Kekerasan Militer di Era Reformasi Studi

KEKERASAN MILITER DI ERA REFORMASI
(Studi Kasus: Atambua-Nusa Tenggara Timur)
By: Hipolitus Yolisandry Ringgi Wangge
Abstract
After the Indonesian Military (TNI) started its internal reform in 2004, many tremendous
changes unfold in the context of transforming the military’s character into more professional
military. However, one thing remains intact so far is the violence character within the institution.
In Atambua’s case, the military officers tortured and even killed a local resident due merely to
personal quarrel between the officer and the youth resident. This sheds a light about what is the
future of the TNI’s internal reform, particularly deals with human rights. The case of Atambua
also triggers our concern about what is the strategy that has continually been pursued in
particular regarding the army deployment in border areas.

Ketika pintu gerbang reformasi 1998, terbuka lebar salah satu isu yang mendapat sorotan
penting adalah isu demiliterassasi secara radikal.Tuntutan yang mengemuka ketika itu adalah
penghapusan doktrin dwifungsi ABRI/TNI, pembubaran lembaga-lembaga ekstra-yudisial,
pembubaran sistem pertahanan teritorial, pelarangan bagi TNI sebagai lembaga dan perwira aktif
untuk berbisnis, dan penyelidikan bagi para jenderal yang terlibat pelanggaran hak asasi
manusia.
Demiliteralisasi ini sangat penting, karena tak mungkin terjadi konsolidasi demokrasi di
era transisi selama militer masih terlibat dalam bidang politik dan bisnis. Terlebih militer orde

baru, yang lahir dan besar sebagai kekuatan garda depan yang anti demokrasi dan anti hak asasi
manusia. Dengan kata lain, reformasi di TNI adalah sebuah keharusan yang tak bisa di tawar.
Kini setelah lebih dari satu dekade reformasi berlangsung, bagaimana sesungguhnya
nasib dari reformasi di sektor keamanan ini? Apakah perilaku TNI yang khas orde baru telah
memudar? Berdasarkan riset yang saya lakukan, kita tampaknya masih harus menunggu lagi
perubahan dari mentalitas TNI Orde Baru yang anti hak asasi manusia menjadi TNI yang
profesional. Salah satu contohnya adalah kekerasan hak asasi manusia di Atambua, NTT.
Kekerasan di Atambua

Atambua adalah sebuah kecamatan sekaligus ibu kota Kabupaten Belu, Nusa Tenggara
Timur, Sebagian besar penduduknya berbahasa Tetun, dimana Katholik menjadi agama
mayoritas. Sejak tahun 2000, Atambua menjadi salah satu daerah pusat penampungan arus
pengungsi dari Timor Leste. Secara sosial penduduk Atambua sangat terbuka terhadap
pendatang, dan memperlakukan mereka layaknya saudar sendiri. Persatuan dan persaudaraan,
begitula motto penduduk Atambua yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan warga Timor
Leste.
Tetapi persahabatan dan kebersamaan itu akhir-akhir ini sedang diuji secara serius.
Penyebabnya adalah penganiayaan terhadap seorang pemuda bernama Charles Mali (21 tahun)
oleh sekelompok anggota TNI, pada 11 Maret 2011. Charles dan beberapa rekannya dianiaya di
markas Yonif 744/Satya Yuda Bhakti. Akibat penganiayaan tersebut, Charles pun harus

meninggal, sementara lima rekannya mengalami luka serius. Ibunda Charlea, Modesta Dau, yang
sangat terpukul oleh kematian anaknya dengan cara bunuh diri.
Penganiayaan berujung kematian Charles ini, rupanya bergema luas dalam masyarakat.
Terbukti pada tanggal 24 Maret 2011, DPRD dan Masyarakat Belu Peduli Ham (MBPH)
menyampaikan pernyataan sikap , terkait kasus kekerasan para personil militer terhadap warga
sipil di Atambua, Belu (www.timorexpress.com). Pertama, menolak keberadaan Yonif 744 di
Kabupaten Belu NTT. Kedua, menuntut putusan adil dari pengadilan militer terhadap oknumoknum militer yang melakukan penganiyaan hingga tewas. Hal ini akan diawasi dan dipantau
oleh Pansus DPRD Belu dan Komnas Ham. Ketiga, menuntut pemecatan terhadap komandan
dan para anggota yang terlibat dalam kasus penganiayaan tersebut. Ketiga tuntutan diatas
merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat di Atambua, khususnya di daerah perbatasan.
Keberadaan militer di daerah perbatasan ,khususnya Yonif 744 cenderung melakukan
pendekatan koersif daripada persuasif terhadap masyarakat sekitar. Sebelumnya, tanggal 18
Maret 2011, Musyawarah pimpinan daerah (muspida) sepakat untuk mencabut pos yang berada
di pintu masuk Markas Komando (Mako) Batalyon Infateri (Yonif) 744 di Tobir, Kecamatan
Tasifeto Timur, Belu. Hal tersebut dilakukan karena desakan masyarakat Tobir yang resah
dengan keberadaan pos tersebut.

