BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - SKRIPSI PUTRI CINA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sastra di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari Sastra Melayu Tionghoa (selanjutnya disingkat SMT) yang sudah berkembang terlebih

  dahulu dari sastra Indonesia itu sendiri. Tentu dalam perkembangannya SMT tidak bisa dilepaskan dari peran produsennya yakni masyarakat peranakan Tionghoa/Cina yang tinggal di Indonesia. Sebagai karya sastra, SMT dinilai mewarisi kerusakan bahasa karena berkaitan dengan percampuran bahasa produsennya. Soemardjo memaparkan bahasa yang digunakan SMT bersifat praktis, adaptabel, dan fleksibel. Bahasa tersebut sering dinamai bahasa ―Melayu rusak‖ karena memang tidak memiliki gramatika baku. Berbagai gramatika

  (Barat, Tionghoa, dan Indonesia) berbaur menjadi satu. Hal inilah yang menyebabkan bahasa tesebut kurang disukai pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial cenderung menyukai Melayu tinggi atau Melayu Riau yang jelas pembakuannya. Kecenderungan pemerintah kolonial tersebut diwujudkan dengan diadakannya badan penerbitan Volkslectuur pada tahun 1908 yang kemudian berubah menjadi Balai Pustakan pada tahun 1917 (2004:21).

  Meskipun SMT dinilai mewaris kerusakan bahasa, SMT dianggap karya sastra yang ―kaya‖ akan informasi di dalamnya, baik informasi kehidupan sosial pada zamannya maupun informasi mengenai pandangan hidup masyarakat peranakan Tionghoa pada masa itu. Myra Sidharta dalam pengantar Kesastraan

  

Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia menyatakan bahwa SMT dipakai untuk menyampaikan peristiwa-peristiwa penting, dan kemudian dipakai untuk menyampaikan peristiwa itu secara lisan kepada rakyat (Marcus & Pax Benedanto, 2002:iv). Hal senada juga diungkapkan oleh Soemardjo. Ia menyatakan bahwa SMT bentuk pantun dan syair memang sudah populer digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan perasaan dan pikirannya sejak tahun 1870-an, baik di lingkungan Belanda maupun Tionghoa (2004:30).

  Claudine Salmon mencatat bahwa perkembangan SMT sudah dimulai sejak tahun 1870 dan surut, bahkan bisa dikatakan benar-benar hilang sejak tahun 1966 (melalui Soemardjo, 2004:50). Hal tersebut berkaitan dengan tindakan pemerintah yang menutup semua sekolah yang menggunakan pengantar bahasa Tionghoa karena dianggap media

  ―totokisasi‖ juga kecurigaan pada Beijing yang terlibat dalam pemberontakan PKI pada bulan Oktober 1966. Sejak saat itu secara otomatis golongan Tionghoa yang bermukim di Indonesia mulai kehilangan bahasa bahkan budaya leluhurnya dari Cina daratan, karena kebutuhan bacaan tentang Cina tidak terpenuhi. Kemudian golongan ini beradaptasi dengan masyarakat setempat.

  Setelah Orde Baru runtuh, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut segala bentuk diskriminasi terhadap golongan Tionghoa. Orang-orang Tionghoa pun berlomba mencari kembali unsur-unsur Tionghoanya. Salah satunya dapat dilihat dari maraknya buku-buku yang mengulas tentang Tionghoa. Agus Setiadi dalam

  

Geliat Sang Naga dalam Pustaka mengungkapkan bahwa maraknya buku yang

  berkembang adalah untuk menanggapi kebutuhan kelompok etnis Tionghoa yang i ngin ―mencari akar‖ ketionghoannya (2010:140). Perkembangan itu faktanya juga terjadi pada dunia fiksi, salah satunya adalah dengan adanya novel Putri

  

Cina karya Sindhunata yang terbit pada tahun 2007. Novel ini muncul bebarengan

dengan maraknya perkembangan buku-buku yang mengangkat tentang Tionghoa.

  Bagi penulis, walaupun Putri Cina sebagai objek penelitian sama-sama mengangkat tentang orang-orang Tionghoa namun novel tersebut tetap bukan SMT. Putri Cina tidak megulang SMT yang telah hilang 50 tahun lebih itu, namun sebagai kelanjutan babak baru sastra Indonesia yang mengangkat kehidupan orang-orang Tionghoa. Hal ini dikarenakan dari segi bahasa Putri Cina sudah berbeda dengan SMT.

  Lebih jauh lagi, Putri Cina sebagai objek penelitian merupakan bahan kajian yang sangat menarik. Isinya berkisah tentang Putri Cina sebagai tokoh utama yang mewakili kaumnya yakni orang-orang Cina dikatakan ―tidak berwajah‖ di tanah yang mereka tempati (Tanah Jawa). Selain itu, tokoh Jaka Prabangkara anak Prabu Brawijaya tiba-tiba mampu berbicara dengan bahasa Cina seketika ia tiba di Cina daratan. Padahal ia sama sekali tidak pernah pergi ke Cina. Cerita ini kemudian memunculkan sebuah makna tersirat tentang asal-usul orang Cina di Tanah Jawa sendiri.

  Tidak kalah pentingnya Putri Cina juga menceritakan pandangan hidup orang-orang Cina sering kali dianggap materialis (ngadonyan dalam bahasa Jawa) mengakibatkan Putri Cina dan kaumnya mengalami prasangka bahkan konflik rasial sehingga mengakibatkan korban berjatuhan. Konflik itu seperti yang terjadi di Batavia pada tahun 1740 yang menewaskan 10.000 jiwa. Lalu konflik yang terjadi di Kudus pada tahun 1916. Kemudian ada juga peristiwa yang terjadi di Tanggerang pada tahun 1946. Konflik tidak hanya berhenti di situ, konflik terus berulang hingga puncaknya pada masa Kerajaan Medang Kamulan sebagaimana diceritakan di dalam Putri Cina. Selanjutnya menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah benar pandangan atas orang-orang Cina sedemikian rupa?

