BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TUGAS YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS SEBELUM MELAKSANAKAN PERJANJIAN KREDIT A. Pengaturan Hukum Secara Umum - Tinjauan Yuridis Atas Tugas-Tugas Notaris Sebelum Pelaksanaan Perjanjian Kredit Di Perbankan

  

BAB II

PENGATURAN HUKUM TERHADAP TUGAS YANG DILAKUKAN OLEH

NOTARIS SEBELUM MELAKSANAKAN PERJANJIAN KREDIT

A. Pengaturan Hukum Secara Umum Sebelum mendefenisikan pengaturan hukum, sebaiknya harus dipisahkan antara aturan dan hukum. Menurut Pasal 1 angka peraturan perundang-undangan adalah

  peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan Norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oletertentu, misalnya sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi denda sampai hukuman fisik

  22

   Norma hukum biasanya berasal dari undang-undang yang dibuat oleh pemerintah dan bagi mereka yang melanggarnya biasanya mendapatkan sanksi berupa teguran, denda hingga penjara.

  Maka, dapat diambil kesimpulan bahwa pengaturan adalah segala sesuatu diakses pada tanggal 2 Oktober 2014. mengatur tata tertib pada masyarakat atau negara yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan.

  Lain hal pengaturan, lain pula keputusan. Sekilas keputusan sama dengan pengaturan, padahal kedua hal tersebut mempunyai perbedaan yang sangat besar.

  Adapun indikator yang dapat dijadikan pedoman dalam membedakan keputusan dan pengaturan adalah sebagai berikut:

  1. Istilah “peraturan” digunakan untuk menyebut hasil kegiatan pengaturan yang menghasilkan peraturan (regels).

  2. Istilah “keputusan” atau “ketetapan” digunakan untuk menyebut hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif (beschikkings).

  3. Istilah “tetapan” digunakan untuk menyebut penghakiman atau pengadilan yang menghasilkan putusan (vonnis).

  Dari penjelasan tersebut maka dapat dirinci mengenai pengertian istilah “keputusan” dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian istilah “keputusan” yang luas, di dalamnya terkandung juga pengertian “peraturan/regels”, “keputusan/beschikkings” dan “tetapan/vonnis”. Sedangkan, dalam istilah “keputusan” dalam arti yang sempit, berarti adalah suatu hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif (beschikkings).

  Setelah diperoleh hasil dari defenisi pengaturan, maka akan diuraikan lebih detail tentang apa yang dimaksud dengan hukum dalam kaitan kesehariannya. Berikut ini adalah pengertian para ahli tentang apa itu hukum.

  Menurut R. Soeroso, definisi hukum secara umum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Unsur-unsur yang terkandung dalam definisi hukum sebagai berikut : 1. peraturan dibuat oleh yang berwenang 2. tujuannya mengatur tata tertib kehidupan masyarakat 3. mempunyai ciri memerintah dan melarang

  23

  4. bersifat memaksa dan ditaati Menurut Abdulkadir Muhammad, hukum adalah segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.

  C.S.T. Kansil mengemukakan hukum itu mengadakan ketata-tertiban dalam pergaulan manusia, sebagai keamanan dan ketertiban terpelihara.

  J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto mengemukakan hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran-pelanggaran yang dikenai tindakan-tindakan hukum tertentu.

  Menurut Plato, hukum bukan semata-mata untuk menjaga ketertiban saja,

  24 23 melainkan sebagai obat untuk menyembuhkan kejahatan manusia.

diakses pada tanggal 20

  Agustus 2014,

  Aristoteles menyatakan hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.

  Sedangkan E. Utrecht berpendapat lebih rinci, yaitu bahwa Hukum merupakan himpunan petunjuk hidup - perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan

  

25

tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.

  Sebabnya hukum ditaati orang menurut Utrecht, yaitu:

  1. Karena orang merasakan bahwa peraturan dirasakan sebagai hukum. Mereka benar berkepentingan akan berlakunya peraturan tersebut.

  2. Karena orang harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman. Penerimaan rasional itu sebagai akibat adanya sanksi-sanksi hukum supaya tidak mendapatkan kesukaran, orang memilih untuk taat saja pada peraturan hukum karena melanggar hukum mendapat sanksi hukum.