Pada senin, 11 Juli 2011 ke sembilan oknum TNI yang terlibat diadili di Pengadilan
Militer Kupang. Namun, ironis tuntutan hukuman yang dikenakan sangat ringan, yakni hukuman
kurungan rata-rata 8-9 bulan dan pemecatan hanya kepada satu anggota Yonif 744/Satya Yuda

Bakhti. Hal tersebut sangat mencederai nurani keadilan masyarakat, terutama keluarga Charles
Mali. Namun, tulisan ini tidak akan membahas terhadap hasil putusan tersebut, namun secara
komprehensif tentang agenda reformasi keamanan.
Ringkasan peristiwa kekerasan TNI dan tuntutan masyarakat Belu diatas menjelaskan
bagaimana upaya reformasi sektor keamanan di Indonesia selama 11 tahun, yang digaungkan
pasca reformasi 1998 sampai sekarang masih berjalan di tingkat normatif dan subtanstif
(Mietzner,2006), namun tidak di tingkatan operasional. Reformasi sektor keamanan merupakan
proses transformasi menyeluruh bagi seluruh aktor-aktor keamanan yang dilakukan secara
terpadu, efektif dan sah untuk dapat menyediakan jaminan keamanan bagi seluruh warga negara
dari segala bentuk manifestasi ancaman keamanan, baik yang berasal dari lingkungan eksternal
maupun internal. Reformasi sektor keamanan Indonesia merupakan bagian dari

upaya

demoktarisasi pengelolaan pertahanan Indonesia pasca reformasi serta perubahan situasi
internasional. Dibutuhkan pemahaman bahwa urgensi reformasi sektor keamanan di Indonesia
selama ini masih terbatas, bukan hanya karena terbelenggu oleh konstelasi politik nasional tetapi
juga masih dipertahankannya superioritas TNI dalam menjalankan tugas di tengah perubahan
masyarakat Indonesia.
Reformasi TNI yang merupakan salah satu elemen dalam reformasi sektor keamanan

masih cenderung berkutat di wilayah tata kelola hubungan sipil-militer (normatif), yang meliputi
penarikan personil militer aktif dari jabatan sipil, menghilangkan peran militer dalam praktik
politik formal, penetapan UU tentang TNI, penarikan anggota militer dari parlemen,
pembentukan Dewan Keamanan Nasional. Penguatan netralitas TNI sebagai elemen negara yang
menjalankan fungsi pertahanan negara (substantif), yang meliputi deklarasi netralitas politikmiliter, pembekuan doktrin Dwi Fungsi, keberadaan komunitas sipil di bidang pertahanan, proses
pengadaan peralatan militer dilakukan secara berlapis dan professional. Sedangkan dalam
tataran operasional seperti, pengadopsian nilai-nilai lokalitas (budaya) sebagai bagian dari
pemahaman dan pengertian TNI serta pengadopsian nilai-nilai humanitarian dalam menjalankan
tugas militer cenderung tidak terlihat.

Agenda reformasi sektor keamanan di Indonesia, diantaranya pertama, perumusan
regulasi-regulasi politik untuk mengatur aktor-aktor keamanan yang diharapkan membangun
karakter dan budaya strategik baru. Kedua, restrukturisasi organisasi keamanan terutama yang
berkaitan dengan pemisahan organisasi keamanan terutama yang berkaitan dengan pemisahan
organisasi TNI-Polri serta program pengembangan postur pertahanan Indonesia. Ketiga,
pengaturan

