Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana Islam Dalam Kompetensi Absolut Peradilan Agama (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/Puu-Vi/2008)

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Siska Novrianti NIM.1110045100002

KONSENTRASI PIDANA ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAII AGAMA

(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VV2008)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)

Oleh:

Siska Novrianti

NrM. 1110045100002

Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing

Drs. M. Arskal Salim GP. MA. Ph.D

NIP. 19700901 199603 1003

KONSENTRASI PIDANA ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VV2008)" telah diujikan dalry.sldanq

Munaqasyah pakuttas syari'ah dan Hukum universitas Islam Negeri (UIN).Syarif

Hidayatullah Jakarla p,idu

zz

Juni 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah

satu syarat m"mperoleh gelar Sarjana SyariahlS.Sy) pada Program Studi Jinayah

Siyasah, Konsentrasi Pidana Islam'

hkarta,28 Jwi20t4 Mengesahkan, o.f.aq

fEku,lt|#iaf

'ah dan Hukum

1. Ketua

2. Sekretaris

3. Pernbimbing :

4. Penguji I

PANITIA UJIAN

: Dr. Asmalvi. M.As

NIP. 1972 10101997031008

: Afwan Faizin. M.A

NIP. 197210262003121001

: Dr. Rumadi. M.Ae NIP. 196903041997031012

: Afwan Faizin. M.A

NIP. 1972 10262003121001

")l l\'l lvlllsllllllll. lYl,{

q680812 199903 l0 l4

Drs. M. Arskal Salim GP.l

NrP. 19700901 r99603 1003


(4)

Siska Novrianti, NIM 1110045100002, “WACANA PEMBERLAKUAN

HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT

PERADILAN AGAMA (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008) ”, Konsentrasi Pidana Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M, x halaman + 78 halaman+ halaman lampiran. Pemberlakuan hukum pidana Islam masih terus diwacanakan di tengah-tengah masyarakat Plural Indonesia. Salah satunya adalah permohonan judicial review UU Peradilan agama kepada Mahkamah Konstitusi terkait kompetensi absolut Peradilan Agama. Skripsi ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana putusan MK tersebut dan untuk mengetahui pemberlakuan sejumlah aspek hukum pidana Islam yang ada di Indonesia serta bagaimana peluang pemberlakuan hukum pidana Islam di Indonesia melalui analisis putusan MK No. 19/PUU-VI/2008. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis dengan teknik pengumpulan data library research yang mengkaji berbagai dokumen terkait dengan topik penelitian. Serta menggunakan kerangka teori analisis Din Syamsuddin terkait relasi agama-negara di Indonesia dan juga menggunakan pendekatan-pendekatan politik hukum. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sejumlah aspek pemberlakuan hukum pidana Islam pernah diberlakukan dalam sejarah bangsa Indonesia dari masa kerajaan hingga pasca kemerdekaan. Dan bahwa Indonesia sebagai negara dengan paradigma relasi agama-negara Simbiotiknya membuka peluang pemberlakuan hukum pidana Islam untuk masuk ke dalam sistem hukum nasional dalam hal ini lembaga Peradilan Agama sebagai Institusi penegak hukumnya. Yang mana hal ini tentu sangat bergantung kepada proses-proses politik di Indonesia.

Kata Kunci : Hukum Pidana Islam, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-VI/2008, Undang-undang

Pembimbing : Drs. M. Arskal Salim GP, MA. Ph.D Daftar Pustaka : Tahun 1987 s.d Tahun 2013


(5)

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam

Negeri (LIIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan

ini

telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (LIIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (LIIN) Syarif

Hidayafullah Jakarta.

Siska Novrianti 1.

2.

a 't


(6)

-vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Dialah sumber dari segala kekuatan yang memampukan penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008)”. Shalawat serta salam juga penulis curahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan pengikutnya yang telah membawa umat manusia menuju zaman yang terang benderang.

Selama proses penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA.

2. Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. JM Muslimin, MA.

3. Ketua Program Studi Jinayah Siyasah, Bapak Dr. Asmawi, M.Ag. Serta Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah, Bapak Afwan Faizin, M.A. 4. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak Drs. M. Arskal Salim GP, MA, Ph.D,


(7)

vii

5. Pimpinan Perpustakaan yang telah memberikan kontribusi langsung kepada penulis dalam penyelesaian karya tulis.

6. Kepada Dosen Penasehat Akademik, Bapak Dr. Rumadi yang telah memberi masukan judul skripsi dan kepada Bapak Dr. Khamami Zada yang juga telah membantu memberikan referensi skripsi penulis, serta para dosen

Fakultas Syari‟ah dan Hukum yang telah memberikan ilmunya kepada

penulis.

7. Tidak lupa penulis ucapkan rasa terimakasih yang begitu teristimewa kepada ayahanda Ramadhan Tanjung dan ibunda Rosnani yang telah mencurahkan hampir seluruh hidup mereka dalam mendidik penulis menjadi manusia yang InsyaAllah akan dapat menjadi aset kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat kelak. Serta kedua kakak penulis, Arni Rosmadhani dan Putri Nandasari yang juga telah memberikan dukungan moril dan materil dalam menyelesaikan skripsi ini. Juga tentu tidak lupa kepada seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan doa dan dukungannya.

8. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada seluruh teman-teman, sahabat-sahabat terbaik yang berada dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Foreign Language Association (FLAT), KKN DEFOS 2013, tidak lupa kepada Moot Court Community (MCC) Fakultas Syariah dan Hukum, serta


(8)

viii

memotivasi penulis menjadi salah satu mahasiswi “terbanyak nanya” pada

saat mata kuliah berlangsung. Terlebih kepada para sahabat-sahabat yang tidak bisa diucapkan satu persatu yang selalu membantu penulis dalam menuntut ilmu di kampus ini. Semoga kita semua dapat meraih masa depan yang gemilang kelak. Juga penulis ucapkan terimakasih atas doa dan dukungannya dari adik-adik kelas di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang mengenal penulis.

9. Ucapan terimakasih penulis yang terakhir, tentunya kepada pihak-pihak yang mengenal penulis dan tidak bisa penulis uraikan satu persatu.

Wassalamu’alaikum Wr, Wb

Jakarta, 15 Mei 2014


(9)

ix

DAFTAR ISI ix

BAB I PENDAHULUAN 1

A.Latar Belakang Masalah 1

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah 4

C.Tujuan dan Manfaat penelitian 6

D.Tinjauan Pustaka 8

E. Metode Penelitian 12

F. Sistematika Pembahasan 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA 16

A.Istilah Hukum Pidana di Indonesia 16

B.Istilah Hukum Pidana Islam 21

BAB III ASPEK-ASPEK PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA 28

A.Pada Masa Kerajaan Aceh 28

B.Pada Masa Kolonial Belanda 35


(10)

x

19/PUU-VI/2008 TERKAIT WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT

PERADILAN AGAMA 45

A.Profil Singkat Mahkamah Konstitusi 45

B. Duduk Perkara 48

C.Amar Putusan Mahkamah Konstitusi 51

D.Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi 53

E. Prospek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia 61

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan 69

B. Rekomendasi 70

DAFTAR PUSTAKA SALINAN PUTUSAN LAMPIRAN


(11)

1 A.Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).1 Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila. Salah satu pokok dalam Negara Hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap Freedom of Religion atau kebebasaan beragama.2 Ini sejalan dengan apa yang telah diamanatkan oleh UUD NRI 1945 bahwa negara telah menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk dan menjalankan ibadah agamanya masing-masing.3

Lebih dari itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Namun uniknya Indonesia bukanlah sebuah negara Islam4. Meskipun demikian, masyarakat Muslim Indonesia sudah memiliki dasar yang kuat untuk memberlakukan ketentuan hukum perdata Islam di tengah masyarakatnya. Kedudukan hukum Islam dalam bidang keperdataan telah terjalin secara luas dalam hukum positif. Baik hal itu sebagai unsur yang mempengaruhi atau sebagai modifikasi norma agama yang dirumuskan dalam peraturan

1

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta:Prenada Media, 2003), h. 91.

2

Ibid, h. 93.

3

Lihat Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

4

A. Ubaedillah, Dkk, Pendidikan Kewargaaan (Civic Education), edisi ke-III, (Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 97.


(12)

undangan ataupun yang tercakup dalam lingkup substansial dari Undang-undang Peradilan Agama.5

Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan yang berwenang menegakkan hukum dan keadilan yang ruang lingkup dan batas kompetensinya telah ditentukan oleh Undang-Undang.6 Maka dari itu Peradilan Agama sering dikenal sebagai lembaga pencari keadilan bagi yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.7

Dari catatan sejarah yang terpencar-pencar, dapat disimpulkan bahwa keberadaan Peradilan Agama di Indonesia telah dimulai sejak berdirinya berbagai kerajaan Islam.8 Awal eksistensi Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia mulai terlihat setelah disahkan dan diundangkannya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kemudian menyusul UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.9

5 A.Malik Fajar,”Potret Hukum Pidana Islam; Deskripsi, Analisis Perbandingan dan

Kritik Konstruktif”, dalam M. Arskal Salim GP dan Jaenal Aripin, ed., Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2001), h. 15.

6

Lihat Pasal 25 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

7

Lihat Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo.UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama

8

Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan prospeknya, (Jakarta:Gema Insani Press, 1996), h. 133.

9

Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cet.I, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya Bandung, 1997), h. 43.


(13)

Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama itu merupakan peristiwa penting bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum nasional, melainkan juga bagi umat Islam di Indonesia. Sebabnya adalah, dengan mengesahkan undang-undang itu, semakin mantaplah kedudukan peradilan agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air kita.10 Hal ini juga merupakan langkah awal pemberlakuan hukum Islam di Indonesia melalui hukum positif.