  Putri Cina sebagai sebuah karya yang dianggap kembali mengangkat kehidupan orang-orang Tionghoa kemudian menjadi sebuah karya yang penting.

  Menurut hemat penulis, novel ini penting karena Putri Cina merupakan ekspresi dan pandangan Sindhunata sebagai anggota masyarakat Tionghoa. Hal tersebut terbukti, sebagaimana ditunjukan di dalam pengantar Putri Cina di bawah ini:

  Buku ini saya persembahkan sebagai kenang-kenangan untuk almarhum ayah dan almarhumah ibu saya, Liem Swie Bie dan Koo Soen Ling, juga kakak dan adik perempuan saya, Liem Sioe Lan dan Liem Hwie Lian, yang telah meninggal (Sindhunata, 2007:8).

  Tidak hanya itu, sebagai sebuah karya, Putri Cina kemudian juga menuntun pembacanya pada pencariaan dan pemaknaan hidup. Jatman dalam

  Sastra, Psikologi, dan Masyarakat mengatakan sebagai berikut:

  Pada hemat saya, kesusastraan yang bertanggung jawab adalah kesusastraan yang historis; ia mencairkan mitos menjadi sejarah; namun dalam perjalanan waktunya, ia baru bisa dikatakan berperan apabila ia sendiri telah menjadi mitos; atau paling tidak, berfungsi sebagai mitos. Dan karena ia menyejarah, maka mestilah fungsional dalam masyarakatnya. Ia bisa membantu masyarakatnya menginterprestasikan makna hidup mereka. Itu yang terutama. Sering juga posisi ini disebut sebagai mitos profan, yang merupakan bagian dari upaya manusia untuk memberikan makna bagi hidupnya

  —sesuatu yang juga dibutuhkan oleh manusia-manusia religius yang mempercayakan diri akan pertemuannya dengan sang kudus, sang misteri dalam pengalaman-pengalaman langsung, afektif dan intuitif (1985:212).

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1. Identitas dan pandangan hidup orang-orang Tionghoa terrepresentasikan dalam Putri Cina.

  2. Jalan penyatuan yang diajukan Putri Cina untuk mengatasi persoalan pribumi dan orang-orang Tionghoa.

C. Tujuan Penelitian

  Mengacu pada rumusan masalah, penelitian ini memiliki tujuan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1. Mengungkapkan identitas dan pandangan hidup orang-orang Tionghoa ditinjau dari Putri Cina.

  2. Mengungkapkan solusi yang diajukan Putri Cina dalam mengatasi persoalan pribumi dan orang-orang Tionghoa.

D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan dua manfaat yakni manfaat praktis dan teoretis.

  Manfaat praktis yang dapat diambil adalah dengan adanya penelitian ini memperkaya khasanah penelitian sosiologi sastra. Pada penelitian ini juga dapat diambil manfaat teoretisnya, yakni memperluas pandangan pembaca mengenai sosiologi sastra melalui Putri Cina yang dianalisis dalam penelitian ini.

  E. Ruang Lingkup Penelitian

  Ruang lingkup penelitian ini merupakan penelitian lingkup kepustakaan. Ruang lingkup kepustakaan memusatkan penelitian pada data. Sumber data dalam penelitian ini adalah Putri Cina karya Sindhunata. Putri Cina merupakan objek material penelitian. Pada objek formalnya, penelitian ini memfokuskan pada identitas, pandangan hidup, dan jalan penyatuan untuk orang-orang Tionghoa ditinjau dari Putri Cina

  F. Metode Penelitian

  Mengingat tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan masalah-masalah sosial dalam teks sastra, yakni masalah identitas, pandangan hidup, dan pembauran masyarakat Tionghoa dalam Putri Cina, maka metode yang penulis gunakan adalah metode sosiologi sastra. Damono dalam Pedoman Penelitian Sastra menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Istilah sosiologi sastra tidak berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosiokultural terhadap sastra (2002:2).

  Hartoko dan Rahmanto dalam Pemandu di Dunia Sastra memaparkan bahwa sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari hubungannya dengan kenyataan sosial. Kenyataan sosial dalam sosiologi sastra meliputi pengarang, pembaca, dan teks sastra. Konteks pengarang dan pembaca dalam sosiologi sastra disebut dengan sosiologi komunikasi sastra. Di dalam sosiologi komunikasi sastra, penelitian memusatkan pada konteks sosial pengarang meliputi status, pekerjaan, keterikatannya akan suatu kelas, ideologi dan sebagainya lalu meneliti sejauh mana pengaruh pengarang terhadap karyanya. Sosiologi komunikasi sastra juga menempatkan pembaca sebagai bagian dari fokus kajian. Fokus kajian pembaca meliputi kebiasaan membaca dalam kalangan tertentu seperti remaja, buruh, dan lan-lain. Konteks yang memusatkan pada teks sastra dalam sosiologi sastra disebut penafsiran teks sastra secara sosiologis.

  Penafsiran teks secara sosiologis merupakan analisis gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam sebuah karya kemudian melihat sejauh mana gambaran itu menyimpang atau serasi dengan kenyataan. Hubungan antara teks sastra dan kenyataan digunakan untuk meneliti fungsi manakah yang dominan di dalam sebuah teks. Fungsi itu sendiri meliputi hiburan, informasi, sosialisasi dan lain- lain guna melihat peranan sastra dalam masyarakat (1986:129).

  Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa tujuan dari penelitian ini adalah mengungkapkan aspek-aspek sosial dalam teks sastra. Maka, metode yang representatif dalam penelitian ini adalah metode sosiologi sastra berdasarkan penafsiran teks secara sosiologis.

G. Landasan Teori

  Dalam sosiologi sastra, terutama kajian sosiologi terhadap penafsiran teks sastra terdapat ilmu bantu yang dapat dimanfaatkan sebagai teori. Ilmu bantu tersebut antara lain linguistik, filsafat, sosiologi, antropologi, dan sebagainya. Ilmu filsafat sebagai ilmu bantu menyangkut teori-teori antara lain romantisme, positivisme, feminisme, marxisme, dan lain-lain. Teori marxisme sendiri melahirkan teori-teori sastra yang dikenal sebagai lima model teori sastra marxis yang terdiri dari teori refleksi, penciptaan, strukturalisme genetik, pengatahuan bahasa, dan landasan bahasa (Noor, 2007:125-133).