tataran

kewenangan


antar

instansi-instansi

yang

bergerak

di

sektor

keamanan. Keempat, perumusan dan penetapan kebijakan pertahanan negara serta kebijakan
keamanan nasional. Kelima, alokasi sumber-sumber daya pertahanan untuk mengembangkan
kekuatan pertahanan. Dan, terakhir, rekonstruksi budaya startegik yang mencerminkan adanya
adaptasi nilai-nilai demokrasi serta prinsip-prinsip humanitarian oleh institusi-institusi
keamanan, khususnya aktor-aktor keamanan utama, seperti angkatan bersenjata, kepolisian,
pasukan paramiliter, pasukan pengawal presiden dan lain-lain.
Kasus kekerasan di Atambua menunjukkan bahwa selama 11 tahun belakangan agenda

reformasi sektor keamanan masih didominasi oleh 5 agenda utama reformasi sektor keamaman.
Namun, agenda terakhir yang belum banyak mendapat banyak perhatian dan implementasi
adalah agenda keenam, yakni rekonstruksi budaya strategik. Berkaitan dengan kekerasan yang
sering terjadi di beberapa wilayah perbatasan darat seperti Papua dan Atambua terdapat beberapa
hal perlu dibahas.
Rekonstruksi Budaya Strategik
Penempatan, pergelaran dan pergantian pasukan di daerah perbatasan cenderung tidak
menjadikan budaya masyarakat setempat sebagai variabel bebas yang menentukan karakter
pasukan seperti apa yang harus ditempatkan dan jenis peralatan tempur seperti apa yang harus
berada di daerah perbatasan,serta lokalisasi markas pasukan organik yang berada di daerah
perbatasan. Masyarakat Atambua dan masyarakat NTT secara umum memiliki watak dan
karakter yang berbeda dengan masyarakat di kawasan Indonesia bagian barat. Masyarakat
Indonesia di wilayah timur, seperti di Atambua cenderung komunal, berbasiskan suku dan
memiliki prinsip yang kuat. Hal ini termanifestasikan dalam perawakan yang kuat, kokoh dan
mandiri. Hal tersebut sebenarnya harus dipahami sebelum pergelaran pasukan di wilayah
perbatasan di kawasan Indonesia Timur, seperti di Atambua. Para aparat militer sebenarnya harus
benar-benar memahami melalui pendidikan militer pra-penempatan, penempatan dan pasca

penempatan (evaluasi setelah pergantian pasukan perbatasan) bahwa karakter masyarakat di
kawasan tertentu, seperti di Atambua agak berbeda dengan kawasan perbatasan lain seperti di

wilayah Kalimantan maupun di Papua.
Selama 10 tahun terakhir, personil militer yang ditempatkan (Yonif 744) cenderung
melihat masyarakat Atambua sebagai masyarakat terbelakang dan tidak memahami bagaimana
pelaksanaan fungsi keamanan dalam dinamika sehari-hari di tengah masyarakat. Padahal harus
disadari masyarakat Atambua, adalah warga negara yang memiliki kedaulatan penuh dalam
pengelolaan lingkungan keamanan. Hal ini berakibat pada karakteristik personil militer di
Atambua yang bersifat ofensif layaknya personil militer TNI sebelum jajak pendapat 1999.
Peralatan tempur yang ditempatkan juga seakan menjadikan Atambua sebagai Daerah Operasi
Militer baru, seperti tank-tank tempur. Fakta ini terasa aneh dalam kaitan dengan dinamika
hubungan masyarakat Atambua dengan masyarakat Timor Leste di perbatasan merupakan
hubungan berbasis kekeluargaan.
Perlu diketahui, masyarakat Atambua-Timor Leste adalah masyarakat yang masih
memiliki kedekatan kultural yang sama. Hal tersebut dipertegas dalam karakteristik perbatasan.
Perbatasan Atambua-Timor Leste termasuk dalam zona damai, bukan termasuk dalam zona
perang. Hal tersebut dapat dipahami bahwa Timor Leste bukanlah negara yang dikategorikan
musuh oleh Indonesia. Bahkan, Indonesia justru menjadi promotor dan pendukung utama Timor
Leste sebagai anggota baru Association of Southeast Asia Nations (ASEAN). Keadaan ini
menyebabkan masyarakat di daerah perbatasan kedua negara tidak merasa terancam dengan
keberadaan masing-masing dan justru melakukan berbagai transaksi ekonomi. Hal yang sangat
ironis terjadi ketika hubungan harmonis antara kedua negara, justru dianggap berbahaya oleh