Namun sampai pada masa Orde Baru, kewenangan yang dimiliki Peradilan Agama baru menyangkut sebagian kecil dari persoalan kehidupan umat Islam, yakni dalam bidang hukum keluarga; nikah, cerai/talak, waris, wasiat dan wakaf. Hingga memasuki Era Reformasi, Peradilan Agama mendapat kewenangan baru yakni mengadili sengketa yang terkait dengan bidang; zakat, infaq, sedekah serta Ekonomi Syariah.11 Namun tidak menyangkut bidang hukum pidana Islam (Jinayah).

Mengingat keterbatasan wewenang tersebut, rupanya ada pemikiran dan inisiatif dari warga negara Indonesia yang mencoba melakukan perluasan wewenang Peradilan Agama dalam bidang hukum pidana Islam (Jinayah). Meskipun hukum pidana Islam masih dapat diakui secara konstitusional sebagai hukum, namun hukum pidana yang berlaku di Indonesia sampai saat ini adalah yang terkandung dalam KUHP. Sebagai contoh, dalam hukum pidana Islam ada ketentuan hukuman rajam bagi pelaku zina yang sudah

10

K.H Abdurrahman Wahid, dkk, Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran dan Praktek, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1991), h. 77.

11

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2008) h. 13.


(14)

menikah. Apabila hukuman rajam itu dilakukan tanpa adanya payung hukum berupa perundang-undangan yang mengaturnya dan tanpa institusi penegak hukum yang sah, maka jika dilihat dari dari tinjauan politik hukum, eksekusi rajam tersebut dapat dianggap melanggar hukum positif. Oleh karna itu berbagai macam cara dilakukan oleh sebagian masyarakat untuk mewujudkan hukum pidana Islam di Indonesia. Salah satu inisiatif untuk menjadikan hukum pidana Islam ke dalam hukum positif adalah dengan mengajukan permohonan

Judicial Review terhadap pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama kepada Mahkamah Konstitusi.

Untuk itu, dengan latar belakang di atas penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang terkait bagaimana wacana pemberlakuan hukum pidana Islam yang berkembang di Indonesia melalui analisis putusan Mahkamah Konstitusi secara mendalam terkait undang-undang Peradilan Agama. Hal ini akan penulis ungkap ke dalam sebuah penelitian skripsi yang

berjudul “Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana Islam dalam Kompetensi Absolut Peradilan Agama (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008)”

B.Batasan dan Perumusan Masalah

Agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis perjelas tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan pembatasan dan perumusan masalah.


(15)

Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam penelitian ini penulis melakukan pembatasan yang meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Hukum Pidana Islam yang penulis maksud ialah hukum pidana Islam yang

juga merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah yang berarti segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur‟an dan Hadits.12 Tindakan kriminal yang dimaksud adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits.13 Hukum pidana Islam mengenal ada tiga macam ketentuan pidana atau jarimah, istilah yang sekaligus juga menyebut nama hukumannya yaitu hudud, qishahsh diyat dan ta’zir.14

2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang penulis maksud ialah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008 terkait permohonan Judicial Review pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

12Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta:Lembaga Studi Islam dan

Kemasyarakatan, 1992), h. 86.

13

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), h. 1.

14

Jarimah Hudud ialah jarimah yang diancamkan hukuman had, yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah. Jarimah hudud ada tujuh yaitu: zina, qadzaf,minum khamr, mencuri, perampokan, murtad dan pemberontakan. Jarimah Qishas Diyat adalah jarimah yang diancamkan hukuman qishas atau hukuman diyat, yaitu hukuman yang telah ditentukan batasnya. Jarimah qishas diyat ada lima yaitu: pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena alpa, penganiayaan sengaja dan penganiayaan tidak sengaja.

Sedangkan jarimah ta‟zir ialah jarimah yang diancamkan hukuman ta‟zir, yaitu hukuman yang diserahkan kepada penguasa. Kategori jarimah ta‟zir adalah jarimah selain jarimah hudud dan

qishas diyat. Lihat A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 7.


(16)

3. Institusi Penegak Hukum yang penulis maksud ialah Lembaga Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Peradilan Agama.15 Dalam hal ini tidak

termasuk Mahkamah Syari‟ah yang merupakan peradilan khusus dalam

Undang-undang peradilan agama.

Dari pembatasan masalah di atas, rumusan masalah yang dapat diuraikan dalam skripsi ini menjadi 3 (tiga) sub masalah yaitu :

1. Apa saja aspek-aspek hukum pidana Islam yang sudah pernah diberlakukan di Indonesia pada masa Kerajaan Aceh, masa Kolonial Belanda dan masa pasca Kemerdekaan ?

2. Bagaimana isi putusan MK No. 19/PUU-VI/2008 dan mengapa putusan tersebut tidak dapat memperluas kompetensi Absolut Peradilan Agama sebagaimana diharapkan pemohon judicial review ?

3. Mungkinkah suatu waktu nanti hukum pidana Islam dilaksanakan oleh Peradilan Agama di masa depan?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan merumuskan dan menjelaskan bagaimana wacana pemberlakuan hukum pidana Islam dalam kompetensi absolut Peradilan Agama. Secara spesifik penelitian ini bertujuan :

15

Lihat pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama


(17)

a. Menjelaskan apa saja aspek-aspek hukum Pidana Islam di Indonesia yang pernah diberlakukan pada masa kerajaan Aceh, masa kolonial Belanda hingga masa pasca kemerdekaan;

b. Memberi gambaran isi dan menjelaskan mengapa putusan MK No. 19/PUU-VI/2008 menolak wacana pemberlakuan hukum pidana Islam dalam komptensi absolut Peradilan Agama;

c. Menjelaskan prospek pemberlakuan aspek-aspek hukum pidana Islam di Indonesia dari segi konstitusi khususnya pasca putusan judicial review yang sudah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut :

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada civitas akademik terkait wacana pemberlakuan hukum pidana Islam dalam kompetensi Absolut Peradilan Agama di indonesia.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para pembaca bahwasanya sejumlah aspek hukum pidana Islam suatu waktu di masa lalu pernah berlaku dan diterapkan dalam sejarah bangsa Indonesia. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait prospek

pemberlakuan aspek-aspek hukum pidana Islam dalam kompetensi absolut Peradilan Agama di Indonesia.


(18)

D.Tinjauan Pustaka

Sejumlah penelitian terkait wacana pemberlakuan hukum pidana Islam dalam kompetensi absolut Peradilan Agama telah dilakukan, baik yang secara spesifik mengkaji isu tersebut maupun yang menyinggungnya secara umum. Berikut ini paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian yang berkaitan dengan judul ini.

1. Karya Simon Butt, yang mengusung judul Islam, the State and the Constitutional Court In Indonesia. Karya ini dimuat dalam Pacific Rim Law and Policy Journal Association, Volume 19 No. 2 Tahun 2010. Hal yang menarik dalam artikel ini yaitu Simon Butt juga membahas terkait kasus Judicial Review Undang-undang Peradilan Agama pada tahun 2008. Dalam kajiannya, Simon mengemukakan bahwa sedikitnya dukungan akan partai-partai Islam di Indonesia menandakan bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia belum mengingkan pemberlakuan hukum Islam secara utuh oleh negara. Meskipun ada sebagian masyarakat Indonesia yang mengharapkan hukum Islam untuk sepenuhnya dapat diakomodir ke dalam kompetensi absolut Peradilan Agama termasuk di dalamnya hukum pidana Islam. Melihat realitas seperti itu, Simon berpendapat bahwasanya sebagian masyarakat Islam yang mengharapkan pemberlakuan hukum Islam secara utuh oleh negara harus tekendala dengan kurangnya dukungan akan partai-parta Islam dalam pemilihan umum. Yang mana partai-partai-partai-partai Islam tidak akan mampu mereresentasikan apa yang menjadi aspirasi umat Islam tersebut.


(19)

2. Karya M. Arskal Salim, GP, Ph.D, yang mengusung judul Politik Hukum Pidana Islam di Indonesia: Eksistensi Historis, Kontribusi Fungsional dan Prospek Masa Depan. Tulisan ini merupakan sub judul dari buku Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan. Temuan pokok dalam sub bab ini adalah membahas mengenai prospek hukum pidana Islam di Indonesia. Menurut Arskal Salim, peluang bagi masuknya aspek-aspek hukum pidana Islam ke dalam sistem hukum nasional bergantung pada bagaimana politik hukum pidana Islam di Indonesia. Arskal Salim menambahkan, harus ada kesadaran hukum pidana Islam di kalangan umat Muslim Indonesia jika memang hukum pidana Islam benar-benar ingin diterapkan.

3. Karya Dr. Khamami Zada, yang mengusung judul Sentuhan Adat dalam pemberlakuan Syariat Islam di Aceh dan dimuat dalam Jurnal Karsa Vol. 20 No. 2 Desember 2012. Artikel ini membahas mengenai akar pemberlakuan hukum Jinayah (Hudud dan Kisas) di Aceh pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam artikel ini nampak bahwa hukum pidana Islam yang berlaku di Aceh tidaklah sepenuhnya sesuai dengan ketentuan syariah. 4. Karya Ayang Utriza NWAY, yang mengusung judul Adakah Penerapan

Syari’at Islam di Aceh?. Tulisan ini dipublikasikan dalam Jurnal Tashwirul

Afkar No. 24 Tahun 2008. Tidak jauh berbeda dengan Khamami Zada di atas, temuan pokok dalam artikel ini mencoba menguraikan bahwa hukum pidana yang dipraktikkan di Aceh tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan syariah melainkan terkontaminasi dengan unsur-unsur lainnya.


