Pola Perubahan Ruang Semi Perkotaan Dan
Pola Perubahan Ruang Semi Perkotaan
otaan Dan Pengaruhnya Terhadap Hak Tanah
ah Formal dan Informal
Dibuat dalam rangka menyelesaika
aikan tugas perkuliahan Prof. Sugiono Soetomo berupa
be
paper oleh:
Afden Mahyeda
NIM. 21040117410029
Kementerian Agr
graria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasiona
onal
Fakultas Teknik
gister Pembangunan Wilayah dan Kota
Magis
Universitas Diponegoro
Semarang, 2017
nt, urbanisasi, kota urban, sub-urban, pheri-urban, rural-urba
Kata-kunci: sustainable development,
rban, hak tanah formal
Kota adalah konsentrasi kebudayaa
yaan manusia
dan tergambar sebagai puncak peradaban
ban dari suatu
bangsa. Persepsi sebagian masyara
arakat dalam
mendefinisikan arti sebuah kota masihh llebih kearah
kota metropolitan. Dalam arti sebuah wi
wilayah layak
disebut kota jika penduduknya sangat pa
padat dengan
ngkap seperti
ketersediaan infrastruktur yang lengk
Jakarta. Padahal, Pontoh dan Kustiwa
wan (2009:5)
mendifinisikan kota sebagai lokasi deng
dengan jumlah
penduduk yang lebih besar dibandingka
ngkan tempat
lain disekitarnya akibat dari hasi
hasil aktivitas
an
dengan
penduduknya
yang
berhubungan
pemanfaatan lahan non pertanian. Pera
eradaban kota
ng berdimensi
pertama bermula di wilayah subur yang
Cosmic (bersifat agamis), yaitu di lem
embah sungai
Nile, Tigris, dan Euphrat (Sjobeg 1960, 1965 dalam
Potter, 1985).
engemukakan
Soetomo, Sugiono (2002) men
uatu
proses
bahwa
urbanisasi
sebagai
suat
ng merupakan kejadian
perkembangan kota yang
n atau ruang hasil dari
dalam sebuah lingkungan
uk meningkatkan
kemajuan
aktivitas manusia untuk
m
udian disebut sebagai kota
peradabannya yang kemudia
ngunan dan ruang terbuka
dan terdiri atas elemen bang
nnya, baik yang bersifat
sebagai tempat kehidupann
ilikan bersama. Perjalan
pribadi maupun kepemilika
sejarah urbanisasi yang beralih
bera dari dimensi simbol
njadi kekuatan ekonomi
kepercayaan agama menja
cara linear dikelompokkan
pasca revolusi industri secar
oleh Alain Garnier (1985) ke dalam 3 periode:
1. Tahap pertama yang tumbuh dari
yarakat agraris;
pembangunan masya
g tumbuh atas kekuatan
2. Tahap kedua yang
ndustri perkotaan; dan
pembangunan industr
erupakan pembangunan
3. Tahap ketiga mer
aitu pembangunan kota
pasca industri yait
dalam wilayah.
afdenmahyeda
a
1
Pusat perhatian dalam sejarah perkembangan
urbanisasi dimulai saat memasuki abad 21 dimana
terdapat perbedaan pertumbuhan penduduk yang
terjadi pada negara berkembang dengan negara
maju. Pertumbuhan penduduk di negara maju mulai
akhir abad ke 20 selalu mengalami penurunan. Hal
ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan di
negara berkembang yang mengalami peningkatan
yang cukup signifikan. Perkiraan ini pun semakin
menjadi saat prediksi pertumbuhan kota pada tahun
2025 di negara berkembang yang mencapai 486
kota dengan jumlah penduduk diatas satu juta orang
(Harris, 1989 dan Potter, 1998).
Menjadi kota urban mengakibatkan sebuah
negara harus siap terhadap segala ancaman dan
permasalahan yang mungkin timbul. Diantara
permasalahan urbanisasi yang biasa kita jumpai
seperti: Kota raksasa, kepadatan berlebih,
kekurangan sarana dan prasarana, permukiman
kumuh
dan
liar,
kemacetan
lalu-lintas,
berkurangnya tanggung jawab, pengangguran dan
setengah pengangguran, masalah rasial dan sosial,
westernisasi
dan
modernisasi,
kerusakan
lingkungan, perluasan perkotaan dan berkurangnya
lahan pertanian, dan organisasi administrasi (Pontoh
dan Kustiwan, 2009:121). Hal menarik yang kerap
muncul terkait permasalahan urbanisasi yaitu
kemiskinan dan disparitas wilayah (kesenjangan
sosial). Oleh karena itu dibutuhkan suatu alternatif
untuk memecah konsentrasi urbanisasi yang hanya
berpusat di kota besar saja. Pengembangan desa dan
kota-kota kecil dapat menjadi salah satu solusi yang
baik. Dalam usaha pembangunan wilayah tersebut
pun kerap kali diikuti dengan timbulnya
permasalahan baru terutama dalam hal aksesibilitas
antara desa kota dan dalam hal proses perubahan
desa ke kotanya sendiri.
