10 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG BIWA 2.1 Sejarah Biwa

  BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG BIWA

2.1 Sejarah Biwa

  Musik dikenal masyarakat Jepang pada abad ke tujuh. Masyarakat Jepang pada masa itu sangat antusias mempelajari musik dari benua Asia. Musik tradisional Jepang juga sering didengar dan dimainkan oleh para samurai dengan tujuan memperkaya hidup dan pemahaman mereka. Musik tradisional sejak dahulu juga sudah dikenal sebagai pendamping seni teater di Jepang.

  Biwa memiliki berbagai ukuran dan bentuk dan berasal dari berbagai budaya. Biwa yang digunakan di Jepang dewasa ini memiliki dua sumber utama, India dan China. Ada legenda bahwa Buddha memiliki murid buta kepada siapa dia mengajarkan seni sutras bernyanyi untuk mengiringi Biwa. Legenda lain menyatakan bahwa Putra Raja Buddha yang terkenal Asoka dari India, menjadi pemain Biwa yang buta. Terdapat ketidak sepakatan menyangkut asal–usul musik ini, tetapi secara pasti Biwa dibawa ke China sekitar abad ketiga. Disana instrument ini disebut sebagai P’IP’A, yang lebih lanjut terus berkembang dan berada di bawah pengaruh asia tengah. Ini adalah kecapi gaya China yang terlihat samapai ke Jepang pada masa Nara.

  Orang yang memainkan Biwa disebut Pendeta Buta (Blind Biwa Players). Biwa merupakan satu dari instrument yang digunakan dalam musik Gagaku

  

Imperial . Disamping kegunaannya dalam Ensemble Orchestra, juga memiliki literature solo yang luas. Memainkan Biwa adalah keagungan sosial yang penting untuk para anggota kerajaan pada masa Nara dan Heian. Demikian juga Biwa terlihat muncul dalam lukisan seperti kecapi, ditemukan dalam gambar pada masa

  (William p.malm halaman 145,2000) Renaissans di Eropa.

  Sayangnya, musik solo untuk biwa masih rahasia, dan hanya sebagian sisanya yang belum diteliti dari notasi yang ada. Sangat sedikit jenis musik Biwa yang dikembangkan di selatan Kyushu. Di sini Pendeta Buta menggunakan Biwa kecil menyerupai model India, dan terlihat nyanyian sutras untuk mnyenangkan dewa bumi. Juga ada banyak legenda menyangkut masuknya musik ini di Jepang

  Pendeta yang terkenal dengan talentanya yang merupakan pemain Biwa buta Chikuzen adalah Jojuin. Jojuin merupakan pendiri dari sekolah pemain Biwa buta Chikuzen. Sekolah utama lainnya adalah Satsuma yang telah didirikan oleh seorang pendeta yang tinggal di belakang Kyoto. Pendeta ini disebut Manshoin.

  Hubungan antara Manshoin dengan Jojuin ini bervariasi dengan allegiansi sekolah dari penulis berbagai sejarah Biwa Pendeta Buta. Hal yang penting dari kedua hubungan ini adalah bahwa perbedaan antara gaya Chikuzen oleh Jojuin dan Satsuma oleh manshoin adalah telah ada pada tradisi pendeta sejak dulu.

  Istilah “Pendeta Buta” digunakan disini untuk membedakan antara Satsuma awal dan Chikuzen serta musiknya, dengan pendeta-pendeta buta lainnya yang ditakutkan akan muncul dikemudian hari dengan menggunakan nama yang sama.

  Nyanyian pendeta (sutras) ini mengarah pada kehidupan yang bermula dari perjalanan dari desa ke desa dengan menyanyikan Sutras Magiknya. Suatu ketika nyanyia (sutras) itu dimainkan oleh dewa lokal, dengan memperlihatkan tanda-tanda kebisingan yang menyebabkan kondisi tidak menyenangkan. Dengan adanya kondisi tersebut para penggemar dari nyanyian (sutras) ini pun berdatangan. Penggemar ini adalah pihak petani, pihak bangsawan, dan pihak dari kuil besar. Dan musik yang dibawa oleh para penggemar saat itu dikenal dengan Kojin Biwa, yang muncul setelah adanya Kojin (dewa dapur rumah tangga).

  Kemudian setalah itu tepatnya pada masa Kamakura sebahagian dari para pendeta serta penggemar-penggemar nyanyian (sutras) diduga menjadi pengemis.

  Seiring dengan itu mereka berhenti pula melakukan perjalanan dan menghabiskan hari-harinya untuk tidur di pintu kuil dan menyayikan nyanyian-nyanyian saja.