(20)

5. Karya Nurrohman, yang mengusung judul Artikulasi Hukum Pidana Islam dalam Ruang Publik: Tinjauan Politik Hukum Islam atas Kasus Rajam di Ambon, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-VI/2008, dan Qanun Jinayat di Aceh. Publikasi ini muncul dalam Jurnal Studi Islam, Volume 18 No.2 Tahun 2012. Dalam artikel ini disinggung mengenai kasus judicial review Undang-undang Peradilan Agama yang juga merupakan wujud artikulasi hukum pidana Islam dalam ruang publik. Nurrohman mengemukakan bahwa artikulasi hukum pidana Islam haruslah sejalan dengan sistem hukum di Indonesia yang bersumber pada Pancasila.

6. Karya Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja SH, MH, yang mengusung judul Posisi Hukum Pidana Islam dalam Peraturan Perundang-undangan dan Konteks Politik Hukum Indonesia. Tulisan ini juga merupakan sub judul dari buku

Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan. Temuan pokok dalam sub bab ini adalah bahwa Indonesia bukanlah negara Agama yang mengacu pada satu agama tertentu dan juga bukan negara sekuler yang memisahkan agama dari negara. Meskipun hukum pidana Islam tidak sesuai dengan konteks kenegaraan Indonesia, artikel ini mengajukan pendapat bahwa teori zawajir seyogyanya dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pembaruan hukum pidana di Indonesia. Teori tersebut mengatakan bahwa bila dengan hukuman minimal tujuan penghukuman dapat dicapai, maka hukuman maksimal yang disebut dalam nash tidak perlu diterapkan.

7. Karya Dr. Abdul Ghani Abdullah, SH, yang mengusung judul Eksistensi Hukum Pidana Islam dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional. Tulisan ini


(21)

pun merupakan sub judul dari buku Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan. Menurut Abdul Ghani, hukum pidana Islam tidak dapat berdiri sendiri karena berkaitan dengan kepentingan yang pluralistik sehingga tidak mungkin langkah anarkis menjadi alternatif. Oleh karena itu kebijakan politik yang arif, jujur dan adil menjadi instrumen politik dalam mengakomodasi cita dan kebutuhan hukum masyarakat Islam.

8. Karya Jaenal Aripin, yang mengusung judul Reformasi Kewenangan: Optimalisasi Peran dan Fungsi Peradilan Agama yang merupakan sub judul dari buku Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Temuan pokok penelitian ini menjelaskan bahwa kewenangan yang selama ini diemban oleh Peradilan Agama, baik lama maupun baru ternyata dimiliki bukan hasil dari by design dari pihak berwenang. Melainkan disebabkan karena faktor kultural masyarakat ketimbang perencanaan dan design dari pihak struktural. Temuan lain menjelaskan bahwa kewenangan Peradilan Agama dalam hukum pidana Islam masih belum memungkinkan untuk diterapkan di seluruh Peradilan Agama di Indonesia.

9. Karya M. Abdul Kholiq, Program Magister Universitas Diponegoro Semarang, tahun 2001, Tesis : Kontribusi Hukum Pidana Islam dalam Pembaruan Hukum Pidana Di indonesia. Temuan pokok penelitian ini membahas mengenai sejauh mana hukum pidana Islam dapat masuk ke dalam sistem hukum di Indonesia. Temuan lain dari penelitian ini juga


(22)

membahas mengenai deskripsi tentang istilah hukum pidana Islam, sumber dan tujuan hukum pidana Islam.

E.Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Metode penelitian hukum di kalangan para ahli hukum, dikelompokan ke dalam dua model, pertama yaitu penelitian kualitatif, kedua yaitu penelitian kuantitatif.16 Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitis untuk mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.17 Penelitian ini juga mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan studi kasus terhadap permohonan judicial review

yang disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi oleh Suryani. Pendekatan studi kasus ini akan mendeskripsikan, menguraikan dan menganalisis pemikiran dan argumen hukum para hakim MK yang dikemukakan dalam proses persidangan sebagaimana tertuang dalam putusan akhir MK No. 19/PUU-VI/2008.

2. Teknik Pengumpulan Data

Sedangkan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan/studi dokumenter. Studi kepustakaan merupakan upaya

16

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 98.

17


(23)

pengidentifikasian secara sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah dalam suatu penelitian.18 Studi kepustakaan juga merupakan metode yang digunakan dalam penelitian hukum normatif.19 Dalam penelitian hukum normatif, lazimnya dikenal data sekunder.20 Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan data sekunder tersebut nantinya meliputi :

1) Bahan Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat seperti Norma dasar Pancasila, NRI UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008, peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer serta dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer tersebut. Misalnya hasil-hasil penelitian terdahulu, pendapat para hukum, hasil-hasil pertemuan ilmiah (seminar, simposium, diskusi), buku-buku yang relevan dan lain-lain.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelas terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, indeks dan lain sebagainya.

3. Teknik Analisis Data

Data yang telah berhasil dikumpulkan melalui studi kepustakaan ini selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif. Karena data yang berhasil dikumpulkan bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak

18

Fahmi Muhammad Ahmad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17.

19

Bambang Waluyo,Penelitian Hukum dalam Praktik,(Jakarta:Sinar Grafika, 2008), h. 50.

20

Soerjono Soekanto,Dkk, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13.


(24)

dapat disusun ke dalam suatu struktur klasifikasi21 tetapi studi kasus dalam penelitian kualitatif bisa disusun dalam tema-tema.

Dalam analisa putusan ini, penulis menggunakan kerangka teori yang diajukan oleh Din Syamsuddin terkait relasi agama-negara di Indonesia. Dalam penelitian ini juga ditekankan pada pendekatan teori politik hukum yang diajukan oleh Mahfud MD untuk mencoba menguraikan mengapa hakim MK menolak permohonan tersebut. Yang mana ini tentu tidak lepas dari paradigma politik hukum yang menyatakan bahwasanya hukum sangat dipengaruhi oleh politik.

F. Sistematika Pembahasan

BAB I Merupakan Bab Pendahuluan, di dalam bab ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi penelitian ini, yang diorganisir menjadi 6 (enam) sub bab, yaitu (1) latar belakang masalah, (2) pembatasan dan perumusan masalah, (3) tujuan dan manfaat penelitian, (4) tinjauan pustaka, (5) metode penelitian, dan (6) sistematika Pembahasan.

BAB II Bertajuk Tinjauan Umum tentang Hukum Pidana, yang diorganisir menjadi 2 (Dua) sub bab, yaitu (1) Istilah hukum pidana di Indonesia, (2) Istilah hukum pidana Islam.

BAB III Bertajuk Aspek-aspek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia, yang diorganisir menjadi 3 (Tiga) sub bab, yaitu (1)

21

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 168.


(25)

Hukum pidana Islam pada masa kerajaan Aceh, (2) Hukum pidana Islam pada masa kolonial Belanda , (3) Hukum pidana Islam pasca kemerdekaan.

BAB IV Bertajuk Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008 Terkait Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana Islam dalam Kompetensi Absolut Peradilan Agama, yang diorganisir menjadi 5 (Lima) sub bab, yaitu (1) Profil Singkat Mahkamah Konstitusi, (2) Duduk Perkara, (3) Amar putusan Mahkamah Konstitusi, (4) Analisis Putusan, (5) Prospek pemberlakuan hukum Pidana Islam di Indonesia.

BAB V Merupakan Penutup, dalam bab ini disajikan pokok-pokok temuan penelitian yang dihasilkan yang memuat kesimpulan dan rekomendasi.


(26)

16

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA

Meskipun hukum pidana yang berlaku di Indonesia sampai saat ini ialah hukum pidana yang bersumber dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan Belanda, namun hukum pidana Islam masih terus diwacanakan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Sebelum membahas inti dari pokok permasalahan penelitian ini, penulis terlebih dahulu ingin menguraikan istilah hukum pidana yang berlaku di Indonesia dan hukum pidana Islam. Hal tersebut mencakup sumber dan tujuan dari masing-masingnya. Karena jika ditelaah lebih dalam, terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya. Bab ini akan memberikan pemahaman untuk bab selanjutnya bahwasanya aspek-aspek hukum pidana Islam telah terserap ke dalam sistem hukum nasional yang ada di Indonesia.

A.Istilah Hukum Pidana di Indonesia 1. Definisi Hukum Pidana

Seorang ahli hukum, Muljatno memberikan pengertian terhadap definisi hukum pidana. Menurutnya, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.


(27)

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.1

Rupanya pengertian yang diajukan Moeljatno ini sangat luas maknanya, sehingga CST Kansil mencoba mempersempit definisi hukum pidana itu menjadi seperangkat hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum, yang dimana perbuatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.2 2. Sumber Hukum Pidana

Tidak diketahui dengan jelas apa sumber hukum pidana yang paling awal di Indonesia. Pada mulanya, masyarakat Indonesia kebanyakan hidup menurut hukum adatnya masing-masing yang berbeda-beda antara satu masyarakat hukum adat dengan masyarakat adat lainnya. Menurut Andi Zainal Abidin, sebelum datangnya penjajahan Belanda, hukum pidana yang berlaku adalah hukum pidana adat (sebagian besar tidak tertulis) yang beraneka ragam yang berlaku di masing-masing kerajaan di Nusantara.3

Kedatangan bangsa Belanda yang pertama kali mendarat di Banten tahun 1596, secara berangsur-angsur mulai membawa perubahan. Bangsa

1

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta:PT Asdi Mahasatya, 2002), h. 1.

2

CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1979), h. 242.

3

Andi Zainal Abidin, Asas-asas Hukum Pidana, Bagian pertama, (Bandung: Aumni, 1987), h. 77-78.


