktural ketat klausul Non-establishment.
Dalam terminologi Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht, selanjutnya
BverfG), sebuah "konkordansi yang praktis" antara dua norma harus ditemukan. Persis di
mana garis pemisah yang akan ditarik tidak dijawab di Everson. Pada tahun 1971 dalam
kasus Lemon v Kurtzman, Mahkamah Agung AS mengembangkan Lemon Test, yang
membedakan tiga komponen Klausul Non-establishment: ”first, the statute must have a

secular legislative purpose; second, its principle or primary effect must be one that
neither advances nor inhibits religion; finally, the statute must not foster ’an
excessive government entanglement with religion.” ("pertama, undang-undang harus
memiliki tujuan legislatif sekuler; kedua, prinsip atau efek primer harus menjadi salah satu
yang tidak memajukan maupun menghambat agama; terakhir, undang-undang tidak boleh
mebina 'suatu keterikatan pemerintah yang berlebihan dengan agama"). Bahkan jika satu

elemen ini kurang, undang-undang tersebut tidak konstitusional.
Penyimpangan dari pendekatan pemisahan yang ketat adalah jelas - Dukungan marjinal dan
dukungan tidak langsung nampaknya lemah, keterlibatan organisasi tidak cukup untuk
dianggap tidak konstitusional. Hal ini juga berlaku untuk maksud dan tujuan subsidi. Namun,
perlu dicatat bahwa ketiga bagian dari tes ini sekaligus beban pembuktian masih dapat
diterapkan "ketat" atau "longgar" (ini juga berkaitan dengan "endorsement test" berikut dan
hak-dasar yang sesuai kriteria "kekuatan" dan "diskriminasi"). Sebuah interpretasi lunak dari
Lemon Test dinyatakan dalam perbedaan pendapat dalam kasus Allegheny v. ACLU:

”Persyaratan dalam netralitas melekat dalam perumusan Lemon tidak memerlukan
pemusnahan terus-menerus dari semua kontak antara pemerintahan dengan agama.
Kebijakan pemerintah tentang akomodasi, dan pengakuan dan dukungan untuk agama
merupakan bagian yang diterima dari warisan politik dan budaya kita, dan Klausul
Establishment memperbolehkan beberapa keleluasaan pemerintah dalam mengenali
peran utama agama di dalam masyarakat. Setiap pendekatan yang kurang sensitif
terhadap warisan kita akan berbatasan pada permusuhan tersembunyi terhadap agama,
karena ini akan membutuhkan pemerintah dalam berbagai peran hanya untuk
mengakui yang sekuler, untuk mengucilkan dan merugikan bagi agama.”

Model 4 adalah model pembagian dan kerjasama (Division and Cooperation)
Menurut model ini tidak ada tembok pemisah antara Agama dan Negara. Keduanya
bekerjasama dengan erat, tidak sekedar adanya akomodasi dari negara. Negara boleh
membantu lembaga keagamaan seperti pemotongan pajak atau penentuan untuk
keperluan rumah ibadah. Jerman dapat dikatagorikan kedalam model ini. Pasal 4 ayat
1 dan ayat 2 Undang-Undang Dasar (Basic Law) Jerman menyatakan bahwa agama
dan gereja merupakan subjek dari hak-hak asasi manusia, sehingga negara harus
menghormati hak-hak tersebut. Pasal 140 Undang-Undang Dasar Jerman berkaitan
dengan pasal 137 ayat 1 Konstitusi Weimar secara signifikan melarang adanya gereja
negara. Namun para penganut agama diberi kebebasan untuk membangun komunitas
keagamaannya dari bawah ke atas. Pembagian (division) tidak mengarah kepada
pemisahan yang ketat, melainkan kerjasama dan koordinasi diantara keduabelah
pihak.
Model 5 adalah model penyautan formal agama dan negara dengan pembagian
yang substantive (Formal Unity of Church and State with Substantive Divisioni)
Model ini diterapkan kerajaan Inggris, Israel dan Yunani. Di Inggris, ratu atau raja
merupakan kepala gereja Inggris. Penetapan para petinggi gereja Angican disahkan
oleh ratu atau raja Inggris. Yunani dibawah konstitusi tahun 1975, menempatkan
gereja bortodoks sebagai agama atau gereja negara. Sedangkan Israel selain para Rabi
mempunyai pengadilan sendiri untuk mengadili sengketa di lingkungan hukum
keluarga, juga memberikan perlakuan khusus bagi penganut agama Yahudi dalam
Law of Return.
Model 6 adalah model penyatuan yang formal dan substantive (Formal and
substantive unity between cruch and state).
Model ini sering disebut ‘theoracy’, dipraktikan di Iran dan Saudi Arabia.
1. Kebebasan Beragama Dalam Konstitusi Dan Peraturan

