Identitas Etnis Dan Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Peran Identitas Etnis dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara)

(1)

IDENTITAS ETNIS DAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

(Studi Kasus Peran Identitas Etnis dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh:

ARIFAH ARMI LUBIS

060904013

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Identitas Etnis dan Komunikasi Antarbuday (Peran Identitas Etnis dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran identitas etnis yang dibangun dalam komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa asal Malaysia yang beretnis Melayu pada stambuk 2007, 2008, 2009 di Fakultas Kedokteran USU.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas etnis bisa berperan sebagai pendorong bahkan penghambat dalam komunikasi antarbudaya dan hal ini dipengaruhi pada jenis kelamin dan tempat tinggal. Mengenai jenis kelamin, ditemukan hasil penelitian bahwa perempuan paling kuat dalam menjaga identitas etnisnya dan selalu terdorong untuk menunjukkan identitas etnis dan cara termudah bagi perempuan untuk menunjukkan identitas etnisnya adalah dengan menggunakan baju kurung. Sedangkan laki-laki, mereka cenderung bisa menyembunyikan ataupun tidak terlalu menonjolkan identitas etnisnya dan cara termudah bagi laki-laki untuk menunjukkan identitas etnisnya adalah dengan menggunakan logat Melayu saat berbicara. Dan mengenai tempat tinggal, hal ini didasarkan pada temuan penelitian bahwa mahasiswa asal Malaysia yang masuk melalui jalur Internasional (yang seluruhnya beretnis Melayu) mereka akan ditempatkan di asrama dan jika keluar dari asrama, mereka tetap ‘’dipaksa’’ tinggal dengan teman seetnis. Sehingga mereka akan selalu ditempatkan bersama kelompok etnisnya. Dan hal ini berpengaruh pada identitas etnis yang terbentuk, karena hal tersebut akan menyebabkan mereka merasa nyaman dan merasa dalam kelompok besar dan tidak terlalu termotivasi untuk berkomunikasi dengan teman beda etnis. Dan mahasiswa yang masuk melalui jalur Mandiri, mereka bisa tinggal bersama teman beda etnis karena mereka datang ke Medan tidak berkelompok sehingga mereka bisa mandiri dalam mencari teman dan mereka tidak tergantung pada kelompok dan memiliki motivasi untuk berkomunikasi dengan teman beda etnis. Jadi sebenarnya yang paling berpengaruh pada pembentukan identitas etnis mahasiswa asal Malaysia yang beretnis Melayu di Fakultas Kedokteran USU adalah jalur masuk. Mereka yang masuk melalui jalur Internasional, biasanya menggunakan identitas etnis sebagai pembeda antara mereka dengan kelompok lain sehingga menghambat komunikasi antarbudaya mereka sedangkan mahasiswa yang masuk melalui jalur Mandiri, mereka menggunakan identitas etnis sebagai pengenal, yang membantu mereka mengenali siapa mereka dan siapa orang lain, dan hal tersebut mendorong mereka untuk melalukan komunikasi antarbudaya.


(3)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

ABSTRAKSI

KATA PENGANTAR ... i

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 8

I.3 Pembatasan Masalah ... 9

I.4 Tujuan Penelitian ... 9

I.5 Manfaat Penelitian ... 10

I.6 Kerangka Teori ... 10

I.7 Kerangka Konsep ... 22

I.8 Operasionalisasi Konsep ... 22

I.9 Definisi Operasionalisasi Konsep ... 24

BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi Antarbudaya ... 28

II.1.1 Komunikasi Antarbudaya ... 28

II.1.2 Perspektif Interpretif sebagai Pendekatan Komunikasi Antarbudaya ... 35

II.1.3 Kompetensi Komunikasi Antarbudaya ... 39

II.2 Identitas Etnis ... 43

II.2.1 Pengertian Identitas Etnis... 43

II.2.2 Pendekatan Subjektif terhadap Identitas Etnis ... 48

II.3 Interaksionisme Simbolik ... 50

II.3.1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik ... 50

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metode Penelitian ... 57

III.1.1 Metode Penelitian Kualitatif ... 57

III.1.2 Studi Kasus ... 58

III.2 Lokasi Penelitian ... 62

III.3 Subjek Penelitian... 62

III.4 Teknik Pengumpulan Data ... 66

III.5 Teknik Analisis Data ... 68

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 69

IV.2 Hasil dan Pengamatan Wawancara ... 74

IV.3 Pembahasan ... 220

BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan ... 230

V.2 Saran ... 231

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(4)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Identitas Etnis dan Komunikasi Antarbuday (Peran Identitas Etnis dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran identitas etnis yang dibangun dalam komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa asal Malaysia yang beretnis Melayu pada stambuk 2007, 2008, 2009 di Fakultas Kedokteran USU.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas etnis bisa berperan sebagai pendorong bahkan penghambat dalam komunikasi antarbudaya dan hal ini dipengaruhi pada jenis kelamin dan tempat tinggal. Mengenai jenis kelamin, ditemukan hasil penelitian bahwa perempuan paling kuat dalam menjaga identitas etnisnya dan selalu terdorong untuk menunjukkan identitas etnis dan cara termudah bagi perempuan untuk menunjukkan identitas etnisnya adalah dengan menggunakan baju kurung. Sedangkan laki-laki, mereka cenderung bisa menyembunyikan ataupun tidak terlalu menonjolkan identitas etnisnya dan cara termudah bagi laki-laki untuk menunjukkan identitas etnisnya adalah dengan menggunakan logat Melayu saat berbicara. Dan mengenai tempat tinggal, hal ini didasarkan pada temuan penelitian bahwa mahasiswa asal Malaysia yang masuk melalui jalur Internasional (yang seluruhnya beretnis Melayu) mereka akan ditempatkan di asrama dan jika keluar dari asrama, mereka tetap ‘’dipaksa’’ tinggal dengan teman seetnis. Sehingga mereka akan selalu ditempatkan bersama kelompok etnisnya. Dan hal ini berpengaruh pada identitas etnis yang terbentuk, karena hal tersebut akan menyebabkan mereka merasa nyaman dan merasa dalam kelompok besar dan tidak terlalu termotivasi untuk berkomunikasi dengan teman beda etnis. Dan mahasiswa yang masuk melalui jalur Mandiri, mereka bisa tinggal bersama teman beda etnis karena mereka datang ke Medan tidak berkelompok sehingga mereka bisa mandiri dalam mencari teman dan mereka tidak tergantung pada kelompok dan memiliki motivasi untuk berkomunikasi dengan teman beda etnis. Jadi sebenarnya yang paling berpengaruh pada pembentukan identitas etnis mahasiswa asal Malaysia yang beretnis Melayu di Fakultas Kedokteran USU adalah jalur masuk. Mereka yang masuk melalui jalur Internasional, biasanya menggunakan identitas etnis sebagai pembeda antara mereka dengan kelompok lain sehingga menghambat komunikasi antarbudaya mereka sedangkan mahasiswa yang masuk melalui jalur Mandiri, mereka menggunakan identitas etnis sebagai pengenal, yang membantu mereka mengenali siapa mereka dan siapa orang lain, dan hal tersebut mendorong mereka untuk melalukan komunikasi antarbudaya.


(5)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

Komunikasi- sebagai sebuah proses pertukaran simbol verbal dan nonverbal antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku- kini melingkup i proses yang lebih luas. Jumlah simbol-simbol yang dipertukarkan tentu tak bisa dihitung dan dikelompokkan secara spesifik kecuali bentuk simbol yang dikirim, verbal dan non verbal. Memahami komunikasi pun seolah tak ada habisnya. Mengingat komunikasi sebagai suatu proses yang tiada henti melingkupi kehidupan manusia.

Belajar memahami Komunikasi Antarbudaya berarti memahami realitas budaya yang berpengaruh dan berperan dalam komunikasi. Seperti apa yang dikatakan oleh Samover dan Porter bahwa hubungan antarbudaya dan komunikasi sangat penting untuk memahami komunikasi antarbudaya karena hal itu mempengaruhi budaya orang-orang untuk berlajar berkomunikasi (Lubis, 2008: 2). Selanjutnya Samover dan Porter melukiskan hubungan antara komunikasi dan kebudayaan sebagai berikut: masyarakat di Paris makan siput, tetapi masyarakat di Santiago meracuni siput, mengapa?, masyarakat di Iran duduk di lantai dan berdoa lima kali sehari, tetapi masyarakat di Las vegas berdiri semalaman di depan mesin judi, mengapa?; sebagian lagi berbahasa Tagalok, sedangkan yang lainnya berbahasa Inggris, mengapa?; sebagian orang mengecat dan mendekor seluruh bagian tubuhnya, tetapi yang lainnnya menghabiskan miliaran rupiah untuk mengecat dan menghiasi wajah mereka, mengapa?; sebagian orang


(6)

berbicara kepada Tuhan, tetapi yang lainnya berharap Tuhan yang berbicara kepada mereka, mengapa?. Jawaban umum pada semua pertanyaan tersebut adalah sama yaitu kebudayaanmu memberi jawaban atas pertanyaan itu dan tidak terhitung pertanyaan lainnya tentang seperti apa dunia dan bagaimana kamu hidup dan berkomunikasi dengan dunia itu (Lubis, 2008: 3).

Edward T Hall mengatakan budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan (Lubis, 2008: 3).Konsekuensinya kebudayaan merupakan landasan berkomunikasi. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang mewakili pribadi, antar pribadi, kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (Liliweri, 2004: 11), sedangkan Sitaram berpendapat bahwa Komunikasi antarbudaya sendiri bermakna sebagai sebuah seni untuk memahami dan saling pengertian antara khalayak yang berbeda kebudayaan (Lubis, 2008: 10).

Young Yun Kim menjelaskan untuk memahami, mencari kejelasan dan mengintegrasikan berbagai konseptualisasi tentang komunikasi antarbudaya, maka ada 3 dimensi yang perlu kita perhatikan yaitu, tingkat keorganisasian kelompok budaya, konteks sosialnya, serta saluran komunikasi yang dilaluinya (Lubis, 2008: 12).

Menurut Samover dan Porter, karakteristik budaya adalah di mana budaya itu adalah simbol, tumbuh dan berubah dari satu generasi ke generasi berikutnya, dipelajari dan dipertukarkan (Lubis, 2008: 4). Hal itu berarti melalui budaya kita bertukar dan belajar banyak hal, karena pada kenyataannya siapa kita adalah


(7)

realitas budaya yang kita terima dan pelajari. Untuk itu, saat komunikasi menuntun kita bertemu dan bertukar simbol dengan orang lain maka kita pun dituntut untuk memahami orang lain yang berbeda budaya dan perbedaan itu tentu menimbulkan bermacam kesukaran dalam kelangsungan komunikasi yang terjalin.