Pendapat mengenai sebuah kota senantiasa
berkembang mengikuti peradaban manusia yang
pada akhirnya kita mengenal konsep pembagian
sebuah wilayah kedalam zona-zona sesuai dengan
pemanfaatan lahannya (konsep garden city) dari
Ebenezer Howard. Namun, dari empat sebab
terbentuknya
masyarakat
perkotaan
yang
dikemukakan oleh Carter (1977, 1983 dalam potter
1998) yaitu: Hydraulic of Environmental-ecological
theses; Economic theory; Military pruposes; dan
Religious theory, Kota-kota pertama di Indonesia
dibentuk sebagai the ruler seat berdasarkan tempat
kekuasaaan dan trading post yang merupakan titiktitik simpul perdagangan (Rutz, 1987).
Fokus permasalahan penulisan ini akan lebih
diarahkan pada permasalahan yang timbul akibat
proses perubahan desa ke kota terutama terkait
tentang perubahan hak tanah pada zona baru yang
biasa disebut dengan daerah semi perkotaan. Yang
mana permasalahan ini tidak hanya terjadi di negara
maju saja, melainkan juga dialami di negara
berkembang seperti di Indonesia. Jenis-jenis daerah
semi perkotaan terbagi atas:
• Daerah
sub-urban
yang
merupakan
perubahan desa ke kota akibat dari eksistensi
penjalaran kota yang dikenal sebagai
pinggiran kota pembentuk kota metropolitan
dengan cakupannya mencapai kota wilayah.
• Daerah pheri-urban yang merupakan
perkembangan kota akibat dari timbulnya
permukiman kota yang terpisah jauh dari
kota induk.
• Daerah rural-urban yang merupakan
perubahan desa ke kota akibat dari
perkembangan maju penduduk desa atas
dukungan potensi wilayahnya.
• Daerah turistik dan permukiman sekunder
yang merupakan perkembangan perkotaan di
pedesaan untuk kebutuhan peristirahatan dan
rekreasi.
afdenmahyeda
2
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
permasalahan utama yang dihadapi oleh kota
sebagai hasil dari urbanisasi yaitu kemiskinan dan
ketimpangan sosial. Salah satu dampak nyata yang
terjadi yaitu ketidakmampuan masyarakat kota
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Rumah
tinggal sebagai indikator status sosial seseorang
yang oleh karena itu saat ini rumah menjadi
kebutuhan paling primer yang diperlukan seseorang
untuk dapat bertahan hidup di perkotaan. Namun,
kondisi akibat urbanisasi dimana hal tersebut
meningkatkan tekanan kebutuhan akan ruang di
perkotaan dan menjadikan perubahan harga lahan
sangat tinggi.
Fenomena kebutuhan terhadap lahan cenderung
terus meningkat yang merupakan resultan dari
perkembangan
ekonomi
dan
pertumbuhan
penduduk. Pada gilirannya hal tersebut akan
melahirkan gejala persaingan penggunaan lahan,
yang sesungguhnya merupakan manifestasi dari
berlakunya hukum permintaan (demand) dan
penawaran (supply). Hal tersebut dapat dipahami,
mengingat lahan merupakan sumberdaya alam yang
amat penting. Hampir semua aspek kehidupan dan
pembangunan, baik langsung maupun tidak
langsung berkaitan dengan permasalahan lahan.
Seiring dengan terjadinya pertumbuhan wilayah
termasuk di dalamnya pertumbuhan kota, kebutuhan
(demand) akan sumberdaya lahan cenderung
meningkat.
Sementara
itu
dilihat
dari
ketersediaannya dalam arti luasan lahan dalam batas
administratif bersifat terbatas (in-elastic). Hal ini
tentunya menjadi sulit dan bahkan tidak mungkin
terjangkau oleh penduduk miskin di perkotaan
untuk mendapatkan rumah yang layak huni di
perkotaan saat ini. Ketidakmampuan pemerintah
untuk menyediakan ruang di perkotaan untuk
masyarakat miskin diperkotaan akibat tuntutan
pasar dan keterbatasan finansial pemerintah,
mengakibatkan solusi yang kemudian diambil yaitu
dengan membangun perumahan di kawasan semi
perkotaan.