  3. Karena masyarakat menghendakinya. Dalam kenyataannya banyak orang yang tidak menanyakan apakah sesuatu menjadi hukum/belum. Mereka tidak menghiraukan dan baru merasakan dan memikirkan apabila telah melanggar hingga merasakan akibat pelanggaran tersebut. Mereka baru merasakan adanya hukum apabila luas kepentingannya dibatasi oleh peraturan hukum yang ada.

  24 diakses pada tanggal 22 Agustus 2014

  4. Karena adanya paksaan (sanksi) sosial. Orang merasakan malu atau khawatir dituduh sebagai orang yang asosial apabila orang melanggar suatu kaidah sosial/hukum.

  Sedangkan menurut bahasa sehari-hari, Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol, hukum adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan, Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.

  Dalam pembagiannya di Indonesia, hukum mempunyai beberapa pembagian. Adapun yang dijadikan indikator-indikator tersebut bisa berdasarkan tempat berlaku, sumbernya dan sebagainya. Berikut ini akan diuraikan secaa singkat pembagian-

  26

  pembagian hukum tersebut: 1.

  Hukum menurut Bentuknya Menurut bentuknya, hukum dikelompokkan sebagai berikut.

  a.

  Hukum tertulis adalah hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundangan. Hukum tertulis dapat merupakan hukum tertulis yang dikodifikasikan dan hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan.

  

diakses pada tanggal 24 Agustus 2014 b.

  Hukum tak tertulis adalah hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis.

  Hukum tak tertulis juga disebut hukum kebiasaan, hukum tidak tertulis ditaati seperti suatu peraturan perundangan.

2. Hukum menurut Tempat Berlakunya Menurut tempat berlakunya, hukum dibedakan sebagai berikut.

  a) Hukum nasional adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara.

  b) Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan hukum dalam dunia internasional.

  c) Hukum asing adalah hukum yang berlaku di negara lain.

  d) Hukum lokal adalah hukum yang berlaku di suatu daerah atau wilayah tertentu.

3. Hukum menurut Sumbernya Menurut sumbernya, hukum dapat digolongkan sebagai berikut.

  a) Undang-undang adalah hukum yang tercantum dalam peraturan perundangan.

  b) Hukum kebiasaan adalah hukum yang terletak dalam peraturan-peraturan kebiasaan.

  c) Hukum traktat adalah hukum yang ditetapkan oleh negara-negara di dalam suatu perjanjian antarnegara.

  d) Hukum yurisprudensi adalah hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.

  4. Hukum menurut Waktu Berlakunya Menurut waktu berlakunya, hukum dapat digolongkan sebagai berikut.

  a.

  Hukum positif (ius constitutum) adalah hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu. Hukum positif (ius constitutum) disebut juga tata hukum.

  b.

  Ius constituendum adalah hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang.

  c.

  Hukum asasi adalah hukum yang berlaku di mana-mana dalam segala waktu dan untuk segala bangsa di dunia.

  Hukum ini tidak mengenal batas waktu melainkan berlaku untuk selama-lamanya (abadi) terhadap siapa pun di seluruh tempat.

  5. Hukum menurut Isinya Menurut isinya, hukum dapat dikelompokkan sebagai berikut.

  a) Hukum privat adalah kumpulan hukum yang mengatur hubungan- hubungan antarorang dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Hukum privat juga disebut hukum sipil. Contoh: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undanga Hukum Dagang.

  b) Hukum publik adalah kumpulan hukum yang mengatur hubungan- hubungan antara negara dengan alat perlengkapannya atau antara negara dengan perorangan. Hukum publik bertujuan untuk melindungi kepentingan umum. Hukum publik juga disebut hukum negara.

  6. Hukum menurut Wujudnya Menurut wujudnya, hukum dapat dikelompokkan sebagai berikut.

  a) Hukum objektif adalah hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenai orang atau golongan tertentu. Hukum ini untuk menyatakan peraturan yang mengatur antara dua orang atau lebih. Contoh: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

  b) Hukum subjektif adalah hukum yang dihubungkan dengan seseorang tertentu dan dengan demikian menjadi hak. Contoh: Kitab Undang-

  Undang Hukum Militer.