  Penulis dalam penelitian ini menggunakan teori strukturalisme genetik. Strukturalisme genetik merupakan teori sastra yang melakukan pendekatan pada teks sastra atau seperti yang sudah dijelaskan pada subbab sebelumnya disebut penafsiran teks sastra secara sosiologis.

  Teori strukturalisme genetik tidak muncul begitu saja. Teori ini muncul atas tanggapan dari teori sebelumnya yang dikenal dengan teori strukturalisme tradisional. Strukturalisme tradisional merupakan teori yang melakukan pendekatan teori secara objektif. Pendekatan ini dalam penelitian sastra memusatkan perhatiannya pada otonomi karya sastra dalam karya fiksi (Iswanto, 2012:78). Namun, pendekatan objektif terhadap karya sastra seperti yang diungkapkan Juhl dinilai akan sangat berbahaya karena penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-cita dan juga norma yang dipegang teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial tertentu (melalui Iswanto, 2012:79).

  Strukturalisme genetik dimunculkan oleh Lucien Goldmann seorang kritikus dari Rumania. Goldmann menganggap bahwa karya sastra adalah struktur yang bermakna mewakili pandangan dunia (vision du monde) pengarang, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, strukturalisme genetik merupakan penelitian yang menghubungkan struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikan (melalui Endraswara 2011:57).

  Seperti yang telah dikemukakan di atas, strukturalisme genetik lahir atas tanggapan strukturalisme tradisional. Namun, strukturalisme genetik menganggap bahwa adanya hubungan antara struktur karya sastra dan struktur masyarakat melalui pandangan dunia. Hal ini menunjukan, meskipun strukturalisme genetik menolak gagasan strukturalisme tradisional

  —melakukan pendekatan secara objektif — pada penerapannya strukturalisme genetik tetap memperhitungkan strukturalisme tradisional dalam penerapannya.

H. Sistematika Penulisan

  Penyajian penelitian ini disusun secara sistematis yang terdiri dari lima bab, yaitu:

  Bab I berupa pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, metode penelitian, landasan teori, dan sistematika penulisan.

  Bab II adalah tinjauan pustaka dan landasan teori. Di dalam bab ini berisi perihal tentang penelitian sebelumnya dan penjelasan teori yang akan digunakan. Bab III adalah diberi judul unsur pembangun Putri Cina. Dalam bab ini berisi uraian unsur pembangun novel Putri Cina yakni unsur instrinsik novel itu sendiri.

  Bab IV diberi judul terapan strukturalisme genetik padaPutri Cina. Berisi paparan teoretis mengenai jati diri, pandangan hidup dan solusi yang diberikan terhadap orang Tionghoa melalui Putri Cina yang dikaji melalui strukturalisme genetik.

  Bab V adalah penutup. Bab ini berisi simpulan dari keseluruhan analisis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Bab ini terdiri atas dua subbab judul yakni penelitian-penelitian sebelumnya dan

  landasan teori. Di penelitian-penelitian sebelumnya, penulis menjelaskan tentang penelitian yang terkait dengan skripsi ini. Keterkaitan ini menyangkut hubungan penggunaan teori dan objek penelitian. Di landasan teori berisi paparan teoretis mengenai teori strukturalisme genetik.

A. Penelitian-penelitian Sebelumnya

  Menurut hemat penulis, penggunaan teori strukturalisme genetik untuk mengkaji karya sastra tidak sepopuler dengan teori-teori lainnya. Berbeda halnya dengan teori-teori seperti strukturalisme tradisional, psikoanalisis, semiotika, feminisme, dan lain-lain. Penulis sendiri mengalami kesulitan untuk mencari penelitian dengan teori serupa di kalangan akademisi. Hanya beberapa, salah satunya adalah Natiqotul Muniroh dari Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul ―Analisis Strukturalisme Genetik dalam Novel Moi Nojoud, 10 Ans, Divorcee Karya Nojoud Ali dan Delphine Minoui: Sebuah Sosiologi Sastra

  ‖. Dari penelitiannya, Muniroh menemukan bahwa struktur novel Moi Nojoud, 10 Ans, Divorcee saling terkait. Keterkaitan tersebut meliputi hubungan latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan politik berwujud kemiskinan, keterbelakangan, pendidikan rendah, terikat budaya pernikahan anak, dan budaya patriarki.Pandangan dunia dalam novel tersebut adalah mencegah perkawinan anak di pedesaan Yaman dengan perceraian dan meningkatkan batas usia legal untuk menikah. Di lingkungan Universitas Diponegoro (Undip) sendiri, penelitian dengan menggunakan teori strukturalime genetik belum penulis temui, baik di tingkat Strata 1 (S1) maupun Strata 2 (S2). Pencarian ini didasarkan pada judul yang diarsipkan oleh perpustakaan Undip Fakultas Ilmu Budaya dan Program Studi . Magister Ilmu Susastra Akan tetapi, untuk objek material penelitian, Putri Cina karya Sindhunata sudah pernah dikaji oleh mahasiswa S2 bernama Edy Sutanto.

  Sutanto sendiri memberikan judul tesisnya ―Simbol Daging dan Darah dalam Novel Putri Cina Karya Sindhunata: Kajian Struktural dan Semio tika‖. Penggunaan strkturalisme genetik dalam penelitian ini tidak hanya untuk membedakan teori dengan penelitian sebelumnya pada Putri Cina, namun juga digunakan untuk mendapatkan hasil temuan yang diharapkan.