  Namun adapula sebahagian dari kelompok mereka meninggalkan kebiasaan– kebiasaan tersebut dan kemudian ia mulai melakukan improvisasi terhadap kisah dan ceritanya untuk menarik perhatian khalayak lain dengan melakukan nyanyian yang dikuasainya. Dalam kejadian inilah munculnya musik teater yang masih terlalu dasar, dikenal dengan Penyanyi Sutra Itinerant .

  Pada masa itu musik Biwa yang dibawa oleh pendeta buta terus mengalami penurunan. Penurunan tersebut menyebabkan sekolah Chikuzen yang didirikan oleh Jojuin mengalami keadaan penurunan lebih parah dari Satsuma yang didirikan oleh Manshoin. yang kemudian Satsuma dan Manshoin terus dihormati oleh masyarakat suku Shimazu di distrik Satsuma di Khusyu dan terus berkembang hingga mengalami kemunduran besar-besaran dalam system kerabat di masa Edo. Suku Shimazu ini adalah suku yang terdiri dri beberapa orang-orang pejuang. Suku ini dikenal dengan suku yang lebih mementingkan dan memperhatikan kesejahteraan mereka dari pada seni. Suku ini juga terdiri dari beberapa musisi buta yang telah melakukan perjalanan ke Jepang.

  Selain itu dalam perkembangan Musik Biwa ini, menurut Fujiwara Yukinaga (sekitar tahun 1189) seorang pejabat pengadilan yang terkenal dengan kesombongannya menemukan adanya tradisi nasratif besar oleh Heike Biwa yang dikenal dengan Kisah Heike. Tradisi Nasratif ini berawal dari pertempuran antara Heike dan Suku Genji di zaman Kamakura yang telah bannyak diketahui oleh para pejuang berdarah dimasa itu. Dan pada masa itu pula musisi dan 7 penari seksi tampil dengan bersamaan, aliran musik oleh para musisi itu melibatkan Heike Biwa sebagai salah satu musiknya, dengan aliran yang disebut Gagaku, Shomyo Buddhist, dan Musik Biwa pendeta Buta.

  Para pejabat-pejabat pengadilan saat itu baru merasakan bahwa musik itu sangat indah bagaikan pakaian para raja yang mewah. Dan pada masa inilah penerimaan Buddhist (agama pertama), membangun kesetian dan keindahan di tempat tinggal masing-masing yang berbentuk rumah dan menjadi sumber penghidupan yang baru bagi pemain Biwa buta yang ada di masa itu.

  Seiring berkembangnya waktu pada zaman Kamakura, aliran-aliran musik yang mulai mengalami perubahan, pemunduran dan perkembangan ini terbagi menjadi dua kelompok pemikiran utama yaitu dikenal dengan Ichikata dan Yasaka. Kelompok Yasaka dalam memainkan alat musiknya mereka menggunakan teks asli, sedangkan kelompok Ichikata dalam memainkan alat musiknya disasarkan pada edisi khusus yang dipersembahkan hanya untuk kaisar mereka.

  Pada abad ke 16, Ketika Heike Biwa mengalami penurunan serta nyanyian pendeta buta (sutras) mendekati kepunuhan, maka yang lain dengan gaya Biwa yang baru mulai bermunculan. Namun musisi dari Satsuma oleh Manshoin yang dibawah pengawasan suku Shimazu, mereka melakukan pekerjaan yang berharga yaitu memperbaiki anggota suku dengan mengidentifikasi musik. Salah satu hasil dari pengidentifikasian musik pada masa itu adalah dengan berlakunya musik– musik klasik ringan dan dilarangnya musik pop untuk dimainkan selain anggota suku mereka.

  Pengembangan musik klasik ringan ini terdiri dari berbagai jenis musik: 1.

  Musik yang dimainkan untuk semua jenis musik yang disebut dengan Tempuku 2. Musik yang dimainkan sebagai bentuk perjuangan yang disebut dengan

  Samurai Odori atau Heiko Odori 3. Musik yang dimainkan dalam bentuk naratif baru dari musik Biwa Satsuma.

  Melalui ketiga jenis musik ini mereka membangun suku modest yang dibantu dengan beberapa pasukannya. Dari abad ke enam belas gaya musik naratif baru telah muncul, bagian pertama dari musik naratif ini disusun sebagai sesuatu yang dapat dinikmati untuk berbagai jenis usia tanpa membedakan jenis kelamin akan tetapi gaya musik naratif ini menginstrumenkan kisah perag di Jepang. Pada gaya musik naratif ini telah mengalami perkembangan yang cukup berbeda seiring dengan berkembangnya zaman, perubahan tersebut dirasakan pada instrument musik sebelumnya yaitu Heike Biwa.