  7. Hukum menurut Sifatnya Menurut sifatnya, hukum dapat digolongkan sebagai berikut.

  a) Hukum yang memaksa adalah hukum yang dalam keadaan bagaimana pun juga harus dan mempunyai paksaan mutlak. Contoh: hukum pidana b)

  Hukum yang mengatur adalah hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian. Contoh: hukum dagang 8. Hukum menurut Cara Mempertahankannya

  Menurut cara mempertahankannya, hukum dapat dikelompokkan sebagai berikut.

  a) Hukum materiil adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan. Contoh: hukum pidana, hukum perdata, dan hukum dagang.

  b) Hukum formal adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum materiil atau suatu peraturan yang mengatur cara mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana caranya hakim memberi putusan. Hukum formal disebut hukum acara. Contoh: hukum acara pidana dan hukum acara perdata

  Setelah melihat pembagian hukum menurut beberapa jenis pembagian diatas, maka bisa dilihat bahwa hukum yang mengatur tentang tugas dan wewenang Notaris dapat dikategorikan sebagai hukum formal yang bersifat privat. Hal ini dikarenakan mengatur hubungan-hubungan antar orang dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.

  Dalam pembahasan ini akan lebih didalami mengenai dasar hukum tersebut. Mengenai sejarah notaris, notaris pada awalnya berada di Indonesia adalah karena adanya pasal 1868 Kitab Undang-

  Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Suatu akta otentik ialah suatu akta didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.” Sebagai pelaksanaan pasal tersebut, diundangkanlah undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris yang kini telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (sebagai pengganti staatblad 1860 nomor 30).

  Dahulu, sebelum Undang-Undang 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ada, peraturan tentang notaris sudah ada dan diatur oleh Belanda, tetapi tidak terkodifikasi dengan baik.

  Mengenai tugas notaris pun belum terlalu diatur didalamnya seperti sekarang

  27

  ini. Adapun beberapa peraturan-peraturan mengenai notaris adaah sebagai berikut:

  1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101;

  2.

  16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;

  Ordonantie

  3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700); 4.

  Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan

  5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.

  6. Sumber peraturan hukum lainnya;

   diakses pada tanggal 20 September 2014

  Setelah peraturan-peraturan di atas tidak mengakomodir mengenai notaris dan tugas dan wewenang yang dimilikinya, maka dibentuklah Undang Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris. Dimulai dari Undang-Undang ini, seluruh hal mengenai wewenang, tugas, larangan, sanksi dan tata cara pembuatan akta semuanya diatur dengan jelas dan terperinci. Defenisi Notaris juga dapat dipahami dengan jelas sebagaimana dalam pasal 1 disebutkan yang menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana maksud dalam undang-undang ini.

  Sebagai pejabat umum, Notaris haruslah mempunyai sifat-sifat yaitu:

  1. Berjiwa pancasila;

  2. Taat kepada hukum, sumpah jabatan, kode etik Notaris;

  3. Berbahasa Indonesia yang baik; Sementara Sebagai profesional Notaris wajib:

  1. Memiliki perilaku Notaris;

  2. Ikut serta pembangunan nasional di bidang hukum;

  3. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Untuk bisa menjalankan tugas-tugasnya, Notaris harus seorang Warga Negara

  Indonesia, karena sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian dari fungsi publik dari negara, khususnya di bagian hukum perdata. Tugas ini tidak dapat diberikan kepada warga negara asing, karena menyangkut dengan menyimpan rahasia negara, Notaris harus bersumpah setia atas Negara Republik Indonesia, sesuatu yang tidak mungkin bisa ditaati sepenuhnya oleh warga negara asing.

  Seorang Notaris harus berumur minimal 27 tahun, karena umur 27 tahun dianggap sudah stabil secara mental.

  Dalam pelaksanaan tugasnya, Notaris dituntut harus bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Karena dengan mematuhi ajaran dan menjalankan serta menjauhi lrangan Tuhan, makan diharapkan Notaris tidak akan melakukan perbuatan asusila, amoral, apalagi sampai menciderai martabat dan profesi notaris itu sendiri.

