Studi Dan Islam di Australia.pdf

Studi Islam di Australia:
Pengalaman Western Sydney University dan Charles Sturt University
Oleh: Mohamad Abdun Nasir
FSEI dan Pascasarjana IAIN Mataram
Islam telah berkembang bukan saja sebagai sebuah agama yang dipraktikkan oleh para
pemeluknya di negara-negara Barat, akan tetapi juga menjadi fenomena sosial, politik, hukum,
ekonomi maupun budaya yang menarik untuk dikaji secara intensif dan mendalam oleh para
sarjana dan peneliti, tak terkecuali di Australia. Dibandingkan dengan kajian-kajian keislaman
(Islamic studies) di Eropa dan Amerika Utara yang telah mapan dan mentradisi dalam lembagalembaga pendidikan tinggi ternama, semisal Universitas Leiden di Belanda (berdiri tahun 1575),
Universitas Cambridge di Inggris (didirikan tahun 1209), Universitas Harvard, Amerika Serikat
(berdiri tahun 1636), studi Islam di perguruan tinggi di Australia secara kronologis muncul lebih
belakangan. Keterlambatan tersebut disebabkan karena Australia sebagai sebuah negara yang
independen baru tampil paska atau diakhir era pendudukan kekuasaan Inggris di Benua Kanguru
pada abad 19. Pada tahun 1850, universitas pertama kali berdiri di Australia, yaitu Universitas
Sydney. Meskipun muncul agak belakangan, studi Islam di lembaga pendidikan tinggi Australia
berkembang pesat.
Tulisan pendek reflektif ini, yang disusun saat kunjungan singkat selama dua minggu di
Sydney pada bulan September 2016, bermaksud untuk melihat model kajian keislamaan di
Western Sydney University (WSU) dan Charles Sturt University (CSU), khususnya di lembaga
yang berafiliasi dengannya yang secara khusus untuk riset dan akademi Islam, yaitu Islam
Science and Research Academy Australia (ISRA). Di WSU terdapat program major untuk

Islamic studies pada tingkat diploma and bachelor. Di CSU-ISRA, terdapat program bachelor
dan postgraduate untuk studi Islam. Tulisan ini hanyalah telaah awal dan terbatas untuk
mengamati dari kacamata outsider (bukan mahasiswa di perguruan tinggi tersebut ataupun dalam
rangka riset yang mendalam) bagaimana Islam dikaji di (dua) pendidikan tinggi di Australia
(satu di perguruan tinggi yang memiliki program Islamic studies and yang satunya tidak
memiliki secara khusus program tersebut), serta untuk mengambil pelajaran bagi pengembangan
kajian atau studi Islam di Indonesia. Penulis berpendapat perkembangan studi Islam di perguruan
tinggi di Australia bukan saja dipengaruhi oleh konteks sejarah Islam di Australia dan
dinamikanya di dunia Islam pada umumnya, akan tetapi juga sebagai respon atas tumbuhnya
1

Islam dalam konteks yang lebih lokal dan spesifik seperti faktor demografi Australia.
Pembahasan selanjutnya adalah menyangkut konteks masyarakat Muslim Sydney dan praktik
keberagamaannya sebagai latar belakang untuk memahami dinamika studi Islam di sana.
Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai studi Islam di WSU dan CSU-ISRA
dengan melihat dua hal, yaitu silabus dan koleksi perpustakaan dan terakhir refleksi dan aksi
yang perlu diambil bagi civitas akademika perguruan tinggi Islam Indonesia, khususnya IAIN
Mataram, dari hasil catatan pendek ini.

Sydney dan Masyarakat Multikultural

WSU dan CSU berada di Sydney yang merupakan kota tua Australia, sebagaimana
halnya Amsterdam di Belanda. Sebagai kota tua, Sydney menjadi sentral aktivitas masyarakat
Australia. Posisi yang penting ini menjadikan Sydney menjadi salah satu kota tujuan pendatang,
baik sebagai imigran, pekerja maupun mahasiswa. Alhasil, Sydney merupakan salah satu kota
paling multikultural di Australia. Menurut data statistik tahun 2011, mayoritas pendudukan
Australia memeluk agama Kristen (62%: Roman Katolik 25%, Anglikan 17%, Sekte Kristen
lainnya 18%), tidak beragama (22%), Budha (2,5%), Islam (2.2%), Hindu (1.3%) dan Yahudi
(0.5%) dari total penduduk yang berjumlah sekitar 22.500.000 jiwa tahun 2011. Pada thaun
2016, penduduk Australia berjumlah sekitar 23.900.000 akan tetapi belum tersedia data
demografi agama. Meski belum ada, kemungkinan besar peta prosentase demografi agama
Australia saat ini tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dari data itu, masyarakat
Sydney, yang masuk negara bagian New South Wales, adalah yang paling heterogen dari sisi
etnis, budaya dan agama. Data statistik yang terakses pada tahun 2006 menunjukkan bahwa
populasi umat Islam di wilayah Syndey cukup signifikan, yaitu 4.4%, sedangkan mayoritasnya
adalah Katolik (29%), disusul oleh Anglikan (16%), Kristen Ortodoks (4.8%) dan diikuti
minoritas lainnya, seperti Budha, Hindu dan Yahudi. Data di atas mengungkap demografi
Muslim di Syndey sebagai minoritas dengan jumlah yang cukup signifikan dibanding dengan
minoritas lainnya.
Di Sydney terdapat beberapa kantung wilayah (enclave) Muslim dan beberapa masjid.
Setidaknya ada belasan titik di wilayah tersebut dimana umat Islam memiliki tempat ibadah baik