pengambil kebijakan pertahanan dengan menggelar sejumlah besar kesatuan tempur di daerah
perbatasan yang dikategorikan zona damai.
Keberadaan YONIF 744/Satya Yudha Bhakti
Pasca pemisahan Timor-Timur menjadi sebuah negara baru, kekuatan militer organik TNI
juga mengalami penyesuaian. Terdapat dua batalyon infanteri yang berkedudukan di Lospalos,
yakni batalyon 744 dan batalyon 745. Kedua batalyon tersebut direorganisasi. Batalyon 745
dilebur ke dalam beberapa satuan tempur dalam koordinasi Kodam IX Udayana, sedangkan

batalyon 744 tetap dipertahankan dan ditempatkan di Kabupaten Belu, di bawah koordinasi
Komando Rayon Militer (Korem) 161/Wirasakti yang berada di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Kebijakan diatas bersifat paradoks, karena di satu sisi wilayah Atambua bukan
merupakan wilayah konflik sehingga pasukan reguler yang ditempatkan seharusnya bukanlah
pasukan ofensif. Hal tersebut terlihat jelas dengan keberadaan markas Yonif 744 di daerah padat
penduduk. Di sisi lain, keberadaan batalyon 744 yang mempunyai reputasi gemilang dalam
sejumlah operasi penumpasan Fretilin dan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)masih tetap
dipertahankan sedangkan batalyon 745 justru dibubarkan. Terdapat upaya mempertahankan
keberadaan batalyon infateri 744 yang dibentuk pada tahun 1978 dengan alasan batalyon tersebut
dengan sejumlah prestasi gemilang di Timor Leste mampu menjaga daerah perbatasan Republik
Indonesia-Republik Demokratik Timor Leste. Reputasi gemilang batalyon 744 ternyata tidak
berkorelasi positif terhadap keharmonisan hubungan dengan masyarakat Belu. Semenjak

direlokasi ke Tobir pada tahun 2001, berbagai tindak kekerasan sering dilakukan oleh para
personil militer dari kesatuan tempur tersebut.
Identifikasi Potensi Ancaman Yang Berlebihan
Strategi pertahanan nasional selama ini cenderung bersifat inward-looking. Hal ini bisa
dilihat dari doktrin dan postur pertahanan RI yang bersifat defensif. Hal tersebut diakibatkan
oleh pengalaman pertempuran bangsa ini yang didominasi pertempuran internal, melawan
kolonialisme maupun separatisme. Hal ini membuat TNI mengadopsi perspektif keamanan yang
fokus pada kekuatan koersif terhadap masalah-masalah internal. Salah satu indikator adalah
pemetaan yang keliru terhadap pergelaran pasukan di daerah-daerah tertentu. Pergelaran pasukan
militer Indonesia cenderung bersifat ofensif di wilayah-wilayah yang sebenarnya lebih bersifat
defensif, seperti di daerah perbatasan. Akibatnya karakteristik personil-personil militer di daerah
seperti di Atambua cenderung bukan sebagai penengah (peacemaker), namun justru menjadi
pemicu konflik.
Di Atambua , jumlah kesatuan tempur TNI di wilayah RI-RDTL direncanakan terus
bertambah. Kesatuan tempur yang berada di wilayah Atambua adalah dua batalyon infanteri,
termasuk Yonif 744 (pemindahan dari Timor Leste) di Tobir, batalyon 743 digelar di sepanjang
garis perbatasan (278 km). Sampai tahun 2024, direncanakan penambahan 6 batalyon infanteri, 1

Komando Resort Militer (Korem) di Flores, 1 batalyon artileri medan di Kefamenanu, 1 batalyon
artileri pertahanan udara di Soe, 1 batalyon kavaleri di Atambua dan 1 pasukan zeni tempur di

