Dilematika Pemberlakuan Kembali GBHN Stu

PEMBERLAKUAN KEMBALI GBHN

Oleh:
Patty Regina
Rafli Fadilah Achmad
Valeryan Natasha

Universitas Indonesia
Depok
Juni 2015

1

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Kami yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Patty Regina

Nama : Rafli Fadilah

NPM : 1106056075


NPM : 1206246313

Program Studi : Ilmu Hukum

Program Studi: Ilmu Hukum

Nama :

Valeryan Natasha

NPM :

1206251471

Program Studi: Ilmu Hukum
Menyatakan bahwa artikel imiah yang berjudul :
PEMBERLAKUAN KEMBALI GBHN
Benar-benar merupakan hasil karya pribadi dan seluruh sumber yang dikutip maupun
dirujuk telah kami nyatakan dengan benar. Demikian pernyataan ini kami buat dengan

sebenarnya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Apabila di kemudian hari terbukti
terdapat pelanggaran di dalamnya, kami siap untuk didiskualifikasi dari kompetisi ini sebagai
bentuk tanggung jawab kami.
Depok, 10 Juni 2015

(Patty Regina)

(Rafli Fadilah Achmad)

(Valeryan Natasha)

2

Daftar Isi
Lembar Pernyataan Orisinalitas.................................................................................................2
I. PENDAHULUAN..................................................................................................................4
II. PEMBAHASAN....................................................................................................................5
II.1. Pandangan Pro terhadap Pemberlakuan Kembali GBHN........................... ...................5
II.1.1. GBHN Sebagai Perwujudan Kedaulatan Yang Konkret Ditinjau Dari Proses
Pembentukannya.........................................................................................5


II.1.2 GBHN Sebagai Penguatan Prinsip Checks and Balances........................6
II.1.3.GBHN Terbukti Mampu Mewujudkan Pembangunan Nasional Yang
Lebih Sukses, Konsisten dan Berkesinambungan..................................8
II.2 Pandangan Kontra terhadap Pemberlakuan Kembali GBHN.........................................10
II.2.1 GBHN Bertentangan Dengan Sistem Presidensil Yang Indonesia
Anut....................................................................................................11
II.2.2

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Lebih Baik Daripada
GBHN Ditinjau Dari Segi Mekanisme dan Segi Ke-Otonomi
Daerahan.......................................................................................12

III. PENUTUP........................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................14

I. PENDAHULUAN
3

Negara Indonesia sebagai negara yang masih berkembang memerlukan suatu arah

pembangunan yang jelas dan konkret untuk mewujudkan pembangunan yang berorientasi
pada kesejahteraan rakyat Indonesia serta menjadikan Indonesia sebagai negara yang
adidaya. Perencanaan pembangunan di Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang mutlak
keberadaanya, karena tanpa diawali suatu perencanaan maka tidak akan mungkin dapat
memberikan pembangunan sesuai dengan apa yang telah diharapkan.1 Itu artinya perencanaan
pembangunan adalah ujung tombak manajemen dalam mengelola pembangunan di suatu
negara terkait dalam menentukan tindakan yang akurat dan tepat di masa depan melalui
urutan skala prioritas dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. 2 Selain itu juga,
tanpa adanya pembangunan yang terarah tidak mungkin tujuan negara yang tertuang pada
alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 dapat tercapai.3 Mengingat pentingnya arti
pembangunan maka diperlukan suatu sistem perencanaan pembangunan nasional yang tepat
dan sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia saat ini.
Faktanya instrumen hukum perencanaan pembangunan nasional telah mengalami
berbagai macam dinamika sesuai dengan perkembangan dan perubahan pada zamannya.
Perubahan yang sangat fundamental pernah terjadi pada saat amandemen UUD 1945, dimana
pada saat sebelum reformasi perencanaan pembangunan nasional dilakukan berdasarkan
Garis-Garis Besar Haluan Negara atau yang selanjutnya disebut dengan GBHN.4 Kemudian,
memasuki era reformasi pembangunan nasional kini tidak lagi didasarkan pada GBHN
melainkan melalui Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang diejawantahkan
lebih lanjut menjadi rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), rencana pembangunan

jangka menengah (RPJM) dan rencana pembangun tahunan (RPT).5 Salah satu alasan
perubahan tersebut disebabkan karena adanya harapan untuk menghasilkan rencana
pembangunan melalui hasil proses politik yang lebih sehat (public choice theory of planning)
dan konsekuensi logis dari MPR yang sudah tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara.
Artikel ini pada intinya akan memaparkan mengenai format perencanan pembangunan
mana yang lebih baik jika diterapkan oleh Indonesia saat ini dan nanti, apakah GBHN
ataukah SPPN. Jika jawabannya adalah GBHN yang lebih baik ketimbang SPPN maka secara
otomatis pemberlakuan kembali GBHN merupakan suatu keharusan untuk kebaikan negara
Indonesia kedepannya, akan tetapi jika jawabannya GBHN tidak lebih baik daripada SPPN
yang berlaku saat ini maka mimpi untuk memberlakukan kembali GBHN sejatinya harus
dibuang jauh-jauh karena tidak sesuai dengan konteks relevansi saat ini. Maka dari itu
Penulis mencoba membahasnya secara komprehensif dari sudut pandang ilmiah dari kedua

