BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian - Peran Identitas Etnis Dalam Komunikasi Antarbudaya Pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Kota Medan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

  Secara sadar atau tidak setiap orang memiliki cara pandang terhadap suatu hal atau peristiwa. Begitu juga seorang peneliti dalam dirinya tentu memiliki cara pandang atau sudut pandangnya terhadap penelitian yang dilakukan. Berdasarkan asumsi-asumsi yang telah didapatkan oleh peneliti sangat wajar peneliti memiliki cara pandang, kerangka pemikiran sendiri yang sering disebut perspektif atau ada juga yang menyebutnya paradigma.

  Perspektif sering juga disebut paradigma (paradigm), bahkan disebut pula mazhab pemikiran (school of thought) atau teori. Istilah-istilah lain yang sering diidentikkan dengan perspektif adalah model, pendekatan, strategi intelektual, kerangka konseptual, kerangka pemikiran, dan pandangan dunia atau worldview (Mulyana, 2001 :8-9). Perspektif mempengaruhi apa yang dilihat dan bagaimana menafsirkannya. Pada dasarnya penelitian dilakukan dengan upaya mengejar, menemukan atau membenarkan suatu kebenaran. Upaya-upaya yang dilakukan oleh para peneliti dibarengi dengan model-model tertentu. Model-model tertentu biasanya disebut dengan paradigma (Moleong, 2009 :30 ). Paradigma merupakan suatu cara pandang untuk dapat memahami kerumitan dalam dunia nyata. Paradigma dapat ditafsirkan berbagai macam sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang.

  Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajarai, pernyataan- pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya (Salim, 2001:33). Paradigma bagaikan sebuah jendela untuk mengamati menjelajahi dunia luar dengan wawasan yang dimiliki. Paradigma juga dapat diartikan sebagai kepercayaan yang menuntun seseorang dalam bertindak dikehidupan sehari-hari. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma interpretatif dengan pendekatan kualitatif. Paradigma ini sedikit mengkritik tentang paradigma sebelumnya yaitu positivisme dan post-positivis. Dimana kedua paradigma tersebut merupakan paham yang kurang sesuai dalam mengunggkap kejadian di dunia. Paradigma positivisme dan post-positivisme dianggap terlalu umum dan tidak dapat menangkap kerumitan yang terjadi dalam interaksi manusia.

  Paradigma interpretatif mencoba memahami bagaimana menangkap pemaknaan melalui interaksi. Interpretatif mendekati dunia dan pengetahuan dengan cara sangat berbeda dibandingkan dengan post-positivis. Pendekatan ini fokus pada sifat subjektif dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir yang sedang dipelajarinya. Pandangan kalangan interpretatif menolak orang-orang yang selalu memiliki berpegangan (realis) terhadap dunia sosial. Mereka lebih mendukung pandangan nominalis atau lebih sering kepada konstruksionisme sosial.

  Paradigma interpretif mulai unggul dan dikenal sekitar tahun 1980-an. Para peneliti yang menggunakan paradigma ini berasumsi bahwa realitas eksternal tidak hanya dari manusia tapi juga manusia mengkonstruksikan realitas tersebut.

  Pengalaman manusia juga termasuk komunikasi, bersifat subjektif dan perilaku manusia tidak ditetapkan sebelumnya ataupun diramalkan. Tujuan dari penelitian komunikasi antabudaya dengan pendekatan ini adalah untuk mengerti dan menjelaskan perilaku manusia dan prediksi bukanlah menjadi tujuan ( Martin & Thomas, 2007: 56). Lebih jelas dinyatakan oleh Guba (1990) yaitu realitas sosial hadir dalam beragam dalam bentuk konstruksi mental, berdasar pada situasi sosial dan pengalamannya, bersifat lokal dan spesifik, kemudian bentuk dan formatnya bergantung pada orang yang menjalaninya (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 138).

  Interpretatif menyoroti gagasan bahwa realitas tidak akan bisa dimengerti tanpa adanya pertimbangan proses sosial dan mental yang terus menerus membangun realitas tersebut. Paradigma ini juga mengatakan tidak ada hukum atau peraturan yang bersifat menyeluruh (universal), dan segala yang ada dalam realitas bukanlah kausal atau hukum sebab-akibat. Realitas diciptakan secara sosial dan pemahaman akan realitas itu dapat ditemukan dari pandangan pelaku realitas.

  Penelitian interpretif menempatkan subjektivitas sebagai hal terpenting. Bertujuan memperoleh pemahaman yang mendalam maka subjektivitas peneliti harus digali sedalam mungkin. Untuk mendapatkan pemahaman tersebut peneliti mencoba menghilangkan jarak dengan yang diteliti. Bukan hanya interaksi bahkan peneliti memasukkan dirinya kedalam setting sosial, dengan penggabungan

  

interview dan observasi di lapangan. Peneliti juga harus memperkecil pengaruh

nilai-nilai dalam proses penelitian.

  Menurut Littlejohn dalam Rahrdjo, gagasan interpretif, yaitu pemikiran- pemikiran teoritik yang berusaha menemukan makna dari suatu tindakan dan teks (Rahardjo, 2005:41). Teori-teori dari genre interpretif berusaha menjelaskan suatu proses dimana pemahaman terjadi dan membuat perbedaan yang tajam antara pemahaman dengan penjelasan ilmiah. Tujuan dari interpretif bukan untuk menemukan hukum yang mengatur kejadian, tetapi berusaha mengungkap cara- cara yang dilakukan orang dalam memahami pengalaman mereka sendiri (Rahardjo, 2005:41).