(28)

Belanda yang mulanya datang sebagai pedagang dan kemudian digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak 1 Januari 1800, menguasai banyak wilayah dan membuat peraturan-peraturan tertulis. Salah satu diantaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht). Dengan demikian KUHP yang digunakan di Indonesia sekarang ini pada dasarnya ialah kodifikasi peninggalan masa pemerintahan Hindia Belanda. Kodifikasi tersebut pertama kali diundangkan dalam Staatsblad yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918.4

Hukum pidana terbagi menjadi hukum pidana material dan hukum pidana formal. Pada garis besarnya bahwa hukum pidana material memuat dasar-dasar serta peraturan-peraturan umum mengenai perbuatan manusia yang dengan tegas disebut dalam undang-undang sebagai perbuatan yang dapat dihukum, sekaligus menentukan jumlah hukuman yang dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formal atau bisa disebut juga dengan hukum acara pidana adalah kumpulan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara mempertahankan hukum pidana materil oleh penguasa negara jika terdapat peraturan yang dilanggar.5 Hukum pidana yang berlaku di Indonesia dewasa ini ialah:6

a. KUHP warisan belanda sebagaimana ditetapkan pada Undang-undang No. 1 tahun 1946 jo Undang-undang No. 73 tahun 1958, beserta perubahan-perubahannya.

4

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 42.

5

B. Bastian Tafal, Pokok-pokok Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 65.

6

S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya, (Jakarta: AlumniAhaem-Petehaem, 1996), h. 50.


(29)

b. KUHPM sebagaimana ditentukan pada Undang-undang No.39 Tahun 1947. c. Perundang-undangan hukum pidana lainnya antara lain tindak pidana

korupsi (UU No. 20 tahun 2001), tindak pidana narkoba (UU No. 35 tahun 2009, tindak pidana pencucian uang (UU No. 8 tahun 2010 ) dan lain sebagainya.

d. HIR dan beberapa pasal tertentu dari Strafvordering, Undang-undang No. 1 Drt tahun 1951, yang sejak tanggal 31 Desember 1981 telah diganti dengan KUHAP (Undang-undang No. 8 tahun 1981), Undang-undang pokok kepolisian, Undang-undang pokok kejaksaan, Undang-undang hukum acara pidana militer, Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman dan lain sebagainya.

3. Tujuan Hukum Pidana

Mengenai tujuan hukum pidana, dewasa ini diketahui bahwa tujuan hukum pidana pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara. Salah satu cara atau alat untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah dengan memidana seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :7

a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri.

b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan. c. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan

7

P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 11.


(30)

kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Dengan kata lain, tujuan atau alasan dari pemidanaan dapat digolongkan ke dalam tiga golongan pokok yaitu golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan dan golongan teori gabungan.8

a. Teori Pembalasan

Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana. Dan tidak mempersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Ini merupakan wujud pembalasan dari apa yang telah dilakukan oleh si terpidana.

b. Teori Tujuan

Teori-teori yang termasuk golongan teori tujuan membenarkan pemidanaan atau tergantung kepada tujuan pemidanaan, yaitu untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan.

c. Teori Gabungan

Teori ini merupakan perpaduan antara teori pembalasan dan teori tujuan. Artinya, alasan pemidanaan bukan hanya semata-mata untuk membalas si pelaku tindak kejahatan, namun di sisi lain pemidanaan tersebut juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dan mencegah perbuatan pidana lainnya.

8

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 157.


(31)

B.Istilah Hukum Pidana Islam 1. Definisi Hukum Pidana Islam

Dalam pembahasan hukum pidana Islam, ada juga yang menyebutnya dengan istilah Fiqh Jinayah yang terdiri dari dua kata, yaitu fiqh dan jinayah.9 Secara Etimologis, fiqh berasal dari kata هقفي-هقف yang berarti paham atau memahami ucapan secara baik. Sedangkan secara terminologis, fiqh

didefinisikan oleh Wahbah al Zuhaili, Abdul karim Zaidan dan Umar Sulaiman dengan mengutip definisi al-Syafi‟i dan al-Amidi, yaitu ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang terperinci. Adapun istilah jinayah, secara etimologis berasal dari kata

ىنج -ىنجي -اينج

-ي انج yang berarti بن ذ أ (berbuat dosa). Sedangkan secara

terminologis, jinayah didefinisikan dengan semua perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan terhadap jiwa atau terhadap selain jiwa.10

Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian fiqh jinayah adalah ilmu tentang hukum syara‟ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Para fuqaha menyatakan bahwa lafal jinayah sama artinya dengan jarimah.11 Dan dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa objek pembahasan fiqh jinayah itu secara garis besar ada dua, yaitu jarimah

atau tindak pidana dan uqubah atau hukumannya.12

9

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta:Amzah, 2013), h. 1.

10

M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, cet. 1, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 66.

11

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 13.

12


(32)

Pengertian jarimah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al Mawardi adalah sebagai berikut.

ا ج ا ع ش ار ظح ئ ي عت ا ّحب ا نع اعت ه ا ا ج ي

Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang

diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.13

Dalam Istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut.

ع ش ح عف س ا ي انج اف ك ذ يغ أ ا أ سفن ى ع عف ا عق ء ا س ،ا

Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau yang lainnya.14

Diantara pembagian jarimah yang paling penting adalah pembagian yang ditinjau dari segi hukumannya. Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi kepada tiga bagian yaitu; jarimah Hudud, jarimah Qishas dan Diyat serta

jarimah Ta’zir.15

a. Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah, hukuman had adalah hukuman

yang telah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan hak Allah. Oleh karena hukuman itu merupakan hak Allah, maka hukuman tersebut tidak bisa digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Jarimah hudud ini terdiri dari tujuh macam, yaitu: Jarimah Zina; Jarimah Qadzaf;

13

Ibid

14

Ibid

15


(33)

Jarimah Syurb al-Khamr; Jarimah Pencurian; Jarimah Hirabah; Jarimah Riddah; dan Jarimah Pemberontakan.16

b. Jarimah Qishas dan Diyat

Jarimah qishas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishas atau diyat. Baik qishas maupun diyat kedua-duanya adalah

hukuman yang sudah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan hak manusia.

Oleh karena hukuman itu merupakan hak manusia, maka hukuman tersebut bisa dimaafkan atau digugurkan oleh korban atau keluarganya. Jarimah Qishas dan Diyat ini terdiri dari lima macam, yaitu: Pembunuhan sengaja; Pembunuhan menyerupai sengaja; Pembunuhan karena kesalahan; Penganiayaan sengaja; dan Penganiayaan tidak sengaja.17

c. Jarimah Ta‟zir

Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta‟zir.

Pengertian ta‟zir menurut bahasa adalah ta‟dib, artinya memberi pelajaran. Ta‟zir juga diartikan dengan Ar-Raddu wal Man‟u, yang artinya menolak

atau mencegah. Sedangkan pengertian ta‟zir menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan Al-Mawardi yaitu ta‟zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara‟. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa hukuman ta‟zir adalah hukuman yang ditetapkan oleh syara‟ dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepada ulil amri. Sedangkan yang termasuk kategori jarimah

16

Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), h. 19.

17


(34)

ta‟zir adalah jarimah yang tidak tergolong ke dalam jarimah hudud dan

qisash diyat serta jarimah hudud dan qishas diyat yang terdapat syubhat.18 2. Sumber Hukum Pidana Islam

Mengenai sumber hukum pidana Islam itu sendiri pada dasarnya kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih yang ditulis ulama klasik. Kata-kata “sumber hukum Pidana Islam” merupakan terjemahan dari lafaz-lafaz ا ح أ ار د اص (Mashaadir al-ahkam). Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka menggunakan istilah dalil-dalil syari‟ah ا دأ ا

يع ش / al-Adillah al-Syariyyah ( penggunaan kata ا ح أ ا ر د اص (Mashaadir al-ahkam) oleh ulama sekarang ini tentu dimaksudkan adalah seperti dengan istilah يع ش ا دأا / al-Adillah al-Syariyyah. 19

Jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa sumber-sumber hukum Islam pada umumnya ada empat, yaitu Al-Qur‟an, Al Hadits, Ijma dan Qiyas. Urutan-urutan penyebutan menunjukkan urutan-urutan dan kepentingannya. Yakni apabila tidak terdapat dalam hukum sesuatu peristiwa dalam Al-Qur‟an baru dicari dalam Sunnah, kalau tidak terdapat dalam Sunnah dicari dalam Ijma, dan kalau tidak terdapat dalam Ijma, baru dicari dalam Qiyas.20

Masih ada sumber-sumber hukum yang lain, tetapi masih banyak diperselisihkan tentang mengikat atau tidaknya. Sumber-sumber tersebut ialah

Istishan, istishab, Maslahah Mursalah, „Urf, madzhab sahabat dan syari‟at

sebelum Islam (syar‟u man qablana). Bagi hukum-hukum pidana Islam formil

18

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 143.

19

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 81.

20

Mardani, Kejahatan pencurian dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: CV INDHILL CO, tt), h. 27.


(35)

(Ijraat Jinaiyyah/acara pidana) maka semua yang disebutkan diatas bisa dipakai. Akan tetapi untuk hukum-hukum pidana Islam materiil, yaitu yang berisi ketentuan macam-macam jarimah dan hukumannya, hanya ada empat

sumber. Tiga diantaranya sudah disepakati, yaitu Qur‟an, Sunnah dan Ijma‟,

sedang satu sumber lainnya yaitu Qiyas masih diperselisihkan.21 3. Tujuan Hukum Pidana Islam

Tujuan pokok adanya penghukuman dalam syari‟at Islam adalah untuk: a. Pencegahan (al radd wa al jazr)

b. Perbaikan (al „ishlah) c. Pendidikan (al ta‟dib)22

Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah, bahwa tujuan penghukuman

dalam syari‟at Islam adalah untuk memperbaiki kondisi manusia, menjaga

mereka dari kerusakan, mengeluarkan mereka dari kebodohan, menunjukan mereka dari kesesatan, menghindarkan mereka dari berbuat maksiat dan

mengarahkan mereka agar menjadi manusia yang ta‟at. Syariat Islam sama

pendiriannya dengan hukum positif dalam menetapkan jarimah atau tindak pidana dan hukumannya, yaitu dari segi tujuannya. Baik hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif keduanya sama-sama bertujuan memelihara kepentingan dan ketentraman masyarakat serta menjamin kelangsungan hidupnya. Meskipun demikian terdapat perbedaan yang jauh antara keduanya, yaitu :23

21

A.Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967), h.25.