4

belah sisi. Diharapkan pembahasan dari sudut pro dan kontra merupakan suatu hal yang arif
dan bijak untuk mengetahui secara holistik permasalahan ini.
II. PEMBAHASAN
Terdapat beberapa perbedaan mendasar antara sistem pembangunan GBHN dan
SPPN yang perlu diulas lebih awal sebelum masuk kedalam tataran argumentasi yang lebih

dalam dan kompleks. Pertama dari sisi sejarahnya, GBHN pertama kali diberlakukan melalui
Penetapan Presiden No.1 Tahun 1960 yang melegitimasi konsepsi mengenai Manipol Usdek
sebagai arahan pembangunan nasional Indonesia kedepan.6 Alasan mengapa bentuk pertama
kalinya adalah Penetapan Presiden karena pada saat itu MPR belum terbentuk, sehingga
GBHN yang semula direncanakan dimuat dalam TAP MPR untuk sementara waktu dimuat
dalam Penetapan Presiden. Sedangkan adanya SPPN di Indonesia ditujukan untuk mengganti
keberadaan GBHN sebagai arah perencanaan pembangunan nasional yang sudah tidak dibuat
lagi, hal itu termuat dalam konsiderans butir A Undang-Undang No.17 Tahun 2007 sebagai
amanat dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004.
Kedua dari segi definisi dan konsep, GBHN adalah haluan negara tentang arah dan
tujuan pembangunan nasional yang menjadi pedoman untuk Presiden dalam menjalanan roda
pemerintahan serta berisi tentang pernyataan kehendak rakyat yang ditetapkan oleh MPR
setiap lima tahun sekali dalam rangka mencapai tujuan negara.. 7 Sedangkan SPPN adalah
satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana
ditingkat Pusat dan Daerah yang dituangkan melalui RPJP, RPJM dan RKP.8
Ketiga dari lembaga yang membentuk dan produk pembentukannya, GBHN dibuat
oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan produk pembentukannya melalui TAP
MPR,9 sedangkan SPPN dibuat oleh Presiden selaku kepala pemerintahan dan produk
pembentukannya melalui suatu undang-undang yaitu Undang-Undang No. 25 Tahun 2004
dan Undang-Undang No.17 Tahun 2007.10

II.1. Pandangan Pro terhadap Pemberlakuan Kembali GBHN
II.1.1 GBHN Sebagai Perwujudan Kedaulatan Yang Konkret Ditinjau Dari Proses
Pembentukannya
Menurut Jean Bodin dalam bukunya Six Livres de la Republique pada tahun 1675
bahwa kedaulatan adalah summa in cives ac subditos legibusque soluta potestas atau yang
jika diartikan bermakna sebagai kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara. 11 Berdasarkan
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan
5

rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Menurut Profesor Jimly Pasal
tersebut harus dimaknai bahwa rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi di dalam suatu
negara.12 Maka dari itu salah satu bentuk konsekuensi dari paham kedaulatan rakyat yang
Indonesia anut adalah mengikutsertakan rakyat atau perwakilannya dalam menentukan arah
pembangunan nasional karena pada dasarnya pembangunan itu pada akhirnya ditujukan
kepada rakyat juga,13 sehingga pastilah yang mengetahui kebutuhan dasar faktualnya adalah
rakyat itu sendiri.
Namun sayangnya baik secara konseptual maupun empirik, 250 Juta rakyat Indonesia
tidak akan mungkin bisa semuanya melakukan pembahasan untuk menentukan arah
pembangunan nasional sehingga dibutuhkanlah lembaga yang mewakili aspirasi rakyat itu
sendiri dan perwujudan rakyat yang paling representatif dan institusional sejatinya terletak di

lembaga Majelis Perwakilan Rakyat. Mengapa MPR? karena pada dasarnya MPR terdiri dari
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. 14 Kedua lembaga
tersebut merupakan organ yang merepresentasikan rakyat dari dua perspektif yang berbeda
yakni dari aspirasi politik dan aspirasi daerah sehingga mampu dikatakan sebagai penjelmaan
dari seluruh rakyat Indonesia (Ver-tretungsorgan des willens des Staatsvolkes).15 Terlebih
lagi proses pembentukan RPJP dan turunannya saat ini sama sekali tidak mencerminkan
perwujudan dari prinsip kedaulatan rakyat yang hakiki karena proses penyusunannya yang
hanya dilakukan oleh Presiden dan timnya saja, tanpa adanya keterlibatan dari unsur
masyarakat lainnya, sehingga tidak heran apabila SPPN dan turunannya disebut sebagai
executive perspective saja.16 Presiden juga tidak dapat dikatakan sebagai bukti nyata dari
penjewantahan prinsip kedaulatan rakyat karena Presiden terpilih sejatinya hanyalah Presiden
yang bersuara mayoritas, bukan representasi 100% rakyat Indonesia.
Hal ini tentunya berbeda apabila GBHN kembali diterapkan dan diletakan pada
kewenangan MPR. Dimana kedaulatan rakyat itu dapat lebih tercermin dan terasa dari proses
pembentukan GBHN yang dilakukan oleh MPR selaku lembaga negara yang identik dengan
kedaulatan rakyat karena didalamnya terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang
memiliki nilai representatif tinggi dari sudut politik dan daerah.17 Maka dari itu GBHN patut
untuk diterapkan kembali sebagai penjewantahan prinsip kedaulatan rakyat yang hakiki
dengan melibatkan peran serta masyarakat yang diasosiasikan melalui MPR, bukan dengan
oleh Presiden semata melalui SPPN nya.