  Interpretif menekankan bahwa identitas bisa dirundingkan, dibentuk kembali, diperkuat dan dijalani melalui komunikasi, sehingga identitas etnis muncul ketika pesan saling dipertukaran. Ini artinya menunjukkan identitas kita bukanlah sebuah proses yang sederhana. Tidak setiap orang melihat sebagaimana kita melihat diri sendiri. Paradigma ini beranggapan bahwa identitas etnis diekspresikan secara komunikatif melalui core symbols , label, dan norma. Core

  

Symbols (nilai budaya) memberitahukan tentang kepercayaan fundamental dan

  konsep sentral yang memberi definisi identitas tertentu, yang dibagikan di antara anggota kelompok budaya.

  Menurut paradigma interpretatif pengetahuan dan pemikiran awam berisikan makna yang diberikan individu bedasarkan pengalaman kehidupan sehari-hari. Maka melalui paradigma ini tentunya agar bisa memahami bagaimana peran identitas etnis dalam komunikasi antarbudaya pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Kota Medan. Secara operasional, pendekatan interpretif akan dipakai sebagai landasan berpikir dengan pertimbangan bahwa permasalah identitas etnis dalam komunikasi anatarbudaya merupakan hal yang dirasakan dan dialami secara subjektif oleh setiap individu atau subjek penelitian nantinya.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Komunikasi Antar Budaya

  Secara sederhana komunikasi adalah sebuah proses penyampaian pesan atau simbol. Sedangkan budaya berasal dari kata buddhi, yang artinya budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal yang berkaitan dengan budi atau akal (Lubis, 2012: 10). Komunikasi antarbudaya tidak terlepas dari faktor-faktor budaya yang melekat pada diri individu. Budaya merupakan suatu pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks, abstrak dan luas. Dalam filsafat Hindu, akal budi melibatkan seluruh unsur panca indera, baik dalam kegaitan pikiran (kognitif), perasaan (afektif), maupun perilaku (psikomotorik). Kata lain yang juga memiliki makna yang sama dengan budaya adalah ’kultur’ yang berasal dari Romawi. Kultur merupakan hasil penciptaan, perasaan dan prakarsa manusia berupa karya yang bersifat fisik maupun nonfisik (Purwasito, 2003: 95).

  Komunikasi antarbudaya (interculture) pertama kali dikenalkan pada tahun 1959 oleh Edward T Hall yang merupakan seorang antropolog dalam bukunya The Silent Language. Karyanya tersebut menerangkan keberadaan konsep-konsep unsur kebudayaan seperti sistem ekonomi, religi, sistem pengetahuan. Setahun setelah itu, tepatnya tahun 1960 hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses barulah dijelaskan oleh David K. Berlo. Melalui tulisannya Berlo mengatakan proses komunikasi akan berhasil dengan memperhatikan faktor-faktor seperti SMCR, source, message, channel dan

  

receiver . Pada source dan receiver yang paling diperhatikan adalah kemampuan

  berkomunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial, dan kebudayaan. Untuk

  

message sangat perlu diperhatikan isi pesan maupun perlambangan, sedangkan

channel tergantung saluran apa yang dipilih misalnya menggunakan panca indera

  (Liiweri, 2001: 1-2).

  Tindakan komunikasi berasal dari konsep kebudayaan. Kontribusi latarbelakang kebudayaan dinilai sangat penting pada perilaku komunikasi seseorang dalam memahami makna-makna terhadap komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda. Komunikasi antar dua orang atau lebih yang berbeda latarbelakang budaya itu dikenal sebagai komunikasi antarbudaya. Secara kompleks komunikasi antarbudaya dipahami sebagai proses komunikasi pernyataan diri antar pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya (Liliweri, 2004: 10).

  Menambah pernyataannya itu Liliweri (2004) mengartikan komunikasi antarbudaya dalam beberapa pernyataan, yaitu :

  1. Komunikasi antarbudaya adalah pernyataan antarpribadi yang berbeda latarbelakang.

  2. Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran pesan secara lisan, tertulis, bahkan imajiner orang-orang yang berbeda latarbelakang.

  3. Komunikasi antarbudaya merupakan pembagian pesan dalam bentuk informasi atau hiburan yang disampaikan secara lian atau pun tulisan.

  4. Komunikasi antarbudaya adalah pengalihan informasi dari orang yang berbeda kebudayaan.

  5. Komunikasi antarbudaya antarbudaya merupakan pertukaran simbol antar orang yang berbeda budaya.

  6. Komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan dengan saluran tertentu dari peserta komunikasi yang berbeda latarbelakang kebudayaan dan mengasilkan efek.

  7. Komunikasi antarbudaya adalah proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan oarang-orang yang berbeda latar belakang budaya (Liliweri, 2004: 9-10). Menurut Porter dan Samovar (1985), dalam mengkaji komunikasi antarbudaya perlu pemahaman antara kebudayaan dengan komunikasi. Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu:

  1. Komunikasi antar budaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.

  2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi.

  3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi.

  4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian.

  5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan.

  6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2004: 15).

  Komunikasi dan budaya tidak dapat dipisahkan, satu-kesatuan bagaikan dua sisi keping uang logam. Komunikasi dan budaya sama-sama saling melengkapi, tanpa komunikasi budaya tidak dapat tersampaikan. Budaya juga dapat mempengaruhi komunikasi seseorang. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Kebudayaan memiliki sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol komunikasi. Selain itu dengan komunikasilah pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan dan kebudayaan eksis jika ada komunikasi.

  Menurut Porter dan Samovar (1985), agar dapat mengkaji komunikasi antarbudaya perlu pemahaman hubungan antara kebudayaan dengan komunikasi. Melalui pengaruh budayalah manusia belajar dalam hal komunikasi serta bagaimana manusia memandang dunia mereka. Dalam hal ini mereka memandang dunia melalui kategori-kategori, konsep, dan label yang dihasilkan oleh budaya mereka. Kemiripan budaya dalam berbagai pandangan memungkinkan adanya pemberian makna yang bisa mirip pula terhadap suatu peristiwa. Cara manusia berkomunikasi, keadaan-keadaan komunikasi, bahasa, serta gaya bahasa, perilaku non verbal merupakan respon terhadap fungsi budaya (Liliweri, 2001: 160).

  Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi, bagaimana makna, pola-pola tindakan, dan bagaimana makna serta pola-pola itu diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan lingkungan teknologi yang melibtakan interaksi antarmanusia (Liliweri, 2004:10).

  Young Yun Kim dalam Rahardjo mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, hal yang membedakannya komunikasi antarbudaya dengan kajian keilmuan lainnya yaitu tingkat perbedaan yang realtif tinggi pada latarbelakang pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi karena adanya perbedaan kutural. Selanjutnya Kim juga berasumsi yang menjadi dasar batasan tentang komunikasi anatarbudaya adalah individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan (homogenitas) dalam keseluruhan latarbelakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Rahardjo, 2005: 52-53).

  Proses komunikasi dan kebudayaan, terletak pada keberagaman langkah dan cara berkomunikasi atas kelompok manusia. Steward L.Tubbs dan Sylvia Moss (1983) menyatakan komunikasi antarbudaya terjadi antara orang-orang yang memiliki budaya yang berbeda (ras, etnik, sosio, ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan itu (Lubis, 2012: 13). Komunikasi antarbudaya dalam konteks ini merujuk pada komunikasi antaretnis, dengan sub-sub budayanya. Peserta komunikasi berasal dari kelompok-kelompok etnis yang berbeda. Sub-sub budaya ini menunjuk kepada kelompok masyarakat atau komunitas sosial, etnis, regional, ekonomis, yang menunjukkan pola-pola tingkah laku dengan ciri khas tertentu dan memadai untuk dapat dibedakan dari kelompok-kelompok masyarakat yang lain dalam satu kesatuan budaya atau masyarakat.

  Budaya dan komunikasi dalam prosesnya berjalan secara erat dan dinamis. Menurut Alfred G. Smith, budaya merupakan kode yang dipelajari dan dibutuhkan untuk berkomunikasi. Sebaliknya komunikasi membutuhkan pengkodean. Selain itu, Godwin C. Chu mengatakan setiap pola budaya dan tindakan melibatkan komunikasi, dengan demikian untuk memahaminya komunikasi dan budaya haruslah dipelajari (Mulyana, 2000: 14).

  Perbedaan budaya menentukan keberlangsungan proses komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya pada umumnya membahas perbedaan- perbedaan karakteristik yang dibawa peserta komunikasi. Ada lima karakteristik penting dari kebudayaan menurut Samovar dan Porter (2003: 8-11) yaitu : 1) budaya itu dipelajari, 2) budaya itu simbol (verbal dan tidak verbal), 3) budaya itu tumbuh serta berubah dari satu generasi ke generasi berikutnya, 4) budaya dapat

  Lubis, 2012: 13).

  Seluruh sikap, perilaku, dan tindakan merupakan suatu proses komunikasi manusia. Manusia berkomunikasi melalui pertukaran ide-ide, gagasan, maksud, 1 emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain adalah manusia

  Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yangg mutlak (unggul) dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan lain. yang berinteraksi sosial. Menurut Mehrabian (1972), 55% komunikasi manusia dinyatakan dalam simbol non verbal, kemudian dalam simbol verbal yaitu 38% melalui nada suara, dan 7% komunikasi yang efektif dinyatakan melalui kata-kata (Liliweri, 2004: 6).

2.2.1.1 Interaksi Simbolik

  Komunikasi verbal maupun non verbal yang terjadi dalam proses komunikasi antarbudaya terkandung dalam teori interaksi simbolik. Interaksi sombolik ini dipengaruhi oleh Max Weber. Weber mendefenisikan tindakan sosial sebagai perilaku manusia saat individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Menurut Weber tindakan manusia pada dasarnya bermakna, melibatkan penafsiran, berpikir dan kesengajaan. Bagi Weber masyarakat merupakan suatu wujud yang aktif, terdiri dari individu-individu berpikir dan melakukan tindakan sosial yang bermakna. Perilaku mereka yang tampak hanyalah sebagian dari keseluruhan tindakan mereka. Itulah mengapa pendekatan ilmu alam hanya mempertimbangakan gejala yang tampak dan mengabaikan kekuatan yang tersembunyi seperti emosi, gagasan, maksud, motif, perasaan, maupun tekad yang juga menggerakkan manusia (Mulyana, 2001: 60- 61).

  Ada beberapa ahli perintis teori interkasi simbolik, namun hanya Goerge Herbet Mead yang paling populer. Mead mengembangkan teori ini sekitar tahun 1920-an dan 1930-an ketika menjadi Profesor di Universitas Chicago (Mulyana, 2001: 68). Esensi teori ini ciri khas manusia adalah komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Interaksi simbolik memahami perilaku manusia secara subjektif. Perspektif teori ini menyarankan untuk melihat proses manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspetasi orang lain saat berinterkasi.

  Interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjektivitas. Perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk serta mempertimbangkan ekspektasi orang lain saat berinteraksi. Apa yang mereka berikan kepada orang lain, mereka jugalah yang menentukan perilakunya dengan orang lain bahkan dengan diri sendiri. Perilaku mereka tidak bisa digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau tuntutan peran.

  Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan siri khas manusia, seperti komunikasi dan pertukaran simbol yang diberi makna. Selain interaski simbolik Mazhab Iowa dan Mazhab Chicago juga termasuk dalam pendekatan ini. Meski mengacu pada prinsip dasar pemikiran teori interaksi simbolik, aliran Iowa yang dikembangkan Manford H. Kuhn ini banyak menganut tradisi epistemologi dan metode post-positivis (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 135). Kuhn menggunakan hukum positivistik yaitu untuk menemukan hukum yang universal. Pendekatan Kuhn dikenal dengan self thory atau teori diri yang bersifat struktural. Kuhn berpandangan bahwa inividu merencanakan tindakannya berdasarkan peran yang mereka mainkan dan status yang dimiliki dalam kelompoknya (Mulyana, 2001: 69).