ukuran kecil/sedang (mushalla) maupun besar. Salah satu tempat ibadah yang penulis beserta
rombongan dari IAIN Mataram kunjungi adalah Masjid Gallipolli di Auburn, Sydney, yang
2

didirikan oleh komunitas Muslim Turki. Arsitek dan motif gambar atau kaligrafinya sangat
dipengaruhi oleh seni pahat dan bangunan Turki Usmani. Bendera Turki juga menjadi salah satu
ornament masjid, yang mampu menampung sekitar 3.000 jamaah. Selain warga Turki, Muslim
lain dari Timur Tengah, India, Pakistan, Afghanistan, Bangladesh, Indonesia dan Rohingnya juga
melaksanakan ibadah di tempat ini. Mayoritas mereka adalah immigrant dan menjadi penduduk
atau pendatang bukan penduduk yang bekerja pada sektor non-kantoran. Mereka tinggal di
sekitar Auburn, bagian pinggiran barat Sydney. Penduduk Muslim kebanyakan tinggal di
wilayah-wilayah pinggiran Barat Sydney ini, termasuk di Bankstown dan Lakemba. Di kampus
WSU di Bankstwon terlihat banyak sekali mahasiswa Muslim dan mahasiswi perempuan yang
berjilbab. Salah satu organisasi mahasiswa Muslim yang eksis adalah Muslim Student
Association (MSA). Di dalam kampus WSU, sebagaimana kampus-kampus di Australia lainnya,
terdapat mushalla.
Sebagaimana penjelasan seorang guide kepada penulis selama berkunjung ke Masjid
Auburn, media-media Australia sering sekali mempropagandakan Islam sebagai agama yang
menaburkan kekerasan. Tidak sedikit muncul stereotipe Muslim sebagai warga yang tidak ramah
yang dibentuk dan dicitrakan lewat media massa. Beberapa tahun belakangan ini, terutama sekali

semenjak paska peristiwa penyerangan World Trade Center/WTC di Amerika pada tanggal 11
September 2001 silam, Bom Bali pertama tahun 2002 yang banyak menelan korban warga
negara Australia, Islam dan Muslim menjadi bahan sorotan media massa dunia, tak terkecuali di
Australia. Sayangnya sebagian umat Islam sendiri tampaknya juga merespon peristiwa itu secara
berlebihan sehingga tanpa mereka sadari ikut menyuburkan peran media yang haus akan
informasi dan berita seputar masalah terorisme. Munculnya gerakan atau kelompok Islam garis
keras yang berafiliasi atau mendukung al-Qaeda atau ISIS, dan secara terang-terangan
mendukung aksi-aksi terror, telah menjadikan Islam dan penganutnya sebagai fenomena politik
global yang dianggap mengancam keamanan dan demokrasi. Media coverage yang banyak
mengenai Islam yang demikian sangat berpengaruh terhadap pencitraan Islam baik dalam skala
nasional Australia maupun lokal di Sydney. Namun demikian, jika kita menengok everyday
Muslim life di Sydney, sesungguhnya banyak hal lain yang bisa diekspos yang menunjukkan
dinamika dan adaptasi mereka di Australia.
Misalnya, sesaat setelah melaksanakan shalat Jumat di Masjid Gallipoli di Auburn,
jamaah, termasuk penulis dan rekan-rekan, mengikuti shalat jenazah yang dilakukan di bagian
3

sisi barat masjid. Jumlah yang mengikuti shalat janazah cukup banyak, sampai sekitar 5 shaf.
Selain ibadah, kegiatan sosial juga acapkali digelar di masjid. Di sini terdapat layanan
pendidikan dan kesehatan. Ada bangunan di arena masjid untuk sekolah dasar. Arena olah raga