22

Ibid, h. 255.

23


(36)

1) Hukum Islam termasuk di dalamnya hukum pidana Islam, sangat memperhatikan pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur. Oleh karenanya setiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak selalu dicela dan diancam dengan hukuman. Sebaliknya, hukum positif tidaklah demikan. Menurut hukum pidana positif ada beberapa perbuatan yang meskipun bertentangan dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur tidak dianggap sebagai suatu tindak pidana. Kecuali apabila perbuatan tersebut membawa kerugian langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat.

2) Hukum pidana positif adalah produk manusia, sedangkan hukum pidana Islam bersumber dari Allah (wahyu). Dengan demikian dalam hukum pidana Islam terdapat beberapa macam tindak pidana yang hukumannya telah ditetapkan dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah, yaitu jarimah hudud dan qishas. Disamping itu ada pula tindak pidana yang hukumannya diserahkan

kepada penguasa (ulil „amri) yaitu jarimah ta‟zir.

Perbandingan lain dari keduanya ialah; Pertama, dari sisi pelaku kejahatan. Hukum pidana Islam memberikan ketentuan yang jelas dan syarat yang begitu ketat sehingga tidak akan memungkinkan permainan peradilan. 24 Kedua, dari sisi korban atau keluarga korban. Pada kasus pembunuhan dan penganiayaan disengaja, korban bisa memilih antara qisas, meminta diyat atau memaafkan. Sebagai contoh, seandainya seorang wanita yang memiliki banyak anak kehilangan suaminya karena dibunuh, maka wanita itu bisa meminta diyat

24


(37)

dengan asumsi diyat itu dapat menghidupi dirinya dan anak-anaknya setelah kematian suaminya. Dalam hal ini kepentingan korban (keluarga korban) untuk diperlakukan adil sangat diperhatikan. Sedangkan hukum pidana positif hanya fokus dalam menangani pelaku dan tidak ada upaya untuk meringankan penderitaan korban atau keluarga korban. 25

Ketiga, dari sisi penegak hukum. Hukum pidana Islam telah memiliki landasan yang kuat dan tidak dapat diubah oleh siapapun yaitu Al-Qur‟an dan As-sunnah. Dengan demikian tidak ada upaya untuk mengubah aturan, menyimpanginya dan mengesampingkannya. Jika ada seorang penegak hukum yang berpaling dari ketentuan hukum pidana Islam maka akan dapat diketahui dengan mudah. Dengan kata lain, aturan yang jelas dan tegas menutup ruang bagi penegak hukum untuk berbuat sewenang-wenang26

Dari perbedaan di atas tergambarlah dengan jelas sifat kedua hukum tersebut. Hukum positif merupakan produk manusia yang tentu saja tidak lengkap dan tidak sempurna. Karena penciptanya juga serba tidak sempurna dan terbatas kemampuannya. Itulah sebabnya undang-undang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebaliknya, hukum Islam adalah ciptaan Allah yang sempurna dan tidak dapat diubah-ubah atau diganti.

25

Ibid

26


(38)

28

ASPEK-ASPEK PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA

Pada bab ini penulis akan menguraikan aspek-aspek hukum pidana Islam yang pernah berlaku di Indonesia. Penulis membaginya kepada tiga periode besar yaitu; pada masa kerajaan, kolonial Belanda dan pasca kemerdekaan. Meskipun terdapat sejumlah kerajaan yang memberlakukan hukum pidana Islam di Indonesia, pada bab ini penulis akan fokus hanya kepada kerajaan Aceh. Hal ini dimaksudkan agar pembaca dapat mengetahui bahwasanya hukum pidana Islam pernah dipraktekkan di kerajaan Nusantara walaupun hingga perkembangannya saat ini, Indonesia masih menggunakan hukum Pidana peninggalan Belanda. Meskipun demikian, wacana hukum pidana Islam masih terus bergulir yang nantinya akan penulis uraikan pada bab selanjutnya.

A.Pada Masa Kerajaan Aceh

Jika dilihat dari sejarah Kerajaan Aceh Darussalam (1514-1903), Sultan Ali Mughayat Syah (1516-1530 M) tercatat dalam sejarah sebagai pembangun Kerajaan Aceh Darussalam. Sedangkan Sultan Alauddin Riayat Syah II Abdul Qahhar (1537-1571 M) sebagai pembina organisasi kerajaan dengan menyusun undang-undang dasar negara yang diberi nama Qanun Al-Asyi. Qanun ini kemudian disempurnakan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) . Dalam perjalanan sejarahnya, Qanun Al-Asyi ini disebut juga sebagai Adat Meukuta Alam atau Qanun Meukuta Alam. Dalam Qanun Meukuta Alam ditetapkan


(39)

bahwa dasar Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan yang sumber hukumnya berdasarkan pada Al-Qur‟an, Hadits, Ijma‟ Ulama dan Qiyas 1

Berikut yang dapat penulis paparkan terkait aspek pemberlakuan hukum pidana Islam di Kerajaan Aceh.

1. Perzinaan

Pelaksanaan hukuman perzinaan pertama kali yang diketahui di kesultanan Aceh terjadi pada masa Sultan pertama, Ali Mughayat Syah (1516-1530 M).2 Hal ini berdasarkan kesaksian dua orang pelancong Prancis, Jean dan Raoul yang mengatakan bahwa terdapat dua macam hukuman perzinaan, yaitu; pertama, hukuman mati bagi lelaki. Kedua, hukuman menjadi budak bagi perempuan.3

Selanjutnya pada masa Sultan ke-3, Alaudin Riayat Syah al-Qahhar (1537-1571 M), hukuman zina di Aceh dapat diketahui dengan jelas, yaitu dihukum dengan hukuman rajam. Hal ini berdasarkan kesaksian seorang pelancong India, Rawdla al-Thahirin yang menceritakan bahwa dua orang dijumpai telah berzina pada tahun 1550 dengan status masing-masing telah menikah. Kedua orang tersebut dihadapkan ke Sultan yang kemudian menghukum mereka dengan hukuman mati. Kedua orang itu dibawa ke alun-alun lalu dirajam hingga mati.4

1

A. Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), h. 70-72.

2

Namun kejadian ini bukan di Aceh, akan tetapi di tiku, dekat Padang yang pada saat itu belum termasuk bagian dari wilayah Kesultanan Aceh kecuali setelah tahun 1560 M.

3

Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? Tinjauan Sejarah Hukum di Kesultanan Aceh Tahun 1516-1688 M”, Tashwirul Afkar, Edisi No. 24 Tahun 2008, h. 124.

4


(40)

Perkembangan selanjutnya terjadi pada masa Sultan ke-10, Alaudin Riayat Syah al-Mukammil (1588-1604 M). Berdasarkan kesaksian Francois Martin de Vitre, seorang pelancong Prancis yang mengatakan bahwa hukuman zina di Aceh pada masa itu ada dua; Pertama, lelaki atau perempuan yang berzina dibunuh oleh gajah dengan cara diinjak-injak atau badannya ditarik hingga hancur berkeping-keping. Kedua, bagi lelaki yang berzina dipotong kemaluannya dan bagi wanita dipotong hidungnya dan dicongkel kedua matanya.5

Pada masa Sultan ke-12 yaitu Iskandar Muda (1607-1636 M) juga pernah memberlakukan hukuman mati terhadap anak laki-lakinya sendiri atas tuduhan mengganggu rumah tangga orang lain, bahkan berzina. Dia adalah Meurah Pupok yang dijatuhi hukuman hudud atas kesalahan berzina dengan istri salah seorang pengawal istana. Pelbagai cara dilakukan agar Sultan Iskandar Muda meringankan hukuman kepada Meurah Pupok karena ia adalah anak seorang Sultan. Namun Iskandar Muda menolak demi memastikan pemberlakuan

Syari‟at Islam pada siapapun.6

Namun menurut versi lain, William M. Marsden menyebutkan bahwa pada masa Iskandar Muda tidak diberlakukan hukum pidana Islam dalam kasus zina. Ada tiga macam hukuman zina, Pertama, seorang lelaki yang berzina akan diletakkan di tengah lingkaran yang dikelilingi oleh orang tua suami dari perempuan yang dizinai dan teman-temannya. Si pelaku biasanya mati oleh senjata orang-orang yang mengelilinginya. Setelah meninggal, orang tua lelaki

5

Ibid, h. 126.

6

Al Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syari‟at Islam, 2006), h. 114.