Kawasan semi perkotaan seperti di pinggiran
kota Jakarta belakangan ini menjadi pusat perhatian
para pengembang di sektor perumahan. Jarak yang
dekat dari pusat kota, kondisi sarana dan prasarana
transportasi yang cukup, ketersediaan aksesibilitas
yang ramai dan aman serta nyaman dibanding jalur
lain menjadikan sebuah lokasi memiliki daya tarik
yang kuat untuk dijadikan sebagai salah satu pilihan
tempat tinggal (Tarigan, 2006). Seperti kasus
terbaru dalam pembangunan kota baru “Meikarta”,
aksesibilitasnya yang dekat dengan kawasan
industri dan terhubung langsung dengan jalur kereta
cepat Jakarta-Bandung menjadi daya jual paling
tinggi.
Gambar: Tipologi struktur ruang
(Wiegen, 2005 dalam Hadikusna, Iwan, 2017)
Walaupun aksesibilitas tetap menjadi faktor utama
penentu dalam pemilihan lokasi perumahan yang
ditawarkan baik oleh pemerintah maupun pasar
swasta, yang hal ini berdampak nyata pada
perubahan desa ke kota di wilayah semi perkotaan,
namun harga lahan dan faktor-faktor lain seperti
potensi wilayah desa ternyata juga berdampak
langsung terhadap perkembangan kawasan semi
perkotaan.
Namun yang perlu diingat bahwa perkembangan
wilayah semi perkotaan bisa saja diluar kontrol
perencanaan pembangunan wilayah yang secara
tidak langsung dapat berdampak pada menjamurnya
permukiman liar disekitar perkotaan atau biasa
disebut dengan urban sprawl. Oleh karena itu,
dalam upaya untuk menekan laju pertumbuhan
urban sprawl di sekitar kawasan perkotaan,
dibutuhkan suatu pola perubahan ruang di wilayah
semi perkotaan atas daya dukungnya terhadap
kebutuhan tempat tinggal di perkotaan. Yang mana
nantinya dapat dijadikan sebagai bahan dan
masukan dalam pemodelan perencanaan wilayah
yang lebih baik.
Pada dasarnya, proses pembangunan tidak
terlepas dari lahan. Dimana, setiap akan
melaksanakan pembangunan diatas lahan tersebut
seseorang harus terlebih dahulu memiliki hak untuk
membangun. Hal ini dikarenakan pada setiap proses
pembangunan diatas hak tanah privat terdapat hak
publik yang harus diperhatikan. Menurut Zhu,
afdenmahyeda
3
Jieming dan Simarmata, H. Andy (2014), hak atas
tanah dalam pembangunan wilayah kota terbagi atas
hak tanah formal dan hak tanah informal.
A. Hak Tanah Formal
Hak tanah formal didefinisikan sebagai hak atas
tanah untuk dapat melakukan pembangunan di
tanah
tersebut,
contohnya
dapat
berupa
pembangunan perumahan atau industri pertanian,
yang
didasarkan
oleh
peraturan-peraturan
pembangunan terkait melalui prosedur legal. Pada
kasus di Jakarta, permukiman atas tanah formal
terkonsentrasi dipinggiran kota. Faktor yang
mempengaruhi diantaranya yaitu: keterbatasan atau
kelangkaan lahan/tanah di pusat kota; belum adanya
pengaturan kepadatan penduduk yang tinggi;
kurangnya peran pemerintah atas hak tanah
informal; terjadinya urbanisasi yang sangat cepat;
dan Terjadinya fenomena industrialisasi. Adapun
dampak langsung terkait faktor permasalahan
tersebut berupa teritorialisasi hak tanah informal
dan kualitas hidup warga menjadi rendah, bahkan
bisa menjadi lebih buruk.
Ditinjau dari peta persebaran perumahan swasta
diatas, keterkaitan diantara perkembangan wilayah
semi perkotaan dengan hak tanah formal
diasumsikan linear terhadap jarak ke pusat kota.
Dalam artian semakin dekat dengan Jakarta sebagai
pusat kota maka semakin tinggi jumlah ketersediaan
perumahan yang ditawarkan oleh sektor swasta.
