BAB II KEDUDUKAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT LELANG KELAS II APAKAH BERTENTANGAN DENGAN UUJN A. Notaris Sebagai Pejabat Lelang Kelas II - Analis Yuridis, Atas Peran Dan Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Lelang Kelas II

BAB II KEDUDUKAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT LELANG KELAS II APAKAH BERTENTANGAN DENGAN UUJN A. Notaris Sebagai Pejabat Lelang Kelas II Notaris Merupakan Jabatan tertentu yang menjalani profesi dalam pelayanan

  hukum kepada Masyarakat, perlu mendapat perlindungan dan Jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Jasa Notaris dalam proses pembangunan makin

  27 meningkat sebagai salah satu kebutuhan hukum Masyarakat.

  Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk menyimpan akta, memberikan grosse salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang perbuatan akta- akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang (pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004).

  Pejabat Lelang (Vendumeester Sebagaimana dimaksud dalam Vendureglemen) adalah orang yang khusus diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan Penjualan Barang secara lelang berdasarkan peraturan Perundang- undangan yang berlaku.

27 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia ; Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 6.

  39 Notaris diangkat sebagai Pejabat Lelang dasar hukumnya adalah pasal 3 VR yang menyatakan Pebajat Lelang dibedakan dalam 2 (dua) tingkatan dan Gubernur Jendral (sekarang Menteri Keuangan) menentukan orang-orang dalam jabatan mana yang termasuk dalam masing-masing tingkatan dan tempat kedudukannya. Pasal 7 VI memberikan penjelasan orang-orang yang termasuk dalam tiap tingkatan pejabat lelang.

  Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut di atas Pejabat Lelang Kelas yang dapat diangkat salah satunya adalah Notaris. Pengangkatan Pejabat Lelang Kelas II didasarkan pada pertimbangan bahwa di wilayah tersebut, biasanya kota kecil, tidak terdapat Pejabat Lelang Kelas I tetapi ada kegiatan lelang yang dilakukan oleh masyarakat seperti lelang tanah dan atau bangunan atau inventaris perusahaan dalam rangka penghapusan inventaris perusahaan.

  Untuk menghindarkan pelanggaran peraturan lelang yang menyatakan pelelangan harus dilakukan di hadapan Pejabat Lelang kecuali dengan Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan dibebaskan dan campur tangan Pejabat Lelang apabila tidak akan mengakibatkan pembatalan penjualan, ditunjuk dan diangkatlah Notaris sebagai Pejabat Lelang. Pengangkatan Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas II adalah dengan pertimbangan mempunyai kemampuan dan pengetahuan lelang yang cukup serta tempat kedudukan dan wilayah kerjanya mencakup atau meliputi tempat lelang akan diselenggarakan, sehingga tidak melanggar aturan mengenai wilayah kerja Notaris. Pengangkatan Notaris sebagai Pejabat Lelang diatur dalam Kepmenkeu Nomor 175/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II dan Keputusan DJPLN Nomor 36/PL/2002 tentang Juknis Pejabat Lelang. di dalam keputusan-keputusan tersebut dinyatakan bahwa Notaris termasuk orang-orang khusus yang dapat diangkat sebagai Pejabat Lelang Kelas II dengan tempat kedudukan di Kantor Pejabat Lelang Kelas II atau di Balai Lelang.

  Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Kepmenkeu Nomor 175/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II yang dimaksud dengan Pejabat Lelang kelas II adalah :

  “ Orang yang khusus diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang atas permohonan balai lelang selaku kuasa dari pemilik barang yang berkedudukan di kantor pejabat lelang kelas II”.

  Notaris yang diangkat sebagai Pejabat Lelang Kelas II oleh Menteri Keuangan dilakukan pengawasan oleh Pengawas Lelang yaitu DJPLN/ Kanwil/Kepala KP2LN di dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris, diadakan pengawasan oleh Majelis Pengawas, dan dalam menjalankan jabatannya sebagai Pejabat Lelang Kelas

  II pengawasan dilakukan oleh DJPLN/Kanwil/Kepala KP2LN, jadi pengawasan terhadap Notaris yang merangkap jabatan sebagai Pejabat Lelang dilakukan oleh beberapa pihak, yaitu Majelis Pengawas dan DJPLN/Kanwil/Kepala KP2LN, selain itu juga oleh organisasi profesi karena bertanggung jawab telah memberikan surat rekomendasi untuk pengangkatan Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas D.