B. Landasan Teori

  Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, strukturalisme genetik sebagai sebuah teori nyatanya tidak seketika muncul begitu saja. Kehadirannya sebagai teori muncul atas rasa ketidakpuasan terhadap teori sebelumnya yang biasa dikenal dengan nama teori strukturalisme tradisional. Strukturalisme tradisional yang cenderung melakukan pendekatan secara objektif dan memperlakukan teks sastra secara otonom dinilai menghilangkan esensi dari karya sastra itu sendiri. Banyak lontaran kritik untuk strukturalisme tradisional ini, Endraswara dalam Metodologi Peneltian Sastra mencatat dari pernyataan Taine menganggap bahwa sastra tidak sekadar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan dapat merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu karya itu dilahirkan (2011:55).

  Pernyataan Taine tersebut kemudian dianggap sebagai tonggak dasar dari strukturalisme genetik. Selanjutnya, strukturalisme genetik baru benar-benar dikembangkan oleh seorang kritikus Rumania bernama Lucien Goldmann. Goldmann sebagaimana dikutip oleh Salden (1993:37) menilai bahwa teks-teks bukanlah ciptaan teks jenius individual pengarang, menurutnya teks-teks itu berdasarkan pada struktur-struktur mental transindividual milik kelompok- kelompok (kelas-kelas) khusus. Ia menambahkan pandangan dunia ini secara terus-menerus dibangun dan dihancurkan oleh kelompok masyarakat karena menyesuaikan citraan mereka terhadap realitias yang berubah di hadapan mereka.

  Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan Noor, strukturalisme genetik melihat karya bukan sebagai ungkapan pribadi pengarang, tetapi sebagai ungkapan aspirasi kelas sosial yang dianut pengarang (2007:129).

  Struktur yang dibangun dan dihancurkan secara terus-menerus bukanlah sesuatu yang statis. Perubahan yang terjadi secara terus-menerus dianggap sebagai proses dari produk sejarah. Faruk memberikan pendapat terhadap strukturalisme genetik sebagai berikut:

  Sebagai sebuah teori, strukturalisme genetik merupakan pernyataan yang sahih mengenai kenyataan. Pernyataan ini dikatakan sahih jika di dalamnya terkandung gambaran mengenai tata kehidupan yang bersistem dan terpadu, didasarkan pada landasan ontologis yang berupa kodrat keberadaan kenyataan itu, dan landasan epistimologis yang berupa seperangkat gagasan yang sistematik mengenai cara memahami atau mengetahui kenyataan yang bersangkutan (2010:56).

  Lebih lanjut Faruk memformulasikan teori strukturalisme genetik Goldmann ini menjadi enam konsep dasar yaitu fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman, dan penjelasan.

  Pertama adalah fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan merupakan landasan ontologis dari strukturalisme genetik. Fakta ini memuat pengertian segala aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun fisik. Fakta kemanusiaan sendiri terbagi menjadi dua, fakta indiviual dan fakta sosial. Dalam strukturalisme genetik hanya fakta sosial yang dianggap berperan, sedangkan fakta individual dianggap sebagai perilaku libidinal seperti mimpi, tingkah laku orang gila, dan sebagainya tidak berperan. Fakta kemanusiaan ini dianggap sebagai sebuah struktur yang memiliki arti dan saling mengikat sebagai sebuah produk sejarah (Goldmann melalui Faruk, 2010:57).

  Bagi strukturalisme genetik karya sastra hidup dalam dan menjadi bagian dari proses asimilasi dan akomodasi yang terus menerus tersebut. Karya sastra pada dasarnya aktivitas strukturasi yang dimotovasi oleh adanya keinginan dari subjek karya sastra untuk membangun keseimbangan dalam hubungan antara dirinya dengan lingkungan di sekitarnya (Faruk, 2010:61).

  Ke dua adalah subjek kolektif. Sudah disinggung di atas bahwa dalam strukturalisme genetik hanya fakta sosial yang dikatakan berperan. Berbeda halnya dengan fakta individual yang sifatnya libidinal. Fakta sosial berperan karena bernilai historis. Faruk (2010:62) menekankan jika mengembalikan fakta kepada subjek individual sama artinya ―pemerkosaan‖ terhadap kodrat fakta itu sendiri. Peristiwa besar seperti revolusi sosial, politik, dan ekonomi tidak mungkin diciptakan oleh individu oleh dorongan libidonya. Strukturalisme genetik menganggap jika peristiwa besar hanya mampu diciptakan oleh subjek trans-individual (Goldmann melalui Faruk, 2010:63).

  Subjek kolektif atau subjek trans-individual dalam strukturalisme genetik adalah kelas sosial. Kelas sosial adalah kelompok yang berpengaruh dalam sejarah karena mengandung gagasan lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan umat manusia (Goldmann melalui Faruk, 2010:63). Kelas sosial yang digunakan Goldmann ialah kelas sosial yang dikemukakan Marx yakni membagi masyarakat berdasarkan kepemilikan alat produksi. Kelas sosial terbagi menjadi dua yakni kelompok sosial pemilik alat produksi dan kelompok sosial tidak memiliki alat produksi. Pada dasarnya kelas sosial bersifat antagonistis karena mengikuti kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Hubungan itu tercipta karena satu sisi kelas pemilik alat produksi berusaha untuk mempertahankan kelas. Sisi lain, kelas yang tidak memiliki alat produksi berusaha merebut kedudukan tersebut (melalui Faruk, 2010:26-27).

  Sentimen kelas sosial merupakan hubungan yang sangat memungkinkan terjadinya perubahan. Perubahan sosial pun dibedakan menjadi dua yakni perubahan infrastruktur dan superstruktur. Infrastruktur merupakan hubungan lingkungan produksi. Sedangkan superstruktur mencakup hubungan yang lebih luas dan lebih umum (Goldmann melalui Faruk, 2010:64).

  Ke tiga adalah pandangan dunia. Goldmann mempercayai adanya persamaan (homologi) antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas struktur yang sama (melalui Faruk, 2010:64). Konsep homologi sendiri berbeda dengan konsep refleksi. Hal ini dipahami bahwa karya sastra bukanlah sebuah karya realistis melainkan imajinatif bahkan fantastis. Bangunan dunia dalam karya sastra berbeda dengan bangunan dunia dalam kenyataan. Dengan memakai konsep homologi, hubungan antara bangunan dunia imajiner dan dunia nyata dapat dipahami, yakni dengan memahami kesamaan tersebut bukan pada subtansinya melainkan pada strukturnya.