  Selain hal-hal tersebut harus terlebih dahulu dilakukan notaris, perlu diingat juga notaris tidak bisa berstatus pegawai negeri, pejabat negara, advokat, pemimpin maupun karyawan badan usaha milik negara, badan usaha milik swasta dan perusahaan swasta atau jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Notaris tidak boleh merangkap jabatan karena Notaris dilarang memihak dalam kaitannya sebagai pihak netral supaya tidak terjadi beturan kepentingan.

  Sikap netralitas notaris ini sangat ditekankan kepada setiap calon notaris maupun notaris yang sudah memiliki izin untuk praktek. Apabila ada ditemukan notaris berpihak kepada salah satu pihak, apakah itu dari segi pekerjaan notaris perumusan akta yang menghasilkan klausul-klausul yang merugikan salah satu pihak,

28 Syarat-syarat menjadi Notaris dapat dilihat dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014

  tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris maka hal itu akan sangat disayangkan, karena tidak adanya netralitas notaris, maka sia-sia lah amanat undang-undang agar masyarakat memperoleh hukum yang adil.

  Namun, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris juga kurang memberikan kepastian hukum terhadap beberapa pasal-pasalnya sehingga diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Perubahan tersebut tidak ada mengubah wewenang Notaris. Memang ada kewenangan yang sempat diperbincangkan diantara para notaris yaitu pada Pasal 15 ayat (2) huruf f, yaitu notaris memiliki kewenangan untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.

  Perdebatan ini sedikit menjadi pertanyaan karena terjadi “perebutan kewenangan” antara Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan Notaris. Sebab, klausula ini dianggap dapat mematikan profesi PPAT.

  Berbagai kalangan menganggap akhirnya ini tidak terlalu menjadi persoalan karena pengaturan ini sendiri memungkinkan sebab tugas-tugas notaris itu tidak hanya bersumber pada Pasal 1868 KUHPerdata, tetapi juga bersumber dari UU Jabatan Notaris itu sendiri. Untuk kewenangan yang bersumber pada Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diejawantahkan pada Pasal 15 ayat (1) UUJN, sedangkan kewenangan notaris yang berasal dari UUJN adalah kewenangan- kewenangan yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (2) termasuk kewenangan untuk membuat akta di bidang pertahanahan tersebut. Sebagai contoh jika tugas dalam membuat suatu akta yang juga dimiliki instansi lain selain notaris, yaitu akta pengakuan terhadap anak luar kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Tugas membuat akta pengakuan terhadap anak luar kawin ini juga dimiliki oleh Kantor Catatan Sipil.

  Adapun beberapa perubahan lainnya antara Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yaitu:

  1. Notaris Pengganti Khusus yang mempunyai tugas membuat akta tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam surat penetapannya sebagai notaris karena hanya ada seorang notaris di satu kabupaten tersebut sebagaimana diatur dalam

  29 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 pada Diatur di Pasal 1 angka 4,

  sedangkan pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 hal ini dihapus, sehingga mengakibatkan tugas Notaris Pengganti Khusus berdasarkan UUJN yang baru tidak ada lagi notaris yang membuat akta tertentu untuk dirinya sendiri dengan alasan hanya satu notaris yang ada di wilayah jabatannya.

  2. Mengenai Masa Magang Notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 pada Pasal 3 huruf (f) menyatakan masa magang hanya 12 bulan berturut- 29 turut pada kantor notaris, sementara menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun

  Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 mengenai Notaris Pengganti Khusus: 1. Apabila dalam satu wilayah jabatan hanya terdapat 1 (satu) Notaris, Majelis Pengawas Daerah dapat menunjuk Notaris Pengganti Khusus yang berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan pribadi Notaris tersebut atau keluarganya.

  2. Penunjukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disertai dengan serah terima Protokol Notaris.

  3. Notaris Pengganti Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diambil sumpah/janji jabatan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

  2014 menjadi 24 bulan yang mengakibatkan seorang calon notaris bisa diangkat menjadi notaris setelah magang selama 2 tahun berturut-turut.

  3. Mengenai Perpanjangan masa memulai menjalani kewajiban notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004, seperti menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan stempel, serta menyampaikan berita acara sumpah mulai dilaksanakan dalam jangka waktu 30 hari sejak pengambilan sumpah, sementara dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 dilaksanakan dalam jangka waktu 60 hari sejak pengambilan sumpah, sehingga mengakibatkan jika tidak dilaksanakan, Pasal 7 ayat (2) UUJN yang baru dengan tegas mengenakan sanksi kepada notaris berupa peringatan tertulis; pemberhentian sementara; pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat.

