Identitas Budaya Dan Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Peran Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara)

(1)

IDENTITAS BUDAYA DAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA (Studi Kasus Peran Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya pada

Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan oleh: Surita Lestari Zulham

070904056

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : SURITA LESTARI ZULHAM NIM : 070904056

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : IDENTITAS BUDAYA DAN KOMUNIKASI

ANTARBUDAYA (Studi Kasus Peran Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara)

Medan, Juli 2011

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Ilmu Komunikasi

Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A NIP: 197711062005011001 NIP: 196208281987012001

Dekan

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si NIP: 196805251992031002


(3)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Identitas Budaya dan Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Peran Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran identitas budaya dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa etnis Minangkabau di Universitas Sumatera Utara, dalam hal ini juga untuk mengetahui identitas budaya yang terbentuk dan mengetahui perubahan identitas budaya yang mungkin terjadi di kalangan mahasiswa etnis Minangkabau Universitas Sumatera Utara.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang melakukan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulannya yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa etnis Minangkabau asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara angkatan 2008-2010.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan identitas budaya yang dialami oleh mahasiswa etnis Minangkabau dipengaruhi oleh lingkungan asal mereka. Adapun identitas budaya yang dimunculkan dalam interaksi antarbudaya pada mahasiswa etnis Minangkabau asal Sumatera Barat antara lain dengan menggunakan bahasa daerah yang masih mereka gunakan ketika berinteraksi dengan sesama, menunjukkan sikap yang ramah dan santun dalam berinteraksi. Identitas budaya sebagai orang Minang kemudian memunculkan rasa kekeluargaan antara mereka sebagai sesama orang perantauan. Adanya rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnis sehingga mereka cenderung berkumpul dengan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang sama. Faktor personal seperti watak/kepribadian, pengetahuan dan motivasi serta intensitas interaksi juga mempengaruhi proses adaptasi dan keefektifan komunikasi dengan lingkungan yang baru. Pada umumnya perubahan yang dialami adalah perubahan logat dan bahasa Indonesia yang mereka gunakan karena dipengaruhi oleh bahasa lokal orang Medan. Dengan memahami identitas budaya mereka sendiri, mereka dapat mengidentifikasi orang lain dari kelompok etnis lain. Hal ini ternyata membantu mereka dalam menempatkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi dimana mereka berinteraksi dan bagaimana harus bersikap sehingga dapat membangun komunikasi antarbudaya yang efektif.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian dan dapat menyempurnakan penulisan skripsi ini dengan baik. Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat utama dalam kelulusan di perkuliahan Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul “Identitas Budaya Dan Komunikasi Antarbudaya”. Di mana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Peran Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini peneliti menghadapi begitu banyak hambatan dan tanpa bantuan dari rekan sekalian, tentulah sangat sulit bagi peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya peneliti sampaikan kepada orang tua tercinta Papa Suriandi dan Mama Ermita S.Sos, yang telah melahirkan, membesarkan dan mendidik peneliti dari kecil hingga saat ini, serta yang telah memberikan semangat dan dukungan baik moril maupun materil, serta seluruh doa yang tiada putus-putusnya. Terima kasih juga kepada Ibuk Gusnimar atas dukungannya selama hidup peneliti. Semoga Allah SWT selalu memberi segala kebaikan atas jasa-jasa beliau.


(5)

Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1) Bapak Prof. Dr. Badarudin, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2) Ibu Dra Fatma Wardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi serta Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi atas segala bantuan yang diberikan.

3) Bapak Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm selaku Dosen Pembimbing yang telah memberi banyak masukan, arahan serta bimbingan selama pengerjaan skripsi ini.

4) Terima kasih pula kepada segenap Staf Pengajar FISIP USU yang telah memberikan banyak bekal ilmu, nasehat, bimbingan serta arahan kepada peneliti selama menimba ilmu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

5) Terima kasih juga peneliti sampaikan kepada seluruh Staf Pegawai FISIP USU, yang juga telah membantu peneliti baik selama penulisan skripsi maupun selama perkuliahan.

6) Kakanda tersayang Sucita Lestari Natalina, SKM yang telah banyak membantu peneliti selama perkuliahan dan tetap sabar menghadapi berbagai masalah. Semoga kita selalu dapat membahagiakan orang tua kita.

7) Kakanda Hafizh Er-razaq, S.Sos yang banyak memberikan bantuan pada peneliti, terima kasih telah mendampingi dan menampung keluh kesah peneliti selama penulisan skripsi ini, serta dukungan, doa dan semangatnya. Semoga sukses selalu.


(6)

8) Terima kasih juga kepada sahabat peneliti, Suci Andarini, Rika Hapsari, Rini Yunika Andalia, Kumari Dewi Puri, Kak Rani Indah Komala, yang telah mengisi 4 tahun kebersamaan dalam menimba ilmu di FISIP USU. Terima kasih untuk tawa, canda, dan juga haru yang pernah kita alami bersama. Mudah-mudahan kita menjadi orang yang sukses di kemudian hari. Amin. 9) Terima kasih kepada Gusmiati, SE dan Randi Kendra Putra yang telah

membantu peneliti dalam penulisan skripsi ini.

10)Terima kasih juga kepada Keluarga Besar IMIB USU, yang tidak dapat peneliti sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih telah menjadi rekan peneliti dalam organisasi ini yang telah memberikan banyak pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga kepada peneliti selama ini.

11)Terima kasih kepada para informan yang telah meluangkan waktunya untuk berbagi kisah, pengalaman dan telah membantu peneliti dalam proses penulisan skripsi ini.

12)Terima kasih kepada semua orang yang berjasa dalam hidup peneliti yang selalu memberikan semangat pada peneliti yang tidak mungkin dituliskan satu per satu.

Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk menjadi perbaikan dan pembelajaran bagi peneliti selanjutnya.

Akhir kata, terima kasih kepada segenap pihak yang membantu peneliti dalam menjalani perkuliahan dan menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah SWT


(7)

menjadikannya sebagai amal baik dan selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah pengetahuan kita semua.

Medan, Juli 2011 Peneliti

Surita Lestari Zulham

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN

ABSTRAKSI ... i KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI ... vi


(8)

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 8

I.3 Pembatasan Masalah ... 9

I.4 Tujuan Penelitian ... 10

I.5 Manfaat Penelitian ... 10

I.6 Kerangka Teori ... 11

I.6.1 Komunikasi ... 11

I.6.2 Komunikasi Antarbudaya ... 12

I.6.3 Identitas Budaya ... 15

I.6.4 Teori Interaksionisme Simbolik ... 18

I.7 Kerangka Konsep ... 20

I.8 Operasionalisasi Konsep ... 20

BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi ... 26

II.2 Komunikasi Antarbudaya ... 30

II.2.1 Persepsi ... 36

II.2.2 Proses-Proses Verbal ... 38

II.2.3 Proses-Proses Nonverbal ... 39

II.2.4 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya ... 40

II.3 Identitas Budaya ... 44

II.3.1 Makna Identitas Budaya ... 44

II.3.2 Pembentukan Identitas Budaya ... 45

II.3.3 Identitas Budaya Etnis Minangkabau ... 51

II.4 Interaksionisme Simbolik ... 68

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 73

III.2 Metodologi Penelitian ... 78

III.2.1 Metodologi Penelitian Kualitatif ... 78

III.2.2 Studi Kasus ... 79

III.2.3 Lokasi Penelitian ... 82

III.2.4 Subjek Penelitian ... 82

III.2.5 Teknik Pengumpulan Data ... 84

III.2.6 Teknik Analisis Data ... 86

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Hasil Pengamatan dan Wawancara ... 88


(9)

BAB V PENUTUP

V.1 Kesimpulan ... 164 V.2 Saran ... 167 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Mahasiswa Asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara... 83 Tabel 2. Data Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat yang


(10)

DAFTAR GAMBAR


(11)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Identitas Budaya dan Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Peran Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran identitas budaya dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa etnis Minangkabau di Universitas Sumatera Utara, dalam hal ini juga untuk mengetahui identitas budaya yang terbentuk dan mengetahui perubahan identitas budaya yang mungkin terjadi di kalangan mahasiswa etnis Minangkabau Universitas Sumatera Utara.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang melakukan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulannya yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa etnis Minangkabau asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara angkatan 2008-2010.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan identitas budaya yang dialami oleh mahasiswa etnis Minangkabau dipengaruhi oleh lingkungan asal mereka. Adapun identitas budaya yang dimunculkan dalam interaksi antarbudaya pada mahasiswa etnis Minangkabau asal Sumatera Barat antara lain dengan menggunakan bahasa daerah yang masih mereka gunakan ketika berinteraksi dengan sesama, menunjukkan sikap yang ramah dan santun dalam berinteraksi. Identitas budaya sebagai orang Minang kemudian memunculkan rasa kekeluargaan antara mereka sebagai sesama orang perantauan. Adanya rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnis sehingga mereka cenderung berkumpul dengan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang sama. Faktor personal seperti watak/kepribadian, pengetahuan dan motivasi serta intensitas interaksi juga mempengaruhi proses adaptasi dan keefektifan komunikasi dengan lingkungan yang baru. Pada umumnya perubahan yang dialami adalah perubahan logat dan bahasa Indonesia yang mereka gunakan karena dipengaruhi oleh bahasa lokal orang Medan. Dengan memahami identitas budaya mereka sendiri, mereka dapat mengidentifikasi orang lain dari kelompok etnis lain. Hal ini ternyata membantu mereka dalam menempatkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi dimana mereka berinteraksi dan bagaimana harus bersikap sehingga dapat membangun komunikasi antarbudaya yang efektif.


(12)

BAB I PENDAHULUAN


(13)

Komunikasi sebagai proses pertukaran simbol verbal dan nonverbal antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku kini melingkupi proses yang lebih luas. Jumlah simbol-simbol yang dipertukarkan tentu tidak bisa dihitung dan dikelompokkan secara spesifik kecuali bentuk simbol yang dikirim, verbal dan nonverbal. Memahami komunikasi pun seolah tak ada habisnya. Mengingat komunikasi sebagai suatu proses yang tiada henti melingkupi kehidupan manusia.