  Pandangan dunia dalam konsep homologi ialah struktur yang berarti mewakili gagasan, pikiran, dan perasaan kelompok tertentu. Pandangan dunia ini mempertentangkan dengan pandangan dunia kelompok lain karena masih berhubungan dengan sentimen antar kelas. Menurut strukturalisme genetik pandangan dunia diperoleh melalui proses yang panjang dan tidak setiap orang mampu memahaminya. Pandangan dunia pun terbagi menjadi dua yakni ‗kesadaran yang mungkin‘ dan ‗kesadaran yang nyata‘. Kesadaran yang mungkin merupakan kesadaran yang menyatakan kecenderungan kelompok ke arah suatu mengikat dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya. Pandangan ini jarang disadari dan hanya muncul dalam momen krisis. Sedangkan kesadaran nyata adalah kesadaran yang dimiliki setiap individu dalam anggota masyarakat (Goldmann melalui Faruk 2010:68-69).

  Ke empat adalah strukturasi. Goldmann (melalui Faruk, 2010:71-72) dalam esainya The Epistimology of Sociology mengemukakan pendapat tentang karya sastra yang sebenarnya merupakan sebuah hal yang biasa. Pendapat pertama adalah bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Pendapat kedua menyatakan bahwa pengarang mengekspresikan pandangan dunia tersebut dengan menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi imajiner. Mengacu hal tersebut, Goldmann kemudian membedakan karya sastra dari filsafat dan sosiologi. Menurutnya filsafat mengekspresikan dunia secara konseptual, sedangkan sosiologi mengacu pada dunia empiris. Selanjutnya Goldmann menciptakan konsep struktur yang bersifat tematik. Pusat penelitian struktur tematik ini memusatkan perhatiannya pada relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek. Sifat tematik dari konsep strukur Goldmann dapat dilihat dari kutipan berikut:

  Dengan mendasarkan diri pada Lukacs dan Girard, Goldmann mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai otentik dalam dunia dunia yang terdegradasi. Pencarian itu dilakukan oleh seorang hero yang problematik (melalui Faruk, 2010:73).

  Terakhir yakni pemahaman dan penjelasan. Telah dijelaskan sebelumnya pada fakta kemanusiaan yang menyatakan bahwa karya sastra merupakan struktur yang memiliki arti. Karya sastra yang memiliki arti tersebut berkaitan dengan usaha manusia memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan sosial yang ada di dunia nyata (Faruk, 2010:76). Untuk mendapatkan pengetahuan karya sastra dengan kodrat keberadaan (ontologi), Goldmann kemudian mengembangkan sebuah metode yang disebut sebagai metode dialektik (melalui Faruk, 2010:76).

  Goldmann menganggap metode dialektik sama dengan metode positivistik karena keduanya sama-sama bermula dan berakhir pada teks sastra. Perbedaannya metode ini adalah jika positivistik tidak mempertimbangkan persoalan koherensi struktur, metode dialektik memperhitungkannya (melalui Faruk, 2010:77).

  Permasalahan yang mendasar dari metode dialektik merupakan reaksi atas fakta- fakta kemanusiaan yang akan tetap absrak jika tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikan ke dalam kesuluruhan. Berhubungan dengan ini Goldmann men gembangkan dua pasangan konsep ‗keseluruhan-bagian‘ dan ‗pemahaman- penjelasan‘.

  Menurut Goldmann, sudut pandang dialektik mengukuhkan perihal tidak pernah adanya titik awal secara mutlak sahih, tidak adanya persoalan yang pasti terpecahkan. Oleh karena itu, dalam sudut pandang tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan secara keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya bisa dapat dipahami dengan pengetahuan yang betambah mengenai fakta-fakta parsial atau yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu (Faruk, 2010:77). Seterusnya dapat dilihat bahwa konsep keseluruhan-bagian berkaitan erat dengan konsep pemahaman-penjelasan. Goldmann menjelaskan bahwa pemahaman adalah usaha mendeskripsikan struktur objek yang dipelajari, sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkan ke dalam struktur yang lebih besar (melalui Faruk, 2010:79). Adapun teknik pelaksanaan metode dialektik dijabarkan sebagai berikut:

1. Peneliti membangun sebuah model yang dianggapnya memberikan tingkat probabilitas tertentu atas dasar bagian.

  2. Peneliti melakukan pengecekan ulang terhadap model itu dengan membandingkan dengan keseluruhan dengan beberapa cara. Pertama melihat sejauh mana setiap unit tergabungkan dalam hipotesis yang menyeluruh. Ke dua, daftar elemen-elemen dan hubungan baru yang tidak diperlengkapi dalam model semula. Ke tiga, frekuensi elemen-elemen dan hubungan- hubungan yang diperlengkapi dalam model yang sudah dicek itu (melalui Faruk, 2010:79).

  Walaupun demikian, strukturalisme genetik yang dianggap sebagai reaksi atas strukturalisme tradisional nyatanya tidak bisa dilepaskan dari strukturalisme tradisional itu sendiri. Pendekatan unsur intrinsik sebagai ciri khas dari penelitian strukturalisme tradisional sangat erat terjalin dalam penelitian strukturalisme genetik.

  Penelitian strukturalisme genetik memandang karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menggabungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya. Karya dipandang sebagai refleksi zaman, yang dapat mengungkap aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting pada zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra (Endraswara 2011:56).

  Nurgiyantoro dalam Teori Pengkajian Fiksi mendeskripsikan unsur intrinsik sebagai unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri (2012:23).

  Adapun unsur-unsur yang dimaksud adalah peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.