  Karya Mead (1943) yang paling terkenal berjudul Mind, Self, dan Society. Ketiga hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain dalm interaksi simbolik. Melalui pikiran (mind) dan interaksi sosial (self) yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) dimana individu tersebut hidup. Seperti yang dicatat oleh douglas (1970) makna berasal dari interaksi dan tidak dari catatan yang lain, pada saat yang sama pikiran dan diri timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan penelaah teoritis dalam teori interaksi sombolik. Selanjutnya Hoisten dan Gubrium dalam Miller (2002), menjelaskan dalam ringkasannya seperti berikut :

  “Teori interaksionisme simbolik berorientasi pada prinsip bahwa orang- orang merespon makna yang mereka bangun sejauh mereka berinteraksi satu sam lain. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia juga menjadi instrumen penting dalam produksi budaya, masyarakat dan hubungan yang bermakna yang mempengaruhi mereka” (Ardianto dan Q- Anees, 2007: 136).

  Menurut teoritis interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol” (Mulyana, 2001: 71). Komunikasi melibatkan proses verbal dan nonverbal. Komunikaasi verbal adalah proses penyampaian makna secara lisan atau tulisan yaitu berupa kata, frase atau kalimat yang diucapkan dan didengar. Komunikasi nonverbal adalah proses yang dijalani seseorang saat menyampaikan makna dengan isyarat nonverbal yang akan dimaknai oleh orang lain. Proses nonverbal meliputi isyarat, ekspresi wajah, kontak mata, postur dan gerakan tubuh sentuhan, pakaian, artefak, diam, temporalitas dan ciri paralinguistik (Mulyana, 2001; 79).

  Proses verbal dan nonverbal dalam komunikasi sama pentingya, apalagi untuk komunikasi antarbudaya. Proses verbal yang terlihat atau terdengar secara langsung memudahkan untuk seseorang untuk menangkap makna. Memungkinkan untuk merekam dan menyimpannya sehingga dapat digunakan dimasa depan bahkan dapat ditransmisikan kepada generasi berikutnya (Lubis, 2012: 115). Komunikasi verbal sedikit lebih unggul, karena proses verbal merupakan isyarat yang signifikan. Selain itu juga dapat isyarat verbal dapat mempengaruhi dan mengendalikan pembicara sebagaimana ia mempengaruhi pendengar. Misalnya seseorang yang minta sesuatu secara lisan atau tulisan akan lebih mudah ditangkap pesannya oleh orang lain (Mulyana, 2001: 78).

  Komunikasi nonverbal memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Sadar atau tidak manusia banyak melakukan proses nonverbal, bahkan membuat keputusan berdasarkan data-data nonverbal. Pesan atau perilaku nonverbal menyatakan bagaimana menginterpretasikan pesan-pesan lain yang terkandung didalamnya. Misalnya seseorang yang menyampaikan pesan, dengan isyarat nonverbal, penerima pesan atau makna dapat mengartikannya dengan benar atau berbohong, yang bisa dilihat dari bahasa tubuhnya (Lusiana, 2012: 118).

  Menurut interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol, dan interaksi simbolik itu didasarkan pada premis-premis yaitu : 1.

  Individu merespon suatu situasi simbolik.

2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan negosiasi dengan bahasa.

  3. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu kewaktu, sejalan dengan perubahan situasi dalam interaksi sosial (Mulyana, 2001: 71-72).

  Manusia merespon lingkungan baik itu objek fisik maupun objek sosial berdasarkan makna yang ada pada komponen lingkungan tersebut. Individu-lah yang aktif untuk menetukan atau memaknai lingkungan mereka sendiri. Makna adalah hasil dari inetarksi sosial, merupakan negosiasi. Negosiasi melalui bahasa itu dikarenakan manusia mampu menamai segala sesuatu bukan hanya objek fisik bahkan gagasan yang abstrak sekalipun.

  Penamaan tersebut kadang bersifat sembarang. Melalui simbol itulah manusia dapat berbagi pengalaman maupun pengetahuan tentang dunia. Pemaknaan tersebut juga dapat berubah dari waktu-kewaktu. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu melakukan proses berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu manusia dapat merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Dapat mengantisipasi reaksi orang lain, serta mencari alternatif ucapan ataupun tindakan yang akan dilakukan. Manusia dengan cerdas dapat membayangkan bagaimana orang lain akan merespon ucapan ataupun tindakan mereka.

  Budaya merupakan gaya hidup unik suatu kelompok manusia dan merupakan wujud dari interaksi simbolik dari individu yang berbeda budaya. Budaya bukanlah sesuatu hal yang dimiliki sebagian individu saja, namun budaya dimiliki oleh seluruh manusia yang seharusnya menjadi pemersatu. Manusia- manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial sebagai adaptasi pada lingkungan fisik dan biologis mereka. Para individu cenderung menerima dan mempercayai budaya mereka. Mereka dipengaruhi adat dan pengetahuan dimana mereka tinggal, dibesarkan terlepas dari bagaimana penanaman budaya pada dirinya (Lubis, 2012: 168).

  Setiap budaya memberi identitas kepada sekelompok orang tertentu hingga dapat lebih mudah memahami perbedaan yang terdapat dalam masing-masing budaya. Selain itu juga harus mampu untuk mengidentifikasi dari masing-masing budaya tersebut terlihat pada antara lain :

  1. Komunikasi dan bahasa. Sistem komunikasi verbal dan nonverbal yang dapat membedakan kelompok yang satu dengan yang lainnya.