Dari asumsi tersebut juga dapat ditarik beberapa
pernyataan bahwa: kawasan sub-urban yang
merupakan kawasan paling dekat dengan pusat kota
memiliki pengaruh utama terhadap perkembangan
wilayah semi perkotaan. Kawasan Pheri-Urban
mejadi tingkat pengaruh kedua. Salah satu
contohnya yaitu kawasan BSD yang dibangun jauh
dari pusat kota Jakarta kini menjadi pusat grafitasi
baru yang mempengaruhi perkembangan wilayah
kota Jakarta. Pada tingkat ketiga, rural-urban basis
dari sektor Industri masih menjadi yang paling
besar seperti wilayah Tanggerang dan Bekasi.
Perkembangan hak formal dari sektor perumahan
disekitar kawasan industri jelas berpengaruh cukup
signifikan karena kawasan industri memiliki gaya
medan magnet yang kuat untuk menarik sektor
permukiman formal disekitarnya. Sedangkan untuk
basis sektor diluar industri seperti pertanian kurang
berpengaruh besar terhadap perkembangan wilayah
semi perkotaan. Hal yang berbeda dialami oleh
perkembangan wilayah daerah turistik, potensi yang
ditawarkan seperti pariwisata di sekitar puncak
Bogor perkembangan hak tanah formal adalah
sedikit. Hal ini dikarenakan regulasi terkait tata
ruang yang menjadikan kawasan tersebut sebagai
kawasan hijau membuat sektor formal tidak telalu
banyak yang berani mengambil resiko. Justru hak
tanah informal yang paling dominan menciptakan
urban sprawl disekitar kawasan hijau puncak
tersebut.
B. Hak Tanah Informal
Hak tanah informal merupakan hak atas tanah
atau areal permukiman di suatu kota yang dihuni
oleh masyarakat sangat miskin dan tidak
mempunyai alat bukti kepemilikan tanah yang sah.
Hak ini menggambarkan wilayah yang dibangun
diatas tanah tersebut adalah liar dan tidak memiliki
izin untuk membangun seperti slum area. Untuk
kasus di Jakarta kondisi hak tanah informal lebih
banyak terjadi dipusat kota. Sehingga pembahasan
mengenai hak tanah informal sedikit dibahas dan
dibatasi hanya untuk daerah rural-urban.
Hak tanah informal yang terjadi dipusat kota
Jakarta seperti yang terjadi di permukiman kumuh
Kampung Muara Baru. Perkembangan permukiman
dengan hak tanah informal tersebut terjadi didaerah
rural-urban disekitar basis kawasan Industri Muara
Baru. Pada kawasan permukiman tersebut, hanya
afdenmahyeda
4
sekitar 15% masyarakatnya yang bekerja pada
sektor formal, selebihnya bekerja di sektor informal
seperti ART, Pedagang kaki lima, Buruh, dan Sopir.
Guru Besar pada Fakultas Teknik, Universitas
Diponegoro, Semarang, 3 Agustus 2002.
Tarigan. 2006. Teori Lokasi -Tarigan, 2006:7.
[Home page of Kompasiana.com] [Online].
Available
at:
http://www.kompasiana.com/harefa14/teorilokasi-ta
rigan-200677_56786777749773aa13c05303. Diakses pada
tanggal 11 Agustus 2017.
Wheeler, S.M. 2014. Planning For Sustainability :
Creating Livable, Equitable, and Ecological
Communities. the USA and Canada: Routledge.
Kesimpulan :
Dari pembahasan diatas dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa pola perkembangan kawasan
semi perkotaan memiliki pengaruh yang nyata
terhadap hak tanah formal dan informal khususnya
di sektor pembangunan permukiman dan
perumahan. Pola tersebut berbeda antar jenis-jenis
daerah semi perkotaan. Selain itu, karakteristik
lingkungan, karakteristik perkotaan, serta privatisasi
daerah semi perkotaan ternyata membawa dampak
yang cukup besar terhadap ketimpangan sosial yang
terjadi di masyarakat.
Zhu, Jieming and Simarmata, Hendricus Andy.
2014. Formal land rights versus informal land
rights: Governance forsustainable urbanization
in the Jakarta metropolitan region, Indonesia.
[Home page of ScienceDirect] [Online].
Available
at:
www.elsevier.com/locate/
landusepol. Diakses pada tanggal 02 Oktober
2017.
Daftar Pustaka
Budihardjo, Eko dan Sujarto, Djoko. 2009. Kota
Berkelanjutan (Sustainable City). Bandung: PT
Alumni.
Pontoh, N.K. dan Kustiwan, Iwan. 2009. Pengantar
Perencanaan Perkotaan. Bandung: Penerbit
ITB.