Dengan belajar memahami komunikasi antarbudaya berarti memahami realitas budaya yang berpengaruh dan berperan dalam komunikasi. Kita dapat melihat bahwa proses perhatian komunikasi dan kebudayaan yang terletak pada variasi langkah dan cara berkomunikasi yang melintasi komunitas atau kelompok manusia. Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi bagaimana menjajaki makna, pola-pola tindakan, juga tentang bagaimana makna dan pola-pola itu diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi manusia (Liliweri, 2004: 10).

Menurut Ting Toomey, budaya sebagai komponen dari usaha manusia untuk bertahan hidup (survive) dan berkembang dalam lingkungan partikular mereka, memiliki beberapa fungsi, yaitu: Identity Meaning Function yaitu budaya memberikan kerangka referensi untuk menjawab pertanyaan paling mendasar dari keberadaan manusia ‘siapa saya’, Group Inclusion Function yaitu budaya menyajikan fungsi inklusi dalam kelompok yang bisa memuaskan kebutuhan seseorang terhadap afiliasi keanggotaan dan rasa ikut memiliki, Intergroup


(14)

Boundary Regulation Function yaitu fungsi budaya sebagai pembentuk sikap seseorang tentang in-group dan out-group berkaitan dengan orang yang secara kultural tidak sama, The Ecological Adaptation Function yaitu fungsi budaya dalam memfasilitasi proses-proses adaptasi di antara diri, komunitas kultural dan lingkungan yang lebih besar, The Cultural Communication Function yaitu koordinasi antara budaya dengan komunikasi, budaya mempengaruhi komunikasi dan komunikasi mempengaruhi budaya. Ringkasnya, budaya diciptakan, dibentuk, ditransmisikan dan dipelajari melalui komunikasi; sebaliknya praktik-praktik komunikasi diciptakan, dibentuk dan ditransmisikan melalui budaya (Rahardjo, 2005: 49-51).

Menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Dengan memberikan penekanan baik kepada perbedaan-perbedaan kultural yang sesungguhnya maupun perbedaan-perbedaan kultural yang dipersepsikan antara pihak-pihak yang berkomunikasi, maka komunikasi antarbudaya menjadi sebuah perluasan bagi studi komunikasi antarpribadi, komunikasi organisasi dan kawasan-kawasan studi komunikasi antarmanusia lainnya. Jadi komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana partisipan yang berbeda latar belakang kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak


(15)

yang terlibat maka karakteristik-karakteristik kultural dari para partisipan bukan merupakan fokus studi. Titik perhatian dari komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 53-54).

Jadi melalui budaya kita bertukar dan belajar banyak hal, karena pada kenyataannya siapa kita adalah realitas budaya yang kita terima dan pelajari. Untuk itu, saat komunikasi menuntun kita untuk bertemu dan bertukar simbol dengan orang lain, maka kita pun dituntut untuk memahami orang lain yang berbeda budaya dan perbedaan itu tentu menimbulkan bermacam kesukaran dalam kelangsungan komunikasi yang terjalin.

Memahami budaya yang berbeda dengan kita juga bukanlah hal yang mudah, dimana kita dituntut untuk mau mengerti realitas budaya orang lain yang membuat ada istilah ‘mereka’ dan ‘kita’ dalam situasi seperti itulah manusia dituntut untuk mengungkap identitas orang lain. Dalam kegiatan komunikasi, identitas tidak hanya memberikan makna tentang pribadi individu, lebih dari itu identitas menjadi ciri khas sebuah kebudayaan yang melatarbelakanginya. Dari ciri khas itulah nantinya kita dapat mengungkapkan keberadaan individu tersebut.

Dalam artian sederhana, yang dimaksud dengan identitas budaya adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain (Liliweri, 2003: 72).

Indonesia sebagai negara kepulauan, dikenal luas sebagai bangsa yang terdiri dari sekitar 300 suku bangsa yang memiliki identitas kebudayaan


(16)

masing-masing. Penduduk Indonesia tentunya terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki daerah asal dan kebudayaannya sendiri dan telah berakar sejak berpuluh-puluh tahun yang silam. Keberagaman suku dan budaya yang ada di Indonesia menjadi salah satu ciri khas masyarakat Indonesia. Sehingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita tidak terlepas dari adanya benturan-benturan perbedaan kebudayaan antara satu daerah dengan daerah lain, suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya, hingga benturan kebudayaan antara masing-masing individu dengan latar belakang adat istiadat, budaya dan nilai-nilai yang berbeda pula.

Masing-masing etnis yang ada di Indonesia tentu memiliki keunikan dan kekhasan masing-masing, salah satunya adalah etnis Minangkabau. Salah satu hal yang membuatnya unik dalam kajian komunikasi antarbudaya ini adalah budaya merantau. Dimana setiap perantau ketika melakukan interaksi akan mendapati perbedaan-perbedaan budaya mereka dengan budaya di lingkungan perantauannya dan mereka selalu dituntut untuk tetap bisa mempertahankan identitas budaya mereka sebagai bagian dari etnis Minangkabau yang lebih lanjut disebut orang Minang.

Etos merantau orang Minang sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh

yang dikutip dari Wikipedia.org, pada tahun

Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada

tahun


(17)

perkiraan hampir sepertiga orang Minang berada di perantauan. Mobilitas migrasi suku Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara

tahun

kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa

kolonial

pada etos merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau

ke

dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat

gerakan

Minangkabau dan

terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh

Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang

merantau ke

hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.

Menurut

yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter dan berpandangan luas. Hal ini menyebabkan tertanamnya budaya


(18)

merantau pada masyarakat Minangkabau. Semangat untuk merubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena dikampung belum berguna) memotivasi pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.

tidak lepas dari komunikasi antarbudaya.

Memasuki dunia baru dimana kita dituntut untuk beradaptasi bukanlah hal yang mudah. Beradaptasi di lingkungan baru, kita dituntut belajar serta memahami budaya baru. Terlebih lagi adaptasi tentu akan semakin sulit, jika lingkungan yang baru adalah lingkungan yang jauh berbeda budayanya dengan lingkungan sebelumnya. Menghadapi perbedaan kebudayaan tersebut tentunya bukanlah perkara mudah, begitu pula pengalaman mahasiswa asal Sumatera Barat yang pada umumnya adalah etnis Minangkabau yang melanjutkan pendidikan di Universitas Sumatera Utara. Para pelajar tersebut tentunya harus menetap di Kota Medan yang memiliki kultur budaya berbeda dengan lingkungan asal mereka.

Dalam konteks penelitian ini, peran identitas budaya dalam komunikasi antarbudaya menjadi penting untuk diperhitungkan. Kita perlu tahu, saat kita berkomunikasi khususnya komunikasi antarbudaya, apakah kita menyadari diri kita sebagai bagian dari satu kelompok etnis lain dan jawaban itu akan menuntun kita pada satu pertanyaan utama ‘Apakah kesadaran akan identitas budaya itu memiliki peran dalam komunikasi yang kita lakukan?’. Sehingga nantinya dapat dilihat apakah komunikasi antarbudaya itu terjalin secara efektif .


(19)

Pada penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa etnis Minangkabau asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian yaitu di Universitas Sumatera Utara dilakukan karena mahasiswa asal Sumatera Barat di Sumatera Utara, paling banyak berada di Universitas ini. Menyadari bahwa status mereka adalah pendatang, maka untuk itu penting juga memahami bagaimana para mahasiswa tersebut memulai culture shock yang pasti terjadi dan bagaimana realitas identitas yang dibangun, baik menyangkut etnisnya sendiri maupun mengenai etnis lain (etnis di lingkungan baru).

Ketertarikan penelitian ini didasari pada kemungkinan adanya rasa untuk mempertahankan identitas budaya di daerah perantauan maupun rasa untuk tidak menonjolkan identitas budaya tersebut, karena adanya tekanan dari lingkungan dan sebagainya. Jadi, nantinya akan bisa ditarik kesimpulan apakah mahasiswa asal Sumatera Barat mampu mempertahankan identitas budaya mereka sebagai bagian masyarakat Minangkabau yang berada di luar lingkungan asalnya atau tidak. Sehingga dari penelitian ini nantinya kita dapat melihat sejauh mana peran identitas budaya dalam komunikasi antarbudaya, apakah akan membantu mahasiswa asal Sumatera barat di Universitas Sumatera Utara dalam menjalin komunikasi yang efektif atau sebaliknya, menghambat komunikasi. Dengan menggunakan analisis studi kasus, maka diharapkan berbagai pertanyaan seputar masalah identitas budaya dan komunikasi antarbudaya di kalangan mahasiswa Minangkabau di Universitas Sumatera Utara dapat terjawab.

Meneliti para mahasiswa Minangkabau terkait masalah komunikasi antarbudaya, maka menyangkut beberapa masalah potensial dalam komunikasi


(20)

antarbudaya yang mereka jalani, yaitu pencarian kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme, culture shock (Samovar, Porter & Mc Daniel, 2007: 316).

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Peran Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara”.

I. 2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk dari indentitas budaya yang muncul ketika mahasiswa Minangkabau di Universitas Sumatera Utara melakukan interaksi dengan teman mereka yang berbeda etnis?

a. Apakah muncul stereotip?

b. Apakah muncul sikap etnosentrisme?

c. Apakah ada pengetahuan tentang budaya etnis (tradisi, nilai, perilaku)? d. Apakah ada rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok

etnis?

e. Apakah ada komitmen dan evaluasi positif terhadap kelompok etnis? 2. Apakah ada perubahan identitas budaya saat mahasiswa Minangkabau di

Universitas Sumatera Utara berinteraksi dengan orang lain yang berbeda etnis?


(21)

b. Apakah terjadi pembauran identitas budaya?

c. Apa saja yang meliputi perubahan/pembauran yang terjadi?

I. 3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari lingkup penelitian yang terlalu luas maka perlu dibuat pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi kasus.

2. Subjek penelitian dikhususkan pada mahasiswa dengan etnis Minangkabau di Universitas Sumatera Utara angkatan 2008-2010.