  Akan tetapi dalam aplikasinya, tidak semua unsur dimasukkan dalam penelitian ini. Pertimbangan tersebut diambil karena menyesuaikan dengan kebutuhan penelitian dan relevansi terhadap teori pokok yang dipakai, yakni strukturalisme genetik. Unsur yang dipakai dalam penelitian ini antara lain:

1. Cerita

  Cerita dalam karya fiksi dianggap suatu hal yang paling penting. Unsur ini memiliki peranan sentral dari awal hingga akhir. Cerita dianggap erat berkaitan dengan berbagai unsur pembangun fiksi yang lain. Foster (melalui Nurgiyantoro, 2012:90) mengartikan cerita sebagai sebuah narasi berbagai kejadian yang segaja disusun berdasarkan urutan waktu.

  2. Tokoh

  Tokoh oleh Abrams memiliki pengertian orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diucapkan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (melalui Nurgiyantoro, 2012:165).

  Tokoh ini sendiri pun dibedakan menurut jenisnya. Telah disampaikan sebelumnya, bahwa dalam penelitian ini pemakaian unsur disesuaikan dengan kebutuhan, begitu pula dengan jenis tokoh yang akan dianalisis dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini jenis tokoh dibedakan berdasarkan segi peranan dan tingkat kepentingannya. Pembagian tingkat berdasarkan peranan dan kepentingan melahirkan dua tokoh yakni tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (2012:176). Sebaliknya, tokoh tambahan merupakan tokoh yang tidak terlalu mendominasi cerita, baik berkaitan secara langsung ataupun tidak langsung.

  3. Latar

  Latar dalam pengertian Abrams (melalui Nurgiyantoro, 2012:216) mengacu pada tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa- pertiwa diceritakan. Tempat mengacu pada wilayah. Waktu berisi ‗kapan‘ peristiwa dalam karya sastra terjadi. Lingkungan sosial merupakan keadaan atau situasi yang digambarkan pada karya sastra.

  Laurenson dan Swingewod menawarkan sebuah langkah penelitian strukturalisme genetik yang juga disetujui oleh Goldmann. Pertama, mula-mula sastra diteliti strukturnya untuk membuktikan jaringan-jaringan bagiannya sehingga terjadi keseluruhan yang padu dan holistis. Ke dua, penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur sastra dihubungan dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan struktur mental yang berhubungan dengan pandangan dunia pengarang. Sebagai penutup, untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu metode pencarian kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis yang sifatnya spesifik untuk selanjutnya mencari premis general (melalui Iswanto, 2012:82).

  

BAB III

UNSUR INTRINSIK PUTRI CINA Bab ini berisi tentang analisis unsur intrinsik Putri Cina. Unsur intrinsik sebagaimana dijelaskan pada bab II adalah unsur yang membangun karya sastra. Penulis dalam bab ini memilah unsur intrinsik menjadi tiga bagian meliputi cerita, tokoh, dan latar Putri Cina. A. Cerita dalam Putri Cina

Putri Cina karya Sindhunata pertama diterbitkan pada September tahun 2007

  dengan tebal 304 halaman. Novel ini bercerita tentang tokoh yang bernama Putri Cina. Putri Cina sebagai pembawa jalan cerita mengarungi ruang dan waktu.

  Akan tetapi secara garis besar, penulis melihat bahwa novel ini terdiri dari dua garis besar cerita yaitu ketika Putri Cina sebagai istri Prabu Brawijaya Kelima raja dari Kerajaan Majapahit dan Putri Cina yang kedua menjelma sebagai Giok Tien istri Setyoko (Senopati Gurdo Paksi).

  Putri Cina sebagai istri dari Prabu Brawijaya Kelima adalah cerita bagian pertama. Cerita ini diawali oleh kesedihan yang dirasakan oleh Putri Cina yang mempertanyakan jatidirinya. Putri Cina sendiri adalah tokoh yang juga digunakan untuk menyebutkan kaumnya.

  Tidakkah hidupnya memang tidak punya akar, yang mengikat dia pada suatu tanah, tempat ia bisa berpijak? Katanya, ia berasal dari Cina. Tapi ia tak tahu sama sekali, apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah leluhurnya itu. Dan ke sana sekali pun ia tidak pernah. Dan tidakkah ia dan kaumnya terbang seperti debu, yang berhamburan kemana-mana? Kaumnya tak bisa bicara satu sama lain. Bahasa mereka berupa-rupa, tergantung di mana mereka tinggal. Sementara ia dan kebanyakan kaumnya pun tidak bisa sama sekali bicara dalam bahasa leluhur (Sindhunata 2007:10). Putri Cina merasa sedih. Banyak orang mengatakan bahwa ia cantik. Meskipun demikian, ia sendiri merasa tidak memiliki wajah. Sesungguhnya Putri Cina itu kaya raya, tetapi semakin bertambah kaya, ia merasa bahwa kekayaannya itu tidak mampu menyangga wajahnya yang ternyata sudah ―hilang‖. Kesedihan pun bertambah saat ia melihat kaumnya selalu tergoda mencari harta dan kekayaan. Padahal leluhurnya dari Cina melarang ia dan kaumnya agar tidak terikat pada harta dan benda.

  Putri Cina sendiri tidak tahu kenapa ia diberi nama Putri Cina. Menurut dongeng Jawa, ia adalah salah satu istri yang diceraikan oleh Prabu Brawijaya Kelima. Hal itu dikarenakan istri Prabu Brawijaya Kelima yang lain yakni Putri Campa cemburu dan merasa bahwa raja tidak mencintainya lagi. Karena tidak tega, Prabu Brawijaya menceraikannya dan menitipkan Putri Cina pada salah satu anaknya yakni Arya Damar, raja di Palembang.

  Saat diceraikan oleh Prabu Brawijaya Kelima, Putri Cina sedang hamil. Prabu Brawijaya berpesan agar Arya Damar tidak menggaulinya sebelum anak tersebut lahir. Tak lama kemudian anak itu lahir dan diberi nama Raden Patah, menyusul kemudian dari pernikahannya dengan Arya Damar melahirkan Raden Kusen.