Soetomo, Sugiono. 2002. “Strategi Desain Ruang
Sub-Urban Dalam Menopang Pembangunan
Yang Berkelanjutan”. Pidato Pengukuh
Disajikan Pada Upacara Penerimaan Jabatan
afdenmahyeda
5
otaan Dan Pengaruhnya Terhadap Hak Tanah
ah Formal dan Informal
Dibuat dalam rangka menyelesaika
aikan tugas perkuliahan Prof. Sugiono Soetomo berupa
be
paper oleh:
Afden Mahyeda
NIM. 21040117410029
Kementerian Agr
graria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasiona
onal
Fakultas Teknik
gister Pembangunan Wilayah dan Kota
Magis
Universitas Diponegoro
Semarang, 2017
nt, urbanisasi, kota urban, sub-urban, pheri-urban, rural-urba
Kata-kunci: sustainable development,
rban, hak tanah formal
Kota adalah konsentrasi kebudayaa
yaan manusia
dan tergambar sebagai puncak peradaban
ban dari suatu
bangsa. Persepsi sebagian masyara
arakat dalam
mendefinisikan arti sebuah kota masihh llebih kearah
kota metropolitan. Dalam arti sebuah wi
wilayah layak
disebut kota jika penduduknya sangat pa
padat dengan
ngkap seperti
ketersediaan infrastruktur yang lengk
Jakarta. Padahal, Pontoh dan Kustiwa
wan (2009:5)
mendifinisikan kota sebagai lokasi deng
dengan jumlah
penduduk yang lebih besar dibandingka
ngkan tempat
lain disekitarnya akibat dari hasi
hasil aktivitas
an
dengan
penduduknya
yang
berhubungan
pemanfaatan lahan non pertanian. Pera
eradaban kota
ng berdimensi
pertama bermula di wilayah subur yang
Cosmic (bersifat agamis), yaitu di lem
embah sungai
Nile, Tigris, dan Euphrat (Sjobeg 1960, 1965 dalam
Potter, 1985).
engemukakan
Soetomo, Sugiono (2002) men
uatu
proses
bahwa
urbanisasi
sebagai
suat
ng merupakan kejadian
perkembangan kota yang
n atau ruang hasil dari
dalam sebuah lingkungan
uk meningkatkan
kemajuan
aktivitas manusia untuk
m
udian disebut sebagai kota
peradabannya yang kemudia
ngunan dan ruang terbuka
dan terdiri atas elemen bang
nnya, baik yang bersifat
sebagai tempat kehidupann
ilikan bersama. Perjalan
pribadi maupun kepemilika
sejarah urbanisasi yang beralih
bera dari dimensi simbol
njadi kekuatan ekonomi
kepercayaan agama menja
cara linear dikelompokkan
pasca revolusi industri secar
oleh Alain Garnier (1985) ke dalam 3 periode:
1. Tahap pertama yang tumbuh dari
yarakat agraris;
pembangunan masya
g tumbuh atas kekuatan
2. Tahap kedua yang
ndustri perkotaan; dan
pembangunan industr
erupakan pembangunan
3. Tahap ketiga mer
aitu pembangunan kota
pasca industri yait
dalam wilayah.
afdenmahyeda
a
1
Pusat perhatian dalam sejarah perkembangan
urbanisasi dimulai saat memasuki abad 21 dimana
terdapat perbedaan pertumbuhan penduduk yang
terjadi pada negara berkembang dengan negara
maju. Pertumbuhan penduduk di negara maju mulai
akhir abad ke 20 selalu mengalami penurunan. Hal
ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan di
negara berkembang yang mengalami peningkatan
yang cukup signifikan. Perkiraan ini pun semakin
menjadi saat prediksi pertumbuhan kota pada tahun
2025 di negara berkembang yang mencapai 486
kota dengan jumlah penduduk diatas satu juta orang
(Harris, 1989 dan Potter, 1998).
Menjadi kota urban mengakibatkan sebuah
negara harus siap terhadap segala ancaman dan
permasalahan yang mungkin timbul. Diantara
permasalahan urbanisasi yang biasa kita jumpai
seperti: Kota raksasa, kepadatan berlebih,
kekurangan sarana dan prasarana, permukiman
kumuh
dan
liar,
kemacetan
lalu-lintas,
berkurangnya tanggung jawab, pengangguran dan
setengah pengangguran, masalah rasial dan sosial,
westernisasi
dan
modernisasi,
kerusakan
lingkungan, perluasan perkotaan dan berkurangnya
lahan pertanian, dan organisasi administrasi (Pontoh
dan Kustiwan, 2009:121). Hal menarik yang kerap
muncul terkait permasalahan urbanisasi yaitu
kemiskinan dan disparitas wilayah (kesenjangan
sosial). Oleh karena itu dibutuhkan suatu alternatif
untuk memecah konsentrasi urbanisasi yang hanya
berpusat di kota besar saja. Pengembangan desa dan
kota-kota kecil dapat menjadi salah satu solusi yang
baik. Dalam usaha pembangunan wilayah tersebut
pun kerap kali diikuti dengan timbulnya
permasalahan baru terutama dalam hal aksesibilitas
antara desa kota dan dalam hal proses perubahan
desa ke kotanya sendiri.