  4. Mengenai Pelekatan Sidik Jari di Minuta Akta dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tidak diatur, sementara dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c, sehingga mengakibatkan notaris wajib melekatkan sidik jari para penghadap kemudian dilekatkan di minuta akta guna tercipta keamanan.

  5. Mengenai Larangan rangkap jabatan sebagai PPAT atau Pejabat Lelang Kelas II, dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Rangkap jabatan yang dilarang adalah di luar wilayah jabatan Notaris (Pasal 17 huruf g), sementara dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Rangkap jabatan yang dilarang adalah di luar tempat kedudukan Notaris (Pasal 17 ayat (1) huruf g) sehingga mengakibatkan Kewenangan Notaris melakukan pekerjaan jabatan PPAT dan Pejabat Lelang Kelas II hanya boleh dilakukan di kabupaten atau kota tempat Notaris berkantor, tidak boleh lagi dilakukan untuk satu Provinsi. Masalah ini semakin diperkuat dengan pasal berikutnya, yaitu Pasal 19 angka 2, yaitu tempat kedudukan PPAT wajib mengikuti tempat kedudukan Notaris. Artinya, notaris tidak boleh membuka kantor PPAT berbeda dengan tempat kedudukan kantor notarisnya. Apabila dilanggar, Notaris mendapatkan sanksi.

6. Mengenai Bentuk usaha yang dijalankan notaris dalam Undang-Undang Nomor

  30 tahun 2004 Pasal 20 ayat (1) mengatur bahwa Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata, sedangkan dalam Undang- Undang Nomor 2 tahun 2014 Diubah menjadi notaris dapat menjalankan . jabatannya dalam bentuk persekutuan perdata 7. Mengenai Bahasa Akta sebagaimana diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang

  Nomor 30 tahun 2004 yaitu Bahasa akta yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Bahasa asing dapat digunakan jika para pihak menghendakinya sepanjang undang-undang tidak menentukan lain, sementara dalam Undang- Undang Nomor 2 tahun 2014 Bahasa akta yang digunakan adalah wajib Bahasa Indonesia. Jika para pihak menghendaki, akta dapat dibuat dalam bahasa asing, maka akibatnya Penggunaan bahasa Indonesia dalam ketentuan baru semakin dipertegas dengan kata “wajib”. Akan tetapi, kewajiban ini sedikit diperhalus dengan diperbolehkannya penggunaan bahasa asing jika para pihak menghendakinya. Terlebih lagi, untuk pembuatan akta yang menggunakan bahasa asing ini tidak lagi dibatasi dengan koridor “sepanjang undang-undang tidak menentukan lain

  ”. Sehingga, akta apa saja sepanjang para pihak menghendaki dapat menggunakan bahasa asing.

  8. Mengenai Wewenang suatu badan dalam memberikan persetujuan kepada penyidik dalam due process sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang- Undang Nomor 30 tahun 2004 yaitu wewenang untuk memberikan persetujuan kepada Penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk due process berada di

  30

  tangan Majelis Pengawas Daerah, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Kewenangan tersebut berada di tangan Majelis Kehormatan, sehingga mengakibatkan Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim ketika ingin mengambil fotokopi minuta akta notaris atau memanggil notaris itu sendiri harus dengan persetujuan Majelis

31 Pengawas Daerah (MPD).

  Namun, frasa “dengan persetujuan MPD” ini telah

  30 Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris: 1.

  Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang: a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

2. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,

  31 dibuat berita acara penyerahan.

Pasal 66 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris: 1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris berwenang:

  a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minut Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

   .

  Akan tetapi, Undang

  • – Undang Jabatan Notaris yang baru memasukkan kembali “perlindungan” notaris ini melalui frasa “dengan persetujuan Majelis Kehormatan”. Maka, setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang mengaktifkan organ Majelis Kehormatan Notaris ini, kewenangan oleh MPD dalam memberikan persetujuan pengambilan minuta akta dari Notaris akan menjadi kewenangan Majelis Kehormatan Notaris, namun untuk sekarang ini karena peraturan mengenai pelaksanaan struktur lengkap Majelis Kehormatan Notaris belum ada, maka kewenangan tersebut masih dipegang oleh Majelis Pengawas Daerah

  b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

2. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.