  Raden Patah dan Raden Kusen lama-kelamaan tumbuh menjadi dewasa. Melihat hal itu, muncullah keinginan Arya Damar untuk menjadikan Raden Patah sebagai raja dan Raden Kusen sebagai patihnya. Tetapi Raden Patah menolaknya, pada suatu malam ia pergi secara diam-diam meninggalkan istana. Seluruh istana gempar, Raden Kusen sedih mendengar kabar tersebut. Setelah mendengar kabar tersebut, Raden Kusen pun juga menyusul kakaknya secara diam-diam dan kemudian mereka bertemu.

  Mulanya Raden Patah dan Raden Kusen ingin mengabdikan diri kepada Prabu Brawijaya. Namun setibanya mereka di Jawa, tepatnya Ngampeldenta, Raden Patah memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanannya. Di Ngampeldenta, Raden Patah berguru pada Sunan Ngampeldenta dan memeluk agama baru (Islam). Sedangkan Raden Kusen melanjutkan perjalanannya ke Majapahit. Di Majapahit, Raden Kusen diterima oleh Prabu Brawijaya bahkan diangkat menjadi adipati di Terung.

  Sementara itu, Raden Patah tetap mendalami ilmunya di Ngampeldenta. Sunan Ngampeldenta kemudian mengambilnya menjadi menantu. Ia mengawinkan Raden Patah dengan cucunya, Nyai Ageng Mendaka, anak Nyai Ageng Manyura putri sulungnya. Suatu hari Raden Patah minta petuah dari gurunya, di mana ia boleh mendirikan pedepokan tempat ia hening bersemadi. Sunan Ngampeldenta memerintahkan, agar ia berjalan lurus ke barat. Bila di sana ia mencium gelagah yang harum di sanalah ia harus mendirikan pedepokannya. Bila ketemu, tempat itu akan menjadi cikal bakal bagi sebuah kerajaan baru, yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertara harja.

  Raden patah berjalan, sesuai dengan pesan gurunya. Di sebuah hutan, ia mencium bau yang amat harum, bau yang berasal dari gelagah. Inilah tempat yang dicarinya. Maka di sinilah ia mendirikan padepokannya. Dan dinamakan tempat itu Bintara. Dalam waktu dekat datanglah orang-orang ke sana untuk berguru pada Raden Patah dan menjadi pengikutnya (2007:28-29).

  Kabar tentang Raden Patah dan Bintara akhirnya sampai ke telinga Prabu Brawijaya. Setelah itu Prabu Brawijaya memerintahkan Raden Kusen untuk menjemput Raden Patah. Betapa gembiranya Prabu Brawijaya bahwa yang di hadapannya adalah anak yang tampan seperti dengan dirinya. Bahkan, Prabu Brawijaya mengakui Bintara dan yakin akan menjadi kerajaan besar. Bintara kemudian berubah nama menjadi Demak.

  Namun, lama-kelamaan muncul tekad dari Raden Patah untuk menyebarkan agama baru tersebut dengan cara menaklukan Majapahit. Niatan itu diutarakan kepada gurunya pada Sunan Ngampeldenta. Akan tetapi, Sunan Ngampeldenta menenangkan Raden Patah dan menunggu agar waktunya tepat.

  Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba, Raden Patah dan pasukannya menyerang Majapahit. Dengan mudah Majapahit ditaklukan oleh Raden Patah dan tentaranya. Pindahnya kekuasaan dari Prabu Brawijaya ke Raden Patah menandai perubahan babakan baru di Tanah Jawa, dari agama lama menuju agama baru.

  Kabar tentang hancurnya Majapahit menggembirakan Putri Cina. Maklum saja Putri Cina pernah merasa sakit hati karena diceraikan oleh Prabu Brawijaya.

  Ia bangga karena dari rahimnya lahirlah Raden Patah yang membawa perubahan di Jawa.

  Tidak hanya dalam hal pemerintahan, tapi juga dalam hal agama. Ia yakin, anaknya bisa membuat manusia di tanah Jawa bahagia karena taat pada ajaran dan jalan agama baru itu. Keyakinannya makin kuat karena bukan hanya Raden Patah, anaknya, tapi banyak dari kaumnya, orang-orang Cina sendiri, adalah pemeluk agama baru itu. Orang-orang Cina itu datang bersama saudaragar-saudagar dari Gujarat ke Tanah Jawa. Sambil berniaga, mereka menyebarkan agama baru itu. Dengan demikian, berkat kaumnya pula, maka Tanah Jawa menjadi terbuka terhadap kegiatan dan kebudayaan baru yang dibawa agama baru tersebut ke Tanah Jawa (2007:32-33).

  Namun demikian, dalam hati Putri Cina mulai ragu dan bertanya apakah anaknya Raden Patah sungguh mencintai dirinya. Raden Patah, anak yang dicintainya itu, malah pergi meninggalkan dirinya di Palembang. Ditambah kemudian muncul perasaan bersalah bahwa anaknya telah melupakan ajaran leluhurnya karena memerangi ayahnya Prabu Brawijaya. Maka Putri Cina memutuskan untuk mencari jawaban pertanyaan itu dengan pergi ke Majapahit.

  Singkatnya, di Jawa, Putri Cina bertemu dengan Sabdopalon- Nayanggenggong. Sabdopalon-Nayanggenggong adalah abdi setia Putri Cina saat berada di Majapahit. Lalu kepada mereka lah Putri Cina mengutarakan maksud kedatangannya di Tanah Jawa. Dari mulut Sabdopalon-Nayanggenggong diceritakanlah kepada Putri Cina semua sejarah pertikaian yang dianggapnya selalu berulang. Dari pertikaian yang dimulai dari Janameya dan Srutasena yang ingin membersihkan medan Kurusena, namun malah berbuntut salah paham karena Sutrasena malah memukul Sarameya yang tidak bersalah. Sarameya adalah anak dari Sarama, istri Begawan Pulaha. Sarameya mengadukan perbuatan Srutasena pada ibunya. Sarama mengutuk anak cucu Janameya dan Srutasena tidak akan bersih dari pertikaian yang disebabkan oleh dendam.