II.1.2 GBHN Sebagai Penguatan Prinsip Check and Balances
Sejalan dengan diamandemennya UUD 1945 telah banyak perubahan yang terjadi
dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia. Salah satunya adalah diterapkannya sistem baru
6

yang dinamakan sebagai mekanisme checks and balances.18 Mekanisme ini sejatinya
merupakan salah satu tuntutan reformasi karena pada masa sebelumnya terdapat sejarah
kelam adanya pemusatan kekuasaan pada satu lembaga tertentu saja.19 Tujuan dari adanya
sistem checks and balances adalah untuk mengatur hubungan antara satu lembaga dengan
lembaga negara lainnya agar tercipta suatu kondisi yang saling mengimbangi dan mengawasi
agar mampu menghindari terjadinya pemusatan kekuasaan yang berpotensi menimbulkan
otoriterisme serta penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang.20
Maka dari itu salah satu cara untuk menerapkan dan menejewantahkan mekanisme
checks and balances adalah dengan memberlakukan kembali GBHN sebagai arah
pembangunan nasional Indonesia. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya GBHN akan
membuat MPR dapat melakukan mekanisme checks and balances secara langsung terhadap
program pembangunan yang telah Presiden lakukan. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya
GBHN bukan semata-mata berfungsi sebagai arah pembangunan nasional saja, akan tetapi
didalamnya terkandung juga mekanisme kontrol kepada Presiden agar membangun sesuai
dengan apa yang telah disepakati.21 Dengan adanya mekanisme ini tentunya akan

menstimulus Presiden agar tidak melakukan program pembangunan yang asal-asalan dan
sewenang-wenang dari arah roda pemerintahan yang telah disusun oleh MPR. Lebih lanjut,
dengan situasi Presiden yang terus selalu merasa diawasi untuk mengikuti arah pembangunan
sesuai dengan GBHN tentunya akan memotivasi Presiden untuk melakukan pembangunan
yang semata-mata hanya berorientasi kepada kesejahteraan rakyat karena apabila terbukti
menyeleweng dari GBHN terdapat sanksi yang tegas berupa impeachment kepada Presiden
dengan dalih telah melakukan tindakan yang inkonstitusional. 22 Sejalan dengan hal tersebut
Penulis sekaligus merevisi ketentuan dari GBHN yang semula hanya berisi tentang dasar
pembangunan nasional, agenda jangka panjang, dan pembangunan lima tahun kini
ditambahkan dengan adanya ketentuan sanksi berupa impeachment apabila Presiden terbukti
secara sengaja melanggar GBHN sebagai arah pembangunan yang telah disusun oleh MPR.
Terlebih lagi saat ini prosedur SPPN yang termuat dalam RPJP berdasarkan pasal 7
ayat (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 sama sekali tidak merefleksikan semangat
checks and balances karena mulai dari pembuatan, pelaksanaan, pengendalian dan bahkan
proses evaluasi semuanya dilakukan oleh Presiden seseorang tanpa adanya keterlibatan dari
lembaga lain. Sehingga muncul kembali suatu pertanyaan kritis yang pernah dikemukakan
oleh Montesquie bahwa bagaimana bisa mekanisme saling mengimbangi dan mengawasi
dapat diterapkan apabila dilakukan oleh satu lembaga yang sama? Jawabannya sangatlah
sederhana, dengan hanya satu lembaga yang mengelola suatu sistem logikanya tidak mungkin
7


ada situasi yang saling mengimbangi dan mengawasi karena segala sesuatunya telah dikelola
secara mandiri oleh satu lembaga saja tanpa adanya keterkaitan dengan lembaga negara
lainnya. Kemudian bagaimana mungkin ada kondisi yang saling mengimbangi dan
mengawasi karena pada faktanya lembaga lain tidak memiliki tempat dalam mengurusi
permasalahan ini. Lebih jauh lagi, situasi yang tidak sehat ini akan menimbulkan pemusatan
kekuasaan dalam hal pembangunan yang hanya ada di satu cabang kekuasaan saja yakni
Eksekutif dan dikhawatirkan kegagalam sistem ini akan berdampak kepada pembangunan
yang dilakukan hanya berorientasi kepada kepentingan Eksekutif semata.
II.1.3 GBHN Terbukti Mampu Mewujudkan Pembangunan Nasional Yang Lebih
Sukses, Konsisten dan Berkesinambungan
Ketika GBHN dijadikan sebagai arahan pembangunan nasional pada saat sebelum
reformasi telah banyak bukti yang mengindikasikan bahwa GBHN memiliki kontribusi
penting dalam kesuksesan pembangunan pada saat itu. Tidak heran ketika semasa GBHN
diberlakukan Indonesia kerap diganjar sebagai salah satu “Macan Asia” dan dikategorikan
sebagai Newly Industrializing Economies (Negara Baru Ekonomi Industri) karena memiliki
pembangunan yang progresif sehingga menjadi kekuatan yang diperhitungkan di Asia. 23
Berikut adalah beberapa bukti kesuksesan GBHN yang pernah terjadi :
(1) Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semula tengah minus 2,25% pada tahun 1963,
kemudian sejak diberlakukannya GBHN berhasil meningkat hingga menyentuh angka 12%
pada tahun 1969, atau rata-rata 7,2%