Identitas etnis secara sederhana dipahami sebagai sense tentang self individu sebagai anggota atau bagian dari suatu kelompok etnik tertentu dan sikap maupun perilakunya juga berhubungan dengan sense tersebut. Artinya identitas etnis menyangkut pengetahuan, kesadaran, komitmen, dan perilaku terkait etnisnya. Artinya, identitas etnis dibangun atas kesadaran kita akan budaya kita., budaya mempengaruhi identitas etnis kita. Bahkan melalui konteks budaya lah. Identitas etnis dipertukarkan dan dipelajari dari generasi ke generasi.

Memahami budaya yang berbeda dengan kita juga bukan hal yang mudah, dimana kita dituntut untuk mau mengerti realitas budaya orang lain yang membuat ada istilah ‘’mereka’’ dan ‘’kita’’. Masalahnya, perkembangan zaman membuat budaya juga berubah, nilai-nilai budaya dulu mungkin sekarang sedikit demi sedikit, lambat laun makin memudar. Di mana akibat perubahan zaman dan pengaruh budaya massa, memahami identitas etnis sendiri bisa jadi lebih susah daripada memahami identitas etnis lain. Namun yang menjadi masalah tentu bukan sekadar pengaruh media massa dalam membantu membangun persepsi khalayak baik secara sengaja atau tidak dalam menggambarkan etnis tertentu dalam tayangannya, tapi control dan pilihan tentu ada di tangan audiens,


(8)

bagaimana si audiensnya dalam menanggapi realitas yang dibangun lingkungan dan pandangannya sendiri dalam persepsinya.

Memasuki dunia baru di mana kita dituntut untuk beradaptasi bukanlah hal yang mudah. Beradaptasi di lingkungan baru, kita dituntut belajar serta memahami budaya baru. Terlebih lagi adaptasi tentu akan semakin sulit. Jika lingkungan yang baru adalah lingkungan yang berbeda jauh budayanya dengan lingkungan sebelumnya. Sebuah lingkungan baru, di mana realitas etnisnya amat berbeda. Menghadapi budaya yang berbeda bukan perkara mudah, begitupun pengalaman Mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU, adaptasi harus dimulai perlahan. Memasuki dunia baru yang benar-benar berbeda, karena pada dasarnya manusia mempunyai mental, kemauan, dan kemampuan untuk berkomunikasi sehingga dapat mengenal dan mengevaluasi siapa yang berkomunikasi dengan dia (Liliweri, 2004: 90).

Indonesia dan Malaysia lebih menggunakan model kelompok etnis dominan dalam mendefinisikan konsep bangsa(nation). Orang Jawa dan Sumatera (di Indonesia) dan orang Melayu (di Malaysia) sering digunakan sebagai model dalam mendefinsikan konsep bangsa di kedua Negara tersebut (Rahardjo, 2005: 15).

Indonesia dan Malaysia walaupun punya kesamaan rumpun budaya yaitu Melayu, tapi kita juga pasti menyadari bahwa begitu banyak perbedaan seperti perbedaan bahasa, adat kebiasaan sehari-hari serta nilai atau norma yang dianut terlebih lagi, Indonesia bukan hanya terdiri dari etnis Melayu dan begitupun Malaysia. Mahasiswa asal Malaysia yang kuliah di Fakultas Kedokteran USU,


(9)

tentu bukan hanya yang beretnis Melayu. Mengenai hal ini, kita pasti menyadari bahwa komunikasi antarbudaya pasti terjadi. Usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya dalam praltiknya bukanlah hal yang sederhana. Lewis & Slade menguaraikan 3 (tiga) kawasan yang paling problematika dalam lingkup pertukaran antarbudaya, yaitu kendala bahasa, perbedaan nilai, dan perbedaan pola perilaku kultural (Rahardjo, 2005: 54).

Dalam konteks penelitian ini, peran identitas etnis dalam komunikasi antarbudaya menjadi penting untuk diperhitungkan mengingat andil identitas etnis selama ini kurang disadari. Kita tentu perlu tahu, saat kita berkomunikasi khususnya komunikasi antarbudaya, apakah kita menyadari diri kita sebagai bagian dari satu kelompok etnis tertentu dan lawan bicara kita sebagai anggota kelompok etnis lain dan jawaban itu akan menggiring kita pada satu pertanyaan utama apakah kesadaran akan identitas etnis itu memiliki peran dalam komunikasi yang kita lakukan?. Untuk itu, jawaban dari pertanyaan itu nantinya akan membantu untuk menjawab realitas yang lebih spesifik mengenai komunikasi antarbudaya yaitu etnisitas. Dan nantinya kan dilihat apakah komunikasi antarbudaya terjalin secara efektif ?.

Pada penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU. Pemilihan lokasi penelitian yaitu di Fakultas Kedokteran USU dilakukan karena mahasiswa asal Malaysia paling banyak berada di Fakultas ini. Menyadari bahwa status mereka pendatang maka untuk itu penting memahami bagaimana para mahasiswa tersebut memulai culture shock yang pasti terjadi dan bagaimana realitas identitas yang dibangun, baik


(10)

menyangkut etnisnya sendiri maupun mengenai etnis lain (etnis di lingkungan baru). Telaah persepsi identitas etnis ini setidaknya dapat membantu dalam memperoleh pengetahuan tentang bagaimana selama ini mereka membangun komunikasi dalam interaksi khususnya komunikasi antarbudaya. Jawaban mengenai tindak komunikasi antarbudaya mahasiswa asal Malaysia tersebut, akan menunujukkan pada tataran kompetensi komunikasi seperti apa yang mereka miliki. Howell, salah seorang penasihat Gundykunst, menyebutkan ada empat tataran kompetensi komunikasi, yaitu, unconscious incompetence, yaitu seseorang yang salah menginterpretasikan perilaku orang lain dan tidak menyadari apa yang sedang ia lakukan, conscious incompetence yaitu seseorang mengetahui bahwa ia salah menginterpretasikan perilaku orang lain, namun ia tidak melakukan sesuatu, conscious competence yaitu, seseorang berpikir tentang kecakapan komunikasinya dan secara terus-menerus berusaha mengubah apa yang ia lakukan supaya menjadi lebih efektif, dan unconscious competence yiatu seseorang telah mengembangkan kecakapan komunikasinya. (Rahardjo, 2005:69). Selain itu penting untuk menjawab peran identitas yang terbentuk baik mengenai identitas etnis sendiri maupun identitas etnis orang lain terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi dalam komunikasi antarbudaya. Ketertarikan penelitian ini didasari pada kemungkinan adanya perasaan in group maupun out group yang sedikit banyak mendorong atau bahkan menghambat komunikasi dalam interaksi, yang bisa jadi nantinya akan bisa ditarik kesimpulan apakah komunitas mahasiswa asal Malaysia ini tertutup atau bahkan sebaliknya.


(11)

Penelitian ini nantinya akan melihat sejauh mana peran identitas etnis dalam komunikasi antarbudaya, apakah akan membantu mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU dalam menjalin komunikasi yang efektif atau menghambat komunikasi. Pada akhirnya akan ditemukan kompetensi komunikasi seperti apa yang mereka miliki.

Meneliti para mahasiswa asal Malaysia terkait masalah komunikasi antarbudaya, maka menyangkut beberapa masalah potensial dalam komunikasi antarbudaya yang mereka jalani, yaitu pencarian kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka, rasisme. Kekuasaan, etnosentrisme, culture shock ( Samovar, Porter & Mc Daniel, 2007: 316).

Dengan menggunakan analisis studi kasus, maka diharapkan berbagai pertanyaan seputar masalah identitas etnis dan komunikasi antarbudaya di kalangan mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU dapat terjawab.


(12)

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:

- ‘’ Bagaimanakah bentuk dari identitas etnis yang muncul ketika mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU berinteraksi dengan teman yang berbeda etnis?

a. Apakah mucul perasaan in group dan out group? b. Apakah muncul stereotip?

c. Apakah muncul sikap etnosentrisme?

d. Apakah ada pengetahuan tentang budaya etnis ( tradisi, nilai, perilaku)?

e. Apakah ada rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnis?

f. Apakah ada komitmen dan evaluasi positif terhadap kelompok etnis? - ‘’ Apakah ada perubahan identitas etnis saat mahasiswa asal Malaysia di

Fakultas Kedokteran USU berinteraksi dengan orang lain yang berbeda etnis?

a. Apakah mereka mempertahankan identitas etnis mereka? b. Apakah terjadi pembauran identitas etnis?

c. Apa saja yang meliputi perubahan/pembauran yang terjadi?

- ‘’ Bagaimanakah kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU?


(13)

- ‘’Sejauh manakah identitas etnis berperan dalam komunikasi antarbudaya mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU?’’

I.3 Pembatasan Masalah

Untuk itu menghindari lingkup penelitian yang terlalu luas maka perlu dibuat pembatasan masalah. Dan adapun pembatasan masalah dari penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi kasus.

2. Subjek penelitian dikhususkan pada mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU yang berada di tingkat pertama, kedua dan tiga (stambuk 2007, 2008, 2009).

3. Subjek penelitian ini dibatasi lagi pada mahasiswa asal Malysia yang bertenis Melayu. Pembatasan ini bermaksud untuk fokus penelitian pada kelompok etnis Melayu Malaysia saja.

I.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui identitas etnis yang terbentuk pada mahasiswa asal Malaysia di Kedokteran USU baik dalam memaknai serta memahami identitas etnis mereka maupun identitas etnis lain.

2. Untuk mengetahui perubahan identitas etnis yang mungkin terjadi di kalangan mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU.


(14)

3. Untuk mengetahui kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU.

4. Untuk mengetahui peran identitas etnis yang dibangun dalam komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU.

I.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya khasanah penelitian tentang komunikasi antar budaya dengan metodologi kualitatif.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi. 3. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bersama

dalam memahami konteks komunikasi antarbudaya yang terjadi di dekat kita.

I.6 Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak tau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1991:39-40).