(fitness) yang sederhana juga menyatu dalam arena masjid. Secara regular ada program
pemeriksaan kesehatan secara gratis. Masjid dengan demikian berperan aktif sebagai pusat
kegiatan sosial-keagamaan yang membina para anggotanya menjadi warga negara yang baik
(good citizen). Kalau kita blusukan di daerah seputaran masjid, terutama di Auburn Center, maka
dengan mudah kita mendapatkan banyak sekali restoran yang menyajikan makanan halal, baik
rumah makan siap saji Kebab Turki, restoran Lebanon yang nyampleng sampai restoran
Thailand. Toko-toko makanan atau restoran-restoran tersebut secara jelas menempelkan label
halal. Konsumen makanan halal bukan saja warga etnis Muslim, tapi banyak juga dari kalangan
warga kulit putih maupun lainnya. Pertumbuhan dan stabilitas ekonomi di Sydney dengan
demikian tidak bisa lepas dari peran umat Islam.
Di sisi lain, permintaan yang tinggi atas semangat kerja dan pembagian jam kerja yang
padat acapkali menimbulkan persoalan. Belum lagi menyangkut keterbatasan sarana dan fasilitas
yang mengakomodir kepentingan ibadah umat Islam, seperti tempat wudhu dan shalat di tempat
kerja. Persoalan-persoalan normativitas fiqh dan aktualisasinya di masyarakat urban “sekuler”
berpengaruh besar terhadap tingkat keberagaman warga Muslim. Misalnya, pada saat penulis
membeli kaos di sebuah lapak, penjualnya dengan enteng mengatakan dirinya sebagai Muslim.
Dengan bahasa yang lugas dia juga mengakui sebagai Muslim yang kurang baik karena kadangkadang ia melaksanakan shalat dengan tertib namun di lain waktu tidak mengingat beban dan
tuntutan kerja yang keras dan padat. Sebagaimana penulis argumentasikan di bagian
pendahuluan, kondisi lokal menyangkut pernik-pernik kehidupan Muslim di Syndney seperti
inilah dan wacana global dunia tentang Islam berpengaruh kuat terhadap studi Islam di Australia.


Studi Islam di CSU dan WSU
Salah satu pengaruh di atas bisa dilihat di Charles Sturt University berlokasi di Sydney,
yang kampusnya menyebar beberapa kota lain di Australia. Pengaruh tersebut terrefleksikan
dengan baik sekali dalam silabus dan matakuliah yang ditawarkan, seperti yang akan dijelaskan
nanti. Program studi Islam di CSU bernama Centre for Islamic Studies and Civilization
(http://arts-ed.csu.edu.au/centres/cisac). Struktur studi Islam dalam pusat-pusat studi atau centre
4

semacam ini sangat lazim ditemui dibeberapa perguruan tinggi di Barat yang tidak memiliki
departemen, fakultas atau jurusan khusus dalam studi Islam. Namun, karena minat kajian
terhadap Islam dan budaya Muslim dan signifikansinya meningkat, maka studi Islam menjadi
salah satu tawaran dan diakomodir dalam pusat-pusat studi, dan bukan dalam jurusan atau
departemen. Strukturisasi semacam ini tentu akan memberikan warna yang berbeda ketika kajian
itu terpusat dalam satu departemen atau jurusan.
Karena, dalam konteks Sydney, komunitas Muslim sangat kuat dan banyak, maka
akomodasi dalam pusat-pusat kajian (centre) kurang memadai. Di sinilah kemudian CSU
menggandeng lembaga keislaman untuk mendirikan program studi khusus tentang Islam. Dalam
situsnya dijelaskan bahwa Pusat Studi Islam dan Kebudayaan CSU bekerjasama dengan Islamic
Science and Research Academy Australia/ISRA (lihat di http://www.isra.org.au/) yang berdiri

pada tahun 2009. Berlatar belakang pada usaha dialog antar agama dan integrasi Muslim dalam
masyarakat Australia, ISRA kemudian tumbuh dan menjadi salah satu pusat riset dan studi Islam
ternama di Australia. Pada saat mengunjungi kantor ISRA yang berada di wilayah Auburn, dekat
dengan Masjid Gallipoli, penulis masuk ke ruangan yang berada di lantai tiga di salah satu
gedung di dekat pusat aktivitas perekonomian di kota tersebut. Koleksi buku-buku di ruang
utama dan perpustakaan dipenuhi dengan buku-buku induk keislaman dan terjemahan karya
ulama klasik dalam bidang akidah, ibadah, fikih, akidah, sufi dan lain sebagainya. Ada kitab Ihya
Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Ada pula buku Principle of Islamic Jurisprudence karangan
Hasyim Kamali dan lain sebagainya. Terlihat beberapa mahasiswi yang sedang belajar di
ruangan tersebut disamping staf yang mayoritas perempuan.
Sementara di WSU, terutama di Kampusnya di Bankstown, tidak ditemukan hal yang
demikian. Meski boleh dibilang mahasiswa Muslim cukup banyak, kajian Islam di kampus ini
berbeda dengan di CSU. Pada level diploma dan bachelor, WSU menawarkan program
akademik studi Islam sebagai juruan utama (major). Disamping itu, terdapat kelompok penelitian
yang fokus pada kajian agama dan masyarakat, yaitu Religion and Society Research Cluster,
dimana studi-studi dan riset yang lebih intensif dan mendalam tentang agama dan budaya secara
umum dalam leval sarjana, magister dan doktoral, diadakan dan dibina lebih intens. Kelompok
yang lebih kecil dalam kluster ini bertemakan “Muslim in contemporary societies”. Sementara
itu CSU menawarkan tiga level strata pendidikan dalam program studi Islam, yaitu sarjana,