3. Subjek penelitian ini dibatasi lagi pada mahasiswa Minangkabau yang berasal dari Sumatera Barat dan belum pernah menetap di daerah lain di luar Sumatera Barat sebelumnya. Pembatasan ini bermaksud agar penelitian berfokus pada mahasiswa Minangkabau asli yang baru menetap di daerah lain.

I. 4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui identitas budaya yang terbentuk pada mahasiswa etnis Minangkabau asal Sumatera Barat baik dalam


(22)

memaknai serta memahami identitas budaya etnis mereka maupun identitas budaya etnis lain.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan identitas budaya yang mungkin terjadi di kalangan mahasiswa etnis Minangkabau Universitas Sumatera Utara.

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran identitas budaya dalam menjalin komunikasi antarbudaya yang efektif antara mahasiswa etnis Minangkabau USU dengan orang lain yang memiliki identitas budaya yang berbeda.

I. 5 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya khasanah penelitian tentang komunikasi antarbudaya dengan metodologi kualitatif.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi.

3. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bersama dalam memahami konteks komunikasi antarbudaya yang terjadi di sekitar kita.

I. 6 Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun


(23)

kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1991: 39-40).

Ketika suatu masalah penelitian telah ditemukan, maka peneliti mencoba membahas masalah tersebut dengan teori-teori yang dipilihnya yang dianggap mampu menjawab masalah penelitian (Bungin, 2008: 31).

Teori digunakan peneliti untuk menjustifikasi dan memandu penelitian mereka. Mereka juga membandingkan hasil penelitian berdasarkan teori itu untuk lebih jauh mengembangkan dan menegaskan teori tersebut (Mulyana, 2001: 16).

Dalam penelitian ini, teori-teori yang relevan adalah Komunikasi, Komunikasi Antarbudaya, Identitas Budaya dan teori Interaksi Simbolik.

I.6.1 Komunikasi

Istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin yaitu communicatio, yang bersumber dari kata communis yang artinya ”sama” dan communico, communication, atau communicare yang berarti ”membuat sama” Istilah yang paling sering disebut sebagai asal usul kata komunikasi yang merupakan akar dari kata-kata Latin Communis. Sedangkan Everet M. Rogers mendefinisikan komunikasi sebagai proses suatu ide dialihkan dari satu sumber kepada satu atau banyak penerima dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka (Effendy, 2003: 30).

Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksud oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Semakin besar


(24)

kaitan antara yang komunikator maksud dengan yang komunikan terima, maka semakin efektif pula komunikasi yang dilakukan.

Menurut L. Tubbs dan Moss (Rakhmat, 2005: 13) komunikasi efektif menimbulkan:

- Pengertian - Kesenangan

- Mempengaruhi sikap - Hubungan sosial yang baik - Tindakan

Dengan demikian dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan atau tanpa perantara dengan tujuan untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku komunikan.

I.6.2 Komunikasi Antarbudaya

Liliweri (2004: 9-15) mengemukakan bahwa komunikasi antarbudaya sendiri dapat dipahami sebagai pernyataan diri antar pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya. Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu:

1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.

2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi. 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi.


(25)

4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian. 5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan.

6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya.

Mengutip pendapat Habermas, bahwa dalam setiap proses komunikasi (apapun bentuknya) selalu ada fakta dari semua situasi yang tersembunyi di balik para partisipan komunikasi. Menurutnya, beberapa kunci iklim komunikasi dapat ditunjukkan oleh karakteristik antara lain; suasana yang menggambarkan derajat kebebasan, suasana dimana tidak ada lagi tekanan kekuasaan terhadap peserta komunikasi, prinsip keterbukaan bagi semua, suasana yang mampu memberikan komunikator dan komunikan untuk dapat membedakan antara minat pribadi dan minat kelompok. Dari sini bisa disimpulkan bahwa iklim komunikasi antarbudaya tergantung pada 3 dimensi, yakni perasaan positif, pengetahuan tentang komunikan dan perilaku komunikator (Liliweri, 2004: 48).

Menurut Samovar dan Porter, untuk mengkaji komunikasi antarbudaya perlu dipahami hubungan antara kebudayaan dengan komunikasi. Melalui pengaruh budayalah manusia belajar komunikasi, dan memandang dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan kebudayaan. Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau peristiwa. Cara-cara manusia berkomunikasi, keadaan berkomunikasi, bahkan bahasa dan gaya bahasa yang digunakan, perilaku-perilaku non-verbal merupakan respons terhadap dan fungsi budaya (Liliweri, 2001: 160).


(26)

Dalam komunikasi antarbudaya, juga penting mencapai apa yang komunikator dan komunikan harapkan yaitu komunikasi efektif. Komunikasi yang efektif tergantung pada tingkat kesamaan makna yang didapat partisipan yang saling bertukar pesan. Fisher berpendapat, untuk mengatakan bahwa makna dalam komunikasi tidak pernah secara total sama untuk semua komunikator, adalah dengan tidak mengatakan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang tak mungkin atau bahkan sulit tapi karena komunikasi tidak sempurna (Gudykunst dan Kim, 2003: 269-270).

Jadi untuk mengatakan bahwa dua orang berkomunikasi secara efektif maka keduanya harus meraih makna yang relatif sama dari pesan yang dikirim dan diterima (mereka menginterpretasikan pesan secara sama). Sedangkan komunikasi yang tidak efektif dapat terjadi karena berbagai alasan ketika kita berkomunikasi dengan orang lain. Kita mungkin tidak mengirim pesan kita dengan cara yang dapat dipahami oleh orang lain atau orang lain mungkin salah menginterpretasikan apa yang kita katakan atau keduanya dapat terjadi secara bersamaan. Masalahnya dapat terjadi karena pengucapan, tata bahasa, kesamaan dengan topik yang sedang didiskusikan atau kesamaan dengan bahasa asli orang lain tersebut, bahkan faktor sosial. Misalnya kita mengerti mereka karena mereka menggunakan bahasa kita tapi kita sendiri tidak mengerti bahasa mereka. Bahkan ketika berkomunikasi dengan orang lain dan mendasarkan interpretasi kita pada sistem kita maka komunikasi yang tidak efektiflah yang terjadi. Kesimpulannya, komunikasi yang efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain kita harus penuh perhatian dan sadar. Sebagai komunikator yang kompeten, berkomunikasi secara


(27)

efektif dan tepat merupakan aspek penting untuk diamati. Kita bisa berkomunikasi secara efektif walaupun kita tidak dilihat sebagai komunikator yang kompeten (Gudykunst dan Kim, 2003:270-271). Dalam komunikasi antarbudaya tentunya perbedaan budaya menjadi tantangan untuk mencapai komunikasi yang efektif dan untuk itu penting bagi partisipan mengetahui identifikasi bersama (homofili). I.6.3 Identitas Budaya

Pembahasan tentang identitas budaya seringkali dikacaukan dengan istilah identitas sosial. Identitas soial terbentuk dari struktur sosial yang terbentuk dalam sebuah masyarakat. Sedangkan identitas budaya terbentuk melalui struktur kebudayaan suatu masyarakat. Struktur budaya adalah pola-pola persepsi, berpikir dan perasaan, sedangkan struktur sosial adalah pola-pola perilaku sosial.

Dalam praktik komunikasi, identitas tidak hanya memberikan makna tentang pribadi seseorang, tetapi lebih dari itu, menjadi ciri khas sebuah kebudayaan yang melatarbelakanginya. Ketika manusia itu hidup dalam masyarakat yang multibudaya, maka di sanalah identitas budaya itu diperlukan.

Identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang karena orang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu. Itu meliputi

Struktur Budaya Pola persepsi,

Berpikir, perasaan

Identitas Budaya

Struktur Sosial Pola-pola

perilaku sosial


(28)

pembelajaran tentang dan penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, keturunan dari suatu kebudayaan (Liliweri, 2004: 87).

Sedangkan menurut Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, identitas budaya merupakan adalah karakter khusus dari sistem komunikasi kelompok yang muncul dalam situasi tertentu.

Diverse groups can create a cultural system of symbols used, meanings assigned to the symbols, and ideas of what is considered appropriate and inappropriate. When the groups also have a history and begin to hand down the symbols and norms to new members, then the groups take on a cultural identity. Cultural identity is the particular character of the group communication system that emerges in the particular situation (Samovar, 2006: 56).

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami ketika suatu kelompok masyarakat telah mewariskan simbol-simbol dan norma-norma secara turun temurun, maka berarti kelompok tersebut telah memiliki identitas budaya. Identitas budaya sangat berpengaruh terhadap kemampuan berkomunikasi antarbudaya. Kemampuan orang berdasarkan kategorisasi, strata sosial, pola kepercayaan, pola pikir dan pola perasaan berdasarkan kebudayaan tertentu akan berbeda satu sama lain.

Menurut Phinney yang dikutip dari smartpsikologi.blogspot.com, ada empat hal yang mungkin dilakukan remaja etnis minoritas dalam upaya hidup bersama kelompok mayoritas:

1. Asimilasi (mencoba mengadopsi norma-norma budaya mayoritas dan standar mereka, namun sementara itu tetap menganggap mayoritas bukan sebagai kelompoknya).


(29)

2. Marginaliti (hidup bersama budaya mayoritas tetapi sebagai orang asing dan tidak diterima).

3. Separasi (memisahkan diri dari budaya ayoritas dan tetap memakai budaya sendiri).

4. Bikulturalisme (mengadopsi nilai-nilai mayoritas dan minoritas secara berbarengan).

Daphne A. Jameson dalam jurnalnya Reconceptualizing Cultural Identity and Its Role in Intercultural Business Communication (2007: 281-285) menyebutkan bahwa identitas budaya memiliki atribut sebagai berikut:

1. Cultural identity is affected by close relationship (identitas budaya dipengaruhi oleh hubungan dekat).

2. Cultural identity changes over time (identitas budaya berubah sesuai dengan waktu).

3. Cultural identity is closely intertwined with power and privilege (idenitas budaya erat kaitannya dengan kekuasaan dan hak istimewa). 4. Cultural identity may evoke emotions (identitas budaya bisa

membangkitkan emosi).