(15)

Ketika suatu masalah penelitian telah ditemukan, maka peneliti mencoba membahas masalah tersebut dengan teori-teori yang dipilihnya yang dianggap mampu menjawab masakah penelitian. (Bungin2007: 31),

Teori digunakan peneliti untuk men-justifikasi dan memandu penelitian mereka. Mereka juga membandingkan hasil penelitian berdasarkan teori itu untuk lebih jauh mengembangkan dan menegaskan teori tersebut (Mulyana, 2001:16)

Dalam penelitian ini, teori-teori yang relevan adalah Komunikasi, Komunikasi Antar Budaya, Identitas Etnik, dan Teori Interaksi Simbolik.

I.6.1 Komunikasi

Istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin Communis yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan anatar dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari akar kata dalam Bahasa Latin Communico yang artinya membagi (Cangara, 2005: 18).

Dalam hidup bermasyarakat, orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain niscaya akan terisolasi dari masyarakat. Pengaruh keterisolasian ini akan menimbulkan depresi mental yang pada akhirnya membawa orang kehilangan keseimbangan jiwa. Oleh sebab itu, menurut Dr Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, komunikasi sudah merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernafas (Cangara, 2005: 1). Sedangkan Thomas M. Scheidel mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar kita, dan untuk mempengaruhi orang lain


(16)

untuk merasa, berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan (Mulyana, 2007: 4).

Gordon I Zimmerman merumuskan bahwa kita dapat membagi tujuan komunikasi menjadi dua kategori besar. Pertama, kita berkomunikasi untuk menyelesaikan tuigas-tugas yang penting bagi kebutuhan kita. Kedua, kita berkomunikasi untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang lain. Jadi komunikasi mempunyai fungsi isi, yang melibatkan pertukaran informasi yang kita perlukan untuk menyelesaikan tugas, dan fungsi hubungan yang melibatkan pertukaran informasi mengenai bagaimana hubungan kita dengan orang lain (Mulyana, 2007: 4). Sedangkan William I. Gorden merumuskan 4 fungsi komunikasi yaitu; komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual, dan komunikasi instrumental, tidak saling meniadakan (Mulyana, 2007: 5).

Berbagai pakar komunikasi mencoba merumuskan definisi komunikasi. Sebagaimana dikemukakan John R Wenburg dan Wiliam W. Wilmot juga Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken setidaknya ada tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi, yakni komunikasi sebagai tindakan satu arah, komunikasi sebagai interaksi dan komunikasi sebagai transaksi. Definisi yang sesuai dengan konsep komunikasi sebagai tindakan satu arah misalnya adalah pendapat Carl I. Hovland yang meyatakan proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikan) (Mulyana, 2007: 68). Sedangkan definisi komunikasi sebagai konsep transaksi, misalnya, pendapat Judy


(17)

C.Pearson dan Paul E. Nelson yang merumuskan komunikasi sebagai proses memahami dan berbagi makna (Mulyana, 2007: 76).

Esensi komunikasi terletak pada proses, yakni suatu aktivitas yang ‘’melayani’’ hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu (Liliweri, 2004: 5).

1. 6.2 Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya sendiri dapat dipahami sebagai pernyataan diri antar pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya (Liliweri, 2004: 9). Dalam rangka memahami kajian komunikasi antar budaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu:

1. komunikasi antar budaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.

2. dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi 3. gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi

4. komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian 5. komunikasi berpusat pada kebudayaan

6. efektivitas antarbudaya merupakan tujaun komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2004: 15)

Proses komunikasi antarbudaya sama seperti proses komunikasi lainnya, yakni suatu proses yang interaktif dan transaksional serta dinamis (Liliweri, 2004: 24).

Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi. Demikian pula dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentuk-bentuk hubungan


(18)

antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manajemen komunikasi yang efektif, lahirnya semangat kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada berhasilnya pembagian teknologi dan mengurangi konflik.

Mengutip pendapat Habermas, bahwa dalam setiap proses komunikasi (apapun bentuknya) selalu ada fakta dari semua situasi yang tersembunyi di balik para partisipan komunikasi. Menurutnya, beberapa kunci iklim komunikasi dapat ditunjukkan oleh karakteristik antara lain; suasana yang menggambarkan derajat kebebasan, suasana di mana tidak ada lagi tekanan kekuasaan terhadap peserta komunikasi, prinsip keterbukaan bagi semua, suasana yang mampu memberikan komunikator dan komunikan untuk dapat membedakan antara minat pribadi dan minat kelompok. Dari sini bisa disimpulkan bahwa iklim komunikasi antara budaya tergantung pada 3 dimensi, yakni perasaan positif, pengetahuan tentang komunikan, dan perilaku komunikator (Liliweri, 2004: 48).

Pada komunikasi antarbudaya penting untuk megetahui tentang identifikasi bersama (homofili). Prinsip homofili dalam komunikasi antarbudaya setidaknya akan membantu komunikator dan komunikan untuk memperoleh semacam persamaan yang nantinya akan mendorong proses komunikasi. Atau dapat juga dikatakan bahwa berdasarkan prinsip homofili, orang cenderung untuk berinteraksi dengan individu-individu lain yang serupa dalam hal karakteristik-karakteristik sosial dengannya. Misalanya homofili dalam penampilan, latar belakang, sikap, nilai dan kepribadian. Namun perbedaan-perbedaan dalam


(19)

komunikasi antar budaya juga bisa menjadi kerangka atau matriks dimana komunikasi terjadi. Dengan adanya derajat perbedaan (heterofili), orang-orang yang berkomunikasi tadi akan menerima hal-hal yang baru, yang informasional justru melalui ikatan yang lemah tadi.

Maka bila perbedaan-perbedaan disadari atau diakui potensi pengaruhnya terhadap komunikasi, masalahnya kemudian mungkin terletak pada cara-cara, strategi atau teknik komunikasi yang dipakai. Dalam komunikasi antar budaya, perbedaan-perbedaan individu dapat diperbesar oleh perbedaan-perbedaan kebudayaan. Persepsi tentang kebudayaan-kebudayaan ini adalah titik tolak dari asumsi yang paling dasar dari komunikasi antar budaya, yaitu kebutuhan untuk menyadari dan mengakui perbedaan-perbedaan untuk menjembataninya melalui komunikasi (Lubis, 2008:26-27). Perbedaan kebudayaan dan gaya komunikasi berpotensi untuk menimbulkan masalah-masalah dalam Komunikasi antar budaya. Tetapi tidak saja perbedaan, melainkan juga yang lebih penting lagi adalah kesulitan dalam mengakui perbedaan itu sendiri.

Seperti hal nya dalam proses komuniksi dalam bentuk lain, komunikasi antar budaya juga menuntut adanya kesediaan orang-orang yang terlibat dalm komunikasi tersebut untuk membuka diri. Dengan didorong homofili dan ketertarikan antarpribadi setidaknya komunikasi antarbudaya akan berlangsung lancar.


(20)

I.6.3 Identitas Etnis

Identitas etnis secara substansial bermakna sama dengan etnisitas atau rasial. Istilah-istilah ini kadang-kadang digunakan identik atau punya makna sama oleh para ahli (Mulyana & Jalaludin Rahmat, 2005: 151).

Dalam konteks identitas etnis, Mead dalam Mulyana berpendapat bahwa konsep diri seseorang bersumber dari partisipasinya dalam budaya di mana ia dilahirkan atau yang ia terima. Budaya diperoleh individu lewat simbol-simbol dan simbol-simbol ini bermakna baginya lewat eksperimentasi dan akhirnya Familiarity dengan berbagai situasi. Identitas etnis juga merupakan suatu proses. Ia berbentuk lewat interpretasi realitas fisik dan sosial sebagai memiliki atribut-atribut etnis. Identitas etnis berkembang melalui internalisasi pengkhasan diri oleh orang lain yang dianggap penting, tentang siapa aku dan siapa orang lain berdasarkan latar belakang etnis mereka (Mulyana, 2001: 231)

Identitas etnis berhubungan pada latar belakang etnis mereka yang dianggap sebagai inti diri mereka. Diri yang berkonteks etnis inilah yang disebut identitas etnis (Mulyana & Jalaludin Rahmat, 2005: 152).

Phinney mendefinisikan bahwa identitas etnis merupakan sense tentang self individu sebagai anggota atau bagian dari suatu kelompok etnis tertentu dan sikap maupun perilakunya juga berhubungan dengan sense tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa perkembangan identitas etnis merupakan suatu proses eksplorasi dari identitas yang tidak terseleksi sampai identitas etnis yang dicapai. Dari definisi tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam diri individu terdapat sense tentang diri dalam kaitannya sebagai bagian dari kelompok etnis tertentu


(21)

dan proses inilah yang menyebabkan identitas etnis terbentuk.

Menurut Phinney dan Alipora identitas etnis adalah sebuah konstruksi kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnis, evaluasi positif pada kelompok, berminat didalam dan berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi masa depan yang berhubungan dengan etnisitas. Jadi, identitas etnis akan membuat seseorang memiliki harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya. Weinreich juga menyebutkan bahwa identitas sosial, termasuk identitas etnik merupakan penggabungan ide-ide, perilaku, sikap, dan simbol-simbol

bahasa yang ditransfer dari generasi ke generasi melalui sosialisasi

Freedman, Peplau & Sears berpendapat, salah satu yang mendorong terbentuknya identitas etnis adalah kesamaan-kesamaan sesama anggota etnis yang terbentuk melalui kesamaan proses belajar, kesamaan pengalaman, dan kesamaan latar belakang, hal mana membuat mereka memiliki kesamaan adat dan perilaku. Kesamaan-kesamaan itu menumbuhkan perasaan seidentitas

Kesamaan dalam kelompok belum cukup untuk menebalkan identitas etnis. Dalam proses untuk mengalami perasaan seidentitas, mereka juga memerlukan kehadiran entitas atau etnis lain sebagai komparasi dan penegas identitas tersebut. Identitas etnis merupakan hasil dari interaksi sosial. Kelompok


(22)

yang tidak berinteraksi dengan kelompok lain mungkin tidak akan menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan-kesamaan yang besar. Hanya dengan interaksi dengan kelompok lain identitas etnis mereka terbangun, dan semakin intens interaksi itu, semakin berkembang pula identitas etnisnya

Status identitas etnis atau derajat identifikasi etnis yang dimiliki seseorang tergantung pada banyak hal. Dua yang terpenting adalah derajat dari homogenitas dan heterogenitas kehidupan lingkungan tempat tinggal. Semakin homogen masyarakat yang ada di lingkungan tempat tinggal maka identifikasi terhadap kelompok etnisnya juga semakin rendah dan semakin heterogen masyarakat di lingkungan tempat tinggal maka identifikasi terhadap kelompok etnis semakin tinggi. Dalam masyarakat yang homogen, dalam hal ini satu etnis, tidak ada kebutuhan untuk menunjukkan identitas kelompok etnisnya pada orang lain hal mana membuat kurang kuatnya identifikasi terhadap kelompok etnis.