  Pada dasarnya Instumen musik ini menjadi musik populer diantara banyak orang namun seiring dengan berkembangnya zaman gaya musik naratif ini dianggap kurang megah dan lebih bersifat dramatis. Dan pada zaman Edo, musik ini dianggap telah menyebar ke bagian Selatan Jepang yang telah menjadi bagian musik yang digunakan untuk Seni Kabuki dan Permainan Boneka yang tumbuh begitu Pesat. (http://id.wikipedia.org/wiki/kategori:sejarahmusikdijepang)

  Pada tahun 1868 adalah tahun dimana hak-hak istimewa yang eksklusif para pendeta buta ditiadakan, hal ini tentu ditolak oleh para pendeta buta yang masih hidup (pendeta buta yang tersisa) dari Moso Biwa yang lama dan Heike Biwa. Pendeta–pendeta buta tersebut pada zaman itu adalah pendeta buta yang cukup memiliki peran penting dalam pemerintahan yaitu tepatnya pada zaman Meiji dan Satsuma Biwa. Dengan sikap berontaknya para pendeta tersebut maka para pihak yang berperan sebagai negarawan pada tahun ini membebaskan hak- hak istimewa yang eksklisif kembali dapat dinikmmati oleh para pendeta buta tersebut, sehingga pada tahun/zaman inilah musik (Nyanyian Sutras) mulai tebuka bagi siapa saja yang ingin menikmatinya bahkan banyak dari mereka yang menjadikan musik (Nyanyian Sutras) ini sebagai hobi. Bahkan Kaisar Meiji memainkan musik (Nyanyian Sutras) ini dengan menggunakan catatan fonografi.

  Dalam abad kedua puluh musik (Nyanyian Sutras) ini mengalami perubahan yang sangat besar. Sebahagian pemikiran baru bermunculan yaitu Khinshin, Nishiki dan Suito Kino yang cukup terkenal pada abad ini.

  Dalam akhir abad kesembilan belas, seiring berkembangnya zaman pula munculah kembali istilah Chikuzen Biwa yang sebelumnya pernah dikenal dan telah hilang dengan jangkan waktu yang cukup lama. Salah satu pemikir yang cukup terkenal pada abad kedua puluh yang memulai perjalanannya di daerah Chikuzen di Khusyu dan menemukan pertama kali Biwa kecil yang menyerupai Biwa Chikuzen pendeta buta. Biwa chikuzen ini berbentuk klasik dengan bentuk yang cukup besar dan digunakan untuk dramatik.

  Dengan demikian para pemikir tersebut terus melakukan perjalannya dan menemukan instrument musik (nyanyian sutras) lainnya. Hingga muncul instumen musik yang baru yang mulai dinikmati banyak orang pada zaman itu.

2.2 Jenis – jenis Biwa

  Dalam penggolongan alat musik Biwa merupakan alat musik mirip kecapi barat yang di mainkan dengan cara di petik, yang serupa dengan gitar, sitar atau ukulele. Maka dari itu, secara garis besar Biwa di bagi atas lima kelompok yang di golongkan berdasarkan zaman dan tempat para pendeta buta dan penyanyi biwa (sutras) berasal.

  1. P’ip’a Biwa P’ip’a merupakan jenis alat musik Biwa pertama yang berasal dari India dan China (Asia Tengah) yang dibawa pada masa Naara ke jepang pada abad ke tiga. P’ip’a Biwa dimainkan oleh murid putra Buddha yaitu Asoka dari India, menjadi pemain Biwa yang buta.

  2. Moso Biwa Moso Biwa dibawa pada awal abad ke tujuh. Moso Biwa merupakan jenis alat musik kedua setelah P’ip’a Biwa yang dibawa oleh pendeta buta yang dikembangkan di Selatan Kyushu. Moso Biwa bentuknya menyerupai P’ip’a Biwa dari India, namun terlihat sedikit lebih kecil. Moso Biwa ini di mainkan dalam pertunjukan nyanyian Sutras untuk menyenangkan dewa bumi yang dimainkan di Kuil Enryaku di Kyoto oleh delapan pendeta buta.

  3. Heike Biwa Heike Biwa merupakan alat musik Biwa yang ditemukan pada zaman Kamakura dari Gagaku. Ditemukan oleh para pejuang berdarah yaitu tepatnya pada masa pertemuan antara Heike dan Suku Genji. Alat musik Heike Biwa ini mulai dimainkan dengan iringan vocal dalam bentuk terminologi atau istilah. Iringan vocal tersebut memiliki bagian narasi yang panjang dan memiliki gelombang kedua (suara dua). Heike Biwa dimainkan dari dua tradisi yaitu Penutur Cerita buta dan Chanting Buddhist. Alat musik ini berbeda dengan Moso Biwa yang memiliki bentuk lebih besar dan lebar yang memiliki empat senar dan lima fret dan menggunakan plectrum.