5. Cultural identity can be negotiated through communication (identitas budaya bisa dinegosiasikan melalui komunikasi).

I.6.4 Teori Interaksi Simbolik

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau


(30)

perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Selanjutnya padangan fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia intersubjektif terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 59-61).

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan


(31)

bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001: 68-70).

Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interkasionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.

I. 7 Kerangka Konsep

Dari beberapa teori yang telah diuraikan pada kerangka teori maka langkah selanjutnya merumuskan kerangka konsep sebagai hasil dari suatu


(32)

pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai (Nawawi, 1991: 40). Konsep adalah penggambaran fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dari definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995: 33).

Maka komponen penelitian yang akan diteliti adalah: 1. Identitas Budaya

2. Komunikasi Antarbudaya I. 8 Operasionalisasi Konsep

I. Identitas Budaya

A. Komponen Identitas Budaya

Menurut Liliweri (2001: 114-136), ada beberapa komponen yang membentuk identitas budaya, yaitu:

1. Pembelajaran dan penerimaan tradisi:

a. Pandangan hidup, kosmologi dan ontologi, tiga komponen ini selalu terdapat dalam setiap kebudayaan. Pandangan hidup ini dapat dilihat melalui kepercayaan, sikap dan nilai yang diajarkan. b. Norma-norma budaya: menunjukkan aturan atau standar perilaku

yang diharapkan oleh semua orang dalam suatu situasi tertentu atau yang berlaku secara umum.

c. Konsep tentang waktu. Setiap kebudayaan mempunyai konsep tentang masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Mereka yang


(33)

bukan anggota kelompok, pasti mempunyai orientasi konsep waktu dan ruang yang berbeda.

Konsep waktu berhubungan dengan pembagian nama penanggalan waktu dalam satuan periode dan pembagian waktu berdasarkan fungsi tertentu.

d. Konsep tentang jarak/ruang. Setiap kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya tentang orientasi terhadap ruang dan jarak. Ruang berhubungan dengan yang sifatnya lebih pada kepentingan sosial, sedangkan jarak lebih banyak berhubungan dengan jarak fisik ketika bercakap-cakap.

2. Skema Kognitif pada umumnya ditentukan oleh persepsi individu yang dibentuk oleh pengalaman kognisi seseorang dengan kebudayaannya. Skema mempengaruhi keputusan individu untuk menentukan prioritas fungsi objek berdasarkan waktu dan tempat. Setiap kebudayaan mengajarkan skema kognitif yang berbeda-beda. Misalnya, pesan tentang kepentingan makanan, pakaian atau pun rumah yang nampaknya sebagai kebutuhan dasar dari semua kebudayaan belum tentu mendapat prioritas yang sama dalam skema kognitif komunikan.

3. Bahasa dan sistem simbol. Setiap kebudayaan menjadikan bahasa sebagai media untuk menyatakan prinsip-prinsip ajaran, nilai dan norma budaya kepada para pendukungnya. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perkataan dan perbuatan. Bahasa menerjemahkan


(34)

nilai dan norma, menerjemahkan skema kognitif manusia, menerjemahkan persepsi, sikap dan kepercayaan manusia tentang dunianya. Pembahasan tentang bahasa tidak bisa dilepaskan dari masalah simbol dan sign (tanda). Berbicara tentang sign atau tanda artinya kita bicara tentang cara memberi makna terhadap objek. Setiap suku bangsa ataupun etnis telah menetapkan simbol-simbol kebudayaan mereka masing-masing untuk menyatakan kepentingan tertentu.

4. Agama, Mitos dan cara menyampaikannya. Setiap budaya mempunyai gejala dan peristiwa yang tidak dapat dijelaskan secara rasional tapi hanya berdasarkan pengalaman iman saja. Setiap kebudayaan mengajarkan kepada anggota komunitasnya tentang agama, mitos-mitos serta cara-cara menyatakan keberagaman anggota suku bangsa itu.

5. Hubungan sosial dan jaringan komunikasi. Keluarga-keluarga selalu terbentuk dalam komunitas-komunitas kecil menjadi satu agen sosialisasi dalam sebuah kebudayaan. Hubungan dalam komunitas dapat berbentuk komunal dan kerjasama atau persaingan dan juga individualistik, tergantung pada apakah kebudayaan itu merupakan kebudayaan lisan atau kebudayaan membaca. Sebagian besar kebudayaan masyarakat Indonesia menganut kebudayaan lisan yang lebih menekankan pada komunalisme/pemilikan bersama dan kerja sama. Sedangkan kebudayaan baca tulis diasumsikan sebagai


(35)

kebudayaan modern yang bersifat individual, ekslusif, tidak berurusan dengan komunalisme.

B. Atribut Identitas Budaya

Adapun atribut identitas budaya menurut Daphne A. Jameson adalah sebagai berikut:

1. Identitas budaya dipengaruhi oleh hubungan dekat. Hubungan dekat seseorang dengan orang lain misalnya anggota keluarga atau teman. 2. Identitas budaya berubah sesuai dengan waktu. Perubahan-perubahan yang

dialami seseorang dalam hidupnya dapat mengubah identitas budaya yang ia miliki. Misalnya, perubahan status sosial, kelas ekonomi, profesi, status kewarganegaraan ataupun agama.

3. Identitas budaya terkait erat dengan kekuasaan dan hak istimewa (privilege). Komponen biologis budaya-ras, etnis, jenis kelamin, usia, terkadang membuat orang lain merasa terpinggirkan dari hak-haknya. 4. Identitas budaya bisa membangkitkan emosi. Setiap orang mungkin

memiliki perasaan positif, negatif, netral atau ambigu terhadap komponen identitas budaya mereka sendiri. Ketika orang tersebut mendapatkan tanggapan yang negatif dari budaya orang lain, beberapa kemungkinan bisa saja terjadi. Mulai dari mengubah cara pandangnya, merendahkan sikap tersebut, atau bisa juga meninggalkan kelompok yang berhubungan dengan hal tersebut.

5. Identitas budaya dapat dinegosiasikan melalui komunikasi. Identitas budaya dapat dinegosiasikan melalui komunikasi tetapi hanya


(36)

dalam keadaan tertentu. Orang tersebut harus merasa sadar dengan komponen identitas budaya mereka dan merasa nyaman untuk mendiskusikannya dengan orang lain.

II. Komunikasi Antarbudaya

1. Pertukaran pesan antarbudaya yang mungkin terjadi baik pesan verbal maupun non verbal.

2. Komponen dari kompetensi komunikasi:

a. Motivasi: hasrat kita untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif dengan orang lain.

b. Pengetahuan: kesadaran kita tau pemahaman kita akan apa yang kita butuhkan untuk dilakukan agar komunikasi berjalan secara efektif dan tepat.

c. Kemampuan: kemampuan kita dalam mengolah perilaku yang perlu dalam berkomunikasi secara tepat dan efektif (Gudykunst dan Kim, 2003: 275). 3. Masalah potensial dalam komunikasi antarbudaya:

a. Pencarian kesamaan usaha untuk mencari orang yang memiliki kesamaan budaya, etnis dan lainnya lalu berkumpul dalam satu kelompok.

b. Penarikan diri: penarikan diri dari interaksi tatap muka, atau dari suatu komunitas.

c. Kecemasan: perasaan psikologis yang secara tiba-tiba menghasilkan sebuah situasi baru yang kurang aman/nyaman.


(37)

d. Pengurangan ketidakpastian: usaha untuk mengurangi ketidakpastian atau dengan berusaha memprediksi perilaku apa yang akan dilakukan lawan bicara saat berinteraksi.

e. Stereotip: Penggeneralisasian orang-orang (kelompok etnis lain) berdasarkan sedikit info dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam satu kelompok.

f. Prasangka: keyakinan yang didasarkan pada gagasan yang terlebih dahulu disederhanakan, digeneralisasi atau dilebih-lebihkan pada sekelompok orang.

g. Etnosentrisme: menganggap kelompok budaya/etnisnya yang lebih baik (superior) hingga bisa menimbulkan rasisme yaitu pengkategorisasian individu berdasarkan warna kulit, rambut, dan lainnya.

h. Culture Shock: kecemasan yang dihasilkan dari perasaan kehilangan tanda keluarga dan simbol dari pergaulan sosial, gegar budaya terjadi ketika kita memasuki lingkungan baru yang berbeda budaya.

C. Karakteristik Informan

1. Usia: umur dari informan

2. Jenis kelamin: laki-laki atau perempuan

3. Lama menetap: lama informan menetap di kota Medan

4. Status tempat tinggal: informan menetap bersama keluarga atau tinggal sendiri.

BAB II


(38)

II.1 Komunikasi

Kehadiran komunikasi menurut perjalanan sejarah sama tuanya dengan umur peradaban manusia di permukaan bumi ini. Pada zaman pra sejarah, manusia telah mengenal proses penyampaian pernyataan dengan bahasa isyarat, bahasa lisan, gambar-gambar dan berbagai jenis media lainnya yang digunakan untuk menyampaikan suatu pesan komunikasi. Perkembangan kegiatan komunikasi itu sendiri sejak permulaan sejarah hingga saat ini secara sistematis selalu diiringi dengan kemajuan yang dicapai manusia. Semakin maju peradaban kehidupan manusia itu maka semakin maju pula kegiatan komunikasinya.

Penggunaan bersama merupakan proses yang azasi dalam komunikasi. Pengertian ini lebih tepat untuk melukiskan suatu proses komunikasi daripada kata-kata mengirim atau menerima. Karena penggunaan bersama tidak berarti bahwa seseorang melakukan suatu hal yang dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama, tetapi suatu hal di mana mereka berpartisipasi secara bergabung atau bersama. Berpartisipasi di sini maksudnya adalah berinteraksi dengan pihak-pihak lain dalam pemikiran, perasaan atau kegiatan tertentu (Kincaid & Schramm, 1987: 4).