Menurut Keefe identitas etnis terdiri dari dua elemen, yaitu: 1) Identifikasi etnik sendiri vs kelompok etnik lain melalui proses kognitif, 2) Derajat keterikatan pada kelompok dan kebudayaannya yang merupakan elemen afektif. Tatkala seseorang merasa memiliki identitas etnis, maka ia mengidentifikasi siapa yang menjadi anggota kelompok etnis sendiri dan siapa yang menjadi anggota kelompok etnis lain. Ia pun mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang ada antara kelompok etnis sendiri dan kelompok lain. Ia juga memiliki keterikatan emosional tertentu terhadap etnisnya


(23)

fenomena objektif dan subjektif. Fenomena objektif manakala seseorang menegaskan identitas etnisnya melalui kriteria-kriteria tertentu yang pasti. Fenomena subjektif karena terkandung derajat perasaan kepemilikan (sense of belonging) akan kelompok etnisnya

Menurut Phinney dalam Steinberg yang dikutip dari smartpsikologi.blogspot.com, ada empat hal yang mungkin dilakukan remaja etnis minoritas dalam upaya hidup bersama kelompok mayoritas:

- Asimilasi (mencoba mengadopsi norma-norma budaya mayoritas dan standar mereka, namun sementara itu tetap menganggap mayoritas bukan sebagai kelompoknya)

- Marginality (hidup bersama budaya mayoritas tetapi sebagai orang asing dan tidak diterima)

- Separation (memisahkan diri dari budaya mayoritas dan tetap memakai budaya sendiri)

- Bikulturalisme (mengadopsi nilai-nilai mayoritas dan minoritas secara berbarengan).

Marcia mengkategorisasikan identitas status etnis dalam empat kategori yang berbeda. Bila telah mengeksplorasi etnisnya dan akhirnya ada komitmen terhadap etnis maka individu akan mencapai identitas status achievement. Bila ada eksplorasi terhadap etnisnya tetapi tidak memiliki komitmen terhadap etnis maka individu mencapai identitas status moratorium. Bila tidak ada eksplorasi atau pengetahuan mengenai etnisnya tetapi memiliki komitmen terhadap etnis maka disebut memiliki identitas status foreclosure. Dan terakhir bila tidak mengeksplorasi terhadap etnisnya dan juga tidak meiliki komitmen terhadap etnis maka individu disebut memiliki identitas diffusion. (http://smartpsikologi.blogspot.com/)

Jadi, persepsi identitas etnis bisa disimpulkan sebagai proses menafsirkan informasi indrawi seputar etnis.


(24)

I.6.4 Teori Interaksi Simbolik

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Selanjutnya pandangan fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia intersubjektif sebagai terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif , reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekauatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama. (Mulyana, 2001:59-61)

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang


(25)

subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspetasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial. (Mulyana, 2001:68-70)]

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.


(26)

I.7 Kerangka Konsep

Dari beberapa teori yang telah diuraikan pada kerangka teori maka langkah selanjutnya merumuskan kerangka konsep sebagai hasil dari suatu pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai (Nawawi, 1995:40). Konsep adalah penggambaran fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995:33).

Maka konsep operasional yang akan diteliti adalah - Identitas Etnis

- Komunikasi Antarbudaya

I.8 Operasionalisasi Konsep

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka konsep operasional tersebut dijadikan acuan untuk memecahkan masalah. Agar konsep operasional tersebut dapat membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian, maka dioperasionalkan sebagai berikut:


(27)

Konsep Operasional Operasionalisasi Konsep

Identitas Etnis 1. Identitas etnis sendiri dan kelompok etnis lain:

a. identifikasi etnisnya sendiri b. identifikasi terhadap etnis lain

c. mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang ada antara kelompok etnis sendiri dan kelompok lain.

2. Derajat keterikatan pada kelompok dan kebudayaannya:

a. Membentuk kelompok

kecil/perkumpulan b. komitmen

c. evaluasi positif pada kelompok/etnis d. berminat di dalam dan berpengetahuan

tentang kelompok/etnis

e. turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok

f. Sense of belonging

g. Pemahaman akan rasa cinta pada kelompok &budaya

h. harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya.


(28)

Komunikasi Antarbudaya

1. Pertukan pesan antar budaya

2. Komponen dari kompetensi komunikasi: a. motivasi

b. pengetahuan c. kemampuan

3. Masalah potensial dalam Komunikasi Antarbudaya:

a. pencarian kesamaan b. penarikan diri c. kecemasan

d. pengurangan ketidakpastian e. sterotip

f.prasangka g.etnosentrisme h. culture shock

I.9 Definisi Operasionalisasi Konsep

Definisi operasional merupakan penjabaran lebih lanjut tentang konsep yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep. Definisi operasional adalah suatu petunjuk pelaksanaan mengenai cara-cara untuk mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Singarimbun, 1995: 46).

Maka variabel yang terdapat dalam penelitian ini perlu didefinisikan sebagai berikut:


(29)

A. Identitas Etnis:

1. Identitas etnis sendiri dan kelompok lain, yaitu

a. identifikasi etnisnya sendiri: identifikasi/mengeksplorasi pengetahuan seputar etnisnya

b. identifikasi terhadap etnis lain: identifikasi/mengeksplorasi pengetahuan seputar etnis lain

c. mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang ada antara kelompok etnis sendiri dan kelompok lain: memiliki identifikasi/ekspolrasi pengetahuan tentang perbedaan yang ada antara kelompok etnisya sendiri dengan kelompok etnis lain.

2. Derajat keterikatan pada kelompok dan kebudayaannya: bagaimana ia mempersepsi keterikatan emosional tertentu terhadap etnisnya yang berhubungan dengan:

a. Membentuk kelompok kecil/perkumpulan : tindakan membentuk suatu perkumpulan dengan anggota etnis yang sama.

b. komitmen: memiliki loyalitas atau perasaan terikat terhadap kelompok etnisnya.

c. evaluasi positif pada kelompok/etnis: tindakan pelabelan positif pada etnisnya.

d. berminat di dalam dan berpengetahuan tentang kelompok/etnis: selalu berminat dalam kelompok dan berminat mengeksplorasikan pengetahuan seputar etnisnya.


(30)

e. turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok: terlibat dalam aktivitas kelompok etnisnya.

f. Sense of belonging: perasaan memiliki kelompok etnisnya.

g. Pemahaman akan rasa cinta pada kelompok dan budaya : memiliki kecintaan pada kelompok dan budayanya.

h. harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya: harapan yang dibangun terkait etnisnya.

B. Komunikasi antarbudaya:

1. Pertukaran pesan antar budaya yang mungkin terjadi baik pesan verbal mapuna non verbal.

2. Komponen dari kompetensi komunikasi:

a. motivasi: hasrat kita untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif deengn orang lain.

b. pengetahuan: kesadaran kita atau pemahaman kita akan apa yang kita butuhkan untuk dilakukan agara komunikasi berjalan secara efektif dan tepat.

c.kemampuan : kemampuan kita dalam mengolah perilaku yang perlu dalam berkomuniksi secara tepat dan efektif (Gundykunst & Young, 2003: 275) 3. Masalah potensial dalam Komunikasi Antarbudaya:

a. pencarian kesamaan : usaha untuk mencarai orang yang memiliki kesamaan budaya, etnis dan lainnya lalu berkumpul dalam satu kelompok.

b. penarikan diri : penarikan diri dari interaksi tatap muka, atau dari suatu komunitas


(31)

c. kecemasan : perasaan psikologis yang secara tiba-tiba menghasilkan sebauh situasi baru yang kurang aman/nyaman.

d. pengurangan ketidakpastian: usaha untuk mengurangi ketidakpastian atau dengan berusaha memprediksi perilaku apa yang akan dilakukan lawan bicara saat berinteraksi.

e. stereotip: Penggeneralisasian orang-orang (kelompok etnis lain) berdasarkan sedikit info dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam satu kelompok

f.prasangka : keyakinan yang didasarkan pada gagasan yang terlebih dahulu disederhanakan, digeneralisasi atau dilebih-lebihkan pada sekolompok orang.

g.etnosentrisme: mengangap kempok budaya/ etnisnya yang lebih baik (superior) hingga bisa menimbulkan rasisme yaitu pengkategorisasian

individu berdasarkan warna kulit, rambut, dan lainnya.

h. culture shock: kecemasan yang dihasilkan dari perasaan kehilangan tanda keluarga dan simbol dari pergaulan sosial, gegar budaya terjadi ketika kita memasuaki lingkungsn baru yang berbeda budaya.


(32)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II. 1 Komunikasi Antarbudaya II. 1.1 Komunikasi Antarbudaya

Akar dari studi komunikasi antarbudaya dapat ditemukan dari era Perang Dunia Kedua, ketika Amerika mendominasi panggung dunia. bagaimanapun, disadari pemerintah dan pebisnis bekerja melewati benua, dan berpindah-pindah dan akhirnya mereka sering menyadari perbedaan buaday yang terjadi. Kendala utama adalah bahasa, bagimana mereka harus mempersiapkan ini dan hal ini menjadi tantangan bagi omunikasi lintasbudaya yang mereka jalani.

Sebagai respon, pemerintah Amerika pada tahun 1946 membangun sebuah FSI ( Foreign Service Institute). FSI ini kemudian memilih Edward T. Hall dan beberpa ahli antropologi dan bahasa termasuk Ray Birdwhistell dan George Trager untuk mengurus keberangkatan dan kursus untuk para pekerja yang biasa keluar negeri. Karena bahan pelatihan antarbudaya masih jarang/langka maka mereka mengembangkan keahlian mereka sendiri. Alhasil, FSI memformulasikan cara baru untuk melihat baudaya dan komunikasi, dan lahirlah studi komunikasi antarbudaya ( Martin, Thomas , 2007:44-45)

Istilah antarabudaya (interculture) pertama kali diperkenalkan oleh seorang antroplog, Edward T.Hall pada 1959 dalam bukunya The Silent Language. Karya Hall tersebut hanya menerangkan tentang keberadaab konsep-konsep unsur kebudayaan, misalnya system ekonomi, religi, sistem pengetahuan sebagaimana apa adanya.