5

magister dan doktoral. Dalam situsnya, penjelasan yang sangat detail tersedia untuk program
sarjana dan masters.
Untuk melihat sedikit lebih jauh studi Islam di dua perguruan tinggi tersebut, berikut
akan ditampilkan dua data, yaitu, pertama, sillabus atau matakuliah yang ditawarkan dan, kedua,
koleksi referensi perpustakaan yang terkait dengan Islam.
Perbandingan Matakuliah program S1 studi Islam
WSU credit details of Bachelor of Arts
(major in Islamic studies)
10cp - 100846 Analytical Reading and Writing
10cp - 101462 Understanding Islam and Muslim
Societies
10cp - 100958 Australia and the World
10cp - 101551 Understanding Society
10cp - 102296 Hadith: The Prophetic Tradition
10cp - 101557 The Individual in Society
10cp - 102294 Islam in the Modern World
 10cp - 101911 The Qu'ran: An Introduction


CSU-ISRA Bachelor of Arts in Islamic Studies



ISL232 Usul al-Hadith (Methodology of Prophetic
Traditions



ISL331 Advanced Study of Tafsir literature



ISL333 Advanced study of hadith literature



Core subjects
SL 100 Islamic worldview and faith
ISL110 Fiqh (Islamic law) of the five pillars

ISL170 Ihsan (spirituality)
ISL181 Sirah (Life of the Prophet Muhammad)
ISL202 Usul al-Din (Islamic theology)
ISL211 Usul al-Fiqh (Methodology of Islamic law)
ISL 230 Usul al-Tafsir (Methodology of Qur’anic
Exegesis

Ada tambahan 14 (empat belas) matakuliah
Arabic electives 6 (enam) matakuliah dan Islamic
studies electives 11 (sebelas) matakuliah
Data dalam tabel ini diambil dari situs WSU dan CSU-ISRA dan diakses pada tanggal 25 September 2016.

Tabel matakuliah studi Islam di kedua perguruan tinggi di atas menggambarkan orientasi
studi keislaman di dalamnya yang berbeda. Matakuliah tentang keislaman yang menjadi core
subject di WSU adalah pengantar studi al-Qur’an dan hadis. Aspek lain yang diberikan tentang
Islam adalah budaya dan sejarah modernnya. Artinya, pendekatan studi Islamnya lebih seimbang
antara aspek normatif dan sejarah-praktis-nya, atau mungkin lebih menekankan aspek yang
kedua karena ada matakuliah utama lainnya, seperti ke-Australia-an dan kemasyarakatan.
Sepertinya, konseptor silabus ingin mahasiswa program studi Islam memeahami normativitas
Islam dalam konteks masyarakat setempat dan dalam kerangka nasionalisme. Sementara di CSUISRA, matakuliah jurusan studi Islam didesian untuk menguasai hampir semua aspek dan bidang

core subject studi Islam, mulai pengantar tafsir, hadis, hukum Islam, sejarah kenabian sampai
usul fiqh. Hal ini dikarenakan di CSU-ISRA, studi Islam menjadi jurusan tersendiri dan tujuan
6