  Organisasi profesi yang bertanggung jawab atas pemberian rekomendasi bagi Notaris adalah INI (Ikatan Notaris Indonesia) dengan mengingat Kepmenkeh dan HAM Nomor M- 1.HT.03.01 tahun 2003 Pasal 1 ayat (11) yang menyatakan bahwa organisasi Notaris adalah Ikatan Notaris Indonesia sebagai satu-satunya organisasi pejabat umum yang profesional yang telah disahkan sebagai badan hukum.

  Penunjukan Notaris sebagai salah satu dan orang-orang tertentu yang dapat diangkat sebagai Pejabat Lelang, diasumsikan karena Notaris mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai perjanjian, pengalihan hak dan pembuatan akta otentik, karena dalam lelang ada perjanjian jual beli, pengalihan hak yang dibuktikan dengan akta otentik berupa Risalah Lelang, selain itu juga karena Notaris dalam menjalankan jabatannya harus memiliki sifat dan sikap jujur, adil, tidak memihak atau independent dan menjunjung tinggi martab at Sifat dan sikap yang ada pada Notaris tersebut juga harus dimiliki oleh Pejabat Lelang, karena Pejabat Lelang harus adil dan tidak memihak serta menjunjung tinggi martabat sebagai Pejabat Lelang.

  Tujuan Notaris diangkat sebagai Pejabat Lelang Kelas II adalah agar jual beli yang dilakukan masyarakat dengan cara Lelang, dimana mernurut aturannya harus dilakukan di depan Pejabat Lelang tetapi karena di daerah tersebut tidak ada Pejabat Lelang Kelas I atau KP2LN tetap terlaksana tetapi tidak melanggar peraturan Lelang yang ada, sehingga diangkatlah Pejabat Lelang Kelas II di antaranya Notaris untuk melaksanakan lelang di daerah tersebut.

  Notaris diangkat sebagai Pejabat Lelang Kelas II dengan pertimbangan mempunyai pengetahuan yang cukup karena semasa pendidikan notariat telah diberi pengetahuan lelang dengan adanya mata kuliah lelang, sehingga dianggap mengetahui tata cara pelaksanaan lelang yang sesuai men unit peraturan Lelang yang berlaku.

  Pejabat Lelang telah mempunyai organisasi profesi yang bernama IPLI yaitu Ikatan Pejabat Lelang Indonesia yang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya tengah disusun. Berkaitan dengan organisasi profesi tersebut, orang-orang mengajukan permohonan pengangkatan sebagai Pejabat Lelang Kelas II harus menyerahkan bukti telah menutup asuransi profesi, tentunya yang dimaksud adalah asuransi profesi sebagai Pejabat Lelang, tetapi berdasarkan keterangan dan orang- orang yang telah diangkat sebagai Pejabat Lelang asuransi profesi itu sampai sekarang belum pernah dilaksanakan atau dengan kata lain belum pernah ada tagihan dan organisasi profesi Pejabat Lelang agar para anggotanya membayar asuransi profesi, sehingga persyaratan untuk menutup asuransi profesi harus ditinjau ulang atau ditindaklanjuti dengan dimulainya pembayaran asuransi profesi tersebut.

  B . Akta Risalah Lelang

  Risalah Lelang merupakan Legal Output dari Pejabat Lelang kelas II. Menurut pasal 1868 Jo Pasal 37,38 dan 39 VR, Risalah Lelang termasuk akta otentik.

  28 Selanjutnya menurut pasal 1870 akta otentik merupakan bukti yang sempurna.

  Risalah lelang juga merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, “ Persetujuan-persetujuan itu tidak 28 R. Subekti, R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1990. Hal. 15. dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak dan persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

  Pasal 35 VR mengatur Risalah Lelang sama artinya dengan “Berita Acara” Lelang. Berita Acara Lelang merupakan landasan otentifikasi penjualan lelang, berita

  29

  acara lelang mencatat segala peristiwa yang terjadi pada penjualan lelang. Menurut

  pasal 35 VR mengatakan “ Tiap penjualan di muka umum oleh juru lelang atau kuasanya dibuat berita acara tersendiri yang bentuknya ditetapkan seperti dimaksud dalam pasal 37, 38 dan 39 VR”