(33)

Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi baru dijelaskan satu tahun setelah itu, oleh David K. Berlo mealui bukunya The Process of Communication (an introduction to theory and practice) pada tahun 1960. Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurut Berlo, komuniksi akan berhasil jika manusaia memperhatikan faktor-faktor SMCR yaitu : source, messege, channel, receiver.

Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku komuniksi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komuniksi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda (Liliweri, 2001:1-2).

Studi komunikasi antarbudaya, menggabungkan 2 unsur yaitru budaya dan komunikasi. Hubungan antara budaya dan komunikasi begitu kompleks, perspektif dialektis mengasumsikan bahwa budaya dan komunikasi saling berhubungan dan timbal balik. Jadi, budaya mempengahui komunikasi dan sebaliknya. Menurut Burke dalam Intercultural Communication in Context , untuk itu, kelompok budaya mempengaruhi proses di mana persepsi dari realitas diciptakan dan dibangun: ’’semua komunitas di semua tempat setiap waktu memanifestasikan pandangan mereka sendiri terhadap realitas yang mereka lakukan. Keseluruhan budaya merefleksikan model realitas kontemporer’’. Bagaimanapun, kita mungkin saja bisa mengatakan bahwa komunikasi membantu menciptakan realitas budaya dari suatu komunitas ( Martin & Thomas, 2007: 92).


(34)

Rumusan objek formal komuniksi antarbudaya baru dipikirkan pada tahun 1970-1980an. ‘’Annual ‘’tentang komuniksi antarbudaya yang disponsori Speech Communication Association, terbit pertama kali tahun 1974 oleh Fred Casmir dalam The International anda Intercultural Communiction Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi anatarbudaya dalam International Journal of Intercultural Relations pada tahun 1977.

Tahun 1979, Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku khusus membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural Communication . selanjutnya thun 1983 lahir International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Edisi lain tentang komuniksi, kebudayaan, proses kerja sama antarbudaya ditulis oleh Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 198, komunikasi anatretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi Lintas budaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988 dan terakhir komuniksi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey & Korzenny, tahun 1988 (Liliweri, 2001:2-3).

Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi, bagaimana menjjagi makna, pola-pola tindakan, juga tentang bagaimana makna dan pola-pola itu diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan , bahkan lingkungan lingkungan teknologi yang melibtakan interaksi antarmanusia (Liliweri, 2004:10).

Young Yun Kim dalam Rahardjo mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, maka hal yang terpenting dari komunikasi anatarbudaya yang


(35)

membedakannya dari kajian keilmuan lainnya adalah tingkat perbedaan yang realtif tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi karena adanya perbedaan kutural. Selanjtnya menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi anatarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan (homogenitas) dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereak daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Rahardjo, 2005: 52-53).

Berikut ini adalah beberapa, definisi komuniksi antarbudaya ;

1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. porter, Intercultural Communication Reader- komuniksi anatarbudaya adalah komuniksi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial.

2. Samovar dan Porter juga mengatkan bahwa komunikasi anatarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.

3. Lustig dan Koester dalam Intercultural Communication Competence , mendefinisikan komunikais antarbudaya sebagai suatu proses komuniksi simbolik, interpretif, transaksioanl, kontestual yangh dilakuakn oleh sejumlah orang- yang karena memiliki perbedaan derajat keprntingan tertentu – memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makan yang dipertukarkan (Liliweri, 2004:10-11).


(36)

Selanjutanya, salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain. Gundykunst dan Kim dalam Alo Liliweri menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak kita kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas realsi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dilakukan melalui tiga tahap interaksi , yakni:

1. pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal,

2. initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul dari kontak awal tersebut,

3. closure, mulai membuka diri ynag semual tertutup melalui atribusi dan pengembangan kepribadian implisit.

Schramm dalam susanto yang dikutip dari Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, mengemukakan efektivitas komunikasi antara lain tergantung pada situasi dan hubungan sosial anatara komunikator dengan komunikan terutama dalam lingkup referensi maupn luasnya pengalaman di antara mereka ( Liliweri, 2001: 171). Sedangkan Schramm dalam Mulyana yang dikutip dari Gatra-Gatra Komunikasi menyebutkan, komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus memperhatiakn empat syarat, yaitu (1) menghormati anggota budaya lain sebagai manusia;(2) menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki; (3) menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak; dan (4) komunikator


(37)

lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari lain budaya. Sedangkan Devito mengemukakan beberapa faktor penentu efektivitas komunikasi antarpribadi, yakni: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) perasaan positif; (4) dukungan; dan (5) keseimbangan ( Liliweri, 2001: 171).

Beberapa ahli berusaha merumuskan kompetensi komunikasi antarbudaya, Kim menawarkan sebuah definisi detail mengenai kompetensi komuniksi anatbudaya yaitu ‘’ keseluruhan kapabilitas internal dari seseorang untuk menghadapi ciri-ciri dari tantangan yang sering terjadi saat komunikasi antarbudaya terjadi: yaitu, perbedaan budaya, dan ketidaksamaan, sikap inter-grup. Jadi, dari pengertian ini bisa dipahami untuk menjadi komunikator yang kompeten, kita harus memiliki kemampuan untuk menganalisis situasi dan memilih mode dari perilaku yang tepat ( Samovar, dkk, 2007: 314)

Menurut Samovar, komunikator yang efektif adalah mereka yang memiliki motivasi, mempunyai kerangka pengetahuan, memiliki kemapuan komunikasi yang diperlukan, dan memiliki karakter yang baik ( Samovar, dkk, 2007: 314), sedangkan Judith N martin dan Thomas Nakayama dalam bukunya Intercultural Communication in Context merumuskan 2 komponen kompetensi yaitu komponen individu yang terdiri dari: motivasi, pengetahuan, sikap, perilaku dan kemampuan, dan komponen kontekstual yaitu melihat konteks-konteks yang dapat mempengaruhi komunikasi anatarbudaya sebagai contoh, konteks historis, konteks hubungan, konteks budaya ataupun konteks lainnya seperti gender, ras dan sebagainya ( Martin & Thomas, 2007: 435-445)


(38)

Gundykunst dan Kim juga punya pandangan sendiri sehubungan dengan kompoonen kompetensi komuniksi antarbudaya yaitu: motivasi, pengetahuan, kemampuan. Motivasi sendiri dipahami sebagai keinginan untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif denganyang lain,dan motivasi dibagi menjadi 3 kebutuhan ynag penting yaitu, kebutuhan akan kemampuan untuk menebakperilaku orang lain, kebutuhan untuk menghindari perilaku menyebarkan kecemasan, kebutuhan untuk menopang konsep diri. Sedangkan komponen pengetahuan secara spesifik dibagi menjadi pengetahuan mengenai bagaimana mengumpulkan informasi, pengetahuan tentang perbedaan kelompok, pengetahuan akan kesamaan pribadi, pengetahuan akan interpretasi alternatif. Skill/kemampuan dimulai dari: kemampuan untuk menjadi sadar (mindful dalam komunikasi antarbudaya), kemampuan untuk mengolah kecemasan, kemampuan untuk berempati, kemapuan untuk menagadaptasi perilaku, kemampuan untuk membuat penjelasan dan prediksi yang akurat (Gundykunst & Kim, 2003: 276-292).

Gundykusnt & Kim dalam Rhardjo mengatakan sebenarnya bahwa paling tidak ada dua pandangan mengenai sifat kompetensi. Pandangan pertama menegaskan kompetensi seharusnya didalam diri seseorang ( komunikator) sebagai kapasitas atau kapabilitas orang tersebut untuk memfasilitasi proses komunikasi antar individu yang berbeda budaya sedangkan pandangan kedua berpendapat, kompetensi harus ada pada kedua belah pihak ( Rahardjo, 2003: 72).

Dalam ‘’Intercultural Communication In context’’, Howell menitikberatkan bahwa komunikasi anatarbudaya adalah sama, hanaya saja diperoleh melalui analisis kesadaran dan yang berada pada level teratas dari


(39)

kompetensi komunikasi memerlukan kombinasi berpikir holistic dan analitik. Howell mengidentifikasikan 4 level kompetensi komunikasi antarbuadaya, unconscious incompetence, yaitu saat di mana kita tidak sadar akan perbedaan dan tidak butuh berbuat pada cara tertentu, conscious incompetence yaitu seseorang menyadari sesuatu tidak berjalan dengan baik saat interaksi tetapi mereka tidak yakin mengapa terjadi, conscious competence yaitu, seseorang sudah mulai sadar , berpikir analitik dan belajar, pada tahap ini seseorang menjalani proses menjadi seorang komunikator yang kompeten dan unconscious competence yaitu

komunikasi berjalan lancar tetapi tidak dalam proses yang disadari.

II.1.2 Perspektif Interpretif sebagai Pendekatan komunikasi Antarbudaya

Yang juga turut mempengaruhi studi komunikasi antarbudaya adalah penelitian paradigma. Paradigma sendri secara sederhana dipahami sebagai pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh ilmu yang bersangkutan ( Purba, 2006: 16). Masing-masing paradigma tentu mengasusmikan interpretasi yang berbeda mengenai realitas, perilaku manusia, budaya dan komunikasi ( Martin & Thomas, 2007: 47).

Beberapa ahli komunikasi percaya bahwa ada sebauha realitas eksternal yang dapat diukur dan dipelajari, sementara yang lain percaya bahwa realitas dapat dimengerti hanya hidup dan dialami oleh individu. Pendek kata, kepercayaan dan asumsi tentang realitas mempengaruhi metode dan penemuan penelitian dan kemudian juga mempenagruhi apa yang secara tepat kita ketahui


(40)

sebagai komuniksi antarbudaya. Selanjutnya, kita dapat mengidentifikasi 3 pendekatan yang masing-masing memberikan karaktersitik bagi budaya dan komunikasi. Ketiga pendekatan ini melibatkan sebuah campuran displin ilmu dan merefleksikan pandangan yangberbeda serta asumsi tntang realitas, perilaku manusia, dan cara untuk mempelajari budaya dan komunikasi.

Tiga pendekatan yang mempelajari komunikasi antarbudaya adalah 1. pendekatan ilmu sosial (fungsional), 2. pendekatan interpretif, 3. pendekatan kritis. Masing-masing memberikan cara yang unik untuk memahami hubungan anatara kebudayaan dan komunikasi tetapi msing-masing memiliki keterbatasan. ( Martin & Thomas, 2007: 49).