  2. Pakaian dan penampilan meliputi pakaian yang dipakai serta aksesoris atau dekorasi pada tubuh yang sangat berbeda secara kultural.

  3. Makanan dan kebiasaan. Mulai dari pemilihan, penyiapan dan penyajian makanan juga sangat berbeda antara budaya yang satu dengan lainnya.

  4. Waktu dan kesadaran waktu. Bisa dianalisis dari bagian ini, karena ada budaya yang sangat menghargai waktu tapi ada juga yang tidak.

  5. Penghargaan dan pengakuan. Salah satu yang bisa diperhatikan dalam pemberian pujian, perbuatan baik.

  6. Hubungan-hubungan budaya juga mengatur hubungan dengan manusia dan organisasi, berdasarkan usia, jenis kelamin, status, kekeluargaan, kekayaan, kekuasaan dan kebijaksanaan.

  7. Nilai dan norma. Berdasarkan nilai dan norma yang dianutnya suatu budaya menentukan norma-norma perilaku bagi masyarakat yang bersangkutan.

  8. Rasa diri dan ruang kenyamanan yang dimiliki seseorang atas dirinya bisa diekspresikan secara berbeda oleh masing-masing budaya.

  9. Proses mental dan belajar. Bisa dilihat dai cara berpikir dan saat proses pembelajaraan (Lubis, 2012: 169-170).

  Manusia berkomunikasi, termasuk itu komunikasi antarbudaya, memiliki fungsi dan tujuan untuk memenuhi panggilan relasi melalui cara menyatakan isi. Fungsi komunikasi antarbudaya ada dua. Pertama fungsi pribadi yaitu 1) identitas sosial 2) integrasi sosial 3) kognitif 4) melepaskan diri/jalan keluar. Kedua adalah fungsi sosial, yaitu 1) pengawasan, 2) menjembatani 3) sosialisasi 4) menghibur (Liliweri, 2004: 36).

  Membahas komunikasi antarbudaya, sangat penting untuk mencapai komunikasi yang efektif seperti yang diharapkan antara komunikator dengan komunikan. Selain itu juga mengurangi tingkat ketidakpastian termasuk salah satu tujuan dari komunikasi antarbudaya. Komunikasi yang efektif tergantung pada tingkat kesamaan makna yang didapat saat bertukar pesan. Agar dapat berkomunikasi secara efektif peserta komunikasi harus meraih makna yang relatif sama dari pesan yang dikirim dan diterima. Artinya mereka menginterpretasikan pesan secara sama.

  Gudykunstt dan Kim (1984) memperlihatkan orang-orang yang kita tidak kenal akan selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian yang dapat dilakukan dengan tiga tahap interaksi yaitu : 1.

  Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun nonverbal.

  2. Initial contact and imppresion, tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul dari kontak awal.

  3. Closure mulai membuka diri dari yang tertutup melalui atribusi dan pengembangan kepribadian implisit (Liliweri, 2004: 19). Istilah komunikasi efektif (effetive communication) merujuk pada proses mengurangi kesalahpahaman. Menurut Gudykunts komunikasi efektif antara individu yang berbeda latarbelakang budaya tercipta bukan karena rasa akrab, memiliki sikap yang sama, atau pun karena dapat berkomunikasi dengan jelas. Namun lebih bagaimana pelaku komunikasi antarbudaya dapat dengan akurat menjelaskan perilaku masing-masing. Seperti yang ditambahkan oleh Triandis (dalam Gudykunts & Kim, 1997) efektivitas dalam komunikasi antarbudaya merupakan usaha untuk menciptakan apa yang disebut sebagai isomorphic

  

attribution , yaitu penetapan kualitas atau karakteristik terhadap sesuatu supaya

menjadi sama (Rahardjo, 2005: 68-69).

  Berbicara tentang efektivitas komunikasi, akan bisa tercapai tergantung situasi dan hubungan sosial antara komunikator dengan komunikan, terutama dalam lingkup kerangka rujukan maupun pengalaman diantara mereka. Lebih lanjut Schramm dalam Mulyana (1990) mengemukakan, komunikasi antarbudaya yang efektif harus memperhatikan, yaitu :

  (1) Menghormati anggota budaya lain sebagi manusia. (2)

  Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaiman kita yang kehendaki. (3)

  Menghormati hak anggota budaya yang lain utnuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. (4)

  Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya lain (Liliweri, 2004: 171). Menurut Samovar, komunikator yang efektif adalah mereka yang memiliki motivasi, mempunyai kerangka pengetahuan, memiliki kemapuan komunikasi yang diperlukan, dan memiliki karakter yang baik ( Samovar, dkk, 2007: 314). Demikian pula dengan proses komunikasi antarbudaya yang efektif sangat tergantung pada komunikasi antarbudaya. Tujuan tersebut akan tercapai jika bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan usaha yang disadari untuk memperbaruhi relasi komunikator dengan komunikan, menciptakan komunikasi yang efektif, yang akhirnya akan mengurangi konflik.

2.2.2 Identitas Etnis

  Istilah identitas etnis secara substansial bermakna sama dengan etnisitas

  

(ethnicity) , konsep diri kultural atau rasial. Istilah-istilah ini kadang-kadang

  digunakan identik atau punya makna yang sama oleh para ahli (Mulyana & Jalaludin Rahmat, 2005: 151).

  Identitas adalah suatu konsep yang abstrak dan beraneka ragam yang memainkan peran yang signifikan dalam seluruh interaksi komunikasi (Lubis, 2012:163). Identitas etnis sendiri sebenarnya merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Ting-Toomey dalam Rahardjo, mendefinisikan identitas kultural merupakan perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut dalam memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu (Rahardjo,2005: 1-2). Sedangkan identitas etnis bisa dilihat sebagai sebuah kumpulan ide tentang satu kepemilikan keanggotaan kelompok etnis.