hingga tahun 1997.24 (2) Harapan hidup (Life

Expectancy) yang semula hanya berkisar pada angka 56 tahun, kemudian sejak GBHN
diberlakukan dibuatlah fasilitas-fasilitas kesehatan yang memadai seperti puskesmas di tiap
kecamatan dan peningkatan kualitas rumah sakit yang menyebabkan angka harapan hidup
meningkat menjadi 71 tahun.25 (3) Angka kemiskinan absolut yang semula mencapai angka
60% pada tahun 1966 merosot tajam hingga menjadi 14% pada tahun 1990. 26 (4) GBHN juga
berhasil menyediakan kebutuhan primer masyarakat Indonesia berupa rumah atau papan.
Dimana berkat arahan pembangunan dari GBHN pemerintah Indonesia berhasil membangun
441.923 unit rumah dan dilengkapi dengan kebijakan KPR atau kredit kepemilikan rumah. 27
(5) Sektor pertanian juga menjadi suatu prestasi khusus karena bertumbuh sangat signifikan
dengan salah satunya adalah peningkatan produktivitas padi. Semula Indonesia adalah negara
pengimpor beras terbesar di dunia karena pasokan produksi padi dalam negeri hanya 12 juta
ton saja, akan tetapi sejak adanya GBHN produksi padi di Indonesia meningkat tajam hingga
mencapai 28 juta ton. Itu artinya Indonesia juga sekaligus mencetak sejarah karena bukan lagi
sebagai negara pengimpor beras akan tetapi telah berubah menjadi negara yang melakukan
8

swasembada beras pada tahun 1984, hal ini tentunya menuai banyak decak kagum dari
masyarakat internasional khususnya FAO PBB.28
Bukti-bukti kesuksesan di atas bukanlah tanpa sebab, alasan utamanya adalah konsistensi
dan kesinambungan konsep GBHN yang dinilai lebih mumpuni ketimbang SPPN itu sendiri.
Dalam GBHN orientasi yang dibuat adalah untuk jangka panjang dengan perencanaan yang
matang selama 25 tahun dan dilakukan secara bertahap selama 5 tahun sekali melalui
REPELITA, selain itu GBHN juga tidak mudah diubah-ubah karena dibuat dan disusun oleh
MPR yang secara logika pasti akan lebih stabil dan sulit diubah karena terdiri dari berbagai
macam elemen masyarakat yang terasosiasikan melalui anggota DPR dan anggota DPD,
berbeda halnya dengan SPPN yang hanya dibuat oleh Presiden seorang yang nantinya akan
membuat SPPN itu mudah diubah-ubah sesuai dengan kehendak Presidennya. Hal ini
membuktikan bahwa SPPN dalam implementasinya sangatlah tidak konsisten.
Permasalah lain yang kerap terjadi pada SPPN dan tidak terjadi pada GBHN adalah tidak
adanya jaminan bahwa SPPN maupun RPJPN itu dilaksanakan secara konsisten oleh
pemangku kepentingan terkait karena tidak adanya mekanisme yang jelas untuk untuk
menilai apakah dokumen-dokumen perencanaan tersebut dibuat sebagai tindak lanjut dari
RPJPN seperti di level nasional, RPJMN, Renstra- KL, RKP, RKK dan di level daerah yaitu
RPJMD, Renstra SKPD, RKPD, Renja SKPD memang sudah merujuk kepada RPJP ataukah
tidak.29 Apalagi jika ditambahkan dengan keharusan untuk mengintegrasikan penjabaran visi
dan misi Presiden/ Kepala Daerah terpilih, maka potensi ketidaksinambungan dengan RPJP
tentunya menjadi lebih besar lagi.30 Logika yang relevan untuk dipakai adalah semakin
banyak lapisan yang ada tentunya akan semakin membuka peluang ketidaksinambungan
antara dokumen-dokumen perencanaan tersebut, terlebih lagi dengan tidak adanya
mekanisme penyelarasan antar dokumen tentunya membuat masalah ketidaksinambungan
sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakan. Sehingga dapatlah kita simpulkan bahwa didalam
SPPN terdapat persoalan yang mendasar dan sistematis karena memicu terjadinya
inkonsitensi dan ketidaksinambungan antara berbagai macam dokumen perencanaan lanjutan
sebagai turunan dari RPJP Nasional sebagai induknya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan
proses pembangunan seolah-olah berjalan sendiri-sendiri dan menjadi tidak berpola,
sedangkan kondisi seperti ini hampir tidak pernah terjadi pada era sebelumnya karena pada
saat itu hanya GBHN lah yang merupakan rujukan utama proses perencanaan pembangunan
baik di level nasional maupun di daerah.31
II.2. Pandangan Kontra terhadap Pemberlakuan Kembali GBHN
II.2.1 GBHN Bertentangan Dengan Sistem Presidensil Yang Indonesia Anut
9