Menurut lexicographer (ahli kamus bahasa), komunikasi adalah upaya yang bertujuan berbagi untuk mencapai kebersamaan. Jika dua orang berkomunikasi maka pemahaman yang sama terhadap pesan yang saling dipertukarkan adalah tujuan yang diinginkan keduanya. Webster’s New Collegiate Dictionary edisi tahun 1977 antara lain menjelaskan bahwa komunikasi adalah


(39)

suatu proses pertukaran informasi diantara individu melalui sistem

lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku

Tidak terbatasnya ruang dan waktu dalam komunikasi yang disebabkan oleh peradaban manusia yang begitu luas, tidak hanya melibatkan manusia berkomunikasi antarsuku, agama, adat-istiadat tetapi juga membawa manusia kepada peradaban yang sudah bersatu secara keseluruhan sehingga menjadi satu peradaban yang global tanpa batas dan dapat dibatasi.

Hingga saat ini, terdapat ratusan definisi komunikasi yang telah dikemukakan oleh para ahli. Bahkan suatu definisi komunikasi berbeda atau bahkan bertentangan dengan definisi lainnya. Pada tahun 1976, Frank Dance dan Carl Larson telah mengumpulkan 126 definisi komunikasi yang berlainan (Mulyana, 2007: 60). Berikut ini adalah beberapa definisi komunikasi menurut beberapa ahli:

1. Carl I. Hovland dalam karyanya ”Social Communication” menjelaskan Communication is the process by which an individual (the communicator) transmit stimuli (usually verbal symbol) to modified the behavior of other individuals (communican). (Komunikasi adalah proses seseorang menyampaikan rangsangan (biasanya dengan lambang kata/gambar) guna merubah tingkah laku orang lain).

2. Joseph A. Devito dalam bukunya ”Communicology: An Introduction to the study of communication” menjelaskan:

The act, by one or more persons, of sending and receiving messages distorted by noise, within a context, with some effect and some opportunity for feedback. The communication act, then, would include the following components: context, source (s), receiver (s),


(40)

messages, channels, noise, sending or encoding process, feedback and effect. These elements seem the most essential in any consideration of the communication act. They are what we might call the universals of communication: ...The elements that are present in every communication act, regardless of whether it intrapersonal, interpersonal, small group, public speaking, mass communication or intercultural communication.

(Kegiatan yang dilakukan seseorang atau lebih dari kegiatan menyampaikan dan menerima pesan komunikasi yang terganggu keributan, dalam suatu konteks, bersama dengan beberapa efek yang timbul dan kesempatan arus balik. Kegiatan komunikasi meliputi komponen: konteks, sumber, penerima, pesan, saluran, gangguan, proses penyampaian atau proses decoding, arus balik dan efek. Unsur-unsur tersebut agaknya paling esensial dalam setiap pertimbangan tentang kegiatan komunikasi. Hal ini dapat dikatakan pada setiap kegiatan komunikasi sebagai kesemestaan komunikasi: ... Unsur-unsur yang setiap saat ada dari kegiatan komunikasi adalah komunikasi intra individu, antar individu, kelompok kecil, public speaking, komunikasi massa atau komunikasi antar kebudayaan) (Lubis, 2007: 9-10). 3. Harold D Laswell. Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi

adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? (Mulyana, 2007: 68). 4. Samovar dan Porter. Communication is defined as two-way on going,

behavior affecting process in which one person (a source) intentionally encodes and transmits a message through a channel to an intented


(41)

audience (receiver) in order to induce a particular attitude or behavior (Purwasito, 2003: 198).

Dari beberapa uraian mengenai definisi komunikasi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Komunikasi dapat membuat orang lain mengambil bagian untuk memberi dan mengalihkan informasi sebagai berita maupun gagasan.

2. Komunikasi dapat juga berarti kegiatan untuk menyebarkan informasi. 3. Komunikasi juga dapat berarti mengambil bagian dalam kebersamaan. 4. Kegiatan komunikasi meliputi komponen-komponen seperti sumber,

pesan, saluran, penerima, gangguan, proses penyampaian, arus balik dan efek.

5. Kegiatan komunikasi meliputi komunikasi intra individu, antar individu, kelompok kecil, public speaking, komunikasi massa dan komunikasi antar kebudayaan.

Pendekatan terhadap komunikasi dalam konteks ini berfokus pada pemberian makna kepada perilaku, karena komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Kebutuhan ini terpenuhi melalui pesan yang berfungsi menjembatani hubungan manusia satu dengan lainnya.

Pemberian makna kepada perilaku seseorang pada proses komunikasi didasarkan pada perbendaharaan makna yang kita miliki, hasil dari observasi, pengalaman ataupun refleksi kita tentang orang lain dan lingkungan kita. Berbagai


(42)

makna tersebut juga dipengaruhi oleh budaya yang kita miliki atau hasil dari pengalaman-pengalaman pribadi dalam budaya tersebut.

Komunikasi terjadi dalam konteks fisik dan konteks sosial tertentu. Banyak aspek lingkungan fisik termasuk arti simbolik yang dapat mempengaruhi komunikasi. Sementara itu konteks sosial menentukan hubungan sosial antara komunikator dan komunikan. Bentuk bahasa yang digunakan, rasa hormat kepada seseorang, waktu, suasana hati, siapa berbicara kepada siapa, tingkat kecemasan atau kepercayaan diri yang ditampilkan, merupakan bagian dari aspek-aspek komunikasi yang dipengaruhi oleh konteks sosial. Konteks sosial menjadi penting karena merefleksikan bagaimana manusia hidup dan bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain. Dengan kata lain, lingkungan sosial adalah budaya, dan bila kita ingin memahami komunikasi, kitapun harus memahami budaya.

II.2 Komunikasi Antarbudaya

Budaya dan komunikasi mempunyai hubungan yang sangat erat. Orang berkomunikasi sesuai dengan budaya yang dimilikinya. Kapan, dengan siapa, berapa banyak hal yang dikomunikasikan sangat bergantung pada budaya dari orang-orang yang berinteraksi.

Melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Perilaku mereka dapat mengandung makna, sebab perilaku tersebut dipelajari dan diketahui; dan perilaku itu terikat oleh budaya. Orang-orang memandang dunia


(43)

mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep dan label-label yang dihasilkan budaya mereka (Mulyana dan Rakhmat, 1998: 24).

Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau suatu peristiwa. Cara-cara kita berkomunikasi, keadaan-keadaan komunikasi kita, bahasa dan gaya bahasa yang kita gunakan dan perilaku-perilaku nonverbal kita, semua itu terutama merupakan respons terhadap dan fungsi budaya kita. Komunikasi itu terikat oleh budaya. Sebagaimana budaya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, maka praktik dan perilaku komunikasi individu-individu yang diasuh dalam budaya-budaya tersebut akan berbeda pula (Mulyana dan Rakhmat, 1998: 24-25).

Adapun beberapa definisi komunikasi antarbudaya yang dikutip dari Liliweri (2004: 10-11), antara lain:

1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader-komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antarsuku bangsa, antaretnik dan ras, antarkelas sosial.

2. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.

3. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.

4. Guo-Ming Chen dan William J. Stratosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.

Young Yun Kim dalam Rahardjo (2005: 52-53) mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, maka hal yang terpenting dari komunikasi antarbudaya yang membedakannya dari kajian keilmuan lainnya adalah tingkat


(44)

perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi karena adanya perbedaan kultural. Selanjutnya menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan (homogenitas) dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda.

Komunikasi antarbudaya menelaah elemen-elemen kebudayaan yang sangat mempengaruhi interaksi ketika anggota dari dua kebudayaan yang berbeda berkomunikasi. Komunikasi antarbudaya terjadi ketika pesan yang harus ditangkap dan dipahami, diproduksi oleh anggota dari suatu budaya tertentu diproses dan dikonsumsi oleh anggota dari budaya yang lain. Jadi, komunikasi antarbudaya dapat didefinisikan sebagai komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan (Liliweri, 2004: 9).

Dari pernyataan tersebut, Liliweri (2004: 9) menjelaskan komunikasi antarbudaya sebagai berikut:

1. Komunikasi antarbudaya adalah pernyataan diri antarpribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya.

2. Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang disampaikan secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang yang berbeda latar belakang budaya.

3. Komunikasi antar budaya merupakan pembagian pesan yang berbentuk informasi atau hiburan yang disampaikan secara lisan atau tertulis atau metode lainnya yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda latar belakang budayanya.

4. Komunikasi antarbudaya adalah pengalihan informasi dari seorang yang berkebudayaan tertentu kepada seorang yang berkebudayaan lain.

5. Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang budayanya.


(45)

6. Komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu.

7. Komunikasi antarbudaya adalah setiap proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan di antara mereka yang berbeda latar belakang budayanya. Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan dan tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi, atau bantuan hal lain di sekitarnya yang memperjelas pesan.

Komunikasi antarbudaya tidak dapat terlepas dari faktor-faktor budaya yang melekat pada diri individu. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas. Dalam bahasa Sansekerta kata budaya berasal dari kata buddhayah yang berarti akal budi. Dalam filsafat Hindu, akal budi melibatkan seluruh unsur panca indera, baik dalam kegitan pikiran (kognitif), perasaan (afektif), maupun perilaku (psikomotorik). Sedangkan kata lain yang juga memiliki makna yang sama dengan budaya adalah ’kultur’ yang berasal dari Romawi, cultura, biasanya digunakan untuk menyebut kegiatan manusia mengolah tanah atau bercocok tanam. Kultur adalah hasil penciptaan, perasaan dan prakarsa manusia berupa karya yang bersifat fisik maupun nonfisik (Purwasito, 2003: 95).

Komunikasi antarbudaya dalam konteks ini menunjuk kepada komunikasi antaretnis, dengan sub-sub budayanya. Pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi berasal dari kelompok-kelompok etnis yang berbeda. Sub-sub budaya ini menunjuk kepada kelompok masyarakat atau komunitas sosial, etnis, regional, ekonomis, yang menunjukkan pola-pola tingkah laku dengan ciri khas tertentu dan memadai untuk dapat dibedakan dari kelompok-kelompok masyarakat yang lain dalam satu kesatuan budaya atau masyarakat.