  Diceritakan pula pertikaian di negeri dewa antara Sang Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya, dan Sang Hyang Manikamaya yang berebut kuasa tahta ayahnya Sang Hyang Tunggal. Perebutan kuasa ini dimulai melalui sayembara dengan menelan Gunung Gabawarsa antara Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga. Sang Hyang Ismaya gagal mulutnya robek karena gunung terlalu besar.

  Sang Hyang Antaga berhasil, tetapi naas gunung itu tidak dapat keluar dari mulutnya. Sang Hyang Tunggal yang mengetahui masalah ini marah, karena perbuatan anaknya tidak lebih daripada manusia yang haus kuasa. Maka dibuanglah kedua anaknya ini ke bumi. Sang Hyang Ismaya berubah nama menjadi Semar dan Sang Hyang Antaga menjadi Togog. Semar ditugasi menemani manusia yang hatinya bersih dan Togog ditugasi menemani manusia yang hatinya jahat. Nyatanya sayembara ini hanyalah tipu muslihat Sang Hyang Manikmaya yang ternyata juga ingin merebut tahta ayahnya, Sang Hyang Tunggal. Sang Hayang Manikmaya kemudian berubah nama menjadi Batara Guru.

  Putri Cina lantas dibuat kaget dengan pengakuan Sabdopalon- Nayanggenggong yang menyatakan bahwa mereka adalah Semar itu sendiri.

  Lanjutnya lagi, Sabdopalon-Nayanggenggong menceritakan tentang ramalan Putri Cina dan kaumnya yang kelak tidak lepas dari pertikaian yang terus berlangsung itu.

  ―Bukan karena Paduka dan kaum Paduka yang bersalah. Tapi hendaknya Paduka tahu, bila mereka-mereka bertikai, dan pertikaian mereka tak bisa selesai, haruslah dicari korban yang asalnya bukan dari mereka. Sebab korban itu harus lain dari mereka, supaya terasa bahwa mereka tak bersalah, karena mereka memang mau menyembunyikan kesalahan mereka. Tapi korban tidak boleh terlalu lain dari mereka, supaya bisa mewakili mereka, karena di lubuk hati mereka yang terdalam mereka toh merasa bersalah, karena itu mereka harus membersihkan diri mereka. Kalau korban itu terlalu lain dari mereka, bagaimana dia bisa mewakili mereka untuk membersihkan diri mereka?‖ jelas Sabdopalon- Nayanggenggong (2007:71).

  Ramalan itu memilukan hati Putri Cina. Ramalan itu adalah jawaban dari pertanyaan Putri Cina kenapa di Jawa pertikaian selalu saja terjadi. Ramalan itu juga menjadi penutup pada bagian pertama cerita Putri Cina.

  Di bagian ke dua diceritakan bahwa di Kerajaan Medang Kamulan, raja sudah berubah tidak seperti awalnya ketika ia naik tahta. Dulunya raja bernama Murhardo. Ia dikenal rakyat sebagai pemimpin yang bijaksana dan peduli pada rakyat. Kemudian namanya berubah menjadi Amurco Sabdo karena rakyat membencinya. Prabu Amurco Sabdo memerintah dengan kekerasan. Ia hanya peduli pada tahta dan kekuasaan. Setelah itu Kerajaan Medang Kamulan berubah namanya menjadi Pedang Kamulan.

  Memang sejak Prabu Amurco Sabdo menggulingkan penguasa sebelumnya seperti Ajisaka menggulingkan Dewata Cengkar, orang-orang Cina dilarang menjalankan kebudayaan, adat istiadat, dan tata cara agamanya. Di Pedang Kamulan ini, tak bisa lagi orang-orang Cina hidup menurut kebudayaannya. Nama mereka pun harus diganti dengan nama pribumi asli. Dihapuslah nama-nama Cina di Tanah Jawa ini. Padahal tidakkah nama itu adalah warisan mereka yang diterima secara turun menurun? Dan nama itu menyimpan siapa diri mereka sesungguhnya? Apa arti kaya jika mereka tidak lagi bernama? Di Pedang Kamula, orang-orang Cina juga tak boleh mempertunjukan lagi keseniannya. Tak ada lagi barongsai, samsi, liong atau leang-leong, serta wayang potehi yang dulu pernah menghibur banyak orang dan bahkan disukai oleh orang-orang pribumi. Orang-orang Cina juga tidak mudah menjalankan ibadat mereka di klenteng-klenteng. Bahkan mereka tidak diperbolehkan merayakan Tahun Baru Cina. Orang Cina yang nekat terpaksa merayakan tahun barunya sembunyi-sembunyi. Begitulah, di Pedang Kamulan, penguasa menyandarkan diri pada kekayaan orang-orang Cina. Tetapi orang-orang Cina itu justru dipersulit dalam mengurus hal-hal yang mereka perlukan untuk hidup nyaman di Tanah Jawa. Mereka tetap dianggap orang Cina, yang harus dibedakan dengan orang-orang bumi putera. Karena itu untuk memperjuangkan kesamaan hak sulitnya bukan mati (Sindhunata 2007:110).

  Lama-kelamaan rakyat tidak menyukai Raja Amurco Sabdo. Rakyat yang merasa tertekan kemudian marah dan menghancurkan apa saja yang ada di hadapan mereka. Rakyat menginginkan raja untuk segera lengser.

  Prabu Amurco Sabdo memiliki beberapa bawahan di antaranya Senapati Gurdo Paksi, Tumenggung Jaya Sumengah, dan Patih Wrehonegoro. Senapati Gurdo Paksi adalah prajurit paling tinggi di kerajaan. Ia dikenal baik dan berpegang teguh pada peraturan. Karena ia memiliki kekuasaan tertinggi oleh raja dianugerahi pusaka bernama Kyai Pesat Nyawa sebagai simbol atas kekuasaannya. Berbeda dengan Tumenggung Jaya Sumengah, ia dikenal pemarah, sombong, dan tidak kenal ampun. Sama halnya dengan Jaya Sumengah, Wrehonegoro juga dikenal sangat licik dan menghalalkan segala cara.