(41)

pezina menguburkannya seperti menguburkan seekor banteng. Kedua, si pezina di hukum denda. Dia harus membayar sejumlah uang kepada keluarga korban, tetapi hukuman ini sangat jarang. Ketiga, jika istri ketahuan berzina, maka suaminya akan membunuh sendiri si lelaki yang menzinai istrinya, atau ia diam menutup rapat aib tersebut.7

2. Pencurian

Untuk kasus pencurian pada masa Sultan al-Qahhar (1537-1571 M) menurut sumber India Rawdl ath-Thahirin, adalah potong tangan. Menurut sumber tersebut hukuman potong tangan tidak hanya untuk kasus pencurian tetapi juga berlaku bagi semua bentuk kejahatan. Namun sumber ini tidak menjelaskan mengenai batasan dalam penghukuman potong tangan tersebut.8

Untuk bentuk hukuman pencurian nampak semakin jelas pada masa Sultan Al-Mukammil (1588-1604 M). Francois Martin de Vitre menjelaskan bahwa hukuman bagi pencuri kecil dipotong tangannya. Jika dia mengulangi lagi perbuatannya, maka dipotong kaki dan tangannya yang lain. Berbeda dengan kesaksian Francois yang menyatakan bahwa hukuman potong kaki dan tangan ini untuk kasus pencurian, menurut Van Waarwyk seorang pemimpin kapal dari Belanda yang pernah singgah di Aceh mengatakan bahwa hukuman tersebut berlaku bagi semua bentuk kejahatan.9

Pada masa Sultan Iskandar Muda Muda (1607-1636 M), hukuman potong tangan bagi pencuri dilegalkan di dalam Undang-Undang Aceh. Pasal 33 UU Aceh menyebutkan bahwa Kepala Kampung harus menghukum pencuri

7

Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh?..”, h. 127.

8

Ibid

9


(42)

dengan mengembalikan barang curiannya atau menggantinya. Jika pencuri itu kabur dari wilayah kesultanan Aceh, maka ia tidak dapat kembali ke tempat tinggalnya (pasal 34), dan jika ia kembali maka akan ditangkap dan dipotong tangannya (pasal 35).10

3. Minuman Keras

Sultan Alaudin Perak (1579-1586 M), tercatat sebagai Sultan yang pertama kali melarang minuman yang memabukkan di kesultanan Aceh. Namun tidak ada sumber yang menginformasikan mengenai hukuman apa yang diterapkan dalam meminum khamr ini. Peraturan yang diterapkan Sultan Alaudin Perak itu hilang seiring dengan wafatnya.11

Larangan minuman yang memabukkan dan berjudi berlaku lagi pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dan pada masa Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin (1641-1675 M). Menurut kesaksian P.Soury seorang utusan Belanda pada tahun 1642 bahwa hukuman bagi peminum khamr adalah dipotong tangannya. Sedangkan sumber Eropa yang lain, Jacob Compostel mengatakan bahwa hukuman yang diberlakukan bagi peminum khamr adalah dengan cara menelan timah panas.12

4. Pembunuhan

Untuk kasus pembunuhan, Sultan Al-Qahhar (1537-1571 M) pernah melaksanakan kisas yang kemudian ditukar dengan diyat seratus ekor kerbau atas Raja Lingga ke-16 yang terbukti membunuh saudara tiri Beuner Maria.13

10

Ibid, h. 129.

11

Ibid, h. 135.

12

Ibid, h. 136.

13Al Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam di Provins


(43)

Sedangkan pada masa Sultan Al-Mukammil (1588-1604 M), dari sumber yang sama yaitu Francois Martin de Vitre menjelaskan bahwa ada tiga jenis hukuman pembunuhan yaitu; Pertama, pembunuh dihukum mati dengan cara yang sama ketika ia membunuh; Kedua, pembunuh dihukum mati dengan cara diinjak-injak gajah setelah terlebih dahulu dilempar ke udara dengan belalai gajah; Ketiga, pembunuh dilempar ke tengah harimau yang sangat ganas dan tentu menjadi santapan mereka.14

Selanjutnya sanksi pembunuhan diatur dengan baik pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang diatur dalam Undang-Undang Meukuta Alam pada pasal 25, 26, 27, 32 dan 38. Inti dari pasal-pasal ini telah sesuai dan mengikuti apa yang digariskan oleh hukum Islam terkait pembunuhan.15 Selanjutnya pada masa Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin (1641-1675 M) benar-benar menerapkan hukuman yang diatur pada Undang-Undang Meukuta Alam tersebut.16

5. Murtad

Fatwa mati pertama kali atas kasus murtad terjadi di kesultanan Aceh pada paruh pertama abad ke-17 atau tahun 1636 M. Fatwa ini dikeluarkan oleh Nuruddin Ar-Raniry, Syeikh al-Islam Kesultanan Aceh pada masa Iskandar Thani (1636-1641 M). Fatwa Ar-Raniry berkaitan dengan ajaran tasawuf

wujudiyyah Ibn‟Arabi oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani yang

14

Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? ..”, h. 137. 15

Pasal 25 berisi sangsi bagi pelaku pembunuhan sengaja yaitu dengan diyat dan apabila keluarga korban mau memaafkan dan mau menerima tebusan uang darah tersebut. Pasal 26 berisi jumlah diyat yang harus dibayar oleh si pelaku yaitu 100 ekor unta. Sementara diyat budak sesuai dengan tingkatan budak tersebut (pasal 32). Pasal 27 berisi ketentuan apabila si pembunuh sudah membayar diyat, maka si pelaku tidak dibunuh. Sebaliknya apabila keluarga korban tidak mau menerima diyat maka dia harus dikisas. Lihat Ibn Rusyid, Bidayat al-Mujtahid, vol.II, h.307, Sabiq, Fiqh Sunnah, vol II h. 466.

16Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? ..” h. 138.


(44)

dianggap sebagai orang zindiq dan kafir. Akibat fatwa ini, banyak kaum muslim yang dibantai yaitu mereka yang teguh dengan keyakinan sufistiknya. Karena cap sesat, zindiq dan mulhid sama dengan murtad.17 Dalam Islam Murtad harus dihukum mati.18

6. Perampokan

Kasus perampokan ini tercatat pada masa Sultanah Nurul Alam Nakiyatuddin (1675-1678 M). Berdasarkan kesaksian Laksamana Inggris Thomas Bowrey, bahwa setelah kematian Sultanah Safiyatuddin terjadi pemberontakan kepada ratu baru yang terpilih, Nakiyatuddin. Akhirnya, Syekh al-Islam yang juga menjabat kepala hakim, menghukum mati semua pemberontak, kecuali seorang ulama yang yang dihukum potong kaki dan tangan serta harta bendanya dirampas menjadi milik umum.19

Dari pemaparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa hukum pidana yang diberlakukan di Aceh mencakup aspek fundamental (kaidah larangan) dari hukum pidana Islam yaitu pembunuhan, pencurian, perzinaan, minum khamr, murtad dan perampokan. Namun jika dilihat dari aspek instrumental (jenis ancaman hukuman), dalam batas tertentu sering kali tidak seluruhnya

sama seperti ketentuan syari‟ah. Ini memperlihatkan bahwasanya dalam pemberlakuan hukum pidana Islam di Aceh, terjadi dinamika sosial yakni masuknya unsur adat ke dalam pemberlakuan syariah.20

17

Ibid, h. 140.

18

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika, 2005), h. 127.

19

Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh?..”, h. 142.

20

Khamami Zada, “Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syari‟at Islam di Aceh (1514 -1903 M)”, Karsa Vol. 20, No. 2, Desember 2012, h. 197.


(45)

Menurut Arskal Salim, bahwa pemberlakuan hukum pidana lslam di Nusantara menunjukan betapa pelaksanaan hukum pidana Islam tidak pernah berlaku secara seragam dan konsisten.21 Karena keberlakuannya sangat ditentukan oleh kebijakan penguasa pada masanya. Ia menambahkan, pemberlakuan hukum pidana Islam di sejumlah kerajaan Nusantara22 adalah sebuah proses interaksi yang aktif antara hukum lslam dan tradisi lokal setempat yang kemudian menjelma menjadi sebuah akulturasi.23

B.Pada Masa Kolonial Belanda

Dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan kerajaan Hindu/Budha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam telah ada di Indonesia sebagai hukum yang diterima dan diakui. Karena para penguasa ketika itu memposisikan hukum Islam sebagai hukum negara.24 Belanda sejak zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) 1602-1798 M tetap membiarkan lembaga asli yang ada dalam masyarakat sebagaimana sebelumnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari perlawanan dari masyarakat Muslim dan VOC juga tetap mengakui apa yang berlaku sejak

21

Arskal Salim, “Perkembangan Awal Hukum Islam di Nusantara”, Hukum Respublica, Vol. 5, No. 1, Tahun 2005, h. 67-68.

22

Selain Aceh, beberapa kerajaan lain seperti Banten dan Mataram juga pernah memberlakukan aspek hukum pidana Islam. Bisa di lihat dalam Arskal Salim, Perkembangan Awal Hukum Islam di Nusantara , h. 67, Azyumardi Azra, Implementasi Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam: Perspektif Sosio-Historis, dalam Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi

Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), h. Xxviii, Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 39.

23

Arskal Salim, “Perkembangan Awal Hukum...”, h. 72.

24


(46)

berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara seperti hukum keluarga Islam, perkawinan, waris dan wakaf.25

Keadaan hukum Islam pada zaman VOC lebih maju daripada sebelumnya, karena telah terhimpun dalam beberapa kitab hukum. Pemerintah Belanda sendiri pada waktu itu, hampir pertengahan abad ke-18 , berusaha menyusun buku-buku hukum Islam sebagai pegangan hakim-hakim pengadilan negeri (landraad) dan pejabat pemerintahan. Dalam Statuta Jakarta 1642 bahkan hukum keluarga diakui dan diterapkan dengan peraturan Resolutie der Indiesche Regeering pada 25 Mei 1760, yang merupakan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang dikenal dengan Compendium Freijer.26 Selain itu juga diadakannya Pepakem Cirebon sebagai pegangan bagi hakim-hakim peradilan adat yang isinya antara lain memuat sistim hukuman seperti pemukulan, cap bakar, dirantai dan lain sebagainya. Selain itu juga terdapat kitab hukum Mugharaer yang berlaku untuk pengadilan negeri Semarang yang berisi perkara-perkara perdata dan pidana yang sebagian besar bermuatan hukum pidana Islam.27

Posisi syariat Islam tampak strategis ketika Belanda masih menggunakan teori Reception in Complexu. Digagas oleh Loedewyk Willem Christian Van Den Berg, teori ini menyatakan pemberlakuan hukum Islam secara penuh terhadap orang Islam karena mereka telah memeluk agama Islam. Dengan kata

25

Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 47.