  Namun dalam perkembangannya istilah berita acara lelang tersebut berubah menjadi risalah lelang. Sejak kapan penggunaan risalah lelang tersebut resmi belum diketahui akan tetapi istilah risalah lelang itu menurut Pedoman Administrasi Umum Departemen Keuangan dapat diartikan sebagai berikut :

  a. Berita acara adalah risalah mengenai suatu peristiwa remsi dan kedinasan yang disusun secara teratur dimaksudkan untuk mempunyai kekuatan bukti tertulis bilamana diperlukan sewaktu-waktu. Berita acara ini ditandatangani oleh pihak- pihak yang bersangkutan.

  b. Risalah adalah laporan mengenai jalannya suatu pertemuan yang disusun secara teratur dan dipertanggungjawabkan oleh si pembuat dan/atau pertemuan itu sendiri, sehingga mengikat sebagai dokumen resmi dari kejadian/peristiwa yang disebutkan didalamnya. 29 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, PT. Gramedia, Jakarta, 1994, hal. 187.

  Dari kedua pengertian tentang berita acara dan risalah tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa risalah lelang adalah : “ Berita acara yang merupakan dokumen resmi dari jalannya penjualan dimuka umum atau lelang yang disusun secara teratur dan dipertanggungjawabkan oleh pejabat lelang dan para pihak (penjualan dan pembelian sehingga pelaksanaan lelang yang disebut didalamnya mengikat”.

  Pasal 37 VR yaang selanjutnya diatur dalam pasal 43 Permenkeu Nomor 40/PMK.07/2006, mengatur lebih teknis hal-hal yang harus tercantum dalam risalah lelang, yang diberi nomor urut tersendiri, adapun risalah lelang terdiri dari: a. Bagian Kepala.

  b. Bagian Badan dan

  c. Bagian Kaki Selanjutnya pasal 44, 46, dan 47, mengatur bagian kepala risalah lelang memuat sekurang-kurangnya : a. Hari, tanggal, dan jam lelang ditulis dengan huruf dan angka b. nama lengkap, pekerjaan dan tempat tinggal/domisili dari pejabat lelang.

  c. Nama lengkap, pekerjaan dan tempat tinggal/domisili penjual.

  d. Nomor/tanggal surat permohonan lelang.

  e. Tempat pelaksanaan lelang.

  f. Sifat barang yang dilelang dan alasan barang tersebut dilelang.

  g. Dalam hal yang dilelang barang-barang tidak bergerak berupa rumah atau tanah dan bangunan harus disebutkan:

  1. Status hak tanah atau surat-surat lain yang menjelaskan bukti kepemilikan.

  2. Surat keterangan tanah dari kantor pertanahan, dan.

  3. Keterangan lain yang membebani tanah tersebut.

  h. Cara bagaimana lelang tersebut telah diumumkan oleh penjual, dan. i. Syarat-syarat umum lelang. Bagian Badan risalah lelang memuat sekurang-kurangnya : a. Banyaknya penawaran lelang yang masuk dan sah.

  b. Nama barang yang dilelang.

  c. Nama pekerjaan dan alamat pembeli, sebagai pembeli atas nama sendiri atau sebagai kuasa atas nama orang lain.

  d. Bank Kreditor sebagai pembeli untuk orang atau badan hukum atau badan usaha yang akan ditunjuk namanya (dalam hal bank kreditor sebagai pembeli lelang).

  e. Harga lelang dengan angka dan huruf, dan.

  f. Daftar barang yang laku terjual/ditahan memuat nilai, nama, alamat pembeli. Bagian Kaki Risalah Lelang memuat sekurang-kurangnya : a. Banyaknya barang yang ditawarkan/dilelang dengan angka dan huruf.

  b. Jumlah nilai barang-barang yang telah terjual dengan angka dan huruf.

  c. Banyaknya surat-surat yang sudah dilampirkan pada risalah lelang dengan angka dan huruf.

  d. Jumlah nilai barang-barang yang ditahan dengan angka dan huruf.

  e. Jumlah perubahan yang dilakukan (catatan, tambahan, coretan dengan penggantinya). f. Tandatangan pejabat lelang, penjual/kuasa penjual dalam hal lelang barang tidak bergerak, atau.

  g. Tandatangan pejabat lelang, penjual/kuasa penjual dan pembeli/kuasa pembeli lelang hal lelang barang tidak bergerak.