Table 1. Tiga pendekatan Komunikasi Antarbudaya ilmu sosial

(Fungsional)

interpretif kritis

Disiplin dimana pendekatan

ditemuka n

Psikologi Antropologi Sosiolinguistik

Beragam

Tujuan penelitian Menjelaskan dan memprediksikan perilaku Menjelaskan perilaku Merubah perilaku Asumsi tentang realitas

Eksternal dan dapat dijelaskan

Subjektif Subjektif dan

penting Asumsi tentang

perilaku manusia

Dapat ditebak Kreatif dan

sengaja


(41)

Metode studi Survei dan observasi Observasi partisipan, studi lapangan Analisis tekstual media Hubungan antara budaya dan komunikasi Komunikasi dipengaruhi budaya Budaya diciptakan dan dibangun melalui komuniksi Budaya adalah sebuah tempat dari perjuangn kekuasaan Kontribusi dari pendekatan Mengidentifikasi variasi kultural ; mengenali

perbedaan kultural pada banyak aspek komunikasi tetapi

sering tidak mempertimbangkan

konteks

Menekankan bahwa

komunikasi dan budaya dan perbedaan kultural dpata dipelajari dalam konteks. Mengenali kekuatan ekonomi dan politik dalam kebudayaan dan komunikasi; menyatakan bahwa interaksi antarbudaya digolongkan oleh kekuasaan.

( Martin & Thomas, 2007: 50).

Dan untuk penelitian ini, maka perspektif/pendekatan yang tepat dan digunakan adalah perspektif interpretif. Pendekatan interpretif memperoleh masa-masa keunggulan sekitar tahun 1980an. Para peneliti dengan pendekatan ini berasumsi pendekatan ini adalah tidak hanya realitas eksternal dari manusia tapi juga manusia mengkonstruksikan realitas. Mereka juga percaya bahwa


(42)

pengalaman manusia, termasuk komunikasi, bersigat subjektif dan perilaku manusia tidak ada ditetapkan sebelumnya maupun diprediksi. Tujuan dari penelitian komunikasi antabudaya dengan pendekatan ini adalah untuk mengerti

dan menjelaskan perilaku manusia dan memprediksi tidak menjadi tujuan ( Martin & Thomas, 2007: 56).

Jadi, dengan pendekatan ini, penelitian akan fokus pada pengertian akan suatu fenomena secara subjektif dari dalam sebuah komunitas budaya tertentu, dan inilah yang disebut penelitian ‘’emik’’.

Para peneliti akan mencoba untuk menjelaskan pola-pola atau aturan-aturan di mana individu mengikuti pada konteks yang spesifik. Penelitian akan cenderung jadi lebih tertaik untuk menjelaskan perilaku kultural dari sautu komunitas daripada melakukan perbandingan lintas budaya ( Martin & Thomas, 2007: 57).

Menurut Littlejohn dalam Rahrdjo, gagasan interpretif, yaitu pemikiran-pemikiran teoritik yang berusaha menemukan makna dari suatu tindakan dan teks ( Rahardjo, 2005:41). Teori-teori dari genre interpretif ini berusaha menjelaskan suatu proses di mana pemahaman terjadai dan membuat perbedaan yang tajam antara pemahaman dengan penjelasan ilmiah. Tujuan dari interpretif bukan untuk menemukan hukum yang mengatur kejadian, tetapi berusaha mengungkap cara-cara yang dilakukan orang dalam memahami pengalaman mereka sendiri ( Rahardjo, 2005:41).

Dengan demikian secara operasional, pendekatan interpretif akan dipakai sebagai landasan berpikir dengan pertimbangan bahwa permasalah identitas etnik


(43)

dalam komunikasi anatarbudaya merupakan hal yang dirasakan dan dialami secara subjektif oleh setipa individu/ subjek penelitian nantinya.

II.1.3 Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan mengalami penurunan atau peningkatan dalam suatu pertemuan antarbudaya. Faktor-faktor tersebut adalah motivasi, pengetahuan dan kecakapan (Rahardjo, 2005: 69-70). Faktor-faktor tersebut disebut Gundykunst sebagai kompetensi komunikasi antarbudaya, yang secara konseptual diberi arti sebagai kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan oleh suatu pihak untuk berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda latar belakang budaya (Rahardjo, 2005:71).

Motivasi sendiri adalah dimensi paling penting dalam kompetensi komunikasi. Jika kita tidak termotivasi dalam berkomunikasi dengan orang lain maka tak akan ada gunanya kemampuan yang kita punya. Jadi secara sederhana motivasi bisa dinilai sebagai hasrat untuk membuat komitmen dalam hubungan, untuik belajar tentang diri dan orang lain, dan untuk menyisakan keluwesan (Martin & Nakayama, 2007: 435). Sedangkan pengetahuan dipahami sebagai kualitas dari pemahaman kita tentang apa yang dibutuhkan dan tindakan supaya memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya (Rahardjo, 2005:71). Dan kecakapan sendiri menyangkut pada kinerja perilaku yang sebenarnya yang dirasakan efektif dan pantas dalam konteks komunikasi (Rahardjo, 2005:71).


(44)

Berikut adalah tabel penjelasan komponen kompetensi komunikasi antarbudaya: Komponen Kompetensi Komunikasi

Antarbudaya

Elemen

1. Motivasi - kebutuhan untuk memprediksi,

- kebutuhan untuk menghindari penyebaran kecemasan, dan

- kebutuhan untuk menopang konsep diri ( Gundykunst & Kim, 2003: 276-279).

- mindful terhadap ranah identitas,

- mindful terhadap kebutuhan identitas,

- mindful terhadap kecenderungan etnosentrisme (Rahardjo, 2005:76). 2. Pengetahuan - pengetahuan tentang bagaimana

mengumpulkan informasi,

- pengetahuan tentang perbedaan kelompok,

- pengetahuan tentang kesamaan personal,

- pengetahuan tentang interpretasi alternatif (Gundykunst & Kim, 2003: 279-283).

- pengetahuan tentang nilai kultural/personal,

- pengetahuan tentang bahasa dan komunikasi verbal,

- pengetahuan tentang komunikasi non verbal,


(45)

- pengetahuan tentang batas in-group dan out-group,

- pengetahuan tentang pengembangan relasi,

- manjemen konflik

- pengetahuan tentang adaptasi antarbudaya. (Rahardjo, 2005:76).

3. Kecakapan - kemampuan untuk memberi

perhatian/mengamati dan mendengarkan,

- kemampuan untuk bertoleransi pada ambiguitas,

- kemampuan dalam mengelola kecemasan,

- kemampuan berempati,

- kemampuan untuk menyesuaikan perilaku,

- kemapuan untuk memberikan ketepatan dalam memprediksi dan menjelaskan perilaku orang lain (Gundykunst & Kim, 2003: 285-292)

- mindful dalam pengamatan, dan dalam mendengarkan,

- mampu empati verbal,

- memiliki kepekaan non-verbal, - memiliki kecakapan menyesuaikan

diri dan konflik konstrukstif

- memiliki mindful terhadap stereotip (Rahardjo, 2005:76).


(46)

Howell menitikberatkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah sama, yang akan memiliki lebih dapat diperoleh melalui analisis secara sadar, dan tingkat tertinggi dari kompetensi komunikais diperoleh dari proses pemikiran yang analitik dan holistik. Howell kemudian mendefinisikan empat level kompetensi komunikasi antarbudaya yaitu: Unconcious Incompetence, Conscious Incompetence, Conscious Competence, dan Unconscious Competence (Martin & Nakayama, 2007: 443)

Unconcious Incompetence terjadi apabila seseorang tidak sadar, akan perbedaan dan merasa tidak butuh berprilaku pada situasi tertentu sedangkan Conscious Incompetence terjadi pada saat seseorang telah menyadari sesuatu tidak berjalan dengan baik dalam komunikasinya tapi tidak yakin kenpa dan tidak tahu harus berbuat apa. Conscious Competence terjadi bila seseorang sudah mampu berkomunikasi dengan baik, melalui proses pemikiran analitik dan belajar, dan terus mengubah perilakunya supaya komunikasi menjadai lebih lebih efektif. Dan Unconscious Competence terjadi apabila seseorang belum menyadari bahwa komunikasinya berjalan dengan lancar dan sebenarnya dia cukup memiliki kemampuan dalam berkomunikasi (Martin & Nakayama, 2007: 443-445).

Level dari kompetensi bukanlah sesuatu yang kita dapat peroleh melalui kesadaran untuk mencobanya. Hal itu terjadi ketika bagian proses analisis dan menyeluruh (holistik) pada komunikasi digunakan secara bersama-sama.


(47)

II.2 Identitas Etnis

II. 2. 1 Pengertian Identitas Etnis

Siapa aku? Pertanyaan ini mungkin mudah bagi seseorang dan bisa jadi sulit bagi orang lain. Identitas adalah suatu konsep yang abstrak dan beraneka ragam yang memainkan peran yang signifikan dalam seluruh interaksi komunikasi.untuk itu penting memberikan apresiasai pada apa yang membawa identitas. Dan untuk memberikan pemhaman mengenai hal tersebut, maka perlu untuk memperluas kebutuhan untuk mengerti peran dari identitas dalam masyarakat yang beragama budaya ini. Dan kebutuhan akan pemahaman perasaan tentang identitas akan terbukti sendiri. Perkembangan identitas dipertimbangkan sebagai sebuah aspek kritis bagi kebaikan/kesehatan psikologis setiap orang. Menurut Phinney dalam Samovar dkk, sebuah prinsip objektif bagi orang dalam masa-masa usia dewasa adalah pembentukan sebuah identitas dan siapa yang gagal memperoleh sebuah identitas yang tepat akan menghadapai kebingungan identitas, kekurangan kejernihan pemikiran tentang siapa mereka dan apa peran mereka dalam hidup.

Pemahaman akan identitas juga sebuah aspek yang penting dalam studi dan praktik komunikasi antarbudaya. Perhatian dari studi komunikasi antarbudaya adalah bagaimana identitas mempengaruhi dan menuntun ekspektasi tentang apa peran sosial diri dan orang lain maupun menyediakan tuntunan bagi interaksi komunikasi dengan oang lain (Samovar dkk, 2007: 109-110).

Secara sederhana identitas dipahami sebagai konsep pribadi mengenai diri di dalam sebuah konteks sosial, geografik, budaya dan politik. Menurut Mathews


(48)

dalam Smaovar dkk, identitas adalah bagaimana diri menyusun dirinya sendiri dan label untuknya sendiri (Samovar dkk, 2007: 111).