26

Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam dalam sistem Ketatanegaraan indonesia”, dalam Amrullah Ahmad SF, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:Gema Insani press, 1996), h. 131.

27

Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia, (Malang:Bayumedia Publishing, 2005), h. 34.


(47)

lain, hukum mengikuti agama yang dianut penduduk. Jika orang memeluk agama Islam maka hukum Islamlah yang berlaku.28 Meskipun demikian, hukum pidana Islam belum menjadi hukum yang berlaku bagi pribumi Muslim. Belanda hanya baru mengakui hukum perdata Islam (Pernikahan, perceraian, waris dan wakaf). Politik hukum Belanda masih meminggirkan hukum jinayah

sebagai bagian dari totalitas pemberlakuan syari‟at Islam.

Seiring adanya perubahan orientasi politik, Belanda mulai melakukan penyempitan ruang gerak serta perkembangan hukum Islam. Di sisi lain, Belanda memberikan keleluasaan kepada adat kebiasaan dan membenturkannya dengan hukum Islam. Pemerintah Belanda berusaha meminggirkan peranan hukum Islam dari kehidupan masyarakat dan mendukung adat setiap kali terjadi pertentangan tersebut.29 Inilah yang disebut sebagai periode penerimaan hukum Islam oleh adat yang disebut Theorie Receptie yang dikemukakan oleh Van Volennhoven dan Snouck Hurgronje 30. Teori ini menegaskan bahwa hukum Islam baru dapat belaku bila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Pendapat ini diberi dasar hukumnya dalam Undang-Undang dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti

Regeerningsreglement (R.R), yang disebut Wet de Staatsinricting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatregeling (IS). Berdasarkan IS yang

28

Ibid, h. 37-38.

29

Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam:Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta:Prenada Media Group, 2010), h. 252.

30

Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 75.


(48)

diundangkan dalam Staatsblad 1929:212, hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda.31

Selanjutnya pada pertengahan tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengumumkan gagasan pemindahan wewenang tentang waris dari pengadilan Agama. Dengan Staatsblad 1937 No. 116 wewenang pengadilan Agama itu dicabut dengan alasan hukum waris Islam belum sepenuhnya diterima oleh hukum adat. Perkara waris ini kemudian dilimpahkan wewenangnya kepada

landraad atau Pengadilan Negeri. Tampak adanya upaya pemerintah Belanda untuk mempersempit ruang lingkup berlakunya hukum Islam. Bahkan untuk

hukum waris berusaha “dihabisi” dengan menyerahkan wewenang

pemeriksaannya kepada landraad.32

Sebagaimana yang diungkap oleh Aqib Suminto, sikap ini diambil Belanda karena khawatir terhadap gerakan Pan Islamisme yang bisa berujung pada kesadaran tentang gerakan kemerdekaan di Indonesia.33 Itu sebabnya, bukan hanya hukum keluarga yang dibatasi pemberlakuannya, tetapi juga hukum pidana Islam yang dipinggirkan pemberlakuannya. Pada masa kolonial tidak ada dilaporkan satu pun praktik pelaksanaan hukum pidana Islam di wilayah-wilayah jajahannya. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara telah menjadi kekuatan utama dalam menjalankan ajaran syariat termasuk di dalamnya bidang pidana Islam. Namun, sejak masuknya politik hukum Belanda di Indonesia, Belanda melakukan penyempitan ruang gerak dan

31

Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam .”,h. 132.

32

A. Qodri Azizy, Elektisme Hukum Nasional:Kompetensi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 155.

33


(49)

perkembangan hukum Islam dalam arti bahwa keberadaannya tidak menguntungkan bagi kepentingan politik kolonial Belanda.34

C.Pada Masa Pasca Kemerdekaan

Dalam catatan sejarah bangsa ini, perjuangan sebagian umat Islam untuk memasukkan syariat sebelum dan setelah Indonesia merdeka mengalami dinamika yang fluktuatif. Di Indonesia, periode penting dalam perjuangan pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam hukum negara dilalui dalam empat periode, yaitu periode menjelang kemerdekaan dalam sidang BPUPKI, periode awal kemerdekaan dalam Majelis Konstituante 1957-1959, periode awal pemerintahan Orde Baru dalam Sidang MPR 1966-1968 dan periode pasca Orde Baru dalam Sidang MPR 2000-2002.35

Pada setiap periode tersebut, seluruh usaha untuk memasukkan syariat (yang pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan perjuangan memasukkan Piagam Jakarta termasuk di dalamnya pemberlakuan hukum pidana Islam) di Indonesia ternyata gagal. Perdebatan terakhir terjadi setelah Indonesia mengalami reformasi politik dan hukum pasca rezim Orde Baru, terutama dalam Sidang MPR 2000, 2001 dan 2002. Pada saat itu beberapa partai Islam seperti PPP, PBB dan PK mengajukan proposal pencantuman kembali tujuh kata Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945.36 Sama seperti masa sebelumnya, terdapat polarisasi kelompok Islam yang

34

Ibid

35

Arskal Salim, Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia, (Honolulu: University of Hawai Press, 2008), h. 85.

36

M. Zainal Anwar, “Formalisasi Syari‟at Islam di Indonesia:Pendekatan Pluralisme Politik dalam Kebijakan Publik”, Millah Vol. X, No. 2, Februari 2011, h. 198.


(50)

memperjuangkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 maupun

rumusan yang inklusif yaitu “Kewajiban menjalankan Agama bagi pemeluk

-pemeluknya”.37

Dan kelompok nasionalis38 yang tetap konsisten menolak Piagam Jakarta. Akhirnya, disepakati rumusan alternatif pertama dalam Sidang

Pleno MPR Agustus 2002, yaitu “Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.39 Meskipun Piagam Jakarta sebagai pintu masuk dalam pemberlakuan hukum pidana Islam tidak berhasil diperjuangkan, tetapi Pancasila dan pasal 29 UUD NRI 1945 mengakomodir hukum Islam dijamin dalam negara Indonesia. Justru Pancasila sebagai norma hukum tertinggi yang berarti Indonesia tidak menghilangkan peran agama dalam kehidupan bernegara.40

Sedangkan hingga saat ini, yang menjadi produk hukum pidana nasional adalah KUHP yang tidak mengakomodir syari‟at Islam. Meskipun diatur pembunuhan, pencurian, perampokan, persetubuhan dan minuman keras dalam KUHP, tetapi hukuman yang dikenakan berbeda dengan syari‟at Islam. Posisi hukum pidana Islam pasca kemerdekaan jelas sekali tidak pernah diberlakukan di Indonesia. Meskipun secara nasional, hukum Pidana Islam tidak diberlakukan di Indonesia, namun hukum pidana Islam diberlakukan di Aceh. Tonggak pelaksanaan hukum pidana Islam di Aceh adalah disahkannya UU

37

Partai-partai yang berjuang memasukan 7 kata Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 yaitu: PPP,PBB,PNU (Partai Nahdlatul Ulama),PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia). sedangkan partai dengan rumusan inklusifnya yaitu: PAN,PKB dan PK (sekarang PKS)

38

Partai Nasionalis seperti PDIP,GOLKAR,PDKB (Partai Demokrasi Kasih Kebangsaan)

39

Arskal Salim, Challenging The Secular State.., h. 107.

40

Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta:Kanisius, ttp), h. 39.


(51)

No. 44 Tahun 1999 yang pada intinya UU ini memberikan keistimewaan untuk

melaksanakan syari‟at Islam di Aceh.41

Tidak cukup dengan Keistimewaan Aceh, negara juga memberikan otonomi khusus yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 200142 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk menyelenggarakan pemerintahannya. Dengan UU itu pula

masyarakat Aceh diberi kesempatan dalam menjalankan syari‟at Islam dalam

bentuk peraturan perundang-undangan.43 Dalam UU No.18 Tahun 2001

disebutkan bahwa Mahkamah Syar‟iyyah akan melaksanakan syari‟at Islam

yang dituangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Untuk itu telah disahkan pertama-tama sebuah Qanun yaitu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syari‟at Islam.44 Berikutnya lahir sejumlah peraturan perundang-undangan di Aceh dalam bidang pidana Islam, diantaranya:

1. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di

Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam

Jenis dari ketiga bidang ini telah diatur ke dalam UU No. 11 tahun 2002 secara lebih rinci.45 Sedangkan ketentuan pidana yang diatur terhadap

pelanggaran UU ini yaitu berupa hukuman Ta‟zir.46

41

Al Yasa Abu Bakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at Islam, (Banda Aceh:Dinas

Syari‟at Islam Povinsi NAD, 2005) ,h. 60. 42

Sebagaimana disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai pengganti UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang OTSUSNAD

43

Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam.., h. 225

44

Al Yasa Abu Bakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at.. , h. 61.

45

Pasal 4-13 Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.