  Sebagai suatu akta, maka penandatanganan risalah lelang dilakukan oleh pejabat lelang, penjual/kuasa pembeli/kuasa pembeli dalam hal lelang barang tidak bergerak.

  Apabila penjual tidak menghendaki menandatangani risalah lelang atau tidak hadir setelah risalah lelang ditutup, hal ini dinyatakan oleh pejabat lelang sebagai tanda tangan, pihak yang berkepentingan dapat memperoleh salinan/petikan/grosse yang otentik dari minut risalah lelang yaitu : pembeli, penjual, instansi pemerintah untuk kepentingan dinas, kantor lelang. Grosse risalah lelang yang berkepala “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa:, dapat diberikan atas permintaan pembeli atau kuasananya.

  Risalah Lelang sebagai perjanjian yang mengikat para pihak dalam lelang. Klausul risalah lelang yang merupakan hukum khusus yang berlaku bagi para pihak dalam lelang yang berfungsi sebagai perjanjian baku, perjanjian baku atau standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrok ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, syarat-syarat baku adalah:

  “ syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang akan masih dibuat, yang jumlahnya tidak tentu tanpa membicarakan isisnya

  30 terlebih dahulu “.

  B.1. FUNGSI RISALAH LELANG Risalah Lelang Sebagai Akta Otentik

  Suatu peristiwa penting yang mempunyai akibat hukum, misalnya suatu transaksi atau suatu perikatan, perlu adanya pembuktian sebagai bukti bisa digunakan kesaksian dari yang melihat peristiwa itu, akan tetapi saksi hidup ini mempunyai kelemahan-kelemahan yaitu bila suatu peristiwa akan dibuktikan kebenarannya, saksi-saksi itu sudah tidak ada lagi.

  Oleh karena adanya kelemahan untuk pembuktian dengan saksi hidup tersebut, pihak-pihak yang berkepentingan mulai mencari dan menyadari pentingnya bukti-bukti tertulis. Mereka mulai mencatat dalam suatu surat (dokumen) dan ditandatangani oleh pihak yang berkepentingan berikut saksi-saksinya. Disinilah awal kesadaran perlunya pembuktian tertulis walaupun masih dibawah tangan. Sedangkan pengertian tentang akta otentik seperti yagn dikenal dalam KUH Perdata belum ada.

  Menurut hukum, risalah lelang termasuk kategori akta otentik sebelum membahas apa itu akta otentik, terlebih dahulu diuraikan/dijelaskan mengenai pengertian akta. Istilah akta dalam bahasa belanda disebut acte dan dalam bahasa Inggris act atau deed sedangkan menurut R. Subekti dan Tjitrosudibyo dalam 30 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1986, hal. 2. bukunya “kamus hukum” bahwa acte merupakan bentuk jamak dari actum dari bahasa latin yang artinya perbuatan-perbuatan.

  Selanjutnya beberapa ahli memberikan pengertian akta sebagai berikut ;

  1. Menurut R. Subekti dalam bukunya “Pokok-Pokok Hukum Perdata”, kata akta dalam pasal 108 KUH Perdata bukanlan berarti surat melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum.

  2. A. Pitlo mengartikan akta sebagai bukti surat-surat yagn ditandatangani dan dibuat untuk dipakai sebagai bukti dan untuk dipergunakan oelh orang untuk siapa suarat itu dibuat.

  3. Vegeen, Openhein, dan Polak berpendapat bahwa akata adalah suatu tulisan yang ditandatangani, dibuat dan dipergunakan sebagai bukti.

  4. Selanjutnya Sudikno mertokusumo dalam bukunya “Hukum Acara Perdata di Indonesia” mengatakan bahwa akta adala surat yang diberi tanda tangan, yagn memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daru suatu hak atas perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.

  5. Mr. Tresna dalam bukunya “Komentar Atas Reglement Hukum Acara Dalam Pemeriksaan di muka Pengadilan Negeri/HIR” mengatakan bahwa akta adalah suatu surat yang ditandatangani yang memuat keterangan tentang kejadian- kejadian atau yagn merupakan dasar dari suatu hak atau suatu perjanjian. Dari beberapa defenisi tersebut diatas, berarti tidak setiap surat disebut akta, melainkan yang memenuhi syarat sebagai berikut ;

  1. Surat harus ditandatangani Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1869 KUH Perdata : “Suatu akta yagn karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pejabat umum atau karena sesuatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan jika ditandatangani oleh pihak: Maksud keharusan ditandatanganinya suatu akta adalah untuk memberi ciri tersendiri dari suatu akta sebab suatu tandatangan seseorang mempunyai sifat individual.