Dalam proses amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999 hingga tahun 2002 terdapat
lima komitmen yang disepakati oleh panitia ad-hoc MPR RI 32 Lima komitmen tersebut yakni
tidak mengubah pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan NKRI, penjelasan UUD 1945
ditiadakan, perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara adendum, dan yang terakhir adalah
mempertegas sistem pemerintahan presidensil.33 Kesepakatan dasar untuk mempertegas
sistem pemerintahan presidensil dimaksudkan untuk memperkokoh sistem pemerintahan
yang stabil dan demokratis yang dianut oleh negara Republik Indonsia agar sesuai dengan
apa yang telah dipilih oleh founding fathers pada tahun 1945. Berbicara dalam konteks sistem
pemerintahan maka erat kaitannya dengan bagaimana cara pemerintahan di suatu negara
dijalankan. Dalam sistem pemerintahan presidensil menurut Prof. Jimly, Abdul Ghoffar dan
Duchacck terdapat beberapa karakteristik khusus yang membedakannya dengan sistem
pemerintahan parlementer yakni : (1) Presiden dan kabinetnya tidak bertanggungjawab
kepada legislatif, akan tetapi langsung kepada rakyat.34 (2) Presiden memiliki hak prerogratif
untuk menentuhkan arah pembangunan nasional selaku kepala pemerintahan sekaligus kepala
negara.35
Indonesia sebagai negara yang dengan tegas menganut sistem pemerintahan presidensil
dalam pelaksanaanya kerap menuai banyak halangan dan permasalahan, salah satunya adalah
ketika GBHN itu diberlakukan. Dimana dengan adanya GBHN membuat semangat sistem
pemerintah presidensil yang Indonesia anut menjadi tercederai. Hal itu dikarenakan dengan
diterapkannya

GBHN

akan

membuat

Presiden

harus

mempertanggungjawabkan

pembangunan yang telah dilakukannya kepada MPR selaku lembaga yang membuat GBHN
itu sendiri. Jika dikorelasikan dengan karakteristik sistem pemerintahan presidensil butir-A
dari sini saja penerapan GBHN sudah tidak valid dengan sistem pemerintahan presidensil
karena menyebabkan Presiden harus bertanggungjawab kepada MPR bukan kepada rakyat
secara langsung.
Lebih lanjut lagi dengan adanya GBHN akan membuat Presiden menjadi tersandera
karena Presiden hanya berwenang untuk melaksanakan isi dari GBHN saja, bukan sebagai
Presiden yang seutuhnya dengan melaksanakan program-program pembangunan yang
sejatinya ia yakini. Itu artinya dengan adanya GBHN akan membuat tekanan politik yang
tidak sehat kepada Presiden karena Presiden tidak mampu untuk kreatif dan mandiri dalam
merencanakan dan menjalankan pembangunan. Kesalahan sistem GBHN ini tentunya akan
berdampak dengan tidak sesuainya program pembangunan yang ingin direalisasikan oleh
MPR dengan apa yang sejatinya diinginkan oleh Presiden. Jika dilihat dari perspektif
10