46


(52)

2. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya Qanun ini menetapkan ketentuan fiqih mengenai minuman khamar yang haram hukumnya. Hukum haram ini berkaitan dengan pengkonsumsian, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusiannya.47 Sanksi bagi pelaku yang mengkonsumsi khamar dan sejenisnya akan dijatuhi hukuman hudud berupa cambuk sebanyak 40 kali.48 Sedang bagi orang yang memproduksi dan mengedarkannya, baik dengan cara menyimpan, menjual dan sebagainya dijatuhi hukuman ta‟zir.49

3. Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Sejenisnya Dalam qanun ini dijelaskan, yang dimaksud dengan maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran.50 Mengenai hukuman atas para pelanggar, Setiap orang yang melakukan judi diancam

dengan „uqubat cambuk paling banyak 12 kali dan paling sedikit 6 kali51

. Sedangkan setiap orang yang berkegiatan atau usaha yang secara sengaja dibuat agar dapat digunakan orang lain untuk melakukan judi, serta pemberian fasilitas dan perlindungan untuk perbuatan judi, baik oleh orang pribadi ataupun badan hukum termasuk pemerintah diancam dengan

hukuman Ta‟zir.52

47

Pasal 5 dan 6 Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya

48

Pasal 26 ayat (1) Qanun No. 12 Tahun 2003

49

Pasal 26 ayat (2) Qanun No. 12 Tahun 2003

50

Ketentuan Umum Pasal 1 angka 20 Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan sejenisnya.

51

Pasal 23 ayat (1) Qanun No. 13 Tahun 2003

52


(53)

4. Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Perbuatan Mesum)

Dalam qanun ini, yang dimaksud dengan khalwat adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.53 Sedangkan mengenai hukumannya, yaitu bagi mereka yang melanggar hukuman ini akan

dikenakan sanksi ta‟zir.54

5. Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat

Dalam penyaluran zakat, Baitul Mal diberi kewenangan untuk menentukan besaran dana yang akan diserahkan kepada masing-masing senif. Tetapi penentuan besaran ini harus berpedoman pada ketentuan yang

telah ditetapkan oleh Dewan Syari‟ah. Sedangkan hukuman atas orang-orang yang melanggar qanun ini yaitu berupa sanksi ta‟zir.55

6. Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal

Seperti yang telah disinggung dalam qanun sebelumnya, badan Baitul Mal mempunyai kewenangan yang salah satunya adalah mengumpulkan, menyalurkan dan mendayagunakan zakat.56 Dalam pengelolaan zakat ada beberapa perbuatan yang dianggap sebagai jarimah ta‟zir dan karena itu hukumannya berupa sanksi ta‟zir.57

Dalam perjalanannya, pemberlakuan hukum pidana Islam di Indonesia mengalami pasang surut. Keberadaanya lebih kental diwarnai nuansa politis dalam artian sangat dipengaruhi oleh intervensi dari golongan yang memiliki

53

Ketentuan Umum Pasal 1 angka 20 Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat.

54

Pasal 22 ayat (1) (2) (3) Qanun No. 14 Tahun 2003

55

Pasal 38, 39, 40, 41, 42, 43 ) Qanun No. 7 Tahun 2004

56

Pasal 8 ayat (1) (2) Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal

57


(1)

26

sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Pemohon dan Pemerintah atau yang mewakili, serta Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Jimly Asshiddiqie ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd.

Moh. Mahfud MD

ttd.

HM. Arsyad Sanusi

ttd.

Muhammad Alim

ttd. H. Harjono

ttd.

H. Abdul Mukthie Fadjar

ttd.

H.A.S. Natabaya

ttd.

I Dewa Gede Palguna

ttd.

Maruarar Siahaan

PANITERA PENGGANTI,

ttd.


(2)

Lampiran Tabel 1

Materi Hukum Pidana Islam yang telah dilegalisasi oleh wilayah Nanggroe Aceh Darussalam

No Tindak Pidana Sanksi Peraturan Pelaksana

1.

Bidang Aqidah Setiap orang yang

menyebarkan paham atau aliran sesat dan orang yang sengaja keluar dari aqidah dan atau menghina atau

melecehkan agama Islam.

Sanksi Ta’zir berupa hukuman penjara maksimal 2 tahun atau Cambuk maksimal 12 kali.1

Qanun No 11 Th 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam

Bidang Ibadah

Setiap orang tanpa uzur syar’i tidak menunaikan solat jum’at.

Sanksi Ta’zir berupa hukuman penjara maksimal 6 bulan atau cambuk maksimal 3 kali.2

Setiap Perusahan

pengangkutan umum yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan solat fardhu.

Sanksi Ta’zir berupa hukuman pencabutan izin usaha.3

1

Pasal 20 ayat (1) (2) Qanun No 11 Tahun 2002

2

Pasal 21 ayat (1) Qanun No 11 Tahun 2002

3


(3)

Setiap orang yang

menyediakan fasilitas/ peluang kepada orang muslim yang tidak ada uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.

Sanksi Ta’zir berupa hukuman penjara maksimal 1 tahun atau denda maksimal 3 juta rupiah atau cambuk maksimal 6 kali atau pencabutan

izin usaha.4 Qanun No 11 Th 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam

Setiap orang yang makan atau minum di tempat umum pada siang hari di bulan Ramadhan.

Sanksi Ta’zir berupa hukuman penjara maksimal 4 bulan atau hukuman cambuk maksimal 2 kali.5 Bidang Syi’ar

Setiap orang yang tidak

berbusana Islami yaitu pakaian yang menutup aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh.

Sanksi Ta’zir setelah melalui proses

peringatan dan pembinaan oleh Wilayatul Hisbah.6

2.

Khamar

Setiap orang yang mengkonsumsi khamar.

Sanksi Hudud berupa hukuman 40 kali cambuk.7

Qanun No 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya Setiap orang/badan

hukum/badan usaha yang membantu dalam dan atau memproduksi, menyediakan,

Sanksi Ta’zir berupa kurungan maksimal 1 tahun,paling singkat 3 bulan,dan atau denda

44

Pasal 22 ayat (1) Qanun No 11 Tahun 2002

5

Pasal 22 ayat (2) Qanun No 11 Tahun 2002

6

Pasal 23 Qanun No 11 Tahun 2002

7


(4)

menjual,memasukkan,mengeda rkan,menyimpan, menimbun, memperdangkan dan

mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya.

maksimal 75 juta, minimal 25 juta.8

3.

Maisir (Perjudian)

Setiap orang yang melakukan perbuatan masir.

Sanksi Ta’zir berupa hukuman cambuk maksimal 12 kali dan minimal 6 kali.9

Qanun No 13 Tahun 2003 tentangMaisir (Perjudian) dan Sejenisnya Setiap orang/badan hukum

/badan usaha yang

menyelenggarakan dan atau memberikan fasilitas kepada orang lain untuk melakukan perbuatan maisir/menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir.

Sanksi Ta’zir berupa denda maksimal 35 juta minimal 15 juta.10

4.

Khalwat (Perbuatan Mesum) Setiap orang yang melakukan (khalwat). Sedang Khalwat/ mesum adalah perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu yang sepi yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual atau yang berpeluang pada tejadinya

Sanksi Ta’zir berupa hukuman cambuk Maksimal 9 kali, paling sedikit 3 kali atau denda maksimal 10 juta minimal 2,5 juta.11

Qanun No 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Perbuatan Mesum)

8

Pasal 26 ayat (2) Qanun No 12 Tahun 2003

9

Pasal 23 ayat (1) Qanun No 13 Tahun 2003 tentang Maisir(Perjudian)dan Sejenisnya

10

Pasal 23 ayat (2) Qanun No 13 Tahun 2003

11


(5)

perbuatan perzinaan.

Setiap orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur pemerintahan dan badan usaha yang memberikan fasilitas kemudahan dan/atau

melindungi orang melakukan khalwat /mesum.

Sanksi Ta’zir berupa hukuman kurungan Maksimal 6 bulan, Paling singkat 2 bulan dan atau denda

Maksimal 15 juta minimal 15 juta.12

5.

Pengelolaan Zakat Setiap orang yang tidak membayar zakat /membayar tapi tidak menurut yang sebenarnya.

Sanksi Ta’zir berupa Denda maksimal 2 kali nilai zakat yang wajib dibayarkan.13 Sanksi Ta’zir berupa

Qanun No 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat Setiap orang yang membuat

surat palsu/memalsukan surat Badan Baitul Mal.

hukuman cambuk Maksimal 3 kali Minimal 1 kali.14 Setiap orang/badan yang

melakukan,

Atau membantu penggelapan zakat.

Sanksi Ta’zir berupa hukuman cambuk Maksimal 3 kali Minimal 1 kali, dan Denda maksimal 2 kali minimal 1 kali dari nilai zakat yang di gelapkan.15

Setiap petugas Baitul Mal yang melakukan penyelewengan zakat.

Sanksi Ta’zir berupa hukuman cambuk Maksimal 4 kali Minimal 2 kali.16

12

Pasal 22 ayat (2) Qanun No 14 Tahun 2003

13

Pasal 37 Qanun No 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat

14

Pasal 38 Qanun No 7 Tahun 2004

15


(6)

6.

Lembaga Baitul Mal

Setiap orang yang memalsukan surat Baitul Mal yang dapat mengakibatkan gugurnya kewajiban membayar zakat.

Sanksi Ta’zir berupa Denda maksimal 3 Juta minimal 1 juta atau hukuman

Kurungan maksimal 3 bulan minimal 1 Bulan.17

Qanun No 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal

setiap orang/badan yang melakukan atau membantu penggelapan zakat.

Sanksi Ta’zir berupa hukuman cambuk Maksimal 3 kali Minimal 1 kali, dan Denda maksimal 2 kali minimal 1 kali dari nilai zakat yang di gelapkan.18

Setiap petugas Baitul Mal yang melakukan penyelewengan zakat.

Sanksi Ta’zir

berupadenda minimal 1 juta maksimal 3 juta atau hukuman

kurungan minimal 2 bulan atau maksimal 6 bulan dan membayar kembali kepada Baitul Mal senilai zakat atau harta agama yang diselewengkan.19

16

Pasal 40 Qanun No 7 Tahun 2004

17

Pasal 51 Qanun No 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal

18

Pasal 52 Qanun No 10 Tahun 2007

19