Perundang-

undangan di Indonesia.
Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, terdiri dari

berbagai suku,

bahasa, adat istiadat dan agama. Agama Islam dianut oleh mayoritas bangsa
Indonesia. Menurut hasil sensus Biro Pusat Statistik Indonesia (BPS) tahun 1990,

jumlah penduduk Indonesia adalah 179.247.783 juta jiwa. Sedangkan jumlah
penganut agama-agama di Indonesia adalah sebagai-berikut :31
Penganut agama Islam adalah sebesar 156.318.610 (87,21%);
Agama Kristen Protestan 10.820.769 (6,04%); Katolik 6.411.794 (3.58%);
Hindu 3.287.309 (1.83%); Budha 1.840.693 (1.02%); lainnya 568.608 (0.32%).
Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama sebagaimana diatur
dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 tentang Agama, sebagai-berikut :
(1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
Meskipun bab XI pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 menyebut tentang
“agama”, tetapi tidak ada definisi, pengertian ataupun penjelasan mengenai arti
agama tersebut. Dengan demikian tidak ada definisi konstitusional atau definisi
yuridis mengenai agama. Tidak adanya definisi agama yang inklusif yang dapat
diterima oleh semua pihak, menyebabkan relasi agama-negara menjadi komplek.
Dalam praktik, istilah agama dipergunakan begitu saja dalam berbagai peraturan
perundangan, tanpa penjelasan yang memadai.

Undang-undang No 1/PNPS/

1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama tidak mendefinisikan apa
agama itu. Undang-Undang ini dalam Penjelasannya (pasal 1) hanya menyatakan
adanya enam agama yang dianut di Indonesia yaitu : Islam, Katolik, Kristen,
Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Keenam agama ini mendapat bantuan dan
perlindungan, sedangkan bagi agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zoroaster,
Shinto dan Thaoisme tidak dilarang. Agama tersebut dijamin sesuai dengan pasal
29 ayat 2 UUD 1945 di atas.
Undang-Undang No 1/PNPS/1965

selama ini dijadikan legitimasi bagi

keberadaan keenam agama tersebut. Namun demikian, dalam pelaksanaannya
undang-undang ini tidak dilaksanakan secara konsisten.
Pada zaman Orde Lama Kong Hu Cu diakui sebagai agama, sedangkan pada
zaman Orde Baru (1966-1998), Kong Hu Cu

tidak diakui sebagai agama dan

keberadaanya diawasi secara ketat oleh pemerintah32.
31

Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Peraturan Perundangan-undangan Kerukunan
Hidup Umat Beragama, Edisi Kedelapan, Bagian Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat
Beragama, Jakarta, 2014, hal.1

Ada beberapa kriteria dalam menggolongkan agama. Menurut Departemen
Agama, suatu entitas dapat disebut sebagai agama apabila memenuhi kriteria atau
unsur-unsur sebagai-berikut :33
(1)

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;

(2)

Memiliki Nabi;

(3)

Memiliki Kitab Suci;

(4)

Ummat; serta adanya suatu sistem hukum bagi penganutnya.

Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama memiliki unsur-unsur pokok sebagaiberikut :34
(1) Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada
keraguan lagi.
(2) Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
(3) Praktik keagamaan, yaitu hubungan vertikal antara manusia dengan TuhanNya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai
dengan ajaran agama.
(4) Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang
dialami oleh penganut-penganutnya secara pribadi.
(5) Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama.
Substansi agama adalah adanya keyakinan tentang kekuatan Yang Maha Kuasa, yaitu
Tuhan.

Keyakinan akan adanya kekuatan yang maha kuasa (omnipotent)

menyebabkan manusia berusaha mendekatkan dirinya

kepada yang maha kuasa.

Manusia menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya yang
diyakininya berasal dari Tuhan.
Dalam agama terdapat tiga unsur pokok, yaitu manusia, penghambaan dan Tuhan.
Suatu ajaran atau paham yang mengandung ketiga unsur pokok tersebut dapat disebut
agama.
32

Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat
Istiadat Cina pada pokoknya melarang perayaan pesta agama dan adat-istiadat Cina di depan umum
karena dapat mengganggu proses assimilasi warga keturunan Cina. Intruksi Presiden ini kemudian
ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri Dan Jaksa Agung Nomor
67 Tahun 1980, Nomor 224 Tahun 1980, dan Nomor:Kep-111/J.A./10/1980 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan Dan Adat
Istiadat Cina.
33
Budhy Munawar Rahma