  4. Satsuma Biwa Satsuma Biwa ditemukan bersamaan dengan Heike Biwa. Namun, Satsuma ini lebih sering digunakan oleh orang kota setalah mengalami perkembangan zaman. Satsuma Biwa dimainkan dengan iringan melodi type stereo yang digunakan secara beriringan. Satsuma Biwa dimainkan oleh pendeta buta kuno. Satsuma Biwa memiliki bentuk yang lebih sempit dari Heike Biwa, tapi memiliki scroll yang lebih besar dan terdiri dari empat senar dan enam fret. Salah satu perbedaan Satsuma dengan instrument Biwa lainnya adalah satsuma memiliki celah yang lebih besar antara fret pertama dan kedua serta memiliki plectrum yang sangat lebar dengan potongan kayu. Secara instrument musik, gaya Satsuma Biwa ini berkaitan dengan pendahulunya yaitu Heike. Gaya Satsuma Biwa yang telah dimodifikasikan dan diciptakan untuk suku Shimizu yang dikatakan instrument musik itu kini dibawakan dan dimainkan lebih tenang. Kini pengaruh terakhir sesuai perkembangan zaman untuk musik ini yaitu memadukan teknik Shamisen kedalam musik Biwa. sehingga sekarang musik ini sering dikatakan sebagai aliran musik yang sama.

5. Chikuzen Biwa

  Sama halnya dengan Satsuma Biwa, chikuzen merupakan alat musik yang ditemuka n bersamaan dengan Satsuma Biwa dan Heike Biwa. Chikuzen Biwa memiliki bentuk klasik yang berhubungan langsung dengan kecapi India. Chikuzen Biwa ini merupakan alat musik yang lebih sering digunakan oleh pendeta buta. Karena bentuknya yang paling kecil dari Biwa–Biwa yang telah ada. Chikuzen Biwa terbagi menjadi dua jenis : 1.

  Chikuzen Biwa dengan empat senar dan lima fret.

2. Chikuzen Biwa dengan lima senar dan lima fret.

  Plectrum Chikuzen tidak seperti jenis Biwa–Biwa yang lain yang lebih tebal dan Buntu pada gaya plectrum Gidayu Bushi. Chikuzen dimainkan dengan gaya kontemporer dari berbagai tradisi. Musik Chikuzen Biwa memadukan fitur dari gaya Biwa lain yang ditambah dengan musik shamisen naratif.

  Musik Chikuzen Biwa memadukan fitur dari gaya Biwa lain ditambah dengan musik Shasimen Naratif. Pengaruh musik untuk permainan boneka “Gidayu Bushi” adalah sangat Kuat. Chikuzen Biwa lebih efektif apabila dimainkan dengan adanya lirik. Karena nada intinya adalah mengarah pada musik ini. Sementara musik satsuma khusus adalah terjadi selama instrument Biwa dimainkan, atau dengan keadaan penyanyi dan pemain musik menampilkan performanya secara bersama-sama.

  Perbedaan yang penting diantara aliran Biwa modern dan Heike Biwa adalah bahwa suara dan bagian biwa tidak dapat dipisahkan, sementara musik Biwa saat ini memperlihatkan beberapa bagian narasi dimana hanya mengulangi nada yang diberikan dengan instrument biwa pendek seperti heike dan banyak bagian dimana suara dan bagian Biwa itu dilakukan berasama-sama. Atau dengan kata dan pemahan lain antara penyanyi dan pemain Biwa itu memperlihatkan perfoma bersama-sama. Dan salah satu kondisi musik Biwa modern ini adalah para pendengar (audience) mengamati cara mereka membawakan dan memperlihatkan performanya masing-masing.

  Nama Melodi dari Chikuzen Biwa diberi nama yang sama dengan gambar dan musim saat Chikuzen Biwa itu dimainkan. Dan pada Notasi nya ditandai dengan angka sederhana misalnya lima belas go, dua puluh lima cho. Dan pada polanya diberi nama dari nama burug dan hewan lainnya. Meskipun nama khusus dan pengertiannya dapat saja berbeda. Misalnya Fret dari Biwa kadangkala diberi nama sesuai dengan unsur kayu, api, tanah, logam dan air yang mungkin merupakan cerminan dari asal-usul Biwa di China. (William p.malm halaman 143,2000)