  Memahami tentang identitas, beberapa ahli mengklasifikasikan tentang identitas. Antara lain adalah Turner yang membaginya dalam tiga kategori yaitu identitias manusia, identitas sosial, dan identitas pribadi. Dalam hal ini, identitas manusia merupakan pemahaman yang menghubungkan seseorang dengan seluruh manusia serta memisahkan seseorang tersebut dengan kehidupan lainnya. Identitas sosial adalah hal yang membedakan seseorang berasal dari kelompok sosial tertentu, misalnya tergabung dalam ras, etnisitas, pekerjaan, umur, kampung halaman. Sedangkan identitas pribadi hal istimewa yang dimiliki seseorang dan dapat membedakannya dengan orang lain.

  Pemahaman akan identitas adalah aspek yang penting dalam studi dan praktik komunikasi antarbudaya. Perhatian dari studi komunikasi antarbudaya adalah bagaimana identitas mempengaruhi dan menuntun ekspektasi tentang apa peran sosial diri dan orang lain maupun menyediakan tuntunan bagi interaksi komunikasi dengan oang lain (Samovar dkk, 2007: 109-110). Ting Toomey menganggap identitas sebagai konsep diri yang direfleksikan atau gambaran diri bahwa kita berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis, dan proses sosialisasi individu (Samovar dkk, 2010: 184).

  Identitas merupakan produk dari keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok. Seperti yang bisa dipahami dari Ting-Tomey yaitu manusia memperoleh dan mengembangkan identitas mereka melalui interaksi dalam kelompok budaya mereka. Selanjutnya perkembangan identitas terdapat dalam proses keluarga dan sosialisasinya dipengaruhi oleh budaya lain dan perkembangan pribadinya (Samovar dkk, 2010: 194). Identitas awal berasal dari keluarga, dimana mulai untuk belajar secara budaya mengenai kepercayaan, nilai, dan peranan sosial.

  Phinney menawarkan tiga model tahap-tahap untuk memahami pertumbuhan identitas, yang difokuskan pada identitas etnis. Pertama, ditandai kurangnya eksplorasi terhadap etnisitas. Seseorang tidak tertarik untuk menampilkan identitas mereka. Ketidaktertarikan ini berasal dari keinginan untuk menyembunyikan identitas etnis dalam budaya yang lebih mayoritas. Kedua, pencarian identittas etnis dimulai saat tertarik untuk mempelajari dan memahami identitas etnis mereka sendiri. Adanya pendiskriminasian dapat menggerakkan anggota kelompok minoritas untuk menunjukkan etnis mereka. Ketiga, dalam perkembangan identitas ketika seseorang memilki pemahaman yang jelas dan pasti mengenai identitas budayanya sendiri (Samovar dkk, 2010: 195).

  Selanjutnya Barth (1988) dan Zastraw (1989) mengemukakan etnik adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa ataupun kombinasi dari ketegori tersebut yang terikat pada sistem nilai budayanya (Liliweri, 2001:335). Zastrow (1969) menjelaskan setiap kelompok etnis merupakan himpunan manusia. Himpunan manusia tersebut dikarenakan kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa atau gabungan dari kategori itu. Kelompok tersebut memiliki keterikatan etnis yang tinggi melalui sikap etnosentrisme. Sikap tersebut memandang norma dan nilai kelompok budayanya sebagai sesuatu yang dapat digunakan sebagai ukuran terhadap budaya lain (dalam jurnal studi pembangunan, vol.2: 22).

  Menurut Naroll (1964), umumnya kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang :

  1. Secara biologis mampu berkembang biak dan betahan.

  2. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.

  3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

  4. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

  Secara khusus terdapat dua hal pokok untuk memahami kehadiran kelompok-kelompok etnik yaitu :

  1. Kelanggengan unit-unit budaya.

  2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya unit budaya.

  Barth menyatakan ciri khusus tersebut bukan hanya merupakan ciri kelompok etnik saja, tetapi juga memberikan dampak yang sangat luas, ditambahi dengan asumsi bahwa kelompok etnik memiliki budayanya sendiri (Barth, 1988: 11-12).

  Secara sederhana identitias etnis sama halnya dengan identitas sosial yang dapat mempengaruhi komunikasi kita dengan orang lain. Alba menilai identitas etnis sebagai orientasi subjektif seseorang yang mengarahnya pada etnis asalnya (Lubis, 2012: 163). Kemudian Matin dan Thomas (2007) mengemukakan bahwa memiliki sebuah identitas etnis berarti mengalami sebuah perasaan memiliki pada suatu kelompok dan mengetahui sesuatu tentang pengalaman yang dibagi pada anggota kelompok (Lubis, 2012: 164). Identitas etnik adalah bagaimana individu untuk memahami siapa dirinya, merasakan ada ikatan antara individu dan kelompok berfisat emosional. Selain itu ada kepercayaan saat berada dalam kelompok serta komitmen kuat terhadap kelompok, dan bersama-sama melakukan kebiasaan yang sama(https://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/download/294 3/2629).

  Identitas etnis sebenarnya merupakan bentuk identitas budaya yang dilihat sebagai kumpulan ide tentang kepemilikan keanggotaan kelompok etnis. Identitas etnis secara sederhana yaitu sebagai sense tentang self individu sebagai anggota atau bagian dari suatu kelompok etnik tertentu, sikap maupun perilakunya juga berhubungan dengan sense tersebut. Hal ini identitas etnis menyangkut pengetahuan, kesadaran, komitmen, dan perilaku terkait etnisnya. Artinya, identitas etnis dibangun atas kesadaran akan budaya yang dimiliki, budaya juga mempengaruhi identitas etnis. Bahkan melalui konteks budaya lah, identitas etnis dipertukarkan dan dipelajari dari generasi ke generasi. Isajiw (1999) menjelaskan bahwa identitas etnik meliputi dua aspek yaitu: 1.