Pendapat mengenai sebuah kota senantiasa
berkembang mengikuti peradaban manusia yang
pada akhirnya kita mengenal konsep pembagian
sebuah wilayah kedalam zona-zona sesuai dengan
pemanfaatan lahannya (konsep garden city) dari
Ebenezer Howard. Namun, dari empat sebab
terbentuknya
masyarakat
perkotaan
yang
dikemukakan oleh Carter (1977, 1983 dalam potter
1998) yaitu: Hydraulic of Environmental-ecological
theses; Economic theory; Military pruposes; dan
Religious theory, Kota-kota pertama di Indonesia
dibentuk sebagai the ruler seat berdasarkan tempat
kekuasaaan dan trading post yang merupakan titiktitik simpul perdagangan (Rutz, 1987).
Fokus permasalahan penulisan ini akan lebih
diarahkan pada permasalahan yang timbul akibat
proses perubahan desa ke kota terutama terkait
tentang perubahan hak tanah pada zona baru yang
biasa disebut dengan daerah semi perkotaan. Yang
mana permasalahan ini tidak hanya terjadi di negara
maju saja, melainkan juga dialami di negara
berkembang seperti di Indonesia. Jenis-jenis daerah
semi perkotaan terbagi atas:
• Daerah
sub-urban
yang
merupakan
perubahan desa ke kota akibat dari eksistensi
penjalaran kota yang dikenal sebagai
pinggiran kota pembentuk kota metropolitan
dengan cakupannya mencapai kota wilayah.
• Daerah pheri-urban yang merupakan
perkembangan kota akibat dari timbulnya
permukiman kota yang terpisah jauh dari
kota induk.
• Daerah rural-urban yang merupakan
perubahan desa ke kota akibat dari
perkembangan maju penduduk desa atas
dukungan potensi wilayahnya.
• Daerah turistik dan permukiman sekunder
yang merupakan perkembangan perkotaan di
pedesaan untuk kebutuhan peristirahatan dan
rekreasi.
afdenmahyeda
2
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
permasalahan utama yang dihadapi oleh kota
sebagai hasil dari urbanisasi yaitu kemiskinan dan
ketimpangan sosial. Salah satu dampak nyata yang
terjadi yaitu ketidakmampuan masyarakat kota
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Rumah
tinggal sebagai indikator status sosial seseorang
yang oleh karena itu saat ini rumah menjadi
kebutuhan paling primer yang diperlukan seseorang
untuk dapat bertahan hidup di perkotaan. Namun,
kondisi akibat urbanisasi dimana hal tersebut
meningkatkan tekanan kebutuhan akan ruang di
perkotaan dan menjadikan perubahan harga lahan
sangat tinggi.
Fenomena kebutuhan terhadap lahan cenderung
terus meningkat yang merupakan resultan dari
perkembangan
ekonomi
dan
pertumbuhan
penduduk. Pada gilirannya hal tersebut akan
melahirkan gejala persaingan penggunaan lahan,
yang sesungguhnya merupakan manifestasi dari
berlakunya hukum permintaan (demand) dan
penawaran (supply). Hal tersebut dapat dipahami,
mengingat lahan merupakan sumberdaya alam yang
amat penting. Hampir semua aspek kehidupan dan
pembangunan, baik langsung maupun tidak
langsung berkaitan dengan permasalahan lahan.
Seiring dengan terjadinya pertumbuhan wilayah
termasuk di dalamnya pertumbuhan kota, kebutuhan
(demand) akan sumberdaya lahan cenderung
meningkat.
Sementara
itu
dilihat
dari
ketersediaannya dalam arti luasan lahan dalam batas
administratif bersifat terbatas (in-elastic). Hal ini
tentunya menjadi sulit dan bahkan tidak mungkin
terjangkau oleh penduduk miskin di perkotaan
untuk mendapatkan rumah yang layak huni di
perkotaan saat ini. Ketidakmampuan pemerintah
untuk menyediakan ruang di perkotaan untuk
masyarakat miskin diperkotaan akibat tuntutan
pasar dan keterbatasan finansial pemerintah,
mengakibatkan solusi yang kemudian diambil yaitu
dengan membangun perumahan di kawasan semi
perkotaan.