ketatanegaraan pun, sekarang ini Presiden bukan lagi sebagai mandataris dari MPR akan
tetapi sebaga mandataris langsung dari rakyat sehingga itu artinya tidak ada lagi hubungan
kausalitas antara Presiden dan MPR selain daripada masalah sumpah jabatan dan pelantikan.
II.2.2 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Lebih Baik Daripada GBHN
Ditinjau Dari Segi Mekanisme dan Segi Ke-Otonomi Daerahan
Terdapat dua kelebihan dari SPPN yang tidak dimiliki oleh GBHN. Pertama SPPN itu
lebih terarah karena mulai dari perencanan, pelaksanaan hingga pengawasan ada dibawah
satu garis komando yaitu oleh eksekutif atau Presiden. Hal ini tentunya membuat SPPN
menjadi lebih terarah dan mudah dilaksanakan karena hanya dipegang oleh satu lembaga
saja, lebih lanjut hal ini akan memudahkan koordinasi karena mulai dari perencanaan hingga
pada tataran pelaksanaan semuanya dipegang oleh Presiden selaku cabang kekuasaan yang
memiliki wewenang penuh dalam melakukan pembangunan. Sedangkan GBHN justru
memicu ketidaksinambungan antara program yang diharapkan dan program yang
direalisasikan, karena proses perencanaanya ada di MPR sedangkan pelaksanaannya ada di
Presiden, hal ini tentunya akan membuat Presiden merasa tidak nyaman karena program yang
nantinya akan dilaksanakan tidak sesuai dengan apa yang diyakinkan.
Kedua, dalam SPPN terdapat mekanisme bernama Musrenbang atau Musyawarah
Perencanaan Pembangunan yang terdiri dari unsur-unsur penyelenggara negara, akademisi
dan unsur masyarakat.36 Itu artinya SPPN dibuat berdasarkan kajian praktik dan akademik
yang mumpuni karena melibatkan banyak pihak dalam perencanaanya, meskipun pada
akhirnya perencanaan final ada di tangan Presiden. Sedangkan GBHN penyusunannya hanya
dilakukan oleh MPR secara sendiri, tanpa adanya peran serta dari unsur-unsur lain yang
memiliki pertimbangan pula. Hal ini tentunya mengakibatkan proses perencanaan GBHN
hanya bermuatan unsur politik semata, berbeda dengan SPPN yang kaya akan muatan
kebutuhan praktik dan akademik.
Ketiga, SPPN sejatinya membawa semangat otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban yang dimiliki oleh daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat di wiliyahnya berdasarkan prinsip
yang seluas-luasnya.37 Dengan format SPPN yang terdiri dari RPJMD membuat pemerintah
daerah dapat leluasa melakukan perencanaan pembangunan sesuai dengan kebutuhan empirik
yang ada di wilayahnya. Karena pada dasarnya tidak ada yang lebih tahu kebutuhan
pembangunan di suatu wilayah kalau bukan masyarakat daerah itu sendiri dan pemerintah
11

daerahnya. Sedangkan dalam GBHN yang hanya terdiri dari satu dokumen perencanaan
justru membuat daerah terpaksa tunduk atas perencanaan pembangunan yang dimiliki oleh
Pemerintah Pusat. Hal itu disebabkan karena penyusunan GBHN bersifat sentralistik dan
Top-Down,38 tentunya hal ini meningkatkan potensi tidak terakomodirnya kebutuhan khusus
yang berbeda-beda di berbagai wilayah karena segala perencanaan pembangunan diseluruh
wilayah Indonesia disamaratakan oleh Pemerintah Pusat melalui GBHN. Kemudian
berdasarkan data aktual dari laporan Bapenas terkait evaluasi RPJMN pada tahun 2010-2014,
dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan SPPN sudah efektif dan terlaksana dengan baik, hal ini
mengindikasikan bahwa SPPN telah layak dan mampu menggantikan peran GBHN sebagai
sistem perencanaan pembangunan nasional. Berikut adalah beberapa contoh kesuksesan
SPPN yang tertuang dalam RPJP yakni : (1) Program penghapusan buta aksara yang
ditargetkan 4,18 , dengan SPPN hasilnya 4,40%. (2) Pertumbuhan Ekonomi yang ditargetkan
7%, dengan SPPN hasilnya sudah 6.5%. (3) Pengurangan Kemiskinan yang ditargetkan 10%,
dengan SPPN hasilnya

11,66%. (4) Pengentasan Pengangguran yang ditargetkan 6 %,

dengan SPPN hasilnya 6.32%.39
III. PENUTUP

Permasalahan mengenai stagnansi pembangunan yang kerap dirasakan akhir-akhir ini
membuat romantisme kepada GBHN kembali disemarakan. Pasalnya perencanaan
pembangunan memegang peranan penting dalam melaksanakan pembangunan itu sendiri
karena dengan perencanaan yang baik niscaya hasil pembangunan yang terwujud akan baik
pula. Permasalahannya saat ini terdapat dua opsi format mengenai arah perencanaan
pembangunan nasional yang memiliki kebaikan dan keburukan masing-masing yakni GarisGaris Besar Haluan Negara dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Pandangan yang pro terhadap pemberlakuan kembali GBHN mendasari alasannya
bahwa GBHN merupaka perwujudan kedaulatan yang konkret ditinjau dari proses
pembentukannya. Selain itu, GBHN juga dinilai sebagai manifestasi konkret dari penguatan
sistem checks and balances yang ingin dikedepankan di Indonesia. Kemudian disempurnakan
dengan bukti-bukti aktual bahwa GBHN lebih sukses ketimbang SPPN itu sendiri.
Sedangkan pandangan yang kontra melihat bahwa dengan diberlakukannya GBHN
justru akan menodai sistem presidensil yang Indonesia ingin perkuat saat ini. Tidak hanya itu,
GBHn yang dibuat secara top down tidak lagi sesuai dengan konteks relevansi saat ini yang
menjunjung tinggi semangat otonomi daerah.