pembelajarannya bukan sekedar untuk mendapatkan pengetahuan semata (kognitif), akan tetapi
juga penguasaan dan aplikasinya. Seperti dijelaskan dalam situsnya, kompetensi yang ingin
dicapai antara lain adalah pembangunan masyarakat Muslim dan sarjana yang menguasi ilmuilmu keislaman. Oleh karena itu, matakuliah yang sama dengan level kajian yang lebih
mendalam diberikan pada program tingkat magister, dan, sepertinya juga, doktoral.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kampus CSU-ISRA juga berada di bagian kota
Sydney yang paling heterogen dimana banyak etnis keturunan Arab, Asia Selatan serta etnis
lainnya yang Muslim berdiam. Komunitas inilah sepertinya yang menjadi sasaran target menjadi
mahasiswa di CSU-ISRA. Problematika yang mereka hadapi terkait dengan pemahaman dan
penerapan Islam sebagai minoritas di Australia terakomodir dengan baik dalam silabus dan
kompetensi CSU-ISRA. Generasi awal Muslim yang tinggal di wilayah ini adalah para
immigrant yang telah telah banyak diantara mereka mengahsilkan generasi baru. Karena alasan
pendidikan yang kurang atau kesibukan, anak-anak generasi baru ini tidak mendapatkan
pendidikan agama yang cukup. Sementara mereka tidak ingan identitas agama dan budayanya
hilang begitu saja. Dengan adanya program studi Islam di tingkat tinggi, yang menawarkan core
ilmu-ilmu keislaman merupakan jawaban atas krisis identitas dan akademik warga Muslim
Australia. Jelas sekali, oleh karena, studi Islam di lembaga ini merupakan respon kondisi
masyarakat Muslim di negara tersebut. Sementara itu, di WSU, penulis tidak menemukan
program studi Islam selain tingkat diploma dan bachelor meskipun ada informasi lainnya
mengenai studi Islam strata magister dari National Centre of Excellence for Islamic Studies
Australia (NCEIS) bahwa program Masters of Art by research dalam studi Islam ditawarkan di
WSU, disamping di Universitas Melbourne dan Griffith.
Berikut adalah data koleksi perpustakaan di WSU dan CSU. Metode pengumpulannya
dengan cara yang sangat bisa dilakukan oleh semua orang, yaitu masuk ke situs perpustakaan
masing-masing dan kemudian menuliskan kata kunci Islam dan yang relevan dengannya dalam
kolom pencarian. Hasil penelusuran tersebut adalah sebagai berikut:
Keywords
Islam
Islamic law
Islamic education
Islamic theology
Sufism

WSU Collections
206.763
78.356
29.930
7.798
1.915
7

CSU Collections
229.136
117.526
41.576
12.776
3.132

Islamic radicalism
Islam, Muslim, politics
Islam, Indonesia

6.239
6.181
9.024

9.131
9.835
12.741

Data diakses langsung dari situs perpustakaan WSU dan CSU pada tanggal 26 September 2016.

Data kuantitatif di atas menunjukkan dengan jelas bahwa bahwa SCU memiliki lebih
banyak koleksi referensi terkait Islam. Penulis tidak mengecek lebih lanjut masing-masing items
tersebut. Namun biasanya ketika dicari koleksi tertentu dengan memasukkan kata kuncinya,
maka akan keluar semua koleksi yang terkait dengannya, baik berupa buku, jurnal, laporan,
manuskrip dan lain sebagainya yang tersimpan di perpustakaan yang bersangkutan.
Dari delapan kata kunci yang dicari, hampir CSU memiliki referensi yang lebih banyak.
Ini bisa terjadi, menurut dugaan penulis, karena CSU memiliki program studi Islam dalam semua
tingkat atau jenjang pendidikan. Jika sebuah universitas menyatakan membuka atau memiliki
program studi tertentu, maka salah satu hal mendasar yang wajib dipenuhi adalah dukungan
referensial yang kuat. Kualitas dunia dan lembaga pendidikan ilmiah salah satunya ditentukan
oleh seberapa banyak koleksi referensi yang dimilikinya, disamping tentu saja ada faktor lain
semisal reputasi dan keahlian staf pengajar, jumlah mahasiswa, kelengkapan laboratorium,
keunggulan riset dan jumlah publikasi ilmiah. Meskipun hanya ada major dalam Islamic studies
pada level diploma dan bachelor, koleksi referensi WSU juga sangat banyak. Ini membuktikan
bahwa, dalam hal koleksi referensi terkait dengan satu agama yang tumbuh pesat seperti Islam,
mereka tidak akan kekeringan bahan bacaan dan informasi lain terkait dengannya.
Secara keseluruhan, studi Islam atau bahkan Islam di Indonesia sekalipun di pendidikan
tinggi yang memiliki program studi Islam ataupun tidak di Australua tidak akan mengalami
kelangkaan referensi. Bahkan, sangat mungkin jumlah koleksi yang mereka miliki jauh lebih
banyak disbanding yang rata-rata dimiliki oleh masing-masing perguruan tinggi Islam di
Indonesia. Kelebihan referensial inilah yang menjadi daya tarik tersendiri studi Islam di
Australia. Bahkan kalau kita tarik dalam konteks studi Islam di Barat pada umumnya, maka di
beberapa perpsutakaan di Eropa atau Amerika memiliki koleksi-koleksi referensi, buku,
manuskrip atau benda sejarah yang tidak ditemukan di perpustakaan atau museum negara-negara
Islam. Ini menjadi poin tambahan tersendiri studi Islam di Barat. Secara lebih spesifik kajian
Islam di Australia lebih banyak dilakukan dalam disiplin social science and humanities,
antropology dan sociology dalam isu dan konteks kontemporer keiIslaman. Sementara disiplin
filsafat, sastra atau sejarah untuk kajian Islam lebih dominan di Eropa dan Amerika.