Kawasan semi perkotaan seperti di pinggiran
kota Jakarta belakangan ini menjadi pusat perhatian
para pengembang di sektor perumahan. Jarak yang
dekat dari pusat kota, kondisi sarana dan prasarana
transportasi yang cukup, ketersediaan aksesibilitas
yang ramai dan aman serta nyaman dibanding jalur
lain menjadikan sebuah lokasi memiliki daya tarik
yang kuat untuk dijadikan sebagai salah satu pilihan
tempat tinggal (Tarigan, 2006). Seperti kasus
terbaru dalam pembangunan kota baru “Meikarta”,
aksesibilitasnya yang dekat dengan kawasan
industri dan terhubung langsung dengan jalur kereta
cepat Jakarta-Bandung menjadi daya jual paling
tinggi.
Gambar: Tipologi struktur ruang
(Wiegen, 2005 dalam Hadikusna, Iwan, 2017)
Walaupun aksesibilitas tetap menjadi faktor utama
penentu dalam pemilihan lokasi perumahan yang
ditawarkan baik oleh pemerintah maupun pasar
swasta, yang hal ini berdampak nyata pada
perubahan desa ke kota di wilayah semi perkotaan,
namun harga lahan dan faktor-faktor lain seperti
potensi wilayah desa ternyata juga berdampak
langsung terhadap perkembangan kawasan semi
perkotaan.
Namun yang perlu diingat bahwa perkembangan
wilayah semi perkotaan bisa saja diluar kontrol
perencanaan pembangunan wilayah yang secara
tidak langsung dapat berdampak pada menjamurnya
permukiman liar disekitar perkotaan atau biasa
disebut dengan urban sprawl. Oleh karena itu,
dalam upaya untuk menekan laju pertumbuhan
urban sprawl di sekitar kawasan perkotaan,
dibutuhkan suatu pola perubahan ruang di wilayah
semi perkotaan atas daya dukungnya terhadap
kebutuhan tempat tinggal di perkotaan. Yang mana
nantinya dapat dijadikan sebagai bahan dan
masukan dalam pemodelan perencanaan wilayah
yang lebih baik.
Pada dasarnya, proses pembangunan tidak
terlepas dari lahan. Dimana, setiap akan
melaksanakan pembangunan diatas lahan tersebut
seseorang harus terlebih dahulu memiliki hak untuk
membangun. Hal ini dikarenakan pada setiap proses
pembangunan diatas hak tanah privat terdapat hak
publik yang harus diperhatikan. Menurut Zhu,
afdenmahyeda
3
Jieming dan Simarmata, H. Andy (2014), hak atas
tanah dalam pembangunan wilayah kota terbagi atas
hak tanah formal dan hak tanah informal.
A. Hak Tanah Formal
Hak tanah formal didefinisikan sebagai hak atas
tanah untuk dapat melakukan pembangunan di
tanah
tersebut,
contohnya
dapat
berupa
pembangunan perumahan atau industri pertanian,
yang
didasarkan
oleh
peraturan-peraturan
pembangunan terkait melalui prosedur legal. Pada
kasus di Jakarta, permukiman atas tanah formal
terkonsentrasi dipinggiran kota. Faktor yang
mempengaruhi diantaranya yaitu: keterbatasan atau
kelangkaan lahan/tanah di pusat kota; belum adanya
pengaturan kepadatan penduduk yang tinggi;
kurangnya peran pemerintah atas hak tanah
informal; terjadinya urbanisasi yang sangat cepat;
dan Terjadinya fenomena industrialisasi. Adapun
dampak langsung terkait faktor permasalahan
tersebut berupa teritorialisasi hak tanah informal
dan kualitas hidup warga menjadi rendah, bahkan
bisa menjadi lebih buruk.
Ditinjau dari peta persebaran perumahan swasta
diatas, keterkaitan diantara perkembangan wilayah
semi perkotaan dengan hak tanah formal
diasumsikan linear terhadap jarak ke pusat kota.
Dalam artian semakin dekat dengan Jakarta sebagai
pusat kota maka semakin tinggi jumlah ketersediaan
perumahan yang ditawarkan oleh sektor swasta.
Dari asumsi tersebut juga dapat ditarik beberapa
pernyataan bahwa: kawasan sub-urban yang
merupakan kawasan paling dekat dengan pusat kota
memiliki pengaruh utama terhadap perkembangan
wilayah semi perkotaan. Kawasan Pheri-Urban
mejadi tingkat pengaruh kedua. Salah satu
contohnya yaitu kawasan BSD yang dibangun jauh
dari pusat kota Jakarta kini menjadi pusat grafitasi
baru yang mempengaruhi perkembangan wilayah
kota Jakarta. Pada tingkat ketiga, rural-urban basis
dari sektor Industri masih menjadi yang paling
besar seperti wilayah Tanggerang dan Bekasi.