12

1

Muhammad Hasbi Arbi, “UUD-1945 dan GBHN Sebagai Kendali Yuridis Dalam Pembangunan Nasional”
Variasi : Vol. 4 No.12, Juni-Juli 2013, h.3.
2
Indonesia, Undang-Undang Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 25 Tahun 2004,
LN No.104 Tahun 2004, TLN No.4421, Pasal 1.
3
Patrialis
Akbar,
Arah
Pembangunan
Nasional
Menurut
Undang-Undang
Dasar,
http://www.fhumj.org/berita_info/berita_detail/17, diakses pada 10 Juni 2015.
4
M. Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Jakarta : Mandar Maju, 2000, h.50.
5
Minto Rahayu, Pendidikan Kewarganegaraan : Perjuangan Menghidupi Jati Diri Bangsa, Jakarta : Grasindo,
2007, h.102.
6
Alex Dinuth, Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis, Jakarta : Intermasa, 1997, h.137.
7
Hasbi Arbi, op.cit., h.1.
8
Alfitra Salamm, Prospek dan Tantangan Implementasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional,
2005-2025, Jakarta : Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI, 2007, h.35.
9
Aim Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan : Membangun Warga Negara yang Demokratis, Jakarta :
Grafindo,2007, h.46.
10
Mintro Rahayu, op.cit., h. 103.
11
James Brown Scott, Law, The State, and The International Community, New Jersey : Union, 2002, h.332.
12
Jimly Asshidiqie, Makalah Berjudul Gagasan Kedaulatan Lingkungan Demokrasi Versus Ekorasi,
http://www.jimly.com/makalah/namafile/128/Demokrasi_dan_Ekokrasi.doc, h.6.
13
Luhut M. Pangaribuan dan Benny K.Harman, Hak Rakyat Atas Pembangunan : 40 Tahun Deklarasi Umum
Hak Asasi Manusia Jakarta : YLBHI dan FNS, 1989, h. 104.
14
Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Jakarta : Liberty, 1999, h.12.
15
Dimyati Hartono, Problematik dan Solusi Amandemen UUD 1945, Jakarta : Gramedia, 2009, h.121.
16
Mardety Mardiansyah Tenaga Ahli Anggota DPR RI, “Kembali Ke Sistem GBHN?”
http://www.kompasiana.com/mardety/kembali-ke-sistem-gbhn_552fe8e56ea8349d628b4603, diakses pada 10 Juni
2015.
17
A.M Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta : Kompas, 2009, h.307.
18
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 : Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung : Mizan, 2007, h.47.
19
M. Nasruddin Anshorly, Dekonstruksi Kekuasaan : Konsolidasi Semangat Kebangsaan, Yogyakarta : LKIS,
2008, h.56.
20
Yudi Latief, Gerak Politik Yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-Prinsip Lembaga Kepresidenan,
Jakarta : CPPS, 2004, h.60.
21
Gurisiani, Perlindungan Hukum Terhadap Kesejahteraan Sosial, Bandar Lampung : Gunung Pesagi, 1996,
h.66.
22
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Reposisi Lembaga Tinggi Negara :
Sebuah Upaya Menuju Indonesia Baru, Jakarta : Kerjasama Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI dengan
Hans Seidel Foundatin, 2001, h.81.
23
Denny J.A dan Frans Surdiasis, Memperkuat Pilar Kelima : Pemilu 2004 dalam Temuan Survei LSI, LKIS :
Yogyakarta, 2006, h.15.
24
Yanuar Nugroho, “Sekilas Profil Ekonomi Indonesia Setelah 28 Tahun Pembangunan”
http://www.elsppat.or.id/download/file/w3_a1.pdf, diakses pada 10 juni 2015.
25
Badan Pusat Statistik, Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka, Jakarta : Badan Pusat Statistik, 2005, h.17.
26
Hisanori Kanto, Agama dan Peradaban : Islam dan Terciptanya Masyarakat Demokratis Yang Beradab di
Indonesia, Jakarta : Dian Rakyat, 2002, h.4.
27
Susiyanti, Evaluasi Kelayakan Metodologi, Tesis Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010.
28
Sofyan Saleh dan Nurdjaman Arsjad, Perekonomian Indonesia Dalam Perspektif Waktu, Jakarta : Pamator,
2000, h.57.
29
Mudiyati Rahmatunnisa, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Garis-Garis Besar aluan Negara
dan Peran MPR, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Ketatanegaraan Indonesia : Reformulasi Model GBHN:
Tinjauan Terhadap Peran dan Fungsi MPR RI dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Kerjasama MPR
dengan Universitas Padjadjaran, Hotel Aston Tropicana Cihampelas, Kamis 25 April 2013
30
Alfitra Salamm, op.cit., h.5.
31
Mudiyati Rahmatuniss, op.cit., h.3.
32
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Civic Education : Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010, h.148.
33
Ni’Matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta : UII Press, 2007, h. 53.
34
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonsia Pasca Reformasi, Jakarta : Bhuana Ilmu
Populer, 200, h.316 dan Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945
Dengan Delapan Negara Maju, Jakarta : Kencana, 2009, h. 49.
35
Duchack dalam Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah (Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara), Cet.1, Jakarta : UI- Press, 1996, h.82.