8

Refleksi dan Aksi
Terlihat jelas bagaimana kajian Islam, struktur dan desain pengkajian dan materi serta
course-nya, di perguruan tinggi di Australia dipengaruhi bukan saja oleh wacana gobal tentang
Islam dan Muslim, akan tetapi juga dibentuk sebagai respon atas kondisi, dinamika dan konteks
lokal Muslim di Australia. Figur studi Islam di WSU dan CSU-ISRA yang dipaparkan di atas
jelas mendukung argumen tersebut. Perlu digarisbawahi bahwa karena studi Islam di perguruan
tinggi di Australia sangat banyak dan menyebar di berbagai perguruan tinggi di Negeri Kanguru
tersebut, semisal di Universitas Melbourne, dan sayangnya mereka tidak dimasukan dalam
tulisan pendek ini, maka kekurangan ini harus menjadi pertimbangan tersendiri bagi pembaca
untuk melengkapinya. Pembaca perlu mencari sebanyak mungkin informasi tambahan lainnya
yang barangkali jauh lebih komprehensif dan tidak dijelaskan dalam risalah pendek ini. Karena,
sebagaimana penulis tegaskan, tulisan ini hanya pengantar awal tentang studi Islam di Australia.
Riset yang lebih jauh dan serius perlu dilakukan. Namun penulis ingin menegaskan bahwa
meskipun data yang disajikan terbatas pada dua kampus, akan tetapi argumennya relative
menyasar pada fenomena studi Islam di Australia maupun Barat pada umumnya.
Sebagaimana pengalaman penulis ketika mengenyam pendidikan di Leiden, Belanda,
pada tahun 2004 dan di Emory, AS, pada tahun 2013 lalu, ada semacam benang merah yang
menghubungkan dan menyamakan model studi Islam di Eropa, Amerika dan Australia. Di
Eropa, khususnya di Belanda, selain ada program dan jurusan khusus studi Islam yang umumnya
di bawah Area Studies, Middle Eastern and Arabic Studies dan Asian/Southeast Asian Studies di
beberapa perguruan tinggi swasta dan negeri, ada juga perguruan tinggi yang secara khusus
fokus pada studi Islam, semisal Islamic University di Rotterdam. Ini adalah universitas Islam
pertama di Belanda, atau bahkan bisa jadi di Eropa. Kampus ini dibangun dan didukung secara
finansial oleh komunitas imigran Muslim dari Turki dan Maroko, kurang lebih fenomenanya
sama dengan di Sydney. Mahasiswanya juga banyak berasal dari komunitas Muslim tersebut.
Matakuliah yang ditawarkan mirip dengan yang diajarkan di lembaga pendidikan Islam di
Indonesia yang menitikberatkan pada aspek training, skill dan pengembangan masyarakat Islam,
seperti halnya silabus studi Islam di CSU-ISRA. Salah satu program studi unggulan yang baru di
Rotterdam adalah Master in spiritual care, yang mencetak ahli dan sekaligus praktisi yang akan
mengisi jabatan dan peluang kerja sebagai imam atau pemimpin-pemimpin acara ritual

9

keislaman di Belanda karena memang bidang inilah yang sangat dibutuhkan masyarakat Muslim
di negara kincir angin.
Fenomena yang kurang lebih sama juga ditemukan di Amerika Serikat. Salah satu
lembaga Islam di Amerika adalah Sekolah Tinggi Zaytuna yang berlokasi di kota Berkeley,
negara

bagian

California.