Perkembangan hak formal dari sektor perumahan
disekitar kawasan industri jelas berpengaruh cukup
signifikan karena kawasan industri memiliki gaya
medan magnet yang kuat untuk menarik sektor
permukiman formal disekitarnya. Sedangkan untuk
basis sektor diluar industri seperti pertanian kurang
berpengaruh besar terhadap perkembangan wilayah
semi perkotaan. Hal yang berbeda dialami oleh
perkembangan wilayah daerah turistik, potensi yang
ditawarkan seperti pariwisata di sekitar puncak
Bogor perkembangan hak tanah formal adalah
sedikit. Hal ini dikarenakan regulasi terkait tata
ruang yang menjadikan kawasan tersebut sebagai
kawasan hijau membuat sektor formal tidak telalu
banyak yang berani mengambil resiko. Justru hak
tanah informal yang paling dominan menciptakan
urban sprawl disekitar kawasan hijau puncak
tersebut.
B. Hak Tanah Informal
Hak tanah informal merupakan hak atas tanah
atau areal permukiman di suatu kota yang dihuni
oleh masyarakat sangat miskin dan tidak
mempunyai alat bukti kepemilikan tanah yang sah.
Hak ini menggambarkan wilayah yang dibangun
diatas tanah tersebut adalah liar dan tidak memiliki
izin untuk membangun seperti slum area. Untuk
kasus di Jakarta kondisi hak tanah informal lebih
banyak terjadi dipusat kota. Sehingga pembahasan
mengenai hak tanah informal sedikit dibahas dan
dibatasi hanya untuk daerah rural-urban.
Hak tanah informal yang terjadi dipusat kota
Jakarta seperti yang terjadi di permukiman kumuh
Kampung Muara Baru. Perkembangan permukiman
dengan hak tanah informal tersebut terjadi didaerah
rural-urban disekitar basis kawasan Industri Muara
Baru. Pada kawasan permukiman tersebut, hanya
afdenmahyeda
4
sekitar 15% masyarakatnya yang bekerja pada
sektor formal, selebihnya bekerja di sektor informal
seperti ART, Pedagang kaki lima, Buruh, dan Sopir.
Guru Besar pada Fakultas Teknik, Universitas
Diponegoro, Semarang, 3 Agustus 2002.
Tarigan. 2006. Teori Lokasi -Tarigan, 2006:7.
[Home page of Kompasiana.com] [Online].
Available
at:
http://www.kompasiana.com/harefa14/teorilokasi-ta
rigan-200677_56786777749773aa13c05303. Diakses pada
tanggal 11 Agustus 2017.
Wheeler, S.M. 2014. Planning For Sustainability :
Creating Livable, Equitable, and Ecological
Communities. the USA and Canada: Routledge.
Kesimpulan :
Dari pembahasan diatas dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa pola perkembangan kawasan
semi perkotaan memiliki pengaruh yang nyata
terhadap hak tanah formal dan informal khususnya
di sektor pembangunan permukiman dan
perumahan. Pola tersebut berbeda antar jenis-jenis
daerah semi perkotaan. Selain itu, karakteristik
lingkungan, karakteristik perkotaan, serta privatisasi
daerah semi perkotaan ternyata membawa dampak
yang cukup besar terhadap ketimpangan sosial yang
terjadi di masyarakat.
Zhu, Jieming and Simarmata, Hendricus Andy.
2014. Formal land rights versus informal land
rights: Governance forsustainable urbanization
in the Jakarta metropolitan region, Indonesia.
[Home page of ScienceDirect] [Online].
Available
at:
www.elsevier.com/locate/
landusepol. Diakses pada tanggal 02 Oktober
2017.
Daftar Pustaka
Budihardjo, Eko dan Sujarto, Djoko. 2009. Kota
Berkelanjutan (Sustainable City). Bandung: PT
Alumni.
Pontoh, N.K. dan Kustiwan, Iwan. 2009. Pengantar
Perencanaan Perkotaan. Bandung: Penerbit
ITB.
Soetomo, Sugiono. 2002. “Strategi Desain Ruang
Sub-Urban Dalam Menopang Pembangunan
Yang Berkelanjutan”. Pidato Pengukuh
Disajikan Pada Upacara Penerimaan Jabatan
afdenmahyeda
5