  2. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atas suatu perikatan.

  3. Surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti Menurut anggapan masyarakat menandatangani atau pemberian sidik jarimerupakan tidakan yang penting, misalnya orang yang akan menandatangani atau memberikan tanda sidik jari kadang-kadang kelihatan gemetaran atau kelihatan diam sejenak seolah-olah ada sesuatu yang terucap dengan lirih keluar dari bibirnya.

  Hal-hal tersebut sebagai tanda-tanda bahwa menandatangani atau membubuhkan sidik jari bukan saja sesuatu yang penting akan tetapi jauh dari itu ia merasa akan teikat dirinya atas apa yang ditandatangani atau yang diberikan sidik jari tersebut.

  Arti kata “menandatangani” secara Ethymologis (ilmu asal suku kata) yaitu memberi tanda (teken) dibahaw sesuatu yang istilah dalam bahas Belanda disebut

  Onder Tenenen

  atau hand tekening yang berarti membuat tanda dibawah sesuatu dan sesuatu itu adalah tulisan, perlu ditambahkan bahwa Indonesia cap jembol disamakan

  31 dengan tanda tangan (Pasal 1874 KUH Perdata).

  Menurut hukum, penandatanganan adalah suatu fakta hukum. Mr.C.I.I. De Johncheere dalam disertasinya dikatakan “Suatu pernyataan kemauan dari pembuat tandatangan bahwa ia membubuhi tanda tangannya dibawah suatu tulisan

  32 menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisan sendiri”.

C. Tumpang Tindih Pengaturan Kewenangan Membuat Akta Risalah Lelang Antara Peraturan Lelang dan UUJN.

  Dalam kehidupan masyarakat, Notaris telah menjadi profesi yang memegang peranan penting karena mempunyai tugas memberikan pelayanan dan penyuluhan hukum kepada masyarakat dan juga mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis dari suatu keadaan, peristiwa hukum atau perbuatan hukum. Notaris menuangkan segala kejadian ataupun kehendak para pihak ke dalam akta otentik tersebut sehingga isi dari akta otentik tersebut secara formil mengikat para pihak dan menjadi alat bukti yang sempurna bagi pihak-pihak yang terkait. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 31 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Tentag Hukum Perikatan dengan Penjelasan , Bandung, 1996. 32 Ibid, Hal 28.

  Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, ada beberapa hal yang diatur, salah satu diantaranya dapat dijumpai pada ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf g dimana Notaris berwenang pula membuat akta Risalah Lelang.

  Hal ini tentu sangat menarik karena dengan diberlakukannya Undang-Undang Jabatan Notaris berarti Notaris mempunyai kewenangan yang sama dengan Pejabat Lelang untuk membuat akta Risalah Lelang yang merupakan berita acara yang dibuat oleh Pejabat Lelang dalam suatu pelaksanaan lelang. Untuk Notaris, acuan yang digunakan untuk membuat sebuah akta otentik adalah Undang-Undang Jabatan Notaris, sedangkan untuk Pejabat Lelang acuan hukumnya adalah Peraturan Lelang (Vendu Reglement, Stbl. 1908 : 189 sebagaimana telah diubah dengan Stbl. 1940 : 56). Sehingga dapat dikatakan telah timbul banyak pertanyaan terkait dengan Risalah Lelang dan akta otentik yang dibuat Notaris tersebut.

  Dalam hal untuk menemukan bagaimana kedudukan notaris dalam pembuatan risalah lelang dan bagaimana kedudukan risalah lelang tersebut dan belum adanya penyelesaian yang signifikan akan tumpang tindih semacam ini pada saatnya nanti akan menimbulkan satu konflik norma yang akan mengarah kepada satu bentuk ketidakpastian hukum akan risalah lelang.