  3. Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan.

  4. Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima 32 permintaan persetujuan.” Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 pada pasal 3 selengkapnya berbunyi:

  3. Menyatakan ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4432) sepanjang frasa / kalimat “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah

  ” TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT...”, sehingga ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4432) HARUS DIBACA, sebagai berikut: “Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang:

  a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b.memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris”;

  9. Mengenai Wadah Tunggal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 pada Pasal 82 hanya menyebutkan notaris berhimpun dalam satu wadah

  33

  organisasi , sedangkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tertulis dengan jelas wadah tunggal yang dimaksud adalah Ikatan Notaris Indonesia (INI) , sehingga Organisasi di luar Ikatan Notaris Indonesia tidak diakui eksistensinya.

B. Perjanjian Secara Umum

  Perjanjian dapat berarti segala bentuk kesepakatan yang dibuat oleh minimum dua pihak yang mana perjanjian tersebut bisa tertulis dan bisa tidak tertulis. Perjanjian bisa dibuat oleh siapa saja, termasuk dan tidak terbatas pihak lembaga formal. lembaga formal tersebut adalah bank. Pada intinya, walaupun dibuat pihak lembaga formal, tetap ada yang disebut dengan asas. kebebasan berkontrak.

  Menurut Treitel, kebebasan berkontrak atau “freedom of contract” digunakan 33 untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama

Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris: 1. Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.

  2. Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi ditetapkan dalam 34 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris: 1. Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.

  2. Wadah Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Ikatan Notaris Indonesia.

  3. Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu-satunya wadah profesi Notaris yang bebas dan mandiri yang dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Notaris.

  4. Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Notaris.

  5. Ketentuan mengenai penetapan, pembinaan, dan pengawasan Organisasi Notaris diatur dengan Peraturan Menteri.” mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak”. Asas ini merupakan asas umum yang bersifat universal. ”Asas kebebasan berkontrak merupakan asas dalam hukum perjanjian yang dikenal hampir semua sistem hukum.

  Asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak.

  Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis.

  Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin 35 dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk

  

Asas kebebasan berkontrak dalam sistem common law dikenal dengan istilah freedom of contract atau liberty of contract, apabila dibandingkan dengan pernyataan Hardijan Rusli : asas kebebasan berkontrak dikenal juga dengan istilah Laissez Faire yang pengertiannya seperti diterangkan oleh Jessel M.R. dalam kasus Printing and Numerical Registering Co. vs Sampson (1875) LR Eq. 462 pada 465, yaitu men of full age and understanding shall have the utmost liberty of contracting and that contracts which are freely and voluntarily entered inti shall be held sacred and enforced by the

courts...you are not lightly to interfere with this freedom of contract (Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993:38). Lihat juga Ridwan Khairandy “istilah kebebasan berkontrak dalam sistem common law adalah freedom of contract atau liberty of contract (Ridwan Khairandy, Pengaruh Paradigma Kebebasan Berkontrak Terhadap Teori Hukum Kontrak Klasik dan Pergeserannya , tidak dipublikasikan, 2003) hal. 49 setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.

  Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak masih mempunyai batas.

  Ada hal menarik yang dapat dilihat, biasanya perjanjian dibuat dengan kesepakatan yang isinya dirumuskan oleh kedua belah pihak, tetapi perjanjian dengan bank biasanya dibuat dalam standar baku. Istilah perjanjian baku sebenarnya berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract.

  36 Menurut Mariam Darus Badrulzaman ciri standar kontrak ialah: 1.

  Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat.

  2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian

3. Terdororng oleh kebutuhannya debitur terpakasa menerima perjanjian itu 4.

  Bentuk tertentu (tertulis) 5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.

  Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu 36 pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut

H. Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, Raja Grafindo Persada, 2004, hal

  22

  Munir Fuadi adalah Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk- bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.

  Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (klausul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest).

  Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.

C. Pengaturan Hukum Perjanjian Kredit dalam Perbankan

  Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu seperti dalam Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal

  6.5.1.3. NBW Belanda yang mempunyai isi ketentuan itu adalah sebagai berikut : Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.

  Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri Kehakiman (sekarang disebut dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia), melalui sebuah panitia yang ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.

  Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara.

  Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.

  Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditur mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.

  Dengan adanya peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.

D. Pengaturan Hukum Terhadap Tugas Notaris Sebelum Melaksanakan Perjanjian Kredit Di Bank

  Dalam melaksanakan perjanjian kredit, Notaris terlebih dahulu harus melaksanakan serangkaian perbuatan hukum dalam rangkan menjamin seluruh proses pelaksanaan perjanjian kredit aman saat dilaksanakan.

  Sebelum melaksanakan perjanjian kredit ada beberapa hal yang harus diperhatikan, selain memperhatikan apa yang disyaratkan oleh Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Notaris juga harus memperhatikan karakteristik perjanjian yang akan dilaksanakan.

  Pada dasarnya, proses pelaksanaan perjanjian kredit secara umum di dalam perbankan adalah sebagai berikut:

  1. Adanya Surat Penawaran Order pekerjaan Notaris atau lebih dikenal dengan istilah Offering Letter dari bank yang isinya mengenai hal-hal apa saja yang diinginkan dalam pelaksanaan perjanjian kredit nantinya, misalnya mengenai jenis kredit, besarnya plafond kredit yang diberikan, suku bunga, jaminan, jangka waktu, dan pelaksanaan penandatanganan akta kredit. Offering Letter ini mempunyai dasar hukum dalam peraturan internal setiap bank.

  2. Notaris membaca dan mencermati hal-hal yang diinginkan dalam Offering Letter tersebut, kemudian meminta kelengkapan berkas yang akan dijadikan substansi perjanjian kredit, misalnya saja fotokopi perjanjian kredit antara bank dengan para pihak, asli jaminan apabila itu sertifikat untuk dilakukan pengecekan ke kantor pertanahan, identitas para pihak, dan kelengkapan berkas lainnya.

  3. Setelah waktu yang ditentukan, maka notaris bersama para pihak melakukan penandatanganan akta perjanjian kredit dengan melakukannya sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku seperti didalam Undang - Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

  4. Setelah seluruh penandantanganan selesai, maka notaris memberikan sebuah surat yang pada umumnya dikenal sebagai Covernote. Covernote ini secara umum adalah sebuah surat yang berisikan jangka waktu penyelesaian seluruh kewajiban notaris terhadap akta-akta atau tindakan hukum administratif tertulis yang akan diselesaikan notaris yang bersangkutan. Covernote ini bukan sebuah surat yang menjamin bahwa seluruh peristiwa hukum yang telah dilaksanakan tidak akan mendapat hambatan nantinya karena dalam proses penyelesaian seluruh komponen perjanjian kredit misalnya pemasangan hak tanggungan terhadap jaminan berupa tanah bersertipikat, bisa saja ada gangguan hukum dari pihak ketiga yang membuat notaris tidak bisa melaksanakan kewenangannya sebagai pihak yang akan melaksanakan hal tersebut. Gangguan tersebut tentu tidak ada pengaruh dari notaris, tetapi bisa saja dari pihak bank atau pihak debitur. Hal ini yang harus diingat mengenai inti dari covernote. Selain covernote ini juga, notaris memberikan tanda terima jaminan atau berkas penting lainnya kepada bank apabila berkas - berkas penting itu telah diberikan kepada notaris agar tertib adminsitrasi berjalan sebagaimana mestinya.

  5. Setelah seluruh pekerjaan notaris selesai dilaksanakan, maka notaris berkewajiban menarik kembali asli covernote dan membuat tanda terima baru bahwa seluruh berkas yang telah diterima notaris telah dikembalikan kepada bank.

  Dalam pelaksanaan wewenang notaris, perlu dibedakan proses pelaksanaan perjanjian kredit dengan tanpa memakai jaminan atau agunan dan perjanjian kredit dengan memakai agunan. Berikut ini akan diuraikan pelaksanaan wewenang notaris sebelum melaksanakan perjanjian kredit dengan tanpa memakai jaminan atau agunan dan perjanjian kredit dengan memakai agunan.