(46)

Sebagai salah satu bidang studi dari ilmu komunikasi, komunikasi antarbudaya mempunyai objek formal, yakni mempelajari komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh seseorang komunikator sebagai produsen pesan dari satu kebudayaan dengan konsumen pesan atau komunikan dari kebudayaan lain. Komunikasi antarbudaya berkaitan dengan hubungan timbal balik antara sifat-sifat yang terkandung dalam komunikasi, kebudayaan pada gilirannya menghasilkan sifat-sifat komunikasi antarbudaya. Untuk memahami hakikat komunikasi antarbudaya dapat kita perhatikan gambar bagan berikut ini (Liliweri, 2001: 26-28).

Gambar 1. Ruang Lingkup Studi Ilmu Komunikasi

COMPARATIVE INTERPERSONAL Comparative Intercultural Communication Developmental Communication Comparative Media Effects Comparative and International relation New World Information Order CROSS CULTURAL COMMUNICATION INTERCULTURAL COMMUNICATION COMPARATIVE MASS COMMUNICATION INTERNATIONAL COMMUNICATION MEDIATED INTERACTIVE

II I


(47)

Bagan di atas menggambarkan adanya dua dimensi utama yang membedakan wilayah penelitian budaya dan komunikasi. Dimensi tersebut adalah interactive comparative dan mediated-interpersonal.

Kuadran I, merupakan wilayah penelitian komunikasi antarbudaya (intercultural communication) yang merupakan komunikasi interpersonal antara orang dari sistem budaya yang berbeda anatau komunikasi antara orang-orang yang berbeda subsistem di dalam sistem budaya yang sama.

Kuadran II, adalah wilayah penelitian komunikasi lintas budaya (cross-cultural communication), dimana komunikasi yang berlangsung adalah komunikasi interpersonal seperti pada kuadaran I, tetapi penelitiannya adalah penelitian komparatif yaitu membandingkan satu budaya denga budaya yang lain.

Kuadran III dan IV, fenomena komunikasi yang diteliti adalah komunikasi yang menggunakan media (mediated commnuication). Penelitian di kuadran III memfokuskan perhatian pada komunikasi bermedia dari satu sistem budaya ke sistem budaya yang lain, yang disebut komunikasi internasional (international communication). Kuadran IV, membandingkan sistem-sistem media dari berbagai sistem budaya (comparative mass communication) (Liliweri, 2001: 28).

Berdasarkan bagan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa studi komunikasi antarbudaya menitikberatkan interaksi interpersonal yang terjadi di antara anggota-anggota dari budaya yang berbeda.

Perilaku komunikasi seseorang sangat dipengaruhi oleh beberapa elemen sosio-budaya. Beberapa unsur-unsur sosio-budaya yang terkait dengan


(48)

komunikasi antarbudaya yakni persepsi, proses verbal dan proses nonverbal (Mulyana dan Rakhmat, 1998: 25).

II.2.1 Persepsi

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Dari proses internal itulah nantinya individu dapat membeda-bedakan, merespon dan memberi makna kepada stimuli-stimuli yang ada. Dengan kata lain, persepsi adalah cara kita mengubah energi-energi fisik lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna yang kemudian diwujudkan dalam bentuk perilaku. Perilaku-perilaku ini dipelajari sebagai bagian dari pengalaman budaya yang mereka miliki (Mulyana dan Rakhmat, 1998: 25).

Untuk memahami dunia dan tindakan-tindakan orang lain, kita harus memahami kerangka persepsinya. Kita harus belajar memahami bagaimana mempersepsi dunia. Dalam komunikasi antarbudaya yang ideal kita akan mengharapkan banyak persamaan dalam pengalaman dan persepsi. Persepsi yang sama akan memudahkan partisipan komunikasi mencapai kualitas hasil komunikasi yang diharapkan. Persepsi adalah juga inti komunikasi, karena jika persepsi kita tidak akurat, tidak mungkin kita berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilih pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi individu, semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi dan sebagai konsekuensinya semakin


(49)

cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas (http://kuliahkomunikasi.com).

Segala sesuatu yang dikomunikasikan adalah persepsi seseorang tentang dunia dan lingkungannya. Kebiasaan dimana orang-orang suatu budaya merespon sesuatu menunjukkan hubungan-hubungan antara budaya, persepsi dan komunikasi. Terdapat beragam persepsi seperti halnya persepsi tentang usia, ruang dan jarak sosial, etnik, kerja, kekuasaan, perilaku agresif, penyingkapan diri, waktu, persaingan yang keseluruhannya berakar dalam budaya.

DeVito dalam Purwasito (2003: 173) menjelaskan bahwa persepsi berangkat dari diri sendiri ketika berinteraksi dengan orang lain, mempengaruhi indera kita melalui umpan balik kesadaran mengenai perasaan, pemikiran dan perilaku kita sendiri. Dari interaksi tersebut timbul suatu kesadaran tertentu, yaitu bahwa perasaan kita ternyata tidak jauh berbeda dengan perasaan orang lain. Hal ini adalah pengukuhan positif yang membantu seseorang merasa biasa-biasa atau normal-normal saja hidup dalam lingkungan multikultural.

Persepsi membantu seseorang menemukan dirinya melalui proses perbandingan sosial, seperti perbandingan kemampuan, prestasi, sikap, pendapat, nilai dan kegagalan kita dengan orang lain. Setiap individu secara alami mempunyai persepsi yang berbeda terkait dengan kepribadiannya. Dalam konteks itu, fokus kajian komunikasi antarbudaya diarahkan untuk mengemukakan emosional atau evaluative meaning dan frame of experience para partisipan komunikasi. Salah pengertian dalam tindakan komunikasi antarbudaya juga disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi (Purwasito, 2003: 173-174).


(50)

Keanekaragaman persepsi dan makna yang dibangun dalam persepsi sangat dipengaruhi oleh beberapa unsur sosio-budaya yakni: sistem-sistem kepercayaan (beliefs), nilai (value), sikap (attitude), pandangan dunia (human nature), orientasi tindakan (activity orientation) serta persepsi tentang diri sendiri dan orang lain (perception of self and others).

II.2.2 Proses-Proses Verbal

Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana orang berbicara dengan sesamanya (bahasa verbal), namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir (pola pikir) dan pengembangan makna bagi kata-kata yang digunakan.

Bahasa adalah suatu sistem lambang terorganisasi yang disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas geografis atau budaya. Oleh karena bahasa merupakan suatu sistem tak pasti untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan bergantung pada berbagai penafsiran.

Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk mewariskan kepercayaan, nilai dan norma. Bahasa merupakan alat untuk berinteraksi dengan orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Dalam konteks ini, bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran.

Proses-proses mental, bentuk-bentuk penalaran dan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah yang terdapat dalam suatu komunitas


(51)

merupakan suatu komponen penting budaya. Pola-pola berpikir suatu budaya mempengaruhi bagaimana individu-individu dalam budaya itu berkomunikasi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi bagaimana setiap orang merespon individu-individu dari suatu budaya lain.

II.2.3 Proses-Proses Nonverbal

Proses-proses verbal merupakan alat utama untuk tukar-menukar pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat digantikan oleh proses-proses nonverbal yang antara lain meliputi: isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, postur dan gerakan tubuh, sentuhan, pakaian, artefak, diam, ruang, waktu dan suara. Proses nonverbal yang sangat relevan dengan komunikasi antarbudaya adalah bentuk bahasa diam: konsep waktu dan penggunaan serta pengaturan ruang.

Konsep waktu suatu budaya merupakan filsafatnya tentang masa lalu, masa sekarang, masa depan dan penting tidaknya waktu. Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Terdapat banyak perbedaan mengenai konsep ini antara budaya yang satu dengan budaya lainnya. Perbedaan-perbedaan tersebut mempengaruhi komunikasi.

Cara orang menggunakan ruang sebagai bagian dalam komunikasi antarpribadi disebut proksemik. Proksemik tidak hanya meliputi jarak antara orang-orang yang terlibat dalam percakapan, tetapi juga orientasi fisiknya. Orang-orang dari budaya yang berbeda mempunyai cara-cara yang berbeda pula dalam menjaga jarak ketika bergaul dengan sesamanya. Orientasi fisik juga dipengaruhi


(52)

oleh budaya. Orang cenderung menentukan hierarki sosial dengan mengatur ruang. Cara seseorang mengatur ruang merupakan suatu fungsi budaya.

II.2.4 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya

Sebuah aktivitas komunikasi dapat dinilai efektif apabila terdapat persamaan makna pesan antara komunikator dan komunikan, demikian juga halnya dengan komunikasi antarbudaya. Tetapi hal ini menjadi lebih sulit mengingat adanya unsur-unsur kebudayaan yang berbeda di antara pelaku komunikasinya. Oleh karena itulah, usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya dalam praktiknya bukanlah merupakan suatu persoalan yang sederhana. Terdapat masalah-masalah potensial yang sering terjadi seperti kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 316). Secara umum, sebenarnya tujuan komunikasi antarbudaya antara lain adalah untuk menyatakan identitas sosial dan menjembatani perbedaan antarbudaya melalui perolehan infomasi baru, pengalaman atas kekeliruan dalam komunikasi antarbudaya sering membuat manusia makin berusaha mengubah kebiasaan berkomunikasinya, paling tidak melalui pemahaman terhadap latar belakang budaya orang lain.

Menurut Lewis dan Slade yang dikutip dari jurnal.pdii.lipi.go.id, ada tiga kawasan problematik dalam lingkup pertukaran antarbudaya, yaitu kendala bahasa, perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural. Kendala bahasa merupakan hambatan yang lebih mudah untuk ditanggulangi, karena dapat


(53)

dipelajari, sedangkan dua kendala lainnya akan terasa lebih sulit untuk ditanggulangi. Perbedaan nilai merupakan hambatan yang serius terhadap munculnya kesalahpahaman budaya, sebab ketika dua orang yang berasal dari kultur berbeda melakukan interaksi, maka perbedaan-perbedaan tersebut akan menghalangi tercapainya kesepakatan yang rasional tentang isu-isu penting. Kesalahpahaman antarkultural yang dikarenakan perbedaan pola-pola perilaku kultural lebih diakibatkan oleh ketidakmampuan masing-masing kelompok budaya untuk memberi apresiasi terhadap kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh setiap kelompok budaya tersebut.