  Menilai fakta-fakta hukum tersebut, maka dibutuhkan adanya keseriusan dari pembuat undang-undang untuk dengan segera mengakhiri tumpang tindih semacam ini. Maka penulis akan berusaha menjabarkan kewenangan Notaris dari dua peraturan tersebut.

1. Undang – ungdang Jabatan Notaris

  Menurut Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris:

  “ Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, penyimpanan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semua itu sepanjang perbuatan akta- akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.” Unsur-unsur Pasal 15 Jabatan Notaris tersebut adalah : 1. Yang berwenang membuat akta otentik harus Pejabat Umum.

  2. Akta otentik dibidang keperdataan, notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuatnya, kecuali akta-akta tertentu secara tegas disebutkan dalam peraturan perundangan. Jadi wewenang notaris bersifat umum sedangkan pejabat umum lainnya bersifat khusus.

  3. Pejabat umum harus berwenang sepanjang akta yang dibuat

  4. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.

  Wewenang pejabat umum meliputi : 1. Pejabat umum harus berwenang sepanjang akta yang dibuat.

  2. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.

  3. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat.

  4. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

  Pasal 1869 KUH Perdata yang mengatakan : “ Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas atau karena suatu cacat dalam bentuknya tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik akan tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan....”. Menurut Pasal 15 Undang-undang Nomor

  30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris: “ Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, penyimpanan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semua itu sepanjang perbuatan akta- akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.” Unsur-unsur Pasal 15 Jabatan Notaris tersebut adalah : 1. Yang berwenang membuat akta otentik harus Pejabat Umum.

  2. Akta otentik dibidang keperdataan, notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuatnya, kecuali akta-akta tertentu secara tegas disebutkan dalam peraturan perundangan. Jadi wewenang notaris bersifat umum sedangkan pejabat umum lainnya bersifat khusus.

  3. Pejabat umum harus berwenang sepanjang akta yang dibuat

  4. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.

  Wewenang pejabat umum meliputi : 1. Pejabat umum harus berwenang sepanjang akta yang dibuat.

  2. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.

  3. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat.

  4. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

  Pasal 1869 KUH Perdata yang mengatakan : “ Suatau akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas atau karena suatu cacat dalam bentuknya tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik akan tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan....”.

  Dengan demikian maka jika suatu akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang tidak berwenang untuk itu, akta itu tidak lagi mempunyai pembuktian sebagai akta otentik yaitu kekuatan pembuktian sempurna, maka akan menjadi akta dibawah tangan.

  Selanjutnya Pasal 15 ayat (2) UUJN menyatakan : a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

  b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

  c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.

  d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.

  e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.

  f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau

  g. Membuat akta risalah lelang Huruf g pasal 15 ayat (2) tersebut di atas menyebutkan salah satu kewenangan Notaris adalah Membuat akta risalah lelang, hal ini dapat diartikan bahwa Notaris secara otomatis dapat membuat akta risalah lelang secara independen, tanpa harus mendapat penunjukan atau pengangkatan dari instalansi lain. Didalam penjelasan pasal demi pasal pada UUJN di nyatakan bahwa pasal 15 ayat (2) huruf g Cukup jelas, tidak ada penjabaran atau penjelasan lebih lanjut mengenai pengaturan kewenangan Notaris dalam membuat akta risalah lelang.

2. Peraturan Lelang.

  Akta Risalah Lelang akan di buat apabila telah dilaksanakan penjualan barang secara lelang, Pasal 1a VR menyebutkan tanpa mengurangi ketentuan alinea berikut dalam pasal ini, penjualan dimuka umum tidak boleh dilakukan selain dihadapan juru lelang. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang pada Bab I Ketentuan Umum pasal 1 angka 32 menyatakan Risalah Lelang adalah Berita Acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.

  Selanjutnya pasal 7 VI menyatakan : (s.d.u.t dg. S. 1908-537 dan S. 1919-448) Yang termasuk Juru Lelang kelas I ialah:

  1. Pejabat Pemerintah yang diangkat khusus untuk itu ;

  2. Kepala kas negara yang ditugaskan untuk memegang jabatan juru lelang sebagai jabatan tambahan.

  Yang termasuk juru lelang kelas II ialah :

  1. Pejabat Negara, selain yang disebut dalam alinea pertama pasal ini, yang memegang jabatan yang dirangkapkan dengan juru lelang.