Dalam

situs

sekolah

tinggi

ini

(https://www.zaytuna.edu/academics/bachelors_program) disebutkan matakuliah yang harus
diambil untuk program bachelor atau sarjana. Di situ terlihat banyak sekali matakuliah yang
merupakan core atau inti matakuliah Islam di perguruan tinggi Islam di Indonesia. Bahkan ada
program khusus membaca dan menghafal al-Qur’an. Tentu matakuliah-matakuliah tersebut
ditawarkan dengan pertimbangan khusus dan untuk merespon kebutuhan pendidikan agama
masyarakat Muslim di sana. Model kajian ini tentu saja memperkaya kajian Islam yang lain yang
lebih berorientasi pada akademis murni, riset dan publikasi.
Dengan mefleksikan secara komparatif sederhana studi Islam di Australia, khususnya,
dan di Barat pada umumnya, seperti di Belanda dan Amerika, dengan studi Islam di
STAIN/IAIN/UIN, maka akan ditemukan beberapa hal yang menarik untuk digarisbawahi.
Pertama terkait dengan jenis matakuliah. Secara umum, matakuliah studi Islam di CSU-ISRA
dan WSU khususnya untuk program sarjana tidaklah berbeda jauh dengan matakuliah
pokok/dasar di perguruan tinggi Islam di Indonesia. Bahkan, pengajaran matakuliah studi Islam
CSU-ISRA banyak yang mirip yang ditawarkan di perguruan tinggi Islam di Tanah Air karena
keduanya memiliki oreintasi yang sama, yaitu kira-kira mencetak sarjana Muslim yang memiliki
kompetensi keahlian dan prakis keislaman. Yang belum diketahui adalah proses belajar mengajar
termasuk metode pembelajaran, IT dan lain sebagainya karena penulis tidak pernah ikut
nimbrung di kelas. Agak berbeda halnya jika dibandingkan dengan WSU, yang matakuliahnya
lebih menjadikan Islam sebagai kajian ilmiah meskipun di sana masih belum lepas sama sekali
dari matakuliah keislaman, semisal hukum Islam, hadis dan studi al-Qur’an. Hanya saja ada
beberapa matakuliah yang mengedepankan pendekatan sejarah, sosiologi dan antropologi yang
lebih kental. Formasi ruang kelas di WSU dilengkapi dengan sarana IT yang mendukung dan
gaya pembelajaran yang egaliter. Meski demikian, jika alumni sarjana STAIN/IAIN/UIN
melanjutkan studi Islam ke jenjang master atau bahkan doktor di perguruan tinggi di Australia
tidak akan mengalami kesulitan yang mendalam dari segi penguasaan materi (kecuali bahasa,
budaya, makanan dan cuaca, dan ini problematika yang umum). Karena banyak matakuliah yang
10

bersentuhan dan menyambung antara yang diajarkan di program sarjana di pendidikan tinggi
Islam di Indonesia dengan di perguruan tinggi di Australia. Bahkan, jika komparasi dan
kontinuitas keilmuan ini diterapkan pada CSU-ISRA, maka akan sangat mudah alumni
STAIN/IAIN/UIN beradaptasi karena berbagai macam kesamaan bidang keilmuan.
Meski demikian, perlu dipertimbangkan pada model studi yang mana alumni
STAIN/IAIN/UIN dalam studi Islam hendak melanjutkan program studi paskasarjana mereka di
Australia. Tentu saja pilihan akan tergantung kepada masing-masing orang. Jika memilih model
di CSU-ISRA, maka akan lebih mudah mengadaptasikan substansi keilmuan karena boleh
dikatakan bahwa matakuliah program paskasarjana studi Islam di CSU-ISRA hampir mirip
dengan yang mereka pelajari sebelumnya. Bisa pula alumni STAIN/IAIN/UIN menjatuhkan
pilihan studi paskasarjana ke WSU meskipun tidak ada program studi khusus dalam studi Islam.
Untuk menyiasati ini, bisa saja alumni fakultas tarbiyah melanjutkan studi bidang pendidikan,
alumni fakultas syariah melanjutkan studi hukum atau ekonomi dan alumni fakultas dakwah
melanjutkan studi sosiologi agama. Mereka bisa memperkaya basis teori dan metodologi dalam
disiplin tersebut dan kemudian mengambil obyek kajian yang terkait dengan Islam atau
masyarakat Islam kaitannya dengan pendidikan, hukum, ekonomi maupun pengembangan
masyarakat Islam. Keuntungannya jika opsi ini yang diambil adalah mereka akan sangat kaya
dengan aspek teori dan metodologi, namun harus lebih banyak belajar secara serius karena boleh
jadi materi yang mereka terima tersebut belum pernah diajarkan di STAIN/IAIN/UIN. Sementara
jika opsi yang dipilih adalah jenjang paskasarjana di CSU-ISRA, maka secara substansial dan
teoritis-metodologis tidak akan mengalami banyak kesulitan/perbedaan karena merupakan
kelanjutan tradisi keilmuan di leval sarjana sebelumnya di Tanah Air.
Yang penting pula untuk dipertimbangkan ketika hendak melanjutkan studi paskasarjana
studi Islam di Australia atau Barat pada umumnya adalah ketersediaan professor yang ahli dalam
salah satu bidang keilmuan studi Islam yang sesuai atau mendekati bidang maupun research
interests calon mahasiswa. Katakanlah dalam bidang hukum Islam, gender atau budaya dan
tradisi Islam maupun pendidikan Islam. Meskipun perguruan tinggi tidak memiliki program
khusus studi Islam, akan tetapi memiliki “pusat studi” Islam dengan dukungan expert and
professor yang ahli dalam bidang keislaman, maka perlu dipertimbangkan untuk diambil.
Mislanya di WSU, ada professor sosiologi yang sangat produktif dengan riset dan publikasinya
tentang Islam. Calon mahasiswa studi Islam bisa meliriknya sebagai supervisornya kelak.
11