Apa saja ciri individu yang mampu melakukan efektivitas komunikasi antarbudaya? Menjawab pertanyaan ini, terdapat beberapa orientasi jawaban yang merupakan variabel-variabel dari kriteria pribadi sebagai penentu keberhasilan komunikasi antar budaya yang efektif, yaitu:

1. Kemampuan penyesuaian diri dan kualitas pertumbuhan pribadi pelaku komunikasi itu sendiri.

2. Sikap, pengetahuan tentang budaya lain dan perilaku mitra komunikasi yang dapat teramati.

3. Kualitas komunikasi, pemersepsi dan sistem dyadic yang dibentuk para pelaku komunikasi.

Hasil penelitian Kealey dan Ruben (1983) dalam jurnal.pdii.lipi.go.id tentang efektifitas komunikasi antarbudaya menunjukkan hasil, yaitu terdapatnya variabel-variabel yang menentukan terjadinya komunikasi antarbudaya yang efektif melalui variabel-variabel yang berkaitan dengan keterampilan sosial, yaitu:


(1)

I : Yo dek lah dakek mungkin kan. Kalau pun dak sebudaya, tapi deknyo dulu tingga di Jambi, jadi kalau kami ngomong, nyo ngarati bahaso Minang gitu kan , jadi yo enjoy se, sanang se berbeagi samo nyo.

P : Sajauah ko Memi tingga disiko, apo perubahan yang taraso dek Memi?

I : Jadi labiah barani, lebih mandiri, dulu yang mungkin ado lah takuiknyo atau ba a, kini..ahh.. wak lah gadangnyo, dek seiring usia pun kan jadi lebih dewasa menyikapi hal-hal itu.

P : Di kampus Memi ikuik organisasi?

I : Ciek sih, FORKIS, urang musholla, relawan di BSMI, Cuma dak begitu aktif sih, kalau ado acara yo ikuik-ikuik berpartisipasilah itu, trus selain itu di IMIB.

P : Motivasi Memi ikuik-ikuik kegiatan di kampus tu apo?

I : Ba a yo, patamo tu kan yang Memi butuhkan pengalaman, banyak pengalaman, yo makin banyak lo lah pengetahuan kan yang dak wak dapek an di kuliah, trus semakin bayak relasi, semakin banyak yang wak kenal, semakin banyak lo wak tau karakter urang tu beda-beda.

10. Wahyu Eko Putra

P : Di keluarga wahyu masih kental ndak samo budaya minangnyo?

I : Kalau keluarga yang di kota mungkin lah agak puda lah budaya minangnyo, tapi keluarga yang di kampuang urang tuo masih kental.

P : Kampuang urang tuonyo dima?

I : Kalau apa di Palembayan, Agam. Kalau ibu di Muaro labuah, Solok Selatan. P : Acok pulang ka kampuang?

I : Sakali sataun, paliang ndak dalam sataun tu ado pai kasitu. P : Kalau yang tingga di Padang sia se?

I : Nenek dari ama, tu keluarga Wahyu, ama, apa, adiak-adiak 2 urang. P : Di rumah Wahyu masih pakai bahaso minang?

I : Masih,

P : Kalau di sekolah?

I : Kalau di SMP dulu dilarang bahasa daerah, SMP di pesantren Hamka, Padang Pariaman, kalau di SMA baru pakai bahaso minang. Sabananyo sih dilarang, tapi kami pakai bahaso minang juo.

P : Suku Wahyu apo?

I : Suku apa Chaniago, suku ama Panai ateh, suku urang Solok Selatan. P : Mamak wahyu ado?


(2)

I : Mamak? Adiak ama kan? P : Acok komunikasi samo mamak?

I : Acok, mamak yu 3 urang. Jadi acok komunikasi, yang surang di Solok Selatan, yang 2 urang lai di Padang.

P : Yang mamak Wahyu 2 urang tu ado ndak maagiah pembelajaran tentang budaya minang?

I : Kalau mamak yang di Padang tu kurang acok komunikasi, tapi yang di Solok Selatan nyo kan acok juo ka Padang, caliak nenek kan, jadi itulah yang acok maajan Wahyu tentang nilai-nilai kehidupan.

P : Kalau mamak yang di padang tu kok jarang?

I : Yang surang tu lah bakaluarga, yang surang lai lah bakarajo.

P : Dari mamak yu yang di Solok Selatan tu apo ajo sih yang diajaannyo?

I : Tentang bagaul samo urang, tentang raso jo pareso, tentang baa ma manajemen diri, baa caro batindak.

P : Panyampaiannyo kayak apo?

I : Misalnyo kadang sadang baduo di ateh onda, tu carito-carito, kalau di nagari urang mode-mode iko.

P : kalau sabalum kamari, lai mamak yu magiah samacam nasehat, gitu?

I : Lai, elok-elok se di nagari urang, di nagari urang tu kalau bisa cubo la dakek samo urang-urang minang disitu tu.

P : Trus, taunyo samo urang-urang minang disiko baa?

I : kan pas ado PMB tu, nan itu lah, diajak ngumpua-ngumpua jo urang minang, awalnyo pas patamo-tamo kuliah, maleh gabuang kan, dek sibuk kan, jadi dek alah agak-agak ado waktu luang stek baru baliak liak, sampai kini.

P : Baa dulu awalnyo Wahyu bisa miliah kuliah kamari?

I : Awalnyo pai ka Medan..patamonyo dulu..Medan ko piliahan kaduo, piliahan partamo UI, kaduo USU, katigo UNAND, karena memang dari dulu bosan di Sumbar. Sabananyo kan niaik yang paliang gadang tu pai ka Jawa, makonyo ambiak piliahan partamo tu di UI.

P : Miliah USU dulu baa? Ado keluarga yang disiko? I : Iyo, ado keluarga disiko, adiak kanduang apa, ante yo?

P : Pas awal-awal masuak kamari apo pandapek Wahyu tentang kota Medan? I : Pandapek yu tentang kota Medan, kalau kota Medan tu kan kota besar, jadi

tau lah kan,, baa kota besar tu, urang-urang disitu tu dak urang-urang batak se do, tapi ado juo urang-urang selain urang Batak. Tapi pas tibo di Medan, basobok jo urang batak saketekyo, kebanyakan urang Aceh atau urang Melayu, kalau di lingkungan Wahyu kini ko yo kebanyakan urang Melayu atau urang Aceh.

P : Kalau gambaran yu tentang urang-urang nyo baa?

I : Secara keseluruhan, sebelum pai kamari, danga-danga kecek urang, katonyo kareh, tapi alah carito-carito lo samo senior2 yang ado di Medan ko, tapi nyo pindah liak ka Padang, keceknyo yo di Medan tu kareh, trus ciek lai pergaulannyo terlalu bebas, jadi elok-elok se di Medan, kecek senior tu. Tapi lah pai kasiko, indak lo bantuak tu bana do, lingkuangannyo biaso-biaso se nyo.

P : Katiko awal-awal disiko, apo se yang buek wahyu takajuik disiko?

I : hmm, takajuiknyo caliak watak-watak urang disiko lah, yang bataknyo, misalnyo kalau di jalanan, urang-urang tu ndak amuah mangalah, masuak se taruih, dak amuah mangalah do, tu ciek lai,,pernah lo dulu kanai tipo dek


(3)

tukang becak, dak tau wak ongkosnyo waktu tu doh, wak agiah pitih 100 ribu, nyo baliak an 15 ribu, tu kaburnyo lai.

P : Dari ma?

I : Dari amplas, ka kamari, wak pacik an becaknyo, wak egangan, tapi kabur juo nyo, dek awak macik koper lo ciek.

P : Surang se Wahyu pai kamari?

I : Iyo, surang se, wak dak tantu ado urang-urang tu ado di kos doh, kalau tau kan wak panggia kawan kos tu. Baa lai, sajak tu sampai kini ndak pernah naiak becak lai do.

P : Kalau tentang makanan disiko baa?

I : aa.. iyo..makanan di medan partamo kali mancubo makanan di Medan, jauah bana beda rasonyo samo nasi yang di Padang..nasinyo agak-agak lengket, tapi kini lah tabiaso.

P : Makan di lua atau masak surang? I : Makan di kos, di masak an bu kos. P : Kalau sambanyo disiko baa?

I : Sambanyo samo-samo se nyo, nasinyo yang beda.

P : Partamo kali disiko dulu samo sia wahyu partamo kali bagaul?

I : Samo senior-senior di SMA, kak Dini, bang Ezy, bang Egith, bang Eko, barampek.

P : Kalau di kampus pas ospeknyo dulu ado masalah ndak?

I : Ndak, pas ospek dulu dibaok sanang se nyo, soalnyo kan bahaso nyo lain, kalau disiko kan ospeknyo kan pake bahaso melayu lah gitu, jadi beda la rasonyo. Kalau jo yang di Padang, wak danga-danga kawan wak kanai ospek kan, kalau wak mandanganyo baa tu??sakik ati rasonyo. Tapi kalau urang-urang Medan ko yang ma hariak-hariak, dak ka awak rasonyo do.

P : Ado dak yang kasa-kasa gitu?

I : Indak, paliang yang kurang suko wak dek disuruah botak itu se nyo, itu se yang buek sakik ati, yang lain nyo indak ado.

P : Kalau masalah bahaso ado kesulitan dak?

I : Awal-awalnyo ado, kesulitan bahaso, tapi kalau logat ndak masalah do, banyak bahaso2 lokal lah yang awak dak tau.

P : Misalnyo bantuak apo?

I : Misalnyo kayak kareta, pajak, dak tau do, dulu kan taunyo kereta tu kereta api, banyak la yang lain.

P : Baa se taunyo?