  Dalam melaksanakan tugasnya, Notaris juga harus memperhatikan kode etik prefesi. Kode etik dapat diartikan sebagai kaidah prilaku yang disusun secara tertulis dan sistematis sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengembangkan sebuah profesi. Menurut Sumaryono, kode etik memiliki alasan-alasan dan tujuan tertentu,

  37

  yaitu sebagai berikut :

  a. sebagai sarana kontrol sosial;

  b. sebagai pencegah campur tangan pihak lain; dan; c. sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik.

  1. Tugas Notaris Dalam Proses Pelaksanaan Perjanjian Kredit dengan Tanpa memakai Jaminan Dapat disimpulkan bahwa kredit yang diberikan adalah kredit untuk personal dan bukannya berupa kredit untuk korporasi. Hubungan hukum yang berupa suatu perikatan pihak bank yang mengeluarkan kredit tanpa agunan bermula sejak ditandatangani aplikasi kredit tanpa agunan dan disetujui oleh Bank, dimana sering ditemukan ketentuan mengenai pernyataan atau persetujuan dari pemohon kredit untuk menerima dan mengikatkan diri untuk tunduk dan mematuhi semua syarat dan ketentuan baik yang berlaku saat ini dan atau di kemudian hari menurut kebijaksanaan dari Bank, termasuk juga untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas semua tagihan.

  Pada saat aplikasi disetujui oleh pihak Bank maka semua persetujuan mengenai hak, kewajiban serta syarat yang terdapat dalam aplikasi kredit tersebut secara sah telah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, 37 yaitu debitur dan Bank. Hal ini diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang

  

Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, 1997 , Bandung. Hal . 78-79 Hukum Perdata yang menyatakan bahwa: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

  Untuk Kredit tanpa agunan, karena pihak bank tidak menentukan dari awal apa yang menjadi agunannya, maka berdasarkan pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang- undang Hukum Perdata. Adapun bunyi dari Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah:

  “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada, maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”, sedangkan pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi:

  “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbanganya itu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan- alasan yang sah untuk didahulukan”. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa harta kekayaan milik dari debitur seluruhnya menjadi jaminan terhadap jumlah utang yang harus dibayarkan oleh debitur, sehingga dasar dari Bank melakukan eksekusi apabila debitur wanprestasi adalah kedua pasal tersebut, pasal 1131 san 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

  Dasar bagi Bank untuk melakukan bila terjadi eksekusi tentunya adalah perjanjian yang dibuat pada awalnya suatu perikatan tadi, yaitu dimana permohonan aplikasi permohonan kredit yang diajukan dan disetujui oleh pihak Bank. Bila wanprestasi berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut, misalnya adanya keterlambatan pembayaran dari pengguna fasilitas kredit.

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Atas Tugas-Tugas Notaris Sebelum Pelaksanaan Perjanjian Kredit Di Perbankan

2 86 144

Tinjauan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan

3 49 123

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK DAN KREDIT MACET A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit Bank 1. Pengertian Perjanjian Kredit - Tanggung Jawab Hukum Bank Dalam Menyelesaikan Kredit Macet (Studi pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Kaba

0 1 34

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian 1. Pengertian Umum Perjanjian - Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan Berupa Hak Tanggungan Yang Mengalami Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit

0 0 25

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PENGESAHAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL A. Perkembangan Hukum Internasional terhadap Pengaturan Perjanjian Internasional - Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judici

0 0 34

BAB II TANGGUNG JAWAB NOTARIS YANG MENERIMA PENITIPAN PEMBAYARAN BPHTB A. Tinjauan Umum Tentang Notaris 1. Sejarah Notaris di Indonesia - Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangu

0 1 37

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT SERTA ASPEK HUKUM JAMINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian dan Perjanjian Kredit Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Kredit Bermasalah Dalam Pinja

0 0 40

BAB II ASPEK – ASPEK HUKUM DALAM AKTA PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit - Chapter II (568.1Kb)

0 0 36

BAB II RAHASIA JABATAN NOTARIS ATAS AKTA YANG DIPERBUAT OLEH ATAU DIHADAPAN NOTARIS YANG BERINDIKASI TINDAK PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Notaris 1. Notaris Sebagai Pejabat Umum - Perlindungan Hukum Bagi Notaris Untuk Menjaga Kerahasiaan Isi Akta Yang D

0 1 44

BAB II PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan 1. Pengertian dan Hukum Perjanjian a. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Perkawinan Yang

0 0 67