36

Hanif Nurcholis dan Djony Herfan, Perencanaan Partisipatif Pemerintah Daerah, Jakarta : Grasindo, 2009,

h.97.
37

Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun
2014, TLN No. 5587, Pasal 1 Angka 6.
38
Emil Salim, Revolusi Berhenti Hari Minggu : 70 Tahun Emil Salim, Jakarta : Kompas, 2000, h.297
39
BAPENAS, Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014, Jakarta : Kementrian Perencanan Pembangunan
Nasional, 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkarim, Aim. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan : Membangun Warga Negara yang
Demokratis, Jakarta : Grafindo.
Akbar,

Patrialis.

“Arah

Pembangunan

Nasional

Menurut

Undang-Undang

Dasar”,

http://www.fhumj.org/berita_info/berita_detail/17. Diakses pada 10 Juni 2015.
Anshorly, M. Nasruddin. 2008. Dekonstruksi Kekuasaan : Konsolidasi Semangat Kebangsaan.
Yogyakarta : LKIS.

Asshiddiqie, Jimly. 1996. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah (Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara), Ct.1. Jakarta : UI- Press.
Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta : Badan Pusat Statistik.
_____________. Makalah Berjudul Gagasan Kedaulatan Lingkungan Demokrasi Versus
Ekorasi.http://www.jimly.com/makalah/namafile/128/Demokrasi_dan_Ekokrasi.doc
____________. 1995. Islam dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta : Gema Insani Pers.
____________. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonsia Pasca Reformasi. Jakarta :
Bhuana Ilmu Populer.
Dinuth, Alex. 1997. Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis. Jakarta : Intermasa.
Fatwa, A.M. 2009. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta : Kompas.
Ghoffar, Abdul. 2009. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 Dengan Delapan Negara Maju.Jakarta : Kencana.
Gurisiani. 1996. Perlindungan Hukum Terhadap Kesejahteraan Sosial. Bandar Lampung : Gunung
Pesagi.
Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfi. 2010. Civic Education : Antara Realitas Politik dan
Implementasi Hukumnya. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Hartono, Dimyati. 2009. Problematik dan Solusi Amandemen UUD 1945. Jakarta : Gramedia.
Hasbi Arbi, Muhammad. “UUD-1945 dan GBHN Sebagai Kendali Yuridis Dalam Pembangunan
Nasional” Variasi : Vol. 4 No.12, Juni-Juli 2013.
Huda, Ni’Matul. 2007. Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta : UII Press
Indrayana, Denny. 2004. Amandemen UUD 1945 : Antara Mitos dan Pembongkaran. Bandung :
Mizan, 2007Lubis, Latief, Yudi. Gerak Politik Yang Tertawan: Menggagas Ulang
Prinsip-Prinsip Lembaga Kepresidenan. Jakarta : CPPS.
J.A, Denny dan Frans Surdiasis. 2006 Memperkuat Pilar Kelima : Pemilu 2004 dalam Temuan
Survei LSI. LKIS : Yogyakarta.
Kanto, Hisanori. 2002.Agama dan Peradaban : Islam dan Terciptanya Masyarakat Demokratis
Yang Beradab di Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat..
Mardety Mardiansyah Tenaga Ahli Anggota DPR RI. “Kembali Ke Sistem GBHN?”
http://www.kompasiana.com/mardety/kembali-ke-sistemgbhn_552fe8e56ea8349d628b4603. Diakses pada 10 Juni 2015.
M. Pangaribuan, Luhut dan Benny K.Harman. 1989. Hak Rakyat Atas Pembangunan : 40 Tahun
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia.Jakarta : YLBHI dan FNS.
M. Solly. 2000. Politik dan Hukum di Era Reformasi. Jakarta : Mandar Maju.
Nugroho, Yanuar. “Sekilas Profil Ekonomi Indonesia Setelah 28 Tahun Pembangunan”
http://www.elsppat.or.id/download/file/w3_a1.pdf. Diakses pada 10 Juni 2015.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan. Reposisi Lembaga Tinggi
Negara : Sebuah Upaya Menuju Indonesia Baru. Jakarta : Kerjasama Puslitbang
Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI dengan Hans Seidel Foundatin, 2001.
Rahayu, Minto. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan : Perjuangan Menghidupi Jati Diri Bangsa.
Jakarta : Grasindo.
Rahmatunnisa, Mudiyati. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Garis-Garis Besar aluan
Negara dan Peran MPR, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Ketatanegaraan
Indonesia : Reformulasi Model GBHN: Tinjauan Terhadap Peran dan Fungsi MPR RI
dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Kerjasama MPR dengan Universitas
Padjadjaran, Hotel Aston Tropicana Cihampelas, Kamis 25 April 2013
Salamm, Alfitra. 2007. Prospek dan Tantangan Implementasi Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional, 2005-2025. Jakarta : Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi
Sekretariat Jendral DPR RI.
Saleh, Sofyan dan Nurdjaman Arsjad. 2000. Perekonomian Indonesia Dalam Perspektif Waktu.
Jakarta : Pamator.
Scott, James Brown. 2002. Law, The State, and The International Community. New Jersey : Union.
Susiyanti. 2010. Evaluasi Kelayakan Metodologi. Tesis Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Thaib, Dahlan.1999 Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi. Jakarta : Liberty.
Undang-Undang Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. UU No. 25 Tahun 2004. LN
No.104 Tahun 2004, TLN No.4421.