Tipologi identitas dalam Communication between Cultures, terbagi atas: identitas ras, identitas etnis, identitas gender, identitas nasional, identitas regional, identitas organisasi, identitas pribadi, dan identitas maya dan fantasi (Samovar dkk, 2007: 113- 118). Sedangkan dalam Intercultural Communicatin In contexts, identitas budaya dan sosial dibagi atas: identitas gender, identitas usia, identitas ras, identitas etnis, identitas agama, identitas kelas, identitas nasional, identitas regional, dan identitas pribadi ( Martin & Thomas, 2007:171-188).

E. Barth dan Zastrow dalam Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, menyebutkan etnis adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada sistem nilai budayanya.

Sedangkan kelompok etnis merupakan konsep untuk menerangkan suatu kelompok, baik kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras yang secara sosial dianggap berada dan telah mengembangkan subkultur sendiri. Pengertian ras dan etnis sendiri dapat dipilah dan harus dipahami bahwa etnis merupakan suatu kelompok yang terbentuk atas dasar kesamaan karakteristik yang sifatnya lebih ‘’kebudayaan’’ daripada ras yang mengacu pada ciri-ciri ragawi (Liliweri, 2001:335-336).

Identitas etnis sering dikaji sosiolog, antropolog, psikolog, dan sejarahwan. Para ahli meneliti asal-usul, substansi, konsekuensi dan proses etnisitas yang sedang berubah dalam berbagai komunitas. Istilah-istilah lain yang


(49)

sering menjadi sinonim adalah etnisitas, dan konsep-diri kultural atau rasial. Istilah-istilah ini kadang-kadang digunakan identik atau punya makna yang sama oleh para ahli. Namun kadang-kadang konsep yang sama diartikan secara berbeda oleh para ahli. Makna konsep identitas etnis tidak selalu eksplisit dalam kajian-kajian itu. Sering ia berkelindan dengan dan atau tersirat dalam kajian-kajian tentang akulturasi, asimilasi suatu kelompok etnis (Mulyana & Jalaludin, 2005: 151).

Identitas etnis sendiri sebenarnya merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Ting-Toomey dalam Rahardjo, mendefinisikan identitas kultural merupakan perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut dalam memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu (Rahardjo,. 2005: 1-2). Sedangkan identitas etnis bisa dilihat sebagai sebuah kumpulan ide tentang satu kepemilikan keanggotaan kelompok etnis. Hal ini menyangkut beberapa dimensi:

1. Identifikasi diri sendiri,

2. Pengetahuan tentang budaya etnis (tradisi, kebiasaan, nilai, perilaku) 3. Perasaan mengenai kepemilikan pada kelompok etni tertentu.

Identitas etnis sering melibatkan sebuah perasaan yang dibagi tentang asal dan sejarah, di mana mungkin mata rantai kelompok etnis pada kelompok budaya yang jauh di Asia, Eropa, Amerika Latin atau tempat lain ( Martin & Thomas, 2007:175)..

Memiliki sebuah identitas etnis berarti mengalami sebuah perasaan memiliki pada suatu kelompok dan mengetahui sesuatu tentang pengalaman yang dibagi pada anggota kelompok ( Martin & Thomas, 2007:175).


(50)

Bagi penduduk AS, misalnya, etnisistas adalah sebuah konsep yang speseifik dan relevan. Mereka melihat dri mereka di hubungkan pada sebuah daerah di luar AS-sebagai mExico Amerika, Jepang Amerika dan sebagainya. Atau pada beberpa daerah yang sebelumnya ada di AS, seperti Navajo, Hopi, dan sebagainya. Sedangkan sebagian yang lain menyebutkan etnisitas adalah sebuah konsep yang samar-samar. Mereka melihat diri mereka sendiri sebagai ‘’Amerika’’ dan menolak dugaan/ gagasan sebagai orang Amerika yang mengidentifikasi mereka tidak hanya sebagai warga AS ( campuran), tapi juga sebagai anggota dari kelompok etnis, artinya mereka hanya mengakui diri mereka sebagai orang Amerika tidak sebagai Jerman Amerika dan sebagainya ( Martin & Thomas, 2007:176-177).

Beberapa ahli menyatakan identifikasi etnis dan ras sama dan ada yang menyebutkan keduanya berbeda. Beberapa ahli menyebutkan identitas etnis dikonstruksikan oleh dirinya sendiri dan lainnya tapi identitas ras dikonstruksikan semata-mata oleh dirinya ( Martin & Thomas, 2007:177).

Karena ‘’perbedaan antara istilah ras dan etnisitas telah tidak cukup dijelaskan dalam literatur’’ maka variasi anatara ras dan identitas etnis dapat juga jadi tidak jelas dan membingungkan. Masalah ini lebih jauh dipersulit karena orang-orang sering menggambarkan identitas etnis mereka dalam ‘’cara-cara individual yang tinggi sesuai dengan situasi dan lingkungan tertentu.’’ Dari pandangan Samovar dkk, walaupun identitas ras dikaitkan pada warisan biologis yang menghasilkan karakteristik fisik yang sama dan dapat diidentifikasi. Etnisitas/ identitas etnis diperoleh dari sebuah perasaan yang membagi warisan,


(51)

sejarah, tradisi, nilai, perilaku yang sama, daerah asal dan dalam beberapa hal membagi bahasa. Kebanyakan orang memperoleh identitas etnis mereka dari sebuah kelompok regional, misalnya Kurdi, sebuah kelompok etnis yang besar di Timur Laut Irak dengan komunitas di Turki, Iran, Syria. Pada contoh di atas, perasaan mereka pada etnisitas melebihi batas Negara dan didasari pada praktek dan kepercayaan budaya umum. (Samovar dkk, 2007: 113-114).

Selama beberapa tahun belakang ini di AS, imigran biasanya sering membuat kelompok sesuai dengan daerah tertentu, untuk membentuk komunitas etnis. Biasanya sense orang-oarng tersebut pada kelompok etnisnya tetap kuat seperti praktik budaya tradisional dan kepercayaan yang masih diikuti dan kekal (dijalankan terus menerus). Tetapi seiring waktu, anggota dari generasi muda mengalami keragaman etnis yang lebih besar dan sering menikah dengan anggota dari kelompok etnis lain. Hal ini, menimbulkan kecenderungan untuk menipiskan perasaan mereka pada identitas etnis dan hari ini, hal tersebut menjadi biasa ketika mendengar orang Amerika menjelaskan etnisitas mereka dengan sejumlah historis yang panjang mengenai etnik keluarga yang telah bergabung dari etnis lain. Yang lain bahkan sering secara sederhana mengakui diri mereka hanya sebagai orang Amerika atau ‘’Amerika kulit putih’’. Sering kali, mereka adalah anggota dari kelompok budaya dominan Amerika, yang semula meninggalkan tradisi religius Kristen-Judeo yang berasal dari Eropa Barat, yang garis silsilah secara historis diberi ciri oleh pencampuran yang luas melalui pernikahan antar etnis selama bertahun-tahun.Martin dan Nakayama menulis banyak praktik budaya yang diasosiasikan dengan ‘’warna kulit putih’’ melebihi kesadaran


(52)

partisipan, tapi tidak dapat dilihat oleh anggota kelompok budaya minoritas. Oleh karena itu, ‘’putih’’ sering diasosiasikan dengan posisi keistimewaan (Samovar dkk, 2007: 114).

II. 2. 2Pendekatan Subjektif terhadap Identitas Etnis

Ada dua pendekatan terhadap identitas etnis yaitu pendekatan objektif (struktural) dan pendektan subjektif (fenomenologis). Jika pendekatan objektif melihat sebuah kelompok etnis sebagai kelompok yang bisa dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama, atau asal-usul kebangsaan. Kontras dengan itu, perspektif subjektif merumuskan etnisitas sebagai suatu proses dalam mana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok etnis dan diidentifikasi demikian oleh orang lain dan memusatkan perhatiaanya pada keterikatan dan rasa memiliki yang dipersepsi kelompok etnis yang diteliti (Mulyana & Jalaludin, 2005: 152).

Jadi penelitian ini menggunakan pendektan kedua yaitu pendekatan subjektif yang sejalan dengan perspektif interpretif. Pendekatan kedua menganggap etnisitas bersifat dinamik.

Pendekatan subjektif (fenomenologis) terhadap identitas etnis dapat dilacak hingga ke definisi Cooley dan Mead tentang diri. Pendekatan ini mengkritik pendekatan positivistik dalam arti bahwa ia membatasi kemungkinan perilaku manusia yang dapat dipelajari. Berbeda dengan pendekatan positivistik, yang memandang individu-individu sebagai pasif dan perubahannya disebabkan


(53)

kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka, pendekatan fenomenologis memandang manusia jauh dari pasif (Mulyana & Jalaludin, 2005: 155).

Secara tradisional, etnisitas dipandang sebagai seperangkat ciri sosio-kultural yang membedakan kelompok-kelompok etnik antara yang satu dengan lainnya. Barth yang dikutip dari Komunikasi Antarbudaya menyebutkan bahwa ciri-ciri penting suatu kelompok etnis adalah askripsi yang diberikan kelompok dalam dan kelompok luar, memandang kelompok etnis sebagai suatu jenis organisasi sosial tempat para aktor menggunakan identitas-identitas etnis untuk mengkategorisasikan diri mereka dan orang-orang lain untuk tujuan interaksi (Mulyana & Jalaludin, 2005: 156).

Perspektif Barth akhirnya mengilhami banyak ahli untuk meneliti apa yang disebut Paden dan Cohen etnisitas situasional, yaitu bagaimana identitas etnis digunakan individu-individu dalam interaksi mereka dengan orang lain. Kajian-kajian ini menganggap identitas etnis sebagai dinamik, cair dan situasional (Mulyana & Jalaludin, 2005: 156).