  2. Orang-orang yang khusus diangkat untuk jabatan ini.

  Untuk penjelasan juru lelang kelas II pada angka 2 diatas yakni orang-orang yang khusus diangkat untuk jabatan ini di jelaskan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 305/KMK.01/2002 tentang pejabat lelang yang dirubah oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 451/KMK.01/2002 pada pasal 1 menyatakan : Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 305/KMK.01/2002 tentang Pejabat Lelang diubah sebagai berikut:

  1. Ketentuan Pasal 4 ayat (3) diubah dengan menambah huruf d dan menambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (4), sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:

  (1) Pejabat Lelang Kelas I adalah pegawai DJPLN yang diangkat untuk jabatan itu.

  (2) Pejabat Lelang Kelas II adalah orang-orang tertentu yang diangkat untuk jabatan itu.

  (3) Orang-orang tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), berasal dari:

  a. Notaris;

  b. Penilai;

  c. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) DJPLN diutamakan yang pernah menjadi Pejabat Lelang Kelas I; atau d. lulusan Pendidikan dan Pelatihan Pejabat Lelang yang diselenggarakan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan.

  (4) Pejabat Lelang Kelas I dan Kelas II berkedudukan di wilayah kerja tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

  Kewenangan untuk membuat Akta risalah lelang di atur dalam VR pasal 35 (s.d.u. dg. S. 1940 – 56 Jo. S. 1941 – 3) Dari tiap-tiap penjualan Umum yang dilakukan oleh juru lelang atau kuasanya, selama penjualan, untuk tiap-tiap hari pelelangan atau penjualan harus dibuat berita acara tersendiri.

  Keputusan Menteri Keuangan Nomor 305/KMK.01/2002 Tentang Pejabat Lelang dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (4) menyatakan Risalah Lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi para pihak. Selanjutnya dalam pasal 18 ayat (2) huruf g menyatakan Pejabat Lelang Kelas II yang berkedudukan di Kantor Pejabat Lelang Kelas II mempunyai kewajiban sebagai berikut: g. membuat dan menandatangani Risalah Lelang;

  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II pasal 12 ayat (1) menyebutkan pejabat Lelang Kelas II berwenang melaksanakan Lelang atas permohonan Balai Lelang dan Penjual/Pemilik Barang, selanjutnya pada pasal 14 ayat (1) huruf f menyebutkan pejabat lelang kelas II dalam melaksanakan jabatannya berkewajiban membuat bagian kepala risalah lelang sebelum pelaksanaan lelang.

  Dari Penjabaran-penjabaran di atas dapat penulis simpulkan bahwa untuk membuat Akta risalah lelang harus dilakukan oleh Pejabat Lelang dan Pejabat Lelang itu sendiri dikenal ada dua yaitu Pejabat Lelang kelas I dan Pejabat Lelang Kelas II. Notaris sendiri diperbolehkan untuk merangkap jabatan menjadi Pejabat Lelang Kelas II.

  Jakarta, MP. DIRJEN Kekayaan Negara Kementerian Keuangan mengatakan, terkait dengan pembuatan akta Risalah Lelang, yang berwenang membuat Risalah Lelang (akta lelang) adalah pejabat lelang. Menurutnya, Notaris yang bukan pejabat lelang tidak berwenang membuat Risalah Lelang. Pengaturan tentang lelang merupakan kewenangan Menteri Keuangan. Untuk itu, Risalah Lelang seharusnya tidak diatur dalam Undang-undang Notaris. Jadi, jika Notaris berwenang membuat akta risalah lelang adalah bertentangan dengan UU Lelang, kecuali telah diangkat

  33 sebagai Pejabat lelang.

  Menurut Hanugrahardini Pemberian kewenangan kepada Notaris dalam pembuatan akta risalah lelang sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya di bidang lelang. Hal ini dikarenakan pemberian kewenangan tersebut tumpang tindih dengan kewenangan Pejabat Lelang sebagai pelaksana lelang berdasarkan Peraturan Lelang

  34 (Vendu Reglement) dan Instruksi Lelang (Vendu Instructie).