I : Dari kawan-kawan di kampus. Wak galak-galak se kan, dak tau wak bahaso tu, kalau masalah logat bisa.

P : Trus kalau kawan2 yu nanyo dari ma? Apo wahyu jawek? I : Dari Padang, kan emang dari Padang.

P : Apo tanggapan kawan2 Wahyu?

I : Dak do, paliang cuma ngecek-ngecek dari Padang,,,jauh yaa, gitu ajo. P : Di kampus yu banyak bakawan samo urang batak?

I : Urang Batak lai, urang malayu.

P : Kalau urang awak di kampus bara yo ?

I : Kalau yang yo bana urang awak sorangnyo, paliang banyak keturunan gitu. P : Yang paliang acok wahyu ajak interaksi sia?

I : Urang batak sih, urang awak ado juo, tapi labiah acok samo urang batak. P : Pertukaran informasi tentang budaya salamo yu bainteraksi ado ndak?


(4)

I : Ado, paliang ado diskusi-diskusi tentang budaya, misalnyo tentang pambagian warisan, yang tentang harto pusako tu kan, baa kok padusi yang macik, kalau dalam islam kan laki-laki, tu wak kecek an, yang padusi macik tu bukan harta pencarian, tapi harato pusako, tu wak jalehan, harato pusako tu kayak iko, kayak iko,..

P : Dari ma wahyu tau tentang itu? I : Dari sekolah, kan pernah baraja. P : Dak dari keluarga do?

I : Dari keluarga ado lo, dari keluarga tu mama ado maagiah tau, lai di kecek an. P : Trus, yang lain apo lai?

I : Urang tu kalau maagiah informasi tentang urang batak, paliangan dak lo awak khusus lo wak nanyo do.

P : Selain harato pusako tu apo lai yang pernah dibahas?

I : Tentang marantau, misalnyo baa kok suko bana marantau?”keceknyo kan, yo bosan, kecek yuk an, tapi kebanyakan urang minang tu marantau cari harato, tapi kalau kami yang mahasiswa ko kan cari ilmu, gitu.

P : Kalau salamo satuhun ko wahyu berinteraksi tu, pernah ngalami kesulitan? I : Kesulitannyo, misalnyo kalau wak buek salah, kesulitannyo payah minta

maafnyo ka urang tu. Pernah tu, ba masalah jo urang batak, lamo mintak maafnyo.

P : Baa dulu tu kok bisa gitu?

I : Ado la yang wak galak2an, ee..padang..ee batak,” kecek wak kan, ado yang tasingguang kan, tu via sms se, ngamboknyo lamo.

P : Kalau menurut Wahyu apo perbedaan yang mancolok antaro masyarakat disiko jo di kampuang?

I : Kalau masyarakat, wak caliak kan, wak pai jalan2 ka Berastagi, lain rasonyo suasana di tapi2 jalan tu, kalau misalnyo disiko, perkampungan urang Batak asli kan, wak caliak halaman rumahnyo tu kumuah lah, tu dari pandangan wak, urangnyo ibaratnyo ndak barasiah do. Kalau di kampuang kan wak caliak, asalkan ado anak gadih di dalam rumah tu, pasti halamannyo tu barasiah, kalau di Minang tu wak caliak tapi-tapi jalannnyo tu kan rapi, Payakumbuah, Bukittinggi, kalau pulang kan acok lewat2 situ.

P : Kalau di Medan menurut yu baa?

I : Kalau disiko kan, lingkuangannyo anak kos kebanyakan, dek nyo bacampua2 jadi payah lo mandeskripsikannyo.

P : Di dakek kosan wahyu baa?

I : Kalau di kos yu, ado urang batak, urang duri, urang aceh, jadi biaso-biaso se nyo, dak ado interaksi yang mancolok bana do, tapi kami tu akrab se.

P : Kalau di kosan Wahyu pakai bahaso apo?

I : Pakai bahaso Indonesia, kalau di kos dek urang minangnyo sadonyo keturunan, jadi bahaso Indonesia juo, yang sorang kawan SMA, tapi gaek padusinyo yang urang minangnyo, tapi iduiknyo di Aceh. 3 tahun se di Maninjau nyo

P : Kalau perbedaan sikap urang-urangnyo baa?

I : Kalau jo urang batak ko nyo main langsuang2 se nyo, dak mikian parasaan urang, mungkin lah memang gitu tabiatnyo kan, mungkin kalau nyo sasamo urang Batak kayak-kayaknyo gitu tu biaso2 se nyo, tapi kalau awak urang minang yang marasoan agak lain gitu, kadangnyo di muko urang rami gai kan, mode tu.


(5)

I : Pernah, waktu tu misalnyo wak talambek pai waktu tu kan, tu wak batanyo, dak dijaweknyo do, “ kok gak dijawab.” Kecek wak kan, malas jawab ah, kau tadi terlambat.”keceknyo di muko urang rami, tu wak, ooo…iyo lah.

P : Trus baa tanggapan wahyu? I ; Awak diam se nyo.

P : Maraso sakik ati ndak? I : Iyo lah,

P : Tu baa, dak ado bakecek an do?

I : Padian se lah, tapi kan dek urang-urang tu biaso dek nyo nyo, di daerah2 siko kan tu biaso se nyo, kalau di awak yang urang minang kan, maagak-agak an hati urang.

P : Yang lainnyo apo?

I : Aa..tu masalah itu, kalau di Minangkan, kalau biasonyo wak sadang makan, rami-rami gitu kan, kalau basandao tu kan dak elok do, kalau disiko baru tadi pagi baru wak sadang makan, yang tukang manjua nyo tu malahan, kareh..is..wak sadang makan, baa la…..

P : Trus Wahyu maanghadapi hal-hal bantuak itu baa?

I : Biasonyo diam se nyo, ndak pernah protes do, takuiknyo beko awak lo yang salah, masalahnyo awak di lingkungan urang.

P : Kalau konflik atau masalah disiko ado ndak?

I : Ndak, dak ado do. Paliang batak-batak ko, nyo keceknyo kasa kan, kadang ado gai nada mengancam, tapi itu wak anggap sebagai gurauan se nyo.

P : Kalau urang tu ngecek “kau-kau” gitu baa?

I : Kalau itu kan, dek factor bahaso, itu biaso se nyo, kan dulu di sekolah ado juo urang Medan, jadi kadang nyo ba”kau-kau” juo.

P : Wahyu sendiri kalau carito-carito gitu, labiah nyamannyo jo sia?

I : Nyaman lah samo urang minang lai, dek labiah masuak ngecek kan, dek bahaso, bahaso ibu wak sorang. Kadang kalau ngecek jo urang-urang Batak, tabaok-baok lo bahaso Minang.

P : Menurut Wahyu pandangan yu tentang budaya minang tu baa?

I : Budaya Minang tu halus lah, kalau dibandiangan jo batak, tu lebih sopan. Kan kalau kesopanan tu dalam konteks budaya itu tu relative, misalnyo dek urang batak tu ngecek kareh-kareh tu sopan mah, tapi kalau dek awak tu lain. Jadi budaya minang tu lebih sopan dan halus.

P : Wahyu sendiri caro manunjuak an identitas Wahyu sebagai urang minang baa?

I : Kalau budaya secara mancolok dak ado do, tapi kalau dalam pergaulan lai, contohnyo kalau misalnyo wak basalah ka urang, yo lah awak duluan yang minta maaf. Baa caronyo wak tu harus mintak maaf samo urang tu. Tu awak tu harus bausaho manjago, ibaraiknyo layang2 gitu ni, banyak patimbangan lah. Kalau misalnyo lah talampau tagang, di uluan stek, kalau dak ado angin di tagangan stek, gitu lah. Pandai-pandai baco situasi.

P : Kalau perubahan yang wahyu rasoan ado ndak salamo tingga disiko?

I : Misalnyo, dek pergaulan labiah luas kan, ado urang batak, urang minang, urang aceh, urang melayu, pokoknyo banyak kan urang2 gai, jadi ibaraiknyo kini ko labiah luas lah pengetahuan tentang baa caro menghadapi urang-urang ko, du kan agak pandiam, kalau kini kan agak-agak banyak ngecek lah stek jo urang-urang tu.


(6)

I : Cari kawan, memang niaik dari dulu, selain pai kuliah, yo tambah kawan-kawan.

P : Kalau samo logat urang siko tabaok-baok ndak?

I : Tabaok, pernah waktu tu di Padang, reuni kan, jadi tabaok kan, tu digalak an dek kawan-kawan yu.

P : Sajak bilo tu wahyu tabiaso samo bahaso urang siko? I : Sajak 6 bulan disiko la. Tapi itu sakali-sakali se nyo. P : Kalau culture shock yang lain baa?

I : Culture shock yo bantuak bahaso tadi, kayak sopan santun yang kurang tadi, kalau dibandiangan jo budaya minang kan. Trus kalau disiko kan lebih individual, paliang wak tau samo yang sobok jo awak, sabalah kosan wak dak tau ntah jo sia-sia do.

P : Kalau kedekatan wahyu samo kawan-kawan kampus baa?

I : Dakek ajo sih sadonyo. O iyo, tu kalau masalah culture shock tu dek balainan agama gitu. Agama di Medan kan banyak, dikelas tu se ado 4 agama, budha, hindu ado. Tapi kalau masalah kedekatan yo labiah dakek lah inyo samo inyo ajo.


Dokumen yang terkait

Peran Identitas Etnis Dalam Komunikasi Antarbudaya Pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Kota Medan

3 59 147

Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa (Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara).

5 75 211

Culture Shock Dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Universitas Sumatera Utara)

9 145 187

Identitas Etnis Dan Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Peran Identitas Etnis dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara)

3 46 238

Akomodasi Komunikasi Dalam Interaksi Antarbudaya Studi Pada Himpunan Pelajar Patani Di Indonesia Dalam Mengomunikasikan Identitas Budaya

1 15 99

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

1 32 131

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 5

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 2

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 10

PERAN IDENTITAS ETNIS DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PADA KOMUNITAS TAMIL DI KAMPUNG MADRAS KOTA MEDAN SKRIPSI

0 0 13