  Aspek internal yaitu identitas etnik merujuk pada citra (images), ide (ideas), sikap (attitudes), dan perasaan (feeling). Kemudian dibagi dalam empat dimensi yaitu affective (afektif), fiducial (kepercayaan), cognitive (kognitif), dan moral (moral).

2. Aspek eksternal ditunjukkan oleh perilaku yang dapat diamati (observable

  

behaviours ) yang meliputi logat (dialek) bahasa, praktek tradisi etnik,

  keikutsertaan dalam jaringan kerja etnik tersebut seperti keluarga dan persahabatan, dan terlibat dalam institusi (https://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/download/29 43/2629). Pada konteks identitas etnis, Mead berpendapat bahwa konsep diri individu dihasilkan dari keikutsertaan atau partisipasinya dalam budaya dimana ia dilahirkan atau yang ia terima. Individu memperoleh budaya melalui simbol- simbol yang kemudian bermakna baginya lewat eksperimentasi dan akhirnya

  familiarity atau sudah akrab/dekat dengan berbagai situasi. Identitas etnis juga

  merupakan suatu proses. Identitas etnis atau etnisitas terbentuk lewat interpretasi realitas fisik dan sosial sebagai pemilik atribut-atribut etnis. Identitas etnis berkembang melalui internalisasi pengkhasan diri oleh orang lain yang dianggap penting, tentang siapa aku dan siapa orang lain berdasarkan latar belakang etnis mereka (Mulyana, 2001: 231).

2.2.2.1 Pendekatan Terhadap Identitas Etnis

  Ada dua pendekatan terhadap identitas etnis yaitu pendekatan objektif (struktural) dan pendektan subjektif (fenomenologis). Pendekatan objektif melihat sebuah kelompok etnis sebagai kelompok yang bisa dibedakan dari kelompok- kelompok lainnya berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama, atau asal-usul kebangsaan. Sedangkan pendekatan subjektif merumuskan etnisitas (identitas etnis) sebagai suatu proses dalam dimana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok etnis dan diidentifikasi demikian oleh orang lain dan memusatkan perhatiannya pada keterikatan dan rasa memiliki yang dipersepsi kelompok etnis yang diteliti (Mulyana & Jalaludin, 2005: 152).

  Pendekatan objektif didasarkan asumsi dasar ilmu alam seperti ada keteraturan dalam realitas sosial dan juga dalam perilaku manusia. Mencoba mencari hukum umum yang menjelaskan adanya korelasi antar variabel yang satu dengan variabel lainya, kata lainnya ada hukum kausal. Bagi positivis gagasan identitas etnik adalah pendekatan operasional yang mempertanyakan “siapakah aku?”. Pendekatan objektif juga menghubungkan konsep identitas etnik dengan teori konsep diri, dan lagi-lagi menganggapnya adalah sebagai proses (Mulyana dan Jalaludin, 2005: 153).

  Pendekatan objektif ini menolak pendapat tentang jiwa, spirit, kemauan, pikiran, instrokpeksi, kesadaran, subjektivitas tidak dapat diamati secara kuantitatif. Karena pendekatan struktural terhadap diri (self) sangat bergantung pada pengamatan ilmiah atas perilaku dari luar (behaviour). Pendekatan struktural ini juga menganggap para individu mengecap diri mereka sendiri dan oleh orang lain dalam dunia sosial, berdasarakan peranan dan lokasi mereka dalam struktur sosial. Hemat kata, pendekatan struktural terhadap identitas etnik beranggapan bahwa identitas etnik adalah pasif dan statik, dimana perilaku luar ditentukan oleh faktor luar individu.

  Berbeda dengan pendekatan objektif, pendekatan subjektif lebih memandang manusia adalah sesuatu yang aktif. Pendekatan subjektif (fenomenologis) sedikit mengkritik pendekatan post-positivistik yang memandang kemungkinan ada pembatasan pada perilaku manusia yang dapat dipelajari.

  Menurut Phandis (1989) kalangan dengan kaum subjektivis memandang bahwa identitas etnik mengemuka lewat tanda-tanda budaya, mereka menekankan diri dan perasaan identitas yang berbeda berkaitan dengan kelompok dan pengakuannya oleh orang lain (Mulyana dan Jalaludin, 2005: 155).

  Secara tradisional, etnisitas dipandang ciri struktural yang membedakan kelompok etnik yang satu dengan yang lainnya. Beberapa penelitian antropolog membahas tentang kelompok etnik agak statik. Namun Barth seperti ingin membuktikan dengan pendapatanya bahwa ciri penting suatu kelompok etnik yaitu hubungan yang diberikan dari kelompok lain sebagai tempat mereka menggunakan identitias etnis sebagai pengklasifikasian diri mereka dan orang lain untuk tujuan interaksi (Barth, 1988: 13-15).

2.3 Penelitian Terdahulu

  Beberapa penelitian terdahulu yang pernah meneliti mengenai identitas etnis yaitu :

2.3.1 Penelitian Surita Lestari Zulham

  Penelitiannya berjudul Identitas Budaya dan Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Peran Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran identitas budaya dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa etnis Minangkabau di Universitas Sumatera Utara, dalam hal ini juga untuk mengetahui identitas budaya yang terbentuk dan mengetahui perubahan identitas budaya yang mungkin terjadi di kalangan mahasiswa etnis Minangkabau Universitas Sumatera Utara.