3. Analisis

  Penulis sendiri melihat bahwa kewenangan notaris dalam pasal 15 ayat (2) huruf (g) UUJN bukanlah suatu hal yang baru atau ada yang mengatakan suatu perluasan kewenangan bagi notaris dan bahkan beranggapan bahwa notaris tanpa melalui pengangkatan sebagai pejabat lelang dapat secara langsung berwenang membuat akta risalah lelang dengan pertimbangan bahwa yang mengatur kewenangan tersebut UU yang secara hirarki kedudukannya lebih tinggi dari peraturan menteri 33 Megapolitan Pos.com, Notaris Tidak Berwenang Membuat Akta Lelang , Kamis, 17 Maret

  2011 15:09 34 Amri Syamsuddin, Pro dan Kontra Pengaturan Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Lelang , amrisyamsuddin.blogspot.com, Senin 16 Maret 2009.

  yang mengatur mengenai kewenangan pejabat lelang (lex superior derogat legi inferiori) atau vendu reglement dan vendu instructie yang dikesampingkan dengan alasan asas lex posterior derogat lege priori, kedua asas tersebut baru dapat digunakan hanya untuk menyelesaikan suatu peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan dan penulis melihat pengaturan kewenangan tersebut bertentangan bahkan satu sama lain saling mengatur tanpa adanya penjelasan tersendiri sehingga tidak menunjukan konsistensi hukum. Dimana seharusnya peraturan menteri tersebut merupakan lex specialis yang mengatur mengenai pengankatan notaris sebagai pejabat lelang.

  Sebagai bahan perbandingan kewenangan notaris dalam pasal 15 ayat (2) huruf (f) UUJN, mengenai kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan juga bukan berarti notaris dapat secara langsung membuat akta di bidang pertanahan tanpa didahului pengangkatan sebagai PPAT dengan alasan yang sama bahwa profesi PPAT hanya diatur dalam Peraturan pemerintah. Hal tersebutpun seharusnya dijelaskan dengan penelasan tertentu karena peraturan pemerintah tersebut juga merupakan lex specialis dalam pengankatan notaris sebagai PPAT agar dapat menjalankan kewenangannya tersebut sebagaimana yang diatur dalam UUJN.

  Namun pengangkatan notaris sebagai pejabat lelang juga bukan termasuk larangan rangkap jabatan bagi notaris sebagaimana dalam pasal 17 UUJN karena pengaturan hukum pengangkatan tersebut diatur dalam vendu reglement, vendu instructie, dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

  305/KMK.01/2002 tentang Pejabat Lelang juncto Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 175/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II yang juga merupakan lex specialis dari kewenangan notaris dalam pasal 15 ayat (2) huruf (g) UUJN.

Dokumen yang terkait

Analis Yuridis, Atas Peran Dan Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Lelang Kelas II

26 151 121

Akibat Hukum Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik Atas Penyalahgunaan Lambang Negara Dalam Produk Yang Diterbitkan

7 87 122

Kewenangan Notaris Dalam Status Tersangka Menjalankan Tugas Sebagai Pejabat Umum Membuat Akta Otentik

5 63 134

Peranan Notaris Dalam Kaitan Dengan Pengurusan Piutang Dan Lelang Negara (Penelitian Pada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Medan)

1 28 118

BAB II TANGGUNG JAWAB NOTARIS YANG MENERIMA PENITIPAN PEMBAYARAN BPHTB A. Tinjauan Umum Tentang Notaris 1. Sejarah Notaris di Indonesia - Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangu

0 1 37

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA A. Jabatan Notaris - Tanggung Jawab Werda Notaris Terhadap Akta Yang Dibuatnya

6 44 38

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014 A. Karakter Yuridis Akta Notaris - Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor

0 1 30

BAB II RAHASIA JABATAN NOTARIS ATAS AKTA YANG DIPERBUAT OLEH ATAU DIHADAPAN NOTARIS YANG BERINDIKASI TINDAK PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Notaris 1. Notaris Sebagai Pejabat Umum - Perlindungan Hukum Bagi Notaris Untuk Menjaga Kerahasiaan Isi Akta Yang D

0 1 44

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TUGAS YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS SEBELUM MELAKSANAKAN PERJANJIAN KREDIT A. Pengaturan Hukum Secara Umum - Tinjauan Yuridis Atas Tugas-Tugas Notaris Sebelum Pelaksanaan Perjanjian Kredit Di Perbankan

0 0 38

BAB II KEDUDUKAN SK CAMAT SEBAGAI AGUNAN KREDIT BANK A. Hak –Hak Atas Tanah - Chapter II (520.7Kb)

0 0 33