Soe.
Pergelaran pasukan diatas, jika ditelisik lebih jauh merupakan bagian dari pelaksanaan
Komando Teritorial berbasis sistem Wehrkreise. Sistem tersebut membagi daerah-daerah di
Indoensia ke dalam lingakaran-lingkaran pertahanan yang memungkinkan satuan-satuan militer
secara mandiri mempertahankan lingkaran-lingkaran pertahanan. Konsep ini mendorong
dibentuknya Komando Teritorial. Komando Teritorial membentuk satuan-satuan militer dari
tingkatan Komando Daerah Militer/KODAM (Propinsi) sampai tingkat Babinsa (desa). Sistem
Komando Teritorial layak untuk dikaji kembali, karena keberadaan militer dalam jumlah yang
banyak di suatu daerah akan lebih efektif jika Indonesia berada dalam masa perang, bukan dalam
masa damai. Apalagi seringkali keberadaan koamdo territorial dan satuan-satuan tempur, seperti,
Korem, Kodim dan Koramil , batalyon infanteri (yonif), batalyon kavaleri (yonkav) cenderung
menghasilkan gesekan-gesekan dengan masyarakat sekitar.
Yang patut dipertanyakan, pergelaran kesatuan-kesatuan tempur di wilayah perbatasan
Atambua seakan menjadikan Atambua dan daerah-daerah sekitar perbatasan RI-RDTL sebagai
daerah operasi militer baru. Timor Leste bukanlah negara yang memiliki postur pertahanan
seperti Indonesia. Ditinjau dari anggaran pertahanan, tahun 2009, anggaran pertahanan angkatan
bersenjata Timor Leste USD 38 juta, bandingkan dengan Indonesia yang mencapai USD 47,91
miliar (35 triliun rupiah). Ditinjau dari kapabilitas militer, sejauh ini sampai dengan tahun 2008,
Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste baru bekerja sama dengan Cina dalam pembelian
2 jenis kapal patrol tipe-062 senilai USD 28 juta. Bandingkan dengan Indonesia yang pada tahun

yang sama telah membeli rudal anti kapal perang tipe C-802/CSS-N-8 sebanyak 18 rudal.
Melihat perbandingan ini terlalu berlebihan jika menjadikan Atambua sebagai daerah pergelaran
pasukan yang berkarakter ofensif layaknya dalam masa perang.

Karakteristik Pergelaran Pasukan di Daerah Perbatasan
Potensi ancaman konflik di perbatasan RI-RDTL bersifat transnasional. Hal tersebut
terlihat dalam beragamnya kasus pencurian ikan, illegal logging, trafficking, penyeludupan,

lintas batas illegal, penggarapan kebun secara ilegal, dan sengketa tanah. Berbagai tindak
kejahatan transnasional tersebut, seharusnya tidak perlu menggunakan pendekatan militeristik,
terlebih lagi penggunaan kekerasan secara berlebihan. Pendekatan yang sebaiknya dilakukan
adalah persuasif, mampu mengayomi masyarakat dan berkarakter peacebuilding. Proses transisi
personil

militer

pasca

konflik

seperti

di Atambua

tidak

dilakukan

secara

baik.

Kemampuan peacemaking dan peacebuilding, humanitarian assistancetidak terlihat dari para
personil TNI di daerah perbatasan Atambua. Kemampuan-kemapuan tersebut justru di berikan
kepada para personil militer yang mengemban tugas negara sebagai pasukan penjaga perdamain
di luar negeri, sedangkan di daerah-daerah perbatasan, khususnya Atambua kemampuankemampuan tersebut tidak terlihat. Di wilayah seperti Atambua, seharusnya operasi militer
terbatas yang dilakukan TNI bersifat pesuasif (soft skill), karena Atambua adalah daerah
tertinggal yang masyarakatnya masih hidup dari pertanian bersifat subsisten.
Pasca reformasi 1998, militer Indonesia diharapkan dapat meninggalkan citra buruk
terkait hubungan sipil dan militer, bukan hanya di tingkatan politik, tetapi juga jauh lebih penting
penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia. Bukan hanya mengutamakan supremasi sipil di
tingkatan politik, tetapi juga supremasi sipil dalam hubungan sosial, budaya dan ekonomi dengan
masyarakat secara umum. Kasus kekerasan di Atambua, kembali menunjukkan “lingkaran
setan” pendekatan militeristik yang tidak sesuai dengan agenda reformasi militer di Indonesia
selama 11 tahun terakhir. Penyelesaian dengan memproses secara adil terhadap para pelaku
kekerasan merupakan solusi sementara, bukan merupakan solusi jangka panjang. Dibutuhkan
redefenisi, reorganisasi peran dan fungsi TNI di daerah perbatasan, serta profesionalitas
berdasarkan nilai-nilai humaniter dalam menjalankan tugas di daerah perbatsan, seperti Atambua.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21