  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang melakukan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulannya yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa etnis Minangkabau asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara angkatan 2008-2010.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan identitas budaya yang dialami oleh mahasiswa etnis Minangkabau dipengaruhi oleh lingkungan asal mereka. Adapun identitas budaya yang dimunculkan dalam interaksi antarbudaya pada mahasiswa etnis Minangkabau asal Sumatera Barat antara lain dengan menggunakan bahasa daerah yang masih mereka gunakan ketika berinteraksi dengan sesama, menunjukkan sikap yang ramah dan santun dalam berinteraksi. Identitas budaya sebagai orang Minang kemudian memunculkan rasa kekeluargaan antara mereka sebagai sesama orang perantauan.

  Adanya rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnis sehingga mereka cenderung berkumpul dengan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang sama. Faktor personal seperti watak atau kepribadian, pengetahuan dan motivasi serta intensitas interaksi juga mempengaruhi proses adaptasi dan keefektifan komunikasi dengan lingkungan yang baru. Pada umumnya perubahan yang dialami adalah perubahan logat dan bahasa Indonesia yang mereka gunakan karena dipengaruhi oleh bahasa lokal orang Medan. Dengan memahami identitas budaya mereka sendiri, mereka dapat mengidentifikasi orang lain dari kelompok etnis lain. Hal ini ternyata membantu mereka dalam menempatkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi dimana mereka berinteraksi dan bagaimana harus bersikap sehingga dapat membangun komunikasi antarbudaya yang efektif.

2.3.2 Arifah Armi Lubis

  Penelitian ini berjudul Identitas Etnis dan Komunikasi Antarbudaya (Peran Identitas Etnis dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran identitas etnis yang dibangun dalam komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU.

  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa asal Malaysia yang beretnis Melayu pada stambuk 2007, 2008, 2009 di Fakultas Kedokteran USU.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas etnis bisa berperan sebagai pendorong bahkan penghambat dalam komunikasi antarbudaya dan hal ini dipengaruhi pada jenis kelamin dan tempat tinggal. Mengenai jenis kelamin, ditemukan hasil penelitian bahwa perempuan paling kuat dalam menjaga identitas etnisnya dan selalu terdorong untuk menunjukkan identitas etnis dan cara termudah bagi perempuan untuk menunjukkan identitas etnisnya adalah dengan menggunakan baju kurung. Sedangkan laki-laki, mereka cenderung bisa menyembunyikan ataupun tidak terlalu menonjolkan identitas etnisnya dan cara termudah bagi laki-laki untuk menunjukkan identitas etnisnya adalah dengan menggunakan logat Melayu saat berbicara. Dan mengenai tempat tinggal, hal ini didasarkan pada temuan penelitian bahwa mahasiswa asal Malaysia yang masuk melalui jalur Internasional (yang seluruhnya beretnis Melayu) mereka akan ditempatkan di asrama dan jika keluar dari asrama, mereka tetap ‘’dipaksa’’ tinggal dengan teman seetnis. Sehingga mereka akan selalu ditempatkan bersama kelompok etnisnya. Dan hal ini berpengaruh pada identitas etnis yang terbentuk, karena hal tersebut akan menyebabkan mereka merasa nyaman dan merasa dalam kelompok besar dan tidak terlalu termotivasi untuk berkomunikasi dengan teman beda etnis. Dan mahasiswa yang masuk melalui jalur Mandiri, mereka bisa tinggal bersama teman beda etnis karena mereka datang ke Medan tidak berkelompok sehingga mereka bisa mandiri dalam mencari teman dan mereka tidak tergantung pada kelompok dan memiliki motivasi untuk berkomunikasi dengan teman beda etnis.

  Jadi sebenarnya yang paling berpengaruh pada pembentukan identitas etnis mahasiswa asal Malaysia yang beretnis Melayu di Fakultas Kedokteran USU adalah jalur masuk. Mereka yang masuk melalui jalur Internasional, biasanya menggunakan identitas etnis sebagai pembeda antara mereka dengan kelompok lain sehingga menghambat komunikasi antarbudaya mereka sedangkan mahasiswa yang masuk melalui jalur Mandiri, mereka menggunakan identitas etnis sebagai pengenal, yang membantu mereka mengenali siapa mereka dan siapa orang lain, dan hal tersebut mendorong mereka untuk melalukan komunikasi antarbudaya.

2.4 Model Teoritis

  

Komunikasi

Antarbudaya

Komunitas Masyarakat Non Tamil

  Tamil Identitas Etnis

  Komunikasi verbal dan - nonverbal

  • Tradisi - Mempertahankan budaya

  Gambar 1.1

Dokumen yang terkait

Peran Identitas Etnis Dalam Komunikasi Antarbudaya Pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Kota Medan

3 59 147

Identitas Budaya Dan Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Peran Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara)

10 110 264

Identitas Etnis Dan Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Peran Identitas Etnis dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara)

3 46 238

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komunitas - Solidaritas Sosial Dalam Komunitas Punk Dengan Studi Deskriptif Pada Komunitas Punk Simpang Aksara Medan

0 0 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian - Konstruksi Media Terhadap Jilbab di Majalah Noor

0 0 25

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian - Distorsi Komunikasi Komunitas Film Sumatera Utara (Kofi Sumut) (Studi Deskriptif Kualitatif Gangguan Komunikasi Organisasi Pada Komunitas Film Sumatera Utara Selama Produksi Sampai Dengan Pemutaran Perdana Film

0 0 30

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif Paradigma Kajian - Komunikasi Keluarga Dalam Hubungan Jarak Jauh (Studi Deskriptif Kualitatif Peran Komunikasi Keluarga Terhadap Mahasiswa yang Tinggal Terpisah dengan Orangtua dalam Hubungan Harmonisasi di Kota Medan)

0 0 28

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian - Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi Dalam Menangani Pasien (Studi Kasus Tentang Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan)

0 1 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif Paradigma Kajian - Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Papua di USU

0 0 24

Peran Identitas Etnis Dalam Komunikasi Antarbudaya Pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Kota Medan

0 0 42