Pendekatan subjektif ini sejalan dengan perspektif interpretif dalam menilai identitas. Perspektif interpretif menekankan bahwa identitas bisa dirundingkan, bisa dibentuk kembali, diperkuat dan dijalani melalui komunikasi dengan yang lain: identitas (identitas etnis) muncul ketika pesan saling dipertukaran di antara orang-orang. Ini artinya bahwa menunjukkan identitas kita bukanlah sebuah proses yang sederhana. Tentu tidak setiap orang melihat kita sebagaimana kita melihat diri kita sendiri. Konsep avowal (pengakuan) dan


(54)

askripsi penting untuk membantu kita memahami bagaimana kesan dapat menimbulkan konflik (Martin & Thomas, 2007: 158)

Pengakuan sendiri dipahami sebagai proses di mana individu memerankan diri mereka sendiri sedangkan askripsi adalah proses di mana orang lain mengatribusikan identitas tertentu pada mereka. Identitas yang berbeda digunakan tergantung individu yang terlibat dalam komunikasi. Artinya bisa saja saat kita berinteraksi dengan lawan jenis, maka identitas yang muncul adalah identitas gender dan saat kita bertemu dan berinteraksi dengan orang yang berbeda etnis, identitas yang muncul adalah identitas etnis. Ininya, perspektif interpretif beranggapan bahwa identitas dan khususnya identitas etnis diekspresikan secara komunikatif melalui core symbols , label, dan norma. Core Symbols (nilai budaya) memberitahukan tentang kepercayaan fundamental dan konsep sentral yang memberi definisi identitas tertentu, yang dibagikan di antara anggota kelompok budaya.

II.3 Interaksionisme Simbolik

II.3.1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik

Beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis interaksionisme simbolik: James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey, Wiliam I.Thomas dan George Herbet Mead. Akan tetapi Mead-lah yang paling popular sebagai peletak dasar teori tersebut. Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an dan 1930-an ketika ia menjadi g professor filsafat di Universitas Chicago. Namun


(55)

gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dankuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik, yakni: Mind, Selg and Society (1934) yang terbit tak lama setelah Mead meninggal dunia. Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga berlangsung melalui interpretasi dan penjabaran lebih lanjut yang dilakukan para mahasiswanya, terutama Herbert Blumer. Justru Blumer-lah yang menciptakan istilah ‘’interaksi simbolik’’ pada tahun 1937 dan mempopulerkannya di kalangan komuniitas akademik (Mulyana, 2001: 68).

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Blumer mengintegrasikan gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisannya, terutama pada tahun 1950-an dan 1960-an, diperkaya dengan gagasan-gagasan dari John Dewey, Wiliam I.Thomas dan Charles H. Cooley (Mulyana, 2001: 68).

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Menurut Natanson, pandangan fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia intersubjektif sebagai terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Ia mengakui bahwa George Herbert Mead, William I. Thomas, dan Charles H. Cooley, selain Mahzab


(56)

Eropa yang dipengaruhi Max Weber, adalah representasi Perspektif fenomenologis ini. Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologis adalah interaksionisme simbolik dan etnometodologi (Mulyana, 2001: 59).

Selama dekade-dekade awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolah-olah tetap tersembunyi di belakang dominasi teori fungsionalisme dari Talcott Parsons. Namun kemunduran fungsionalisme tahun 1950-an dantahun 1960-an mengakibatkan interaksionisme simbolik muncul kembali ke permukaan dan berkembang pesat hingga saat ini. Selama tahun 1960-an tokoh-tokoh interaksionisme simbolik seperti Howard S.Becker dan Erving Goffman menghasilkan kajian-kajian interpretif yang menarik dn menawarkan pandangan alternative yang sangat memikat mengenai sosialisasi dan hubungan antara individu dan masyarakat (Mulyana, 2001: 59).

Menurut Meltzer, sementara interaksionisme simbolik dianggap relatif homogen, sebenarnya perspektif ini terdiri dari beberapa mahzab berdasarkan akar historis dan intelektual mereka yang berbeda. Aliran-aliran interaksionisme simbolik tersebut adalah Mahzab Chicago, Mahzab Iowa, Pendekatan Dramaturgis, dan Etnometodologi. Mahzab Chicago dan Mahzab Dramaturgis tampaknya memberikan pemahaman lebih lengkap mengenai realitas yang dikaji. Kedua pendekatan itu tidak hanya menganalisis kehadiran manusia di antara sesamanya, tetapi juga motif, sikap, nilai yang mereka anut dalam privasi mereka (Mulyana, 2001: 59-60).


(1)

dengan etnis lain karena mereka memiliki ekspektasi teman beda etnisnya yang positif yang kahirnya mendorong mereka untuk mau berkomunikasi dengan teman beda etnis. Mereka memberikan definisi tentang teman beda etnis, situasi komunikasi bahkan menyangkut kemampuan komunikasi mereka dengan nilai dan harapan yang lebih baik disbanding teman-temannya yang tak bisa berkomunikasi dengan teman beda etnis.

Sedangkan untuk responden yang berstatus mahasiswa/mahasiswi mandiri, mereka membuat semacam definisi dan juga tafsiran atas teman beda etnis di sekiling mereka dengan harapan yang lebih baik, sehingga mendorong mereka untuk berkomunikasi antarbudaya. Mereka bertindak berdasarkan definisi dan penafsiran tersebut.

Jadi proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegaskan atauran-aturan.


(2)

BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian tentang peran identitas etnis terhadap komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Melayu Malaysia, maka dapat ditarik kesimpulan:

1. Identitas etnis yang muncul pada kebanyakan responden adalah perasaan in-group dan out-group, stereotip, sikap etnosentrisme, pengetahuan tentang budaya etnis, rasa kepemilikan serta evaluasi positif pada kelompok etnis.

2. Keseluruhan responden, berupaya mempertahankan identitas etnis mereka dengan menjaga nilai Melayu yang mereka anut. Dan di lain pihak mereka juga berusaha untuk berbaur. Perubahan atau pembauran yang terjadi kebanyakan hanya berkenaan dengan bahasa. Mereka berusaha untuk bisa berbahasa Indonesia, dan kemampuan berbahasa Indonesia lebih banyak dimiliki mahasiswa jalur Mandiri.

3. Rata-rata kompetensi komunikasi antarbudaya responden adalah berada pada level Conscious Incompetence, Conscious Competence, dan Unconscious Competence. Dan level Conscious Competence, lebih banyak dimiliki mahasiswa jalur Mandiri.

4. Kesadaran identitas etnis akan tinggi saat:


(3)

- mereka menemukan perbedaan nilai dan pola perilaku kultural yang sangat jauh

- mereka mengidentifikasi secara kuat, kesamaannya dengan kelompok etnisnya

- mereka merasa sebagai kelompok yang lebih baik dari negara yang lebih maju

- mereka terdesak untuk menunjukkan identitas etnisnya.

5. Jenis kelamin, tempat tinggal cukup berpengaruh dalam memaknai identitas etnis. Dan jalur masuk juga mempengaruhi pembentukan identitas etnis.

6. Identitas etnis berperan sebagai pembeda dengan kelompok etnis lain bagi mahasiswa jalur Internasional dan akhirnya pada banyak kasus identitas etnis menjadi penghambat komunikasi antarbudaya, sedangkan pada kelompok mahasiswa Mandiri, identitas etnis berperan sebagai pengenal bagi kelompok etnis lain, bahwa mereka adalah orang Melayu Malaysia, dan akhirnya identitas etnis mendorong komunikasi antarbudaya mereka.

V.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti perlu mengajukan beberapa saran:

1. Hendaknya mahasiswa jalur Internasional tidak terlalu kaku dalam mengidentifikasi kesamaan mereka dengan kelompok etnis.

2. Hendaknya mahasiswa jalur Internasional bisa lebih terbuka dan tidak terlalu tergantung dengan kelompok.


(4)

3. Hendaknya mahasiswa Malaysia baik jalur Internasional maupun jalur Mandiri bisa lebih memahami nilai etnis di Medan

4. Hendaknya mahasiswa Malaysia baik jalur Internasional maupun jalur Mandiri bisa lebih belajar untuk bisa mengenali etnis teman Indonesianya

5. Penelitian ini bisa menjadi bahan rujukan dalam melihat identitas etnis yang dimiliki etnis pendatang dan minoritas. Dan bisa dijadikan referensi untuk penelitian sejenis pada kondisi yang berbeda.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bodgan, Robert dan Steven J. Taylor. 1992. Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.

Bungin, Burhan .2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana . 2008. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana

Daymon, Christine dan Immy Holloway. 2008. Metode-metode Riset Kualitatif dalam Public Relations & Marketing Communications. Yogyakarta: Bentang.

Cangara, Hafied.2002. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Gundykunst, William & Young Yun Kim. 2003. Communicating with Strangers. New York: Mc Graw Hill International.

Kriyantono, Rachmat. 2008. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Liliweri, Alo.2004. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lubis, Lusiana A.2008. Pemahaman Praktis Komunikasi Antarbudaya. Medan Lubis, Suwardi.1999. Komunikasi Antarbudaya.Studi Kasus Etnik Batak Toba

dan Etnik Cina. Medan: USU Press.

Martin, Judith dan Thomas K. Nakayama. 2007. Intercultural Communication in Contexts. New York:Mc Graw Hill International.


(6)

Mulyana, Deddy dan Jalaludin Rahmat. 2005. Komunikasi Antarbudaya. Panduan Praktis dengan Orang-orang yang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Nawawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Rahardjo, Turnomo. 2005. Menghargai Perbedaan Kultural. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.

Samovar, Richard E.Porter dan Edwin Mcdaniel. 2007. Communication Between Cultures. Belmont: Thomson Learning

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (ed).1995. Metode Penelitian Survei: Edisi Revisi. Jakarta: LP3ES

Sumber lain :


Dokumen yang terkait

Peran Identitas Etnis Dalam Komunikasi Antarbudaya Pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Kota Medan

3 59 147

Identitas Budaya Dan Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Peran Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara)

10 110 264

Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa (Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara).

5 75 211

Culture Shock Dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Universitas Sumatera Utara)

9 145 187

Stereotip Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya

1 16 172

PERAN IDENTITAS SUKU JAWA DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Peran Identitas Suku Jawa Dalam Komunikasi Antarbudaya (Studi Deskriptif Kualitatif Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Putri yang ada di Demak).

0 1 14

Peran Identitas Etnis Dalam Komunikasi Antarbudaya Pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Kota Medan

0 0 42

PERAN IDENTITAS ETNIS DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PADA KOMUNITAS TAMIL DI KAMPUNG MADRAS KOTA MEDAN SKRIPSI

0 0 13

NEGOSIASI IDENTITAS PENDATANG DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DENGAN ETNIS MADURA (Studi Interpretif Komunikasi Antarbudaya Pendatang dan Etnis Madura di Kamal Bangkalan) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 12

IDENTITAS ETNIS PEGAWAI BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN ILMU PELAYARAN (BP2IP) BAROMBONG (STUDI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA)

0 0 100