Strategi ini banyak diterapkan oleh mahasiswa yang biasanya dihadapkan pada dua pilihan untuk
mengambil konsentrasi atau jurusan antara di satu perguruan tinggi yang menawarkan program
studi tersebut dengan perguruan tinggi lainnya yang tidak ada program studi tersebut atau tidak
banyak matakuliah dalam bidang tersebut akan tetapi memiliki professor handal di departemen
non-religious/Islamic studies. Dan ini terbutki bisa efektif mengatasi kegalauan akademis yang
demikian itu.
Hal lain yang perlu direnungkan adalah bahwa sarana pendukung studi Islam di kedua
universitas tersebut sangat lengkap, terutama menyangkut koleksi perpustakaan. Ini masalah
besar bagi perpustakaan perguruan tinggi Islam di Indonesia, meskipun perlahan persoalan itu
kini mulai terkikis, misalnya dengan tersedianya layanan akses jurnal secara online, penambahan
koleksi perpustakaan dan perbaikan sarana internet di perpustakaan. Salah satu keuntungan studi
Islam di Australia, dan di Barat pada umumnya, adalah akses yang sangat cepat dan luas
referensi baik cetak maupun elektronik. Kemudahan akses juga bisa dilihat dari berbagai layanan
yang tersedia di perpustakaan. Di WSU ada layanan dan akses untuk mempercepat kerja dalam
penulisan paper dan rujukannya. Semua mahasiswa bisa mendapatkan program Endnote X7 yang
sangat mempermudah mengatasi kesulitan dan atau perbedaan sistim penulisan rujukan.
Kemudahan meminjam koleksi referensi yang tidak ada di satu perpustakaan dengan
mengajukan peminjaman ke perpustakaan lain (interlibrary loan) merupakan cara efektif
menanggulangi kekurangan referensi. Layanan-layanan semacam ini tampaknya masih belum
bisa dinikmati di banyak perpustakaan di Indonesia.
Yang belum ada, dan sebuah aksi yang perlu dikembangkan ke depan di
STAIN/IAIN/UIN, khususnya IAIN Mataram jika bersungguh-sungguh secara kaffah
bertransformasi menjadi universtas Islam negeri kelas dunia adalah terkait dengan pendidikan
multikulturalisme. Ada beberapa program studi yang sangat potensial dikembangkan kearah itu,
misalnya sosiologi agama. Meski banyak matakuliah keislaman diajarkan di jurusan ini, sudah
selayaknya jika dimasukan juga matakuliah dan kajian sosiologi dan antropologi agama-agama
lain, semisal Hindu, Kristen, Konghucu, Budha dan lain sebagainya. Belum ada mislanya,
sependek pengetahuan penulis, pusat-pusat studi antar agama atau etnis di lembaga pendidikan
tinggi Islam negeri di Indonesia. Padahal hal-hal semacam inilah yang sudah banyak
dikembangkan di Barat sehingga mereka bisa menarik mahasiswa dari berbagai negara. Ketika
mereka berkumpul dalam satu kelas, maka akan banyak didaptkan sharing of knowledge dan
12

informasi serta pengetahuan lainnya yang sangat bermanfaat. Apalagi pendidikan tinggi Islam
sudah menerapkan sistim BLU. Jika ini direalisaikan di PTKI, maka akan menjadi salah satu
program unggulan. Mahasiswa program studi ini pun juga tidak harus mesti Muslim akan tetapi
terbuka untuk siapa saja karena tujuan utama pembelajaran bukan untuk berdakwah dan
konversi, akan tetapi memahami agama sebagai fenomena alamiah dan ilmiah yang bisa dikaji
oleh siapapun, tanpa melihat latar agama, suku maupun lainnya, sebagaimana halnya yang
dikembangkan di banyak perguruan tinggi di Barat, termasuk di Australia. Inilah yang penulis
kira menjadi penting untuk dipertimbangkan, yang akan mempercepat proses inklusivitas dan
internasionalitas IAIN Mataram. Jika, katakan, lembaga kita ini memiliki pusat studi hubungan
antara agama dan dimenej sedemikian rupa sehingga menjadi pusat studi yang terbuka,
kompetitif, obyektif dan unggul, sebagaimana jargon IAIN Mataram “Cendekia, Terbuka dan
Unggul”, boleh jadi pada tahun-tahun mendatang orang-orang akan pergi berbondong-bondong
untuk belajar di kampus kita dan memperdalam riset mereka dalam bidang tersebut. Inilah salah
satu “oleh-oleh” berupa gagasan (disamping “oleh-oleh” artefak atau benda empiris lainnya yang
selalu ditunggu-tunggu oleh teman sejawat atau keluarga sepulang lawatan kunjungan ke luar
negeri) yang penting dari perjalanan akademis dua minggu di Sydney, Australia. Semoga
bermanfaat. Amin.
Bankstown, NSW, Australia
26 September 2016
M.A.N.

13

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21